Film Dokumenter: Sejarah, Kegunaan, Jenis, dan Tahap Pembuatan


Kebijakan.co.idLiputan Mendalam

Adi Fauzanto-25 Aprl 2023 (18.00 WIB)-#13 Menit

Read in English Language Version

Mengenal film dokumenter mulai dari sejarah, kegunaannya, jenis, hingga tahap pembuatannya.

***

Jakarta, Kebijakan.co.id — Sentuhan kumpulan gambar yang apik, suara narasi yang baik, suara latar yang menarik, ditambah cerita yang utuh dan narasumber yang mempuni, adalah gambaran film dokumenter yang enak dilihat.

Untuk mempelejarinya tentu tidak semudah membalikkan tangan, ada begitu tahapan dan pembelajaran yang perlu dilakukan. Ada berbagai teknik, metode, dan sentuhan-sentuhan magis — mengarah kreativitas dan keindahan — untuk membuat sebuah film dokumenter.

Secara definisi, film dokumenter bisa dikatakan, “Mendokumentasikan cerita peristiwa yang pernah terjadi, baik yang sudah lampau atau sedang terjadi (faktual), melalui wawancara dengan pihak-pihak yang terlibat langsung, hingga gambaran kondisi yang terjadi melalui visual.”

Tulisan ini akan membahas segala hal yang berkaitan dengan film dokumenter, mulai dari awal hingga akhir. Akan tetapi penekanannya ada pada kekayaan cerita, kebagusan sinema, dan persona atau ciri khas narasumber

Mengumpulkan beberapa sumber informasi, mulai dari video yang terpeceraya, buku, jurnal penelitian, dan beberapa catatan-catatan lainnya yang tercecer. Tujuannya untuk memperkaya informasi untuk bahan belajar membuat film dokumenter.

Pembahasan film dokumenter di tulisan ini, mulai dari sejarah, kegunaan, tahap-tahap pembuatan, jenis-jenisnya, publikasi, promosi, pencarian dana, beberapa contoh film dokumenter yang menarik, hingga detail-detail lainnya yang membuat catatan ini semakin komprehensif.

Sejarah Film Dokumenter

Dalam perkembangan sejarah film dokumenter, menurut DocsOnline dalam lamannya menyatakan bahwa sejarah film dokumenter dimulai dari akhir 1990, tepatnya 1896 dengan judul film A Train Arrives at Ciotat Station karya Auguste Lumiere.

Film sederhana yang menampilkan sebuah kereta datang, yang dalam film seolah-seolah kereta tersebut datang dan menabrak penotnon, menciptakan efek psikologis nyata.

Namun, film tersebut masih belum dikatakan lengkap karena hanya memberikan gambaran satu peristiwa kedatangan kereta. Adalah lengkap karya yang dibuat oleh Robert Flaherty dengan judul Nanook of the North (1922), yang mengisahkan kehidupan suku pemburu di Eskimo.

Nanook Of The North Poster

Dikatakan lengkap karena dalam film tersebut mengandung unsur footage (gambar panjang), aktualitas, latar gambar pemandangan menjadi satu keutuhan dengan cerita menjadi sebuah film.

Setelah itu, perkembangan film dokumenter berkembang sesuai dengan zamannya, mulai dari kondisi perang dunia hingga kepada munculnya digitalisasi dengan penyedia video sesuai dengan keinginan (video on demand). Hal tersebut, membuat film dokumenter berkembangan sesuai dengan teknologi dan kebutuhan manusia.

Kegunaan Film Dokumenter

Menurut Eric Sasono, salah satu pengkaji Film Dokumenter di Indonesia, mengatakan dalam catatannya Ekonomi Kreatif dan Film Dokumenter (2016), “Film dokumenter punya peran dalam menciptakan ‘publicness’ atau membuat yang tersembunyi jadi bersifat terbuka.”

Terbuka di sini menurutnya, “dibicarakan sebagai bagian dari keterlibatan politik yang diharapkan bisa mempengaruhi kebijakan sosial, politik dan budaya, atau setidaknya mengubah kepedulian orang banyak terhadap suatu persoalan.”

