Mencegah Novia Lainnya Terjadi


Kebijakan.co.idLiputan Mendalam

Adi Fauzanto-13 Desember 2021 (06.00 WIB)-#39 Paragraf
Mencegah Novia Lainnya Terjadi

***

Kronologi Peristiwa Novia

Malang, Kebijakan.co.id — Peristiwa Novia –lengkapnya Novia Widyasari- menggamparkan publik. Setelah diceritakan oleh teman nya, di twitter oleh @Belawsz. Diketahui mengapa peristiwa tersebut bisa terjadi, bukan sekedar ditinggal Ayah Novia yang meninggal. Akan tetapi ada kekekerasan, terlebih terdapat keterlibatan polisi –sebagai pacarnya Novia yaitu Randy Bagus Hari Sasongko.

Diketahui dengan lengkap kronologinya. Dalam keterangan resmi Kepolisian Republik Indonesia, pada oktober 2019, mereka –Novia dan Pacarnya yang merupakan polisi- berkenalan di sebuah kegiatan nonton bareng di Kota Malang. November 2019, lalu mereka berpacaran. Setelah berkenalan juga berpacaran, mereka berdua melakukan hubungan intim di tahun 2020 hingga 2021, di tempat kost juga pengingapan.

Diketahui dari hubungan tersebut, tercatat sudah 2 kali melakukan aborsi. Pertama pada Maret 2020, kedua pada Agustus 2021. Yang pertama berusia mingguan, sedangkan kedua pada usia 4 bulan.

Untuk yang pertama, Novia di minta untuk meminum obat yang di tunjukan untuk mengugurkan janinnya di kosnya, di Malang. Obat tersebut merupakan postinor dan cykotec. Lalu, yang kedua, korban juga diminta mengugurkan kandungan oleh Randy, sang pacar.

Korban juga sempat melaporkan hal tersebut, kepada orang tua Randy. Mereka awalnya berjanji akan bertanggung jawab. Namun setelahnya, mengingkari janji untuk bertanggung jawab dan meminta untuk mengugurkan kandungan. Di karenakan kondisi Randy, masih merupakan siswa dari pendidikan kepolisian juga kakaknya belum menikah.

Setelah hal tersebut, Novia diminta meminum obat yang mengugurkan janin kembali. Ketika pulang ke Mojokerto, terjadi pendaharan. Sempat masuk dalam Rumah Sakit untuk opname

Setelah beberapa informan yang merupakan teman Novia, menceritakan bahwa Novia dipaksa melakukan hubungan intim dengan Pacarnya. Kejadian bejat itu, terjadi di sebuah penginapan. Dengan memaksanakan obat tidur, sebelum akhirnya diperkosa.  

Menurut informan lainnya, yang diduga merupakan teman Novia, menuturkan. Novia, sempat dibawa ke Rumah Sakit Jiwa (RSJ) untuk bertemu Psikiater karena stress juga depresi, setelah kehilangan janinnya. Novia sesaat pulang di rumahnya di Mojokerto, sempat ingin melakukan bunuh diri, lalu diketahui oleh Ibunya. 

Hal itu juga diketahui dari akun media sosial Qoura Aulia Dinarmara –yang diduga dimiliki oleh Novia, karena kesamaan objek pembahasan yang sama persisnya-, memprotet keterangan kertas pasien RSJ juga percakapan dengan Ibunya.  

Novia, pun sempat kehilangan Ayahnya 3 bulan sebelum peristiwa bunuh diri dilakukan. Menurut akun yang diduga merupakan Novia pada media sosial Qoura, Novia sempat meminta tolong kepada pamannya, dalam kasus ini. Lantas sang Paman, tidak memberikan bantuan sama sekali terkait kasusnya, terlebih malah menyudutkan Novia.    

Novia juga diketahui sempat mendatangi juga berkonsultasi dengan sebuah LBH di kota Mojokerto. Dia datang sendirian, untuk menceritakan kejadian hubungannya dengan Randy. Akan tetapi menurut pengacara di LBH tersebut, berkas-berkas untuk dilaporkan kekurangan alat bukti berupa obat yang digunakan untuk menggugurkan janin.

Novia juga sempat melaporkan peristiwa ini ke Komnas Perempuan, pada bulan Agustus 2021. Lalu Komnas Perempuan merujuk Novia kepada Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak Mojokerto. Sempat berkonsultasi sekali dengan lembaga tersebut.

Jauh sebelum kasus di atas terjadi. Novia, juga sempat mengalami kasus pelecehan seksual di FIB UB, tahun 2017, tempat dia kuliah. Yang dilakukan oleh kakak tingkatnya, di jurusan yang sama. Kakak tingkatnya mendapatkan hukuman dari Universitas Brawijaya. 

Pelajaran dari Novia

Dari runtutan peristiwa tersebut. Beberapa hal yang bisa dipelajari, yang tujuannya untuk mencegah terjadi Novia-Novia berikutnya kembali terjadi. Pertama jika diketahui bahwa ada niat jahat yang dilakukan pelaku untuk memaksa korban melakukan hubungan intim. Maka hal tersebut sudah masuk dalam ranah hubungan tidak sehat. Perlunya pendamping, baik itu teman atau lembaga tertentu atau bahkan orang tua juga keluarga.

