Icuk (PSI Kota Depok): “Semakin Kita Mengkotak-Kotakan, Mengclusterkan Perumahan Syariah dan Akhirnya Nggak Ketemu tuh Irisan-Irisan (Masyrakat).”

Kebijakan.co.idWawancara Mendalam

Adi Fauzanto-16 Nov 2022 (18.00 WIB)-#45 Paragraf
Perumahan Syariah di Kota Depok

Fenomena perumahan syariah meruak ke pasar baru-baru ini. Terhitung semenjak kebangkitan ‘Islam Politik’ dan menjalar ke berbagai aspek, mini market syariah, hingga perumahan syariah.

Fenomena ini, ditangkap baik oleh pengusaha yang berhasil melihat pasar masyarakat islam yang gandrung akan merek syariah.

Beberapa menunjukan dampak pendek yang buruk, ketidaktepatan atau terjerat penipuan hanya karena ingin mendapatkan rumah bermerek syariah.

Dampak panjang, pengelompokan ini berpotensi menciptakan segregasi, terlebih jika ada situasi yang dapat memicunya, misal politik identititas. 

Dalam perspektif Islam, Al-Quran tidak pernah mengajarkan harus bertetangga muslim atau membuat kawasan khusus Muslim.

Dalam perspektif kebangsaan, sejarah mencatat hampir semua agama terlibat dalam kemerdekaan bangsa Indonesia, dan oleh karenanya bangsa ini didasarkan atas keberagaman.

Menarik dibahas, khususnya di Kota Depok, kota yang menurut Setara Institute tingkat tolerannya rendah, juga terjadi. Terlebih di bawah rezim penguasa yang merupakan ‘Partai Islam’ yaitu PKS.

***

“Awal pembahasan (wawancara) ini, saya membaca riset Setara Institute kalau Kota Depok dalam 5 tahun terakhir mendapatkan Indeks Kota Toleran dengan tingkat toleransi terendah, nah di 2021 Setara Institute menempatkan kota Depok urutan terbawah, dan itu memang konsisten sejak 5 tahun terakhir, menurut Bro Icuk itu sikap PSI terhadap kondisi tersebut atau keadaan Kota Depok?”         

Kebetulan gua juga muslim Bro, buat temen-temen yang di agama lain ada sedikit kesenjangan di situ ya (di Kota Depok), dalam arti ya kalau untuk beribadah mungkin belum seekstrim melarang peribadahan ya, tapi kalau misalnya ditanya, contoh ya disaat gua temuin temen-temen kampus di daerah Beji –daerah-daerah yang deket kampus—ditanya mengenai agama mereka apa saat mau ngekos, kalau mereka non-muslim ‘jangan lah begitu’ kurang diterima, mungkin itu menjadi salah satu faktor pendorong (intoleransi).

Mungkin kalau orang bilang, “saya warga depok, karena rumah saya disini, saya tidak merasa itu ada” ya, karena itu rumah elu, tetapi pada saat elu jadi pendatang ada orang baru, elu mau ngontrak, nah itu (agama) jadi salah satu pertimbangan yang punya rumah (pemilik kontrakan), nggak mau nerima, misalkan gua punya kontrakan nih, itu ada yang begitu, kita gabisa terima kawan-kawan batak, kawan-kawan nasrani, orang timur, itu masih terasa dan itu ada, nggak bisa dibilang nggak.

Bahkan kemarin ada salah satu orang flores meninggal RT (rukun tetangga) tidak mau menerima dia sebagai warga, jadi langsung pencatatan sipil nya langsung ke pemerintah Kota, dukcapil nya Pemkot, diterima, tetapi RT/RW tidak menjembatani sebagai pelayan masyarakat paling depan dan itu disampaikan oleh bapak dan ibu RT yang notabene adalah seorang muslim, gua bisa pertanggungjawabkan itu.       

“Sebenarnya itu hampir di semua kampus negeri sih (swasta juga termasuk), dulu saya di Malang, di (Universitas) Brawijaya, pasti ada pemisahan, khususnya perempuan paling terasa, paling kelihatan lah ciri fisiknya, harus berkerudung dan sebagainya.”

