Kebijakan.co.id – Wawancara Mendalam
Adi Fauzanto-16 Nov 2022 (18.00 WIB)-#41 Paragraf

Fenomena perumahan syariah meruak ke pasar baru-baru ini. Terhitung semenjak kebangkitan ‘Islam Politik’ dan menjalar ke berbagai aspek, mini market syariah, hingga perumahan syariah.
Fenomena ini, ditangkap baik oleh pengusaha yang berhasil melihat pasar masyarakat islam yang gandrung akan merek syariah.
Beberapa menunjukan dampak pendek yang buruk, ketidaktepatan atau terjerat penipuan hanya karena ingin mendapatkan rumah bermerek syariah.
Dampak panjang, pengelompokan ini berpotensi menciptakan segregasi, terlebih jika ada situasi yang dapat memicunya, misal politik identititas.
Dalam perspektif Islam, Al-Quran tidak pernah mengajarkan harus bertetangga muslim atau membuat kawasan khusus Muslim.
Dalam perspektif kebangsaan, sejarah mencatat hampir semua agama terlibat dalam kemerdekaan bangsa Indonesia, dan oleh karenanya bangsa ini didasarkan atas keberagaman.
Menarik dibahas, khususnya di Kota Depok, kota yang menurut Setara Institute tingkat tolerannya rendah, juga terjadi. Terlebih di bawah rezim penguasa yang merupakan ‘Partai Islam’ yaitu PKS.
***
“Membahas fenomena perumahan syariah di Kota Depok, kalau di penelitian itu yang saya baca itu bahkan sudah ada dari 2009 di Kota Depok. Nah, menurut Bang Ade sendiri terkait perumahan syariah itu bagaimana Bang?“
Ya, ada 2 interpretasi ya. Pertama, terkait dengan proses jual belinya, ada yang mengklaim developer syariah, kemudian juga karena transaksinya menyesuaikan dengan hukum-hukum syariah, ada yang cash bertahap misalnya, dia juali-beli dengan developernya langsung, artinya harganya disepakati di awal misalnya 1 Miliar 10x cicil atau 20x cicil misalnya. Atau juga yang menggunakan metode bank (syariah) bisa jual beli menggunakan murabahah jadi ketika ada term waktu 20 tahun, dari 1 miliar bisa menjadi 2 miliar, itu juga ada penyesuaian dengan ketentuan-ketentuan syariah, makanya dia mengklaim developer itu developer syariah.
Nah (jenis) developer yang ke dua memang dia bikin kawasan. Kawasan yang memang diperuntukan untuk muslim dengan nuansa-nuansa religi, yang memang ternyata pasarnya ada gitu dan cukup banyak, makanya para pengusaha developer inikan ya namanya dagang gitukan, demand (permintaan)nya tinggi, makanya dia create gitu, semacam kampung muslim, di situ diharapkan nanti keluarga yang memang pingin anaknya atau anggota keluarganya tumbuh dalam suasana yang religi, dari mulai pendidikan, kegiatan bermain, proses bersosialisasi itu pingin yang eksklusif makanya di create lah perumahan tersebut, jadi kalau saya lihat ya karena ada permintaan di pasar aja, kalau nggak ada nggak laku juga itu. Seperti itu sih Mas.
“Tadi sih saya sempat menduga (berhipotesa) by (oleh) pasar, karena ada permintaan, selanjutnya ada bisnis juga mengambil keuntungan dari situ, nah saya coba tanya ke dinas (perumahan kota Depok) apakah ada ketentuan khusus mengenai perumahan syariah, tadi tanya nggak ada, izinnya pada umumnya aja.
Sebenarnya saya rencana bertemu dengan MUI Kota Depok, tapi dia berhalangan ada kegiatan lain, saya juga mau bertanya apakah ada ketentuan khusus mengenai perumahan syariah ini, kayaknya nggak ada, karena sertifikasi halalpun sekarang sudah diambil pemerintahkan.
Nah kalau menurut Bang Ade itu, ceruk pasarnya ini sekiranya berpotensi akan banyak terus, dan ini berpotensi menimbulkan pengelempokan, kalau kata peneliti Maarif (Institute) itu kita kan harus saling bertentangga dengan non-muslim dan sebagainya itu, apakah menimbulkan potensi (meniadakan) bertentangga dengan non-muslim, berbagi, dan sebagainya?”
Kalau itu waktu yang akan menjawab, mungkin prediksi-prediksi para peneliti terkait dengan fenomena sosial yang ada saat ini diprediksi ke depannya akan seperti itu, kaya gitukan. Kalau misalnya ada perubahan eksklusif, masyarakat eksklusif, yang ketika nanti bergabung di kelompok yang lebih besar dengan ada yang berbeda, itu dikhawatirkan akan ada interaksi yang tidak harmonis, karena terlalu eksklusif.
