Virta - 19 September 2022 (13.00 WIB)-#28 Paragraf
Jalan Hidup Mochtar Lubis
Depok, Kebijakan.co.id — Mochtar Lubis lahir dari keluarga Batak Mandailing pada 7 Maret 1922 di Padang, Sumatera Barat. Ia lahir dari seorang ibu bernama Siti Madinah Nasution dan ayahnya Marah Husin Gelar Raja Pandapotan Lubis, yang pada saat itu menjadi Kepala Distrik Kerinci pada masa Pemerintahan Hindia Belanda.
Selama hidupnya ia banyak menghabiskan waktunya menjadi seorang sastrawan dengan menulis cerpen dan novel, pelukis, penerjemah, pematung, dan seorang jurnalis terkenal, sebelum akhirnya ia menghembuskan nafas terakhirnya pada 2 Juli 2004 di Jakarta.
Pendidikan formal Mochtar Lubis diawali dari sekolah dasarnya yang berbahasa Belanda HIS di Sungai Penuh. Kemudian, setelah itu ia melanjutkan pendidikannya di sekolah ekonomi partikelir di Kayutanam.
Perlu diketahui bahwa Mochtar Lubis dalam menempuh pendidikannya tidak dalam tingkatan HBS atau AMS.
Keluarga Mochtar Lubis adalah keluarga muslim yang merupakan anak keenam dari sepuluh saudara.
Ayah Mochtar Lubis selalu mengajarkan kepada anak-anaknya mengenai makna kehidupan hingga kedisiplinan dalam berkehidupan. Berbeda dengan Ayahnya, Ibunya selalu memberikan pengajaran mengenai bagaimana kita sebagai umat beragama harus menaati dan menghindari larangan-larangan dari Tuhan.
Salah satu orang yang menginspirasi tulisannya yaitu kisah Ayahnya. Hal ini berawal dari tuntutan pekerjaan yang dimiliki ayahnya pada saat itu sebagai kepala distrik.
Suatu hari, ia melihat Ayahnya yang sedang memberikan hukuman kepada salah seorang kuli kontrak yang mencoba untuk melarikan diri dari tanggung jawabnya. Dengan berat hati, ia melihat ayahnya yang memukuli kuli tersebut, padahal ia tahu bahwa ayahnya tidak mungkin melakukan hal tersebut kalau tidak karena tuntutan pekerjaan.
Peristiwa itu membuat Mochtar Lubis menuliskan semua hal ada di benaknya hingga menjadi sebuah cerita pendek berjudul Kuli Kontrak.
Mochtar Lubis membaca buku (Dokumen Harian Indonesia Raya
Perkenalan dengan Dunia Jurnalistik
Melihat anaknya yang senang menggeluti di bidang jurnalistik, ayahnya mengimbau Mochtar Lubis untuk tidak bekerja di pemerintahan Belanda, karena ia khawatir nantinya pekerjaan di pemerintah Belanda tidak sesuai bahkan bertentangan dengan minat nya.
Minat Mochtar Lubis dalam dunia jurnalistik mengantarkan ia menjadi seorang pemimpin redaksi mantan Harian Indonesia Raya. Tidak hanya itu, minatnya ini pernah membawa ia masuk ke jeruji besi akibat karya-karya nya yang dianggap membahayakan.
Namun, tidak hanya menjadi jurnalis, putra Pandapotan Lubis itu juga pernah menjadi seorang pegawai Pangreh Praja atau binnenlands bestuur (BB) pada saat pemerintahan kolonial Hindia Belanda.
Kemudian, pada pertengahan tahun 1930-an ia berpindah menjadi Demang atau Kepala Daerah Kerinci dan guru di salah satu sekolah di Pulau Nias. Memang dirinya sudah diakui menjadi seorang otodidak tulen.
Dalam perjalanan karirnya, Mochtar Lubis pernah menjadi bagian dari anggota tim monitor radio Sekutu di luar negeri pada zaman Jepang. Di sana, ia bertugas untuk menuliskan segala berita yang ia dengar dalam laporan yang kemudian akan disalurkan kepada Gunseikanbu, yaitu kantor pemerintahan bala tentara Dai Nippon.
Untuk menjaga kerahasiaan dan keamanan berita, Mochtar Lubis dan tim tinggal di tempat yang terpisah dari kompleks perumahan di Jalan Timor, belakang hotel milik Jepang.
Dalam timnya, terdapat mantan pegawai Algemene Secretarie di Bogor, D. Janssen, mantan pemimpin redaksi Harian Bataviaasche Nieuwsblad, J.H Ritman, mantan wartawan Ceylon salah seorang yang melarikan diri dari Singapura, Thambu.
Sambil menekuni pekerjaannya sebagai tim monitor, pada akhir 1944 ia memutuskan untuk menikahi gadis Sunda bernama Halimah. Halimah bekerja di Sekretariat Redaksi Harian Asia Raja dan tutup usia tepat pada usia 77 tahun, 27 Agustus 2001.
Mochtar Lubis ketika Perang Korea (Doc. Keluarga Mochtar Lubis)
Mochtar Lubis dan Harian Indonesia Raya
Proklamasi kemerdekaan membawa kantor berita ANTARA yang didirikan oleh Adam Malik kembali lagi aktif dan membuat Mochtar Lubis ikut bergabung. Di ANTARA ia menjadi penghubung antara korespondensi asing yang berdatangan ke Jawa dengan para masyarakat guna untuk liputan mengenai Revolusi Indonesia.
Selain karena mahir dalam berbahasa Inggris, ia juga merupakan sosok yang memiliki tinggi 1.85 meter yang menjadi sosok familiar di antara riuhnya war correspondents lain.
Pada 27 Desember 1949, menjelang adanya penyerahan kedaulatan antara Belanda dan Republik Indonesia Raya (RIS), Mochtar Lubis dan Hasjim Mahdan berinisiatif untuk membuat media surat kabar.
Dari semangat itulah kemudian mereka mendirikan Harian Indonesia Raya yang Mochtar Kubis bertugas sebagai pimpinan redaksi.
Sebagai pemimpin redaksi, wartawan senior itu pergi ke Korea Selatan untuk meliput, karena tengah terjadi Perang Eropa di pertengahan tahun 1950. Sejak saat itu kemudian ia dikenal sebagai sosok koresponden perang, mengapa? karena pada saat itu, pertengahan dasawarsa 1950 saat demokrasi parlementer, Indonesia dihebohkan dengan istilah personal journalism.