Selain mengungkapkan hal yang tersembunyi, pada dasarnya menurut Eric Sasono, “Film dokumenter seperti halnya bidang seni dan kebudayaan lain, merupakan bagian dari upaya pembentukan opini, pertukaran gagasan dan eksplorasi estetika sendiri.”

Sedangkan menurut Anastasya Lavenia dalam esainya Dokumenter sebagai Medium Advokasi (2021), tidak hanya berhenti pada pembentukan opini dan esetika, lebih tegas Film Dokumenter juga bisa menjadi media perlawanan dan pembelaan atau advokasi.

“Pembuat dokumenter bisa memilih ‘kebenaran’ seperti apa yang ingin mereka hadirkan ke dalam filmnya. Meski tidak ujug-ujug mengubah dunia, pembuat dokumenter harus memiliki kesadaran bahwa karyanya memiliki kekuatan untuk membentuk persepsi audiens mengenai realita.”

Tegasnya, “upaya-upaya pengarusutamaan film dokumenter yang memantik percakapan dan mendorong perubahan harus selalu diupayakan.”

Sebab menurut Anastasya, mengutip dari Irwanto (2021), “Sejarah produksi dokumenter Indonesia dimonopoli pemerintah dari masa kolonial hingga orde baru dan baru menemukan kebebasan untuk berkembang setelah reformasi (Irawanto, 2012).”

Jelas sudah, dokumenter sejatinya menyampaikan yang ada dengan estetika (keindahan visual) tanpa dibuat-buat. Dalam menyampaikan yang ada tersebut tentu perlu kacamata, jika menggunakan kacamata masyarakat, sampaikanlah yang berkaitan dengan masyarakat dengan segala tetek-bengeknya sosial, politik, ekonomi, dan lainnya. Jika hanya menggunakan kacamata alam, tentu lihat semua yang ada berkaitan dengan alam, termasuk kerusakan yang ada.

Selain untuk media advokasi, lainnya Film Dokumenter juga dapat dijadikan media pembelajaran dan dokumentasi sejarah juga budaya.

Untuk media pembelajaran, menurut Riri Rikarno dalam jurnalnya berjudul Film Dokumenter Sebagai Sumber Belajar Siswa (2015) menyimpulkan bahwa siswa dapat belajar dari Film Dokumenter, yang menekankan pada manfaat kognitif (tentang nalar atas penjelasan di film dokumenter), manfaat psikomotorik (kemampuan bertindak atas pelajaran atau pengalaman tertentu atas yang terjadi di film dokumenter), dan manfaat afektif (yang berhubungan dengan perasaan dan emosi atas rasa atas seni yang terjadi di film).

Sedangkan untuk media dokumentasi sejarah juga budaya. Untuk sejarah, film dokumenter bisa saja menjadi bahan ilmu sejarah, asalkan tetap berdasarkan disiplin seperti fakta, cerita, dokumen, dan realita. Seperti kesimpulan yang dibuat oleh Aan Ratmanto dalam jurnalnya berjudul Beyond The Historiography: Film Dokumenter Sejarah Sebagai Alternatif Historiografi di Indonesia (2018), “Film, khususnya film dokumenter, dipandang sebagai media baru yang sesuai dengan karakteristik sejarah karena sama-sama menghadirkan realitas kehidupan nyata.”

Selain sejarah, film dokumenter juga bisa untuk budaya atau tradisi. Film Dokumenter bisa menjadi dokumentasi atas budaya untuk diwariskan kepada generasi penerus. Seperti kesimpulan menurut Citra Dewi Utami dalam jurnalnya berjudul Film Dokumenter Sebagai Media Pelestari Tradisi (2010), “Film dokumenter merupakan salah satu genre media audio visual yang digunakan untuk memediasi kembali pelestarian tradisi yang pada hakekatnya menjadi warisan besar.”

