Mengenal film dokumenter mulai dari sejarah, kegunaannya, jenis, hingga tahap pembuatannya. Selain itu, dalam membuat film dokumenter penting sekiranya memahami pendanaan, promosi, dan publikasi film dokumenter. Untuk mengenalnya lebih dalam, perlu sekiranya menonton beberapa film rekomendasi.
Mengenal film dokumenter mulai dari sejarah, kegunaannya, jenis, hingga tahap pembuatannya.
***
Jakarta, Kebijakan.co.id — Sentuhan kumpulan gambar yang apik, suara narasi yang baik, suara latar yang menarik, ditambah cerita yang utuh dan narasumber yang mempuni, adalah gambaran film dokumenter yang enak dilihat.
Untuk mempelejarinya tentu tidak semudah membalikkan tangan, ada begitu tahapan dan pembelajaran yang perlu dilakukan. Ada berbagai teknik, metode, dan sentuhan-sentuhan magis — mengarah kreativitas dan keindahan — untuk membuat sebuah film dokumenter.
Secara definisi, film dokumenter bisa dikatakan, “Mendokumentasikan cerita peristiwa yang pernah terjadi, baik yang sudah lampau atau sedang terjadi (faktual), melalui wawancara dengan pihak-pihak yang terlibat langsung, hingga gambaran kondisi yang terjadi melalui visual.”
Tulisan ini akan membahas segala hal yang berkaitan dengan film dokumenter, mulai dari awal hingga akhir. Akan tetapi penekanannya ada pada kekayaan cerita, kebagusan sinema, dan persona atau ciri khas narasumber
Mengumpulkan beberapa sumber informasi, mulai dari video yang terpeceraya, buku, jurnal penelitian, dan beberapa catatan-catatan lainnya yang tercecer. Tujuannya untuk memperkaya informasi untuk bahan belajar membuat film dokumenter.
Pembahasan film dokumenter di tulisan ini, mulai dari sejarah, kegunaan, tahap-tahap pembuatan, jenis-jenisnya, publikasi, promosi, pencarian dana, beberapa contoh film dokumenter yang menarik, hingga detail-detail lainnya yang membuat catatan ini semakin komprehensif.
Sejarah Film Dokumenter
Dalam perkembangan sejarah film dokumenter, menurut DocsOnline dalam lamannya menyatakan bahwa sejarah film dokumenter dimulai dari akhir 1990, tepatnya 1896 dengan judul film A Train Arrives at Ciotat Station karya Auguste Lumiere.
Film sederhana yang menampilkan sebuah kereta datang, yang dalam film seolah-seolah kereta tersebut datang dan menabrak penotnon, menciptakan efek psikologis nyata.
Namun, film tersebut masih belum dikatakan lengkap karena hanya memberikan gambaran satu peristiwa kedatangan kereta. Adalah lengkap karya yang dibuat oleh Robert Flaherty dengan judul Nanook of the North (1922), yang mengisahkan kehidupan suku pemburu di Eskimo.
Dikatakan lengkap karena dalam film tersebut mengandung unsur footage (gambar panjang), aktualitas, latar gambar pemandangan menjadi satu keutuhan dengan cerita menjadi sebuah film.
Setelah itu, perkembangan film dokumenter berkembang sesuai dengan zamannya, mulai dari kondisi perang dunia hingga kepada munculnya digitalisasi dengan penyedia video sesuai dengan keinginan (video on demand). Hal tersebut, membuat film dokumenter berkembangan sesuai dengan teknologi dan kebutuhan manusia.
Kegunaan Film Dokumenter
Menurut Eric Sasono, salah satu pengkaji Film Dokumenter di Indonesia, mengatakan dalam catatannya Ekonomi Kreatif dan Film Dokumenter (2016), “Film dokumenter punya peran dalam menciptakan ‘publicness’ atau membuat yang tersembunyi jadi bersifat terbuka.”
Terbuka di sini menurutnya, “dibicarakan sebagai bagian dari keterlibatan politik yang diharapkan bisa mempengaruhi kebijakan sosial, politik dan budaya, atau setidaknya mengubah kepedulian orang banyak terhadap suatu persoalan.”
Selain mengungkapkan hal yang tersembunyi, pada dasarnya menurut Eric Sasono, “Film dokumenter seperti halnya bidang seni dan kebudayaan lain, merupakan bagian dari upaya pembentukan opini, pertukaran gagasan dan eksplorasi estetika sendiri.”