Maka dari itu, Mochtar Lubis dikenal dan identik dengan Harian Indonesia Raya, Rosihan Anwar dikenal dalam Pedoman, S. Tasrif dikenal di Abadi, dan B.M Diah dikenal di Merdeka. Mochtar Lubis dikenal sebagai seorang wartawan yang berita nya sering menggemparkan masyarakat, salah satunya “affair.”
Affair yang disajikan beragam, seperti affair Hartini yang diketahui mengungkap hubungan yang dimiliki Presiden Fatmawati dengan Presiden Indonesia, Soekarno. Kemudian, affair pelecehan seksual yang terjadi oleh Nyonya Yanti Sulaiman, yang bosnya di Kebudayaan Kementerian P & K, Sudarsono, mencoba merayu dan melontarkan beberapa kata-kata yang berbau “seram.”
Affair itu semua berasal dari Harian Indonesia Raya, namun hal yang sama juga terjadi pada Pedoman yang sering membawakan berita-berita mengenai Don Juan Sudarsono.
Seperti yang kita ketahui, Mochtar Lubis tidak hanya dikenal sebagai seorang wartawan, namun ia juga sastrawan dengan tulisan-tulisannya. Menariknya ia juga pandai melukis, membuat keramik, dan patung.
Karya-karya nya bisa kita nikmati seperti novel Senja di Jakarta, Berkelana Dalam Rimba, Harimau, Harimau!, dan Jalan Tak Ada Ujung. Dari sini, ia mendapatkan penghargaan Magsaysay Award untuk kesusastraan dan jurnalistik pada tahun 1953.
Dalam Harian Indonesia Raya, Lubis mencanangkan “perang salib” terhadap korupsi yang terjadi di Pertamina. Ia menyoroti sosok Letnan Jenderal Ibnu Soetomo yang pada saat itu sebagai bos dari Pertamina.
Namun, kenyataan berkata lain, semua usaha Mochtar Lubis sia-sia begitu saja. Hasil dari kasus yang terjadi pada Pertamina yaitu Letnan Jenderal Ibnu Soetomo yang kemudian mundur dari Direktur Utama Pertamina, namun seluruh harta nya tidak dijamah secara lebih dalam.
Mochtar Lubis memiliki banyak prestasi di dalam pentas jurnalistiknya, baik dari sisi sosial politik, pencemaran lingkungan, hak asasi manusia (HAM), dan usaha-usaha untuk memperjuangkan suatu keadilan dan kebenaran.
Adi Fauzanto-8 Agustus 2022 (06.00 WIB)-#2 Artikel
AJI lahir dari kecelakaan sejarah atas buruknya kekuasaan memandang kebebasan Pers di Indonesia. Kini, AJI terus hadir sebagai wadah untuk melindungi jurnalis-jurnalis yang tidak mau disetir kekuasaan, tujuannya menjaga keberkualitasan demokrasi dan kebebasan berpendapat. Bukan tanpa tantangan, hingga kini ancaman masih sama, ditambah lanskap baru yaitu ranah digital.
Selain itu, AJI juga mengapresiasi beberapa kerja-kerja jurnalis dengan Udin Award -diambil dari Wartawan Udin yang merupakan korban dari kuasa atas liputan-liputannya yang menggangu kekuasaan-, Tasrif Award -diambil dari penggagas adanya kode etik jurnalistik-, dan SK Trimurti Award.
Adi Fauzanto-8 Agustus 2022 (06.00 WIB)-#23 Paragraf
AJI lahir dari kecelakaan sejarah atas buruknya kekuasaan memandang kebebasan Pers di Indonesia. Kini, AJI terus hadir sebagai wadah untuk melindungi jurnalis-jurnalis yang tidak mau disetir kekuasaan, tujuannya menjaga keberkualitasan demokrasi dan kebebasan berpendapat. Bukan tanpa tantangan, hingga kini ancaman masih sama, ditambah lanskap baru yaitu ranah digital.
***
Jakarta, Kebijakan.co.id — 28 tahun lalu, ketika rezim otoritarian Soeharto merasuk juga mengontrol Pers melalui pembredelan dan pencabutan izin usaha serta penerbitan, yang tertuju kepada Tempo, Detik, dan Editor, karena liputan-liputan mereka dirasa menganggu Soeharto.
Tempo kala itu –kenang Goenawan Mohamad sebagai pendiri Tempo dalam esainya di Qureta–, diizinkan kembali terbit jika memenuhi syarat kepatuhan kepada Soeharto –baik melalui kedudukan kepemilikan dan tentu isi karya jurnalistiknya nanti.
Saat ini, pola yang sama terjadi dengan lanskap wilayah yang berbeda, yaitu digital. Yaitu halaman web Tempo kembali diretas tanggal 7 Agustus 2022.
Di tanggal yang sama 28 tahun lalu, berkumpulah jurnalis dan kolumnis di Sinargalih, Bogor, membahas dan mendantatangani –dikenal sebagai Deklarasi Sirnagalih— (1) penolakan wadah tunggal untuk jurnalis, (2) penolakan pengaburan fungsi Pers, (3) penolakan pemaksaan informasi tunggal, (4) penolakan penyelewengan produk hukum, dan (5) penolakan pengekangan Pers setelah pembredelan Majalah Tempo, Detik, dan Editor atas liputan yang menggangu kekuasaan Soeharto tanggal 21 Juni 1994.
(6) Kumpulan jurnalis dan kolumnis ini juga mengumumkan berdirinya AJI (Aliansi Jurnalisme Independen).
28 tahun berlalu, rezim Soeharto tumbang, kebebasan Pers seperti keran yang dibuka tuasnya. Institusi Pers arus utama yang seharusnya mengawasi kekuasaan, justru dikuasai segelintir orang –yang juga memiliki peran dalam kekuasaan politik praktis— yang berafiliasi atau terhubung langsung dengan partai politik.
Oligarki sendiri menurut Jeffrey Winters diartikan sebagai sistem politik yang dijalankan oligark –-orang-orang yang memiliki modal lebih—untuk mengendalikan kekuasaan dengan tujuan mencari dan mempertahakan kekayaan melalui kekuasaan politik. Dalam hal ini melalui pemilihan umum, yang sangat membutuhkan Pers sebagai alat propaganda citra kampanye, alih-alih menjalankan fungsi jurnalistiknya.
Dunia digital dan kekuasaan yang bersifat oligark menghasilkan represi (perlawanan) yang khas, melalui kuasa struktural berupa undang-undang atau kelembagaan, misalnya saja pasal-pasal karet (yang multitafsir) dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) –dihitung juga penegekannya yang tebang pilih– serta menggunakan cara-cara yang licik menggunakan teknologi, seperti peretasan.