Pendidikan, sejarah, dan budaya sudah menjadi hal yang perlu dipertimbangkan dalam pembuatan film dokumenter, sebab ini menjadi dokumen penting yang menggambarkan keadaan yang nyata. Dokumen penting ini nantinya bisa dijadikan bahan pembelajaran dan juga warisan yang diturunkan. Oleh karenanya perlu untuk mempersiapkan dengan sungguh dalam pembuatan film dokumenter.

Tahap-Tahap Pembuatan Film Dokumenter

Dalam tahap pembuatan film dokumenter, menurut Wahyu Utami Wati dengan karya filmnya The Unseen World (2017) yang memenangi Festival Film Indonesia kategori Film Dokumenter pendek terbaik, memberikan 3 tahapan dalam pembuatan film dokumenter.

Pertama, tahap Pra-Produksi. Dalam tahap Pra-Produksi, diperlukan pengembangan terhadap 3 hal.

Hal yang pertama ialah pengembangan ide. Menurut Utami dalam penjelasannya, “Ide Pembuatan Cerita Dokumenter bukan dari hal yang imajinatif, tetapi dari fakta (realita)”, dari keadaan yang nyata tersebut, ide dikembangkan menjadi gagasan, gagasan tersebut menurut Utami, “kita perlu menguji gagasan tersebut dengan mengajukan beberapa pertanyaan.”

Pertanyaan pertama, apakah saya memiliki pengetahuan yang besar tentang gagasan tersebut?

Pertanyaan kedua, apakah saya memiliki ikatan emosional yang besar terhadap gagasan itu dibandingkan dengan hal lain?

Pertanyaan ketiga, apakah saya memiliki opini terhadap gagasan itu? mampukah saya berpihak? kepada siapa saya berpihak?

Pertanyaan keempat, apakah saya memiliki dorongan kuat untuk mempelajarinya?

Ide tersebut harus disesuaikan dengan ketiga hal ini. Pertama, Film dokumenter jenis apa yang akan dibuat. Kedua, bagaimana gambaran kemasan film dokumenternya. Ketiga, kepada siapa target penontonnya. Ketiga hal tersebut harus sinkron dengan ide yang akan dikembangkan.

Pengembangan yang kedua adalah melakukan riset awal. Menurut Wahyu Utami Wati, dalam melakukan riset ada beberapa pertanyaan yang perlu dijawab.

Pertanyaan pertama, seberapa besar pengetahuan kita terhadap persoalan-persoalan yang ingin dijadikan film?

Pertanyaan kedua, seberapa jauh pengetahuan kita terhadap tindakan-tindakan subjek dalam persoalan yang ingin diangkat?

Pertanyaan ketiga, apa hubungan subjek yang ingin diangkat dengan tokoh lain yang terlibat?

Pertanyaan keempat, bagaimana subjek yang ingin diangkat menghadapi persoalan tersebut? apa saja yang dia lakukan?

Selain itu, menurut Yuda Kurniawan yang memenangi Festival Film Indonesia tahun 2020 dalam kategori film dokumenter terbaik dengan karya Nyanyian Akar Rumput (2020).

Menurut Yuda dalam satu wawancarannya oleh Siasat Cinema, salah satu hal yang dipertanyakan sebelum membuat film ialah. Pertama, ketertarikan terhadap isu dan subjek. Kedua, Memiliki kegelisahan terhadap isu dan subjek.

Sedangkan menurut Search for Common Ground ada beberapa yang perlu dipersiapkan di awal ialah pesan utama apa yang ingin disampaikan.

Pengembangan yang ketiga ialah Pembuatan Langkah-Langkah (treatment). Di dalam pembuatan treatment susunan adegan yang akan divisualkan dilengkapi dengan alur cerita yang jelas. Seperti, penemapatan narasi, penempatan wawancara, unsur audio sudah ditempatkan dengan baik. Semua hal tersebut sudah harus disusun.