Namun tidak semudah hal di atas. Pertama terdapat tekanan untuk mengugurkan, diartikan sebagai tekanan power atau kekuasaan untuk tidak memberitahukan kepada publik. Ditambah jika teman terdekat yang tidak mengetahui mekanisme atau harus apa yang dilakukan jika terjadi masalah seperti itu. Ditambah jika keluarga, justru tidak mengetahui korban sesungguhnya dari pemaksaan tersebut dan cenderung menyalahkan.  

Lebih parah lagi, jika korban inisiatif sendiri untuk menghubungi pihak yang memiliki otoritas, justru absen dalam melindungi korban. Tetapi pada prinsip melaporkan pada lembaga yang memiliki otoritas adalah jalan terakhir, sebelum benar-benar ‘kuat’ untuk menghadapi pelaku.    

Memahami Kekerasan Seksual

Untuk memahami kekerasan seksual, mula-mula kita harus mendefinisikan kedua kata tersebut. Hal tersebut pernah dibahas dalam Artikel yang ditulis oleh Ristina Yudhanti, berjudul “Upaya Penghapusan Kekerasan Seksual terhadap Perempuan” tahun 2019.

Pertama, kekerasan. Diartikan sebagai ‘the threat, attempt, or use physical force by one ore more persons the result in phisycal or non phisycal harm to one or more other persons’.

Di sisi lain, kejahatan kekerasan diartikan juga peristiwa di mana orang secara ilegal –tanpa persetujuan- dan secara sengaja melukai secara fisik atau mengancam untuk melakukan tindakan kekerasan kepada orang lain. 

Sedangkan seksual –dan juga seks sebagai kata dasar dan seksualitas sebagai kata turunannya. Menurut Indonesia AIDS Coalition (IAC), seks diartikan sebagai penamaan untuk fungsi biologis, tanpa ada hubungan atau faktor lain yang melekat kepadanya, misal Penis dan Vagina.

Sedangkan seksual, diartikan sebagai aktifitas seks, melibatkan organ tubuh lain (diluar organ seks) baik fisik atau non-fisik. Terakhir seksualitas, diartikan sebagai aspek yang menyeluruh dalam manusia, mulai dari kaitannya dengan faktor biologis, sosial, politik, juga budaya. Yang faktor tersebut berpengaruh kepada fungsi organ seks juga aktifitas seks dalam individu dan masyarakat.

Jika di gabungkan, kekerasan seksual. Kekerasan yang dilakukan dengan melibatkan faktor gender –cara pandang masyarakat terhadap jenis kelamin- terhadap sekskualitas. Misal, jika korbannya perempuan. Diartikan sebagai kekerasan terhadap perempuan –sebagai aktivitas seksualitas.

Konferensi Perempuan sedunia ke-IV di Beijing tahun 1995, menjelaskan kekerasan terhadap perempuan, melibatkan motif kekerasan diakibatkan disrkiminasi terhadap perempuan sebagai kelompok yang lemah secara sosial. Atau karena memang mereka hanya sebagai perempuan –diartikan sebagai status.    

Dalam hal ke-status-an tersebut. Berakibat, perempuan di tempatkan sebagai objek. Yang kata kerjanya merupakan kekerasan secara definitif tadi. Dan subjeknya ialah laki-laki pada umumnya, dengan tambahan keterangan subjek yaitu memiliki kuasa atau dominan. 

Infografis Mencegah Novia Lainnya Terjadi

Mencegah Novia Lainnya Terjadi

Tentu mencegah di sini bukan diartikan sebagai menutupi. Tetapi melampui itu, mencegah diartikan, ketika ada korban, hal apa saja yang harus dilakukan. Atau melebihi itu, ketika akan dilakukan tindakan kejahatan (kekerasan) hal apa yang seharusnya dilakukan. Atau lebih jauh lagi, memberikan pengetahuan untuk meminimalisir tindak kekerasan tersebut.

Hal-hal pencegahan ini didapat ketika selesai berdiskusi dengan Dwi Putri Ayu Wardani sebagai pemerhati gender dalam Bicara di Instagram Kebijakan.co.id.

Dwi Putri Ayu Wardani
Sumber: Dwi Putri Ayu Wardani

Pertama, yang dilakukan untuk mencegah Novia lainnya terjadi, ialah dengan menanamkan pengetahun terkait kekerasan seksual, secara kultural –melalui keluarga atau orang-orang terdekat- dapat memanfaatkan media-media seperti sosial media, atau organisasi. Terlebih jika secara institusi, misal membuat kurikulum, atau penyuluhan di tempat kerja, kampus, organisasi, atau bahkan tingkat RT juga RW, juga desa.

Satu hal yang perlu ditanamkan ialah pengetahuan terkait perspektif korban. Yang diartikan sebagai cara pandang untuk melihat kondisi korban terlebih dahulu, apa saja tindakan kekerasan yang diterimanya, lalu dipikirkan jika kondisi tersebut terjadi kepada kita. Hal tersebut dapat dilakukan jika kita mendengarkan apa yang disampaikan korban tanpa unsur intimidatif.