Sebatas prediksi, mungkin-mungkin saja kalau ada kekhawatiran seperti itu, kalau memang di dalamnya kondisinya tidak mengajarkan tata cara perilaku dengan yang berbeda keyakinan, gitukan, atau salah asuh, dalam komunitas tersebut, bisa saja begitu.
Atau bisa saja juga ketika di dalamnya ada pengajaran yang moderat, yang istilahnya bagaimana berlaku dengan sesama mahluk tuhan, berkasih sayang, saling tolong menolong, saling bantu, antar kawasan misalnya itu juga bisa terjadi, jadi kemungkinannya bisa apa saja.
Cuman memang kan ini, apakah ini potret idaman di suatu kawasan kota, gitu kan, atau potret di suatu kawasan bangsa dengan kita tidak ada intervensi negara terkait dengan fenomena bisnis seperti ini.
“Inikan bisnis.”
Kalau saya lihat ini fenomena bisnis Mas, artinya begini (misalkan) saya punya kawasan privat (sendiri) kan swasta ini tanah dia, saya hanya akan menjual kepada yang muslim. Saya belum melihat negara ini bisa intervensi, kalau jual-belikan sesuai yang diinginkan ke duabelah pihak, (prinsip) ridho atau keleraan, kalau yang satu tidak mau menjual nggak bisa maksa, saya lihat juga memang keterbatasan tangan dari pemerintah nih gimana ngaturnya, karena kalau dari perizinan kan gaada sekarang dalam arti dia sama semua, inikan bahasa di pasar.
Kalau misalnya pemerintah juga, mensyaratkan tidak boleh mengkhususkan pada satu agama tertentu di satu pemukiman, cantolan hukumnya apa? gitukan, dia (aturan hukum) kan kalau di perda aturan perundang-undangan di atasnya mana, aturan pemerintah kah, nah ini juga kalau misalnya ada boleh kasih tau saya juga cantolan hukumnya dari para peneliti itu ya.
Peneliti itu kan lebih dalam hal terkait konstitusi, peraturan perundang-undangan di bawah dan undang-undang dasar, TAP MPR, atau peraturan pemerintah atau undang-undang, itu silakan saja, kalau misalkan ada yang bisa diadopsi diperaturan daerah atau peraturan wali kota, pasti akan adopsi gitu sama pemerintah daerah.
“Sebenarnya, memang peneliti Maarif belum sampe mengarah ke sana, dia cuma bilang gapapa tapi ini berpotensi, jika ada fenomena tertentu ini akan berpotensi untuk (terjadi konflik), jadi awalnya tidak apa-apa. Maksudnya kalau dalam sejarah seperti Geger Pecinan, dulu kan komunitas etnis Tionghoa sama Belanda, awalnya tidak apa-apa, ketika ada konflik tertentu itu menimbulkan kerusuhan di sana dan itu sangat berbahaya untuk keberagaman dan untuk etnisnya sendiri, nanti jadi mudah dikontrol.”
“Nah selanjutnya, mungkin dari PKS sendiri atau dari Bang Ade sendiri akankah ada kebijakan publik yang sekiranya mengatur atau membatasi atau mendukung atau meregulasi terkait hal perumahan syariah?”
Kita sih, kalau mendorong kebijakan publik yang dalam bentuk peraturan daerah tentu harus ada ‘tadi’ (merujuk pembahasan sebelumnya) cantolan peraturan perundang-undang di atasnya, yang mungkin itu baru bisa kita dorong ya.
Nah kalau saat ini saya lihat karena ini memang sudah banyak yang jalan juga (perumahan syariah), semacam edaran dari wali kota berarti ya, artinya tetap harus ada jembatan lah ya, yang menjembantani atau saluran komunikasi antara komunitas yang berbeda di kota Depok, jadi kalau misalnya di komplek yang (berkonsep) konvensional kan sudah terjadikan, mereka kan sudah bertentangga, tapi untuk yang cluster (syariah) memang harus ada jembantan dari RT RW Kelurahan agar ada semacam dialog, kalau dialog kan resmi banget, mungkin ada kegiatan yang bisa –istilahnya juga bukan mencairkan, mungkin juga gabeku-beku juga ya—ada bahan pengajaran gitu ya kepada masyarakat, edukasi bahwa ada saudara-saudara kita yang berbeda keyakinan yang juga punya hak tetangga. Karena dalam muslim juga kan, ada hak tetangga baik dia muslim ataupun non-muslim, karena di Madinah sendiri plural sebenarnya, waktu Nabi datang ke sana kan banyak agama, ada Yahudi, ada Nasrani juga.
