Kebijakan.co.id – Liputan Film
Adi Fauzanto-19/05/23 (17.00 WIB)-#18 Menit
Read in English Language Version

Sutradara (paling) berbakat, Gina S. Noer kembali mengeluarkan mahakaryanya melalui Like & Share (2023), sekaligus kembali dengan tema yang dekat sekali dengan anak muda ‘zaman now’.
Di balik mahakarya filmnya ini, terdapat beberapa kekurangan yang mungkin terlewat oleh Sang Sutradara –sekaligus juga penulis naskahnya. Apa saja itu?
***
Kebijakan.co.id – Sebagai remaja Jekardah –pelesetan Jakarta dengan aksen Cinta Laura– yang tumbuh 2010 ke atas, saya berani menobatkan Gina S. Noer (sutrada Like & Share) –tak berlebihan— bisa dikatakan adalah sutradara paling berbakat, masa depan dunia film Indonesia. Mengapa? debutnya film Dua Garis Biru (2019) adalah film yang sangat tepat, ibarat bermain Dart Board tepat di tengah titik merahnya.
Saya menyaksikan dengan langsung fenomena itu dengan nyata, tidak hanya satu kali, dan gilanya bahkan hampir melakukannya –ini mungkin terlalu pribadi, akan tetapi itu benar-benar terjadi. Film yang menjadi masterpiece (mahakarya) di mata saya, bahkan saya menceritakan kepada teman saya yang notabene tidak besar di Jakarta, peristiwa ini adalah hal yang lumrah. Kedekatan isu dan cara bercerita benar-benar sangat tepat.
Kini, dengan Like & Share (2022) lagi-lagi Sang Sutradara paling berbakat ini benar-benar menceritakannya dengan tepat, tepat sekali. Sebagai generasi peralihan –yang umumnya disebut Gen Z— yang besar dengan gawai dan aplikasi di sekitarnya seperti Facebook, Blackberry Mesengger, Instagram, Twitter, Line terlebih dibesarkan di lingkungan perkotaan seperti Jakarta, menurut saya Film Like & Share (2022) adalah sebuah masterpiece, sempurna, sangat nyata, dan tepat. Film ini ‘hidup’ di antara kehidupan sekolah-sekolah putih abu-abu –setidaknya di Jakarta dan mungkin kota besar lainnya.
Benar-benar seperti menonton dokumenter apa yang terjadi di masa lalu –yang tidak terlalu jauh–, tentang perilaku ‘remaja’ generasi yang tumbuh dengan gawai dengan segala bentuk keliaran dan keingintahuannya yang tinggi. Dua Garis Biru (2019) dan Like & Share (2022) tak kurangnya saling melengkapi di antara kesempurnaan, menjadi lebih sempurna. Keduanya begitu dekat, dekat sekali ketimbang film anak SMA (Sekolah Menengah Atas) di dekatnya seperti Dilan 1991 (berbagai versi), Teman Tapi Menikah (2 jilid), Dear Nathan (2 jilid), dan lainnya.
Sekali lagi, tak kurang saya takjub dengan cerita-cerita yang diangkat begitu dekat sekali. Saya tidak bisa menghukum ‘peristiwa’ di atas yang terjadi ketika gawai dan remaja-remaja ini eksis adalah sebuah kesalahan, akan tetapi saya berani mengatakan bahwa ke dua film Gina S. Noer ibarat seperti perkataan di awal novel Max Havelaar, oleh John F. Keneddy “Jika politik bengkok, sastra akan meluruskannya.” Film Gina S. Noer melakukannya dalam ranah yang berbeda bukan politik tetapi gaya hidup, dengan sastra dan seni film.
Bom waktu masalah ini untuk diceritakan kembali dengan keindahan atau seni sastra bercerita ini, sudah direbut ‘dengan kurun waktu sangat cepat’ –tak perlu berganti dekade atau generasi— sudah diceritakan. Seperti peristiwa 65’ yang baru banyak di angkat setelah reformasi 98 atau yang lebih lama lagi yaitu kolonialisme sejak abad ke-17 dengan sebuah novel Max Havelaar yang lahir abad ke-19 akhir.
