Bait Keberagaman Musik Indonesia


Kebijakan.co.idLiputan Lagu

Adi Fauzanto-26 Sept 2022 (06.00 WIB)-#50 Paragraf
Bait Keberagaman Musik Indonesia

Cara musik berbicara atas penyeragaman. Cara musik menyemai keberagaman melalui bait dan nada.

***

Daftar Lagu

Jakarta, Kebijakan.co.id Penyelesaian konflik dihadapi dengan konflik, nyaris tidak ada selesainya. Jalan panjangnya ialah gerakan budaya –atau cara manusia berpikir dan bertindak— di masyarakat. Beberapa masalah lainnya, karya seni –sebagai perpanjangan tangan budaya–, mengagumi selera pasar. Cinta, cinta, dan cinta.

Kejenuhan ini melahirkan karya seni, musik di dalamnya, memberikan satu terobosan, menyuarakkan masalah yang ada, keresahan, dan konflik di dalamnya.

Resolusi konflik sendiri membutuhkan gambaran tentang sebab-sebabnya. Menghasilkan akibat. Jika pemerintah menghasilkan kebijakan publik. Pengadilan menghasilkan putusan. Sesama masyarakat menghasilkan kesepakatan. Tetapi melalui seni menghasilkan kebudayaan.

Mengenai budaya, akar permasalahannya terletak pada penyeragaman budaya. Dalam jurnal penelitiannya Samsul (2015) warisan orde baru membunuh keberagaman sosial-budaya, menciptakan penyeragaman sosial-budaya, yang menyebabkan konflik di awal era reformasi –bahkan hingga sekarang.

Musik dapat mensuarakan anti-penyeragaman sosial-budaya –termasuk agama dan keyakinan- itu. Seperti yang dikatakan McGann (2001), musik dapat menjadi wadah komunikasi dalam konteks sosial-budaya.

Masalah di Sekitar Keberagaman

Layaknya karya seni lainnya, lukisan, novel, film hingga musik, mempunyai tempat untuk memberikan kritik terhadap satu keadaan tertentu. Politik boleh belok, biar sastra yang meluruskannya, begitu kalau tidak salah kutipan pembuka Novel Max Havelar.

Musik sebagai karya seni hampir kehilangan ruhnya yang selalu mengikuti pasar dengan lagu cinta melulu seperti yang diutarakan Efek Rumah Kaca di album pertamanya tahun 2007 –dan menjadi perbincangan seru, membahas musik kembali, pasca habisnya era Iwan Fals muda.

Asing tak terdengar, musik yang sedikit mengusik keadaan atau status quo. Ialah Jason Ranti, dengan musiknya yang sinis terhadap penguasa dalam tanda kutip. Untuk mereka yang selalu mendominasi narasi tentang surga dan neraka, secara angka dia tidak banyak, tetapi bising.

Mula-mulanya dari pembedaan antara yang “kami” dan “kalian”, dengan gaya khas Iwan Fals muda, Jason Ranti melalui Kafir (2016), dengan petikan lirik Perjalanan iman soal personal; ia paksakan penafsiran orang lain, dan beriman di negeri yang belum aman liriknya begitu mendalam.

Dalam kondisi yang ada, tidak perlu diragukan lagi keadaannya. Ahmadiyah, Islam Syiah, Penganut Kepercayaan Lokal, dan lainnya adalah saksi bisu dari sulitnya minoritas di negeri ini.

Dalam situasi yang lebih parah tergambarkan dalam lirik Peradaban (2018) milik Feast yang dinyanyikan Hindia –nama lain dari Baskara Putra. Bawa pesan ini ke persekutuan mu; rumah ibadah terbakar lagi memang lirik ini begitu menyentuh, terlebih di tempatkan di awal lagu.

Dari pembedaan disitu, bertemunya paham “kami” yang sama, menciptakan satu gerakan, terlebih ada “target” yang empuk untuk dijadikan sasak di tahun-tahun itu yaitu Ahok –calon gubernur yang beragama non-Islam. Di judul yang sama petikan Awas itu komandan dengan bahasa dendam menggambarkan gerakan itu, terus tumbuh dan terus terjadi berjilid-jilid, menciptakan konflik politik dan identitas yang tak karuan dan berkesudahan.  

