Belajar Merintis Bisnis dari Saudagar Padang: Mulai dari Keresahan, Membangun Kepercayaan, hingga Personal Branding


Kebijakan.co.idCerita di Balik Liputan

Adi Fauzanto-1 April 2022 (13.41 WIB)-#24 Paragraf
Belajar Merintis Bisnis dari Saudagar Padang

***

Jakarta, Kebijakan.co.id — Menjelang setengah malam, tepatnya pukul sembilan malam hingga pukul sebelas. Ditemani semangkuk mie ayam dan es teh, saya bertemu dengan teman lama. Sederhana, sebuah janji saya untuk belajar dari seseorang yang memang sudah lama sekali menekuni bisnis, Cato namanya.

Dia membrand dirinya sendiri sedari dulu, sebagai Padang. Bukan bermaksud rasis menyinggung asal mula kampung halaman, tetapi dari situlah dia bangga atas kampung halaman. Bukan karena ingin merendahkan kampung halaman lain, tetapi ada karakteristik yang dibawanya, yaitu seorang pedagang atau businessman.

Tanda itu muncul ketika sering menawarkan sesuatu untuk dijual, ‘pelit’ untuk mengeluarkan uang untuk hal-hal yang tidak berguna, hingga karakter pedagang lainnya, mudah bergaul misalnya. Tanda itu disadari oleh Cato, dan dijadikan sebagai trademark atau tanda resmi atas dirinya.

Meneruskan brandnya sebagai saudagar (dibaca: pedagang) Padang. Cato meneruskan bisnis Ayah nya yaitu menjual Batu Alam. Jika kita melintasi Jalan Pulomas menuju Cawang di Jakarta, maka akan berjejer di pinggir jalan toko batu alam, salah satunya Si Kumbang Batu Alam. Selain itu, beberapa bisnis kecil lainnya seperti jasa pencucian sepatu.

Malam itu, dimulai ketika saya ingin bertanya kepada Cato mengenai branding dan seluk-beluknya. Kebetulan saya yang sedang merintis satu usaha media –juga think tank atau lembaga pemikir nantinya. Berteman dengan perintis usaha, seperti Cato misalnya, atau Rizky Sultan -yang sudah diceritakan melalui artikel Bertemu dengan Agensi Perusahaan (2021)– dapat dijadikan sebagai sahabat sekaligus mentor.    

Sederhananya percakapan panjang malam itu, berkaitan dengan merintis bisnis, sekaligus juga belajar menemukan diri kita sendiri. Pertama, mencari keresahan diri kita sendiri atau orang lain, untuk nantinya dijadikan model bisnis. Kedua, belajar membangun kepercayaan terhadap diri kita atas orang lain. Ketiga, menemukan brand atau tanda tersendiri atas diri kita sendiri.

Infografis Belajar Merintis Bisnis dari Saudagar Padang
Infografis/Belajar Merintis Bisnis dari Saudagar Padang

Menemukan Keresahan

Mula-mula Cato dengan sifat lucu dan jengkelinnya, membawa arah pembicaraan mulai dari politik, hingga kepada peristiwa-peristiwa terbaru.

Di tengah pembicaraan saya pun bertanya, “Gimana Cat? Untuk membangun sebuah branding.” Memang tujuan saya di malam itu, ingin belajar banyak dengan Cato yang sudah berbisnis sedari bangku SMP.

Tunggu Di. Sebelum memulai bisnis, lu udah tau belum keresahan lu?” Cato memulainya dengan berkata seperti itu. “Misal nih, waktu buka bisnis cuci sepatu, gua ngeliat orang lain termasuk gua sendiri males nyuci sepatu kalo lagi kotor.” –kebetulan Cato hobi dengan sepatu-sepatu bagus, dan tentu original.   

Tentu dalam model bisnis, di mana pemenuhan kebutuhan primer sudah terpenuhi, diperlukan model bisnis yang memiliki nilai tambah –nilai yang menjadi pembeda juga bermanfaat lebih untuk konsumen. Ide nilai tambah tersebut muncul salah satunya melalui keresahan pribadi. Tidak perlu ide besar, aktivitas sehari-hari juga dapat diwujudkan.

Seperti Nadiem Makarim pendiri Gojek. Wawancara dengannya tahun 2011, yang diabadikan oleh Pusat Data Tempo dalam Buku Nadiem Makarim: Pengagas Transportasi Online Indonesia (2019), menceritakan bahwa mobil dan supir pribadinya kurang efesien, tidak mampu menembus macetnya kota Jakarta.