Sedangkan menurut Anastasya Lavenia dalam esainya Dokumenter sebagai Medium Advokasi (2021), tidak hanya berhenti pada pembentukan opini dan esetika, lebih tegas Film Dokumenter juga bisa menjadi media perlawanan dan pembelaan atau advokasi.
“Pembuat dokumenter bisa memilih ‘kebenaran’ seperti apa yang ingin mereka hadirkan ke dalam filmnya. Meski tidak ujug-ujug mengubah dunia, pembuat dokumenter harus memiliki kesadaran bahwa karyanya memiliki kekuatan untuk membentuk persepsi audiens mengenai realita.”
Tegasnya, “upaya-upaya pengarusutamaan film dokumenter yang memantik percakapan dan mendorong perubahan harus selalu diupayakan.”
Sebab menurut Anastasya, mengutip dari Irwanto (2021), “Sejarah produksi dokumenter Indonesia dimonopoli pemerintah dari masa kolonial hingga orde baru dan baru menemukan kebebasan untuk berkembang setelah reformasi (Irawanto, 2012).”
Jelas sudah, dokumenter sejatinya menyampaikan yang ada dengan estetika (keindahan visual) tanpa dibuat-buat. Dalam menyampaikan yang ada tersebut tentu perlu kacamata, jika menggunakan kacamata masyarakat, sampaikanlah yang berkaitan dengan masyarakat dengan segala tetek-bengeknya sosial, politik, ekonomi, dan lainnya. Jika hanya menggunakan kacamata alam, tentu lihat semua yang ada berkaitan dengan alam, termasuk kerusakan yang ada.
Selain untuk media advokasi, lainnya Film Dokumenter juga dapat dijadikan media pembelajaran dan dokumentasi sejarah juga budaya.
Untuk media pembelajaran, menurut Riri Rikarno dalam jurnalnya berjudul Film Dokumenter Sebagai Sumber Belajar Siswa (2015) menyimpulkan bahwa siswa dapat belajar dari Film Dokumenter, yang menekankan pada manfaat kognitif (tentang nalar atas penjelasan di film dokumenter), manfaat psikomotorik (kemampuan bertindak atas pelajaran atau pengalaman tertentu atas yang terjadi di film dokumenter), dan manfaat afektif (yang berhubungan dengan perasaan dan emosi atas rasa atas seni yang terjadi di film).
Sedangkan untuk media dokumentasi sejarah juga budaya. Untuk sejarah, film dokumenter bisa saja menjadi bahan ilmu sejarah, asalkan tetap berdasarkan disiplin seperti fakta, cerita, dokumen, dan realita. Seperti kesimpulan yang dibuat oleh Aan Ratmanto dalam jurnalnya berjudul Beyond The Historiography: Film Dokumenter Sejarah Sebagai Alternatif Historiografi di Indonesia (2018), “Film, khususnya film dokumenter, dipandang sebagai media baru yang sesuai dengan karakteristik sejarah karena sama-sama menghadirkan realitas kehidupan nyata.”
Selain sejarah, film dokumenter juga bisa untuk budaya atau tradisi. Film Dokumenter bisa menjadi dokumentasi atas budaya untuk diwariskan kepada generasi penerus. Seperti kesimpulan menurut Citra Dewi Utami dalam jurnalnya berjudul Film Dokumenter Sebagai Media Pelestari Tradisi (2010), “Film dokumenter merupakan salah satu genre media audio visual yang digunakan untuk memediasi kembali pelestarian tradisi yang pada hakekatnya menjadi warisan besar.”
Pendidikan, sejarah, dan budaya sudah menjadi hal yang perlu dipertimbangkan dalam pembuatan film dokumenter, sebab ini menjadi dokumen penting yang menggambarkan keadaan yang nyata. Dokumen penting ini nantinya bisa dijadikan bahan pembelajaran dan juga warisan yang diturunkan. Oleh karenanya perlu untuk mempersiapkan dengan sungguh dalam pembuatan film dokumenter.
Tahap-Tahap Pembuatan Film Dokumenter
Dalam tahap pembuatan film dokumenter, menurut Wahyu Utami Wati dengan karya filmnya The Unseen World (2017) yang memenangi Festival Film Indonesia kategori Film Dokumenter pendek terbaik, memberikan 3 tahapan dalam pembuatan film dokumenter.
Pertama, tahap Pra-Produksi. Dalam tahap Pra-Produksi, diperlukan pengembangan terhadap 3 hal.