Jason Ranti kembali bercerita tentang kondisi ketidakpastian politik, khususnya dari minoritas –baik secara keyakinan atau status sosial. Dalam judul Dua ratus dua belas (2018) dia bercerita tentang ketidakpastian karena konflik politik dan identitas yang tidak berujung. Masa depan, masa jalan; kurasa mencekam, kuucap takbir; aku khawatir sebentar lagi anakku lahir. Dari kutipan lirik sangat menggambarkan ketakutan atas ketidakpastian yang terjadi, tentang kebutuhan dan ancaman dari kondisi yang tidak pasti, baik ekonomi (kebutuhannya), politik, dan sosial sebagai minoritas.

Dalam penutup lagunya dijelaskan sekali lagi, Tuhan dipaksa turun ke jalan; seisi surga berpegangan tangan; aku khawatir sebentar lagi anakku lahir. Jelas, kondisi suram politik identitas ketika itu memang tidak menentu, terlebih gelaran politik yang memicu pembelahan masyarakat antara cebong dan kampret dalam Pemilihan Presiden 2019.

Suara curahan hati minoritas –dari sisi agama- memang diperlukan, bertarungnya sesama Islam yang sama menciptakan kekacauan yang benar-benar membingungkan. Jason Ranti memenuhi suara ketakutan tersebut.

Dari hal itu, lebih ekstrim lagi melakukan hal yang diluar masuk akal, membunuh yang dianggap musuh dan terlebih dengan dirinya sendiri alias bunuh diri, lalu menciptakan ketakutan publik. Tergambar dalam video clip Suci Maksimal (2017) Jason Ranti, yang secara eksplisit mengarah kepada terorisme.

Jika dilihat dari liriknya Doanya kencang, jahatnya tetap; hatinya hitam, baju berkilau lirik yang menggambarkan kaum ekstrimis, yang memiliki kedekatan dengan Tuhannya, tetapi melakukan kejahatan yang luar biasa.  

Dalam beberapa keterangan bahwa doktrin seseorang menjadi pengantin –atau calon yang melakukan bom bunuh diri– teroris ialah doktrin menyelamatkan agama dari thagut atau setan yang dinilai tidak sesuai islam menurutnya atau setidak-tidaknya menebus dosa diri sendiri yang teramat besar –tidak dapat diampuni–, sehingga harus ditebus dengan jihad.

Terlihat dalam lirik Pak Penjahat; cita-cita jadi robin hood. Jelas tafsir berjuang atau jihad atas nama agama yang salah, menciptakan pahlawan yang tidak tepat. Alih-alih memperbaiki keadaan, malah menyusahkan.

Jika dilihat dari sejarahnya kebencian yang terus tertanam dalam masyarakat, selain antara komunitas agama juga dijalankan negara –yang terkadang diamini oleh komunitas agama.

Kali ini lagu dari Glenn Fredly Menanti Arah (2012), lagu tersebut menjadi pengiring dalam film Surat Dari Praha (2016) yang menceritakan tahanan eksil di negara orang lain atau mereka yang dituduh komunis pasca 1965 sehingga kehilangan status warga negaranya. Lirik negeriku gelap histori; kebencian jadi ideologi; banyak nama yang hilang haknya begitu sangat menyentuh, apalagi sembari menonton filmnya.

Kebencian ini lahir menjadi pembeda antara “kami” dan “kalian” yang kali ini aktornya merupakan negara. Dari situ kita harus kehilangan satu generasi yang mendapatkan beasiswa pelajar di negara-negara blok timur –dalam perang dingin antara Uni Soviet dan Amerika.

Lagu Menanti Arah memang bukan lagu sindiran atau cerita pribadi seperti Jason Ranti. Lagu ini masih menampilkan harapan, sesuai judul lagunya.  

Dalam kehidupan saat ini, jelas luka lama ini terus dirawat, hampir tidak ada rekonsiliasi, walaupun secara resmi pemerintah sudah mengembalikan status warga negaranya. Tetapi di akar rumput begitu bising, atas tuduhan “Kamu PKI (Partai Komunis Indonesia)”. Yang seharusnya sudah selesai, ketika Uni Soviet runtuh, dan China menjadi negara berekonomi pasar bebas. Tetapi lagi-lagi ini menjadi gorengan untuk membedakan “kami” dan “kalian”.

Jason Ranti
Jason Ranti

Berkaca dan Melihat Kondisi

Tepat di tahun 2019, Novel Bumi Manusia di alih mediakan kepada film, yang banyak digandrungi anak muda kebanyakan karena salah satu pemerannya –tanpa mengenal penulis dan membaca karya novel Pramoedya Ananta Toer.

Dalam film tersebut, memilih lagu Ibu Pertiwi sebagai pengiring dalam film tersebut, yang dinyanyikan ulang Iwan Fals, Once Mekel, dan Fiersa Besari.

