Kebijakan.co.id – Liputan Investigatif
Adi Fauzanto-27 April 2022 (13.57 WIB)-#64 Paragraf

5 April 2022, hujan mengguyur Kota Bekasi. Durasinya tidak lama, tepatnya dari siang menuju sore hari. Akan tetapi hujannya cukup deras. Parahnya, hampir seluruh Kota Bekasi terdampak banjir –memang sudah dari dahulu seperti ini. Seakan, hujan membuktikan buruknya tata kota di Bekasi, salah satunya. Lainnya, kemacetan dan panas, juga seakan membuktikannya. Dari peristiwa ini, Kebijakan.co.id hadir.
***
Bekasi, Kebijakan.co.id — Jalan yang sempit dan perumahan yang padat, menghasilkan pengguna kendaraan bermotor berlebih, sehingga macet tidak terhindarkan.
Salah satu syarat pembangunan kota urban -dengan tingkat perpindahan penduduk yang tinggi- ialah menyediakan transportasi publik yang layak, sehingga penggunaan kendaraan pribadi berkurang.
Jika dilihat dari tahun 2018 menuju 2020 kepemilikan kendaraan pribadi berkurang tetapi tidak terlalu signifikan, dan ada kemungkinan di tahun 2020 turun dikarenakan deflasi –ekonomi nasional melesu secara 2 quartal terus menerus- dampak pandemi.
Misalnya, kendaraan sepeda motor -dalam data BPS Kota Bekasi-, tahun 2018 terdapat 1.248.185 motor, naik di tahun 2019 terdapat 1.249.077, dan turun di tahun 2020 terdapat 1.184.383.

Dari data tersebut, lalu melihat transportasi publik di Kota Bekasi, terdapat Commuter Line Kota Bekasi menjadi pusat nya –itu juga hanya bagian Bekasi Barat yang terkena dampak secara langsung.
Lalu Transpatriot yang masih seumur jagung dengan 3 koridor nya, ditambah masalah pandemi yang membatasi gerak fisik. Lalu angkutan umum, yang mengarah kesana –stasiun Bekasi-, selain itu lainnya mengarah ke pusat keramaian –seperti pasar atau terminal besar antar kota dan provinsi.
Selain itu, bantuan dari proyek Integrasi Jakarta angkutan publik Ibu Kota berupa Mikrotrans, atau Transjakarta yang melintasi sebagian Kota Bekasi –khususnya yang berbatasan dengan Jakarta.
Data Dinas Perhubungan Kota Bekasi mencatat total ada kurang lebih 78 trayek, 3 di antaranya merupakan Transpatriot –yang kini hanya aktif 1 trayek menurut Eks-Walikota Bekasi. 3 lainnya bertrayek M, dua bertrayek G, sisanya K.
Praktis hanya KRL yang optimal untuk mengankut banyak orang –itu juga tidak ada dalam trayek Dinas Perhubungan Kota Bekasi.
Selain itu ambil contoh, dalam salah satu trayek di atas. K-44 yang melintasi Komsen – Jalan Raya Wibawa Mukti – lalu menuju cibubur hingga masuk tol menuju Kampung Rambutan.
Ada beberapa hal yang menjadi permasalahan, pertama, yaitu waktu yang tidak tepat, selalu ngetem untuk menunggu penumpang penuh, jika tidak maka setoran pengemudi –yang selalu bergantian ini- tidak akan mencapai target setoran perhari nya.
Sebenarnya, tidak mengapa jalur trayek yang memutar untuk beberapa kondisi, asalkan tetap tepat waktu agar estimasi nya dapat diperkirakan.
Kedua, terkait keamanan, keselamatan, dan kenyaman seharusnya menjadi prioritas penumpang. Akan tetapi jika ‘cap’ atau ‘tanda’ berbahaya sudah melekat dalam transportasi ini, diperlukan beberapa perubahan, terkhusus jika perempuan yang menjadi target kejahatan akan statusnya.
Kedua kondisi ini, praktis menyebabkan berkurangnya penaik angkutan umum, sehingga angkutan umum pun berkurang.
Sebaliknya, jika kedua ini terjamin, maka masyarakat umum sudah bisa dipastikan akan memilihnya –walaupun perlu ada beberapa tambahan atau pengembangan teknologi yang mempemudah mengakses transportasi umum.