Keluh saya cuma satu, mengapa dia tidak hadir lebih cepat di awal 2010-an ketika saya sedang tumbuh.
Saya berani mengatakan, kepada seluruh pihak-pihak yang berkepentingan seperti pemerintah, perusahaan besar, atau siapapun yang mempunyai kuasa materi, berinvestasilah dengan sutradara paling berbakat, Gina S. Noer, dia adalah ‘juru film’ (meminjam istilah juru bicara) remaja zaman now.
***
Mari, membuktikan kalau Like & Share (2022) adalah masterpiece, karya yang menjadi juru bicara generasinya. Mulai dari perilaku remaja-remaja dan dunia di sekitarnya yang absurd yang coba diangkat Like & Share (2022), serta beberapa kekurangan minor (sedikit) –yang mungkin tidak dijelaskan karena keterbatasan waktu film. Setelah itu, membahas teknis film, yang menurut saya tidak kalah kerennya karena isu yang tepat diangkat oleh orang dan skill yang tepat, serta beberapa kekurangan teknis film yang absen dalam film ini.
Secara ringkas: Pertama, kisah yang diangkat adalah dunia Gawai dan Internet (Digital) sebagai generasi yang tumbuh dan besar bersamanya, tentunya ‘generasi kelinci percobaan’ yang bahkan orang tua kita hanya tau mendasar dan bahkan tidak banyak lebih tau, terlebih lebih banyak kita yang mengajarkan. Pintu masuk itulah yang membuka dunia besar yang akan kita bahas berikutnya.
Kedua, ketika dunia Internet dengan segala kemudahan, kebebasan, dan cara berpikir komputasi (alogaritma) bertemu dengan eksplorasi seksualitas –yang sudah secara naluri ketika anak tumbuh dewasa–, yang lepas dari pendidikan formal sekolah dan keluarga. Ini adalah pintu menuju ruangan spesisifik isu yang diangkat film ini.
Ketiga, setelah pertemuan itu, adalah bentuk eksplorasi nyata, bentuknya bisa berbeda-beda, tergantung dengan siapa, di mana, kapan, dan situasi apa yang mempertemukan dengannya. Mungkin hanya berpacaran, pegangan tangan, berduaan, jalan ke Mall, nonton, atau hingga dugem. Di sinilah ruangan nyata yang akan di bahas.
Keempat, masih berhubungan dengan hal sebelumnya adalah pendidikan luar sekolah, di mana orangtua, keluarga, orang-orang sekitar kawan setongkrongan, kawan pulang sekolah, ibarat teman sebaya, setempat duduk, kekantin bareng, hingga ke toilet bareng, menjadi faktor penting pendidikan luar sekolah. Di sinilah sempilan dari ruangan tersebut, yang bisa dilihat tidak penting, tapi bisa jadi faktor yang sangat amat penting.
Sedangkan kekurangan secara ringkas: Pertama, cerita sudut pandang Sang PK (Penjahat Kelamin) –adalah sebutan yang terkenal di kalangan tongkrongan anak-anak Jekardah. Mengapa dia bisa menjadi seperti itu? itulah yang menjadi kekurangan film ini dan yang akan dibahas.
Kedua, tentang dunia Internet itu sendiri, sebagai film yang berjudul Like & Share mungkin kurang tepat rasanya jika tidak membahas dunia di balik internet itu sendiri, mungkin tentang alogaritma atau dunia dewasa di baliknya atau blokir-memblokir oleh pemerintah. Ketiga, sebagai film dengan drama 3 babak, klimaks film ini terasa kurang menendang.
Selain cerita, secara ringas (dan tidak akan dijelaskan lebih dalam) teknis film ini kembali mengulang simbol-simbol penuh makna dari ala Gina S. Noer, mulai dari poster film hingga detik terakhir film, itu yang Pertama. Kedua, dalam film ini Gina S. Noer berani memainkan warna dan suara yang ciamik.
Terakhir yang Ketiga, tak kalah pentingnya ialah adegan Seks yang luar biasa memukau dan penuh persiapan matang, yang memperhatikan pemeran dengan mempersiapkan pemeran pengganti di awal, latihan yang matang, kesepakatan apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan, hingga eksekusi yang terbatas dari kru film.