Dari keresahan pribadi, dia juga banyak bertanya tentang keresahan tukang ojek. Di mana dalam sehari, hanya bisa mengangkut 4-5 penumpang, sebagian besar waktu dihabiskan untuk menunggu penumpang. Membantu adalah prinsip utama yang diajarkan Nono Anwar Makarim, sang ayah, yang juga aktivis era 65 dan pengacara. Terlebih menurutnya dapat memberikan sumbangsih untuk masyarakat Indonesia.

Catovil Almando
Sumber: Catovil Almando

Belajar Membangun Kepercayaan

Dari keresahan tadilah, dia masuk ke tahap yang lebih penting, ialah membangun kepercayaan. Setiap bisnis ialah membangun kepercayaan. Suatu produk atau nilai tukar sekalipun, tanpa kepercayaan di antara dua pihak, tidak akan terjadi pertukaran atau tidak akan terjadi transaksi.

Kepercayaan tidak mudah untuk dibuat. Cato memberikan permisalan pada dirinya, “Nah Lu kan tau Di, Gua udah mulai bisnis dari SMP, lanjut kuliah bisnis, dan sering upload di IG tentang Si Kumbang Batu Alam, itu emang sengaja buat branding.” Kepercayaan terhadap produk yang dijual atau jasa yang ditawarkan tidak muncul satu atau dua hari. “Jadi seengganya, itu membangun kepercayaan, kalo Gue serius untuk dagang ini dengan customer.” Tambah Cato.

Sebuah kepercayaan begitu abstrak –tidak dapat diwujudkan dalam bentuk fisik- tetapi begitu penting perannya dalam bisnis. Dalam Jurnal Penelitian berjudul Proses Pembentukan Kepercayaan Konsumen, oleh Reza dan Angels (2007). Kepercayaan diartikan sebagai sebuah objek intangible atau tidak berwujud yang bisa ditransfer atau dikirim oleh trustor (pemberi kepercayaan) kepada trustee (penerima kepercayaan).

Dalam proses pengiriman tersebut, terdapat kewajiban yang diberikan oleh penerima kepercayaan kepada pemberi kepercayaan atas hak-nya. Kewajiban tersebut mengandung tindakan -perusahaan jasa- atau sebuah barang –perusahaan produk- yang berpotensi menimbulkan resiko sebagai jasa atau kerusakan sebagai barang.

Kepercayaan lah yang dapat mengurangi resiko dalam proses tindakan jasa atau perasaan negatif lainnya sebelum membeli produk, sehingga transaksi tersebut dapat terjadi di antara dua pihak. Kedepan kepercayaan tersebut dapat membentuk sebuah loyalitas, misalnya transaksi berulang atau media promosi word of mouth atau mulut ke mulut.  

Membangun Personal Branding

Di akhir pembicaraan serius mengenai bisnis, sambil menghabiskan sisa es teh mie ayam, Cato memulai pembicaraan mengenai personal branding. “Karena tadi, Di. Gua sering upload tentang Si Kumbang Batu Alam. Pas orang inget batu alam atau pengen beli, jadi inget gua atau Si Kumbang Batu Alam.

Awalnya saya percaya dengan cara personal branding. Namun, makin ke sini, personal branding memiliki persoalan, flexing atau menyombongkan sesuatu misalnya. Tetapi menurut Cato, “Kita nggak bisa menolak itu.

Branding dikenal umumnya di Indonesia sebagai merek. Akan tetapi lebih dari itu pengertiannya, branding merupakan suatu cara untuk menunjukan –baik memperkenalkan atau mempromosikan– suatu produk atau perusahaan, sehingga nantinya menimbulkan suatu tanda atau label yang baik sesuai dengan keinginan.

Tujuannya agar produk tersebut laku atau dikenal masyarakat dengan kesan yang baik. Kedepan tanda atau label tersebut menjadi sebuah janji untuk masyarakat, untuk menguji apakah sesuai dengan tanda atau label yang selama ini ditunjukan.

Branding terdahulu memang menggunakan metode dengan menunjukan satu produk atau perusahaan produk tersebut, tetapi cara tersebut berkembang, dengan personal branding misalnya, “Kita lebih mengenal Steve Jobs daripada Apple-nya itu sendiri.” Dan mungkin cara lain akan berkembang ke depan. “Bisnis terus berubah, Di. Bisnis sekarang belum tentu sama dengan besok-besok.

Dalam Buku Branding itu Dipraktekin yang ditulis oleh Tim Wesfix (2017), untuk mempraktekan personal branding ada beberapa hal yang perlu diingat. Pertama, bidang apa yang menjadi spesialisasi anda. Kedua, atribut apa yang sering melekat pada diri anda. Ketiga, hal apa yang dipercaya oleh orang-orang terkait anda.

