Kebijakan.co.id – Liputan Mendalam
Virta - 19 September 2022 (13.00 WIB)-#28 Paragraf

Jalan Hidup Mochtar Lubis
Depok, Kebijakan.co.id — Mochtar Lubis lahir dari keluarga Batak Mandailing pada 7 Maret 1922 di Padang, Sumatera Barat. Ia lahir dari seorang ibu bernama Siti Madinah Nasution dan ayahnya Marah Husin Gelar Raja Pandapotan Lubis, yang pada saat itu menjadi Kepala Distrik Kerinci pada masa Pemerintahan Hindia Belanda.
Selama hidupnya ia banyak menghabiskan waktunya menjadi seorang sastrawan dengan menulis cerpen dan novel, pelukis, penerjemah, pematung, dan seorang jurnalis terkenal, sebelum akhirnya ia menghembuskan nafas terakhirnya pada 2 Juli 2004 di Jakarta.
Pendidikan formal Mochtar Lubis diawali dari sekolah dasarnya yang berbahasa Belanda HIS di Sungai Penuh. Kemudian, setelah itu ia melanjutkan pendidikannya di sekolah ekonomi partikelir di Kayutanam.
Perlu diketahui bahwa Mochtar Lubis dalam menempuh pendidikannya tidak dalam tingkatan HBS atau AMS.
Keluarga Mochtar Lubis adalah keluarga muslim yang merupakan anak keenam dari sepuluh saudara.
Ayah Mochtar Lubis selalu mengajarkan kepada anak-anaknya mengenai makna kehidupan hingga kedisiplinan dalam berkehidupan. Berbeda dengan Ayahnya, Ibunya selalu memberikan pengajaran mengenai bagaimana kita sebagai umat beragama harus menaati dan menghindari larangan-larangan dari Tuhan.
Salah satu orang yang menginspirasi tulisannya yaitu kisah Ayahnya. Hal ini berawal dari tuntutan pekerjaan yang dimiliki ayahnya pada saat itu sebagai kepala distrik.
Suatu hari, ia melihat Ayahnya yang sedang memberikan hukuman kepada salah seorang kuli kontrak yang mencoba untuk melarikan diri dari tanggung jawabnya. Dengan berat hati, ia melihat ayahnya yang memukuli kuli tersebut, padahal ia tahu bahwa ayahnya tidak mungkin melakukan hal tersebut kalau tidak karena tuntutan pekerjaan.
Peristiwa itu membuat Mochtar Lubis menuliskan semua hal ada di benaknya hingga menjadi sebuah cerita pendek berjudul Kuli Kontrak.

Perkenalan dengan Dunia Jurnalistik
Melihat anaknya yang senang menggeluti di bidang jurnalistik, ayahnya mengimbau Mochtar Lubis untuk tidak bekerja di pemerintahan Belanda, karena ia khawatir nantinya pekerjaan di pemerintah Belanda tidak sesuai bahkan bertentangan dengan minat nya.
Minat Mochtar Lubis dalam dunia jurnalistik mengantarkan ia menjadi seorang pemimpin redaksi mantan Harian Indonesia Raya. Tidak hanya itu, minatnya ini pernah membawa ia masuk ke jeruji besi akibat karya-karya nya yang dianggap membahayakan.
Namun, tidak hanya menjadi jurnalis, putra Pandapotan Lubis itu juga pernah menjadi seorang pegawai Pangreh Praja atau binnenlands bestuur (BB) pada saat pemerintahan kolonial Hindia Belanda.
Kemudian, pada pertengahan tahun 1930-an ia berpindah menjadi Demang atau Kepala Daerah Kerinci dan guru di salah satu sekolah di Pulau Nias. Memang dirinya sudah diakui menjadi seorang otodidak tulen.
Dalam perjalanan karirnya, Mochtar Lubis pernah menjadi bagian dari anggota tim monitor radio Sekutu di luar negeri pada zaman Jepang. Di sana, ia bertugas untuk menuliskan segala berita yang ia dengar dalam laporan yang kemudian akan disalurkan kepada Gunseikanbu, yaitu kantor pemerintahan bala tentara Dai Nippon.
Untuk menjaga kerahasiaan dan keamanan berita, Mochtar Lubis dan tim tinggal di tempat yang terpisah dari kompleks perumahan di Jalan Timor, belakang hotel milik Jepang.
Dalam timnya, terdapat mantan pegawai Algemene Secretarie di Bogor, D. Janssen, mantan pemimpin redaksi Harian Bataviaasche Nieuwsblad, J.H Ritman, mantan wartawan Ceylon salah seorang yang melarikan diri dari Singapura, Thambu.
Sambil menekuni pekerjaannya sebagai tim monitor, pada akhir 1944 ia memutuskan untuk menikahi gadis Sunda bernama Halimah. Halimah bekerja di Sekretariat Redaksi Harian Asia Raja dan tutup usia tepat pada usia 77 tahun, 27 Agustus 2001.