Sedangkan kekurangannya menurut saya hanya satu, jika membandingkan dengan masterpiece sebelumnya Dua Garis Biru (2019) terasa sekali ada yang kurang. Bukan tentang simbol-simbol atau eksplorasi permainan teknik film yang baru.
Lalu, apa itu? yaitu lagu dalam film, masih terngiang jelas lirik lagu “Can Anybody Tell Me? Can Anybody Help Me, How To, What To Do?” dalam film Dua Garis Biru (2019) yang ‘sangat menggangu’ itu. Lagu itu hadir sebagai penanda bahwa ia milik Dua Garis Biru (2019) dan sebaliknya Dua Garis Biru (2019) sebagai empu (pemilik) lagu itu. Itulah yang nanti akan dieksplorasi kekurangan film itu.

***
Dunia Baru Itu Bernama Dunia Internet dan Digital
Pembahasan ini dimulai dari sebuah permisalan, jika saya nanti berumur 40 tahun, teknologi baru ditemukan yaitu mencetak makanan hanya dengan mesin –layaknya printer. Tentu jika saya punya anak mereka akan senang bertemu alat itu, jika saya? saya akan bingung sebab 3 dekade lamanya saya hanya memasak dan mengolah makanan dari yang belum matang hingga menjadi matang –kecuali ketika membeli makanan. Bukan mencetaknya.
Tentu pada awalnya, saya menolak, ketika sudah menjadi gaya hidup massal, secara otomatis saya akan mengikutinya, sebab berkaitan dengan kebutuhan: makanan. Begitu juga halnya dengan informasi, apalagi dengan seks.
Gambaran tersebut adalah gambaran ketika internet ditemukan dan mulai diproduksi massal serta menjadi ‘gaya hidup’ baru. Sedangkan tidak ada panduan khusus, atau arahan khusus utamanya dari orang tua, orang-orang sekitar, guru, sekolah, dan bahkan (apalagi) pemerintah.
Ibarat penjelajah eropa menemukan serpihan benua lainnya, dia tidak mengetahui batasan-batasan tentang dunia baru itu, ujungnya? Ya, kolonialisme –setidaknya itu hal buruk bagi Indonesia, walaupun dari sana ditemukan banyak penemuan sekaligus pintu masuk era-industri. Hal itu terjadi kembali, dengan dunia berbeda dan generasi berbeda, itu adalah dunia digital dan generasi yang lahir pasca 1990-an hingga 2000 awal.
Internet ditemukan memang pada awalnya ditunjukan untuk memberikan informasi untuk kepentingan perang dingin. Karakter tersebutlah yang dikembangkan, hingga menjadi no bounders atau informasi yang tidak ada batas atau sekat –mungkin baru saat-saat ini aja ada persetujuan atau ada batasan tertentu seperti penggunaan data pribadi. Sekat-sekat itulah yang memungkinkan pengguna ‘yang baik’ dan ‘tidak’ bertemu.
Ibarat media informasi sebelumnya, misalnya seperti majalah, ada batas-batas bernama editor dan tentu kertas itu sendiri –dari bijih kayu yang terbatas. Sehingga pembaca (pengguna) hanya bertemu informasi yang sama di atas kertas itu.

Saya melihat dengan jelas gambaran-gambaran ini terbesit dengan jelas maksud apa yang ingin disampaikan Gina S. Noer tentang dunia internet dan digital dengan segala kehidupan sosialnya.
Pertama, adegan intens antara Lisa (diperankan oleh Aurora Ribero) dan Ibunya, Ninda (diperankan oleh Unique Priscilla), yang menggambarkan gagapnya orangtua dengan anaknya dengan dunia barunya di gawai berisikan media sosial dan segala informasi yang dibutuhkan. Secara eksplisit keduanya, Lisa dan Ninda sama-sama masih mengeksplorasi hal yang baru, keduanya benar-benar baru melihat dunia digital dan internet. Prefensi ini dilihat ketika Ninda menyarankan menonton dakwah online ustadz tertentu di Youtube, yang kontras dengan apa yang dilakukan Lisa menonton bokep.
