Like & Share (2023): Film Hampir Sempurna untuk Menjelaskan Benang Kusut Kekerasan Seksual Remaja ‘Zaman Now’


Kebijakan.co.id Liputan Film

Adi Fauzanto-19/05/23 (17.00 WIB)-#18 Menit

Read in English Language Version

Kritik Film Like Share

Sutradara (paling) berbakat, Gina S. Noer kembali mengeluarkan mahakaryanya melalui Like & Share (2023), sekaligus kembali dengan tema yang dekat sekali dengan anak muda ‘zaman now’.

Di balik mahakarya filmnya ini, terdapat beberapa kekurangan yang mungkin terlewat oleh Sang Sutradara –sekaligus juga penulis naskahnya. Apa saja itu?

***

Kebijakan.co.id – Sebagai remaja Jekardah –pelesetan Jakarta dengan aksen Cinta Laura– yang tumbuh 2010 ke atas, saya berani menobatkan Gina S. Noer (sutrada Like & Share) –tak berlebihan— bisa dikatakan adalah sutradara paling berbakat, masa depan dunia film Indonesia. Mengapa? debutnya film Dua Garis Biru (2019) adalah film yang sangat tepat, ibarat bermain Dart Board tepat di tengah titik merahnya.

Saya menyaksikan dengan langsung fenomena itu dengan nyata, tidak hanya satu kali, dan gilanya bahkan hampir melakukannya –ini mungkin terlalu pribadi, akan tetapi itu benar-benar terjadi. Film yang menjadi masterpiece (mahakarya) di mata saya, bahkan saya menceritakan kepada teman saya yang notabene tidak besar di Jakarta, peristiwa ini adalah hal yang lumrah. Kedekatan isu dan cara bercerita benar-benar sangat tepat.

Kini, dengan Like & Share (2022) lagi-lagi Sang Sutradara paling berbakat ini benar-benar menceritakannya dengan tepat, tepat sekali. Sebagai generasi peralihan –yang umumnya disebut Gen Z— yang besar dengan gawai dan aplikasi di sekitarnya seperti Facebook, Blackberry Mesengger, Instagram, Twitter, Line terlebih dibesarkan di lingkungan perkotaan seperti Jakarta, menurut saya Film Like & Share (2022) adalah sebuah masterpiece, sempurna, sangat nyata, dan tepat. Film ini ‘hidup’ di antara kehidupan sekolah-sekolah putih abu-abu –setidaknya di Jakarta dan mungkin kota besar lainnya.

Benar-benar seperti menonton dokumenter apa yang terjadi di masa lalu –yang tidak terlalu jauh–, tentang perilaku ‘remaja’ generasi yang tumbuh dengan gawai dengan segala bentuk keliaran dan keingintahuannya yang tinggi. Dua Garis Biru (2019) dan Like & Share (2022) tak kurangnya saling melengkapi di antara kesempurnaan, menjadi lebih sempurna. Keduanya begitu dekat, dekat sekali ketimbang film anak SMA (Sekolah Menengah Atas) di dekatnya seperti Dilan 1991 (berbagai versi), Teman Tapi Menikah (2 jilid), Dear Nathan (2 jilid), dan lainnya.

Sekali lagi, tak kurang saya takjub dengan cerita-cerita yang diangkat begitu dekat sekali. Saya tidak bisa menghukum ‘peristiwa’ di atas yang terjadi ketika gawai dan remaja-remaja ini eksis adalah sebuah kesalahan, akan tetapi saya berani mengatakan bahwa ke dua film Gina S. Noer ibarat seperti perkataan di awal novel Max Havelaar, oleh John F. Keneddy “Jika politik bengkok, sastra akan meluruskannya.” Film Gina S. Noer melakukannya dalam ranah yang berbeda bukan politik tetapi gaya hidup, dengan sastra dan seni film.

Bom waktu masalah ini untuk diceritakan kembali dengan keindahan atau seni sastra bercerita ini, sudah direbut ‘dengan kurun waktu sangat cepat’ –tak perlu berganti dekade atau generasi— sudah diceritakan. Seperti peristiwa 65’ yang baru banyak di angkat setelah reformasi 98 atau yang lebih lama lagi yaitu kolonialisme sejak abad ke-17 dengan sebuah novel Max Havelaar yang lahir abad ke-19 akhir.

Keluh saya cuma satu, mengapa dia tidak hadir lebih cepat di awal 2010-an ketika saya sedang tumbuh.

Saya berani mengatakan, kepada seluruh pihak-pihak yang berkepentingan seperti pemerintah, perusahaan besar, atau siapapun yang mempunyai kuasa materi, berinvestasilah dengan sutradara paling berbakat, Gina S. Noer, dia adalah ‘juru film’ (meminjam istilah juru bicara) remaja zaman now.

***

Mari, membuktikan kalau Like & Share (2022) adalah masterpiece, karya yang menjadi juru bicara generasinya. Mulai dari perilaku remaja-remaja dan dunia di sekitarnya yang absurd yang coba diangkat Like & Share (2022), serta beberapa kekurangan minor (sedikit) –yang mungkin tidak dijelaskan karena keterbatasan waktu film. Setelah itu, membahas teknis film, yang menurut saya tidak kalah kerennya karena isu yang tepat diangkat oleh orang dan skill yang tepat, serta beberapa kekurangan teknis film yang absen dalam film ini.

Secara ringkas: Pertama, kisah yang diangkat adalah dunia Gawai dan Internet (Digital) sebagai generasi yang tumbuh dan besar bersamanya, tentunya ‘generasi kelinci percobaan’ yang bahkan orang tua kita hanya tau mendasar dan bahkan tidak banyak lebih tau, terlebih lebih banyak kita yang mengajarkan. Pintu masuk itulah yang membuka dunia besar yang akan kita bahas berikutnya.

Kedua, ketika dunia Internet dengan segala kemudahan, kebebasan, dan cara berpikir komputasi (alogaritma) bertemu dengan eksplorasi seksualitas –yang sudah secara naluri ketika anak tumbuh dewasa–, yang lepas dari pendidikan formal sekolah dan keluarga. Ini adalah pintu menuju ruangan spesisifik isu yang diangkat film ini.

Ketiga, setelah pertemuan itu, adalah bentuk eksplorasi nyata, bentuknya bisa berbeda-beda, tergantung dengan siapa, di mana, kapan, dan situasi apa yang mempertemukan dengannya. Mungkin hanya berpacaran, pegangan tangan, berduaan, jalan ke Mall, nonton, atau hingga dugem. Di sinilah ruangan nyata yang akan di bahas.

Keempat, masih berhubungan dengan hal sebelumnya adalah pendidikan luar sekolah, di mana orangtua, keluarga, orang-orang sekitar kawan setongkrongan, kawan pulang sekolah, ibarat teman sebaya, setempat duduk, kekantin bareng, hingga ke toilet bareng, menjadi faktor penting pendidikan luar sekolah. Di sinilah sempilan dari ruangan tersebut, yang bisa dilihat tidak penting, tapi bisa jadi faktor yang sangat amat penting.

Sedangkan kekurangan secara ringkas: Pertama, cerita sudut pandang Sang PK (Penjahat Kelamin) –adalah sebutan yang terkenal di kalangan tongkrongan anak-anak Jekardah. Mengapa dia bisa menjadi seperti itu? itulah yang menjadi kekurangan film ini dan yang akan dibahas.

Kedua, tentang dunia Internet itu sendiri, sebagai film yang berjudul Like & Share mungkin kurang tepat rasanya jika tidak membahas dunia di balik internet itu sendiri, mungkin tentang alogaritma atau dunia dewasa di baliknya atau blokir-memblokir oleh pemerintah. Ketiga, sebagai film dengan drama 3 babak, klimaks film ini terasa kurang menendang.

Selain cerita, secara ringas (dan tidak akan dijelaskan lebih dalam) teknis film ini kembali mengulang simbol-simbol penuh makna dari ala Gina S. Noer, mulai dari poster film hingga detik terakhir film, itu yang Pertama. Kedua, dalam film ini Gina S. Noer berani memainkan warna dan suara yang ciamik.

Terakhir yang Ketiga, tak kalah pentingnya ialah adegan Seks yang luar biasa memukau dan penuh persiapan matang, yang memperhatikan pemeran dengan mempersiapkan pemeran pengganti di awal, latihan yang matang, kesepakatan apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan, hingga eksekusi yang terbatas dari kru film.

Sedangkan kekurangannya menurut saya hanya satu, jika membandingkan dengan masterpiece sebelumnya Dua Garis Biru (2019) terasa sekali ada yang kurang. Bukan tentang simbol-simbol atau eksplorasi permainan teknik film yang baru.

Lalu, apa itu? yaitu lagu dalam film, masih terngiang jelas lirik lagu “Can Anybody Tell Me? Can Anybody Help Me, How To, What To Do?” dalam film Dua Garis Biru (2019) yang ‘sangat menggangu’ itu. Lagu itu hadir sebagai penanda bahwa ia milik Dua Garis Biru (2019) dan sebaliknya Dua Garis Biru (2019) sebagai empu (pemilik) lagu itu. Itulah yang nanti akan dieksplorasi kekurangan film itu.

Meme Dua Garis Biru
Meme Dua Garis Biru (Sumber: 1Cak)

***

Dunia Baru Itu Bernama Dunia Internet dan Digital

Pembahasan ini dimulai dari sebuah permisalan, jika saya nanti berumur 40 tahun, teknologi baru ditemukan yaitu mencetak makanan hanya dengan mesin –layaknya printer. Tentu jika saya punya anak mereka akan senang bertemu alat itu, jika saya? saya akan bingung sebab 3 dekade lamanya saya hanya memasak dan mengolah makanan dari yang belum matang hingga menjadi matang –kecuali ketika membeli makanan. Bukan mencetaknya.

Tentu pada awalnya, saya menolak, ketika sudah menjadi gaya hidup massal, secara otomatis saya akan mengikutinya, sebab berkaitan dengan kebutuhan: makanan. Begitu juga halnya dengan informasi, apalagi dengan seks.

Gambaran tersebut adalah gambaran ketika internet ditemukan dan mulai diproduksi massal serta menjadi ‘gaya hidup’ baru. Sedangkan tidak ada panduan khusus, atau arahan khusus utamanya dari orang tua, orang-orang sekitar, guru, sekolah, dan bahkan (apalagi) pemerintah.

Ibarat penjelajah eropa menemukan serpihan benua lainnya, dia tidak mengetahui batasan-batasan tentang dunia baru itu, ujungnya? Ya, kolonialisme –setidaknya itu hal buruk bagi Indonesia, walaupun dari sana ditemukan banyak penemuan sekaligus pintu masuk era-industri. Hal itu terjadi kembali, dengan dunia berbeda dan generasi berbeda, itu adalah dunia digital dan generasi yang lahir pasca 1990-an hingga 2000 awal.

Internet ditemukan memang pada awalnya ditunjukan untuk memberikan informasi untuk kepentingan perang dingin. Karakter tersebutlah yang dikembangkan, hingga menjadi no bounders atau informasi yang tidak ada batas atau sekat –mungkin baru saat-saat ini aja ada persetujuan atau ada batasan tertentu seperti penggunaan data pribadi. Sekat-sekat itulah yang memungkinkan pengguna ‘yang baik’ dan ‘tidak’ bertemu.

Ibarat media informasi sebelumnya, misalnya seperti majalah, ada batas-batas bernama editor dan tentu kertas itu sendiri –dari bijih kayu yang terbatas. Sehingga pembaca (pengguna) hanya bertemu informasi yang sama di atas kertas itu.

Meme Mark Zuckerberg sedang Memperbaiki Facebook (Sumber: Twitter)

Saya melihat dengan jelas gambaran-gambaran ini terbesit dengan jelas maksud apa yang ingin disampaikan Gina S. Noer tentang dunia internet dan digital dengan segala kehidupan sosialnya.

