Mochtar Lubis, Sastrawan dan Jurnalis Harian Indonesia Raya


Kebijakan.co.idLiputan Mendalam

 Virta - 19 September 2022 (13.00 WIB)-#28 Paragraf
Mochtar Lubis, Sastrawan dan Jurnalis Harian Indonesia Raya

Jalan Hidup Mochtar Lubis

Depok, Kebijakan.co.id Mochtar Lubis lahir dari keluarga Batak Mandailing pada 7 Maret 1922 di Padang, Sumatera Barat. Ia lahir dari seorang ibu bernama Siti Madinah Nasution dan ayahnya Marah Husin Gelar Raja Pandapotan Lubis, yang pada saat itu menjadi Kepala Distrik Kerinci pada masa Pemerintahan Hindia Belanda.

Selama hidupnya ia banyak menghabiskan waktunya menjadi seorang sastrawan dengan menulis cerpen dan novel, pelukis, penerjemah, pematung, dan seorang jurnalis terkenal, sebelum akhirnya ia menghembuskan nafas terakhirnya pada 2 Juli 2004 di Jakarta.

Pendidikan formal Mochtar Lubis diawali dari sekolah dasarnya yang berbahasa Belanda HIS di Sungai Penuh. Kemudian, setelah itu ia melanjutkan pendidikannya di sekolah ekonomi partikelir di Kayutanam.

Perlu diketahui bahwa Mochtar Lubis dalam menempuh pendidikannya tidak dalam tingkatan HBS atau AMS.

Keluarga Mochtar Lubis adalah keluarga muslim yang merupakan anak keenam dari sepuluh saudara.

Ayah Mochtar Lubis selalu mengajarkan kepada anak-anaknya mengenai makna kehidupan hingga kedisiplinan dalam berkehidupan. Berbeda dengan Ayahnya, Ibunya selalu memberikan pengajaran mengenai bagaimana kita sebagai umat beragama harus menaati dan menghindari larangan-larangan dari Tuhan.

Salah satu orang yang menginspirasi tulisannya yaitu kisah Ayahnya. Hal ini berawal dari tuntutan pekerjaan yang dimiliki ayahnya pada saat itu sebagai kepala distrik.

Suatu hari, ia melihat Ayahnya yang sedang memberikan hukuman kepada salah seorang kuli kontrak yang mencoba untuk melarikan diri dari tanggung jawabnya. Dengan berat hati, ia melihat ayahnya yang memukuli kuli tersebut, padahal ia tahu bahwa ayahnya tidak mungkin melakukan hal tersebut kalau tidak karena tuntutan pekerjaan.

Peristiwa itu membuat Mochtar Lubis menuliskan semua hal ada di benaknya hingga menjadi sebuah cerita pendek berjudul Kuli Kontrak.

Mochtar Lubis
Mochtar Lubis membaca buku (Dokumen Harian Indonesia Raya

Perkenalan dengan Dunia Jurnalistik

Melihat anaknya yang senang menggeluti di bidang jurnalistik, ayahnya mengimbau Mochtar Lubis untuk tidak bekerja di pemerintahan Belanda, karena ia khawatir nantinya pekerjaan di pemerintah Belanda tidak sesuai bahkan bertentangan dengan minat nya.

Minat Mochtar Lubis dalam dunia jurnalistik mengantarkan ia menjadi seorang pemimpin redaksi mantan Harian Indonesia Raya. Tidak hanya itu, minatnya ini pernah membawa ia masuk ke jeruji besi akibat karya-karya nya yang dianggap membahayakan.

Namun, tidak hanya menjadi jurnalis, putra Pandapotan Lubis itu juga pernah menjadi seorang pegawai Pangreh Praja atau binnenlands bestuur (BB) pada saat pemerintahan kolonial Hindia Belanda.

Kemudian, pada pertengahan tahun 1930-an ia berpindah menjadi Demang atau Kepala Daerah Kerinci dan guru di salah satu sekolah di Pulau Nias. Memang dirinya sudah diakui menjadi seorang otodidak tulen.