Lainnya adalah keberpihakan liputan media-media yang dikuasai pemodal –yang juga condong kepada penguasa– yang melulu menjilat kekuasaan –bergantung apa yang dititipkan oleh pemilik media tersebut— di mana memanfaatkan ranah digital dengan publisitas karya jurnalistik yang amburadul, layaknya TV One News yang dimiliki Aburidzal Bakrie.
Fajar dan Romel dalam jurnal penelitiannya menukil Freedom House dan McQuail, yang menjelaskan kebebasan Pers dalam suatu negara bergantung kepada:
Pertama, Sejauh mana campur tangan politik negara terhadap Pers. Seperti pembredelan, intimidasi, sensor, dan pencabutan izin;
Kedua, Sarana konstitusional dan regulasi bagi perlindungan Pers dan kebebasan berpendapat. Penegakan Undang-Undang Pers, UU ITE, dan instrumen hukum terkait pers dan kebebasan berpendapat;
Ketiga, Independensi keputusan redaksional Pers dari kepentingan komersial atau pribadi individu. Celah intervensi pemilik modal atau titipan dari pendonor dan iklan.
Oleh karenanya AJI memilih frasa ‘memperkuat solidaritas’ dalam tema besar, sesuai dengan perkataan Ika Ningtyas selaku Sekertaris Jendral AJI dalam pembukaan HUT (Hari Ulang Tahun) AJI Ke-28, “…mari memperkuat solidaritas…” sebagai respon menghadapi ancaman digital dan kekuasaan oligarki yang mengancam kebebasan Pers.
Dalam memperkuat solidaritas itu, “Kami (AJI) masih berjuang melawan impunitas atas kejahatan terhadap jurnalis, mengadvokasi pelemahan kesejahteraan jurnalis, dan terus berkomitmen untuk meningkatkan kapasitas jurnalis di Indonesia.”
Senada dengan Sekertaris Jendral AJI, Ketua Dewan Pers, Ayzumardi Azra berpesan sebagaimana fungsi Dewan Pers, “Kedepan juga tantangan semakin berat,… tantangan dalam bentuk eksplosi digital yang menimbulkan represi, baik di dalam negeri maupun luar negeri, … dan juga sejarah panjang AJI menjadi mitra kritis pemerintah maupun juga masyarakat.” Ditambah, “Sekarang ini agak susah mencari lembaga atau pihak yang bersikap kritis kepada pemerintah, mengkoreksi apa yang perlu dikoreksi, juga kepada masyarakat.”
Di akhir, Ayzumardi Azra berpesan untuk memperkuat solidaritas, memperkuat barisan, dalam menjaga kebebasan pers sebagai salah satu pilar demokrasi. Ayzumardi mencerminkan dari kejadian terbaru, dari kondisi pelarangan liputan dalam mengungkap kasus di sekitar rumah dinas Ferdy Sambo oleh jurnalis CNN dan peretasan halaman web Tempo yang berdekatan dengan HUT AJI Ke-28.
Jika dilihat data Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) yang dikeluarkan BPS (Badan Pusat Statistik), pada indikator ancaman atau penggunaan kekerasan oleh aparat pemerintah yang menghambat kebebasan berpendapat, skornya terus menurun dari tahun 2017 hingga 2020. Tahun 2020, di angka 58.82; tahun 2019, 65.69; tahun 2018, 70.22; tahun 2017, 68.87.
Di bawah tahun 2017, skornya turun naik, yang menempati skor terendah kedua dari bawah dibandingkan indikator lainnya. Tahun 2016, di angka 76.47; tahun 2015, 65.32; tahun 2014, 68.89; tahun 2013, 73.54; tahun 2012, 65.45; tahun 2011, 68.38; tahun 2010, 73.03; tahun 2009, 83.43.
Tentu menjadi tantangan untuk pemerintah dalam menjaga dan meningkatkan kebebasan berpendapat, terlebih berkomitmen pada asas demokrasi pada sistem pemerintahannya yang diamanatkan konstitusi.
Dikutip dari Antara, Jaleswari Pramodhawardani, Deputi V Kantor Staf Presiden, mengatakan dan menanggapi Indeks Demokrasi tahun 2020 yang dikeluarkan The Economist, bahwa pemerintah berkomitmen kuat merawat dan menjaga demokrasi di Indonesia.
Alih-alih mengharapkan pemerintah untuk menjaga kebebasan Pers dan berpendapat. AJI berusaha mendorong kebebasan dan keberkualitasan Pers –sekaligus juga mengenang beberapa tokoh Pers yang gugur di rezim Soeharto— dengan memberikan penghargaan kepada insan individu atau Pers yang berjasa. Karenanya juga, AJI mengumumkan penerima Udin Award 2022, Tasrif Award 2022, SK Trimurti Award 2022, Pers Mahasiswa dalam HUT AJI Ke-28.
Adi Fauzanto-11 Juni 2022 (14.25 WIB)-#45 Paragraf
Soedjatmoko tampil sebagai intelektual dan jurnalis, bukan hanya omong kosong –atau sebatas ide. Dia tampil sebagaimana fungsi pers dan intelektual, mengawasi kekuasaan dan mencerahkan masyarakat. Walau ada beberapa sindiran untuknya, misal ‘Sosialis Kanan’.
***
Bekasi, Kebijakan.co.id — Terlahir tahun 1922 dan tumbuh dengan tanggung jawab intelektual yang selalu terjaga dalam pandangan kekuasaan dan tidak lelah memperjuangkan nilai. Mengembara bersama semangat kemandiriannya untuk belajar tanpa henti, meski tanpa menyelesaikan pendidikan tinggi, semangat yang tumbuh bermula dari secercah buku hasil sitaan yang dijajakan di Pasar loak, ntah buku pemikiran filsafat, sastra, dan ilmu pengetahuan lainnya, dilahap habis atas haus nya ilmu pengetahuan.
Itu terpaksa dilakukan, seusai menegaskan etika intelektual yang tidak akan tunduk dengan pemimpin fasis Jepang tahun 1943, dengan mengorbankan sekolah kedokternya untuk sekedar ‘menolak penggundulan Kaisar Jepang’ kenang Rosihan Anwar. “Saya berhutang sebagian pendidikan saya pada perampasan itu karena koleksi perpustakaan semuanya berakhir di pasar loak dan saya jadi bisa membacanya,” kenang Soedjatmoko.