Belajar dari Jakarta
Tidak ada perubahan yang signifikan (berdampak) terkait transportasi publik di Kota Bekasi. Kondisi nya berbeda dengan Ibu Kota DKI (Daerah Khusus Ibukota) Jakarta, yang pada tahun 2021 mendapat Sustainable Transport Award (STA) yang diselenggarakan –sekaligus mensponsori- oleh Institute for Transportation & Development Policy (ITDP).
STA dinilai oleh komite juri yang terdiri dari ITDP sendiri, World Bank, International Council for Local Environment Initiatives (ICLEI), Clean Air Asia, dan World Resources Institute (WRI) Ross Center for Sustainable Cities. Sedangkan penyelenggara lainnya seperti Asian Development Bank (ADB), Amend, Despacio, Bus Rapid Transit (BRT) Centre of Excellence, GIZ, dan CAF.
Indikator nya ialah memiliki solusi transportasi yang ditunjukan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan perbaikan kualitas kehidupan urban masyarakat perkotaan.
***
Salah satu alasan DKI Jakarta meraih penghargaan tersebut. Menurut Fani Rachmita sebagai Manager ITDP Indonesia yang dikutip dari CNN (Cable News Network) Indonesia berjudul Juri Beberkan Alasan Jakarta Raih Penghargaan Transportasi (2020).
Pertama, mengintegrasikan semua moda transportasi –baik secara fisik maupun pembayaran. Kedua, melakukan penataan terminal atau stasiun atau pangkalan –tempat berkumpul atau transit transportasi publik- serta menambah infrastruktur fisik untuk pejalan kaki.
Ketiga, melakukan pembatasan kendaraan bermotor dengan mengubah parkiran menjadi area usaha ekonomi kreatif. Keempat, yang menjadi rencana selanjutnya ialah menaikkan tarif parkir di pusat kota serta menerapkan sistem ERP (electronic road pricing) atau jalan berbayar di jalan-jalan utama.
***
Ada beberapa hal yang menjadi titik pembelajaran dari DKI.
Pembelajaran pertama, adanya political will atau kemauan politik dari pemerintahan daerah untuk mengatasi kemacetan, bukan dengan hanya memperlebar jalan atau mengedukasi pembatasan penggunaan kendaraan pribadi, akan tetapi dengan menyediakan sistem transportasi publik yang efisien, murah, nyaman, dan aman.
Pembelajaran kedua, adanya kesinambungan pengembangan transportasi publik dari masa ke masa. Setiap periode menghasilkan satu optimalisasi moda transportasi publik. Pertama, yaitu BRT (Bus Rapid Transit) atau yang dikenal dengan Transjakarta yang diinisiasi oleh Sutiyoso dimulai tahun 2004.
Kedua, yaitu Commuter Line atau biasa dikena dengan KRL (Kereta Rel Listrik) yang dikelola oleh PT. Kereta Api Indonesia, yang dimulai dari tahun 2008 di Jabodetabek (Jakarta-Bogor-Depok-Tanggerang-Bekasi).
Ketiga, yaitu MRT –Mass Rapid Transit atau Moda Raya Terpadu dalam bahasa Indonesia- diinisiasi oleh Habibie sebagai Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi tahun 1985.
Pembangunan dimulai ketika era Fauzi Bowo di tahun 2008 -saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjadi proyek nasional tahun 2005- dengan penempatan batu pertama di era Joko Widodo ditahun 2013 dan selesai tahap pertama yang di uji coba ketika era Anies Baswedan tahun 2019.
Keempat, Mirkotrans, semacam angkot akan tetapi lebih baik dari sisi fasilitas. Seperti fasilitas pendingin udara, informasi rute, serta fasilitas keamanan seperti kamera pengawas, pemecah kaca, alarm tanda bahaya, dan sabuk pengaman.
Mikrotrans ditunjukan untuk menghubungkan transportasi publik lainnya, seperti Transjakarta dan KRL. Mikrotrans, diinisiasi di era Anies Baswedan.
Kelima, Angkot –sebutan pendek dari Angkutan Umum- yang diperbaharui kedalam sistem digital –didalamnya integrasi rute, manajemen, hingga pembayaran- menjadi JakLingko –termasuk didalamnya Mikrotrans, Transjakarta, KRL. JakLingko diinisiasi di tahun 2020 di era Anies Baswedan.
Pra-syarat adanya kesinambungan di antara kelima moda transportasi yang sudah berjalan ialah tidak pernah puas berinovasi untuk menyelesaikan masalah yang ada. Mendobrak yang sudah ada di era sebelumnya –mendobrak bukan berarti menghapus akan tetapi melengkapi dan memperbaiki yang kurang.
