Kebijakan.co.id – Liputan Pendek
Adi Fauzanto-12 Juli 2022 (9.24 WIB)-#23 Paragraf

***
Jakarta, Kebijakan.co.id — Tidak jauh di bawah telunjuk patung pancoran di Selatan Jakarta. Perpustakaan yang baru berdiri Februari 2021 Baca di Tebet menggelar sebuah diskusi dan nonton bareng film Sangihe Melawan karya WatchDoc.
Di tengah hingar bingar –baik ekonomi maupun gaya hidup anak muda- Jakarta Selatan, masih ada yang peduli nasib saudara sedarah sebangsa, setanah air di ujung utara Indonesia, bahkan “Lebih dekat 4 jam ke Filipina” menurut moderator acara tersebut, Kanti W. Janis.
Diskusi yang menghadirkan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Lingkungan, Greenpeace, dan LSM yang fokus di advokasi hukum, Kontras. Dan beberapa tokoh Sangir –ucapan untuk masyarakat Suku Sangir, Pulang Sangihe- yang berkumpul menjadi SSI (Save Sangihe Island) dan Diaspora Sangir di pelbagai daerah di Indonesia ataupun luar Indonesia.

Diskusi dan nonton bareng tersebut digelar dengan judul Sangihe Melawan Premanisme Negara. Judul yang sama dengan materi diskusi Solomon B. Ponto, seorang Purnawirawan Tentara Nasional Indonesia Angakatan Laut (TNI AL), yang diakhir jabatannya menjabat Kepala Badan Intelejen Strategis (BAIS).
Solomon, yang juga menempuh pendidikan hukum ini, menjelaskan dalam diskusi dengan membongkar kejanggalan hukum positif (hukum yang berlaku) di Indonesia beserta putusan penegak hukum dan keputusan eksekutif.
Solomon dengan latar belakang militernya, menganalogikan Kuda Kayu dengan Kuda Troya yang diambil dalam kisah Perang Troya sebagai strategi untuk menembus tembok musuh berupa ‘hadiah’ patung kayu berbentuk kuda dari Yunani, akan tetapi Kuda Troya tersebut berisikan pemberontak untuk masuk ke dalam Kerajaan Troya tanpa perlu perang.
Kuda Kayu berwujud keputusan, putusan, izin, dan aturan hukum yang bodong –bersifat jelek- untuk melancarkan proyek mengeruk emas di Sangihe oleh PT TMS (Tambang Mas Sangihe), mulai dari tingkat kementerian hingga pejabat lokal setingkat provinsi.
Diakhir dia menyimpulkan, salah satu Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 163.K/MB.04/DJB/2021 tanggal 29 Januari 2021 tentang Persetujuan Peningkatan Tahap Kegiatan Operasi Produksi Kontrak Karya PT Tambang Mas Sangihe merupakan bentuk nyata dari Premanisme Negara, seperti judul materi awal.
Akan tetapi dari informasi terbaru dari narasumber warga diakhir diskusi, wujud premanisme lainnya hadir berbentuk tambang-tambang emas ilegal yang dilindungi aparat setempat.
Selain itu, menurut pimpinan PT TMS, Terry Filbert dalam wawancaranya dengan BBC, mengatakan ada tambang-tambang emas ilegal yang mendapatkan dokumen area emas berada di pinggir pantai. Tambang emas ilegal tersebut berusaha membayar pemberitaan negatif untuk menjadikan masalah PT TMS isu nasional, sehingga hanya mereka yang dapat menikmati.
***
Yang menjadi perhatian lebih adalah bagaimana orang-orang Sangir, yang terletak dihalaman terluar Indonesia ini, memilih untuk tetap percaya terhadap negara –walaupun dikhiniati oleh Kuda Kayu berbentuk PT TMS- dengan menempuh jalur hukum di PTUN (Peradilan Tata Usaha Negara) berupa gugatan Keputusan ESDM dan Izin AMDAL (Analisis Dampak Lingkungan), serta masih mau dan bersusah payah untuk dialog dengan pelbagai kementerian mulai dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), dan tentu Kementerian ESDM.
Semua langkah yang manusiawi masih dilakukan, “walaupun cukup kesal dengan perlakuan di lapangan yang terus mengirimkan tronton –truk besar- berisikan alat berat melalui kapal-kapal yang seharusnya tidak diperbolehkan semenjak Putusan PTUN Manado terbit,” ujar Jan Takasihaeng.