Soedjatmoko, seperti melanjutkan kiprah pendahulunya di Stovia, sekolah kedokteran untuk Priyayi, yang melahirkan dokter-dokter yang mempunyai ide tercerahkan untuk bangsanya, atau setidaknya membantu nasib bangsa nya yang terjajah, alih-alih menjadi dokter pesuruh Pemerintah Belanda kala itu. Tirto Adhi Suryo dan Tjiptomangunkusomo adalah salah dua dari mereka melepaskan jas kedokteran untuk membantu bangsanya dari penjajahan, yang kemudian dikenal tokoh sang pemula dan kebangkitan bangsa.
Sosok yang di akhir hidupnya, panggung pidato terakhirnya, di akhir nafasnya dikhidmatkan untuk ilmu pengetahuan. Adalah kematian yang sempurna untuk seorang intelektual. Di kelilingi mahasiswa juga pengembang ilmu lainnya di Yogya, seperti Syafi’i Maarif muda, Amin Rais muda, dan lainnya, di kota inkubator dan laboratorium ilmu pengetahuan berada.
Yogyakarta, tepatnya Pusat Pengkajian Strategi dan Kebijakan UGM, menjadi saksi bisu atas kehilangan fisik tubuh dan jiwa Soedjatmoko di tanggal 21 Desember 1989, tapi tidak dengan karya dan pemikiran-pemikirannya.
Seperti Ibnu Rusyd, yang di akhir hayat nya diantarkan bersama karya-karyanya di samping seonggok tubuh dengan pikiran cemerlang melintasi zaman ke tempat persemayaman terkahirnya. 100 tahun Soedjatmoko dengan karya tulis nya –mulai dari buku, artikel, dan beberapa surat- dibagikan kembali dalam bentuk yang dapat diakses secara digital.
Namun, sayang beribu sayang. Ide dan cita dari seorang Soedjatmoko belum kunjung tercapai, bangsa-nya tak kunjung terliterasi dengan baik. Pembangunan manusia-nya belum sebaik apa yang dia pikirkan, kemunduran etika publik dan rasa kemanusiaan tak kunjung membaik. Terkhusus di selasar ruang-ruang dewan perwakilan.
Pers, juga sama adanya. Ketiadaan tanggung jawab kepada publik menjadi pelik. Memang benar, pers di era saat ini, tidak perlu menjadi ‘corong’ secara resmi partai politik atau lembaga negara seperti era pasca kemerdekaan atau demokrasi liberal.
Akan tetapi dia –Pers arus utama- bersembunyi di balik modal ekonomi pemilik nya, menyetir segala isinya, yang ditunjukan untuk pemiliknya, yang terkadang merupakan anggota partai politik, simpatisan pemerintah, dan memiliki jejak buruk untuk Indonesia.
Memang benar, pers saat ini tidak dibatasi seperti era orde baru. Akan tetapi ‘banjir’ informasi di kangkangi oleh iktikad publik yang buruk, seperti mengejar klik, mengejar viral, hingga judul dan isi berita yang terkadang membuat kepala tergeleng-geleng, seakan tidak percaya ada berita yang seperti ini. Kata “Astagfirullah” atau “Astaga” adalah kata yang umum diucapkan sambil menggelengkan kepala tadi. Atau perkataan, “Kok bisa ada berita yang seperti ini?”
Keduanya dirasakan sebagai masyarakat yang memerlukan kabar yang seharusnya bermutu. Sebab, Pers memang ditakdirkan sebagai kebutuhan dan menyentuh masyarakat langsung. Dia ada sebagai jawaban atas kebutuhan informasi yang bukan melulu dari pemilik otoritas, di hadir untuk memperluas cara pandang dan gambaran apa yang akan atau sedang terjadi.
Buruknya pers bersinggungan juga dengan pembangunan manusia, yang mensyaratkan adanya penggerak dari bawah atau dari masyarakat nya langsung –bukan melulu disuapin baik itu dari pemerintah atau bantuan luar negeri. Pers berperan sebagai sumbu yang nantinya tergores menghasilkan api yang dihidupkan oleh masyarakat nya sendiri untuk kehidupan berbangsa dan negara.
Akan tetapi ide Soedjatmoko tetaplah ide, dia menjadi bagian penting dan akan selalu ada, “Ide selalu punya kaki,” kata yang selalu diucapkan Soedjatmoko. Dia akan melintasi zaman, dengan segala tantangannya, bersama dengan ‘kaki’-nya. Ide nya tentang Pers dan juga pembangunan manusia, yang melintasi benua dibaca perserikatan bangsa-bangsa dan masyarakatnya, patut dibicarakan kembali.
Sembari juga melaksanakannya. Sebab, Soedjatmoko bukan hanya ‘Man of Idea’ atau manusia yang memiliki ide, akan tetapi juga ‘Man of Action’ atau manusia dengan aksi. Jika tidak, Soedjatmoko tidak akan di kenal oleh kalangan intelektual di luar negeri.
Atau tidak menjadi “The Prince of Indonesian Intellectual,” Seperti apa yang di katakan Nur Cholis Majid atau yang sering disapa Cak Nur. Hingga Cak Nun atau sapaan dari Emha Ainun Najib, mengatakan Soedjatmoko merupakan, “Embahnya Seluruh Ilmuwan Sosial di Negeri ini.” Karena itulah Soedjatmoko juga merupakan ‘Man of Action’.
Maka dari itu, agaknya kurang tepat ejekan atau satire sosialis salon –merujuk kepada intelektual yang memiliki simpati kepada Partai Sosialis Indonesia- oleh intelektual yang bersimpati kepada PKI -atau beberapa orang yang terlanjur benci oleh PSI- salah satunya Buyung Saleh atau Saleh Iskandar Poeradisastra.
Soedjatmoko tidak berada dalam ruang hampa, tidak juga hanya di kampus, dalam satu ruangan kosong membaca dan meneliti –seperti dosen-dosen era sekarang yang hanya berkutat di ruang kelas dan penelitian hampa tidak berguna yang hanya mengejar indeks internasional, bernama Scopus.
“Lebih tepat dikatakan Intelektual Asketis.. membaca buku, bukan untuk memintarkan dirinya sendiri, melain buku itu digunakan pengetahuan, masukan, inspirasi, untuk menoropong masyarakatnya sendiri beserta permasalahan-permasalahannya,” menurut Sulistyowati Irianto, Guru Besar Fakultas Hukum UI, ketika 100 tahun setelah kelahiran Soedjatmoko.