Pembelajaran ketiga ialah, keterbukaan akan masukan. Dibuktikan dengan kerjasama dengan pihak ‘luar’ yang disebut dengan think tank atau lembaga pemikir sebagai konsultan atau pemberi masukan dalam memikirkan, membentuk, menjalankan, hingga mengevaluasi kebijakan publik, dalam hal ini berkaitan dengan transportasi publik.
Tentu untuk mencegah adanya konflik kepentingan lembaga konsultan dan agar optimal tugasnya –masukan dan proyek- nantinya, pengadaan jasa konsultan untuk proyek transportasi publik memerlukan keterbukaan dan transparansi.
Pembelajaraan keempat ialah, adaptasi di era-digital. Dengan memanfaatkan sistem pembayaran satu pintu sekaligus satu kartu, sehingga memudahkan transaksi transportasi publik –tentu harus ada campur tangan bahkan dikelola oleh pemerintah daerah sebagai pemilik wewenang.
Kota Bekasi, saat ini, praktis belum seperti DKI Jakarta. Memang, anggaran Ibu Kota Indonesia lebih besar, dibandingkan dengan kota kecil, yang fungsi nya sebagai penyanggah –sekaligus bukan ibukota provinsi.
Akan tetapi jika Kota Bekasi tidak memanfaatkan yang ada, sekaligus mengikuti perkembangan yang ada, apalagi manfaat dan perkembangan di depan mata –melihat Kota Jakarta-, sungguh tidak elok.
Catatan untuk Jakarta
Namun, ada beberapa hal yang menjadi catatan untuk DKI Jakarta. Seperti yang diulas dalam artikel Dilema Naik Transportasi Umum di Ibu Kota (2021) oleh Kompas.com, catatan tersebut di antaranya.
Catatan pertama, membangun transportasi publik, ialah membangun dengan cara pandang pejalan kaki. Dikarenakan target pengguna transportasi publik, bukan pengguna kendaraan pribadi yang bermotor. Konsekuensi nya ialah prioritas utama dari pejalan kaki dibandingkan dengan pengguna kendaraan bermotor.
Misalnya, ketika dibangunnya pagar pembatas stasiun KRL pada pintu masuk atau keluar, yang nantinya diarahkan menuju Jembantan Penyebrangan Orang (JPO). Hal tersebut dikeluhkan oleh para pengguna transportasi publik –tidak efisien dan lelah, khususnya yang berkebutuhan khusus, seperti ibu hamil, lansia, atau anak-anak.
Kedua, perbandingan waktu dan biaya ketika menggunakan kendaraan pribadi dan transportasi publik. Estimasi keduanya perlu diperhitungkan, untuk memutuskan masyarakat untuk menggunakan kendaraan pribadi atau transportasi publik.
Mulai dari biaya yang dikeluarkan bensin dan biaya yang digunakan untuk tiket transportasi publik. Lalu penghitungan waktu antara kendaraan pribadi dan transportasi publik, mulai dari keluar rumah hingga tempat tujuan.
Selain itu di tahun 2021 –di tahun yang sama dengan penghargaan STA. Terdapat 508 kecelakaan Transjakarta, dengan 43 kasus perbulannya. Hal tersebut disampaikan oleh Ketua Komisi Kelaikan dan Keselamatan Dewan Transportasi Kota Jakarta, Prayudi.
Menurut Pengamat Transportasi Djoko Setijawarno -dalam Artikel Harian Kompas berujudul Sopir Transjakarta, Satu Kemudi Beda Nasib (2021)– mengatakan kecelakaan terjadi karena imbas buruknya manajemen Transjakarta. Kedepan, menurut Djoko, seperti PT. KAI, Transjakarta harus membentuk dan memiliki Divisi Keselamatan.
Catatan lainnya datang dari Ade Armando yang ditulis dalam kolom nya di Tagar.Id berjudul Daftar Kejanggalan Anies Pahlawan Transportasi Dunia (2021), berkaitan dengan hubungan antara STA dan penyelenggara nya yaitu ITDP, yang dicurigai menguntungkan DKI Jakarta sebagai pemenang di karenakan kerjasama yang dilakukan sebelumnya oleh Pemerintahan Provinsi DKI, dan beberapa isu kolusi –konflik kepentingan- lainnya, seperti pengangkatan Eks-Direktur ITDP yaitu Yoga Adiwinarto menjadi Direktur Teknik dan Fasilitas Transjakarta.
