Jakarta, Kebijakan.co.id — Pandemi Covid-19 sudah berjalan 2 tahun lebih, setelah secara resmi diumumkan WHO (World Health Organization) pada 11 Maret 2020. Segala sektor terdampak, berusaha bangkit, khususnya ekonomi masyarakat. Negara hadir dengan berbagai kebijakan, utamanya berkaitan dengan ekonomi, dengan cakupan para pelaksana ekonomi, mulai dari swasta atau korporasi hingga UMKM (Usaha Mikro Kecil Menengah).
Untuk mengatasi krisis ekonomi, Program Pemulihan Ekonomi (PEN) dirancang dan dijalankan oleh para pemangku kepentingan. Mulai dari Presiden hingga Dinas-Dinas di daerah hingga kepada pemerintahan desa. Dirasakan oleh berbagai pihak, khususnya masyarakat dan sektor UMKM.
Tidak terkecuali, kebijakan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia, sebagai bank sentral yang bertanggungjawab secara luas kepentingan keuangan Negara.
Baik itu stabilitas nilai rupiah, stabilitas sistem keuangan, stabilitas serta pertumbuhan ekonomi secara makro (luas), meningkatkan akses ke dalam pasar keuangan, mengembangkan ekonomi keuangan syariah, hingga yang terbarukan turut andil dalam mengembangkan ekonomi keuangan digital atau pembayaran non-fisik.
“Dan tentu mengatasi dampak negatif dari Covid-19,” papar Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo (63) dalam video yang diunggah Bank Indonesia.
Stabilitas menjadi kunci dalam krisis ekonomi. Kebijakan yang inklusif –yang menyentuh berbagai pihak khususnya ekonomi skala kecil- menjadi pegangan untuk membantu pulihnya ekonomi masyarakat.
Pandemi Covid-19 sudah berjalan 2 tahun lebih, setelah secara resmi diumumkan WHO (World Health Organization) pada 11 Maret 2020. Segala sektor terdampak, berusaha bangkit, khususnya ekonomi masyarakat. Negara hadir dengan berbagai kebijakan, utamanya berkaitan dengan ekonomi, dengan cakupan para pelaksana ekonomi, mulai dari swasta atau korporasi hingga UMKM (Usaha Mikro Kecil Menengah).
Untuk mengatasi krisis ekonomi, Program Pemulihan Ekonomi (PEN) dirancang dan dijalankan oleh para pemangku kepentingan. Mulai dari Presiden hingga Dinas-Dinas di daerah hingga kepada Pemerintahan Desa. Dirasakan oleh berbagai pihak, khususnya masyarakat dan sektor UMKM.
Tidak terkecuali, kebijakan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia, sebagai bank sentral yang bertanggungjawab secara luas kepentingan keuangan Negara.
Baik itu stabilitas nilai rupiah, stabilitas sistem keuangan, stabilitas serta pertumbuhan ekonomi secara makro (luas), meningkatkan akses ke dalam pasar keuangan, mengembangkan ekonomi keuangan syariah, hingga yang terbarukan turut andil dalam mengembangkan ekonomi keuangan digital atau pembayaran non-fisik.
“Dan tentu mengatasi dampak negatif dari Covid-19,” papar Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo (63) dalam video yang diunggah Bank Indonesia.
Stabilitas menjadi kunci dalam krisis ekonomi. Kebijakan yang inklusif –yang menyentuh berbagai pihak khususnya ekonomi skala kecil- menjadi pegangan untuk membantu pulihnya ekonomi masyarakat.
***
Jakarta, Kebijakan.co.id — Kisah dimulai dari Penyintas Covid-19 –orang yang mampu bertahan hidup melawan Covid-19- pertama dan kedua, Sita Tyasutami (32) dan Maria Darmaningsih (65). Kedua merupakan ibu dan anak, yang tertular dari Warga Negara Asing (WNA) asal Jepang –dari Malaysia- setelah melakukan kontak di sebuah restaurant.
“Waktu awal sakit saya mikirnya flu biasa, tapi emang agak parah gejalanya, memang lama sekali,” Tutur Sita dalam Konfrensi Pers KPCPEN (Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional) (2/3/2021). Secara resmi, keduanya dinyatakan positif Covid-19 pada 1 Maret 2020 di RSPI (Rumah Sakit Penyakit Infeksi) Dr. Sulianti Saroso.