Soedjatmoko atau intelektual lainnya yang bersimpati kepada PSI, umumnya memang bukan manusia penggerak massa, karena massa belum tentu berada dalam ruang diskusi, dia hanya menerima. Akan tetapi, Soedjatmoko turut andil dalam ruang publik melalui Pers, menghadiri pikiran-pikiran masyarakat akan butuhnya informasi hari ini dan gagasan di masa yang akan datang. Sekaligus juga tandingan corong narasi pemerintah, seperti era-Demokrasi Terpimpin atau era-bobroknya Orde Baru, di mana keduanya menuju otoritarian.
Dunia pers, bagi Soedjatmoko merupakan pilihan yang dapat ia lakukan untuk bangsa ini, mengabarkan yang ada, memberikan gagasan, baik ketika di dalam negeri atau di luar negeri. Selain itu, dunia pengetahuan juga melekat dengan peran pers, dia menjadi pengiring. Sama fungsinya sebagaimana karya intelektual, yang mencerahkan masyarakatnya, yang memikirkan apa yang tidak dipikirkan, yang menjaga nilai universal kemanusiaan.
Pers ala Soedjatmoko
Setelah selesai membaca buku-buku di Pasar loak juga bantuan perpustakaan ayahnya di seputar buku sejarah, filsafat, dan sains. Soedjatmoko tampil sebagai jurnalis pasca kemerdekaan tahun 1945, tidak melulu liputan di Jawa, dia turun langsung meliput Konfrensi Malino di Sulawesi. Sepulangnya dari Sulawesi, Soedjatmoko menggawangi ide pendirian majalah Siasat di tahun 1946, bersama temannya, salah satunya tokoh besar Pers, Rosihan Anwar.
Soedjatmoko juga diminta mengasuh majalah Het Inzicht yang berbahasa belanda oleh Perdana Menteri Sutan Syahrir tahun 1946, sebagai tandingan dari majalah Het Uitzicht (Outlook), yang disponsori pemerintahan Belanda. Het Inzicht diisi oleh Soedjatmoko mulai dari karya prosa, puisi, analisa politik, hingga mengulas sastra.
Kemampuannya sebagai jurnalis, tidak berhenti hingga dia diminta Syahrir sebagai pengamat Indonesia di PBB tahun 1947. Di balik penugasan nya oleh Syahrir di PBB, Soedjatmoko juga membantu mengabarkan kondisi perjuangan kemerdekaan Indonesia saat itu, kepada publik Amerika Serikat melalui media massa. Mochtar Kosoemaatmadja, ahli hukum di kemudian hari, mengenang peristiwa itu merupakan sumbangsih terbesar Soedjatmoko untuk Indonesia di era pasca kemederkaan.
Dari kiri Soedjatmoko, Sumitro (belakang), Sutan Syahrir (depan), Charles Tambu, Agus Salim saat menghadiri Sidang Dewan Keamanan PBB, Amerika Serikat. Dokumen Keluarga.
Sepulangnya ke Indonesia tahun 1952, Soedjatmoko turut mendirikan Harian Pedoman –satu grup dengan majalah yang didirkannya dahulu-, lalu Majalah Konfrontasi, dan penerbitan buku Pembangunan –yang kelak namanya menjadi dasar ide dan gagasannya- tahun 1954. Meski media massa –baik harian dan konfrontasi- yang didirikannya bersimpati kepada PSI –memang suatu keadaan yang umum di era demokrasi liberal partai memiliki corong atau media dan media massa menaruh simpati kepada suatu partai atau lembaga negara.
Setelah demokrasi terpimpin menunjukan watak keotoriterannya, majalah juga harian yang diasuhi oleh Soedjatmoko seperti Pedoman dibredel atau dilarang terbit oleh pemerintahan Soekarno tahun 1960, lainnya seperti Harian Indonesia Raya yang dipimpin oleh Mochtar Lubis yang dekat dengan TNI juga turut dibredel. Pers kala itu hanya menjadi alat dari jargon Revolusi pemerintahan Soekarno, lainnya turut dibredel.
Di balik peristiwa demi peristiwa tersebut. Bisa di katakan Soedjatmoko adalah Man is Action. Sebesar apapun gagasan tanpa pernah ada wujud, akan sulit dimaknai. Sebesar dia bicara berbuih-buih tentang Pers, tanpa pernah terjun di gelanggang –apalagi dengan keadaan sulit seperti Soedjatmoko- rasa-rasanya hampir sulit.
Praktis, Soedjatmoko menjalankan fungsi Pers sebagai penyeimbang pemerintah atau yang berkuasa. Ketika Belanda masih ingin berkuasa kembali, baik melalui perang atau diplomasi, Soedjatmoko hadir sebagai penyeimbang corong Belanda, baik di Indonesia atau di Amerika. Ketika pemerintahan Soekarno menuju demokrasi terpimpin yang berwatak otoritarian, Soedjatmoko juga hadir sebagai penyeimbang, meski harus dibredel dan keluar dari Indonesia.
Foto Resmi Soedjatmoko tahun 1968
Ide tentang Pers
Sedangkan ide tentang Pers, yang umumnya dituangkan dalam tulisan. Bisa dilacak dalam Soedjatmoko ketika Pidato Perdana Pembukaan Lembaga Pendidikan Dr. Sutomo tahun 1988, 1 tahun sebelum kepeninggalan Soedjatmoko. Pidato tersebut ia beri judul Indonesia Menghadapi Perubahan Dunia: Peranan Informasi.
Soedjatmoko menjabat Penasehat Badan Perencanaan Pembangunan Nasional di Jakarta tahun 1975. Martin Aleida/Tempo
Secara garis besar dalam pidato nya menjelaskan perkembangan Revolusi Industri 3.0 ditambah globalisasi serta dampaknya kepada negara maju dan berkembang, tidak terkecuali Indonesia. Di akhir pidato, Soedjatmoko menghubungkan peran Pers dalam menghadapi tantangan perubahan tersebut.
“Informasi merupakan suatu aset atau modal yang strategis,” buka kalimat Soedjatmoko. Selain itu, perlu jaminan pintu masuk atau akses informasi yang relevan. Relevansi tersebut berhubungan dengan tugas Pers, sebagai pendidikan umum dalam bidang politik, ekonomi, dan kebudayaan serta bertanggung jawab untuk memelihara nilai dan sikap yang dilandasi kesadaran dan solidaritas sosial.
Selain itu, dalam menghadapi perubahan dunia, Soedjatmoko mengingatkan tugas Pers untuk mempersiapkan masyarakat dan pemerintah dalam tiga bidang, baik dalam ataupun luar negeri.
