Pesan Cinta dari MK yang Diabaikan Jokowi


Kebijakan.co.idEditorial Redaksi

Adi Fauzanto-12 Januari 2023 (13.00 WIB)-#19 Paragraf

Gayung tak bersambut, bak drama korea, pesan cinta dari MK tentang partisipasi masyarakat yang maksimal dan bermakna, dibalas pahit oleh Jokowi dengan Perppu No. 2 Tahun 2022

***

Jakarta, Kebijakan.co.id — “Partisipasi masyarakat yang maksimal dan lebih bermakna,” begitu bunyi Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 91/PUU-XVIII/2020 yang menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat. Tapi tampaknya, Pemerintah –dalam hal ini Presiden— benar-benar tidak memperhatikan ‘pesan cinta’ dari Mahkamah Konstitusi.

Gayung tak bersambut, seperti drama korea ‘pesan cinta’ yang seharusnya dijalankan dalam kurun waktu 2 tahun, dibalas dengan ‘surat paksaan’ berupa penerbitan PERPPU (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang) No. 2 Tahun 2022, dengan dalil kegentingan memaksa akibat krisis ekonomi global perang Ukraina dan Rusia. Lagi pula, menurut Bhima Yudistira,  perang Ukraina dan Rusia justru menguntungkan komoditas Batu Bara dan Kelapa Sawit –yang banyak dimiliki pejabat dan konglomerat di Indonesia.

Kembali ke ‘pesan cinta’ akan diharuskannya partisipasi masyarakat berangkat dari Pasal 5 Huruf g UU 12 Tahun 2011 yaitu asas keterbukaan. Jika kita membaca penjelasannya, “seluruh masyarakat mempunyai kesempatan seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.” Indah bukan maksud dari surat cintanya?

Pesan Cinta MK

Jika kita membaca ulang Putusan MK No. 91/PUU-XVII/2020, jelas-jelas di sana dalam pertimbangan hakim dalam pokok permohonan, mensyaratkan adanya partisipasi masyarakat yang maksimal dan lebih bermakna (meaningfull participation). Ini merupakan frasa baru dalam dunia legislasi, yang sebelumnya hanya menggunakan ‘partisipasi masyarakat’ saja.

Hal ini dijelaskan secara apik oleh Helmi dan Shelvin dalam jurnal penelitiannya menyatakan partisipasi masyarakat yang diperluas maknanya, sehingga partisipasi masyarakat bukan hanya menjadi pelengkap, namun menjadi pertimbangan utama. Juga dalam jurnal penelitian yang saya tulis bahwa partisipasi publik (atau masyarakat) harus menyentuh berbagai pihak, seperti, ahli yang pro dan kontra, koalisi masyarakat yang pro dan kontra, lembaga (pemerintah dan non-pemerintah) terkait baik yang pro dan kontra. Sampai semua benar-benar didengar dan dipertimbangkan.

Pikir saya, mudah saja untuk Presiden yang berangkat dari blusukan untuk ‘mendengarkan suara masyarakat’ untuk memenuhi pesan dari MK. Apalagi latar belakang partainya merupakan ‘partai wong kecil’.

Bivitri dalam keterangannya mencoba memisahkan antara sosialisasi dan partisipasi. Umumnya, ‘sosialiasi’ dijadikan alasan utama kalau sudah melakukan partisipasi. Jelas bukan, sebab, sosialisasi itu satu arah dan tugasnya pasca-diundangkan bukan sebelum diundangkan. Partisipasi harus dimaknai sebagai 2 arah, diskusi, masukan, dan perdebatan.

Bukan tanpa sebab, partisipasi masyarakat tersebut dipertimbangkan sebab perumusan hingga pengesahan UU Cipta Kerja karena banyak ‘ketidaksiapan’ seperti draft Rancangan Undang-Undang resminya yang berganti-ganti, bahkan setelah pengesahan juga banyak diubah nomenklaturnya.

Absurdnya, kali ini dipraktikan kembali oleh Presiden dan jajarannya, di mana naskah resmi PERPPU tersebut hadir 1 hari sesudah pengumuman. Bukankah seharusnya belajar dari peristiwa sebelumnya. Setidaknya untuk memberitahukan kepada masyarakat jika ada PERPPU yang ingin dikeluarkan. Sudah seperti operasi rahasia saja, jika kesannya seperti ini.

Tentu pesan MK ini harus dimaknai bahwa legislasi membutuhkan keterbukaan secara materiil (substantive due process of law) yaitu dipertimbangkannya partisipasi masyarakat serta secara formiil (procedural due process of law) yaitu perangkat dan prosedur undang-undang yang layak dan tertib hingga dapat diketahui oleh masyarakat.

Keterbukaan di sini menjadi penting sebab bukan hanya pihak-pihak yang terdampak yang membutuhkannya, akan tetapi menjaga ‘marwah’ legislasi kita, agar tidak ugal-ugalan.  Selain marwah legislasi yang hancur, menurut saya jika Putusan MK ini diabaikan, marwah lembaga yang didapuk penjaga konstitusi juga ikut hancur. Pertanyaanpun muncul, lantas buat apa pengujian UU Cipta Kerja sebelumnya, kalau putusannya tidak dijalankan.        

Jawaban Atas Pesan Cinta MK

Memang benar, undang-undang atau produk hukum yang mensyaratkan partisipasi masyarakat memiliki proses yang lama. Tapi, bukankah itu konsekuensi yang menjadikan kita negara demokrasi? Tapi, sepertinya cita-cita itu dilangkahi Presiden dengan menerbitkan PERPPU No.2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja.