Hal yang pertama ialah pengembangan ide. Menurut Utami dalam penjelasannya, “Ide Pembuatan Cerita Dokumenter bukan dari hal yang imajinatif, tetapi dari fakta (realita)”, dari keadaan yang nyata tersebut, ide dikembangkan menjadi gagasan, gagasan tersebut menurut Utami, “kita perlu menguji gagasan tersebut dengan mengajukan beberapa pertanyaan.”
Pertanyaan pertama, apakah saya memiliki pengetahuan yang besar tentang gagasan tersebut?
Pertanyaan kedua, apakah saya memiliki ikatan emosional yang besar terhadap gagasan itu dibandingkan dengan hal lain?
Pertanyaan ketiga, apakah saya memiliki opini terhadap gagasan itu? mampukah saya berpihak? kepada siapa saya berpihak?
Pertanyaan keempat, apakah saya memiliki dorongan kuat untuk mempelajarinya?
Ide tersebut harus disesuaikan dengan ketiga hal ini. Pertama, Film dokumenter jenis apa yang akan dibuat. Kedua, bagaimana gambaran kemasan film dokumenternya. Ketiga, kepada siapa target penontonnya. Ketiga hal tersebut harus sinkron dengan ide yang akan dikembangkan.
Pengembangan yang kedua adalah melakukan riset awal. Menurut Wahyu Utami Wati, dalam melakukan riset ada beberapa pertanyaan yang perlu dijawab.
Pertanyaan pertama, seberapa besar pengetahuan kita terhadap persoalan-persoalan yang ingin dijadikan film?
Pertanyaan kedua, seberapa jauh pengetahuan kita terhadap tindakan-tindakan subjek dalam persoalan yang ingin diangkat?
Pertanyaan ketiga, apa hubungan subjek yang ingin diangkat dengan tokoh lain yang terlibat?
Pertanyaan keempat, bagaimana subjek yang ingin diangkat menghadapi persoalan tersebut? apa saja yang dia lakukan?
Selain itu, menurut Yuda Kurniawan yang memenangi Festival Film Indonesia tahun 2020 dalam kategori film dokumenter terbaik dengan karya Nyanyian Akar Rumput (2020).
Menurut Yuda dalam satu wawancarannya oleh Siasat Cinema, salah satu hal yang dipertanyakan sebelum membuat film ialah. Pertama, ketertarikan terhadap isu dan subjek. Kedua, Memiliki kegelisahan terhadap isu dan subjek.
Sedangkan menurut Search for Common Ground ada beberapa yang perlu dipersiapkan di awal ialah pesan utama apa yang ingin disampaikan.
Pengembangan yang ketiga ialah Pembuatan Langkah-Langkah (treatment). Di dalam pembuatan treatment susunan adegan yang akan divisualkan dilengkapi dengan alur cerita yang jelas. Seperti, penemapatan narasi, penempatan wawancara, unsur audio sudah ditempatkan dengan baik. Semua hal tersebut sudah harus disusun.
Kegunaan Treatment dipakai sutradara untuk acuan pengambilan gambar. Dalam tahap ini sutradara membuat shot list, daftar apa saja yang ingin diambil gambarnya secara rinci melalui dua pembagian video dan audio. Setelah itu, skenario (narasi) dibuat setelah pengambilan gambar dalam bentuk editing script (Video-Audio).
Tak kalah penting, ialah menyusun metode perekaman, baik itu merekam langsung atau rekonstruksi peristiwa. Selain itu dengan apa cara pengambilan gambar, apa dengan pengambilan gambar dekat, menengah, atau jauh.
Selain itu persiapan untuk wawancara, mulai dari cara pendekatan kepada subjek, hingga daftar pertanyaan, dan sekiranya apa saja kegiatan yang akan diikuti subjek tersebut.
Dan jika diperlukan ialah turun ke lapangan untuk melakukan survei, baik dari pengambilan gambar, lokasi wawancara, hingga hal-hal teknis lainnya selama produksi.
Hal teknis lainnya yang perlu dipersiapkan untuk menunjang treatment menurut Search for Common Ground ialah: pertama, tantangan apa yang sekiranya akan dihadapi selama proses produksi? siapkan plan A, plan B, plan C. Kedua, menulis pertimbangan teknis saat syuting, seperti akomodasi, administrasi, kendaraan, penginapan, perijinan, kondisi cuaca, dan lain-lain.
Kedua, Tahap Produksi (Proses pengambilan gambar). Dalam tahap produksi, ada dua tahap besar yang dilakukan yaitu wawancara dan pengambilan gambar sesuai daftar yang dipersiapkan atau shot list.
