HUT AJI Ke-28 di Antara Ancaman Digital dan Kekuasaan Oligarki


Kebijakan.co.idLiputan Advokatif

Adi Fauzanto-8 Agustus 2022 (06.00 WIB)-#2 Artikel
HUT AJI Ke-28

AJI lahir dari kecelakaan sejarah atas buruknya kekuasaan memandang kebebasan Pers di Indonesia. Kini, AJI terus hadir sebagai wadah untuk melindungi jurnalis-jurnalis yang tidak mau disetir kekuasaan, tujuannya menjaga keberkualitasan demokrasi dan kebebasan berpendapat. Bukan tanpa tantangan, hingga kini ancaman masih sama, ditambah lanskap baru yaitu ranah digital.

Selain itu, AJI juga mengapresiasi beberapa kerja-kerja jurnalis dengan Udin Award -diambil dari Wartawan Udin yang merupakan korban dari kuasa atas liputan-liputannya yang menggangu kekuasaan-, Tasrif Award -diambil dari penggagas adanya kode etik jurnalistik-, dan SK Trimurti Award.

***

Baca Serial Liputannya Di Sini

HUT AJI Ke-28 di Antara Ancaman Digital dan Kekuasaan Oligarki


Kebijakan.co.idLiputan Advokatif

Adi Fauzanto-8 Agustus 2022 (06.00 WIB)-#23 Paragraf
HUT AJI Ke-28

AJI lahir dari kecelakaan sejarah atas buruknya kekuasaan memandang kebebasan Pers di Indonesia. Kini, AJI terus hadir sebagai wadah untuk melindungi jurnalis-jurnalis yang tidak mau disetir kekuasaan, tujuannya menjaga keberkualitasan demokrasi dan kebebasan berpendapat. Bukan tanpa tantangan, hingga kini ancaman masih sama, ditambah lanskap baru yaitu ranah digital.

***

Jakarta, Kebijakan.co.id — 28 tahun lalu, ketika rezim otoritarian Soeharto merasuk juga mengontrol Pers melalui pembredelan dan pencabutan izin usaha serta penerbitan, yang tertuju kepada Tempo, Detik, dan Editor, karena liputan-liputan mereka dirasa menganggu Soeharto.

Tempo kala itu –kenang Goenawan Mohamad sebagai pendiri Tempo dalam esainya di Qureta–, diizinkan kembali terbit jika memenuhi syarat kepatuhan kepada Soeharto –baik melalui kedudukan kepemilikan dan tentu isi karya jurnalistiknya nanti.

Saat ini, pola yang sama terjadi dengan lanskap wilayah yang berbeda, yaitu digital. Yaitu halaman web Tempo kembali diretas tanggal 7 Agustus 2022.

Di tanggal yang sama 28 tahun lalu, berkumpulah jurnalis dan kolumnis di Sinargalih, Bogor, membahas dan mendantatangani –dikenal sebagai Deklarasi Sirnagalih— (1) penolakan wadah tunggal untuk jurnalis, (2) penolakan pengaburan fungsi Pers, (3) penolakan pemaksaan informasi tunggal, (4) penolakan penyelewengan produk hukum, dan (5) penolakan pengekangan Pers setelah pembredelan Majalah Tempo, Detik, dan Editor atas liputan yang menggangu kekuasaan Soeharto tanggal 21 Juni 1994.

(6) Kumpulan jurnalis dan kolumnis ini juga mengumumkan berdirinya AJI (Aliansi Jurnalisme Independen).

28 tahun berlalu, rezim Soeharto tumbang, kebebasan Pers seperti keran yang dibuka tuasnya. Institusi Pers arus utama yang seharusnya mengawasi kekuasaan, justru dikuasai segelintir orang –yang juga memiliki peran dalam kekuasaan politik praktis— yang berafiliasi atau terhubung langsung dengan partai politik.

Fenomena ini dinamakan oligarki media yang diteliti oleh Ross Tapsel dan melahirkan sebuah buku berjudul Kuasa Media di Indonesia: Kaum Oligarki, Warga, dan Revolusi Digital (2019).

Oligarki sendiri menurut Jeffrey Winters diartikan sebagai sistem politik yang dijalankan oligark –-orang-orang yang memiliki modal lebih—untuk mengendalikan kekuasaan dengan tujuan mencari dan mempertahakan kekayaan melalui kekuasaan politik. Dalam hal ini melalui pemilihan umum, yang sangat membutuhkan Pers sebagai alat propaganda citra kampanye, alih-alih menjalankan fungsi jurnalistiknya.  

Dunia digital dan kekuasaan yang bersifat oligark menghasilkan represi (perlawanan) yang khas, melalui kuasa struktural berupa undang-undang atau kelembagaan, misalnya saja pasal-pasal karet (yang multitafsir) dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) –dihitung juga penegekannya yang tebang pilih– serta menggunakan cara-cara yang licik menggunakan teknologi, seperti peretasan.

Lainnya adalah keberpihakan liputan media-media yang dikuasai pemodal –yang juga condong kepada penguasa– yang melulu menjilat kekuasaan –bergantung apa yang dititipkan oleh pemilik media tersebut— di mana memanfaatkan ranah digital dengan publisitas karya jurnalistik yang amburadul, layaknya TV One News yang dimiliki Aburidzal Bakrie.

Fajar dan Romel dalam jurnal penelitiannya menukil Freedom House dan McQuail, yang menjelaskan kebebasan Pers dalam suatu negara bergantung kepada:

Pertama, Sejauh mana campur tangan politik negara terhadap Pers. Seperti pembredelan, intimidasi, sensor, dan pencabutan izin;

Kedua, Sarana konstitusional dan regulasi bagi perlindungan Pers dan kebebasan berpendapat. Penegakan Undang-Undang Pers, UU ITE, dan instrumen hukum terkait pers dan kebebasan berpendapat;

Ketiga, Independensi keputusan redaksional Pers dari kepentingan komersial atau pribadi individu. Celah intervensi pemilik modal atau titipan dari pendonor dan iklan.       