Kulihat ibu pertiwi; Sedang bersusah hati; Air matanya berlinang Lirik dan pembawaan yang mendalam di tengah kondisi politik nasional dan politik identitas yang tidak pasti, lagu tersebut mendapatkan tempat tersendiri di luar film atau karya novelnya.  

Menyibak kondisi tersebut, lagu tersebut memberikan kita sebuah tamparan, layaknya lagu What I’ve Done yang dibawakan Linkin Park yang mengajak kita melihat diri sendiri atas semua kondisi konflik di dunia –khususnya pemimpin politik. I’ll Face Myself Lirik tersebut menunjukan bahwa kita menghadapi diri kita sendiri ketika konflik atau perang terjadi.

Mengobati dan Merawat

Ntah berhubungan atau tidak, maksud liriknya, akan tetapi saya –dan mungkin beberapa seniman— berpendapat setiap karya seni ketika dia sebarkan, maka penafsiran tersebut milik penikmat atau milik publik. Maka karya seni tersebut menjadi bebas tafsir. Di situah magis nya karya seni.

Dia bukan peraturan yang tafsirnya dimiliki penguasa, atau kitab agama yang tafsirya dimiliki pemuka agama. Layaknya lukisan, begitu juga dengan musik, dia tanpa batas yang dapat ditafsirkan oleh penikmatnya, menari-nari di pancaindra dan pikiran penikmatnya.

Yang Patah Tumbuh, Yang Hilang Berganti (2016) adalah musik yang tepat untuk rekonsiliasi atas semua peristiwa konflik horizontal keberagaman. Lagu yang dinanyikan Banda Neira –yang resmi bubar 2016—menyajikan sentuhan instrumen musik dan lirik yang merdu dan menyentuh.

Yang menyiratkan segala sesuatu yang berlalu yang menyedihkan, akan menjadi sesuatu yang bermanfaat kelak. Jika dilihat dalam konteks konflik keberagaman, konflik lalu menjadi sebuah pelajaran yang berharga bagaimana kita mengharagai keberagaman –terlebih kemanusiaan.

Bagaimana Ahmadiyah masjidnya dibakar, lalu Islam Syiah dipersekusi, hingga agama minoritas yang selalu kesusahan membangun tempat ibadahnya, yang semuanya menjadi pembelajaran di masa yang akan datang.

Membasuh (2019) adalah lagu yang tepat didengarkan setelah mendengar Yang Patah Tumbuh, Yang Hilang Berganti (2016). Lagu yang dinyanyikan Hindia dan Rara Sekar –mantan penyanyi Banda Neira—ini juga hampir sama, memiliki instrumen dan lirik yang merdu dan menyentuh.

Lirik Bisakah Kita Tetap Memberi; Walau Tak Suci; Bisakah Terus Mengobati; Walau Membiru, adalah metafora kata yang indah untuk menggambarkan saling keterkaitan antara pihak satu dan pihak lainnya. Dalam konteks ini, antara umat agama, antara individu, antara masyarakat, antara golongan.

Mengering Sumurku; Terisi Kembali adalah pemaknaan bahwa sumur yang diartikan nilai hidup kita kering atau kosong, yang diisi oleh pihak lainnya –yang diartikan saling mengisi antara tadi– Sedikit Air Yang Kupunya; Milikmu Juga, Bersama.  

Untuk menutup rekonsiliasi konflik, Seperti Rahim Ibu adalah penutup yang tepat. Bahwa memimpikan sebuah negara, yang menghargai kemanusiaan –seperti Rahim Ibu—Merawat Kehidupan, Menguatkan Yang Rapuh.

Dalam hal keberagaman, minoritas dijamin kebebasan, keamanan, dan dihargai kehidupannya –keyakinan dan kepercayaannya—dan mengungkap kejahatan kemanusiaan di masa lalu. Kemanusiaan itu; Seperti Terang Pagi.

Baskara Putra
Hindia atau Baskara Putra

Bangun atas Kondisi Sebelumnya

Hari berat itu, telah dilewati. Setelah selesai menghargai dan mengetahui, saling berbagi dan mengisi pasca konflik. Merajut kembali ikatan, yang telah terurai-burai sebelumnya.

Kuat Kita Bersinar (2009) yang dinyanyikan Superman Is Dead adalah musik yang tepat, dengan instrumen menghentak, seakan mengembalikan semangat bersatu setelah konflik keberagaman yang melelahkan. Ayo Bangun Dunia di Dalam Perbedaan; Jika Satu Tetap Kuat Kita Tetap Bersinar; Harus Percaya Tak Ada Yang Sempurna; dan Dunia Kembali Tertawa.