Hal pertama yang dilakukan ialah proses wawancara terhadap subjek. Proses wawancara tidak terbatas hanya tanya jawab, akan tetapi observasi kegiatan-kegiatan subjek dan keadaan kondisi di sekitar.
Selain itu, yang dipertimbangkan dalam pelaksanaan wawancara ialah lokasi atau setting tempat wawancara diambil menjadi penting untuk kita perhitungkan. Dengan mempertimbangkan kualitas cahaya dan tidak bising dengan suara-suara yang kemungkinan menggangu.
Hal Kedua yang dilakukan ialah juru kamera membuat dan melaksanakan shot list, dipersiapkan dan dilaksanakan detik per detik selama waktu yang ingin difilmkan sesuai dengan rencana yang telah ditulis. Dalam hal ini tidak hanya daftar gambar, juga daftar suara yang sekiranya bisa diambil.
Perlu diingat, pembuat film juga jangan terlalu terpaku dengan rencana, dia perlu mengambil kesempatan untuk mengambil gambar sesuai dengan ide yang sekiranya berguna. Hal tersebut untuk memperkaya film nantinya, dan jika bisa menjadi ide cerita tersendiri.
Dari sisi teknis, kamera yang perlu dipersiapkan setidaknya untuk mengambil gambar jarak dekat (close up) biasanya wawancara, medium shot (jarak menengah), dan jarak jauh (wide shot).
Ketiga, Pasca Produksi. Dalam tahap pasca produksi, agenda yang terlibat ialah tentu mengedit kumpulan video tersebut menjadi suatu film, menambahkan narasi cerita, hingga menyatukan suara, hingga menjadi satu kesatuan yang indah.
Hal pertama yang dilakukan adalah editing. Ialah tugas editor, mengedit video sesuai dengan editing script atau alur film sesuai dengan rencana di awal atau dengan kesepakatan pembuat film dilapangan yang mengetahui kondisi cerita subjek paling dekat.
Beberapa yang perlu dipertimbangkan. Ialah, menghitung detail durasi sesuai dengan target apakah film dokumenter panjang (1 jam lebih) atau pendek (30 menit kurang).
Hal kedua yang dilakukan ialah, pembuatan dan perekaman narasi oleh narator. Narasi dibuat setelah sekiranya sudah di tetapkan alur cerita yang disepakati, dari situlah narasi dibuat sesuai kebutuhan cerita. Hal lainnya yang dipersiapkan adalah juga memasukan riset dan grafis yang menunjang narasi sehingga mudah dicerna oleh penonton.
Hal ketiga yang perlu dilakukan ialah, menempatkan dan mengatur musik agar sesuai dengan visual. Hal tersebut dibutuhkan untuk membuat film menjadi lebih menarik selain dialog dari wawancara subjek atau narasi oleh narator. Kebutuhan musik juga harus disesuaikan dengan film dokumenter yang dibuat.
Hal lainnya ialah pembuatan kredit film di akhir, seperti pihak-pihak yang terlibat hingga keterangan-keterangan lainnya yang perlu dicantumkan.
Jenis-Jenis Film Dokumenter
Dari beberapa film dokumenter yang ada, beberapa pembagiannya jelas terlihat.
Pertama, film dokumenter investigatif. Jenis film dokumenter ini isi ceritanya mengungkapkan sesuatu yang tersenyembunyi dengan pendekatan latar gambar (kerusakan lingkungan, pembunuhan, dan lainnya) sebagai bukti akan adanya kecurangan.
Ditambah dengan karakter umumnya sebagai orang pertama atau orang ketiga serba tahu yang mencari bukti, baik itu gambar langsung, pengakuan, wawancara, dan lainnya yang mendapatkan gambar.
Umumnya kerja-kerja jurnalistik yang dilakukan oleh jurnalis, karena merupakan keahlian dalam mengungkapkan kejahatan, tetapi bukan tidak mungkin dikerjakan oleh selain jurnalis, khususnya orang yang ingin mengungkapkan sesuatu yang menurutnya penting.
Contoh dari film dokumenter investigatif ini seperti film Collective (2020) karya Alexander Nanau, yang berkisah tentang kondisi pelayanan kesehatan di Romania yang buruk, dibuktikan dengan korban kebakaran di Cafe Collevtive yang bukannya sembuh justru meninggal. Selain itu ada Citizenfour (2014) karya Laura Poitras, yang berkisah tentang penyadapan oleh pihak keamanan USA yang dibocorkan oleh satu orang yang mengaku Citizenfour kepada jurnalis The Guardian.