Nah dari hasil riset Setara Institute itu gamungkin semua dibahas detailnya –pasti ada banyak—saya mengambil salah satu objek yaitu perumahan syariah, nah kebetulan jika di Bekasi itu tingkat perumahan syariah itu tinggi –menurut data paling tertinggi— tapi kalau di Bekasi tidak objektif (karena merupakan tempat tinggal), jadi saya mengambil Kota Depok sebagai objeknya, saya kemarin sudah melihat data di Google (open source atau data terbuka) dan datang langsung di beberapa kecamatan, ada yang sedikit (dan) ada yang banyak, di Cimanggis –di sekitar UI– ada 5 atau 6, itu yang tercatat di Google dan tercatat di Dinas (Dinas Perumahan Kota Depok), belum lagi dengan nama-nama Islami (yang tidak tercatat di Google atau Dinas) nah itu banyak juga. Menurut PSI atau Bro Icuk sebagai partai politik, sebagai (yang) mewakili aspirasi rakyat (yang mendapatkan satu kursi DPRD Kota Depok), bagaimana tentang kondisi perumahan syariah tersebut?”

Sebenarnya kasusnya ada 2 tadi: ada penamaannya, ada yang memang betul-betul di wilayah syariah. Sebenarnya ada gap (perbedaan) nih bro, antara pengertian yang dimaksud temen-temen developer (pengembang) sama syariahnya yang ada temen-temen di non-Islam, itu ada gap di situ.

Jadi ini yang terdekat perumahan syariah ini, tidak mengakomodir temen-temen non-Islam, walaupun juga ada temen yang menjalankan usaha yang sama “nggak kok kita terima (non-Islam), tapi ada konsekuensi yang harus ditanggung, karena nuansanya Islami banget nih, kalian nanti gaenak pake celana pendek ke luar rumah” hal-hal seperti itulah yang ditakuti sama masyarakat, mereka berpikir “dibandingkan saya beli rumah di (perumahan) syariah, mendingan saya (beli rumah) di konvesional aja” gitu sih, kalo (menurut) gue ada gap di situ aja yang bikin orang-orang agak takut lah gitu, karena mungkin kata syariah sendiri seberapa syariah mereka menjalankan prinsip-prinsip Islam di komplek tersebut.   

Nah masuk ke pertanyaan selanjutnya Bang Icuk, jadikan ada pasar dan ada developer sebagai pebisnis, nah pebisnis ini memanfaatkan ceruk pasar yang sudah terbentuk mungkin –fenomena perumahan syariah—pasca Pilkada DKI 2017, ini belum lama, maksudnya dalam 5 tahun terakhir ini baru muncul. Pun bagi pebisnis melihatnya sebagai ceruk pasar itu (sah saja). Sebenarnya bagaimana pasar ini membentuk pebisnis menciptakan perumahan syariah? Itu bagaimana menurut Bang Icuk”

Jadi gini Bro menurut gua, pasar ini kan terbentuk dari pola hidup masyarakat, nah saat ini pola hidup masyarakat ada polarisasi di situ kan, agak sedikit gimana ya, kalau bilang disalahkan dari jalur hukum juga tidak salah, tetapi secara etika kita bernegara, etika bisnis, ini kayak menunggangi (dan) menggunakan kesempatan polarisasi yang dampaknya akan buruk kepada kehidupan berbangsa, tapi terus dijalankan oleh temen-temen pebisnis dan bahkan dilanggengkan juga –bukan pembiaran mungkin- pemberian restu dari pemangku kebijakan, karena memang kebetulan kalau di Depok ada kebutuhan-kebutuhan juga untuk mengakomodir temen-temen yang maunya hidup lebih ‘syariah’lah menurut mereka kurang lebihnya lah.

Jadinya ya pasar (dan) pengusaha harusnya lebih aware, dalam artianih jadi pengusaha jangan terlalu pragmatis untuk mendapatkan keuntungan secepat-cepatnya dan sebesar-besarnya dari fenomena yang terjadi, harusnya juga lebih arif lah, ini balik lagi ke personal masing-masing, tapi kan kalau bisa minimal pemerintah juga memberikan salah satu solusi juga, mungkin apa yang dilakukan pak Harto jaman dulu, pernah kan, nggak ada nama-nama arab (dan) nama-nama cina, penyeragaman-penyeragaman itu mungkin ada plus-minusnya kita harus akui, yang baru terasa (pada) saat ini, bahwa kalau ternyata kalau kita (Indonesia) terlihat sekali lebih ‘hijau’ (Islam) saat ini, yang mungkin selama ini (terutama dulu) ditekan juga oleh pemerintah orde baru, dan akhirnya muncul pebisnis-pebisnis yang memanfaatkan (pasar), berkembanglah itu. Nggak ada salahnya (bagi pebisnis).

“Dan ternyata laku”

Lebih (merasakan) kaya gimana (temen-temen) yang non-muslim, sebenarnya lebih kaya gitu sih.