Keempat, rencana semacam apa yang ingin Anda kerjakan dalam hidup ini. Kelima, bagaimana anda ingin menampilkan diri Anda –baik di kehidupan maya atau kehidupan nyata. Terakhir Buku ini mengutip pendiri Amazon, Jeff Bezos, “A brand for a company is like a reputation for a person. You earn reputation by trying to do hard things well.”Brand untuk sebuah perusahaan seperti reputasi seseorang. Kamu mendapatkan sebuah reputasi dengan mencoba melakukan hal-hal yang sulit dengan baik. 

Adi Fauzanto
Diterbitkan: 1 April 2021 
Pukul: 13.41 WIB 
Pencerita: Adi Fauzanto 
Daftar Bacaan:
• Tim Wesfix. 2017. Branding itu “Dipraktekin”. Penerbit Grasindo: Jakarta Reza Ashari dan Angela Saskia. 2007. Proses Pembentukan Kepercayaan Konsumen: Studi Kasus pada Sebuah Usaha Kecil Menengah Percetakan di Bandung. Jurnal Manajemen Teknologi, Vol. 6, No. 2.
• Pusat Data dan Analisa Tempo. 2019. Nadiem Makarim: Penggagas Transportasi Online Indonesia. Tempo Publishing: Jakarta

Bertemu dengan Agensi Perusahaan


Kebijakan.co.idCerita Di Balik Liputan

Adi Fauzanto-21 Oktober 2022 (09.04 WIB)-#27 Paragraf
Bertemu dengan Agensi Perusahaan

Di akhir dia bilang “Kenapa ngga, lu berjalan bersamaan, di satu sisi lu bawa kulkas dengan dorongan kulkas, artinya lu gaharus ninggalin core bisnis lu, tetapi disatu sisi lu juga harus ngeliat pasar, biar tetap sustain.”

Bertemu dengan Agensi Perusahaan

***

Jakarta,Kebijakan.co.id Hari itu, tepatnya tanggal 30 Agustus, saya inisiatif untuk melakukan vaksin dikeluarahan, tepatnya di kelurahan Jatisari, Kota Bekasi. Menariknya dari dunia yang semakin digital, proses vaksinasi di tempat tersebut, belum tersentuh dunia digital satu pun.

Mulai dari pendaftaran berbentuk tulisan, pemanggilan menggunakan suara petugas keamanan, hingga kepada rekapitulasi data diri menggunakan kertas. Hal yang aneh di kota sebesar Bekasi, yang notabene berdekatan dengan ibu kota Jakarta.

Dari situ pun, saya banyak menyentil petugas-petugas, “Pak, kenapa tidak menggunakan pendaftaran melalui google form atau apa gitu?” hingga “Bu, ini data nya tidak menggunakan komputer?”. Saya juga bingung, rata-rata petugas pendataannya pun merupakan Millenial, di sekitaran umur 30.

Mungkin penyebab terbesarnya jumlah yang divaksin rata-rata berumuran 40 ke atas, yang masih belum paham penggunaan digital. Lalu pertanyaan selanjutnya, bagaimana kondisi dipelosok-pelosok Indonesia? Jika di Bekasi saja masih seperti ini.

Hasilnya pun, sertifikat vaksin yang disyaratkan pemerintah untuk terbebas pergi ke tempat publik menggunakan aplikasi Peduli Lindungi, telat muncul hingga sebulan lebih. Di kemudian hari pun, cara melapor sertifikat yak tak kunjung muncul, harus datang melalui kantor kelurahan terlebih dahulu, lalu dicetak bukti bahwa telah vaksin, bukan dengan komputasi atau apapun yang bersifat digital.


Di hari itu juga, setelah vaksin. Saya lanjut istirahat dan membeli kopi di warung sembari membaca-membaca. Dengan ide saya yang baru pulang ke Bekasi untuk bertemu teman lama sewaktu SMA, namanya Rizky Sultan Naufal, yang kebetulan memang mahir dalam hal bisnis. Kebetulan juga, ide tersebut bertemu dengan ide mendirikan sebuah media berbasiskan riset berorientasi kebijakan publik.

Setelahnya saya mengulik contact yang tidak lama saya sentuh, dan memulai sebuah pembicaraan yang terlihat serius bergaya resmi kantoran. Dilanjutkan dengan bercandaan khas teman sebaya. Setelahnya saya mengajak janji bertemu.