Satu bulan setelah pasien pertama diumumkan, tepatnya 12 April 2020, pemerintah secara resmi mengumumkan Covid-19 sebagai bencana nasional. Yang dikeluarkan oleh Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Non-alam Penyebabaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) sebagai Bencana Nasional.
Tak ayal untuk penanganan pandemi untuk pertama kalinya berhadapan dengan kondisi cukup parah. Alhasil di awal kebijakan publik yang dikeluarkan pemerintah berganti-ganti, tidak jarang saling bertabrakan karena kurangnya koordinasi. Mulai dari kebijakan mudik, lockdown –pembatasan total kegiatan- di daerah, pembelian alat test, hingga operasional ojek online.
Ditambah celotehan pejabat publik yang berpotensi membingungkan masyarakat, baik di media sosial ataupun saat di depan publik.
Satu di antaranya celotehan Mahfud MD (65) pada 15 Februari 2020 di Twitter, “Alhamdullilah 243 WNI yang pulang dr Wuhan dan diobservasi 14 hr di Natuna dinyatakan brsh dr Corona. Dlm kelakarnya, Menko Perekonomian Airlangga bilang “Krn perizinan di Indonesia ber-belit2 maka virus corona tak bs masuk, Tp omnibus law ttg perizinan lapangan kerja jalan trs.” *gambar emoticon tertawa*”
Twitter.com
Selain itu pemerintah mengeluarkan Perppu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang) No. 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 -lalu ditetapkan menjadi UU (Undang-Undang) No. 2 Tahun 2020 oleh DPR (Dewan Perwakilan Rakyat)- yang ditunjukan melindungi ekonomi nasional.
Dalam hal ini, terdapat perubahan pada Pasal 27 Ayat (1) dan (3) yang didasarkan atas Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 37/PUU-XVIII/2020.
Begini perubahannya untuk Ayat (1), “….. bukan merupakan kerugian negara.”Menjadi, “…bukan merupakan kerugian negara sepanjang dilakukan dengan iktikad baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.” Perubahan tersebut di dasarkan karena bertentangan dengan UU Tindak Pidana Korupsi.
Sedangkan perubahan untuk Ayat (3), “Segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara (PTUN).” Menjadi, “..bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara…dilakukan dengan iktikad baik dan sesuai peraturan perundang-undangan.”
Meski tidak bertentangan dengan Pasal 49 UU No. 5 Tahun 1986 Tentang PTUN. Menurut MK, Pasal tersebut tidak hanya pandemi Covid-19 atau keadaan bencana non-alam, akan tetapi terdapat potensi membahayakan ekonomi nasional, maka perlu ada pengawasan.
PTUN sendiri memiliki kewenangan untuk memutus sengketa yang melibatkan individu atau badan hukum perdata dengan pejabat atau badan pemerintah yang berwenang mengeluarkan Keputusan TUN –keputusan tertulis berkaibat hukum yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat yang berwenang bersifat konkrit dan invidiual.
Selain itu di satu sisi, UU No. 2 Tahun 2020 dikritik oleh Pusat Studi Hukum Tata Negara (PSHTN) Universitas Indonesia, karena UU yang dikeluarkan tidak menggambarkan aspek kesehatan publik untuk penangangan Covid-19.
Akan tetapi di sisi lainnya, dipuji karena mempersiapkan kebijakan penanganan krisis ekonomi di awal pandemi, seperti yang diungkapkan Sri Mulyani (60) dalam wawancara dengan Kompas TV (10/6/2022).
***
Sri Mulyani
Sri Mulyani, salah satu ekonom –sebutan untuk ahli ekonomi- yang menghadapi krisis ekonomi 1998, 2007, hingga 2020. “Saya juga melihat bagaimana Indonesia menangani krisis ekonomi yang sangat parah tahun 1997 – 1998,” ujar Sri Mulyani yang kala itu menjabat Wakil Kepala Bidang Penelitian LPEM UI (Lembaga Penelitian Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia) dalam Buku Sri Mulyani Indrawati, Putri Indonesia yang Mendunia (2019).