Tercatat ITDP, juga turut menginisiasi adanya Transjakarta di era Sutiyoso. Dalam Artikel BisnisNews.id berjudul Salut, Penumpang Transjakarta Tembus 1 Juta Orang Sehari (2020), Darmaningtyas, yang juga sebagai Eks-Direktur ITDP, mengatakan telah mendukung, mengawal, dan memantau sejak direncanakan ketika era Sutiyoso hingga era Fauzi Bowo. Meski ketika itu, proyek Transjakarta disorot tajam karena dugaan praktik korupsi.
Tidak Layak Transportasi Publik
Melacak sepak terjang transportasi publik Kota Bekasi, cukup berkembang. Di tahun 2019, Pemerintah Kota Bekasi melalui Wali Kota nya saat itu, Rahmat Effendi, bekerjasama dengan start-up (perusahaan rintisan) teknologi bernama TRON-Transportasi Online Indonesia berbasis app untuk memudahkan pembayaran pada angkot di kota Bekasi dan mencegah ngetem.
Akan tetapi di tahun 2022, angkot yang bekerjasama di Kota Bekasi tidak cukup signifikan. Dan justru berpotensi membuat kemacetan, karena sistem ‘pemesanan pribadi’ angkot tersebut. Bukan sistem yang terjadwal.
Sedangkan Transpatriot yang diresmikan tahun 2017 akhir, menurut Rahmat Effendi dalam Radar Bekasi dengan artikel Dorong Peremajaan Angkot (2021), operasional bus tidak berjalan dengan lancar.
Sebabnya, dikarenakan subsidi yang memberatkan –dalam kata lain rugi cukup besar. Di lain sisi keinginan untuk mengembangkan angkot yang ada, dipinggirkan karena dana prioritas Transpatriot tadi cukup besar.
Untuk mengkonfirmasi kembali kebenaran tersebut. Jurnalis Kebijakan.co.id telah menghubungi melalui surat elektronik resmi Dinas Perhubungan Kota Bekasi dan mengirim nya langsung, namun belum kunjung mendapatkan balasan.
***
Tentu jika melihat DKI Jakarta, terdapat 4 langkah yang tidak di lakukan oleh Pemerintah Kota Bekasi.
Pertama, berani merugi di awal demi warga dan keberlanjutan kota. Joko Widodo dalam artikel Sejarah MRT Jakarta (2019) oleh Kumparan, mengenang ketika detik-detik penentuan proyek nasional MRT.
Joko Widodo menjelaskan keputusan membangun MRT murni keputusan politik, alih-alih mencari keputusan melalui untung-rugi secara investasi, “Transportasi massal itu, rugi!”. Sebab, pembangunan MRT semata-mata ditunjukan untuk Jakarta menjadi kota yang lebih baik.
Kedua, ialah tidak melibatkan ahli atau konsultan yang memang fokus pada transportasi publik. Tidak harus ITDP, lembaga lainnya tidak mengapa, setidaknya melibatkan universitas, sebagai lembaga objektif.
Fungsi dari lembaga konsultan ialah memberikan masukan secara objektif dan pertimbangan langkah-langkah kebijakan yang matang dan terukur.
Ketiga, ialah melakukan integrasi angkutan publik kedalam Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), sehingga dapat mengoptimalkan operasional dan model bisnisnya, mulai dari sumber daya manusia (SDM), pembayaran digital, perawatan, hingga mengintegrasikan moda transportasi yang ada.
Keempat, usaha mempersempit penggunaan kendaraan pribadi dan membangun infrastruktur untuk pejalan kaki. Di Jakarta, dahulu dikenal 3 in 1, mewajibkan satu mobil terdapat tiga orang dalam jalan-jalan utama, akan tetapi kebijakan tersebut dicabut karena banyak kecurangan terjadi di lapangan.
Di lanjutkan inovasi kebijakan terbaru yaitu Ganjil-Genap saat diterapkan dalam Asian Games tahun 2018, lalu kebijakan tersebut dinilai efektif mengatasi macet. Selain itu, juga membangun pedestrian –tempat berjalan kaki-, JPO, dan jalur sepeda di sepanjang jalan utama.