Pertama, adegan intens antara Lisa (diperankan oleh Aurora Ribero) dan Ibunya, Ninda (diperankan oleh Unique Priscilla), yang menggambarkan gagapnya orangtua dengan anaknya dengan dunia barunya di gawai berisikan media sosial dan segala informasi yang dibutuhkan. Secara eksplisit keduanya, Lisa dan Ninda sama-sama masih mengeksplorasi hal yang baru, keduanya benar-benar baru melihat dunia digital dan internet. Prefensi ini dilihat ketika Ninda menyarankan menonton dakwah online ustadz tertentu di Youtube, yang kontras dengan apa yang dilakukan Lisa menonton bokep.

Tentu eksplorasi keduanya berbeda, di antara orang tua yang sudah mengetahui dunia seks dan sebaliknya sang anak yang baru menjelajahi dunia baru. Algoritma –yang akan dibahas nanti— memisahkan jauh dunia di gawainya antara Lisa dan Ninda, antara ‘malaikat’ dan ‘setan’. Jika saja, keduanya mengetahui di balik dunia alogaritma media sosial dan internet yang no bounder, bisa saja keduanya saling mengerti dan memahami. Akan tetapi, sebaliknya, bukan tidak mungkin keduanya menjurus hal yang paling ekstrim di antara keduanya, ‘Menjadi Paling Malaikat’ dan ‘Menjadi Paling Setan’, di film ini masih dalam tahap toleran.

Tentu kejadian di dunia nyata, melihat ‘Menjadi Paling Malaikat’ bisa mengantarkan orang berpindah negara yang sedang berperang serta membunuh dirinya sendiri dan orang lain akibat paparan informasi bubble trap atau jebakan gelembung informasi akibat alogaritma media sosial, bahasa ‘lembut’nya menjadi teroris. ‘Menjadi Paling Setan’ bisa mengantarkan orang terjerumus ke hal-hal yang paling gila, dengan mencoba hal-hal tanpa mengetahui konsekuensinya mulai dari seks bebas hingga narkoba yang berawal dari informasi bubble trap.

Kedua, adegan intens kedua tokoh utama antara Lisa dan Sarah (diperankan oleh Arawinda Kirana) adalah gambaran solid tentang bagaimana ‘generasi baru’ ini mengeksplorasi hal yang baru juga. Hal-hal seperti: coba dulu, tanpa melihat konsekuensi, dibawa senang ‘yang penting happy’, adalah karakter ketika seseorang mencoba hal baru, apapun media, medan, situasi, dan barangnya.

Hampir setengah film, kedua tokoh utama ini melakukannya. Lagi-lagi karakter ini hidup dalam bubble trap dunia internet menjebak ke dalam hal ekstrim. Lisa mencoba mastrubasi dan Sarah mencoba memasuki dunia seks. Awalnya sederhana yaitu dengan hanya mengomentari video bokep HP jatoh, dengan alogaritmanya memasuki bubble trap tidak bisa keluar, dan memungkinkan masuk ke dalam tahap ekstrim (melakukan aksi) atas apa yang diterima informasinya.

Pemaknaan atas informasi itulah yang mengantarkan kepada hal yang ekstrim, pemaknaan tersebut juga dibantu dan dipengaruhi oleh konfrontasi ‘yang berhasil’ oleh orang-orang sekitar. Misalnya Lisa yang berhasil dikonfrontasi oleh orangtuanya atau Sarah yang gagal dikonfrontasi oleh Lisa saat ketidaksetujuannya pacaran dengan Devan (diperankan oleh Jerome Kurnia). Tentu, konfrontasi ini tidak terjadi di dunia internet atau digital, dia hanya terjadi di dunia nyata atau dunia di sekitarnya.

Pertemuan Dunia Internet dan Seksualitas

Ketika memasuki dunia baru itu, bertemu dengan keliaran anak muda, dengan memasuki ‘suka sama suka’ dengan lawan jenis. Ketika prefensinya adalah dunia internet tanpa batas yang bisa mengakses hingga ke selangkangan orang per orang. Bukan tidak mungkin, di dunia nyata dia melakukan hal yang paling ekstrim.

Jika dibandingkan dengan generasi sebelumnya, prefensinya adalah film bioskop dewasa yang dibatasi tayangan pemutaran –dan tentu tidak dimiliki oleh dia informasinya—atau majalah dewasa yang harus sembunyi-sembunyi membacanya. Berbeda zaman, ketika dunia memasuki alat teknologi bernama digital, awalnya melalui kaset yang dibajak, hingga masuk ke dalam gawai yang otomatis informasi tersebut menjadi miliki kita, tanpa batas waktu, dan tidak perlu sembunyi-sembunyi karena berpenampilan gawai pada umumnya –kecuali hpnya diakses oleh orang lain.

Absenya pendidikan formal –yang memang selalu ketinggalan, karena memiliki otoritas yang berbelit-belit—terhadap perkembangan teknologi dan masalah nyata yang dihadapi masyarakatnya. Buktinya, kasus kehamilan di luar sekolah memang sudah terjadi sejak dahulu, akan tetapi sekarang menjadi menarik karena pemicunya adalah informasi melalui dunia internet, berupa bokep atau apapun yang menggugah nafsu liar anak muda.

Dalam hipotesa saya, dunia baru itu memasuki beberapa tahap hingga tahap ekstrim (melakukan sesuatu untuknya). Pertama, tahap penerimaan, di mana ketika orang mengetahui informasi, teknologi, atau barang baru, atau sesuatu apapun yang baru, mereka akan berkonfrontasi dengan pengalamannya yang lama secara budaya (kebiasaan) serta nilai (pelajaran-pelajaran) yang diembannya. Penerimaan tersebut menghasilkan tiga jenis: kesalingan –mencari titik tengah—, penolakan, atau persetujuan.

Kedua, ketika dunia baru itu diterima dengan kesalingan, menghasilkan produk budaya (kebiasaan) dan nilai (pelajaran-pelajaran) baru –bahasanya ialah akulturasi atau kearifan lokal. Jika persetujuan, menghasilkan kebiasaan dan nilai yang diterimanya menjadi aktivitas nyata, yang dalam hal ini masuk ke dalam tahap yang paling ekstrim.

Dari tahap-tahap penerimaan yang saya buat, jika merujuk kepada film maka akan ditemukan:

Lisa dan Sarah berangkat dari awal garis yang sama, memasuki tahap persetujuan dengan ketika mulai mengakses video bokep bersama, hingga tahap yang paling ekstrim ialah melakukan mastrubasi untuk Lisa dan melakukan seks bebas untuk Sarah.

Namun seperti apa yang saya katakan tadi Lisa mendapatkan konfrontasi melalui pengalaman ibunya sehingga menciptakan kesalingan, dibuktikan dengan Lisa terus penarasan dengan bokep HP Jatoh, serta mendapatkan pengalaman dari Fita (diperankan oleh Aulia Sarah) yang merupakan penyintas dari bokep HP Jatoh.

Sedangkan, Sarah menunjukan persetujuan walaupun dengan dikonfrontasi oleh Lisa dengan alasan yang masuk akal “perbedaan umur yang cukup jauh” membuat hubungannya tidak seperti pada umumnya pasangan anak SMA. Kesalingan hadir ketika Sarah mendapatkan pengalamannya dari diri sendiri karena dipaksa bersetubuh oleh pasangannya.

Setiap hal baru sudah barang tentu terjadi kesalingan, dalam bahasa lain selalu ada ‘kearifan lokal’ yang disaring atau filter melalui pengalaman, kebiasaan, pandangan hidup, dan lainnya. Bentuk kesalingan ini ada di akhir film, yaitu ketika Lisa dan Sarah tetap membuat video Youtubenya dengan gaya yang sama akan tetapi apa yang disampaikan berbeda.

Eksplorasi Nyata dari Pertemuan Internet dan Seksualitas

Sudah barang tentu, ketika Lisa melakukan mastrubasi itu sudah menjadi aktivitas dari apa yang diterimanya atas informasi yang bersumber dari gawainya. Sedangkan Sarah ketika dipaksa melakukan persetubuhan adalah konsekuensi dari tahap-tahap sebelumnya yang dia lalui ketika menerima informasi seks yang bersumber dari gawainya.

Di sinilah penentu ketika aktivitas itu dilakukan, dia bertemu dengan siapa? bentuknya apa? dilakukan di mana? situasinya seperti apa? Mungkin dia bertemu dengan peristiwa seperti di Dua Garis Biru (2019) atau hanya berkutat dengan cinta monyet, akan tetapi jika semua referensi tentang dunia seks adalah akses internet yang hampir sama –dengan segala kecanggihannya–, kemungkinan kecil akan sulit bertemu dengan apa yang terjadi dengan AADC (2001), walaupun ada beberapa.

Paling banter jika referensinya AADC (2001) ialah ciuman dengan seseorang yang dia sukai. Dalam Like & Share, sialnya, prefensi Lisa dan Sarah bukan lagi AADC (2001) akan tetapi bokep HP Jatoh dan mungkin yang lainnya. Sialnya lagi Sarah bertemu dengan Devan yang memiliki maksud –dan dilakukan—jahat. Akan tetapi jika dilihat, Lisa dan Sarah sudah mengetahui akan adanya kesepakatan atau persetujuan untuk melakukan apa, namun semua hancur ketika sudah di kamar bersama dengan Devan.

Sedangkan Sarah, eksplorasinya juga ‘bukan main-main’, dia terus mengikuti Fita, hingga mengikuti kelas membuat kue, berkali-kali bahkan hingga mahir. Untungnya, Fita yang pada akhirnya membagikan pengalamannya tentang kekerasan seksual yang diterima oleh mantan suaminya. Bayangkan jika Fita juga memiliki maksud buruk kepada Fita karena mengetahui dirinya dulu.

Dalam dunia nyata, jangan pernah sepelekan hal gila ‘yang bukan main-main’ yang dilakukan anak SMA, jangan salah, mereka pada umumnya akan melakukan hal gila. Misalnya prefensinya tentang tawuran dan musuh antar sekolah, hingga berani membacok, atau melakukan klitih seperti di Yogyakarta. Hal-hal gila ini dilakukan karena prefensinya atas informasi yang diterima oleh pendidikan di luar sekolah –nanti akan dibahas.

Meme Tawuran (Sumber: MCRI)

Saya pun juga merasakannya, dalam hal ini saya dulu adalah seorang pecinta alam, mendaki gunung tertinggi di Jawa, dengan segala pertimbangan sembrono ala anak SMA, lalu tanpa pikir panjang berangkat, dengan satu prefensi tentang keindahan dan hal-hal lainnya setelah mendaki gunung. Tentu setelah dipikir-dipikir setelahnya itu adalah hal gila, yang jika saja saya mengetahuinya saya tidak akan lakukan. Tetapi itulah unik dan hebatnya. Dalam beberapa hal kita perlu seperti itu.

Pendidikan Luar Sekolah

Klise memang menyebut ‘setiap orang adalah guru’, di satu sisi menunjukan sisi positif, di satu sisi menunjukan sisi bobroknya sekolah formal. Guru itu sejatinya pemengaruh informasi atas apa yang dilakukan di kehidupannya, layaknya anak TK yang diajarkan oleh Gurunya jika mau menyebrang melihat kanan-kiri, selain mengajarkan pengenalan huruf-huruf.

Dalam tahap-tahap itulah antara Lisa dan Sarah saling mempengaruhi ketimbang gurunya di sekolah, yang dalam film ini digambarkan guru olahraganya yang mesum yang ada di film.

Sialnya ini terjadi hampir di seluruh dunia nyata. Atas apa yang dilakukannya setiap hari. Pelajaran itu datang dari orang-orang terdekatnnya orang tuanya, keluarganya, teman tongkrongannya, teman sebangku, teman organisasi pelajarnya, teman se-genk-nya, pacarnya, suami-istrinya, dan lain-lain. Bahkan itu berpengaruh kurang lebih banyak kepada masa depannya.