“Saat itu tidak banyak masyarakat bahkan akdemisi yang memahami krisis 1998, di saat itulah dibutuhkan ekonom yang mampu memaparkan krisis tersebut dengan bahasa yang ringan dan mudah ditangkap,” tambahnya dalam artikel Bisnis.com berjudul Sri Mulyani: Karir Saya Dibentuk oleh Krisis 97-98.
Krisis 1998
Penjarahan saat Reformasi 1998 di Indonesia (Choo Youn-Kong/AFP Photo)
Untuk diketahui, krisis moneter –keuangan- tahun 1998 bermula dari jatuhnya mata uang Baht di Thailand pada Juni 1997, lalu merambat menuju negara asia lainnya, seperti Korea Selatan, Malaysia, Filipina, tak terkecuali Indonesia.
Jatuhnya mata uang Baht, bermula ketidakmampuan swasta-swasta di Thailand gagal membayar utang jangka pendek ke Bank Jepang yang jatuh tempo pada akhir tahun 1996 –ditambah munculnya permasalahan ekonomi di Jepang sendiri.
Akibat gagal membayar utang yang jatuh tempo, harga saham perusahaan-perusahaan swasta tersebut jatuh, berdampak juga kepada turunya pasar modal –pasar yang menjual instrumen keuangan seperti kepemilikan perusahaan atau saham- Thailand.
Lalu mata uang Baht terkerek naik (dibaca: melemah) di Juni 1997 dengan harga 26 Bath per Dollar Amerika, diperparah dengan spekulan –pihak yang mencari keuntungan dari spekulasi dalam hal ini dalam pasar uang- yang mencoba menjual Baht dengan tujuan untuk menurunkan mata uang tersebut, dan itu berhasil.
Pemerintah Thailand melihat uang Baht yang ke luar, mencoba mengintervensi dengan membeli mata uang Baht, menghabiskan cadangan devisa –aset negara dalam bentuk mata uang asing- di sisi lain dibantu oleh IMF (International Monetary Fund) dengan menyediakan dana pinjaman dengan syarat, pada Agustus 1997. Akan tetapi hal itu gagal, dari situlah terjadi gelembung, mengerek mata uang Baht menjadi 54 Baht per Dollar Amerika.
Sedangkan di Indonesia, di awal tahun 1997 mata uang Rupiah masih stabil di harga 2000-2300 per Dollar Amerika. Lalu terkerek naik di angka 10.000 per Dollar Amerika dalam waktu satu tahun.
Pelemahan rupiah bermula dari para investor yang menarik dana –capital flight– nya dari pasar modal Indonesia. Ditambah, kondisi pemerintah dan swasta-swasta memiliki utang berjangka pendek dalam valuta asing atau valas –mata uang yang sah untuk perdagangan internasional- cukup banyak senilai 75 Miliar Dollar Amerika -sumber lain menyebutkan 20,8 Milliar dan 33 Milliar-, di satu sisi terkereknya Rupiah sehingga menyebabkan utang merangkak drastis.
Swasta-swasta pun mencari Dollar –tentu menjual Rupiah cukup besar- untuk menyiapkan pembayaran utang, di satu sisi permintaan akan Dollar tinggi, sedangkan ketersediaan Dollar menipis. Pasar uang dan pasar modal (Bursa Efek Jakarta) di Indonesia pun menyentuh titik terendah.
Pemerintah pun berusaha dengan menaikkan suku bunga SBI (Sertifikat Bank Indonesia) dari 11 persen menjadi 30 persen, untuk mencegah Rupiah ke luar dari Indonesia. Di sisi lainnya, mengatur ulang APBN dan menunda proyek besar. Akan tetapi tetap, aliran modal semakin deras ke luar dari Indonesia. Sedangkan cadangan devisa terus tergerus untuk mempertahankan dengan membeli Rupiah.
Pemerintah meminta pertolongan bantuan IMF. Di sisi lainnya IMF menyetujui bantuan tersebut dengan syarat tertentu atau Standby Loan. Total pinjamannya ialah 43 Miliar Dollar Amerika, 12.3 Milliar dari IMF, sisanya 30.7 Milliar berasal dari Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia, dan Negara tetangga lainnya Jepang dan Singapura.