***
Di artikel yang sama dengan dengan Rahmat Effendi, Harun Al Rasyid selaku Ketua Dewan Transportasi Kota Bekasi, juga mengatakan hal serupa. Pertama, Transpatriot dapat bernilai ekonomis jika armada tersedia dan menyediakan layanan rute dalam jumlah banyak.
Kedua, angkot sebaiknya dikelola oleh badan usaha guna mengefesiensi biaya dan memang merupakan kewajiban pemerintah untuk menyediakan transportasi publik yang layak.
Ketiga, menyarankan hal yang dapat dilakukan untuk menarik lebih banyak masyarakat menggunakan transportasi umum, misal, menaikkan tarif parkir kendaraan pribadi dan mengutamakan infrastruktur jalan untuk kendaraan umum serta pejalan kaki.
Kekuatan Masyarakat
Partisipasi masyarakat dalam membangun kotanya, terkhusus mengenai transportasi publik, tidak bisa dilihat sebelah mata. Di Kota Surakarta misalnya, yang ditulis dalam Artikel Jurnal Politika (Vol. 6 No. 2) berjudul Partisipasi Publik dalam Penyelenggaraan Transportasi Massal Kota Surakarta 2014-2015 oleh Priyatno tahun 2015.
Kebijakan transportasi massal di Surakarta tidak lepas dari usulan berbagai elemen masyarakat. Baik yang dilakukan secara formal, melalui Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang) di lapisan-lapisan masyarakat atau secara informal, melalui berbagai forum masyarakat.
Usulan tersebut berangkat dari pandangan masyarakat bahwa kebijakan transportasi publik pemerintah daerah Surakata belum mencukupi –belum layak-, sehingga masyarakat masih kesulitan untuk mengakses transportasi publik yang murah dan aman.
Dalam hal ini, cara masyarakat surakarta berpartisipasi setidak nya ada 3 cara.
Pertama, melalui Musrenbang. Kedua, melalui public hearing atau mendengar suara publik melalui komunitas atau media massa. Baik itu diinisiasi oleh pemerintah lokal ataupun masyarakat sendiri. Ketiga, melalui Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
Namun menurut Priyatno, partisipasi masyarakat belumlah cukup, harus dilengkapi dengan arah lainnya –berarti dua arah-, yaitu dibutuhkannya pemerintah yang terbuka, mau mendengar, dan mampu menindaklanjuti ide atau aspirasi dari masyarakat.
Di Surakarta sendiri transportasi publik ditunjukan untuk masyarakat menengah ke bawah, yang tidak mendapatkan aksesibilitas transportasi yang baik. Akan tetapi, transportasi publik merupakan investasi besar dan jangka panjang, kebijakan ini kedepan juga harus mengjakau semua kalangan di Surakarta.

Baca Serial Liputan Investigatif "Tata (Buruk) Kota Bekasi" Lainnya: • Rusak di Sekitaran Rumah Dewan dan Petinggi Partai • Bulevar (Tapi) Sempit di Tengah Banyak Hunian • Tidak Layak Transportasi Publik • Buruk Udara, Buruk pula RTH, dan Sakit juga Manusianya



Diterbitkan: 27 April 2022 Pukul: 13.57 WIB Jurnalis: Adi Fauzanto
Daftar Bacaan: • Priyatno Harsasto. 2015. Partisipasi Publik dalam Penyelenggaraan Transportasi Massal Kota Surakarta 2014-2015. Jurnal Politika Vol. 6 No. 2 • Ade Armando. 2021. Daftar Kejanggalan Anies Pahlawan Transportasi Dunia. Kolom Tagar.id • Data Badan Pusat Statistik Kota Bekasi • Data Dinas Perhubungan Kota Bekasi • Halaman Sustainable Transport Award • CNN Indonesia. 2020. Juri Beberkan Alasan Jakarta Raih Penghargaan Transportasi. 30 Oktober. • Alsadad Rudi. 2021. Dilema Naik Transportasi Umum di Ibu Kota. Kompas.com, 29 Mei. • Stefanus Ato. 2021. Sopir Transjakarta, Satu Kemudi Beda Nasib. Kompas.id, 9 Desember. • RadarBekasi.id. 2021. Dorong Peremajaan Angot. 11 November. • Feby Dwi Sutianto. 2019. Sejarah MRT Jakarta: Digagas Tahun 1986, Dieksekusi Era Jokowi-Ahok. Kumparan.com, 24 Maret. • BisnisNews.id. 2020. Salut, Penumpang Transjakarta Tembus 1 Juta Orang Sehari. 8 Februari.