Tentu eksplorasi keduanya berbeda, di antara orang tua yang sudah mengetahui dunia seks dan sebaliknya sang anak yang baru menjelajahi dunia baru. Algoritma –yang akan dibahas nanti— memisahkan jauh dunia di gawainya antara Lisa dan Ninda, antara ‘malaikat’ dan ‘setan’. Jika saja, keduanya mengetahui di balik dunia alogaritma media sosial dan internet yang no bounder, bisa saja keduanya saling mengerti dan memahami. Akan tetapi, sebaliknya, bukan tidak mungkin keduanya menjurus hal yang paling ekstrim di antara keduanya, ‘Menjadi Paling Malaikat’ dan ‘Menjadi Paling Setan’, di film ini masih dalam tahap toleran.
Tentu kejadian di dunia nyata, melihat ‘Menjadi Paling Malaikat’ bisa mengantarkan orang berpindah negara yang sedang berperang serta membunuh dirinya sendiri dan orang lain akibat paparan informasi bubble trap atau jebakan gelembung informasi akibat alogaritma media sosial, bahasa ‘lembut’nya menjadi teroris. ‘Menjadi Paling Setan’ bisa mengantarkan orang terjerumus ke hal-hal yang paling gila, dengan mencoba hal-hal tanpa mengetahui konsekuensinya mulai dari seks bebas hingga narkoba yang berawal dari informasi bubble trap.
Kedua, adegan intens kedua tokoh utama antara Lisa dan Sarah (diperankan oleh Arawinda Kirana) adalah gambaran solid tentang bagaimana ‘generasi baru’ ini mengeksplorasi hal yang baru juga. Hal-hal seperti: coba dulu, tanpa melihat konsekuensi, dibawa senang ‘yang penting happy’, adalah karakter ketika seseorang mencoba hal baru, apapun media, medan, situasi, dan barangnya.
Hampir setengah film, kedua tokoh utama ini melakukannya. Lagi-lagi karakter ini hidup dalam bubble trap dunia internet menjebak ke dalam hal ekstrim. Lisa mencoba mastrubasi dan Sarah mencoba memasuki dunia seks. Awalnya sederhana yaitu dengan hanya mengomentari video bokep HP jatoh, dengan alogaritmanya memasuki bubble trap tidak bisa keluar, dan memungkinkan masuk ke dalam tahap ekstrim (melakukan aksi) atas apa yang diterima informasinya.
Pemaknaan atas informasi itulah yang mengantarkan kepada hal yang ekstrim, pemaknaan tersebut juga dibantu dan dipengaruhi oleh konfrontasi ‘yang berhasil’ oleh orang-orang sekitar. Misalnya Lisa yang berhasil dikonfrontasi oleh orangtuanya atau Sarah yang gagal dikonfrontasi oleh Lisa saat ketidaksetujuannya pacaran dengan Devan (diperankan oleh Jerome Kurnia). Tentu, konfrontasi ini tidak terjadi di dunia internet atau digital, dia hanya terjadi di dunia nyata atau dunia di sekitarnya.
Pertemuan Dunia Internet dan Seksualitas
Ketika memasuki dunia baru itu, bertemu dengan keliaran anak muda, dengan memasuki ‘suka sama suka’ dengan lawan jenis. Ketika prefensinya adalah dunia internet tanpa batas yang bisa mengakses hingga ke selangkangan orang per orang. Bukan tidak mungkin, di dunia nyata dia melakukan hal yang paling ekstrim.
Jika dibandingkan dengan generasi sebelumnya, prefensinya adalah film bioskop dewasa yang dibatasi tayangan pemutaran –dan tentu tidak dimiliki oleh dia informasinya—atau majalah dewasa yang harus sembunyi-sembunyi membacanya. Berbeda zaman, ketika dunia memasuki alat teknologi bernama digital, awalnya melalui kaset yang dibajak, hingga masuk ke dalam gawai yang otomatis informasi tersebut menjadi miliki kita, tanpa batas waktu, dan tidak perlu sembunyi-sembunyi karena berpenampilan gawai pada umumnya –kecuali hpnya diakses oleh orang lain.