Saya hampir tidak dapat menjelaskan, bahwa ini begitu berpengaruh. Pendidikan luar sekolah –bukan tempat bimbel (bimbingan belajar) ya!— harus benar-benar diperhatikan oleh siapapun, bukan membatasi, setidaknya tahu akan apa konsekuensinya. Jika saya nongkrong dengan pecandu narkoba, kemungkinan besar saya ikut make narkoba, jika konsekuensi itu diketahui bukan tidak mungkin dia tetap nongkrong, tetapi tidak ikut make karena tahu konsekuensinya.

Dalam Like & Share, berpacaran dengan umur yang jauh di atas, sudah harus mengetahui konsekuensinya. Pertama, itu adalah sebuah keanehan, untuk apa seorang yang mau memasuki umur 30 berpacaran dengan anak SMA. Kedua, jarak yang cukup jauh membuat dominasi secara umur jelas timpang, apalagi laki-laki yang didoktrin untuk menjadi kuat sejak kecil.

Selain itu, pendidikan luar sekolah juga disinggung di awal film oleh film ini. Seperti konfrontasi keluarga terhadap pertemanan antara Lisa dan Sarah yang memiliki aktivitas membuat video ASMR –sebuah video yang menekankan suara yang dalam membuat yang mendengar terasa nyaman, tenang, atau merasakan hal-hal positif menurut pendengarnya.

Hal itu menunjukan bahwa Ninda dan Ario atau Kakanya Sarah (diperankan oleh Kevin Julio) belum bisa menjadi ‘guru’ luar sekolahnya –walaupun perkataan Ninda pada akhirnya diterima oleh Lisa dengan cara doktrin. Secara tidak langsung, persahabatan antara Lisa dan Sarah dari awal hingga akhir film menunjukan cerita solid (utuh) bagaimana pendidikan luar sekolah berjalan.

***

Asal Usul Devan

Setelah membahas narasi cerita yang coba ingin disampaikan oleh Gina S. Noer, saya mencoba hal-hal apa saja yang kurang dalam film ini. Mulai dari membahas sosok seperti Devan, dalam hidup pergaulan anak Jekardah sudah tidak asing lagi, ia disebut PK atau Penjahat Kelamin, seseorang yang berpacaran untuk merenggut perawan atau perjaka pasangannya, atau hanya ingin berorientasi kepada seks lalu berganti pasangan.

Tentu, dalam kehidupan aslinya, prefensi dia terhadap pasangan sudah barang tentu dipengaruhi hal-hal mesum, video bokep, cerita panas, dan lainnya. Tak jarang, juga kondisi biologis –ini masih jadi perdebatan—seperti tingkat hormon dan lain-lain, apakah harus dipicu oleh hal-hal mesum atau tumbuh dengan sendirinya dengan menjadi bejat –dalam hal ini PK.

Dalam tahap-tahap kriminal dia masuk dalam kategori itu, jika merujuk kepada UU TPKS (Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual) ketika seseorang diajak bersetubuh tanpa kesepakatan antara pasangannya atau pemaksaan. Atau setidaknya dijerat dengan UU ITE (Informasi Elektronik). Atau cerita ini diambil sebelum adanya UU TPKS dan UU ITE.

Menarik dibahas, sebab film ini absen membahas asal usul si Devan, yang tiba-tiba datang dikegiatan olahraga untuk merekam, dan hilang tanpa penjelasan asal usulnya, yang hanya ditampilkan sebagai –sepertinya—pelatih workout (olahrga beban tubuh) dan seorang pekerja.

Asal usul mungkin bisa disimbolkan –jika merujuk kepada Gina S. Noer yang jago akan permainan simbol—dengan koleksi video-video bokep atau pesan di Whatsapp yang berisi perempuan semua atau memiliki aplikasi Mi-Chat atau apapun yang menggambarkan rekam jejak dia bejat.  Penggambaran baik (dalam tanda kutip) kepada teman (atau murid)nya lainnya selain Sarah di komunitas workout belum cukup, sebab itu memang hal yang lumrah.

Dunia di Balik Internet

Selain absennya asal usul Devan, nihilnya penjelasannya tentang dunia Like and Share alias dunia internet, juga menjadi perhatian. Sebab, film ini telah mengambil 2 kata kunci yang sering diambil di dunia internet, terkhusus media sosial.Adegan simbol-simbol emoticon media sosial atau membaca komentar tidaklah cukup, sebab itu salah satu konsekuensi dari Like and Share terhadap suatu konten di Youtube yang menjalankan alogaritma.

Sayang sekali, kekosongan ini mungkin yang paling fatal, ketimbang asal usul Devan –yang bisa saja beralasan bukan mengambil sudut pandang cerita si Bejat.

Ambil bagian pembahasan alogaritma ini misalnya dengan penggambaran layar gawai Youtube antara Ninda dan Lisa yang secara aktivitas berbeda. Yang satu memiliki prefensi menonton dakwah yang pada akhirnya memunculkan rekomendasi tontonan dakwah-dakwah agama, sedangkan tampilan gawai Lisa yang memunculkan video-video ASMR atau video dewasa sesuai aktivitas apa yang dia tonton dan dia cari.

Keduanya hampir tidak bisa keluar dari Bubble Trap karena alogaritma yang ada, kecuali konfrontasi di kehidupan nyata, yang memaksa mereka merubah pandangan hidup –termasuk mencari informasi.

Itu sudah cukup menjadi simbol bahwa sudut pandang keduanya ditentukan dari apa prefensi yang dia tonton, terlebih Gina S. Noer jago akan simbol-simbol.

Drama Tiga Babak yang Kentang

Selanjutnya membahas tentang Kentang, bukan makanan, ia adalah bahasa gaul Jekardah yang berasal dari kepanjangan Kena Tanggung. Drama tiga babak Like & Share sangat nanggung di akhir, tanpa klimaks. Memang, kata-kata di akhir Sarah membuat itu menjadi penutup menarik –yang secara tegas menempatkan posisi film ini berada di mana.

Selain itu juga disinggung sedikit tentang spill (membocorkan) di media sosial, kultur ini sebagai lawan dari otoritas berbentuk patriarki laki-laki yang melakukan kekerasan seksual, yang dalam hal ini merasuk dalam Devan, absen dalam film ini. Apalagi jerat hukum, yang memang bisa saja dimasukan dalam penyebaran informasi, layaknya Ariel pada tahun 2010 –walau dalam hal ini berbeda kasus, satu nyata dan satu tidak nyata, satu suka sama suka (?) satu dipaksa.

Kultur spill ini memang menjadi kekuatan terakhir untuk membocorkan informasi penting mengenai pelaku, memanfaatkan internet sebagai kekuatannya ‘tanpa batas’ melalui akun anonim (tidak dikenal). Akan lebih menarik jika hal tersebut dimasukan dalam film, walau secara harfiah sudah disampaikan, jika tidak salah begini, “walau sudah dispill, laki-laki akan tetap hidup bebas di luar sana”.

Oh tidak, kenyataan spill ini banyak manfaatnya, berpengaruh mulai dari pekerjaan, sekolah, dan hukum tentunya. Tentu dengan informasi spill yang tepat, bukan sekedar tuduhan. Jangan main-main dengan netizen Indonesia, adagium yang terkadang berguna untuk kasus-kasus seperti ini.

Akan tetapi saya ingin menyampaikan yang lebih ekstrim lagi, film ini secara utopia menempatkan babak akhir adalah keberanian Sarah dalam menyampaikan sesuatu di akhir rekaman video Youtubenya.

Secara kenyataan jelas banyak yang berbeda, mulai dari bunuh diri, mengurung diri, menutup diri, hingga stress atau menjadi gila. Tentu, saya menangkap pesan untuk kuat kepada perempuan atau penyintas kekerasan seksual, saya juga paham bahwa ini bukan film dokumenter, jika ini film dokumenter sudah pasti babak akhirnya mayoritas menyedihkan.

***

Like & Share

Gina S. Noer: Juru Bicara Anak Muda

Di balik kekurangan film Like & Share, saya berharap Gina S. Noer bisa menjadi juru bicara anak muda pada eranya. Bukan hanya film cinta menyek-menyek (tetapi juga tidak bisa dihindari), tetapi juga film yang bisa memberikan makna, kesan, atau pengalaman selama dan setelah menonton. Terlebih menjadi ‘tanda’ –sesuai dengan kekuatan Gina S. Noer akan simbol dan tanda— pada era-nya.

SutradaraGina S. Noer
ProduserChand Parwez Servia, Gina S. Noer
PenulisGina S. Noer
PemeranAurora Ribero, Arawinda Kirana, Aulia Sarah, Jerome Kurnia
Penata musikAria Prayogi
SinematograferDeska Binarso
PenyuntingAline Jusria
Perusahaan
produksi
Starvision Plus, Wahana Kreator Nusantara
Tanggal rilis8 Desember 2022 (Indonesia), 27 Januari 2023 (Festival Film Internasional Rotterdam), 23 April 2023 (Red Lotus Asian Film Festival)
Durasi112 menit
Adi Fauzanto
Diterbitkan: Jumat, 19 Mei 2023
Pukul: 17.00 WIB
Jurnalis: Adi Fauzanto
Liputan Mendalam

KUPI, Perempuan dalam Islam, dan Ketidakadilan Gender


Kebijakan.co.idLiputan Mendalam

Fayza Rasya-8 Des 2022 (18.00 WIB)-#80 Paragraf

Kekerasan seksual terhadap perempuan tercatat baik oleh Komnas Perempuan dari tahun 2001 hingga 2021, ada banyak faktor penyebabnya, mulai dari stigma, peminggiran, hingga sterotipe terhadap perempuan yang menyebabkan kekerasan. Hal tersebut, dilanggengkan oleh budaya, pendidikan, dan laku sehari-hari, terlebih melalui kebijakan publik yang diskriminatif.

Tak terkecuali praktik-praktik dalam Islam, sebagai otoritas agama mayoritas juga turut andil dalam memelihara simbol terhadap perempuan yang menciptakan ketidakadilan. KUPI (Kongres Ulama Perempuan Islam) hadir dalam membahas isu aktual tersebut.

***

Tanggerang, Kebijakan.co.idCukup sulit untuk perempuan hidup di negara Indonesia dengan kultur budaya dan praktik agama yang tidak adil terhadap perempuan. Realita masih banyaknya stigma, diskriminasi, pendidikan yang tidak inklusif yang membentuk pola pikir, hingga kepada kekerasan seksual terhadap perempuan.

Ditilik dari akarnya, adanya simbol terhadap perempuan yang berada di nomor dua setelah laki-laki. Lalu budaya masyarakat yang melanggengkan itu, berdampak kepada sektor ekonomi –dalam hal pekerjaan—dalam hal politik –tentang kepemimpinan perempuan— dan sektor-sektor lainnya. Ditambah adanya kebijakan publik yang diskriminatif yang terus dilanggengkan oleh kekuasaan.

Upaya untuk menghapus itu, datang dari KUPI (Kongres Ulama Perempuan Indonesia) ke-2 yang diselenggarakan pada 24-26 November 2022 di Jepara. Hadir dengan gagasan besar Peran Ulama Perempuan untuk Peradaban yang Berkeadilan. Menghasilkan rumusan fatwa untuk pemberdayaan perempuan dari isu-isu aktual dan realita kondisi perempuan yang ada.

Sumber: Kupi.or.id

Realitas Perempuan di Indonesia

Ana Abdillah, Direktur Eksekutif Women’s Crisis Center (WCC) Jombang, menjelaskan pada saat perempuan tersebut diatur-atur oleh masyarakat tanpa diimbangi dengan kesadaran akan hak yang seimbang. Realitanya, perempuan  tidak bisa dan dipersulit untuk memperjuangkan haknya. Contohnya saat perempuan menjadi korban kekerasan seksual. Bukan dukungan yang didapat, tetapi stigma dan perlakuan buruk.

“Jika terus dibudidayakan, maka yang terjadi adalah masyarakat akan menormalisasi perilaku kekerasan seksual yang berdampak pada perempuan —tidak mengedukasi laki-laki sebagai pelakunya. Hal yang selanjutnya harus dijawab adalah bagaimana permasalahan kekerasan seksual bisa dimitigasi (dicegah) sesuai kebijakan dan melalui mekanisme,” tuturnya kepada jurnalis Kebijakan.co.id, Selasa (6/12).