Kegunaan Treatment dipakai sutradara untuk acuan pengambilan gambar. Dalam tahap ini sutradara membuat shot list, daftar apa saja yang ingin diambil gambarnya secara rinci melalui dua pembagian video dan audio. Setelah itu, skenario (narasi) dibuat setelah pengambilan gambar dalam bentuk editing script (Video-Audio).

Tak kalah penting, ialah menyusun metode perekaman, baik itu merekam langsung atau rekonstruksi peristiwa. Selain itu dengan apa cara pengambilan gambar, apa dengan pengambilan gambar dekat, menengah, atau jauh.

Selain itu persiapan untuk wawancara, mulai dari cara pendekatan kepada subjek, hingga daftar pertanyaan, dan sekiranya apa saja kegiatan yang akan diikuti subjek tersebut.

Dan jika diperlukan ialah turun ke lapangan untuk melakukan survei, baik dari pengambilan gambar, lokasi wawancara, hingga hal-hal teknis lainnya selama produksi.

Hal teknis lainnya yang perlu dipersiapkan untuk menunjang treatment menurut Search for Common Ground ialah: pertama, tantangan apa yang sekiranya akan dihadapi selama proses produksi? siapkan plan A, plan B, plan C. Kedua, menulis pertimbangan teknis saat syuting, seperti akomodasi, administrasi, kendaraan, penginapan, perijinan, kondisi cuaca, dan lain-lain.

Kedua, Tahap Produksi (Proses pengambilan gambar). Dalam tahap produksi, ada dua tahap besar yang dilakukan yaitu wawancara dan pengambilan gambar sesuai daftar yang dipersiapkan atau shot list.

Hal pertama yang dilakukan ialah proses wawancara terhadap subjek. Proses wawancara tidak terbatas hanya tanya jawab, akan tetapi observasi kegiatan-kegiatan subjek dan keadaan kondisi di sekitar.

Selain itu, yang dipertimbangkan dalam pelaksanaan wawancara ialah lokasi atau setting tempat wawancara diambil menjadi penting untuk kita perhitungkan. Dengan mempertimbangkan kualitas cahaya dan tidak bising dengan suara-suara yang kemungkinan menggangu.

Hal Kedua yang dilakukan ialah juru kamera membuat dan melaksanakan shot list, dipersiapkan dan dilaksanakan detik per detik selama waktu yang ingin difilmkan sesuai dengan rencana yang telah ditulis. Dalam hal ini tidak hanya daftar gambar, juga daftar suara yang sekiranya bisa diambil.

Perlu diingat, pembuat film juga jangan terlalu terpaku dengan rencana, dia perlu mengambil kesempatan untuk mengambil gambar sesuai dengan ide yang sekiranya berguna. Hal tersebut untuk memperkaya film nantinya, dan jika bisa menjadi ide cerita tersendiri.

Dari sisi teknis, kamera yang perlu dipersiapkan setidaknya untuk mengambil gambar jarak dekat (close up) biasanya wawancara, medium shot (jarak menengah), dan jarak jauh (wide shot).

Ketiga, Pasca Produksi. Dalam tahap pasca produksi, agenda yang terlibat ialah tentu mengedit kumpulan video tersebut menjadi suatu film, menambahkan narasi cerita, hingga menyatukan suara, hingga menjadi satu kesatuan yang indah.

Hal pertama yang dilakukan adalah editing. Ialah tugas editor, mengedit video sesuai dengan editing script atau alur film sesuai dengan rencana di awal atau dengan kesepakatan pembuat film dilapangan yang mengetahui kondisi cerita subjek paling dekat.

Beberapa yang perlu dipertimbangkan. Ialah, menghitung detail durasi sesuai dengan target apakah film dokumenter panjang (1 jam lebih) atau pendek (30 menit kurang).

Hal kedua yang dilakukan ialah, pembuatan dan perekaman narasi oleh narator. Narasi dibuat setelah sekiranya sudah di tetapkan alur cerita yang disepakati, dari situlah narasi dibuat sesuai kebutuhan cerita. Hal lainnya yang dipersiapkan adalah juga memasukan riset dan grafis yang menunjang narasi sehingga mudah dicerna oleh penonton.