Sebelumnya saya tidak mengetahui perkembangan terakhir teman saya, terakhir saya mengetahui dia membuka bisnis kedai makanan di Rawamangun dengan daging sebagai menu utamanya. Setelahnya saya coba mengujunginya berbekal peta di Google, alhasil tempatnya pun kosong, nampaknya sudah tidak ada. Setelah bertemu nanti, diberitahukan alasan mengapa bisnis makanan potensial tersebut tidak lagi berjalan.

Saya pun datang mengujungi alamat yang teman saya kirim, setelah sampai saya datang disebuah rumah. Anehnya, ternyata itu bukan hanya sebuah rumah, ternyata merupakan sebuah kantor rumah. Ternyata dia membuka sebuah bisnis agensi. Sampai pada saat saya masuk, saya belum sadar, hingga kepada rekan bisnisnya disatu ruangan menyapa saya.

Saya yang belum melacak bisnis apa yang dilakukan teman saya, mencoba berpikir cepat dengan segala pengetahuan saya tentang bisnis agensi. Bodohnya, bisnis agensi yang saya ketahui berbasis ekonomi ialah hanya agensi mengenai suatu produk.

Berbincang lama, ternyata dia bilang bisnis agensi manajemen perusahaan, yang mengurusi perkembangan bisnis perusahaan, mulai dari perencanaan hingga langkah-langkah apa yang harus dijalankan perusahaan tersebut.

Lalu seketika saya ingat dengan artikel-artikel Ma Isa Lombu –yang juga alumni jauh dengan pecinta alam dengan saya dan teman saya. Dia banyak menulis tentang artikel-artikel bisnis –khususnya Start-Up atau perusahaan rintisan.

Sebab Bang Akew –sebutan akrab untuk Ma Isa Lombu- mengambil pendidikan tinggi ekonomi, serta banyak berkecimpung dalam dunia Start-UP. Misal dulu banyak dikenal Selasar.com, di baliknya terdapat salah satu pendirinya yaitu Bang Akew. Lalu, pada tahun-tahun setelahnya ketika Bukalapak sedang hype, dibaliknya terdapat Bang Akew yang berposisi sebagai Public Policy & Goverment Relation. Sekarang ketika sedang menjamur nya financial technology, Bang Akew sedang membawahi unit syariah Link Aja.  

Kembali lagi, saat saya masuk ke dalam ruangan teman saya, sekilas kami bercanda dan berkenalan dengan rekannya. Kami membicarakan kenangan mendaki gunung, dilanjutkan berbicara salah satu staff magang di sana yang juga merupakan teman lama ketika di SMA, juga tempat nongkrong bisnis salah satu teman lama ketika di SMA.

Pembicaraan selanjutnya saya mulai, dengan membicarakan ide besar saya membangun sebuah media seperti Kompas dan Tempo, lalu mencampurkan model bisnisnya dengan sebuah lembaga think-tank yang berbasiskan riset seperti CSIS di Amerika, Ecological Institute di Jerman, atau Indonesia Corruption Watch di Indonesia.

Berdasarkan yang saya ketahui, bahwa ayah dari teman saya mendirikan perusahaan yang merupakan agensi digital, salah satunya di sebuah media besar, sebut saja Pikiran Rakyat berbasis di Jogja. Dengan segala pengalaman lamanya di perusahaan besar multinasional yaitu Yamaha, yang berposisi di hubungan publik.

Dari situ saya usahakan untuk mendapatkan ilmu tambahan mengenai model bisnis, walaupun tidak dari orangnya langsung, tetapi melalui anaknya. Anaknya pun juga berpengalaman dalam bisnis, dari SMA dia membuka foto studio, juga melanjutkan studi di bidang bisnis, tentu tidak perlu diuji kemahirannya.     

Bertemu dengan Agensi Perusahaan

Di perbincangan bergaya konsultasi bisnis tidak resmi tersebut, ketika saya sedang asyik menjelaskan ide saya, lalu diberhentikan oleh teman saya. “Ini itu ide besar lu Di.” Kata teman saya. “Kenyataannya bisnis media digital yang gratis, menjual berita-berita receh.” Lanjut teman saya. “Media dan ide lu kalau jalan nggak akan bertahan lama, nggak akan laku, nggak dibutuhkan pasar, orang Indonesia kebanyakan suka dengan hal-hal receh, yang nggak suka ide lu, apalagi dengan riset dan sebagainya.” Lanjut sebelum menutup pembicaraan dia.

“Kenyataannya bisnis media digital yang gratis, menjual berita-berita receh”

Rizky Sultan

Lu harus tau Di, di banyak media mainstream, artikel yang laku disana itu ada dua, pertama berita tentang Sinetron dan Berita ngambil Bansos. Jadi elu harus tau target pasar Indonesia itu, rata-rata menyukai itu. Standar dan ide lu terlalu tinggi, itu bisa aja dilakuin, tapi kalau kualitas pendidikan masyarakat juga baik. Tutup teman saya.