Tidak hanya itu, hal yang perlu diperhatikan selanjutnya adalah bagaimana respons dan menekan perempuan untuk tidak melanjutkan proses hukum. Aturan atau kebijakan yang belum sepenuhnya hadir atau belum implementatif, serta struktur hukum yang belum berhasil dalam membangun mekanisme tersebut.

“Sesungguhnya penyebab fenomena tersebut masih terjadi adalah karena masyarakat, aparat penegak hukum, dan penyedia layanan masih belum mengidentifikasi aspek kerentanan yang dihadapi oleh perempuan. Budaya dan substansi hukum yang belum signifikan,” ujarnya pada Selasa (6/12).

“Penyebab fenomena (kekerasan seksual) tersebut masih terjadi adalah karena masyarakat, aparat penegak hukum, dan penyedia layanan masih belum mengidentifikasi aspek kerentanan yang dihadapi oleh perempuan.

Ana Abdillah

Senada dengan itu semangat pemberdayaan perempuan, menurut Muhammad Hasbi dalam jurnalnya berjudul Kekerasan Perempuan dalam Wacana Pemikiran Agama dan Sosiologi (2015) mengatakan, jika ditelaah lebih mendalam tidak ada satupun teks, baik Alquran atau Hadist yang memberi peluang untuk melakukan perempuan sesuka hati.

Selain itu penjelasan dalam buku Islam, Agama Ramah Perempuan (2004) karya KH. Husein Muhammad, menurutnya dalam teks Alquran maupun hadist terdapat sejumlah pernyataan yang memberikan kepada kaum perempuan tempat yang sejajar dengan kaum laki-laki dan memberikan hak-hak kepada kaum perempuan untuk berperan dan terlibat dalam perjuangan-perjuangan sosial politik bersama laki-laki.

Selain itu, Husein Muhammad juga mengatakan dalam bukunya, “Alquran mengecam keras praktik-praktik perendahan-perendahan dan tindak kekerasan terhadap perempuan.”   

“Alquran mengecam keras praktik-praktik perendahan-perendahan dan tindak kekerasan terhadap perempuan.”

KH. Husein Muhammad

Fenomena ini dapat dijelaskan dengan ketidakadilan gender terhadap perempuan. Menurut Ratna Dewi dalam jurnalnya berjudul Kedudukan Perempuan dalam Islam dan Problematika Ketidakadilan Gender (2020), ketidakadilan gender terhadap perempuan dibagi menjadi empat hal.

Pertama, adanya marginalisasi atau peminggiran terhadap perempuan. Kedua, adanya subordinasi atau menomorduakan terhadap perempuan. Ketiga, adanya sterotipe atau kesan tertentu baik fisik atau perilaku terhadap perempuan. Keempat, adanya kekerasan –baik secara verbal maupun fisik— yang terjadi terhadap perempuan.

Menurut Andy Yentriyani, Ketua Komnas Perempuan, dalam Konfrensi Pers dalam KUPI II di PP Pesantren Hasyim Asy’ari Bangsri (25/11/2022) mengatakan bahwa akar dari kekerasan terhadap ialah diskriminasi berbasis gender, di mana menempatkan perempuan sebagai mahluk kelas dua –setelah laki-laki. “Oleh karena itu, dalam upaya penghapusan kekerasan, penting, untuk mengkampanyekan kesetaraan yang substantif,” tutupnya.   

Ketidakadilan gender ini lebih banyak menciptakan kekerasan terhadap perempuan, tak jarang terjadinya kekerasan seksual. Menurut Catatan Tahunan Komnas Perempuan yang mengumpulkan data dari organisasi yang melayani pendampingan, mencatat angka kekerasan seksual dari tahun 2001 hingga 2021.

Tahun 2001 sebesar 3.168 korban perempuan; 2002 sebesar 5.173; 2003 sebesar 5.934; 2004 sebesar 13.968; 2005 sebesar 20.931; 2006 sebesar 22.512; 2007 sebesar 25.522; 2008 sebesar 54.425; 2009 sebesar 143.586; 2010 sebesar 105.103; 2011 sebesar 119.107; 2012 sebesar 216.516;  2013 sebesar 279.688; 2014 sebesar 293.220; 2015 sebesar 321.752; 2016 sebesar 259.150; 2017 sebesar 348.446; 2018 sebesar 406.178; 2019 sebesar 431.471; 2020 sebesar 299.911; 2021 sebesar 338.506.

Terjadi peningkatan cukup signifikan dari tahun ke tahun, sebabnya ialah banyaknya lembaga perlindungan perempuan yang tumbuh di beberapa daerah, di satu sisi kemungkinan besar juga ada banyak perempuan yang mendapatkan kekerasan namun terkendala lembaga perlindungan di daerah. Layaknya ‘fenomena gunung es’, terdapat banyak kasus yang tidak tercatat dan terungkap.

Kemungkinan besar juga ada banyak perempuan yang mendapatkan kekerasan namun terkendala lembaga perlindungan di daerah. Layaknya ‘fenomena gunung es’, terdapat banyak kasus yang tidak tercatat dan terungkap.

Catatan Tahunan Komnas Perempuan

WCC Jombang dalam hal ini melakukan penanganan kasus dari pengalaman korban, lalu diidentifikasi untuk dicari akar permasalahannya berdasarkan aturan hukum. Namun, tidak semua aspek hukum tersebut membersamai kebutuhan dan akses korban. Pendampingan psikologis juga dilakukan dalam pembimbingan, pelaporan, dan dialog dalam penanganan dan proses hukum.

Tidak hanya sampai di situ, di persidangan WCC Jombang memastikan korban mendapatkan akses trauma healing melalui kegiatan semacam support group—mencegah agar tidak terjadinya pengulangan dengan pelaku yang berbeda—penguatan kepada kepada korban untuk bersikap positif dan asertif untuk menghadapi permasalahan yang dialami.

Penyedia layanan pemerintah dan aparat penegak hukum menginisiatifkan untuk tidak melanjutkan proses hukum—dampak kekerasan seksual berbanding lurus dengan angka perkawinan anak di Pengadilan Agama Jombang. Di 2019—2022, terdapat kenaikan sebesar 300 persen.

Dalam lingkup pengaduan kasus yang diterima WCC Jombang dalam lingkup agama, mereka sudah mendampinginya sejak lama dari 2017. Ana mengungkapkan, kendala yang kerap dihadapi adalah ketika pelaku merupakan tokoh agama yang mempunyai pengaruh cukup besar dalam masyarakat.

Tidak hanya terjadi di institusi keagamaan, tetapi juga terjadi di persekutuan doa teman Kristen. Sasaran empuknya adalah mereka yang baru saja bertransformasi dalam agamanya. Terdapat dua pesantren yang ditangani oleh mereka, di Kecamatan Ngoro dengan pelaku seorang kiai dan Ploso dengan pelaku seorang anak kiai.

Pesantren Kecamatan Ngoro yang santri menjadi korban mencapai tujuh orang—dengan modus menyampaikan doktrin keagamaan bahwa vagina barang mulia dan dan hanya bisa dimasukkan oleh orang mulia saja. Pesantren Kecamatan Ploso, pelaku menyampaikan bahwa ia seorang mursyid, menggantikan bapaknya sebagai penerus pesantren.

Proses penanganan kasusnya juga berbeda dan terhambat bukan karena ketidakbecusan aparat penegak hukum atau kejaksaan atau pengadilan, tetapi ketidakberanian untuk mengungkapkan fakta di atas asas keadilan—aspek non-yuridis menarasikan, mengeluarkan korban dari pesantren, berlindung atas nama baik pesantren yang besar dan terkenal.

WCC Jombang memberikan pelayanan kesehatan reproduksi, bantuan hukum gratis, pendamping psikologis dengan bermitra dengan lembaga perlindungan saksi ketika korban membutuhkan kehadiran negara dalam perlindungannya.

WCC Jombang juga berharap di Kabupaten Jombang dan seluruh wilayah di Indonesia untuk lebih peka membangun infrastruktur dan sumber daya manusia terhadap permasalahan perempuan dan anak. Untuk konteks pesantren, diharapkan iklim lebih eksklusif, responsif, serta mengedepankan korban untuk bisa survive, kuat, support system, dan tiada penekanan.

***

Jika kekerasan seksual terjadi pada diri kita, adik, teman, saudara, keluarga, bahkan ibu sendiri, yang harus dilakukan menurut ICJR (Institute or Criminal Justice Reform).

Pertama, utamakan keselamatan korban, menjaga kerahasiaan korban, kuatkan dan berdayakan korban;

Kedua, bila terjadi luka bawalah ke klinik atau dokter untuk dilakukan rekam medik sebelum melapor ke polisi untuk dijadikan bukti;

Ketiga, mencari bantuan psikolog untuk melakukan konseling dan pemulihan psikis;

Keempat, konsultasi melalui lembaga bantuan hukum atau lembaga lainnya yang dapat dipercaya apabila ingin melapor kepada polisi;

Kelima, diskusi dengan keluarga korban atau langsung melapor ke polisi disertai dengan bukti yang kuat.

Perempuan, Pekerjaan, dan Ancaman Diskriminasi

Selain itu, realita lainnya selain ancaman kekerasan seksual, terdapat adanya ancaman diskriminasi dalam lingkup lingkungan kerja. Menurut Koordinator Pusat Studi Gender dan Anak UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Iin Kandedes, “Ada beberapa tantangan yang dihadapi perempuan, yakni marjinalisasi dalam bidang ekoonomi. Contohnya perempuan mendapatkan pekerjaan kurang bagus dari segi gaji, jaminan kerja, atau status pekerjaan. Subordinasi anggapan perempuan makhluk lemah, tidak mampu memimpin, serta menggunakan banyak perasaan,” jawabnya kepada Kebijakan.co.id pada Rabu (7/12).

Iin melihat seharusnya perempuan saling mendukung dan memberikan kesempatan untuk memimpin di semua tingkat pengambilan keputusan dalam kehidupan keluarga, politik, ekonomi, dan publik sesuai posisi sosialnya. Selain itu, menghentikan segala bentuk diskriminasi, kekerasan, pelecehan dan eksploitasi seksual kepada perempuan.

Terkait wanita bekerja dalam perspektif Islam menurut Ratna Dewi dalam jurnalnya berjudul Kedudukan Perempuan dalam Islam dan Problematika Ketidakadilan Gender (2020) dalam kesimpulannya menyatakan Islam tidak pernah melarang perempuan untuk bekerja, sebab tidak ada ayat dalam Alquran yang melarangnya.

Menurut data BPS (Badan Pusat Statistik) melalui Survei angkatan Kerja Nasional (Sakernas), tenaga kerja formal perempuan tercatat tahun 2015 sebesar 37,78 persen; lalu di tahun 2016 sebesar 38,16 persen; di tahun 2017 sebesar 38,63 persen; di tahun 2018 sebesar 38,10 persen; tahun 2019 sebesar 39,19 persen; tahun 2020 sebesar 34,65 persen; tahun 2021 sebesar 36,20 persen.

Sedangkan menurut data BPS melalui Indikator Pekerjaan Layak di Indonesia tahun 2021, sebanyak 39,52 persen atau 51,79 juta penduduk produktif yang bekerja dari usia 15 tahun ke atas adalah perempuan. 

Dari 51,79 juta perempuan yang bekerja di usia produktif, 28,6 persen merupakan pekerja yang menjadi tenaga usaha penjualan. Lainnya, 24,38 persen menjadi petani, nelayan, dan pekebun. 20,51 persen merupakan tenaga produksi, operator alat angkutan, serta pekerja kasar. Sisanya, 10,48 persen merupakan tenaga professional, 8,65 persen menjadi tenaga usaha jasa,  6,56% merupakan tenaga kerja di sektor pemerintahan atau tata usaha. 0,7 persen merupakan tenaga pemimpi, sisanya 0,12 persen ada di jenis pekerjaan lainnya.