Dalam perjalanan karirnya, Mochtar Lubis pernah menjadi bagian dari anggota tim monitor radio Sekutu di luar negeri pada zaman Jepang. Di sana, ia bertugas untuk menuliskan segala berita yang ia dengar dalam laporan yang kemudian akan disalurkan kepada Gunseikanbu, yaitu kantor pemerintahan bala tentara Dai Nippon.

Untuk menjaga kerahasiaan dan keamanan berita, Mochtar Lubis dan tim tinggal di tempat yang terpisah dari kompleks perumahan di Jalan Timor, belakang hotel milik Jepang.

Dalam timnya, terdapat mantan pegawai Algemene Secretarie di Bogor, D. Janssen, mantan pemimpin redaksi Harian Bataviaasche Nieuwsblad, J.H Ritman, mantan wartawan Ceylon salah seorang yang melarikan diri dari Singapura, Thambu.

Sambil menekuni pekerjaannya sebagai tim monitor, pada akhir 1944 ia memutuskan untuk menikahi gadis Sunda bernama Halimah. Halimah bekerja di Sekretariat Redaksi Harian Asia Raja dan tutup usia tepat pada usia 77 tahun, 27 Agustus 2001.

Mochtar Lubis
Mochtar Lubis ketika Perang Korea (Doc. Keluarga Mochtar Lubis)

Mochtar Lubis dan Harian Indonesia Raya

Proklamasi kemerdekaan membawa kantor berita ANTARA yang didirikan oleh Adam Malik kembali lagi aktif dan membuat Mochtar Lubis ikut bergabung. Di ANTARA ia menjadi penghubung antara korespondensi asing yang berdatangan ke Jawa dengan para masyarakat guna untuk liputan mengenai Revolusi Indonesia.

Selain karena mahir dalam berbahasa Inggris, ia juga merupakan sosok yang memiliki tinggi 1.85 meter yang menjadi sosok familiar di antara riuhnya war correspondents lain.

Pada 27 Desember 1949, menjelang adanya penyerahan kedaulatan antara Belanda dan Republik Indonesia Raya (RIS), Mochtar Lubis dan Hasjim Mahdan berinisiatif untuk membuat media surat kabar.

Dari semangat itulah kemudian mereka mendirikan Harian Indonesia Raya yang Mochtar Kubis bertugas sebagai pimpinan redaksi.

Sebagai pemimpin redaksi, wartawan senior itu pergi ke Korea Selatan untuk meliput, karena tengah terjadi Perang Eropa di pertengahan tahun 1950. Sejak saat itu kemudian ia dikenal sebagai sosok koresponden perang, mengapa? karena pada saat itu, pertengahan dasawarsa 1950 saat demokrasi parlementer, Indonesia dihebohkan dengan istilah personal journalism.

Maka dari itu, Mochtar Lubis dikenal dan identik dengan Harian Indonesia Raya, Rosihan Anwar dikenal dalam Pedoman, S. Tasrif dikenal di Abadi, dan B.M Diah dikenal di Merdeka. Mochtar Lubis dikenal sebagai seorang wartawan yang berita nya sering menggemparkan masyarakat, salah satunya “affair.”

Affair yang disajikan beragam, seperti affair Hartini yang diketahui mengungkap hubungan yang dimiliki Presiden Fatmawati dengan Presiden Indonesia, Soekarno. Kemudian, affair pelecehan seksual yang terjadi oleh Nyonya Yanti Sulaiman, yang bosnya di Kebudayaan Kementerian P & K, Sudarsono, mencoba merayu dan melontarkan beberapa kata-kata yang berbau “seram.”

Affair itu semua berasal dari Harian Indonesia Raya, namun hal yang sama juga terjadi pada Pedoman yang sering membawakan berita-berita mengenai Don Juan Sudarsono.

Seperti yang kita ketahui, Mochtar Lubis tidak hanya dikenal sebagai seorang wartawan, namun ia juga sastrawan dengan tulisan-tulisannya. Menariknya ia juga pandai melukis, membuat keramik, dan patung.

Karya-karya nya bisa kita nikmati seperti novel Senja di Jakarta, Berkelana Dalam Rimba, Harimau, Harimau!, dan Jalan Tak Ada Ujung. Dari sini, ia mendapatkan penghargaan Magsaysay Award untuk kesusastraan dan jurnalistik pada tahun 1953.