Di antara syaratnya ialah. Pada ketentuan (term) pertama mencairkan 3 Milliar Dollar Amerika, dengan syarat menutup 16 bank bermasalah, karena buruknya tata kelola dan pencegahan krisis keuangan Bank –pasca krisis 1998 kepercayaan terhadap Bank di Indonesia direspon dengan menolak Letter of Credit atau surat jaminan pembayaran untuk kegiatan ekspor impor dari Bank Asing.
Akibatnya pengambilan dana dari bank-bank oleh nasabah karena ketidakpercayaan terhadap Bank, selain itu juga belum ada jaminan simpanan. Setelah itu, rupiah kian memburuk, ditambah pasar -pelaku ekonomi- merespon negatif APBN yang direncanakan Pemerintah di awal Tahun 1998. Alhasil rupiah terkerek tajam menjadi 13.600-17.000 per Dollar Amerika.
Tidak lama setelah ketentuan (term) ketiga pada 8 April 1998 dijalankan antara IMF dan Pemerintah. Indonesia mengalami konflik sosial-politik pada Mei 1998, akibat banyak faktor. Pertama, ialah turunnya ketidakpercayaan masyarakat. Kedua, pemerintahan yang bersifat otoriter –tidak demokratis- dengan pendekatan militeristik. Ketiga, banyaknya dugaan korupsi dalam lingkaran pemerintahan. Sehingga Presiden Soeharto jatuh dari kursi Presiden.
Dari krisis ini, reformasi ekonomi yang dirasakan ialah. Pertama, APBN lebih transparan dan proses perumusan melibatkan legislatif yaitu DPR (Dewan Perwakilan Rakyat), masukan DPD (Dewan Perwakilan Daerah), dan pelibatan lembaga negara indepnden yaitu Badan Pemeriksa Keungan (BPK) dalam pemeriksaan laporan pertanggungjawaban.
Kedua, lahirnya Badan Pemeriksa Keuangan –sebuah lembaga independen negara yang bertanggung jawab untuk memeriksa pengelolaan keuangan negara. Ketiga, lahirnya Lembaga Penjamin Simpanan, sebagai bentuk wujud kepastian atas perlindungan nasabah.
Krisis 2007
Kesedihan saat Anjlok nya Saham Wall Street (Wall Street Journal/Getty Images)
Kisah selanjutnya, krisis tahun 2007-2008. Sri Mulyani selaku menteri keuangan kala itu, punya kisah tersendiri, “Hari-hari menghadapi krisis ekonomi dunia tersebut menjadi kawah ujian yang lengkap dan bagi saya. Karena, pada saat itu merupakan puncak guncangan krisis ekonomi dunia yang menyebabkan suasana ekonomi Indonesia juga terguncang. Harga saham dan mata uang Rupiah merosot tajam menjadi pemicu munculnya kepanikan pelaku ekonomi. Saat itu pula, kesehatan ibu saya merosot tajam, akhirnya meninggal dunia.”
Sri Mulyani sadar bahwa posisinya sebagai menteri keuangan menjadi tumpuan dan harapan di setiap langkah yang dikeluarkan dalam krisis tersebut, nasib ekonomi Indonesia ada di tanganya. Segala bentuk pemantauan dan kebijakan, seperti kurs –nilai tukar mata uang antar negara-,suku bunga, cadangan devisa, likuiditas, rush –menarik uang secara besar-besaran dalam lembaga keuangan-, neraca perdagangan, stimulus –bantuan dalam lingkup ekonomi-, dan kebijakan ekonomi lainnya harus dirumuskan secara matang dan tepat, agar tidak salah.
Krisis 2007-2008 tersebut ialah krisis yang terjadi di Amerika yang berdampak keseluruh dunia, salah satu faktornya adalah kebangkrutan perusahaan bank swasta tertua di Amerika yaitu Lehman Brother Holding Incorporation dan masalah keuangan di lembaga lainnya seperti perusahaan asuransi AIG (American International Group), Goldman Sachs, dan lembaga bank investasi lainnya.
Penyebab nya bermula dari dua faktor yang salih mempengaruhi.