Pertama, kependudukan, yang memperhatikan kondisi kehidupan masyarakat yang damai dalam pertumbuhan tingkat penduduk yang tinggi; Kedua, IPTEK, memperhatikan dampak sosial dari kemajuan teknologi yang ada; Ketiga, lingkungan hidup, menyelaraskan antara strategi pembangunan, sumber daya alam, serta pola hidup dengan prinsip lingkungan yang berkelanjutan.
Ide tersebut disampaikan tahun 1988, hingga hari ini tahun 2022, masih sangat relevan, walau ada beberapa perubahan. Di antaranya perubahan Revolusi Industri 4.0 menghasilkan Internet of Things (IoT) yang mengumpulkan data sebagai basis berbentuk bahasa code. Data ibarat oli untuk sebuah mesin. Data tersebut terkumpul (Big Data) dan diolah oleh secara komputasi, misalnya Artificial Intellegent (Kecerdesan Buatan), lalu menghasilkan satu keputusan.
Revolusi Industri 4.0 berdampak kepada seluruh industri, tidak terkecuali Pers dan Informasi. Terkumpulnya data melalui cloud atau tempat penyimpanan data –yang biasanya dimiliki perusahaan multinasional atau lembaga negara yang membutuhkan- membentuk suatu globalisasi data yaitu keterhebungan data dengan mudah antar negara. Atau disebut digitalisasi. Alhasil, informasi berbentuk data juga dapat diakses dengan mudah melintas batas dan negara.
Perusahaan media sosial, macam Facebook atau pencarian informasi terintegrasi, macam Google, adalah salah dua hasil revolusi Industri 4.0. Mengumpulkan banyak data, melalui pengguna, diolah melalui kecerdasan buatan yang diprogram oleh perusahaan tersebut, menghasilkan satu keputusan hasil pencarian atau informasi yang diberikan oleh media sosial yang bersangkutan.
Tak jarang, keuntungan kepemilikan data disalahgunakan untuk kepentingan komersial atau kepentingan politik, hal tersebut bisa disebut dominasi data. Layaknya pemerintah otoriter yang memiliki data tindak tanduk aktivitas masyarakat melalui aparatur nya atau informasi latar belakang masyarakatnya, seperti Hitler pada zamannya.
Misal, ketika Facebook menjual data penggunanya untuk pemilu di Amerika Serikat kepada Cambridge Analytic. Tak jarang, cara bekerjanya kecerdesan buatan menghasilkan satu bubble atau bertemunya satu informasi yang sama. Misal, revolusi Musim Semi Arab yang memanfaatkan internet atau Pilkada DKI Jakarta tahun 2017 di mana menguatnya arus informasi mengenai Islam di Internet.
Di Indonesia, temuan terbaru dari liputan investigasi Narasi TV, tentang penggunaan data pelajar di bawah umur yang menggunakan aplikasi edutech. Data tersebut dihubungkan kembali ke aplikasi iklan untuk tujuan komersial dengan melihat kebiasaan pengguna. Sangat berbahaya, seperti dalam rumah kaca, selalu dipantau. Terlebih tujuannya untuk meraup keuntungan.
Tak jarang bekerja nya kecerdesan buatan menghasilkan ekstrimisme atau seseorang yang membela habis-habisan pahamnya -tak jarang berujung tindakan kekerasan kepada paham yang berlawanan. Sebab informasi yang dia terima –dan diyakini- hanya berkutat kepada satu paham saja karena keterkaitan dia dengan handphone atau teknologi lainnya yang terhubung ke jaringan internet yang menggunakan kecerdesan buatan alogaritma bubble.
***
Peran Pers dan wartawan dalam hal ini sangat penting. Sebagai institusi keempat demokrasi –yang mengawasi publik. Serta memiliki kode etik profesi untuk wartawannya. Peran keduanya penting mengolah informasi yang berguna dan penting untuk kehidupan masyarakat banyak.
Pers sebagai alat. Yang bisa mempertemukan pikiran-pikiran masyarakat, yang mencerahkan juga membebaskan serta menggerakkan masyarakatnya. Dengan pra-syarat, dia haruslah sesuai dengan zamannya juga menghadirkan apa yang patutnya dibaca dengan utuh dan menyeluruh. Dengan kata lain, Pers memerlukan keberkualitasan untuk bisa ditelaah oleh masyarakatnya.
Selain itu, Pers harus bisa berjalan beriringan dengan Industri 4.0 dan IoT, akan tetapi tidak melepaskan semangatnya mencerahkan publik, tidak justru kebalikannya. Masalah IoT beserta kecerdasan buatan nya dapat digunakan sebagai alat mencerdaskan, lagi-lagi masyarakat membutuhkan ‘etika publik’ memanfaatkan metode kecerdasan buatan tersebut dengan maksud memperbaiki kualitas hidup manusia, bukan sebaliknya, untuk kepentingan komersial, politik praktis, atau paham kekerasan tertentu.
Dari masalah kepentingan komersial, politik praktis, permufakatan jahat, atau paham kekerasan yang mengancam kemanusiaan di balik digdaya teknologi. Disitulah tugas Pers untuk membongkarnya, dengan syarat ia mesti memahami teknologinya terlebih dahulu untuk membongkarnya. Selebihnya masyarakat yang menilai secara keseluruhan apakah teknologi tersebut benar berguna untuk manusia, sesuai tujuan awal teknologi yaitu untuk memudahkan manusia, atau justru membahayakan.
Ke depan peran Pers juga, bersuara untuk kemanusiaan universal. Bersuara sembari penemuan teknologi ditemukan. Sebab ketidakhadiran Pers –yang menyentuh masyarakat- hanya akan membawa penemuan teknologi menjadi semakin suram, dengan efek negatif di baliknya, baik itu untuk masyarakat atau lingkungan hidupnya.
Diterbitkan: Sabtu, 11 Juni 2022
Pukul: 14.25 WIB
Jurnalis: Adi Fauzanto
Daftar Bacaan:
• Pusat Data dan Analisa Tempo. 2020. Soedjatmoko: Seorang Intelektual Humanis Indonesia. Tempo Publishing: Jakarta
---- Koko Pejuang Sejati Telah Pergi. Dalam Soedjatmoko: Seorang Intelektual Humanis Indonesia.
---- Soedjatmoko dan Kaum Muda. Dalam Soedjatmoko: Seorang Intelektual Humanis Indonesia.