Hal ketiga yang perlu dilakukan ialah, menempatkan dan mengatur musik agar sesuai dengan visual. Hal tersebut dibutuhkan untuk membuat film menjadi lebih menarik selain dialog dari wawancara subjek atau narasi oleh narator. Kebutuhan musik juga harus disesuaikan dengan film dokumenter yang dibuat.

Hal lainnya ialah pembuatan kredit film di akhir, seperti pihak-pihak yang terlibat hingga keterangan-keterangan lainnya yang perlu dicantumkan.

Jenis-Jenis Film Dokumenter

Dari beberapa film dokumenter yang ada, beberapa pembagiannya jelas terlihat.

Pertama, film dokumenter investigatif. Jenis film dokumenter ini isi ceritanya mengungkapkan sesuatu yang tersenyembunyi dengan pendekatan latar gambar (kerusakan lingkungan, pembunuhan, dan lainnya) sebagai bukti akan adanya kecurangan.

Ditambah dengan karakter umumnya sebagai orang pertama atau orang ketiga serba tahu yang mencari bukti, baik itu gambar langsung, pengakuan, wawancara, dan lainnya yang mendapatkan gambar.

Umumnya kerja-kerja jurnalistik yang dilakukan oleh jurnalis, karena merupakan keahlian dalam mengungkapkan kejahatan, tetapi bukan tidak mungkin dikerjakan oleh selain jurnalis, khususnya orang yang ingin mengungkapkan sesuatu yang menurutnya penting.

Contoh dari film dokumenter investigatif ini seperti film Collective (2020) karya Alexander Nanau, yang berkisah tentang kondisi pelayanan kesehatan di Romania yang buruk, dibuktikan dengan korban kebakaran di Cafe Collevtive yang bukannya sembuh justru meninggal. Selain itu ada Citizenfour (2014) karya Laura Poitras, yang berkisah tentang penyadapan oleh pihak keamanan USA yang dibocorkan oleh satu orang yang mengaku Citizenfour kepada jurnalis The Guardian.

Kedua, Film Dokumenter Penjelasan (Expository). Film ini menjelaskan sesuatu cerita yang kompleks kedalam film, dengan sebuah cerita. Kelemahannya memang, tidak semua terungkap dan terjelaskan, akan tetapi mendapatkan gambaran secara utuh. Biasanya akan dibagi ke dalam beberapa bab untuk beberapa topik penjelasan.

Contoh dari film dokumenter penjelasan ini seperti Atas Nama Daun (2022)karya Mahatma Putra, yang menjelaskan sisi positif dari ganja, mulai dari membahas kesehatan, efeknya pada korban, legalisasi pengaturan, hingga lainnya.

Ketiga, Film Dokumenter Observasional (Direct Cinema). Film jenis ini menjelaskan satu peristiwa, atau satu kejadian, atau satu subjek secara detail dan mendalam, mulai dari kesehariannya, kegiatannya apa, dan apa saja yang dilakukan. Hal tersebut membuat film ini akan terasa membosankan, akan tetapi jika dibalut dengan tangkapan gambar sinematografi yang baik dan disusun atas alur penceritaan yang tersusun menjadi sangat menarik.

Contoh dari film dokumenter penjelasan ini All That Breathes (2022) yang akan dijelaskan lebih lanjut pada akhir tulisan ini, karena memang salah satu favorit.

Keempat, Film Dokumenter Sejarah atau Perjalanan. Film jenis ini menjelaskan rangkaian peristiwa yang panjang, dan memang tidak mudah, harus benar-benar dipersiapkan sejak dari awal untuk mendokumentasikannya.

Contoh dari film ini ialah Fire of Love (2022) yang mendokumentasikan perjalanan dua sejoli vulkanologi mengunjungi beberapa gunung berapi, dibuatkan film dokumenter dari file-file yang mereka rekam bertahun-bertahun jauh setelah dua sejoli ini meninggal. Penjelasan lanjutannya akan ada di bawah karena merupakan film dokumenter favorit.