Kedua, Film Dokumenter Penjelasan (Expository). Film ini menjelaskan sesuatu cerita yang kompleks kedalam film, dengan sebuah cerita. Kelemahannya memang, tidak semua terungkap dan terjelaskan, akan tetapi mendapatkan gambaran secara utuh. Biasanya akan dibagi ke dalam beberapa bab untuk beberapa topik penjelasan.
Contoh dari film dokumenter penjelasan ini seperti Atas Nama Daun (2022)karya Mahatma Putra, yang menjelaskan sisi positif dari ganja, mulai dari membahas kesehatan, efeknya pada korban, legalisasi pengaturan, hingga lainnya.
Ketiga, Film Dokumenter Observasional (Direct Cinema). Film jenis ini menjelaskan satu peristiwa, atau satu kejadian, atau satu subjek secara detail dan mendalam, mulai dari kesehariannya, kegiatannya apa, dan apa saja yang dilakukan. Hal tersebut membuat film ini akan terasa membosankan, akan tetapi jika dibalut dengan tangkapan gambar sinematografi yang baik dan disusun atas alur penceritaan yang tersusun menjadi sangat menarik.
Contoh dari film dokumenter penjelasan ini All That Breathes (2022) yang akan dijelaskan lebih lanjut pada akhir tulisan ini, karena memang salah satu favorit.
Keempat, Film Dokumenter Sejarah atau Perjalanan. Film jenis ini menjelaskan rangkaian peristiwa yang panjang, dan memang tidak mudah, harus benar-benar dipersiapkan sejak dari awal untuk mendokumentasikannya.
Contoh dari film ini ialah Fire of Love (2022) yang mendokumentasikan perjalanan dua sejoli vulkanologi mengunjungi beberapa gunung berapi, dibuatkan film dokumenter dari file-file yang mereka rekam bertahun-bertahun jauh setelah dua sejoli ini meninggal. Penjelasan lanjutannya akan ada di bawah karena merupakan film dokumenter favorit.
Selain itu ada beberapa pendekatan menurut Wahyu Utami Wati, ada Issue Driven (pendekatan berdasarkan isu) dan Character Driven (pendekatan berdasarkan subjek tokoh).
Kebenaran membutuhkan wadah. Kejujuran membutuhkan suara. Kenyataan membutuhkan kamera. Film Dokumenter hadir untuk ketiganya.
Beberapa film dokumenter yang direkomendasikan oleh Kebijakan.co.id untuk ditonton.
***
Jakarta, Kebijakan.co.id — Dari beberapa film dokumenter yang Kebijakan.co.id tonton, dilihat dari kualitas penceritaan, filmografi, permasalahan, dan karakter (persona) yang kuat beberapa di antaranya dibahas secara singkat dalam bingkai cerita, sinema, dan persona.
Dengan mengangkat cerita sejarah di balik peristiwa tahun 1965 di Indonesia yaitu pembantaian mereka yang dituduh komunis, tanpa diadili, dengan melibatkan negara, preman (freeman), dan komunitas agama. Dokumenter ini dibalut dengan perjalanan pencarian akan hal yang sangat pribadi, pencarian pembunuh sang Kakak.
Dari sisi sinematografi, pengambilan gambar sangat reflektif dengan alunan nada piano yang menyedihkan, dengan latar gambar yang menyeramkan menggambarkan keadaan ketika itu, dengan nada warna yang sedikit gelap.
Dari sisi karakter (pesona), film ini sangat otentik. Perjalanan subjek atas masalah pribadi yang penasaran dengan apa yang terjadi di masa lalu terhadap sang Kakak, membawanya ke beberapa tempat dan orang, mewawancarinya, bertanya tentang apa yang sebenarnya terjadi.
Kedua, cerita dari India tentang bagaimana kedua orang, adik-kakak, yang membuat tempat konservasi untuk burung-burung karnivora seperti elang. Kegiatannya mengambil burung-burung yang sakit, lalu disembuhkan dengan cara operasi, lalu dirawat yang nantinya dilepasliarkan ketika sembuh.
Tidak hanya tentang konservasi, tetapi bagaimana menggambarkan keseimbangan alam, utamanya udara tempat semua mahluk hidup membutuhkan ruang hidup, dari tempat tinggal, bernapas, hingga cuaca. Dengan penceritaan sederhana akan tetapi begitu kuat, menjadikannya mendalam dan sangat reflektif. Disertai bumbu-bumbu masalah toleransi di India.