Dan mungkin, “Yang terburuk adalah disintegrasi” adalah kata yang terucap oleh salah satu narasumber. “Kita lebih sering menikmati produk Filipina di sana, ketimbang dari Indonesia.” Cukup tegas untuk sebuah gambaran sederhana masyarakat di Sangihe.
“Yang terburuk adalah disintegrasi.”
Narasumber Diskusi
Jika dilihat penduduk Sangihe yang berhadapan konflik cukup dekat atau solid, karena memang isolasi alam dan keturunan yang sama (Suku Sangir), tidak seperti konflik Sumber Daya Alam di Jawa, Bali, dan Kalimantan, yang notabene banyak penduduk pendatang, dan potensi terpecahnya masyarakat akan sangat memungkinkan.
“Semua di sini menolak, dari gereja, hingga perguruan tinggi satu-satunya,” ujar Venetzia Andermora, Tokoh Perempuan Sangir, yang juga salah satu satu dari 56 perempuan yang menggugat terbitnya izin Amdal oleh Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Sulawesi Utara ke PTUN Manado, yang secara sederhana. Dengan semangat sederhana, ibu-ibu ini khawatir akan keberlanjutan hidup keluarga dan anak-anaknya jika alam rusak.
Keberlanjutan hidup masyarakat Sangihe ditopang dari laut, jika tinggal di pesisir dan berkebun, jika tinggal di dataran yang tinggi. Kehadiran kerukan tambang Emas di gunung-gunung Sangihe akan menimbulkan longsor karena vegetasi yang bolong.
Longsoran tersebut, jatuh ke laut –karena pulau tersebut berbatasan langsung antara laut dan dataran tinggi- menyebabkan karang-karang beserta ekosistem hutan mangrove juga akan rusak, sebabnya ikan jauh pindah ke tengah laut. Sumber penghasilan laut dan daratan tinggi sudah hilang sekaligus karena tambang emas.
Inilah yang disebut Solomon dan juga Rivan dari Kontras disebut dengan Eco-Genoside atau Genosida Lingkungan. Genosida sendiri istilah yang digunakan untuk menghapus suatu manusia secara masif berdasarkan suku, golongan, agama, ras, dan kelompok.
Upaya menghancurkan lingkungan di Pulau Sangihe adalah upaya menghancurkan sumber mata pencaharian dan juga tempat tinggal orang-orang Sangir. Disisi lain juga terancamnya flora dan fauna yang tinggal di dalamnya atau endemik.
Singkatnya, “Orang sebodoh apa yang mau menambang (menghancurkan) Pulau seindah ini (Pulau Sangihe).” Kata Afdillah dari Greenpeace. Kementerian yang berkantor di dekat persimpangan setelah Monumen Nasional menuju Bundaran Hotel Indonesia, Jawabnya –selaku yang mengeluarkan izin- dan PT TMS tentunya.
Orang bodoh menurut Afdillah itulah yang akan “Go To Hell” (Menuju Neraka) menurut perkataan Venetzia Andermora dalam film Sangihe Melawan.
Film Sangihe Melawan setidaknya berhasil menyampaikan pesan kampanye sosial terhadap kondisi di lapangan, yaitu penyelamatan Pulau Sangihe.
Pesan dalam film dokumenter tersebut, menurut Desak Putu, dkk. (2019) dalam penelitiannya tentang film dokumenter, ialah harus memiliki unsur visual (bisa dilihat) dan verbal (bisa didengar) yang menarik dan memiliki unsur observasi partisan yaitu membawa penonton merasakan situasi yang sama dengan yang ada di film.



Diterbitkan: Selasa, 12 Juli 2022 Pukul: 9.24 WIB Jurnalis: Adi Fauzanto
Daftar Bacaan: • WatchDoc. 2022. Sangihe Melawan. Film Dokumenter Demi 1% • Raja Eben Lumbanrau. 2021. Wawancara Pemilik PT TMS, Mulai dari Burung Endemik Terancam Punah, Kerusakan Lingkungan, hingga Kematian Helmud Hontong. BBC Indonesia • Desak Putu Yogi dan Payuyasa. 2019. Pemanfaatan Film Dokumenter The Cove Sebagai Media Kampanye Penyelamatan Lumba. Jurnal Gorga: Seni Rupa Vol. 8 No. 2