Kedua, masih ada kaitannya dengan nomor satu. Yaitu melindungi korban. Baik secara, psikologis, atau secara fisik atau juga dengan menempatkan dengan lingkungan yang aman. Misal, ketika korban menceritakan kepada publik atau terdapat media atau organisasi yang memberikan informasi kepada publik.

Maka pastikan nama korban tetap aman dari ancaman pencemaran atau tuduhan yang tidak-tidak. Selain itu juga, melindungi adanya kemungkinan penyerangan terhadap fisik oleh pelaku atau pihak-pihak lainnya yang berkaitan dengan pelaku. Atau intimidasi lainnya yang dapat menyerang psikologis korban. Hal tersebut dapat dilakukan dengan memberikan tempat yang aman, baik secara psikologis juga fisik. Perlindungan tersebut, dapat melibatkan Psikiater, Pendamping, juga Psikolog, atau pihak-pihak lainnya, misal kerabat dekat yang memahami kekerasan seksual tentunya. 

Ketiga, berkaitan dengan perlindungan atau bantuan hukum. Ketika memberikan bantuan hukum jika terdapat korban yang melapor atau meminta bantuan, jangan gunakan logika hukum prosedural formalistik –yang hanya patuh terhadap Undang-Undang. Tetapi juga memahami kondisi korban. Bantuan hukum tidak dapat pasif, dalam artian membiarkan korban berusaha lebih untuk mencari bukti dan berusaha menggali ingatan lamanya secara paksa, misalnya.

Tetapi diperlukan keaktifan pemberi bantuan hukum. Sehingga meminimalisir korban terlibat dalam kondisi masa lalu yang dapat menggangu psikologis atau mencari bukti dari ingatan-ingatan yang tercatat dengan menggali secara konsultatif juga komunikatif.

Dalam menggali bukti tersebut, perlu pendekatan untuk memastikan pemberi bantuan hukum tersebut mengetahui bukti yang sesuai kekerasan seksual. Misal, pemberi bantuan hukum mengetahui harus apa ketika ada korban melapor, bukti visum segera diamankan, jika belum segera dilakukan, dan pastikan setelahnya aman dari hal-hal yang dapat mengubah hasil tersebut.

Pemberi bantuan hukum, juga mendampingi untuk mencari atau memperoleh bukti-bukti lainnya yang dapat mendukung, tentu dengan pendekatan yang tidak prosuderal –dalam arti digali secara persuasif dengan melihat kondisi korban.          

Keempat, dan kelima, berkaitan dengan ke-instansi-an –tetapi berpegang pada perlindungan korban.  

Keempat, yaitu mengajukan draft atau rancangan bagaimana mekanisme –standar operasional- ketika terjadi kekerasan seksual di suatu instansi –baik itu tempat kerja, sekolah, kampus, organisasi bahkan tingkat RT dan RW, hingga desa. Rancangan tersebut ditunjukan agar nantinya, korban tidak bingung harus menyampaikan informasi kepada siapa. Terlebih jika informasi tersebut disampaikan kepada teman dekat –terlebih teman dekatnya tidak mengetahui apa yang harus dilakukan- lalu teman dekat tersebut mengetahui apa yang harus dia lakukan.

Mulai dari mekanisme pihak yang dapat dipercaya menerima laporan, konsultasi dan perlindungan korban, pembentukan tim investigasi (yang dapat disamakan dengan pemberi bantuan hukum dalam mencari alat bukti) yang independen, hingga kepada sanksi hingga tindak lanjut di jalur hukum. Hal tersebut misalnya sudah diusulkan dalam Universitas Indonesia berbentuk buku saku SOP Penanganan Kekerasan Seksual.   

Terakhir, yang kelima. Ialah kemauan politik (political will) dari setiap instansi. Kemauan politik merupakan langkah paling akhir juga sebagai simbol dalam mencegah juga memberantas kekerasan seksual. Tanpa adanya kemauan politik dari instansi maka akan sulit.

Kemauan politik di sini, dapat didorong dari struktur paling atas dan dorongan dari struktur paling bawah. Dari atas misalnya, pimpinan memiliki kewenangan untuk membuat kebijakan memberikan ruang aman, juga perlindungan jika terdapat adanya korban, dan pengungkapan jika terjadinya kekerasan. Dari bawah misalnya, para pihak yang terlibat dalam instansi tersebut, mendorongnya adanya hal-hal di atas untuk dilakukan oleh pembuat kebijakan tadi.

Diterbitkan: 13 Desember 2021
Pukul: 06.00 WIB
Jurnalis: Adi Fauzanto
Daftar Bacaan:
•Ristina Yudhanti. 2019. Upaya Penghapusan Kekerasan Seksual terhadap Perempuan. Penerbit Thafa Media: YogyakartaIndonesia Aids Coalition. 2012. Seks, Seksual, dan Seksualitas. Artikel Iac.co.id