Infografis AJI (Aliansi Jurnalis Independen)

Oleh karenanya AJI memilih frasa ‘memperkuat solidaritas’ dalam tema besar, sesuai dengan perkataan Ika Ningtyas selaku Sekertaris Jendral AJI dalam pembukaan HUT (Hari Ulang Tahun) AJI Ke-28, “…mari memperkuat solidaritas…” sebagai respon menghadapi ancaman digital dan kekuasaan oligarki yang mengancam kebebasan Pers.

Dalam memperkuat solidaritas itu, “Kami (AJI) masih berjuang melawan impunitas atas kejahatan terhadap jurnalis, mengadvokasi pelemahan kesejahteraan jurnalis, dan terus berkomitmen untuk meningkatkan kapasitas jurnalis di Indonesia.”

Senada dengan Sekertaris Jendral AJI, Ketua Dewan Pers, Ayzumardi Azra berpesan sebagaimana fungsi Dewan Pers, “Kedepan juga tantangan semakin berat,… tantangan dalam bentuk eksplosi digital yang menimbulkan represi, baik di dalam negeri maupun luar negeri, … dan juga sejarah panjang AJI menjadi mitra kritis pemerintah maupun juga masyarakat.” Ditambah, “Sekarang ini agak susah mencari lembaga atau pihak yang bersikap kritis kepada pemerintah, mengkoreksi apa yang perlu dikoreksi, juga kepada masyarakat.”

Di akhir, Ayzumardi Azra berpesan untuk memperkuat solidaritas, memperkuat barisan, dalam menjaga kebebasan pers sebagai salah satu pilar demokrasi. Ayzumardi mencerminkan dari kejadian terbaru, dari kondisi pelarangan liputan dalam mengungkap kasus di sekitar rumah dinas Ferdy Sambo oleh jurnalis CNN dan peretasan halaman web Tempo yang berdekatan dengan HUT AJI Ke-28.   

Jika dilihat data Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) yang dikeluarkan BPS (Badan Pusat Statistik), pada indikator ancaman atau penggunaan kekerasan oleh aparat pemerintah yang menghambat kebebasan berpendapat, skornya terus menurun dari tahun 2017 hingga 2020. Tahun 2020, di angka 58.82; tahun 2019, 65.69; tahun 2018, 70.22; tahun 2017, 68.87.

Di bawah tahun 2017, skornya turun naik, yang menempati skor terendah kedua dari bawah dibandingkan indikator lainnya. Tahun 2016, di angka 76.47; tahun 2015, 65.32; tahun 2014, 68.89; tahun 2013, 73.54; tahun 2012, 65.45; tahun 2011, 68.38; tahun 2010, 73.03; tahun 2009, 83.43.  

Tentu menjadi tantangan untuk pemerintah dalam menjaga dan meningkatkan kebebasan berpendapat, terlebih berkomitmen pada asas demokrasi pada sistem pemerintahannya yang diamanatkan konstitusi.

Dikutip dari Antara, Jaleswari Pramodhawardani, Deputi V Kantor Staf Presiden, mengatakan dan menanggapi Indeks Demokrasi tahun 2020 yang dikeluarkan The Economist, bahwa pemerintah berkomitmen kuat merawat dan menjaga demokrasi di Indonesia.  

Alih-alih mengharapkan pemerintah untuk menjaga kebebasan Pers dan berpendapat. AJI berusaha mendorong kebebasan dan keberkualitasan Pers –sekaligus juga mengenang beberapa tokoh Pers yang gugur di rezim Soeharto— dengan memberikan penghargaan kepada insan individu atau Pers yang berjasa. Karenanya juga, AJI mengumumkan penerima Udin Award 2022, Tasrif Award 2022, SK Trimurti Award 2022, Pers Mahasiswa dalam HUT AJI Ke-28.   

Baca Serial Liputan Advokatif "HUT AJI Ke-28 di Antara Ancaman Digital dan Kekuasaan Oligarki" Lainnya:
•	HUT AJI Ke-28 di Antara Ancaman Digital dan Kekuasaan OligarkiUdin Award 2022: Untuk Jurnalis di Pulau Surga yang Jatuh ke Bumi, Papua 
Jurnalis Adi Fauzanto
Diterbitkan: Senin, 8 Agustus 2022
Pukul: 06.00 WIB
Jurnalis: Adi Fauzanto
Daftar Bacaan:  
• Hari Ulang Tahun (HUT) Aliansi Jurnalisme Indonesia (AJI) Ke-28Jeffry Winters. 2011. Oligarki. Penerbit Gramedia: JakartaRoss Tapsel. 2019. Kuasa Media di Indonesia: Kaum Oligarki, Warga, dan Revolusi Digital. Penerbit Marjin Kiri: TanggerangSejarah Aliansi Jurnalisme IndependenGoenawan Mohamad. 2019. Tempo dan Sebuah Ultimatum. Qureta.comData Badan Pusat Statistik. Indeks Demokrasi Indonesia Tahun 2009-2020Fajar Shodiq dan Romel. 2021. Kemunduran Demokrasi dan Kebebasan di Asia Tenggara: Refleksi dari Enam Negara. Jurnal Penelitian Politik Vol. 18 No. 2Pudjo Rahayu. 2021. Meningkatkan Indeks Demokrasi Indonesia. Antara News
Liputan Mendalam