Otoritas dan Simbol Islam dalam Ketidakadilan

Salah satu penyebab dari adanya stigma dan diskriminasi terhadap perempuan misalnya, dapat terjadi karena otoritas dan pelanggengan simbol dalam agama yang tidak adil terhadap perempuan.

Otoritas dan simbol Islam terhadap perempuan misalnya dalam hal cara berpakaian.  Komisioner dan Sekretaris Jenderal (Sekjen) Komnas Perempuan sekaligus dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, Alimatul Qibtiyah memandang bahwa menilai akhlak perempuan dari cara berpakaian tidaklah sesuai.

“Jikalau seandainya akhlak perempuan dinilai dari jilbabnya, bagaimana jika kita bandingkan dengan laki-laki? Apakah hanya dengan memakai baju koko dan peci juga? Hal tersebut dirasa kurang tepat,” tutur Alim kepada Kebijakan.co.id dalam keterangan tertulisnya pada Senin (5/12/2022).

Sedangkan menurut Direktur Eksekutif Women’s Crisis Center (WCC) Jombang, Ana Abdillah mengemukakan bahwa perbuatan baik tidak harus dituntutkan kepada perempuan, tetapi harus juga kepada laki-laki. Tubuh dan cara berpakaian perempuan lebih banyak diatur oleh masyarakat ketimbang tubuh laki-laki.

“Apa yang dikenakan tidak mencerminkan ketakwaan seseorang. Kita saleh secara berpakaian, tetapi tidak selalu mengekspresikannya secara sufiah juga. Hal ini bergantung pada cara menghargai sesama individu,” papar Ana kepada jurnalis Kebijakan.co.id melalui keterangan suaranya pada Selasa (6/12).

Senada dengan itu, menurut Nana Nadiya Mahardika, Sekertaris Bidang Immawati Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Malang Raya, menyoroti fenomena saat seseorang melakukan kesalahan, tetapi yang disoroti adalah pakaian atau identitas yang digunakan. Menurutnya, perbuatan salah bisa terjadi kepada siapa saja, baik sengaja maupun tidak—kejadian yang berulang karena dampak dari konstruksi sosial. 

“Lingkungan kita terbiasa mengaitkan suatu kejadian dengan identitas yang digunakan, sehingga kerap kali beberapa orang salah kaprah dalam mengkritisi suatu kejadian. Hasilnya adalah bukan bicara akar masalah, namun mencari-cari permasalahan lain,” jelas Nana kepada jurnalis Kebijakan.co.id melalui keterangan tertulisnya pada Rabu (7/12).

Selanjutnya Alim menganggap masih banyaknya fenomena akhlak perempuan dinilai dari cara berpakaian karena keragaman penafsiran yang ada di masyarakat. Tidak hanya itu, tokoh agama di lingkungan sekitar juga berpengaruh dengan memberikan satu jawaban. Dari sinilah, masyarakat menganggapnya menjadi suatu kebenaran tunggal.

“Orang yang memengaruhi atau dakwah yang diikuti tidak menjelaskan keragaman penafsiran. Ada yang menjawab memakai jilbab itu wajib dan ada juga yang tidak. Begitu pula dengan cara menutup aurat. Sayangnya, masyarakat atau tokoh agama hanya menggunakan mayoritas penafsiran sebagai standar kebenaran,” jelasnya pada Senin (5/12/2022).  

Selain itu, Alim juga berpikir bahwa bukan persoalan agama yang menjadi perempuan mendapat ketidakadilan, tetapi penafsiran dan pemahaman akan kontekstual agama—tidak menimbulkan substansi asbabul wurud dan asbabun nuzul-nya. Perlunya perhatian terhadap penafsiran yang berpihak pada kesetaraan laki-laki dan perempuan.

“Perempuan harus mempunyai critical thinking dan otonomi terhadap dirinya dan juga kemampuan memilih-memilah penafsiran agama yang ramah perempuan—mengembalikan nilai kesetaraan dan keadilan kepada Al dan Hadis bahwa laki-laki dan perempuan diciptakan dari zat, status, hak, dan kewajiban yang sama,” tuturnya pada Senin (5/12/2022).

“Perempuan harus mempunyai critical thinking dan otonomi terhadap dirinya dan juga kemampuan memilih-memilah penafsiran agama yang ramah perempuan—mengembalikan nilai kesetaraan dan keadilan kepada Alquran dan Hadis bahwa laki-laki dan perempuan diciptakan dari zat, status, hak, dan kewajiban yang sama.”

Alimatul Qibtiyah

Untuk menghadapi dan menangani fenomena perempuan yang dituntut lebih dari simbolis agamanya adalah dengan menyampaikan keberagaman dan tidak menjadi penafsiran mayoritas sebagai ukuran kebenaran.

Simbol agama sendiri menurut Husein Wahab dalam jurnalnya berjudul Simbol-Simbol Agama (2011) terbentuk atas beberapa sistem: kognitif (berkaitan dengan akal atau proses belajar), moral (berkaitan dengan norma-norma), konstiutif (berkaitan dengan kepercayaan), dan ekspresif (berkaitan dengan penyembahan). Hal tersebut dimungkinkan untuk mempertahankan pola ajaran keagamaan.

Lanjut Alim, “Perempuan muslimah mempunyai banyak pengalaman dalam hidupnya yang ditentukan saat dibesarkan oleh keluarga dan lembaga pendidikannya. Jika itu adalah bentuk pengekspresian keberagaman diri, tidak mengambil hak orang lain, tidak bertentangan dengan konstitusi, serta tidak membawa kemaslahatan maka tidak masalah,” ujarnya pada Senin (5/12/2022).

Alim melanjutkan, agama itu diturunkan untuk kemaslahatan, hanya saja pertanyaannya agama yang ditafsirkan atau dipahami oleh siapa dan bagaimana—sebab konteks agama itu tidak bisa diubah, tetapi penafsirannya bisa berubah.

Dalam Komnas Perempuan, Alim menjelaskan bahwa mereka bekerja sesuai mandat dan berfokus pada implementasi dan pemenuhan hak-hak perempuan—didasari pada keberagaman dan pengalaman. Komnas Perempuan melakukan penelitian dan kajian terhadap peraturan daerah yang diskriminatif—mendiskriminasikan kelompok minoritas yang beda.

“Adanya kewajiban menggunakan jilbab pada instansi negeri—yang pasti di dalamnya tidak semua beragama Islam. Kami (Komnas Perempuan) melakukan advokasi kepada lembaga terkait untuk mencabut kewajiban dan memberikan advokasi kepada kelompok minoritas sebagai upaya untuk menghindari diskriminasi dan kekerasan,” bebernya pada Senin (5/12/2022).

Komnas Perempuan juga berharap hak-hak perempuan sebagai manusia terpenuhi dengan beragam pengalaman yang ada—laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama, termasuk dalam mengekspresikan bagaimana ia berpakaian dan agama.

Adanya pemaksaan secara otoritas dan simbol untuk perempuan menyebabkan perempuan terbelenggu akan simbol dan otoritas keagamaan. KUPI hadir sebagai bentuk untuk menghadirkan pandangan keagamaan yang setara antara perempuan dan laki-laki.

Akan tetapi menurut Koordinator Pusat Studi Gender dan Anak UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Iin Kandedes merasa senang dengan tren positif di kalangan perempuan Indonesia untuk sadar menutup aurat—yang bukan hanya sekadar menaati perintah dan simbol agama, tetapi sudah menjadi suatu kebutuhan.

“Jika kita melihat di mal, bahkan karya perancang busana sudah membuat tren fashion muslimah yang harganya tidak murah. Ibarat sepasang sepatu yang dipakai hanya sebelah, pasti kurang nyaman. Begitu pula dengan hijab, saat keluar rumah pasti terasa janggal,” jawab Iin kepada jurnalis Kebijakan.co.id melalui keterangan tertulisnya pada Rabu (7/12/2022).

Iin menambahkan, fenomena berhijab dan menggunakan pakaian tertutup untuk menghindari terjadinya berbagai tindakan kejahatan perempuan, seperti pelecehan seksual karena terpicu penampakan aurat. Terlebih lagi sesuai dengan ajaran Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia.

Iin menjelaskan bahwa fenomena perempuan mendapatkan ketidakadilan dari simbol agamanya berkaitan dengan aspek sejarah masuknya Islam di Indonesia. Dengan berbagai kepercayaan yang beragam, salah satunya kasta Sudra dalam Hindu yang tidak memiliki hak dan kesempatan yang sama dengan kasta lain—paling banyak mengalami diskriminasi.

“Apalagi kalangan perempuannya yang pasrah dengan kondisi ketidakadilan maupun ketidaksetaraan yang dialaminya. Lalu, Islam datang membawa kesetaraan yang tidak ada perbedaan di mata Allah swt. kecuali ketakwaannya. Tiada perbedaan derajat antara bangsawan dan rakyat jelata—diskriminasi laki-laki dan perempuan,” paparnya, Rabu (7/12/2022).

“Islam datang membawa kesetaraan yang tidak ada perbedaan di mata Allah swt. kecuali ketakwaannya. Tiada perbedaan derajat antara bangsawan dan rakyat jelata—diskriminasi laki-laki dan perempuan.”

Iin Kandedes

Ia melanjutkan, pada awal masuknya Islam dengan sukarela dan tanpa paksaan, mereka pun berbondong-bondong menjadi mualaf. Hal tersebut juga terjadi saat ini, tiada paksaan bagi Muslimah Indonesia untuk mengenakan hijab dan busana syarinya—pemaksaan semata-mata karena pemahaman keagamaan, nyaman, dan aman.

Negara juga menjamin kebebasan menjalankan perintah agamanya sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Selain itu, kebebasan beragama dan menjalankan ajarannya termasuk dalam Hak Asasi Manusia (HAM). 

“Kita harus menghormati keputusan seseorang yang ingin menggunakan hijab dan berbusana muslimah. Jadi, jangan pernah mengusik hak tersebut jika tidak ingin dicap sebagai orang yang melanggar HAM dan UUD 1945,” tegasnya pada Rabu (7/12/2022).

Iin juga menekankan bahwa bukan agama yang menjadi masalah ketidakadilan perempuan. Salah satu pokok ajaran Islam adalah mengakui persamaan antar manusia, baik laki-laki dan perempuan, suku, bangsa, atau keturunan.

Pendidikan dan Edukasi untuk Kesetaraan

Untuk mengakhiri praktik otoritas dan simbol agama yang menyebabkan perempuan di nomor duakan, Nana Nadiya mengemukakan bahwa lingkungan keluarga dan akses pendidikan sangat membawa pengaruh. Akses sekolah juga tidak cukup, perlunya akses terhadap pemenuhan informasi dan materi lain yang juga dibutuhkan murid sekolah. Pakaian tidak mencerminkan akhlak dan paham bahwa perempuan juga bisa berpendapat dan menjadi pemimpin kelas atau upacara.

“Saya seorang pengajar di taman pendidikan Alquran (TPQ) di Malang. Beberapa murid perempuan sekolah dasar (SD) yang saya ajarkan sering bercerita bahwa mereka sering merasa malu untuk berpendapat, malu saat berolahraga karena laki-laki lebih jago, dan terheran mengapa selalu laki-laki menjadi pemimpin upacara,” ceritanya pada Rabu (7/12/2022).

Nana juga memberikan langkah yang dapat dilakukan untuk memperbaiki pola pikir masyarakat terhadap fenomena ketidakadilan yang dialami perempuan dalam simbolis agamanya dengan menanamkan ilmu bersosial oleh orang tua dan guru sejak dini—pengajaran ilmu tersebut bukan berdasarkan kebiasaan dan konstruksi sosial turun-temurun

“Selanjutnya meramaikan media sosial dengan konten edukatif, terutama hal yang masih dianggap tabu oleh masyarakat. Dengan upaya menyebar dan mencari ilmu pengetahuan tambahan melalui berbagai media, kelompok muda bisa menyebarkan lebih luas ilmu dan edukasi kepada lingkungan keluarganya,” harapnya di akhir wawancara pada Rabu (7/12/2022).