• Pusat Data dan Analisa Tempo. 2020. Robot dan Kecerdasan Buatan. Tempo Publishing: Jakarta
• Pawito. 2007. Media Komunitas dan Media Literacy. Jurnal Ilmu Komunikasi, Vol. 4 No. 2
• Klaus Schwab. 2019. Revolusi Industri Keempat. Penerbit Gramedia: Jakarta
• Petrik Matanasi. 2019. Soedjatmoko Sejarah Hidup Seorang Intelektual Sosialis Kanan. Tirto.Id, 21 Desember
• Muhammad Yuanda Zara. 2019. Muhammadiyah dan Soedjatmoko. Majalah Suara Muhammadiyah, Edisi 24
• Ramon Magsaysay Award for Peace and International Understanding 1978
• Maulida Handayani. Hidup dan Pemikiran Soedjatmoko. Academia.edu
• Soedjatmoko. 1988. Indonesia Menghadapi Perubahan Dunia: Peranan Informasi. Pidato Pembukaan Lembaga Pendidikan Dr. Sutomo
• Soedjatmoko. 1986. Ilmu-Ilmu Kemanusiaan dan Masalah Pembangunan. Makalah Kongres Ilmu Pengetahuan IV
• Narasi TV. 2022. Data Anak Indonesia Dijual Aplikasi Pendidikan. Narasi TV, 27 Mei
• Bill Clinten. 2019. (terj. Kompas.com) Facebook Resmi Didenda Rp 70 Triliun, Terbesar dalam Sejarah. Kompas.com, 25 Juli
• Deutch Welle. 2013. Peran Jejaring Sosial dalam Revolusi Tunisia. Deutch Welle, 15 April
• Deutch Welle. 2011. Peran Internet dalam Revolusi di Mesir. Deutch Welle, 14 Februari
• David Hill. 2011. Jurnalisme dan Politik di Indonesia, Biografi Kritis Mochtar Lubis (1922-2004) sebagai Pemimpin Redaksi dan Pengarang. Penerbit Obor: Jakarta
• Khudori Soleh. 2015. Epistimologi Ibnu Rusyd Upaya Mempertemukan Agama dan Filsafat. Penerbit UIN Maliki: Malang
• Diskusi Membaca Soedjatmoko. 2022. Seri Pemikiran Ilmuwan “Soedjatmoko, Ilmuwan Pemikir Kebebasan & Pembangunan”
Pelik rasanya melihat jurnalisme ‘pasar’ yang menuhankan traffic dengan clickbait nya. Pelik juga melihat media partisan –yang secara jelas-jelas atau yang memanfaatkanya. Yang jelas-jelas, menampilkan dalam sebuah berita atau segmen khusus ‘kelompok partai’ nya, sebut saja kelompok Media Group News dengan Surya Paloh serta Nasdem-nya dan MNC Group dengan Hary Tanoesudibjo serta Perindo-nya.
Begitu juga yang memanfaatkan partisan, dengan menempatkan framing partisan secara berlebih, alih-alih menimbulkan daya kritis, malah membuat kegelapan partisan tersebut, sebut saja TV One (Viva Group) dengan pseudo-oposisi Karni Ilyas dan Aburidzal Bakrie dengan bisnis serta Golkar-nya.
Misalnya, putra Aburidzal Bakrie memakai narkoba. Hampir tidak ada satu pun berita yang dikeluarkan group TV One. Praktik-praktik ini paradoks luar biasa, aneh. Media dan pemilik yang bukan berlatar belakang ‘jurnalis’ hanya akan melahirkan media tanpa arah perbaikan –terlebih jika pemilik nya berlatar businessmancum politisi.
Kenajisan dan banalitas itu tidak terbendung ketika bertemu teknologi. Sebuah alat yang ‘membantu’ manusia menemukan circle-nya, justru menjebak dalam filterbubble, itulah Artificial Intellegence. Teknologi super apps yang menggunakan itu, tidak jarang menimbulkan konflik yang tidak konstruktif. Misal, perbedaan warna kulit, perbedaan suku, hingga perbedaan agama. Melahirkan kebencian, permusuhan, menjauhkan –tidak memberikan setitik pun untuk bertemu dalam dunia digital.
Ketika prinsip yang dipegang media-media tadi, juga dengan bantuan penemuan teknologi. Maka lahirlah, berita-berita palsu, berita-berita pendek, berita-berita yang hanya menceritakan setitik dari ribuan makna didalamnya, lagu-lagu partai, berita yang melindungi pemiliknya.
Terlebih kualitas masyarakat belum siap dengan keadaan seperti ini. Salah duanya, yaitu Detik.com dan Tribunnews, kedua media tersebut melengkapi tragisnya fenomena kualitas baca di Indonesia. Sudah dikenal dengan minat rendah membaca, didukung ‘penyebar informasinya’ seperti salah keduanya –Detik dan Tribun. Pelik. Alih-alih memperbaiki, malah menjatuhkan palu sidang atas pasar rendah baca masyarakat Indonesia.
Hal ini tak jarang, digunakan juga oleh masyarakat Indonesia, sebagai penyambung lidah –baik itu langsung atau visual. Mengirimkan pesan whatsapp, line, atau instagram. Membuat video pendek, atau hal-hal lainya. Ditambah stupid influencer yang berlaga konyol memperparah keadaan. Ditambah dengan adanya produk iklan yang masuk mengendorse mereka. Menambah vonis berkali-kali lipat atas pasar rendah baca masyarakat Indonesia.
Tersisa hanya Kompas dan Tempo. Kompas dengan ‘nilai luhur’ nya berusaha melawan dirinya sendiri, kompas.com –juga tribun- dan kompas.id –harian kompas- adalah gambaran paradoks dari fenomena ini. Begitu juga dengan Tempo, antara tempo.co dengan koran tempo dan majalah tempo, juga bagian dari fenomena paradoks.
Yang satu membahas artis yang gemar belanja, yang satu membahas bagaimana menggambarkan prioritas belanja kebutuhan pemerintah pusat, daerah, hingga korporasi agar optimal. Yang satu misalnya, memberitakan artis-artis yang jatuh tersandung batu, yang satu nya membahas agenda kebijakan yang jatuh tersandung batu ‘hutang’. Paradoks dan absurd. Saya masih membayangkan seorang Jakob Oetama dan Goenawan Mohamad melihat kualitas berita kompas.com juga tempo.co yang receh mengincar traffic.
Jurnalisme Sekali Lagi
Mengapa sekali lagi? Bisnis (dibaca: urusan) informasi, bisa jadi bisnis tertua yang manusia lakukan selagi mencari bahan makanan, dengan berburu atau meramu. Tak jarang perpindahan era, pionirnya –penggeraknya- merupakan informasi atau komunikasi.