Pertama, dari naik nya harga minyak dunia di tahun 2003, 2005, hingga 2007 –yang langka dan permintaan naik-, disebabkan oleh laju pertumbuhan negara-negara setelah krisis tahun 1998 sehingga konsumsi minyak bumi ikut naik, konsekuensinya angka inflasi tinggi –kenaikan harga secara terus menerus, disebabkan kelangkaan, biaya produksi tinggi, peredaran uang berlebih menyebabkan turunnya nilai mata uang tersebut.
Kenaikan harga minyak bumi ini berdampak kepada komoditas harga barang lainnya juga terkerek naik. Krisis keuangan pun muncul.
Kedua, bermula dari tahun 1990-an hingga 2000-an awal. Amerika menjadi tempat berlabuhnya dana investasi asing. Iklim bisnis begitu menjajikan. Menyebabkan likuiditas bank –ketersediaan dana Bank untuk pinjaman dan pemenuhan atas penarikan dana- meningkat dan berlanjut menurunnya suku bunga –suku bunga meminjam juga menyimpan.
Menyebabkan perusahaan mencari model bisnis atau bank berusaha menjual aset yang dapat mengembalikan keuntungan yang tinggi. Termasuk aset beresiko tinggi ditambah produk keuangan yang diciptakan dan dijual belikan dalam kemasan derivatif –perjanjian atau kontrak yang memiliki nilai dari kinerja aset.
Aset beresiko tinggi tersebut merupakan kredit rumah kelas dua (subprime mortage) untuk nasabah yang memiliki profil resiko tinggi, seperti penghasilan tidak tetap dan faktor resiko lainnya. Aset beresiko tersebut dijadikan jaminan nyata (underlying asset) untuk produk-produk derivatif yang dijual belikan nantinya. Adanya produk derivatif tersebut untuk mengalihkan resiko dari Kredit Rumah yang bersifat jangka panjang.
Sebelum adanya produk derivatif dari kredit rumah kelas dua, perbankan sangat berhati-hati untuk menyalurkan pinjamannya pada kredit rumah kelas dua, karena bersifat pinjaman jangka panjang dan beresiko untuk macet.
Dari adanya produk derivatif atas kredit rumah kelas kedua, munculah produk keuangan perbankan lainnya, mortage-backed securities (MBS) –efek yang dibuat oleh pemberi kredit rumah dengan mengsekuritasi atau menginstrumenkannya menjadi produk keuangan atas aset piutang kredit rumah untuk dijual kepada investor- atau bentuk serupa lainnya seperti collateralized mortage obligation (CMO) atau collateralized debt obligation (DBO).
Produk derivatif, seperti MBS, CMO, dan CDO dijual kepada investor oleh Bank Investasi yang membeli secara besar-besaran produk derivatif dari Bank pemberi pinjaman kredit rumah tersebut.
Untuk membuat menarik MBS, CMO, dan CDO untuk dijual tinggi kepada investor, yaitu dengan menyewa dan membayar perusahaan pemeringkat untuk penilaian tertinggi. Dengan penilaian yang tinggi, para investor, seperti bank, dana pensiun, perusahaan asuransi, aset manajemen membeli produk deviratif tersebut untuk portofolio mereka.
Hingga tahun 2004, ketika suku bunga The Fed –bank sentral Amerika layaknya BI- 1 persen dan suku bunga kredit rumah diangka 2 persen, semua terlihat normal oleh para pihak, seperti penerima kredit rumah, pengembang properti, bank pemberi kredit, investor pembeli produk derivatif, bank investasi penjual produk derivatif, hingga perusahaan asuransi.
Keadaan berubah ketika dimulai dari pertengahan tahun 2004, di mana The Fed mulai menaikkan suku bunga hingga puncaknya pada tahun 2007, dengan bunga di angka 5,25 persen.
Para peminjam untuk Kredit rumah kelas dua pun, gagal bayar. Menyebabkan efek domino lembaga keuangan –baik bank atau bukan bank. Sehingga produk derivatif jatuh. Bank pemegang derivatif mengalami kesulitan likuiditas –pemenuhan kewajiban atas produk derivatif yang diterbitkan kepada investor- dan portofolio –kumpulan saham- lembaga pemegang produk derivatif lainnya juga terdampak kerugian besar. Sehingga untuk menjalankan atau mengembangkan bisnis bagi para investornya cukup sulit. Dan berdampak pada ekonomi makro.