Memang, ‘kegentingan memaksa’ dalam Putusan MK No. 003/PUU-III/2005, menyatakan bahwa kegentingan memaksa tidak harus dalam keadaan bahaya darurat sipil, militer, atau keadaan perang (dalam negeri), tetapi merupakan hak subjektif presiden, yang kemudian akan menjadi objektif jika disetujui oleh DPR.

Hak subjektif presiden terkesan sangat luas penafsirannya. Maka dari itu Putusan MK No. 138/PUU-VII/2009 menysaratkan masalah hukum yang harus diselesaikan secara cepat berdasarkan Undang-Undang, terjadinya kekosongan hukum, dan kebutuhan akan undang-undang yang membutuhkan prosedurnya cepat untuk mengatasi kegentingan.

Namun, yang menjadi pertanyaan, indikator cepat dan lamanya sebuah undang-undang perlu diperjelas lagi. Apakah waktu 2 tahun (sesuai ‘pesan cinta’ MK) tersebut kurang untuk mendengarkan seluruh aspirasi dan masukan masyarakat yang mengharuskan Presiden menerbitkan PERPPU?

Ataukah benar-benar terjadi kegentingan yang memaksa tersebut, akibat krisis dampak perang Rusia-Ukraina. Logika sederhananya seperti ini, Rumusan UU Cipta Kerja (yang kemudian disahkan menjadi UU Cipta Kerja) sudah ada sebelum perang Ukraina-Rusia –bahkan sebelum ada Pandemi Covid-19–, jadi alasan utama PERPPU Cipta Kerja sudah jelas absrud dengan dalil perang ukraina-rusia. Atau ada kebutuhan mendesak lainnya yang disembunyikan?

Konfrensi Pers Perppu No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja
Konfrensi Pers Perppu No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Humas Sekretariat Kabinet Republik Indonesia)

Setelah Diabaikannya Surat Cinta MK

Tentu, prosedur normatifnya menunggu DPR untuk menjadi PERPPU tersebut objektif, dengan menyetujui atau menolak secara keseluruhan. Tetapi nampaknya, harapan untuk menjaga ‘marwah legislasi’ dan ‘marwah MK’, terlebih lagi ‘posisi masyarakat sebagai subjek negara demokrasi’ tidak dapat mengharapkan dari adanya DPR, sebab UU Cipta Kerja awalnya juga dibahas bersama DPR. Kecuali, jika lembaga perwakilan rakyat ini berubah pikiran.

Langkah lainnya menguji Perppu sebelum disahkan. Secara normatif, tidak bisa sebab Undang-Undang Dasar (UUD) dan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi kita, tidak menyediakan prosedur kewenangan tentang itu. Jika mau, menurut Ni’matul Huda dalam jurnal penelitiannya, memberikan pertimbangan untuk mengubah UUD lalu menambahkan kewenangan untuk MK menguji Perppu. Akan tetapi MK pernah melakukan pengujian Perppu dalam Putusan 138/PUU-VII/2009 yang kala itu menguji PERPPU KPK. Mahfud MD, yang kala itu menjadi Hakim MK-pun menyetujui jika MK berhak melakukan pengujian PERPPU terhadap UUD. Menurut sayapun, sah-sah saja, sebab secara materi sama dengan Undang-Undang.

Jikapun tidak bisa, kembali lagi menguji hasil objektifikasi DPR terhadap PERPPU No. 2 Tahun 2022 –jika disetujui secara keseluruhan. Tetapi pertanyaan? Masa harus kembali menguji Undang-Undang yang memiliki ‘formiil’ dan ‘materiil’ yang sama. Dan semoga MK sebagai pengawal konstitusi tetap konsisten terhadap putusan sebelumnya –di balik ancaman aswantoisasi seperti apa yang ditulis Zainal Arifin Mochtar dalam kolomnya–, tetap menjaga agar tidak amburadulnya proses legislasi kita, dan ‘menghukum’ untuk sekali lagi kepada produk hukum yang buruk yang dikeluarkan oleh Pemerintah dan DPR ini, serta memberikan harapan untuk masyarakat berpartisipasi secara penuh dan bermakna, sekali lagi.

Diterbitkan: Kamis, 12 Januari 2023
Pukul: 13.00 WIB
Jurnalis: Adi Fauzanto
Daftar Bacaan:  
• Ni’Matul Huda. 2010. Pengujian Perppu oleh Mahkamah Konstitusi. Jurnal Konstitusi Vol. 7 No. 5Helmi dan Shelvin. 2022. Perluasan Makna Partisipasi Masyarakat dalam Pembentukan Undang-Undang Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi. Jurnal Konstitusi Vol. 19 No. 4Adi Fauzanto. 2022. Analisis Pola dan Pencegahan Korupsi Legislasi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada Pembentukan Undang-Undang. Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 19 No. 2Zainal Arifin Mochtar. 2022. KUHP dan Lemahnya Politik Hukum Negara. Kolom Opini Media Indonesia, 12 DesemberAdi Wikanto. 2022. Resmi, Jokowi Terbitkan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 Gantikan UU Cipta Kerja. Berita Kontan.co.id, 30 DesemberHalida Bunga. 2019.  Ahli Hukum Dorong Pembahasan RKUHP Partisipatif dan Transparan. Berita Tempo.co, 17 NovemberHumas Sekretariat Kabinet Presiden. 2022. Pers Rilis: Pemerintah Terbitkan Perpu Cipta Kerja. 30 DesemberPutusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 91/PUU-XVIII/2020Putusan MK No. 138/PUU-VII/2009Putusan MK No. 003/PUU-III/2005Penjelasan Pasal 5 Huruf g UU 12 Tahun 2011
Liputan Mendalam