Nana menyampaikan bahwa Kementerian Pendidikan, Budaya, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) sudah memasukkan materi pendidikan seksual ke dalam kurikulum. Menurutnya tidak berjalan efektif dikarenakan tidak disediakannya waktu khusus untuk guru menjelaskan kepada muridnya di sekolah.

***

Selain itu, menurut Iin Kandedes, perlunya edukasi dan mendukung serta memberikan kesempatan yang sama untuk memberdayakan perempuan dalam menempuh pendidikan. Islam juga menjaga kaum perempuan dari segala yang menodai kehormatan, menjatuhkan wibawa, atau merendahkan martabatnya.

“Bagai mutiara yang mahal harganya, Islam menempatkan perempuan sebagai makhluk mulia yang harus dijaga. Semua syariat telah ditetapkan Allah swt. untuk menjaga dan memuliakan perempuan—sekaligus menjadi tatanan kehidupan lebih baik dan bersih dari berbagai perilaku menyimpang,” imbuhnya pada Rabu (7/12/2022).

Di akhir wawancara, Iin berpesan kepada muslimah untuk menuntut ilmu setinggi-tingginya karena Allah swt. akan mengangkat derajat orang yang menuntut ilmu—berpeluang untuk mendapat kesempatan yang lebih luas dan sama dalam berbagai bidang kehidupan, juga berdaya secara ekonomi untuk mengantisipasi ketidakadilan dan diskriminasi perempuan.

Komitmen dan Peran KUPI dalam Perubahan Kebijakan Publik

Sumber: Fahmina Institute

Adanya masalah aktual yang terjadi khususnya kepada perempuan, mulai dari simbolisasi agama, diskriminasi, hingga kekerasan seksual. Sejalan dengan tujuan utama kongres KUPI II ini, yaitu merumuskan sikap dan pandangan keagamaan ulama perempuan Indonesia tentang isu-isu aktual dengan menggunakan paradigma –cara berpikir—dan metode yang diadopsi KUPI, salah satunya berkaitan dengan kekerasan terhadap perempuan.

Adapun rekomendasi hasil KUPI II di Jepara, salah satunya membahas bagaimana, “korban dalam kasus kekerasan seksual dan perkosaan acap kali tersudut, terstigma, dan terdiskriminasi oleh narasi patriarki atau kuasa laki-laki.”

Salah dua misalnya yang dibahas dalam KUPI II ini ialah, (1) perlindungan perempuan dari bahaya pemaksaan perkawinan, (2) perlindungan jiwa perempuan dari bahaya kehamilan akibat pemerkosaan, dan (3) perlindungan perempuan dari bahaya tindak pemotongan dan pelukaan genetalia perempuan.   

“Alih-alih mendapatkan bantuan hukum, korban justru semakin terpinggirkan dan dikucilkan di tengah beban psikologis yang dialami. Oleh karena itu, negara harus memprioritasan regulasi yang berpihak pada korban,” Lanjut salah satu rekomendasi KUPI II.

“UU TPKS adalah salah satu perantara untuk merubah cara berpikir kuno dan mulai membuka kesadaran untuk berpihak pada korban. Oleh karena itu, masyarakat sipil harus terlibat dalam memastikan tak ada lagi korban pemerkosaan dan kekrasan seksual yang terdiskriminasi,” Lanjut salah satu rekomendasi KUPI II.

Terkait UU TPKS misalnya, WCC Jombang juga berpesan kepada masyarakat sipil bersedia mendedikasikan dirinya untuk membantu semua perempuan dan kelompok rentan untuk tidak memulai konfrontasi Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual—mendukung Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) untuk basis intelektual mewujudkan masyarakat yang berkeadilan gender.

“Adapun jaringan KUPI harus gencar mengkaji nash-nash (naskah) berkaitan dengan kekerasan dan perkosaan dengan perspektif pengalaman perempuan. Karena tak jarang, marginalisasi (peminggiran) korban perkosaan justru dilegitimasi (di dukung) oleh narasi-narasi teks literaris yang tekstual.” Tutup point kedua rekomendasi KUPI II tersebut.    

Dari kedelapan rekomendasi KUPI, sektor utamanya ada pada kebijakan pemerintah. KUPI dan Pemerintah harus membangun sinergi untuk membuat kebijakan publik atau regulasi yang berkeadilan gender.

Selain itu bukti sinergi KUPI dan Pemerintah, salah satunya ialah dorongan dari KUPI I di tahun 2017 yang bertempat di Cirebon, menurut Rosidin, Direktur Fahmina –salah satu pihak penyelenggara KUPI II- ialah, “KUPI I berhasil mendorong disahkannya Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) dan peningkatan usia perkawinan,” ucap Rosyidin saat konfrensi pers (24/11/2022). 

Selanjutnya KUPI juga akan mendorong dan mengadvokasi disahkannya RUU (Rancangan Undang-Undang) Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) yang sudah ada di Prolegnas (Program Legislasi Nasional) sejak tahun 2004, namun tak kunjung disahkan. “Maka para ulama perempuan perlu merefleksikan sejumlah titik lemah dalam advokasi RUU PPRT,” ucap Rosidin.

Senada dengan itu, menurut Pera Sopariyanti, Direktur Rahima –salah satu penyelenggara KUPI II—mengatakan pekerja rumah tangga sangat rentan terhadap kekerasan seksual, oleh karenanya ulama perempuan bersepakat perlindungan terhadap pekerja rumah tangga adalah hal yang penting.


Perempuan harus berani lantang. Bersuara atas praktik yang lancang. Merubah budaya yang usang. Untuk masa depan perempuan yang lebih terang.

Catatan Redaksi Kebijakan.co.id
Fayza Rasya
Diterbitkan: Kamis, 8 Desember 2022
Pukul: 18.00 WIB
Jurnalis: Fayza Rasya
Editor: Adi Fauzanto
Grafis, Data, dan Referensi: Adi Fauzanto
Daftar Bacaan:  
• Husein Wahab. 2011. Simbol-Simbol Agama. Jurnal Substantia, Vol. 12 No. 1Ratna Dewi. 2020. Kedudukan Perempuan dalam Islam dan Problematika Ketidakadilan Gender. Noura: Jurnal Kajian Gender dan Anak, Vol. 4 No. 1KH. Husein Muhammad. 2021. Islam, Agama Ramah Perempuan. Penerbit IRCiSod: YogyakartaMuhammad Hasbi. 2015. Kekerasan Perempuan dalam Wacana Pemikiran Agama dan Sosiologi. Jurnal At-Tahrir, Vol. 15 No. 2
 Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2001-2021
 BPS. 2021. Indikator Pekerjaan Layak di Indonesia
• BPS. Presentase Tenaga Kerja Formal menurut Jenis Kelamin 2016-2018
 ICJR. 2021. Apa Yang Harus Dilakukan Jika Mengalami Kekerasan Seksual?. Youtube
Liputan Mendalam

Perempuan di Desa: Ekonomi, Pernikahan Dini, dan Ancaman Kekerasan Seksual


Kebijakan.co.idLiputan Mendalam

Adi Fauzanto-24 Juni 2022 (15.51 WIB)-#28 Paragraf

Cara pandang terhadap peran perempuan di Desa sudah seharusnya berubah, disebabkan turut serta perempuan dalam pemberdayaan ekonomi. Selain karena menjadi rekan atau partner suaminya -sehingga kedudukannya menjadi setara dalam pemenuhan kebutuhan.

Lainnya, mencegah terjadinya pernikahan dini -karena perubahan cara pandang terhadap perempuan bisa mandiri dan turut dalam pemenuhan kebutuhan ekonomi- juga kekerasan seksual -yang disebabkan pengalaman cara pandang laki-laki memandang perempuan sebagai objek, karena tidak mampu berkontribusi secara ekonomi.

***

Malang, Kebijakan.co.id — Tahun 2020, saya –Adi sebagai Jurnalis Kebijakan.co.id– mengunjungi salah satu desa wisata yang ekonomi nya cukup berdaya karena ditopang kondisi sumber daya alamnya. Desa tersebut berada di Kota Batu, Desa (Bunga) Sidomulyo, Kota Batu.

Sepanjang jalan saya menemui toko-toko tanaman hias di selasar jalan, ditambah angin dingin yang menerjang tubuh ketika berkendara, sejuk. Menemui masyarakat yang ceria tanpa ada tanda raut muka yang kelelahan, tak seperti di Jakarta yang sumpek dan kualitas udara yang buruk berdasarkan IQ Air.

Perjalanan tersebut menuju pasar besar, sumber tanaman hias di dalam desa tersebut. Pasar nya cukup besar ramai pengujung –karena ketika pandemi di tahun 2020 permintaan tanaman hias meningkat. Saya dan teman saya menemui salah satu pedagang –tentu dengan membeli tanaman hias kaktus kecil.

Dari percapakan tersebut. Tadinya saya ingin mengetahui dampak masalah mata air umbul gemulo yang diserobot hotel De Rayja di bagian atas desa tersebut, apakah berdampak pada pedagang tanaman hias di desa-desa bawahnya. Ternyata tidak terlalu terdampak, karena memang sumber airnya berbeda.

Malah, saya mengetahui dari Desa tersebut menghasilkan berbagai bunga yang dibutuhkan di berbagai kota di Indonesia, salah satunya Bandung, bahkan hingga luar negeri. Dan tentu menjadi sumber penghasilan cukup besar dari desa tersebut. Di balik keberdayaan ekonomi melalui industri tanaman hias tersebut, ada inklusifitas antara laki-laki dan perempuan.

Pembagian tugas untuk mengelola tanaman hias tersebut dibagi secara merata. Laki-laki berladang, dan perempuan menjaga toko di pasar-pasar bunga yang ada. Keduanya sama beratnya, tanpa mengelola ladang –yang ditopang udara segar dan air mengalir tersebut- muskil adanya tanaman hias yang indah. Sebaliknya, tanpa adanya penjaga toko dan pemasaran yang baik, muskil tanaman hias tersebut tersentuh konsumen, kerjasama berbagai pihak di daerah-daerah bahkan negara lainnya.

Bahkan menurut Nugrahaeni dan Warter dalam penelitiannya di tahun 2016 menekankan peranan wanita yang juga sebagai pekebun yang berkontribusi terhadap kesejahteraan ekonomi. Perempuan di Desa Sidomulyo juga mengerti akan posisi dirinya di dalam keluarga, yaitu sejajar atau partner dari suami dalam meningkatkan kesejahteraan ekonomi.  Dikarenkan telah terjadi perubahan cara pandang terhadap perempuan akan persamaan hak dalam setiap langkah atau keputusan yang diambil.

Dampak lainnya selain ekonomi ialah, perempuan mampu mengekspresikan diri dalam kegiatan organisasi pemerintah atau di luar pemerintah yang dibuat berdasar inisiatif masyarakat. Akan tetapi masih adanya sedikit ketimpangan sosial diantara laki-laki dan perempuan.

Pasar Sidomulyo Kota Batu
Pasar Bunga Sidomulyo/Bagas Suryo/Media Indonesia

Desa yang berdaya secara ekonomi, setidaknya terhindar dari masalah-masalah pelik dan juga laten, seperti pernikahan dini. Dan beberapa kondisi yang mengharuskan perempuan untuk menjadi pekerja yang tidak dia inginkan, seperti pekerja seks yang terpaksa dia lakukan untuk pria hidung belang.

Ada salah satu contohnya, masih di dekat Desa Sidomulyo, Kota Batu di yang dibahas sebelumnya, kali ini di DAU, Sengkaling, Kabupaten Malang. Dahulu, di tahun 1990-an hingga 2000 awal tempat tersebut merupakan tempat lokalisasi seks, setelah dibangun kampus Universitas Muhammadiyah Malang pada saat Muktamar Muhammadiyah ke-45 di Malang tahun 2005, yang menyebabkan lanskap ekonomi masyarakat berubah kondisinya.