Absenya pendidikan formal –yang memang selalu ketinggalan, karena memiliki otoritas yang berbelit-belit—terhadap perkembangan teknologi dan masalah nyata yang dihadapi masyarakatnya. Buktinya, kasus kehamilan di luar sekolah memang sudah terjadi sejak dahulu, akan tetapi sekarang menjadi menarik karena pemicunya adalah informasi melalui dunia internet, berupa bokep atau apapun yang menggugah nafsu liar anak muda.
Dalam hipotesa saya, dunia baru itu memasuki beberapa tahap hingga tahap ekstrim (melakukan sesuatu untuknya). Pertama, tahap penerimaan, di mana ketika orang mengetahui informasi, teknologi, atau barang baru, atau sesuatu apapun yang baru, mereka akan berkonfrontasi dengan pengalamannya yang lama secara budaya (kebiasaan) serta nilai (pelajaran-pelajaran) yang diembannya. Penerimaan tersebut menghasilkan tiga jenis: kesalingan –mencari titik tengah—, penolakan, atau persetujuan.
Kedua, ketika dunia baru itu diterima dengan kesalingan, menghasilkan produk budaya (kebiasaan) dan nilai (pelajaran-pelajaran) baru –bahasanya ialah akulturasi atau kearifan lokal. Jika persetujuan, menghasilkan kebiasaan dan nilai yang diterimanya menjadi aktivitas nyata, yang dalam hal ini masuk ke dalam tahap yang paling ekstrim.
Dari tahap-tahap penerimaan yang saya buat, jika merujuk kepada film maka akan ditemukan:
Lisa dan Sarah berangkat dari awal garis yang sama, memasuki tahap persetujuan dengan ketika mulai mengakses video bokep bersama, hingga tahap yang paling ekstrim ialah melakukan mastrubasi untuk Lisa dan melakukan seks bebas untuk Sarah.
Namun seperti apa yang saya katakan tadi Lisa mendapatkan konfrontasi melalui pengalaman ibunya sehingga menciptakan kesalingan, dibuktikan dengan Lisa terus penarasan dengan bokep HP Jatoh, serta mendapatkan pengalaman dari Fita (diperankan oleh Aulia Sarah) yang merupakan penyintas dari bokep HP Jatoh.
Sedangkan, Sarah menunjukan persetujuan walaupun dengan dikonfrontasi oleh Lisa dengan alasan yang masuk akal “perbedaan umur yang cukup jauh” membuat hubungannya tidak seperti pada umumnya pasangan anak SMA. Kesalingan hadir ketika Sarah mendapatkan pengalamannya dari diri sendiri karena dipaksa bersetubuh oleh pasangannya.
Setiap hal baru sudah barang tentu terjadi kesalingan, dalam bahasa lain selalu ada ‘kearifan lokal’ yang disaring atau filter melalui pengalaman, kebiasaan, pandangan hidup, dan lainnya. Bentuk kesalingan ini ada di akhir film, yaitu ketika Lisa dan Sarah tetap membuat video Youtubenya dengan gaya yang sama akan tetapi apa yang disampaikan berbeda.

Eksplorasi Nyata dari Pertemuan Internet dan Seksualitas
Sudah barang tentu, ketika Lisa melakukan mastrubasi itu sudah menjadi aktivitas dari apa yang diterimanya atas informasi yang bersumber dari gawainya. Sedangkan Sarah ketika dipaksa melakukan persetubuhan adalah konsekuensi dari tahap-tahap sebelumnya yang dia lalui ketika menerima informasi seks yang bersumber dari gawainya.
Di sinilah penentu ketika aktivitas itu dilakukan, dia bertemu dengan siapa? bentuknya apa? dilakukan di mana? situasinya seperti apa? Mungkin dia bertemu dengan peristiwa seperti di Dua Garis Biru (2019) atau hanya berkutat dengan cinta monyet, akan tetapi jika semua referensi tentang dunia seks adalah akses internet yang hampir sama –dengan segala kecanggihannya–, kemungkinan kecil akan sulit bertemu dengan apa yang terjadi dengan AADC (2001), walaupun ada beberapa.