“Selama dia (non-muslim) tidak menggangu”
Kan bikin perjanjian tuh, antar kabilah, antar suku, antar agama, gitukan, untuk saling menolong ketika ada (serangan) dari luar, saling menghormati, atau apa gitukan. Cuman kalau waktu itu ada sejarahnya pengusiran kaum Yahudi dari Madinah, itu ada alasan juga, karena ada perjanjian yang dilanggar dari pihak Yahudi terhadap pihak Muslim, makanya dengan kekuatan yang ada, ada pengusiran.
Nah ya di waktu itukan juga kan ternyata komponen (dan) keadaan yang plural itu dijembatani dengan tadi (yaitu) perjanjian, itukan bentuk formal dari satu diskusi atau satu kesepakatankan yang dituangkan dalam bentuk perjanjian, walaupun kalau sekarang di kita ada RT ada RW yang mengelola kondisi itu.
Jadi kalau di PKS sih, balik lagi kita menghimbau, misalnya dalam cluster atau antar cluster di satu komplek juga banyak yang (keyakinannya berbeda), kita harapkan tetap ada komunikasi, tetap ada kegiatan bersama, apakah itu gotong royong, atau peringatan hari kemerdekaan, dan lain-lain itu bisa menjebantani komunikasi yang mungkin belum terjadi.
“Balik lagi mungkin ke pasar, nah ini apakah –tadikan kebijakan umumnya untuk masyarakat—nah ini untuk perusahaan (atau) pengembangan yang memanfaatkan ceruk itu, apakah ada nanti ada sertifikasi, maksudnya ada pembatasan di sana, tidak menggunakan perumahan syariah semata-mata untuk bisnis, kaya misalkan yang makanan, (seperti) gitu ada sertifikasi halal, apakah ada, seperti itu.”
Kalo sertifikasi halal, memangkan ada Undang-Undangnya, jadi karena umat Islam mendorong adanya penjaminan produk halal, maka pemerintah diwajibkan menjamin makanan halal untuk umat Islam. Makanya ada sertifikasi halal itu. Nah, kalau tempat tinggal memang belum –setau saya—belum ada peraturan perundangan yang mengatur, di mana harus tinggal, terus siapa saja yang tinggal di tempat itu, gitu, jadi masih diserahkan ke pasar intinya, gitukan.
Sebagaimana banyak juga produk-produk yang dikonsumsi (atau) dipakai, apakah itu baju, apakah itu hiburan, itukan juga masih juga diserahkan ke pasar, mana yang suka, gitukan, orang memproduksi rok mini, itukan silakan, atau baju transparant silakan, tanktop silakan, gitukan, tinggal usernya aja, belinya, makenya sesuai tempat, gitu.
“Jadi memang belum ada sertifikasi atau belum ada pengaturan terkait perumahan syariah itu ya.”
Nggak ada, memang nggak diatur. Tidak ada aturan yang menganjurkan, tidak ada aturan yang juga melarang. Karena itu secara normatif, izin mendirikan bangunan, izin perumahan, pemanfaatan ruang, itu umum aja. Ketika kita menambahkan tadi, tidak boleh ada aturan agama, salah lagi, karena pemerintah daerah, nggak boleh ngatur agama, agama diatur sama pemerintah pusat, gitukan.
“Iya sih Bang, sebenarnya pembahasannya sesederhana bisnis aja, bisnis pengembang dan ada ceruk pasarnya. Dan sementara ini pemerintah, belum punya regulasi, ataupun MUI sebagai pemegang otoritas agama (Islam) yang melakukan sertifikasi belum ada, DPRD pun menyuarakkan adanya komunikasi antara warga dan sebagainya.”
Ya, jadi, pemerintah kota dalam hal ini lebih kepada bagaimana membuka ruang-ruang tadi, membuka ruang komunikasi antara warga.
Selain itu juga ke lembaga pendidikan, apakah itu tingkat TK, SD, SMP, SMA, itu juga harus diberikan pemahaman terkait dengan ada ‘umat yang berbeda keyakinan dengan kamu’. Terus terkait sikap terhadap yang berbeda keyakinan, kaya gimana. Kemudian kita tinggal di negara yang plural, apa yang disepakati terkait pluralitas itu di Indonesia, kemudian bagaimana negara juga menjamin kemerdekaan pemeluk agama untuk beribadah, nah gitukan perlu di evaluasi. Jadi tidak ada yang ekstrim kanan di satu agama apapun, tidak ada pengajaran itu, jadi secara berkala lembaga-lembaga pendidikan juga diundang sama Dinas Pendidikan, kan Dinas Pendidikan Kota juga menangani PAUD, SD, SMP ya tanggungjawabnya, nah itu baik yang umum maupun dari agama, apakah (itu dari) madrasah, nah itu juga kan dapat insentif juga dari Pemkot (Pemerintah Kota), nah, ketika dapat insentif (dari) Pemkot (Pemerintah Kota) juga bisa memanggil lembaga-lembaga yang bersangkutan untuk diadakan pencerahan tadi terkait pluralitas, kebhinekaan, itu yang kita harapkan tidak terjadi ekstrim kanan di lembaga-lembaga pendidikan tersebut.