Selain itu ada beberapa pendekatan menurut Wahyu Utami Wati, ada Issue Driven (pendekatan berdasarkan isu) dan Character Driven (pendekatan berdasarkan subjek tokoh).


Kebenaran membutuhkan wadah. Kejujuran membutuhkan suara. Kenyataan membutuhkan kamera. Film Dokumenter hadir untuk ketiganya.

Redaksi Kebijakan.co.id

Baca Serial Liputan Mendalam "Film Dokumenter: Cerita, Sinema, dan Persona" Lainnya:
•Film Dokumenter: Sejarah, Kegunaan, Jenis, dan Tahap PembuatanFilm Dokumenter: Publikasi, Promosi, dan PendanaanRekomendasi Film Dokumenter: Cerita, Sinema, dan Persona

Serial Liputan Mendalam ini dikerjakan independen oleh Kebijakan.co.id, untuk mendukung Liputan Mendalam ini tetap terus dikerjakan oleh Kebijakan.co.id, ayo dukung Kebijakan.co.id di sini.
Adi Fauzanto
Diterbitkan: Selasa, 25 April 2023
Pukul: 18.00 WIB
Jurnalis: Adi Fauzanto
Daftar Bacaan:
• Docs Online. History Of Documentary FilmEric Sasono. 2016. Ekonomi Kreatif dan Film Dokumenter. Medium.com, 2 MayAnastasya Lavenia. 2021. Dokumenter sebagai Medium Advokasi. Remotivi.or.id, 8 SeptemberRiki Rikarno. 2015. Film Dokumenter Sebagai Sumber Belajar Siswa. Jurnal Ekspresi Seni, Vol. 17 No. 1Aan Ratmanto. 2018. Beyond The Historiography: Film Dokumenter Sejarah Sebagai Alternatif Historiografi di Indonesia. Jurnal Sasdaya, Vol. 2 No. 2Citra Dewi Utami. 2010. Film Dokumenter Sebagai Media Pelestari Tradisi. Jurnal Acintya, Vol. 2 No. 1Film Musik Saya PMMB. 2018. Video Tutorial Film Dokumenter. Youtube.com, 25 DesemberSearch for Common Ground. 2013. 10 Langkah Membuat Film Dokumenter. Youtube.com, 1 AgustusStudio Antelope. 2019. Bikin Dokumenter Ala Yuda Kurniawan. Youtube.com, 7 Agustus
Liputan Mendalam

Mochtar Lubis, Sastrawan dan Jurnalis Harian Indonesia Raya


Kebijakan.co.idLiputan Mendalam

 Virta - 19 September 2022 (13.00 WIB)-#28 Paragraf
Mochtar Lubis, Sastrawan dan Jurnalis Harian Indonesia Raya

Jalan Hidup Mochtar Lubis

Depok, Kebijakan.co.id Mochtar Lubis lahir dari keluarga Batak Mandailing pada 7 Maret 1922 di Padang, Sumatera Barat. Ia lahir dari seorang ibu bernama Siti Madinah Nasution dan ayahnya Marah Husin Gelar Raja Pandapotan Lubis, yang pada saat itu menjadi Kepala Distrik Kerinci pada masa Pemerintahan Hindia Belanda.

Selama hidupnya ia banyak menghabiskan waktunya menjadi seorang sastrawan dengan menulis cerpen dan novel, pelukis, penerjemah, pematung, dan seorang jurnalis terkenal, sebelum akhirnya ia menghembuskan nafas terakhirnya pada 2 Juli 2004 di Jakarta.

Pendidikan formal Mochtar Lubis diawali dari sekolah dasarnya yang berbahasa Belanda HIS di Sungai Penuh. Kemudian, setelah itu ia melanjutkan pendidikannya di sekolah ekonomi partikelir di Kayutanam.

Perlu diketahui bahwa Mochtar Lubis dalam menempuh pendidikannya tidak dalam tingkatan HBS atau AMS.

Keluarga Mochtar Lubis adalah keluarga muslim yang merupakan anak keenam dari sepuluh saudara.