Dengan globalisasi sistem ekonomi, dengan pembeli produk derivatif tersebut merupakan perusahaan atau lembaga dari berbagai negara, berdampak juga pada bursa saham di negara lainnya, tak terkecuali di Indonesia, ke luarnya modal asing dari Bursa Efek Indonesia khususnya saham-saham perusahaan besar, menyebabkan guncangan ekonomi.
Ke luarnya para penyimpan dana di Bank (deposan atau orang-orang yang memiliki deposito) karena tidak diberlakukan penjaminan dana nasabah secara penuh oleh Lembaga Penjamin Simpanan di bank-bank swasta –hanya maksimal 2 miliar. Sehingga pemegang dana-dana jumbo –di atas 2 miliar- kabur ke negara dengan penjaminan dana penuh.
Akan tetapi guncangan ekonomi terasa dalam sektor-sektor komoditas permintaan internasional dan perusahaan-perusahaan besar. Sedangkan ekonomi ritel masyarakat di daerah-daerah, khususnya UMKM, tidak begitu berdampak.
Terlebih, terlihat lebih berpengalaman dari krisis sebelumnya. Pemerintah mengeluarkan tiga Perppu ketika berhadapan dengan krisis 2007-2008. Pertama, Perppu No. 2 Tahun 2008 tentang Bank Indonesia yang ditetapkan 13 Oktober 2008.
Kedua, Perppu No. 3 Tahun 2008 tentang Lembaga Penjamin Simpanan yang ditetapkan 13 Oktober 2008 berisikan perluasan aset yang dijadikan agunan untuk pinjaman jangka pendek dari BI untuk memberikan bantuan dana kepada bank yang kesulitan likiuditas.
Terkahir yang tetiga, Perppu No. 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan yang ditetapkan 15 Oktober 2008 berisikan koordinasi antara lembaga negara yang mencegah dan menangani krisis.
Krisis 2007-2008 juga menghasilkan reformasi bagi dunia perbankan baik secara mikroprudensial dan makroprudensial. Salah satunya OJK (Otoritas Jasa Keuangan) yang khusus mengatur kesehatan keuangan dunia perbankan dan pasa modal –atau mikroprudensial- dipisah dengan cakupan kesehatan ekonomi lebih luas, seperti keuangan, sistem pembayaran, dan instrumen ekonomi lainnya oleh Bank Sentral atau BI –atau makroprudensial.
Krisis 2020
Ibu dan Anak ketika Covid-19 menyerang (EastAsiaForum.org)
Sedangkan krisis 2020, disebabkan pandemi, yang memaksa daerah untuk menutup akses baik barang atau orang untuk mencegah virus tersebut tersebar. Ada dua faktor krisis, antara kesehatan dan ekonomi.
Dari faktor ekonomi, pembatasan fisik, menghambat sektor ekonomi yang membutuhkan kontak fisik langsung. Misal pariwisata, transportasi, perdagangan kecil, pendidikan, hingga keuangan. Berhentinya rantai ekonomi di semua sektor –kecuali kesehatan dan digital- dari hulu-hilir karena turunnya permintaan akibat pembatasan, mengakibatkan ekonomi lesu.
Dengan melihat kemungkinan dampak yang terjadi, pemerintah khususnya dalam bidang ekonomi. Mampu mengatasinya dengan menerbitkan aturan-aturan, yang ditunjukan untuk bantuan atau pengalokasian ulang. UU No. 2 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 adalah salah satu produk aturan yang dikeluarkan dengan responsif –bahkan melebihi kebijakan kesehatan yang struktural.
Dalam Perppu tersebut, berisikan tambahan belanja dan pembiayaan dalam APBN 2020 sebesar 405,1 Triliun Rupiah. Tambahan tersebut, terdiri dari 75 Triliun untuk sektor kesehatan, 110 Triliun untuk jaring pengaman sosial, 70,1 Triliun untuk sektor industri, terakhir 150 Triliun untuk penanganan pembiayaan penjaminan serta restrukturisasi industri untuk mendukung Program Pemulihan Nasional.