Mochtar Lubis dan Harian Indonesia Raya
Proklamasi kemerdekaan membawa kantor berita ANTARA yang didirikan oleh Adam Malik kembali lagi aktif dan membuat Mochtar Lubis ikut bergabung. Di ANTARA ia menjadi penghubung antara korespondensi asing yang berdatangan ke Jawa dengan para masyarakat guna untuk liputan mengenai Revolusi Indonesia.
Selain karena mahir dalam berbahasa Inggris, ia juga merupakan sosok yang memiliki tinggi 1.85 meter yang menjadi sosok familiar di antara riuhnya war correspondents lain.
Pada 27 Desember 1949, menjelang adanya penyerahan kedaulatan antara Belanda dan Republik Indonesia Raya (RIS), Mochtar Lubis dan Hasjim Mahdan berinisiatif untuk membuat media surat kabar.
Dari semangat itulah kemudian mereka mendirikan Harian Indonesia Raya yang Mochtar Kubis bertugas sebagai pimpinan redaksi.
Sebagai pemimpin redaksi, wartawan senior itu pergi ke Korea Selatan untuk meliput, karena tengah terjadi Perang Eropa di pertengahan tahun 1950. Sejak saat itu kemudian ia dikenal sebagai sosok koresponden perang, mengapa? karena pada saat itu, pertengahan dasawarsa 1950 saat demokrasi parlementer, Indonesia dihebohkan dengan istilah personal journalism.
Maka dari itu, Mochtar Lubis dikenal dan identik dengan Harian Indonesia Raya, Rosihan Anwar dikenal dalam Pedoman, S. Tasrif dikenal di Abadi, dan B.M Diah dikenal di Merdeka. Mochtar Lubis dikenal sebagai seorang wartawan yang berita nya sering menggemparkan masyarakat, salah satunya “affair.”
Affair yang disajikan beragam, seperti affair Hartini yang diketahui mengungkap hubungan yang dimiliki Presiden Fatmawati dengan Presiden Indonesia, Soekarno. Kemudian, affair pelecehan seksual yang terjadi oleh Nyonya Yanti Sulaiman, yang bosnya di Kebudayaan Kementerian P & K, Sudarsono, mencoba merayu dan melontarkan beberapa kata-kata yang berbau “seram.”
Affair itu semua berasal dari Harian Indonesia Raya, namun hal yang sama juga terjadi pada Pedoman yang sering membawakan berita-berita mengenai Don Juan Sudarsono.
Seperti yang kita ketahui, Mochtar Lubis tidak hanya dikenal sebagai seorang wartawan, namun ia juga sastrawan dengan tulisan-tulisannya. Menariknya ia juga pandai melukis, membuat keramik, dan patung.
Karya-karya nya bisa kita nikmati seperti novel Senja di Jakarta, Berkelana Dalam Rimba, Harimau, Harimau!, dan Jalan Tak Ada Ujung. Dari sini, ia mendapatkan penghargaan Magsaysay Award untuk kesusastraan dan jurnalistik pada tahun 1953.
Dalam Harian Indonesia Raya, Lubis mencanangkan “perang salib” terhadap korupsi yang terjadi di Pertamina. Ia menyoroti sosok Letnan Jenderal Ibnu Soetomo yang pada saat itu sebagai bos dari Pertamina.
Namun, kenyataan berkata lain, semua usaha Mochtar Lubis sia-sia begitu saja. Hasil dari kasus yang terjadi pada Pertamina yaitu Letnan Jenderal Ibnu Soetomo yang kemudian mundur dari Direktur Utama Pertamina, namun seluruh harta nya tidak dijamah secara lebih dalam.
Mochtar Lubis memiliki banyak prestasi di dalam pentas jurnalistiknya, baik dari sisi sosial politik, pencemaran lingkungan, hak asasi manusia (HAM), dan usaha-usaha untuk memperjuangkan suatu keadilan dan kebenaran.


Diterbitkan: Senin, 19 September 2022 Pukul: 13.00 WIB Jurnalis: Farahdila Virta Fauziah Editor: Adi Fauzanto
Daftar Bacaan: • Ensiklopedia Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