Ayah Mochtar Lubis selalu mengajarkan kepada anak-anaknya mengenai makna kehidupan hingga kedisiplinan dalam berkehidupan. Berbeda dengan Ayahnya, Ibunya selalu memberikan pengajaran mengenai bagaimana kita sebagai umat beragama harus menaati dan menghindari larangan-larangan dari Tuhan.

Salah satu orang yang menginspirasi tulisannya yaitu kisah Ayahnya. Hal ini berawal dari tuntutan pekerjaan yang dimiliki ayahnya pada saat itu sebagai kepala distrik.

Suatu hari, ia melihat Ayahnya yang sedang memberikan hukuman kepada salah seorang kuli kontrak yang mencoba untuk melarikan diri dari tanggung jawabnya. Dengan berat hati, ia melihat ayahnya yang memukuli kuli tersebut, padahal ia tahu bahwa ayahnya tidak mungkin melakukan hal tersebut kalau tidak karena tuntutan pekerjaan.

Peristiwa itu membuat Mochtar Lubis menuliskan semua hal ada di benaknya hingga menjadi sebuah cerita pendek berjudul Kuli Kontrak.

Mochtar Lubis
Mochtar Lubis membaca buku (Dokumen Harian Indonesia Raya

Perkenalan dengan Dunia Jurnalistik

Melihat anaknya yang senang menggeluti di bidang jurnalistik, ayahnya mengimbau Mochtar Lubis untuk tidak bekerja di pemerintahan Belanda, karena ia khawatir nantinya pekerjaan di pemerintah Belanda tidak sesuai bahkan bertentangan dengan minat nya.

Minat Mochtar Lubis dalam dunia jurnalistik mengantarkan ia menjadi seorang pemimpin redaksi mantan Harian Indonesia Raya. Tidak hanya itu, minatnya ini pernah membawa ia masuk ke jeruji besi akibat karya-karya nya yang dianggap membahayakan.

Namun, tidak hanya menjadi jurnalis, putra Pandapotan Lubis itu juga pernah menjadi seorang pegawai Pangreh Praja atau binnenlands bestuur (BB) pada saat pemerintahan kolonial Hindia Belanda.

Kemudian, pada pertengahan tahun 1930-an ia berpindah menjadi Demang atau Kepala Daerah Kerinci dan guru di salah satu sekolah di Pulau Nias. Memang dirinya sudah diakui menjadi seorang otodidak tulen.

Dalam perjalanan karirnya, Mochtar Lubis pernah menjadi bagian dari anggota tim monitor radio Sekutu di luar negeri pada zaman Jepang. Di sana, ia bertugas untuk menuliskan segala berita yang ia dengar dalam laporan yang kemudian akan disalurkan kepada Gunseikanbu, yaitu kantor pemerintahan bala tentara Dai Nippon.

Untuk menjaga kerahasiaan dan keamanan berita, Mochtar Lubis dan tim tinggal di tempat yang terpisah dari kompleks perumahan di Jalan Timor, belakang hotel milik Jepang.

Dalam timnya, terdapat mantan pegawai Algemene Secretarie di Bogor, D. Janssen, mantan pemimpin redaksi Harian Bataviaasche Nieuwsblad, J.H Ritman, mantan wartawan Ceylon salah seorang yang melarikan diri dari Singapura, Thambu.

Sambil menekuni pekerjaannya sebagai tim monitor, pada akhir 1944 ia memutuskan untuk menikahi gadis Sunda bernama Halimah. Halimah bekerja di Sekretariat Redaksi Harian Asia Raja dan tutup usia tepat pada usia 77 tahun, 27 Agustus 2001.

Mochtar Lubis
Mochtar Lubis ketika Perang Korea (Doc. Keluarga Mochtar Lubis)

Mochtar Lubis dan Harian Indonesia Raya

Proklamasi kemerdekaan membawa kantor berita ANTARA yang didirikan oleh Adam Malik kembali lagi aktif dan membuat Mochtar Lubis ikut bergabung. Di ANTARA ia menjadi penghubung antara korespondensi asing yang berdatangan ke Jawa dengan para masyarakat guna untuk liputan mengenai Revolusi Indonesia.