Paling banter jika referensinya AADC (2001) ialah ciuman dengan seseorang yang dia sukai. Dalam Like & Share, sialnya, prefensi Lisa dan Sarah bukan lagi AADC (2001) akan tetapi bokep HP Jatoh dan mungkin yang lainnya. Sialnya lagi Sarah bertemu dengan Devan yang memiliki maksud –dan dilakukan—jahat. Akan tetapi jika dilihat, Lisa dan Sarah sudah mengetahui akan adanya kesepakatan atau persetujuan untuk melakukan apa, namun semua hancur ketika sudah di kamar bersama dengan Devan.
Sedangkan Sarah, eksplorasinya juga ‘bukan main-main’, dia terus mengikuti Fita, hingga mengikuti kelas membuat kue, berkali-kali bahkan hingga mahir. Untungnya, Fita yang pada akhirnya membagikan pengalamannya tentang kekerasan seksual yang diterima oleh mantan suaminya. Bayangkan jika Fita juga memiliki maksud buruk kepada Fita karena mengetahui dirinya dulu.
Dalam dunia nyata, jangan pernah sepelekan hal gila ‘yang bukan main-main’ yang dilakukan anak SMA, jangan salah, mereka pada umumnya akan melakukan hal gila. Misalnya prefensinya tentang tawuran dan musuh antar sekolah, hingga berani membacok, atau melakukan klitih seperti di Yogyakarta. Hal-hal gila ini dilakukan karena prefensinya atas informasi yang diterima oleh pendidikan di luar sekolah –nanti akan dibahas.
Saya pun juga merasakannya, dalam hal ini saya dulu adalah seorang pecinta alam, mendaki gunung tertinggi di Jawa, dengan segala pertimbangan sembrono ala anak SMA, lalu tanpa pikir panjang berangkat, dengan satu prefensi tentang keindahan dan hal-hal lainnya setelah mendaki gunung. Tentu setelah dipikir-dipikir setelahnya itu adalah hal gila, yang jika saja saya mengetahuinya saya tidak akan lakukan. Tetapi itulah unik dan hebatnya. Dalam beberapa hal kita perlu seperti itu.
Pendidikan Luar Sekolah
Klise memang menyebut ‘setiap orang adalah guru’, di satu sisi menunjukan sisi positif, di satu sisi menunjukan sisi bobroknya sekolah formal. Guru itu sejatinya pemengaruh informasi atas apa yang dilakukan di kehidupannya, layaknya anak TK yang diajarkan oleh Gurunya jika mau menyebrang melihat kanan-kiri, selain mengajarkan pengenalan huruf-huruf.
Dalam tahap-tahap itulah antara Lisa dan Sarah saling mempengaruhi ketimbang gurunya di sekolah, yang dalam film ini digambarkan guru olahraganya yang mesum yang ada di film.
Sialnya ini terjadi hampir di seluruh dunia nyata. Atas apa yang dilakukannya setiap hari. Pelajaran itu datang dari orang-orang terdekatnnya orang tuanya, keluarganya, teman tongkrongannya, teman sebangku, teman organisasi pelajarnya, teman se-genk-nya, pacarnya, suami-istrinya, dan lain-lain. Bahkan itu berpengaruh kurang lebih banyak kepada masa depannya.
Saya hampir tidak dapat menjelaskan, bahwa ini begitu berpengaruh. Pendidikan luar sekolah –bukan tempat bimbel (bimbingan belajar) ya!— harus benar-benar diperhatikan oleh siapapun, bukan membatasi, setidaknya tahu akan apa konsekuensinya. Jika saya nongkrong dengan pecandu narkoba, kemungkinan besar saya ikut make narkoba, jika konsekuensi itu diketahui bukan tidak mungkin dia tetap nongkrong, tetapi tidak ikut make karena tahu konsekuensinya.
Dalam Like & Share, berpacaran dengan umur yang jauh di atas, sudah harus mengetahui konsekuensinya. Pertama, itu adalah sebuah keanehan, untuk apa seorang yang mau memasuki umur 30 berpacaran dengan anak SMA. Kedua, jarak yang cukup jauh membuat dominasi secara umur jelas timpang, apalagi laki-laki yang didoktrin untuk menjadi kuat sejak kecil.