“Kebetulan kemarin sempat mewawancarai Mas Abdul Rohim dari Maarif Institute, sebenarnya ini tidak mengapa (pebisnis dan fenomena perumahan syariah) berpotensi menciptakan segregasi. Nah dari situ, Islam pun mengajarkan mengasihi tetangga tanpa pengecualian.”

“Nah pertanyaan selanjutnya ini, mungkin ini ada sangkut pautnya dengan target atau ceruk pemilih (politik) yang dirawat oleh partai politik, apakah itu mungkin atau tidak? Sebenarnya saya ingin bertanya kepada DPD PKS (Kota Depok). Atau (murni) diciptakan oleh pasar yang tadi, baik oleh budaya, oleh pola masyarakat. Tetapi ada kemungkinan diciptakan juga (untuk) merawat segmen pemilih (politik).”

Itu mungkin ada kecenderungan seperti itu, tetapi kalau biologisnya (secara natural alamiah) adalah –gua percaya sih—kalau orang Indonesia ya, lu pure orang Indonesia dalam artian lu mencintai negara ini dengan segala keberagamannya, mau agama lu apapun, nggak akan seekstrim itu, saat elu menerima atau melihat sesuatu yang tidak sama seperti lu. Yang tercipta saat ini adalah –anak muda jaman sekarang bilangnya— ‘mainnya kurang jauh’ punya lingkup pertemanan yang sedikit, akhirnya merasakan bahwa, ‘cara hidup yang gua jalanin nih paling bener’ gitukan permasalahannya kan.

Semakin kita mengkotak-kotakan (dan) mengclusterkan perumahan syariah dan akhirnya nggak ketemu tuh irisan-irisan, ‘oh ternyata temen gua ada yang nasrani’ ‘temen gua ada yang beda gua’ dan itu akan membentuk terus karakter manusianya secara tidak langsung, yang dikhawatirkan adalah itukan. Tidak memiliki interaksi antara satu agama dengan agama lain –dengan etnis lain juga—akhirnya membahayakan untuk kesatuan bangsa sendiri sebenarnya, kalau mau balik jauh (sebagai bangsa) gitu.

Tetapi memang kalau yang kita rasain ya –mungkin kalau mahasiswa (atau pelajar) yang sekolah di negeri—punya temen kristen, punya temen papua, punya temen kulitnya item, (temen) ada yang cina, ada segala macam, pasti terbiasa, akhirnya perbedaan, pluralisme. Tetapi kalau dari SD-SMP-SMA sudah di tempat yang kurang keberagamannya, akhirnya juga pasti lebih ekstrim saat menerima doktrin yang ekstrim dan berpotensi ekstrim.

“Ke depannya, pasti PSI (Kota Depok) punya program-program untuk meningkatkan toleransi di Kota Depok ini –yang menurut Setara Institute tingkat toleransinya paling rendah—apa PSI punya program tersendiri atau pragmatis mengikuti penguasa (Partai PKS) –kayaknya tidak.”

Kalau untuk PSI sebenarnya bukannya tidak mau (atau) tidak ada program, tetapi kami ingin menjalankan posisi PSI saat ini baru 1 kursi dan kurang kuat lah kalau untuk menjalankan program-program politik –yang jelas sangat akan bertentangan dengan temen-temen yang lain— karena kami ini berpikiran semua agama, minimal ada satu guru agama di satu sekolah, kita nggak usah ngomongin yang sangat minoritas, guru agama kristen saja sudah dibilang sangat minim di Kota Depok, itu satu (hal) ya.

Dalam artian, belum lagi kontras saat kita akan mengenal suatu agama (keyakinan atau aliran) baru itu kan pasti akan sangat kontroversial sekali. Misalnya, anak-anak muslim ini diajarkan (dikenalkan) agama baru, walaupun sifatnya mengenal, nah itu juga harus di paksa (untuk dikenalkan) ada, walaupun nggak populer bro, pasti kalau gua ngomong gini ke media (publik) ‘wah PSI maunya agama semua di ajarkan’ (sebagai contoh tanggapan publik) nggak diajarkan, dikenalkan aja, ‘bahwa kita ini (agama tertentu yang berbeda) begini loh’ ‘kita (agama tertentu yang berbeda) begini loh’ (menggambarkan pengenalan agama yang berbeda) bukan berarti lu harus mengikuti agamanya, lu harus dapet nilai, nggak harus ikut ibadahnya, saling mengenalkan aja, kalau saling mengenal lebih enak.