Tetapi saya dengan keras kepala terus bertahan dengan ide tersebut. Teman saya memaklumi, karena pada awalnya dia juga berpikir seperti itu. “Iya Di, itu wajar aja, tetapi elu juga harus liat pasar, bukan selalu tentang ide besar lu.” Lalu dia pun mengajukan analogi membawa kulkas beserta dorongan kulkas secara bersamaan. “Begini Di, elu bisa kaya gini” Lalu dia menggambar dikertas.

Jadi bisnis yang hanya melihat pasar itu, seperti mendorong dorongan kulkas tanpa kulkasnya, mudah” Dia melanjutkan gambar disampingnya, “Kalau lu dorong kulkas tanpa dorongan kulkas, itu susah, macet, kaya model bisnis media mix think-tank lu berat, karena pasar ga butuh lu”. Diakhir dia bilang “Kenapa ngga, lu berjalan bersamaan, di satu sisi lu bawa kulkas dengan dorongan kulkas, artinya lu gaharus ninggalin core bisnis lu, tetapi disatu sisi lu juga harus ngeliat pasar, biar tetap sustain.

“Jadi bisnis yang hanya melihat pasar itu, seperti mendorong dorongan kulkas tanpa kulkasnya, mudah”….”kenapa ngga, lu berjalan bersamaan, disatu sisi lu bawa kulkas dengan dorongan kulkas… lu gaharus ninggalin core bisnis lu…”

Rizky Sultan

Hal itu pun seakan menonjok kepala saya. Bahwa bisnis di satu sisi, perlu melihat pasar, di satu sisi juga tidak bisa ke luar dari ide atau nilai di awal. Sesaat setelahnya saya teringat ketika membaca artikel Bang Akew yaitu Beyond Hustler, Hacker, and Hipster (2020).

Dalam artikel tersebut, seorang founder Start-Up, yang juga sebagai entrepreneur (pengusaha) harus juga sebagai value creator (pembentuk nilai), di samping memiliki kemampuan melihat target market dengan product market fit atau skema uji coba produk.

Umumnya founder Start-Up harus memiliki kemampuan hustler (marketer), hacker (tech skill), serta hipster (art designer), akan tetapi harus melampui itu, yaitu dengan skill planning, organizing, actuating, juga evaluating. Seakan-akan diamini oleh Eric Ries dalam bukunya The Lean StartUp (2018), bahwa dalam Start-Up, waktu paling banyak dibahabiskan ialah untuk memperbaiki produk, pemasaran, dan operasional.

Di akhir pembicaraan pun dengan teman saya, kita berbincang sedikit dengan berbicara mengenai bisnis makanan dia yang tidak berjalan. “Iya Di, gua salah milih temen bisnis, ternyata orang banyak dengan nama besar belum tentu sejalan, jadi bisnis itu penting banget untuk milih-milih partner.” Saya pun ngangguk. “Setiap kepala harus sejalan tujuannya, walaupun ada yang berbeda pikirannya, tetapi tujuannya harus sama. Ada yang ngegas-ada juga yang ngerem, ada punya ide besar juga ada juga yang melihat keadaan, tetapi semuanya harus satu tujuan, jangan berpecah-pecah.”    

Teman saya nyeletuk seperti ini ketika kita mulai angkat kaki dari kursi, “Di, gua pernah ditanya sama temen gua, dia bilang gini, mana bisnis yang tahun lalu lu omongin.” Mencontohkan temannya berbicara. “Jadi mau ngomongin bisnis dan modelnya apapun, tetapi ga dijalanin percuma. Lu perlu mikirin sampe mateng tetapi jangan lupa jalan. Tetapi jangan juga lu jalanin tanpa mikirin. Itu fungsi nya nge-gas, nge-rem tadi.

Seperti metode Lean StartUp ala Eric Ries, buat-ukur-pelajari. Membuat adalah menciptakan serta menjalankan ide, mengukur adalah mendata serta melihat perkembangan, yang terkahir adalah mempelajari ialah untuk mengevaluasi yang kemudian memutuskan untuk melanjutkan atau berinovasi kembali.  

Adi Fauzanto
Diterbitkan: 21 Oktober 2021   
Pencerita: Adi Fauzanto
Daftar Bacaan:  
• Eric Ries. 2014. The Lean StartUp. Penerbit Bentang Pusataka: JakartaMa Isa Lombu. 2020. Beyond Hustler, Hacker, and Hipster. Blog Medium