Selain itu, pendidikan luar sekolah juga disinggung di awal film oleh film ini. Seperti konfrontasi keluarga terhadap pertemanan antara Lisa dan Sarah yang memiliki aktivitas membuat video ASMR –sebuah video yang menekankan suara yang dalam membuat yang mendengar terasa nyaman, tenang, atau merasakan hal-hal positif menurut pendengarnya.
Hal itu menunjukan bahwa Ninda dan Ario atau Kakanya Sarah (diperankan oleh Kevin Julio) belum bisa menjadi ‘guru’ luar sekolahnya –walaupun perkataan Ninda pada akhirnya diterima oleh Lisa dengan cara doktrin. Secara tidak langsung, persahabatan antara Lisa dan Sarah dari awal hingga akhir film menunjukan cerita solid (utuh) bagaimana pendidikan luar sekolah berjalan.
***
Asal Usul Devan
Setelah membahas narasi cerita yang coba ingin disampaikan oleh Gina S. Noer, saya mencoba hal-hal apa saja yang kurang dalam film ini. Mulai dari membahas sosok seperti Devan, dalam hidup pergaulan anak Jekardah sudah tidak asing lagi, ia disebut PK atau Penjahat Kelamin, seseorang yang berpacaran untuk merenggut perawan atau perjaka pasangannya, atau hanya ingin berorientasi kepada seks lalu berganti pasangan.
Tentu, dalam kehidupan aslinya, prefensi dia terhadap pasangan sudah barang tentu dipengaruhi hal-hal mesum, video bokep, cerita panas, dan lainnya. Tak jarang, juga kondisi biologis –ini masih jadi perdebatan—seperti tingkat hormon dan lain-lain, apakah harus dipicu oleh hal-hal mesum atau tumbuh dengan sendirinya dengan menjadi bejat –dalam hal ini PK.
Dalam tahap-tahap kriminal dia masuk dalam kategori itu, jika merujuk kepada UU TPKS (Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual) ketika seseorang diajak bersetubuh tanpa kesepakatan antara pasangannya atau pemaksaan. Atau setidaknya dijerat dengan UU ITE (Informasi Elektronik). Atau cerita ini diambil sebelum adanya UU TPKS dan UU ITE.
Menarik dibahas, sebab film ini absen membahas asal usul si Devan, yang tiba-tiba datang dikegiatan olahraga untuk merekam, dan hilang tanpa penjelasan asal usulnya, yang hanya ditampilkan sebagai –sepertinya—pelatih workout (olahrga beban tubuh) dan seorang pekerja.
Asal usul mungkin bisa disimbolkan –jika merujuk kepada Gina S. Noer yang jago akan permainan simbol—dengan koleksi video-video bokep atau pesan di Whatsapp yang berisi perempuan semua atau memiliki aplikasi Mi-Chat atau apapun yang menggambarkan rekam jejak dia bejat. Penggambaran baik (dalam tanda kutip) kepada teman (atau murid)nya lainnya selain Sarah di komunitas workout belum cukup, sebab itu memang hal yang lumrah.
Dunia di Balik Internet
Selain absennya asal usul Devan, nihilnya penjelasannya tentang dunia Like and Share alias dunia internet, juga menjadi perhatian. Sebab, film ini telah mengambil 2 kata kunci yang sering diambil di dunia internet, terkhusus media sosial.Adegan simbol-simbol emoticon media sosial atau membaca komentar tidaklah cukup, sebab itu salah satu konsekuensi dari Like and Share terhadap suatu konten di Youtube yang menjalankan alogaritma.
Sayang sekali, kekosongan ini mungkin yang paling fatal, ketimbang asal usul Devan –yang bisa saja beralasan bukan mengambil sudut pandang cerita si Bejat.
Ambil bagian pembahasan alogaritma ini misalnya dengan penggambaran layar gawai Youtube antara Ninda dan Lisa yang secara aktivitas berbeda. Yang satu memiliki prefensi menonton dakwah yang pada akhirnya memunculkan rekomendasi tontonan dakwah-dakwah agama, sedangkan tampilan gawai Lisa yang memunculkan video-video ASMR atau video dewasa sesuai aktivitas apa yang dia tonton dan dia cari.