Hal tersebut juga telah saya konfirmasi ke salah satu dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Muhammadiyah Malang, yang juga pengurus Muhammadiyah di DAU, Sengkaling, Kabupaten Malang.  

Dapat dilihat ketika ada potensi baik itu sumber daya alam seperti di Desa Sidomulyo atau ada modal besar yang masuk ke daerah tersebut seperti di DAU, Sengkaling. Harus ada inisiatif dari masyarakat untuk merubah lanskap pemenuhan kebutuhan ekonominya.

Dari hal tersebut, akan berdaya secara ekonomi. Dampaknya ialah terbukanya kesempatan perempuan dalam pemenuhan kebutuhan ekonomi, tanpa harus melakukan hal yang merugikan dirinya sendiri atau hal yang melanggengkan potensi kejahatan terhadap perempuan.  

Sengkaling Kabupaten Malang
Sengkaling/Dokumen Universitas Muhammadiyah Malang

Lainnya terkait permasalahan pernikahan dini. Saya, diceritakan salah satu teman dari Madura, walau saya belum berkesempatan untuk memverifikasi ke Madura.  Umumnya disebabkan pengetahuan atau adat orangtua nya, memang keduanya tidak satu rumah atau hidup sendiri, akan tetapi itu menjadi jaminan ketika dewasa sudah menjadi pasangan.

Menurut Titi dalam penelitiannya di tahun 2016 berjudulFenomena Pernikahan Usia Muda di Masyarakat Madura,memang ketika masih di bawah umur pasangan tersebut dinikahkan secara sirri (tidak resmi melalui negara) dan ketika umurnya sudah masuk dewasa awal baru di nikahkan secara resmi di Kantor Urusan Agama.

Faktor penyebab awalnya ialah tradisi, selain itu rendahnya pendidikan dan ekonomi orangtua yang menjodohkan anaknya, ditambah anggapan jika sudah dewasa maka perempuan tidak akan laku.

Alun-Alun Bangkalan
Alun-Alun Bangkalan/Instagram Bangkalan.Ku

Jika dilihat dari penelitian lainnya, faktor nya hampir sama. Digambarkan oleh Dina, Mashun, Herlidian dalam penelitiannya di tahun 2016 berjudulGambaran Faktor-Faktor Penyebab Pernikahan Dini di Desa Pakisan Kecamatan Tlogosari Kabupaten Bondowoso.Penyebab pernikahan dini di Desa Pakisan, Bondowoso, disebabkan faktor kurangnya pengetahuan mendominasi, selanjutnya faktor budaya masyarakat, kedua terakhir yaitu disebabkan tingkat sosial ekonomi dan rendahnya tingkat pendidikan.

Dari 3 daerah yang dilihat -yang kesemuanya di Jawa Timur- terkait pernikahan dini hampir memiliki irisan dengan faktor ekonomi, dan faktor yang mengurangi pernikahan dini atau kesetaraan dalam peran perempuan juga sebaliknya, karena faktor ekonomi -ditopang sumber daya alam Desa Sidomulyo.

Kehadiran UU TPKS

Kehadiran Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) untuk masyarakat desa -atau anak muda di Desa- agaknya dapat membawa sedikit angin segar selain adanya Undang-Undang Perkawinan untuk membatasi pasangan yang akan nikah di bawah 19 tahun.

Sebab dalam UU TPKS di Pasal 10, seseorang dapat dipidana jika melakukan pemaksaan perkawinan –termasuk didalamnya perkawinan anak dan perkawinan atas nama budaya atau tradisi.

Akan tetapi hal tersebut muskil dihapuskan, jika tidak mampu merubah ‘tradisi’. Dibutuhkan pendidikan atau budayawan yang mampu berbicara dalam bahasa masyarakatnya, untuk menyelaraskan tradisi atau budaya yang mencegah pernikahan dini.

Serta, stagnannya pengetahuan orangtua akan dampak kesehatan akibat pernikahan dini kepada anak-anak mereka. Baik itu secara kesehatan mental atau kesehatan biologisnya. Tentu dibutuhkan peningkatan kualitas sumber daya manusia, yang menghasilkan orangtua dengan cara berpikir mencegah pernikahan dini.

Terkakhir, akan sedikit sulit UU TPKS mengatasi akibat faktor ekonomi yang menyebabkan pernikahan dini dan pekerja seks –yang terus membuat cara pandang laki-laki menjadikan perempuan sebagai objek.

Semangat dari pencegahan melalui peraturan mencegah kekerasan seksual juga harus bersinambung dengan kebijakan ekonomi di daerah-daerah yang berpotensi terjadi kekerasan seksual, di desa misalnya.

Perlu adanya keterlibatan dari lembaga pemberdayaan masyarakat yang bergerak secara ekonomi. Lainnya, perlu ada masukknya modal besar –seperti Dana Desa misalnya- dan harus juga dipersiapkan kemampuan masyarakatnya dalam mengelola sumber daya sesuai lanskap geografis dan keadaan sosial masyarakatnya.

Dengan begitu, bukan tidak mungkin mewujudkan desa yang mandiri. Menurut David dalam bukunya Membangun Desa Mandiri (2019), desa yang mampu mengelola kekuatan -aset dan potensi- yang dimiliki serta mampu memanfaatkan peluang yang ada dalam pengelolaan pembangunan untuk kesejahteraan warga desa.

Diterbitkan: Jumat, 24 Juni 2022
Pukul: 15.51 WIB
Jurnalis: Adi Fauzanto  
Daftar Bacaan:
David Prasetyo. 2019. Membangun Desa Mandiri. Penerbit Derawati Press: KalimantanNugrahaeni Suci Sayekti dan Warter Agustim. 2016. Memberdayakan Pelaku Usaha Kecil Berbasis Pertanian : Studi pada Kelompok Pengusaha Wanita Pelaku Usaha Tanaman Hias Pada Desa Sidomulyo. Jurnal Penelitian Ekonomi dan Akutansi, Vol. 1 No. 3 Titi Nur Indah Sari. 2016. Fenomena Pernikahan Usia Muda di Masyarakat Madura. Skripsi UIN Syarif Dina, Mashun, dan Herlidian. 2016. Gambaran Faktor-Faktor Penyebab Pernikahan Dini di Desa Pakisan Kecamatan Tlogosari Kabupaten Bondowoso. Jurnal Kesehatan dr. Soebandi, Vol. 4 No. 1 
 • Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perwakinan 
 • Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual 

 

Mencegah Novia Lainnya Terjadi


Kebijakan.co.idLiputan Mendalam

Adi Fauzanto-13 Desember 2021 (06.00 WIB)-#39 Paragraf
Mencegah Novia Lainnya Terjadi

***

Kronologi Peristiwa Novia

Malang, Kebijakan.co.id — Peristiwa Novia –lengkapnya Novia Widyasari- menggamparkan publik. Setelah diceritakan oleh teman nya, di twitter oleh @Belawsz. Diketahui mengapa peristiwa tersebut bisa terjadi, bukan sekedar ditinggal Ayah Novia yang meninggal. Akan tetapi ada kekekerasan, terlebih terdapat keterlibatan polisi –sebagai pacarnya Novia yaitu Randy Bagus Hari Sasongko.

Diketahui dengan lengkap kronologinya. Dalam keterangan resmi Kepolisian Republik Indonesia, pada oktober 2019, mereka –Novia dan Pacarnya yang merupakan polisi- berkenalan di sebuah kegiatan nonton bareng di Kota Malang. November 2019, lalu mereka berpacaran. Setelah berkenalan juga berpacaran, mereka berdua melakukan hubungan intim di tahun 2020 hingga 2021, di tempat kost juga pengingapan.

Diketahui dari hubungan tersebut, tercatat sudah 2 kali melakukan aborsi. Pertama pada Maret 2020, kedua pada Agustus 2021. Yang pertama berusia mingguan, sedangkan kedua pada usia 4 bulan.

Untuk yang pertama, Novia di minta untuk meminum obat yang di tunjukan untuk mengugurkan janinnya di kosnya, di Malang. Obat tersebut merupakan postinor dan cykotec. Lalu, yang kedua, korban juga diminta mengugurkan kandungan oleh Randy, sang pacar.

Korban juga sempat melaporkan hal tersebut, kepada orang tua Randy. Mereka awalnya berjanji akan bertanggung jawab. Namun setelahnya, mengingkari janji untuk bertanggung jawab dan meminta untuk mengugurkan kandungan. Di karenakan kondisi Randy, masih merupakan siswa dari pendidikan kepolisian juga kakaknya belum menikah.

Setelah hal tersebut, Novia diminta meminum obat yang mengugurkan janin kembali. Ketika pulang ke Mojokerto, terjadi pendaharan. Sempat masuk dalam Rumah Sakit untuk opname

Setelah beberapa informan yang merupakan teman Novia, menceritakan bahwa Novia dipaksa melakukan hubungan intim dengan Pacarnya. Kejadian bejat itu, terjadi di sebuah penginapan. Dengan memaksanakan obat tidur, sebelum akhirnya diperkosa.  

Menurut informan lainnya, yang diduga merupakan teman Novia, menuturkan. Novia, sempat dibawa ke Rumah Sakit Jiwa (RSJ) untuk bertemu Psikiater karena stress juga depresi, setelah kehilangan janinnya. Novia sesaat pulang di rumahnya di Mojokerto, sempat ingin melakukan bunuh diri, lalu diketahui oleh Ibunya. 

Hal itu juga diketahui dari akun media sosial Qoura Aulia Dinarmara –yang diduga dimiliki oleh Novia, karena kesamaan objek pembahasan yang sama persisnya-, memprotet keterangan kertas pasien RSJ juga percakapan dengan Ibunya.  

Novia, pun sempat kehilangan Ayahnya 3 bulan sebelum peristiwa bunuh diri dilakukan. Menurut akun yang diduga merupakan Novia pada media sosial Qoura, Novia sempat meminta tolong kepada pamannya, dalam kasus ini. Lantas sang Paman, tidak memberikan bantuan sama sekali terkait kasusnya, terlebih malah menyudutkan Novia.    

Novia juga diketahui sempat mendatangi juga berkonsultasi dengan sebuah LBH di kota Mojokerto. Dia datang sendirian, untuk menceritakan kejadian hubungannya dengan Randy. Akan tetapi menurut pengacara di LBH tersebut, berkas-berkas untuk dilaporkan kekurangan alat bukti berupa obat yang digunakan untuk menggugurkan janin.

Novia juga sempat melaporkan peristiwa ini ke Komnas Perempuan, pada bulan Agustus 2021. Lalu Komnas Perempuan merujuk Novia kepada Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak Mojokerto. Sempat berkonsultasi sekali dengan lembaga tersebut.

Jauh sebelum kasus di atas terjadi. Novia, juga sempat mengalami kasus pelecehan seksual di FIB UB, tahun 2017, tempat dia kuliah. Yang dilakukan oleh kakak tingkatnya, di jurusan yang sama. Kakak tingkatnya mendapatkan hukuman dari Universitas Brawijaya. 

Pelajaran dari Novia

Dari runtutan peristiwa tersebut. Beberapa hal yang bisa dipelajari, yang tujuannya untuk mencegah terjadi Novia-Novia berikutnya kembali terjadi. Pertama jika diketahui bahwa ada niat jahat yang dilakukan pelaku untuk memaksa korban melakukan hubungan intim. Maka hal tersebut sudah masuk dalam ranah hubungan tidak sehat. Perlunya pendamping, baik itu teman atau lembaga tertentu atau bahkan orang tua juga keluarga.

Namun tidak semudah hal di atas. Pertama terdapat tekanan untuk mengugurkan, diartikan sebagai tekanan power atau kekuasaan untuk tidak memberitahukan kepada publik. Ditambah jika teman terdekat yang tidak mengetahui mekanisme atau harus apa yang dilakukan jika terjadi masalah seperti itu. Ditambah jika keluarga, justru tidak mengetahui korban sesungguhnya dari pemaksaan tersebut dan cenderung menyalahkan.  