Ini salah satunya Bro, kalau misalnya larinya ke dunia pendidikan, ini emang larinya di bawa ke dunia pendidikan bro, SD dan SMP negeri di Kota Depok jumlahnya kurang, belum (lagi) SMA. SMA itu tingkatnya (dan) jumlahnya ditentukan dari pemerintah provinsi dan kewenangannya pemerintah provinsi. Sementara kalau pemerintah provinsi, kalau tidak disediakan lahan dari pemerintah kota (Depok) mau di taro di mana (sekolahnya), akhirnya masalah yang timbul adalah –tadi yang tadi, kalau tadi perumahan, adanya perumahan (syariah)— kalau ini sebenarnya di sektor pendidikan, (misalnya) SDIT-SDIT (SMPIT dan SMAIT atau Islam Terpadu).

Yang ini kami juga gatau ya, kami mendengar kabar di luar-luar (yang merupakan) temen-temen yang pengamat, (bilang) “kok dari tahun ke tahun bukan SMA Negeri yang naik jumlahnya, ataupun Madrasah Ibtidaiyah (MI), ataupun sekolah-sekolah Islam lain yang dalam naungan pemerintah bertambah”, tetapi jumlah SDIT-SDIT yang swasta bertambah, yang kita ngga tahu itu Yayasan siapa? Itu punyanya siapa? Tetapi kalau di Depok sangat signifikan perkembangannya, dan izinannya langsung keluar dengan cepat, tidak seperti kalau kita mendirikan gereja puluhan tahun aja lama banget izinnya bro, tetapi kalau mendirikan SDIT dengan waktu (dan) tempo yang singkat bahkan kurang dari setahun udah berdiri bangunannya, langsung ada izin, gurunya sudah ada, pasarnya menerima dengan baik –kita gaada masalah sama pasarnya.

Yang kita masalahi kenapa SMA negeri susah dibangun di Kota Depok, itu jalan keujung sana (mengarah ke Depok Baru) masih banyak tanah kosong bro, segitu banyaknya tanah tapi ga ada yang dibuat sekolah negeri, kok bisa? Sementara kayanya sulit banget (izinnya), apalagi kalau negeri, (misalnya) Beji belakang UI (Universitas Negeri) gaada sama sekali sekolah negeri, jadi kalau untuk zonasi selesai mereka. Gaada pilihan lain, (harus) swasta. Pilihan swasta adalah swasta konvensional atau sekolah-sekolah Islam, ya gitulah jadinya makin terus berjauhan yang non-muslim tadi.

“Di bekasi sendiri, (sekolah) yang berbasis IT (Islam Terpadu) mempunyai afiliasi tertentu dengan anggota partai, soalnya saya sekolah di sana waktu SD, jadi memang keliatan sekali, di depan sekolah saja ada spanduk-spanduk (partai politik tertentu). Tetapi itu di kampuspun memang sudah terkenal, apalagi dengan organisasi pergerakannya, kaya gitu. Biasanya dari SMAIT lebih gampang ditarik (direkrut) jadi organisasi tertentu.” 

“Nah, tadi program PSI yang terkait dengan dunia pendidikan, tetapi untuk secara budaya, gerakan-gerakan tertentu (tentang toleransi), apakah ada?”

Karna kalau gua pikir fokus kami tuh, lebih ke pendidikan bro. Karena tadi ya, yang gua bilang: budaya, pendekatan ke masyarakat, (dan) segala macem, jatuhnya juga pendidikan. Gua bisa ngomong mengenai toleransi ke temen-temen nasrani dan muslim yang memang mau mendengarkan, karena ada forumnya. Sementara forum paling besar bertemu orang, setiap hari lo ketemu itu di kelas, lu ketemu setiap hari di kelas. Kalau gua pikir seminar, setahun udah bagus 6x, beberapa kali ganti temanya, tetapi apa itu berpengaruh? Nggak. Yang berpengaruh itu di sekolah bro, karena apa? seminarnya setiap hari di kelas, iya gak? Lu ketemu orang setiap hari di sekolah.

“Instansinya ya”

Instansinya memang di situ, nah nanti mereka-mereka ini yang melanjutkan perjuangan dong, merumuskan Indonesia seperti apa, menentukan Indonesia ke depan. Kalau mereka yang sudah terbiasa bertemu temennya ada yang batak, temennya ada yang ambon, temennya dari timur.

Tapi pasti (ada) pada saat “orang-orang kristen pasti jahat” (membayangkan perkataan seperti itu) itu ada guru yang ngomong gitu, kita gak bisa pungkiri, pasti ada yang ngomong guru begini-begini, itu ada sekali-dua kali keceplosan ngomong yang gak harusnya diomongin mengenai perbedaan.