Dalam sektor kesehatan ditunjukan untuk subsidi BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial); membayar tagihan rumah sakit; insentif –bantuan atau mengurangi sesuatu dengan tujuan meringankan- tenaga medis pusat dan daerah di 132 RS Rujukan; baik itu kepada dokter spesialis, dokter umum, perawat, dan tenaga kesehatan lainnya. Sisanya digunakan untuk dibelikan alat-alat medis, seperti APD; alat test; ventilator; termasuk membangun Rumah Sakit Khusus Karantina Covid-19.
Untuk jaring pengaman sosial, diberikan kepada program keluarga harapan; penerima bantuan sosial; program kartu pra-kerja terdiri dari program pelatihan dan uang saku; menggratiskan dan memberikan potongan pemakaian listrik; memberikan subsidi perumahan untuk masyarakat berpenghasilan rendah; sisanya sebesar 25 Triliun dicadangkan untuk operasi pasar untuk kebutuhan pokok mencegah kelangkaan.
Untuk stimulus sektor industri dengan memperluas sektor; penundaan pajaknya dan perluasan pembebasan bea masuk; penundaan pembayaran pokok dan bunga kredit usaha rakyat;
Total ketiga sektor kesehatan, jaring pengaman sosial dan industri membutuhkan 225,1 Triliun. Dengan cadangan 30 Triliun. Sisanya 150 T digunakan untuk program restrukturisasi –penjadwalan ulang kredit oleh debitur dan kreditur- ditunjukan untuk pemulihan ekonomi agar tidak ada kredit macet.
Konsekuensi dari penambahan biaya tersebut, penerimaan akan turun, baik dari pajak, bea cukai, migas, dan non-migas. Dan kemungkinan defisiti APBN diperkirakan mencapai 5,07 persen. Sehingga dalam Perppu tersebut, mengizinkan relaksasi –melonggarkan- APBN defisit di atas 3 persen, yang berlansung selama 3 tahun.
***
Kemungkinan tersebut, terjadi. Indonesia mengalami resesi. Tidak ada definisi yang resmi terkait resesi, akan tetapi dapat dilihat dengan keadaan di mana ekonomi lesu, mulai dari Pemutusan Hubungan Kerja, perlambatan pada sektor usaha, kredit usaha yang macet. Secara statistik angka, ditandai dengan penurunan -kontraksi- pertumbuhan ekonomi PDB (Produk Domestik Bruto atau nilai pasar semua barang dan jasa yang diproduksi suatu negara dalam periode tertentu) 2 quartal -6 bulan- berturut-turut.
Jika dilihat pertumbuhan ekonomi Triwulan 1 2020 –dibaca quartal 1 atau Q1 artinya 3 bulan pertama 2020- tumbuh 2,97 persen year on year –dibaca perbandingan tahun ke tahun antara Q1 2020 dengan Q1 2019 disebut juga pertumbuhan GDP dalam setahun. Melambat dibandingkan dengan Q1 2019 5,07 persen. Sedangkan Q1 2020 secara q to q –dibaca perbandingan Q1 2020 dengan Q4 2019- mengalami penurunan 2,41 persen.
Lanjut triwulan selanjutnya yaitu Q2, ketika Covid-19 sudah ditetapkan oleh pemerintah sebagai bencana nasional. Q2 2020 menurun 5,32 persen year on year, sedangkan secara q to q menurun 4,19 persen.
Triwulan selanjutnya Q3, secara statistik angka di Indonesia masuk ke dalam resesi ekonomi. Q3 2020 menurun 3,49 persen year on year, sedangkan secara q to q mengalami pertumbuhan 5,05 persen dibandingkan Q2 2020.
Triwulan selanjutnya Q4 menurun 2,19 persen year on year, sedangkan secara q to q menurun 0,42 persen dibandingkan Q3 2020. Jika melihat c to c –dibaca kumulatif dari dari periode 4 triwulan tahunan dibandingkan 4 triwulan tahunan sebelumnya- tahun 2020 menurun 2,07 persen dibanding tahun 2019.
Di tahun 2021, Q1 menurun 0,47 persen year on year. Sedangkan secara q to q, Q1 2021 mengalami penurunan 0,96 persen.