Secara sinematografi, pengambilan gambar yang sangat menawan, dengan latar gambar langit, burung, dan kota di India yang benar-benar menghipnotis penonton — walaupun sederhana seperti gambar burung, akan tetapi begitu menghipnotis. Selain itu, penempatan potongan video per video juga sangat tepat dalam film, itu juga yang menjadikan penonton terhipnotis. Seakan begitu sangat dekat berada di dalam film.
Dari sisi karakter, sang kakak dan adik ini begitu sangat kuat pendiriannya, walaupun pada awalnya kegiatan konservasi ini tidak menghasilkan — mereka mempunyai bengkel untuk mencari tambahan — akan tetapi mereka mencari sebuah makna bahwa burung — elang khususnya — mengajarkan mereka tentang kehidupan dan membuat mereka menjadi hidup.
Yang ketiga film dari India, sepasang suami-istri yang bekerja sebagai perawat gajah di salah satu taman nasional di India, mendapatkan tugas merawat gajah kecil yatim-piatu. Tidak semua perawat di sana bisa karena sulitnya merawat gajah kecil yatim-piatu, dengan kasih sayang yang begitu tulus merawatnya, mereka berhasil membesarkannya, hingga mendapatkan tugas kembali untuk merawat gajah kecil yatim-piatu lainnya.
Di India (mungkin seluruh dunia), merekalah yang pertama yang berhasil merawat anak gajah yatim-piatu hingga besar, umumnya gajah dirawat oleh perawat ketika dia sudah besar, jadi tidak sulit untuk merawat, memberi makan, mengajarkan cara hidup, dan hal-hal lainnya.
Cerita sederhana tetapi begitu menyentuh, tentang merawat mahluk hidup dan binatang, disuguhkan dengan sinematografi alam yang begitu menawan ditambah alunan suara tenang yang enak didengar menjadikan film ini begitu komplit, walaupun ceritanya sederhana akan tetapi begitu dalam untuk konservasi.
Secara karakter, pasangan suami istri begitu personal merawat gajah kecil yatim piatu, karena mereka baru saja kehilangan anaknya sebelum merawat gajah kecil itu, mereka menggangap merawat gajah kecil tersebut, seperti merawat anaknya yang telah meninggal. Karena ketulusan inilah mereka berhasil dan yang menjadi pertama merawat gajah kecil yatim piatu.
Film selanjutnya ialah My Octopus Teacher. Sebuah film yang menggambarkan kehidupan dan segala seluk beluk tentang gurita kecil, dibalut dengan penceritaan yang apik begitu menarik dari subjek utama pemeran utama — yaitu orang yang bertemu dengan gurita kecil tersebut.
Segala bentuk kekaguman atas binatang pintar tersebut disampaikan oleh Sang Narator, menghabiskan 1 tahun penuh dengannya, mulai dari cara mendekati (berkenalan), ‘bermusuhan’, berburu, diburu, perkawinan, hingga kematian.
Secara cerita sebenarnya sangat sederhana, akan tetapi balutan bercerita secara mendalam yang begitu menarik, ditambah sinematografi yang apik. Mengambil gambar detail tentang kehidupan hutan bawah laut selama 1 tahun, memang harus dikerjakan oleh kameramen berpengalaman dan penyelam yang berpengalaman.
Dari sisi karakter Sang Narator, begitu sangat dekat personal, dia mendapatkan dirinya galau (ntah karena apa penyebabnya), lalu bertemu dengan hewan yang begitu ‘canggih’ Sang Gurita, mengobati kegalauannya dengan berteman, sekaligus belajar darinya, mencari seluk beluk kehidupannya.
Sang Narator lalu mengambil satu pelajaran yang didapat dari siklus pendek Sang Gurita Kecil, ia belajar bagaimana menyangai kehidupan, mulai dari keluarga hingga alam — yang dalam hal ini laut.
Film selanjutnya masih tentang binatang dan lautan. Berkisah tentang seseorang yang dari kecil menyukai wahana hiburan lumba-lumba, dari situ dia menelusuri bagaimana bisa lumba-lumba itu bisa terdapat di sana, yang mengantar dia kepada negara dengan penangkapan lumba-lumba terbesar yaitu Jepang.