***

(terpotong)

“Instansi, pendidikan, PSI mengincari (program) di sana”

Karena kalau partai politik tentu kebijakan politik yang diambil. Kalau cuman penyuluhan-penyuluhan, bukan kebijakan politik, event itumah. Kebijakan politik yang bisa diterapkan dan diatur oleh negara di dunia pendidikan bro, dan itu tugas negara juga bro, bahwa semua warga negara (harus) terdidik –dalam artian terdidik dalam budi pekerti dan segala macamkan.

“Tetapi sejauh ini pendorongan kebijakan sekolah tadi (sekolah negeri dan guru pelajaran agama) sudah sampai mana?”

Kami itukan selama ini bekerja itu bareng sama fraksi PKB dan PSI, terus temen-temen Gerindra, temen-temen PDIP, nah mereka itu kemarin yang mendorong adalah menolak rancangan perda (peraturan daerah) religius, mungkin bro pernah denger. Walaupun di situ pada salah satu pasalnya ingin meningkatkan kesejahteraan guru agama, tetapi dalam kebijakan-kebijakan lain tidak memberikan solusi untuk temen-temen yang non-muslim untuk mendapatkan pendidikan secara layak dan seluas-luasnya, lingkupnya (peraturan daerah tersebut) terlalu sempit.

Nah kami mendorong jumlah sekolah –itu selalu diomongin dirapat-rapat—SMA,SMP,SD ditambah terus jumlahnya. Nanti terserahlah, mau masuk dan terkendala dana, nanti dicari solusi bareng-bareng. Gak mungkin pendanaan itu tidak ada. Kalau diliat-liat silpa –kelebihan—APBD 500-600 miliar, apalagi (ini) perkotaan. Pemkot mintanya 3,2 Triliun (dalam RAPBD) itu biasanya dilaksanakannya 2,8-2,9 Triliun, masih ada sisakan, masih ada gap di situ dong. Nah (ini terjadi) setiap tahun. Dan kita fokus penggunaan maksimal dari data gap nya tadi, untuk pembelian tanah, pembangunan gedung. Jadi nggak ada alasan sebenarnya untuk Pemkot Depok tidak memiliki tanah, tidak punya ruang untuk membangun sekolah baru. Nah itu aja. Atau (memang) menjaga kebijakan yang tadi lu bilang, menjaga ‘kerajaan-kerajaan’ kecil tadi (afiliasi Sekolah IT Islam Terpadu dengan partai politik), segmen-segmen (pilihan politik) tadi.     

“Kebetulan kemarin bertemu dengan Mas Abdul Rohim dari Maarif Institute, dia juga bilang ya semuanya berawal dari pendidikan tadi. Pendidikan yang tidak inklusif, menciptakan percikan-percikan tadi. Kebetulan ada fenomena Pilkada DKI waktu itu, dan pengusaha yang pragmatis tadi. Akhirnya bertemu di sana (perumahan syariah)”

“Terakhir nih Bang, apa ada statement atau kata-kata untuk perumahan syariah di Kota Depok, sepatah dua kata.”

Gini, gua setuju pembangunan perumahan syariah, jika memang mengakomodir temen-temen dari non-muslim ataupun dari agama lain. Terus, aturan-aturan yang tidak berlaku secara umum (dan) secara nasional, harusnya juga tidak berlaku di perumahan syariah tersebut. Jangan sampai ada hukum baru, aturan baru, yang tidak harusnya mengikat, itu malah menjadikan ‘negara dalam negara’, ada aturan-aturan kecil yang harusnya tidak dijalankan. Jangan sampai ada peraturan-peraturan yang seharusnya didapatkan untuk temen-temen non-muslim.

Baca Serial Liputan Konstruktif "Perumahan Syariah di Kota Depok, Surga di Rumah atau Neraka Keberagaman" Lainnya:
•	Perumahan Syariah di Kota Depok, Surga di Rumah atau Neraka KeberagamanAkal Bulus Pengembang Perumahan Syariah di Kota DepokWawancara Mendalam tentang Perumahan Syariah di Kota Depok

Serial Liputan Konstruktif ini merupakan Program Fellowship Jurnalistik untuk Keberagaman dan Toleransi oleh Yayasan Satu Keadilan dan Search for Common Ground
Jurnalis Adi Fauzanto
Diterbitkan: Rabu, 16 November 2022
Pukul: 18.00 WIB
Jurnalis: Adi Fauzanto
Liputan Mendalam