Cuman, kalau menanamkan keyakinan kuat terhadap satu agama, saya rasa memang harus dari kecil agar anak-anak punya pondasi dan terbiasa untuk beribadah tidak atas dasar disuruh sama orangtua, tetapi memang kesadaran sendiri karena keyakinan dia kepada Allah kepada Tuhan, itu yang harus dibangun kan, mungkin pinginnya seperti itu, keluarga-keluarga yang membeli perumahan di kawasan syariah, pinginnya anaknya tumbuh dalam lingkungan yang baik.
“Kemarin coba hubungin satu pengembang (perumahan syariah), memang pada intinya sama saja seperti perumahan umum, ada masjid juga, ada lapangan juga, ya apa bedanya? Ya apa ya paling cuma tetangga (yang berbeda), itukan bisa dibangun dengan kesepakatan tidak boleh memelihara anjing karena berisik atau tidak mengenakan pengeras suara yang terlalu keras itu kan bisa diatur, maksudnya tidak perlu diatur oleh pengembangnya (terkait perumahan syariah), istilahnya pengembangnya nih punya kerajaan sendiri di satu komplek itu.”
Ya, pada akhirnya nantikan akan diserahkan ke masyarakat ketika sudah selesai sudah beli, udah nyicil ke bank masing-masing gitu, dia akan mencari titik baru, dia tidak akan mengelola kawasan itu terus menerus, pasti akan diserahkan ke masyarakat apakah itu jadi RT baru, atau RW baru akan diserahkan ke masyarakat.
“Terkahir ini mungkin Bang, pesan terakhir terhadap fenomena perumahan syariah ini, di Kota Depok khususnya”
Artinya kalau terkait bagaimana pengembang itu mensosialisasikan transaksi syariah yang menjamin si Pembeli itu terbebas dari riba, gitukan, karena ada muamallah yang harus dia kerjakan, dia tidak punya cash misalnya, dikasih jalan yaitu misalnya transaksi cara syariah dengan murabahah misalnya. Itu, kita mendukung 100 persen, nah karena ini edukasi ke publik dan masyarakat bisa terbebas dari riba sesuai yang sudah diatur oleh Dewan Syariah Nasional-kan. Tiap bank syariah kan punya ketentuan.
Nah, samakan seperti tumbuhnya Bank Syariah juga, karena kekhawatiran ataupun ada aturan di agama Islamnya yang melarang riba, makanya tumbuh Bank Syariah, sampe sekarang kan jalan, ada bank syariah, ada asuransi syariah, gitukan. Terhadap kawasan syariah memang dalam Islam pun tidak diatur harus membuat satu kawasan khusus muslim, ngga ada, karena dari sejarahnya juga kan, Nabi tinggal di Madinah itu plural, makannya karena belum ada juga cantolan Undang-Undang atau peraturan perundang-undangan yang bisa melarang ini kita hanya bisa (memberikan saran) kepada pengembang, masyarakat yang tinggal di sana kita sarankan tetap menjalin hubungan yang harmonis dengan yang berbeda keyakinan, tetap merasa kita dalam satu negara yang dihuni oleh banyak warga yang berbeda keyakinan dan tetap saling menghargai, menghormati, dan menjaga persatuan dan kesatuan sebagai basis (dan) modal sosial yang penting buat bangsa agar tidak bercerai berai karena masalah tadi berbeda keyakinan tadi.
Baca Serial Liputan Konstruktif "Perumahan Syariah di Kota Depok, Surga di Rumah atau Neraka Keberagaman" Lainnya: • Perumahan Syariah di Kota Depok, Surga di Rumah atau Neraka Keberagaman • Akal Bulus Pengembang Perumahan Syariah di Kota Depok • Wawancara Mendalam tentang Perumahan Syariah di Kota Depok Serial Liputan Konstruktif ini merupakan Program Fellowship Jurnalistik untuk Keberagaman dan Toleransi oleh Yayasan Satu Keadilan dan Search for Common Ground


Diterbitkan: Rabu, 16 November 2022 Pukul: 18.00 WIB Jurnalis: Adi Fauzanto