Sedangkan di triwulan kedua 2021, Indonesia secara statistik angka terbebas dari resesi ekonomi. Q2 mengalami pertumbuhan 7,07 persen year on year. Tingginya angka pertumbuhan tersebut, dikarenakan pembandingnya merupakan Q2 2020 yang mengalami penurunan 5,32 persen year on year. Sedangkan secara q to q juga mengalami pertumbuhan 3,31 persen.
Triwulan selanjutnya Q3 mengalami pertumbuhan 3,51 persen year on year. Untuk q to q juga tumbuh 1,55 persen.
Dan terakhir untuk Q4 tahun 2021, tumbuh 5,02 persen year on year. Sedangkan untuk q to q mengalami pertumbuhan 1,06 persen. Untuk kumulatif atau keseluruhan 4 triwulan mengalami pertumbuhan 3,69 persen c to c dibandingkan dengan tahun 2020.
Dari data tersebut, terlihat bagaimana Indonesia memasuki resesi atau lesu dalam produktifitas ekonomi, hingga ke luar dari jurang resesi untuk kembali tumbuh.
***
Akan tetapi, bila data dilihat lebih jelas atau detail, terdapat potensi kelemahan ekonomi di Indonesia.
Menurut Azhar Syahida, ekonom CORE (Center of Reform on Economics), misalnya merujuk pada data surplus perdagangan –yang berarti ekspor lebih tinggi ketimbang impor- hingga Q2 tahun 2021, yang menunjukan peningkatan surplus perdagangan yang signifikan, akan tetapi terdapat keropos dalam bidang industri dalam hal impor barang baku -selain bahan baku terdapat bahan mentah dan barang jadi.
Di balik surplus perdagangan yang signifikan yang menyebabkan pertumbuhan ekonomi secara statistik tersebut. Surplus yang terjadi bukan dikarenakan kinerja ekspor yang baik, tetapi impor yang memburuk, di antaranya impor bahan baku yang melambat, menyebabkan bahan baku industri yang kosong, dan industrialisasi yang keropos.
Kedepan, diperlukan perhatian pada bahan baku prioritas -diutamakan- yang diproduksi sendiri dari bahan mentah dalam negeri. Sehingga, tidak melulu bergantung kepada impor bahan baku untuk industri prioritas.
***
Namun, secara garis besar, dalam keadaan potensi krisis yang luar biasa, mendorong negara melakukan hal yang luar biasa pula untuk menyelamatkan ekonomi masyarakat. Untuk itu, perlu ada program pencegahan dan pemulihan ekonomi. Dengan diterbitkannya UU No. 2 Tahun 2020 sudah dirasa tepat untuk menanggulangi krisis ekonomi di tahun 2020.
Diterbitkan: 15 Mei 2022
Pukul: 13.38 WIB
Jurnalis: Adi Fauzanto
Daftar Bacaan:
• Fredy B. L. Tobing. 2013. Praktik Relasi Kekuasaan: Soeharto dan Krisis Ekonomi 1997-1998. Penerbit Gramedia: Jakarta
• Leightne J.E. 2007. Thailand Financial Crisis: Its Causes, Consequences, and Implications. Journal of Economic Issues Vol. 41 No. 1
• Mahdi Mahmudy. 1998. Setahun Krisis Asia: Beberapa Pelajaran yang Dapat Diambil dari Krisis Tersebut. Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan
• Imam Sugema. 2012. Krisis Keuangan Global 2008-2009 dan Implikasinya pada Perekonomian Indonesia. Jurnal Ilmu Pertanian Vol. 17 No. 3
• Budi Frendisy. 2022. Kilas Balik Krisis Finansial 2008. Koran Kontan, Rubrik Portofolio, 31 Januari
• Azhar Syahida. 2021. Industri yang Keropos. Opini Republika.co.id, 12 Juni
• Nurul Qomariyah. 2020. Krisis Finansial 2008, Bagaimana Indonesia Mengatasinya?. Serial Krisis Ekonomi Tirto.id, 18 November
• Nurul Qomariyah. 2020. Krisis Moneter 1997/1998 adalah Periode Terkelam Ekonomi Indonesia. Serial Krisis Ekonomi Tirto.id, 18 November
• Rilis Pers Kementerian Keuangan. 2020. Perppu No. 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Keuangan. 1 April