Ambil contoh, Renaissance tanpa penyebaran gagasan pencerahan, muskil terjadinya eropa maju saat ini. Era kejayaan Islam, tanpa pertukaran informasi Yunani Kuno atau India Kuno dengan terjemahan informasi yang ditulis ulang, muskil menemukan Ibnu Sina, dan ibnu-ibnu lainya.
Tidak perlu jauh-jauh, negara dengan banyak kepualan ini, muskil merdeka tanpa informasi yang memberitakan bobroknya Belanda. Atau Cina –saat ini- muskil maju tanpa penerimaan informasi terkait informasi perdagangan bebas sesuai kebutuhan dan informasi manfaat internet, dilanjutkan dengan pengembangan pendidikan dasar hingga tinggi, lalu pembangunan kota-kota dagang, begitu juga dengan Jepang di era restorasi meiji.
Kembali lagi, lalu membayangkan bagaimana jika informasi yang pendek-pendek tadi mempengaruhi kita? Apa yang akan terjadi? Apalagi Indonesia, yang memiliki pasar pembaca yang rendah. Alih-alih meraih kejayaan nya, yang ada justru menjadi tempat jual-beli informasi (murah) layaknya pasar kumuh.
Misalnya, informasi paham kekerasan –umumnya dari timur tengah- tertentu, masuk, setelah itu laku di masyarakat. Begitu juga dengan informasi budaya Korea –yang tidak berguna-, laku di masyarakat. Informasi dari negara barat –yang merusak-, seperti narkoba tanpa pengendalian diri, atau seks bebas tanpa pertanggungjawaban, hanya akan memupus anak muda berbakat.
Jurnalisme Sekali Lagi. Bukan tentang pikiran pesimis atau nihilis. Sekali lagi, meniru –mengambil pelajaran- tetapi bukan mengulang. Ntah, dibilang optimis atau bualan belaka. Layaknya Amerika mengambil pelajaran dari krisis kapital era 1930-an. Dia mengambil langkah ‘sekali lagi’ atau memulai kembali. Terutama mengembalikan peran pers sebagai pengawas, sangat dibutuhkan.
Tentu, bukan membuangnya dan menolaknya secara total, walaupun masih ada beberapa hal yang harus diperbaiki. Menolak dan membuangnya total, namanya revolusi. Tidak mengapa, jika ‘siap’. Jika tidak, Uni Soviet dengan kehancurannya atas bobroknya sistem dari atas hingga bawah. Tentu ada sebab lain mengapa ‘hancur’, tetapi mereka tidak mengambil pelajaran dan memperbaiki.
Sekali lagi, layaknya sebuah piring kotor, yang harus dicuci untuk digunakan ulang untuk makan. Maka harus seperti itulah jurnalisme. Tentu kita tidak makan dengan piring yang kotor dan berminyak, bisa jadi makanan nanti terserang bakteri yang membahayakan kita. Atau langsung membuang piring tersebut, tidak. Jurnalisme harus memulai kembali, sembari menatap teknologi.
Didukung dengan teknologi terbaharukan. Bukan tidak mungkin, kedepannya ada teknologi yang memudahkan untuk mencuci piring tersebut. Misalnya, dengan anti-tesis memperbaiki struktur code algoritma yang tidak menempatkan filterbubble. Atau memberikan tempat indikator informasi terbaik, bukan berdasarkan pasar total tetapi melihat indikator informasi yang layak.
Munculnya jurnalisme pionir, sebagai penunjuk arah, bukan penuntun. Penunjuk arah, bukan hanya yang ‘baik’ tapi juga ‘buruk’. Bukan hanya ‘kekonyolan’, tetapi juga yang ‘seharusnya’. Bukan hanya ‘cepat’, tetapi juga ‘panjang dan mendalam’. Jurnalisme yang berjalan dengan ‘bangga atas dirinya’, ‘bukan bangga di miliki siapa’. Rasa-rasanya ‘membangkitkan’ Mochtar Lubis akan sulit dalam jurnalisme kedepan, tetapi bukan tidak mungkin.
Tidak perlu mencari siapa yang harus bertanggung jawab atas semua ini. Mekanisme kerja manusia, beralih itu hal biasa, layaknya proses dialektika -baik dalam alam pikir menurut Socrates atau realitas menurut Hegel. Proses beralih itulah yang harusnya dilihat. Jangan sampai menuju jurang yang sama. Terutama memperhatikan masyarakat –sebagai pembaca- yang memiliki andil penting, bukan hanya sebagai target pasar, tetapi juga melibatkan unsur kognitif –individu manusia juga jamak masyarakat- yang bisa mengendalikan hal-hal tertentu, jangankan pasar, penemuan-penemuan besar dapat dilakukan dari sana.
Diterbitkan: 29 November 2021
Kolomnis Opini: Adi Fauzanto
Daftar Bacaan:
• Ross Tapsell. 2019. Kuasa Media di Indonesia: Kaum Oligarki, Warga, dan Revolusi Digital. Penerbit Marjin Kiri: Yogyakarta.
• David Hill. 2010. Jurnalisme dan Politik di Indonesia: Biografi Kritis Mochtar Lubis Sebagai Pemimpin Redaksi dan Pengarang. Penerbit Obor: Jakarta
• Wartawan Kompas. 2020. Jejak Langkah Jakob Oetama: Warisan Sang Pemula. Penerbit Gramedia: Jakarta
• Suryopratomo. 2021. Belajar dari Pengalaman “The Straits Times”. Kolom Opini Kompas.id
• Ignas Kleden. 2020. Fragmen Sejarah Intelektual: Beberapa Profil Indonesia Merdeka. Penerbit Obor: Jakarta
• Benson Bobrick. 2019. Kejayaan Harun Ar-Rasyid: Legenda Sang Khalifah dan Kemajuan Peradaban Dunia pada Zaman Keemasan Islam. Penerbit Alvabet: Tangerang
• Yuval Noah Harari. 2018. Sapiens: Riwayat Singkat Manusia. Penerbit Gramedia: Jakarta
• Sindhunata. 2019. Teori Kritis Sekolah Frankfurt: Dilema Usaha Manusia Rasional. Penerbit Gramedia: Jakarta
• Budi Hadirman. 2011. Pemikiran-Pemikiran yang Membentuk Dunia Modern. Penerbit Erlangga: Jakarta
• Majalah Tempo. 2012. Kapitalisme Buatan China. Laporan Khusus Majalah Tempo
• Hasyim Asy’ari. 2018. Renaisans Eropa dan Transmisi Keilmuan Islam ke Eropa. Jurnal Sejarah Peradaban Islam Vol. 2 No. 1