Jepang menjadi pintu masuk untuk menelusuri dunia gelap ‘ekonomi’ laut. Mulai dari penangkapan hiu, paus, dan lumba-lumba untuk menguntungkan ‘ekonomi’ dari ikan tuna dan beberapa ikan lainnya yang merupakan rantai makanan dari binatang puncak rantai makanan seperti hiu, lumba-lumba, dan paus.
Praktik-praktik ini, disertai dengan praktik pengambilan ikan seperti pukat harimau yang merusak terumbu karang, dan beberapa pengakapan yang sia-sia seperti sirip hiu.
Ditambah menelusuri ‘aktivis lingkungan’ yang tidak bersuara dari pengangkapan besar-besaran, akan tetapi malah membicarakan tentang dampak plastik terhadap laut. Setelah ditelusuri lagi, ternyata pendonornya merupakan perusahaan penangkapan ikan. Dan menurut temuan, bahwa dampak plastik terhadap kotornya laut, tidak seberapa dibandingkan dengan dampak sampah pukat atau jaring dari pengambilan ikan secara besar-besaran.
Ditambah praktik ini, juga melibatkan perbudakan modern salah satunya terhadap pekerja Indonesia, dan beberapa dampak kemisikan di Afrika akibat ketiadaan ikan akibat pengangkapan besar-besaran.
Selain itu tercemarnya laut juga karena praktik medomestifikasi ikan di dalam jaring, mengakibatkan kotoran bercampur dengan kehidupan air di sekitar. Hal tersebut menyebabkan kualitas daging ikan yang tidak sehat.
Secara sinematografi, dengan pendekatan ‘jurnalisme investigatif’ yang sangat asik, dan penggambilan gambar dan latar tentang ikan dan lautan, menyajikan pemandangan biru yang apik. Disertai musik yang menegangkan untuk bagian tertentu dan nada alami khas lautan.
Secara karakter sang aktor utama jelas sangat kuat untuk mencari tahu di balik bisnis lautan ini, membuat film memiliki karakter yang kuat. Selain itu karakter juga memiliki keberanian untuk menyelundup hingga praktik-praktik yang dilakukan oleh aktor ekonomi lautan hingga sangat dekat. Tak jarang berusuan dengan pihak berwenang yang melindungi. Juga berkonfrontasi dengan aktor tertuduh di balik ekonomi lautan ini.
Dari beberapa film yang ada, inilah yang saya sukai. Menceritakan bagaimana kebangkitan seorang atlet MMA dan pelatih tentara USA yang cedera. Dari cedera tersebut, dia menyelidiki bagaimana agar cedera bisa cepat pulih, belajar bagaimana fisiologis tulang dan tubuh manusia.
Dari situ dia menjelajah hingga belajar tentang Gladiator yang merupakan petarung pada abad pertengahan awal yang diketauhi merupakan memakan makanan berbasis sayuran dan kacang-kacangan (tumbuhan). Dari situ dia mempelajari atlet yang menggunakan metode makanan sejenis, mulai dari pelari, petarung, football, sepakbola, perenang, pesepeda, hingga pengangkat berat.
Selain itu juga menyelediki dampak kesehatan terhadap pemakan daging, terhadap darah tinggi dan lainnya. Hingga penyebab-penyebab dari industri daging yang merusak lingkungan, seperti pembukaan lahan.
Dari sisi sinematografi menghubungan antara bercerita secara personal, wawancara yang khas, disertai dengan sinematografi ala olahraga di setiap cabangnya. Ditambah gambaran tentang sains dan animasi yang berhubungan dengan kesehatan dan fisiologis tubuh.
Dalam penggambaran karakter, aktor utama begitu kuat untuk mencari tahu mempercepat kesembuhannya dari cedera, hingga merubah gaya hidup untuk kembali pulih. Menekankan bahwa dirinya serius terhadap gaya hidup pola makan berbasis tumbuhan. Ditambah ayahnya mengedap penyakit jantung akibat pola makan daging sedari kecil.
Film yang menceritakan tentang seorang veterang perang tentara marinir Amerika yang berperang di Afganistan melawan pemberontak muslim bersama Uni Soviet di tahun 1990. Setelah beberapa kasus, khususnya peristiwa 2001 di WTC memicu trauma atas muslim, hal ini disebabkan oleh pengalamannya berperang di Afganistan yang bisa disebut PTSD (gangguan pasca trauma).
Hal ini menyebabkan dia merencanakan untuk mengebom muslim center di kotanya, akan tetapi setelah masuk dan melihat, tentara ini merasakan damainya muslim menyambut mereka. Akhirnya luluh untuk melakukan pemboman.