Keduanya hampir tidak bisa keluar dari Bubble Trap karena alogaritma yang ada, kecuali konfrontasi di kehidupan nyata, yang memaksa mereka merubah pandangan hidup –termasuk mencari informasi.
Itu sudah cukup menjadi simbol bahwa sudut pandang keduanya ditentukan dari apa prefensi yang dia tonton, terlebih Gina S. Noer jago akan simbol-simbol.
Drama Tiga Babak yang Kentang
Selanjutnya membahas tentang Kentang, bukan makanan, ia adalah bahasa gaul Jekardah yang berasal dari kepanjangan Kena Tanggung. Drama tiga babak Like & Share sangat nanggung di akhir, tanpa klimaks. Memang, kata-kata di akhir Sarah membuat itu menjadi penutup menarik –yang secara tegas menempatkan posisi film ini berada di mana.
Selain itu juga disinggung sedikit tentang spill (membocorkan) di media sosial, kultur ini sebagai lawan dari otoritas berbentuk patriarki laki-laki yang melakukan kekerasan seksual, yang dalam hal ini merasuk dalam Devan, absen dalam film ini. Apalagi jerat hukum, yang memang bisa saja dimasukan dalam penyebaran informasi, layaknya Ariel pada tahun 2010 –walau dalam hal ini berbeda kasus, satu nyata dan satu tidak nyata, satu suka sama suka (?) satu dipaksa.
Kultur spill ini memang menjadi kekuatan terakhir untuk membocorkan informasi penting mengenai pelaku, memanfaatkan internet sebagai kekuatannya ‘tanpa batas’ melalui akun anonim (tidak dikenal). Akan lebih menarik jika hal tersebut dimasukan dalam film, walau secara harfiah sudah disampaikan, jika tidak salah begini, “walau sudah dispill, laki-laki akan tetap hidup bebas di luar sana”.
Oh tidak, kenyataan spill ini banyak manfaatnya, berpengaruh mulai dari pekerjaan, sekolah, dan hukum tentunya. Tentu dengan informasi spill yang tepat, bukan sekedar tuduhan. Jangan main-main dengan netizen Indonesia, adagium yang terkadang berguna untuk kasus-kasus seperti ini.
Akan tetapi saya ingin menyampaikan yang lebih ekstrim lagi, film ini secara utopia menempatkan babak akhir adalah keberanian Sarah dalam menyampaikan sesuatu di akhir rekaman video Youtubenya.
Secara kenyataan jelas banyak yang berbeda, mulai dari bunuh diri, mengurung diri, menutup diri, hingga stress atau menjadi gila. Tentu, saya menangkap pesan untuk kuat kepada perempuan atau penyintas kekerasan seksual, saya juga paham bahwa ini bukan film dokumenter, jika ini film dokumenter sudah pasti babak akhirnya mayoritas menyedihkan.
***

Gina S. Noer: Juru Bicara Anak Muda
Di balik kekurangan film Like & Share, saya berharap Gina S. Noer bisa menjadi juru bicara anak muda pada eranya. Bukan hanya film cinta menyek-menyek (tetapi juga tidak bisa dihindari), tetapi juga film yang bisa memberikan makna, kesan, atau pengalaman selama dan setelah menonton. Terlebih menjadi ‘tanda’ –sesuai dengan kekuatan Gina S. Noer akan simbol dan tanda— pada era-nya.
Sutradara | Gina S. Noer |
---|---|
Produser | Chand Parwez Servia, Gina S. Noer |
Penulis | Gina S. Noer |
Pemeran | Aurora Ribero, Arawinda Kirana, Aulia Sarah, Jerome Kurnia |
Penata musik | Aria Prayogi |
Sinematografer | Deska Binarso |
Penyunting | Aline Jusria |
Perusahaan produksi | Starvision Plus, Wahana Kreator Nusantara |
Tanggal rilis | 8 Desember 2022 (Indonesia), 27 Januari 2023 (Festival Film Internasional Rotterdam), 23 April 2023 (Red Lotus Asian Film Festival) |
Durasi | 112 menit |


Diterbitkan: Jumat, 19 Mei 2023 Pukul: 17.00 WIB Jurnalis: Adi Fauzanto