Selain karena mahir dalam berbahasa Inggris, ia juga merupakan sosok yang memiliki tinggi 1.85 meter yang menjadi sosok familiar di antara riuhnya war correspondents lain.

Pada 27 Desember 1949, menjelang adanya penyerahan kedaulatan antara Belanda dan Republik Indonesia Raya (RIS), Mochtar Lubis dan Hasjim Mahdan berinisiatif untuk membuat media surat kabar.

Dari semangat itulah kemudian mereka mendirikan Harian Indonesia Raya yang Mochtar Kubis bertugas sebagai pimpinan redaksi.

Sebagai pemimpin redaksi, wartawan senior itu pergi ke Korea Selatan untuk meliput, karena tengah terjadi Perang Eropa di pertengahan tahun 1950. Sejak saat itu kemudian ia dikenal sebagai sosok koresponden perang, mengapa? karena pada saat itu, pertengahan dasawarsa 1950 saat demokrasi parlementer, Indonesia dihebohkan dengan istilah personal journalism.

Maka dari itu, Mochtar Lubis dikenal dan identik dengan Harian Indonesia Raya, Rosihan Anwar dikenal dalam Pedoman, S. Tasrif dikenal di Abadi, dan B.M Diah dikenal di Merdeka. Mochtar Lubis dikenal sebagai seorang wartawan yang berita nya sering menggemparkan masyarakat, salah satunya “affair.”

Affair yang disajikan beragam, seperti affair Hartini yang diketahui mengungkap hubungan yang dimiliki Presiden Fatmawati dengan Presiden Indonesia, Soekarno. Kemudian, affair pelecehan seksual yang terjadi oleh Nyonya Yanti Sulaiman, yang bosnya di Kebudayaan Kementerian P & K, Sudarsono, mencoba merayu dan melontarkan beberapa kata-kata yang berbau “seram.”

Affair itu semua berasal dari Harian Indonesia Raya, namun hal yang sama juga terjadi pada Pedoman yang sering membawakan berita-berita mengenai Don Juan Sudarsono.

Seperti yang kita ketahui, Mochtar Lubis tidak hanya dikenal sebagai seorang wartawan, namun ia juga sastrawan dengan tulisan-tulisannya. Menariknya ia juga pandai melukis, membuat keramik, dan patung.

Karya-karya nya bisa kita nikmati seperti novel Senja di Jakarta, Berkelana Dalam Rimba, Harimau, Harimau!, dan Jalan Tak Ada Ujung. Dari sini, ia mendapatkan penghargaan Magsaysay Award untuk kesusastraan dan jurnalistik pada tahun 1953.

Dalam Harian Indonesia Raya, Lubis mencanangkan “perang salib” terhadap korupsi yang terjadi di Pertamina. Ia menyoroti sosok Letnan Jenderal Ibnu Soetomo yang pada saat itu sebagai bos dari Pertamina.

Namun, kenyataan berkata lain, semua usaha Mochtar Lubis sia-sia begitu saja. Hasil dari kasus yang terjadi pada Pertamina yaitu Letnan Jenderal Ibnu Soetomo yang kemudian mundur dari Direktur Utama Pertamina, namun seluruh harta nya tidak dijamah secara lebih dalam.

Mochtar Lubis memiliki banyak prestasi di dalam pentas jurnalistiknya, baik dari sisi sosial politik, pencemaran lingkungan, hak asasi manusia (HAM), dan usaha-usaha untuk memperjuangkan suatu keadilan dan kebenaran.

Farahdila Virta Fauziah
Diterbitkan: Senin, 19 September 2022
Pukul: 13.00 WIB
Jurnalis: Farahdila Virta Fauziah
Editor: Adi Fauzanto
Daftar Bacaan:  
• Ensiklopedia Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Liputan Mendalam