Secara sinematografi, mayoritas penggambaran wawancara tatap muka yang begitu orisinil dan menawan. Selain itu latar pengambilan yang begitu eksestik menggambarkan kondisi kota yang sepi. Dan beberapa gambaran masa lalu sang tentara yang begitu bahagia dengan anak dan istrinya, sebelum menderita PTSD. Betul-betul menggambarkan sebuah cerita yang utuh, dengan jatuh bangunnya sebuah manusia dengan PTSD-nya.
Sang tentara dan beberapa orang disekitarnya (utamanya anak) karakter yang sangat kuat. Sang keluarga yakin ayahnya adalah orang baik, dan mereka bersama menghadapi penyakit PTSD tersebut. Selain penggambaran komunitas muslim yang damai dengan kegiatan-kegiatannya dan sejarahnya yang juga menjadi korban akibat perang.
Film dokumenter yang meliput penjuru daerah di Indonesia, khususnya yang terdampak PLTU, mulai dari kesehatan, ekonomi, masyarakat, politik, dan tentunya lingkungan.
Selain itu juga meliput proses dari hulu hingga hilir juga tak luput diliput, mulai dari penambangan batubara, distribusi batubara, hingga proses pembangkitan listriknya, menjadikan film ini komprehensif pembahasannya. Dua orang jurnalis memang sengaja berkeleling Indonesia untuk melihat langsung daerah-daerah yang terdampak PLTU. Mulai dari Jawa, Bali, Kalimantan, hingga Sulawesi.
Secara sinematografi film ini begitu menawan, menggunakan alat rekam yang terbaru pada masanya, seperti Go Pro, Drone, dan Kamera dengan resolusi tinggi menghasilkan gambar dan latar gambar yang menawan.
Belum lagi soal suara atau lagu yang memang khusus diproduksi untuk film dokumenter ini, yang sangat tepat menggambarkan kondisi yang terjadi di lapangan. Dengan bantuan animasi dan grafis yang menunjang memberikan informasi tambahan yang penting. Dengan alur cerita yang naik-turun agar tidak membosankan, membuat dokumenter ini begitu sempurna.
Secara karakter dua jurnalis ini cukup kuat dalam hal ekonomi-politik (yang memang sebagai tugas jurnalis mengawasi kekuasaan), dengan bingkai ekonomi-politik inilah yang menjadikan film dokumenter ini berbeda dengan film dokumenter lingkungan lainnya — yang umumnya hanya menyatakan dampak. Tentu ini membutuhkan skill khusus seperti jurnalisme investigasi, yang juga 2 jurnalis ini ahli dalam hal tersebut.
Film dokumenter yang terakhir, ialah film yang menceritakan kisah perjalanan dua orang peneliti vulkanologi yang menjelajah dari gunung berapi ke gunung berapi. Meneliti dari batuan hingga seluk-beluk gunung berapi. Film dokumenter diambil dari berkas-berkas yang disimpan, keduanya meninggal dalam letusan gunung berapi di Jepang.
Tidak hanya soal gunung berapi, kisah ini juga perjalanan kisah seorang yang saling mecintai hingga akhir hayat yang berdedikasi untuk ilmu pengetahuan.
Indahnya pemandangan gunung tidak perlu dihiraukan lagi dalam kualitas sinematografi walaupun dokumen-dokumen dari tahun di bawah 2000-an. Dengan narator yang ulung dengan suara yang indah menjelaskan begitu detail perjalanan dua sejoli yang jatuh cinta akan api. Benar-benar menghipnotis semua penonton akan kegigihan, jatuh cinta, dan cerita-cerita di baliknya.
Karakter dua sejoli ini benar-benar menunjunkan keteguhan akan hal yang diminatinya, meneliti hingga harus ‘mengorbankan nyawa’. Dua sejoli ini benar-benar menginspirasi apa yang harusnya dilakukan oleh seorang ilmuwan.
***
Dari beberapa film yang Kebijakan.co.id tuliskan di atas, bisa disimpulkan bahwa benang merah, film tersebut dikatakan bagus ialah pertama dari kualitas penceritaan, kualitas penggambaran sinematografinya, hingga karakter yang kuat. Mereka harus disamakan, dalam arti tidak boleh timpang antara satu dengan lainnya.
Kebenaran membutuhkan wadah. Kejujuran membutuhkan suara. Kenyataan membutuhkan kamera. Film Dokumenter hadir untuk ketiganya.