Jabat Erat Tangan Ku Kawan; Kau Tak Akan Pernah Sendiri.   

Lainnya lagu yang menyentuh ialah Symphoni Yang Indah (2012) yang dinyanyikan Once Merkel dengan instrumen dan nada orkestra yang indah di telinga, dengan lirik bak puisi yang ingin mengungkapkan suatu kesempurnaan atas bersatunya dua hal.

Meski ditafsirkan seseorang yang saling jatuh cinta, akan tetapi karena baitnya yang indah layak ditafsirkan sebagai suatu yang indah, yaitu kedamaian antara dua hal yang berbeda. Symphoni dan Keindahan; Melahirkan Kedamaian.

Syair dan Melodi; Kau Bagai Aroma Penghapus Pilu. 

Setelah kedamaian terjadi, lagu yang membangunkan menjadi perlu. Lir Ilir lagu yang datang jauh sebelum Indonesia merdeka, lagu yang digunakan Sunan Kalijaga (salah satu Wali Songo) untuk berdakwah –menyampaikan pesan kebaikan– membangunkan masyarakat Jawa ketika itu dari keterpurukan dan keterbelakangan, yang menyesuaikan budaya masyarakat Jawa ketika yang menyukai tembang –musik Jawa.

Setelah merdeka, Lir Ilir diaransmen ulang oleh Cak Nun (Ainun Najib) yang diiringi Kyai Kanjeng –sebutan kelompok kesenian musik—yang selalu ikut keliling untuk Mak Iyah-an –ngaji budaya dengan konsep dialog dengan penonton.

Makna Lir Ilir begitu dalam. Lir Ilir artinya Bangunlah, Bangunlah. Salah satu liriknya Penekno Blimbing Kui (Tolong Panjatlah Pohon Blimbing itu); Lunyu-Lunyu Penekno (Walaupun Licin, Tetaplah Panjat); Kanggo Mbasuh Dodot Iro (Untuk Menyuci Pakaianmu) ditafsirkan mengambil buah blimbing – yang bentuknya segi 5—diartikan memegang teguh prinsip agama Islam –rukun Islam dan Iman– untuk membasuh baju yang artinya untuk menyucikan manusia.

Dalam konsep keberagaman di Indonesia, sederhana buah blimbing diartikan Pancasila –yang juga memiliki lima butir—walaupun sulit, harus diambil untuk menyuci baju yang diartikan untuk mensucikan lagi tujuan kita bernegara. Toh nilai dalam pancasila baik, hanya saja praktiknya yang terkadang sulit.

Selain itu musik yang membangunkan ialah Jadilah Legenda (2013) yang dinyayikan Superman Is Dead. Dalam liriknya sudah jelas sekali, lagu ini untuk Indonesia. Untuk Indonesia; Kita Punya Semua; Seribu Budaya dan Kekayaan Alam.

Dalam lagu ini menyentil individu, untuk berbuat lebih untuk Indonesia, menjadi legenda –terdengar sulit tetapi bukan tidak mungkin. Darah Indonesia; Akulah Halilintar Mu. Berbuat untuk persatuan atas keberagaman Indonesia.

Jrx Superman Is Dead
Jrx Superman Is Dead

***

Tentu tidak semudah bait dan pesan lagu-lagu diatas untuk mewujudkan cita keberagaman. Setidaknya dengan menikmatinya, siapa tahu bisa merasakannya. Atau kalaupun diharamkan oleh seseorang –misalnya–, melafalkan bait per bait, tidak masalah bukan? Toh pesannya baik.

Jurnalis Adi Fauzanto
Diterbitkan: Senin, 26 September 2022
Pukul: 06.00 WIB
Jurnalis: Adi Fauzanto
Daftar Bacaan:  
• McGann Mary E. (2002). Exploring Music as Worship and Theology Research in Liturgical Practice.Minnesota: The Liturgical Press. Dewi Tika Lestari. 2020. Membangun Harmoni Sosial Melalui Musik dalam Ekspresi Budaya Orang Basudara di Maluku. Jurnal Panggung: Seni Budaya Vol. 30 No.3Samsul Ode. 2015. Budaya Lokal Sebagai Media Resolusi Dan Pengendalian Konflik Di Provinsi Maluku (Kajian,Tantangan Dan Revitalisasi Budaya Pela). Jurnal Politika Vol. 6 No. 2 
Liputan Mendalam