Lebih parah lagi, jika korban inisiatif sendiri untuk menghubungi pihak yang memiliki otoritas, justru absen dalam melindungi korban. Tetapi pada prinsip melaporkan pada lembaga yang memiliki otoritas adalah jalan terakhir, sebelum benar-benar ‘kuat’ untuk menghadapi pelaku.    

Memahami Kekerasan Seksual

Untuk memahami kekerasan seksual, mula-mula kita harus mendefinisikan kedua kata tersebut. Hal tersebut pernah dibahas dalam Artikel yang ditulis oleh Ristina Yudhanti, berjudul “Upaya Penghapusan Kekerasan Seksual terhadap Perempuan” tahun 2019.

Pertama, kekerasan. Diartikan sebagai ‘the threat, attempt, or use physical force by one ore more persons the result in phisycal or non phisycal harm to one or more other persons’.

Di sisi lain, kejahatan kekerasan diartikan juga peristiwa di mana orang secara ilegal –tanpa persetujuan- dan secara sengaja melukai secara fisik atau mengancam untuk melakukan tindakan kekerasan kepada orang lain. 

Sedangkan seksual –dan juga seks sebagai kata dasar dan seksualitas sebagai kata turunannya. Menurut Indonesia AIDS Coalition (IAC), seks diartikan sebagai penamaan untuk fungsi biologis, tanpa ada hubungan atau faktor lain yang melekat kepadanya, misal Penis dan Vagina.

Sedangkan seksual, diartikan sebagai aktifitas seks, melibatkan organ tubuh lain (diluar organ seks) baik fisik atau non-fisik. Terakhir seksualitas, diartikan sebagai aspek yang menyeluruh dalam manusia, mulai dari kaitannya dengan faktor biologis, sosial, politik, juga budaya. Yang faktor tersebut berpengaruh kepada fungsi organ seks juga aktifitas seks dalam individu dan masyarakat.

Jika di gabungkan, kekerasan seksual. Kekerasan yang dilakukan dengan melibatkan faktor gender –cara pandang masyarakat terhadap jenis kelamin- terhadap sekskualitas. Misal, jika korbannya perempuan. Diartikan sebagai kekerasan terhadap perempuan –sebagai aktivitas seksualitas.

Konferensi Perempuan sedunia ke-IV di Beijing tahun 1995, menjelaskan kekerasan terhadap perempuan, melibatkan motif kekerasan diakibatkan disrkiminasi terhadap perempuan sebagai kelompok yang lemah secara sosial. Atau karena memang mereka hanya sebagai perempuan –diartikan sebagai status.    

Dalam hal ke-status-an tersebut. Berakibat, perempuan di tempatkan sebagai objek. Yang kata kerjanya merupakan kekerasan secara definitif tadi. Dan subjeknya ialah laki-laki pada umumnya, dengan tambahan keterangan subjek yaitu memiliki kuasa atau dominan. 

Infografis Mencegah Novia Lainnya Terjadi

Mencegah Novia Lainnya Terjadi

Tentu mencegah di sini bukan diartikan sebagai menutupi. Tetapi melampui itu, mencegah diartikan, ketika ada korban, hal apa saja yang harus dilakukan. Atau melebihi itu, ketika akan dilakukan tindakan kejahatan (kekerasan) hal apa yang seharusnya dilakukan. Atau lebih jauh lagi, memberikan pengetahuan untuk meminimalisir tindak kekerasan tersebut.

Hal-hal pencegahan ini didapat ketika selesai berdiskusi dengan Dwi Putri Ayu Wardani sebagai pemerhati gender dalam Bicara di Instagram Kebijakan.co.id.

Dwi Putri Ayu Wardani
Sumber: Dwi Putri Ayu Wardani

Pertama, yang dilakukan untuk mencegah Novia lainnya terjadi, ialah dengan menanamkan pengetahun terkait kekerasan seksual, secara kultural –melalui keluarga atau orang-orang terdekat- dapat memanfaatkan media-media seperti sosial media, atau organisasi. Terlebih jika secara institusi, misal membuat kurikulum, atau penyuluhan di tempat kerja, kampus, organisasi, atau bahkan tingkat RT juga RW, juga desa.

Satu hal yang perlu ditanamkan ialah pengetahuan terkait perspektif korban. Yang diartikan sebagai cara pandang untuk melihat kondisi korban terlebih dahulu, apa saja tindakan kekerasan yang diterimanya, lalu dipikirkan jika kondisi tersebut terjadi kepada kita. Hal tersebut dapat dilakukan jika kita mendengarkan apa yang disampaikan korban tanpa unsur intimidatif.

Kedua, masih ada kaitannya dengan nomor satu. Yaitu melindungi korban. Baik secara, psikologis, atau secara fisik atau juga dengan menempatkan dengan lingkungan yang aman. Misal, ketika korban menceritakan kepada publik atau terdapat media atau organisasi yang memberikan informasi kepada publik.

Maka pastikan nama korban tetap aman dari ancaman pencemaran atau tuduhan yang tidak-tidak. Selain itu juga, melindungi adanya kemungkinan penyerangan terhadap fisik oleh pelaku atau pihak-pihak lainnya yang berkaitan dengan pelaku. Atau intimidasi lainnya yang dapat menyerang psikologis korban. Hal tersebut dapat dilakukan dengan memberikan tempat yang aman, baik secara psikologis juga fisik. Perlindungan tersebut, dapat melibatkan Psikiater, Pendamping, juga Psikolog, atau pihak-pihak lainnya, misal kerabat dekat yang memahami kekerasan seksual tentunya. 

Ketiga, berkaitan dengan perlindungan atau bantuan hukum. Ketika memberikan bantuan hukum jika terdapat korban yang melapor atau meminta bantuan, jangan gunakan logika hukum prosedural formalistik –yang hanya patuh terhadap Undang-Undang. Tetapi juga memahami kondisi korban. Bantuan hukum tidak dapat pasif, dalam artian membiarkan korban berusaha lebih untuk mencari bukti dan berusaha menggali ingatan lamanya secara paksa, misalnya.

Tetapi diperlukan keaktifan pemberi bantuan hukum. Sehingga meminimalisir korban terlibat dalam kondisi masa lalu yang dapat menggangu psikologis atau mencari bukti dari ingatan-ingatan yang tercatat dengan menggali secara konsultatif juga komunikatif.

Dalam menggali bukti tersebut, perlu pendekatan untuk memastikan pemberi bantuan hukum tersebut mengetahui bukti yang sesuai kekerasan seksual. Misal, pemberi bantuan hukum mengetahui harus apa ketika ada korban melapor, bukti visum segera diamankan, jika belum segera dilakukan, dan pastikan setelahnya aman dari hal-hal yang dapat mengubah hasil tersebut.

Pemberi bantuan hukum, juga mendampingi untuk mencari atau memperoleh bukti-bukti lainnya yang dapat mendukung, tentu dengan pendekatan yang tidak prosuderal –dalam arti digali secara persuasif dengan melihat kondisi korban.          

Keempat, dan kelima, berkaitan dengan ke-instansi-an –tetapi berpegang pada perlindungan korban.  

Keempat, yaitu mengajukan draft atau rancangan bagaimana mekanisme –standar operasional- ketika terjadi kekerasan seksual di suatu instansi –baik itu tempat kerja, sekolah, kampus, organisasi bahkan tingkat RT dan RW, hingga desa. Rancangan tersebut ditunjukan agar nantinya, korban tidak bingung harus menyampaikan informasi kepada siapa. Terlebih jika informasi tersebut disampaikan kepada teman dekat –terlebih teman dekatnya tidak mengetahui apa yang harus dilakukan- lalu teman dekat tersebut mengetahui apa yang harus dia lakukan.

Mulai dari mekanisme pihak yang dapat dipercaya menerima laporan, konsultasi dan perlindungan korban, pembentukan tim investigasi (yang dapat disamakan dengan pemberi bantuan hukum dalam mencari alat bukti) yang independen, hingga kepada sanksi hingga tindak lanjut di jalur hukum. Hal tersebut misalnya sudah diusulkan dalam Universitas Indonesia berbentuk buku saku SOP Penanganan Kekerasan Seksual.   

Terakhir, yang kelima. Ialah kemauan politik (political will) dari setiap instansi. Kemauan politik merupakan langkah paling akhir juga sebagai simbol dalam mencegah juga memberantas kekerasan seksual. Tanpa adanya kemauan politik dari instansi maka akan sulit.

Kemauan politik di sini, dapat didorong dari struktur paling atas dan dorongan dari struktur paling bawah. Dari atas misalnya, pimpinan memiliki kewenangan untuk membuat kebijakan memberikan ruang aman, juga perlindungan jika terdapat adanya korban, dan pengungkapan jika terjadinya kekerasan. Dari bawah misalnya, para pihak yang terlibat dalam instansi tersebut, mendorongnya adanya hal-hal di atas untuk dilakukan oleh pembuat kebijakan tadi.

Diterbitkan: 13 Desember 2021
Pukul: 06.00 WIB
Jurnalis: Adi Fauzanto
Daftar Bacaan:
•Ristina Yudhanti. 2019. Upaya Penghapusan Kekerasan Seksual terhadap Perempuan. Penerbit Thafa Media: YogyakartaIndonesia Aids Coalition. 2012. Seks, Seksual, dan Seksualitas. Artikel Iac.co.id 

Novia, Kata Indah untuk Polisi Busuk

Di tempat terakhir ayah mu, tertungkuk sekujur tubuh. Seperti penantian panjang seorang pekebun yang merawat bunga-nya yang baru mekar, lalu gugur. Ada benarnya seorang Ayah menjadi penjaga paling pertama sekaligus pelindung paling akhir. Tetapi ada tidak benarnya.

Ialah Polisi Busuk. Tanpa rasa ampun, meminta untuk mengaborsi anak yang bahkan belum dilihatnya. Tak ayal, membayangkan betapa kesalnya seorang pekebun yang merawat bunga tadi, kesal. Bahkan membayangkan anak yang belum dilihat nya itu, tumbuh dewasa, lalu memelintir penis Polisi Busuk, lalu membisikkan ketelinga-nya, “Jancuk, kau didik pelir mu, cok!”.

Membayangkan anak tadi mengelus ibunya, “Buk, tidak apa”. Sama ketika ibu-mu (mama Novia) merisaukan ibu. Tentang perkataan “Temani Mama nak, sampai meninggal. Mama sedih.” Keduanya harus kehilangan anak nya bersamaan.

Bunga yang mekar bersamaan dengan keindahan kata yang keluar, menghiasi hancur nya jiwa raga. Yang dipaksa bercinta tanpa arti sesungguhnya. Jika iya, lari dari cinta sesungguhnya, melenyapkan seluruh bekas sperma yang masuk. Bukti hancurnya calon bayi, dari keganasan nafsu keinginan untuk melindungi nama baik juga pendidikan Polisi, tahi kucing untuk seluruh lingkaran-nya.

Pelik rasanya membayangkan muka Polisi Busuk dengan penis nya, seperti terong busuk, yang sudah seminggu tidak laku terjual di pasar, lalu di tempatkan di ujung bersama dengan lainya. Boro-boro bisa bermanfaat untuk pupuk kompos, tidak pantas. Yang ada hanya menjadi makanan lalat, persis seperti bangkai yang sudah seminggu tidak di kubur.

Novia, kata indah nan harum bunga dari Mu akan abadi. Bersanding dengan bau busuk terong layaknya Polisi Busuk. Tidak ada yang salah ketika bunga baru bermekar, lalu menggugurkan dirinya, sebab tumbuhan lain tidak siap menerima keindahan-mu. Atau pekebun lain belum sempat merawat mu, setelah kau kehilangan pekebun yang selalu merawat mu.

Kamu boleh bersedih, sudah. Polisi Busuk, akan menjadi pecundang seumur hidupnya, di atas semua kesedihan mu.

Selamat jalan, bunga yang baru mekar.

Diterbitkan: 6 Desember 2021
Pencerita: Adi Fauzanto