Dalam Harian Indonesia Raya, Lubis mencanangkan “perang salib” terhadap korupsi yang terjadi di Pertamina. Ia menyoroti sosok Letnan Jenderal Ibnu Soetomo yang pada saat itu sebagai bos dari Pertamina.

Namun, kenyataan berkata lain, semua usaha Mochtar Lubis sia-sia begitu saja. Hasil dari kasus yang terjadi pada Pertamina yaitu Letnan Jenderal Ibnu Soetomo yang kemudian mundur dari Direktur Utama Pertamina, namun seluruh harta nya tidak dijamah secara lebih dalam.

Mochtar Lubis memiliki banyak prestasi di dalam pentas jurnalistiknya, baik dari sisi sosial politik, pencemaran lingkungan, hak asasi manusia (HAM), dan usaha-usaha untuk memperjuangkan suatu keadilan dan kebenaran.

Farahdila Virta Fauziah
Diterbitkan: Senin, 19 September 2022
Pukul: 13.00 WIB
Jurnalis: Farahdila Virta Fauziah
Editor: Adi Fauzanto
Daftar Bacaan:  
• Ensiklopedia Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Liputan Mendalam

HUT AJI Ke-28 di Antara Ancaman Digital dan Kekuasaan Oligarki


Kebijakan.co.idLiputan Advokatif

Adi Fauzanto-8 Agustus 2022 (06.00 WIB)-#23 Paragraf
HUT AJI Ke-28

AJI lahir dari kecelakaan sejarah atas buruknya kekuasaan memandang kebebasan Pers di Indonesia. Kini, AJI terus hadir sebagai wadah untuk melindungi jurnalis-jurnalis yang tidak mau disetir kekuasaan, tujuannya menjaga keberkualitasan demokrasi dan kebebasan berpendapat. Bukan tanpa tantangan, hingga kini ancaman masih sama, ditambah lanskap baru yaitu ranah digital.

***

Jakarta, Kebijakan.co.id — 28 tahun lalu, ketika rezim otoritarian Soeharto merasuk juga mengontrol Pers melalui pembredelan dan pencabutan izin usaha serta penerbitan, yang tertuju kepada Tempo, Detik, dan Editor, karena liputan-liputan mereka dirasa menganggu Soeharto.

Tempo kala itu –kenang Goenawan Mohamad sebagai pendiri Tempo dalam esainya di Qureta–, diizinkan kembali terbit jika memenuhi syarat kepatuhan kepada Soeharto –baik melalui kedudukan kepemilikan dan tentu isi karya jurnalistiknya nanti.

Saat ini, pola yang sama terjadi dengan lanskap wilayah yang berbeda, yaitu digital. Yaitu halaman web Tempo kembali diretas tanggal 7 Agustus 2022.

Di tanggal yang sama 28 tahun lalu, berkumpulah jurnalis dan kolumnis di Sinargalih, Bogor, membahas dan mendantatangani –dikenal sebagai Deklarasi Sirnagalih— (1) penolakan wadah tunggal untuk jurnalis, (2) penolakan pengaburan fungsi Pers, (3) penolakan pemaksaan informasi tunggal, (4) penolakan penyelewengan produk hukum, dan (5) penolakan pengekangan Pers setelah pembredelan Majalah Tempo, Detik, dan Editor atas liputan yang menggangu kekuasaan Soeharto tanggal 21 Juni 1994.

(6) Kumpulan jurnalis dan kolumnis ini juga mengumumkan berdirinya AJI (Aliansi Jurnalisme Independen).

28 tahun berlalu, rezim Soeharto tumbang, kebebasan Pers seperti keran yang dibuka tuasnya. Institusi Pers arus utama yang seharusnya mengawasi kekuasaan, justru dikuasai segelintir orang –yang juga memiliki peran dalam kekuasaan politik praktis— yang berafiliasi atau terhubung langsung dengan partai politik.

Fenomena ini dinamakan oligarki media yang diteliti oleh Ross Tapsel dan melahirkan sebuah buku berjudul Kuasa Media di Indonesia: Kaum Oligarki, Warga, dan Revolusi Digital (2019).

Oligarki sendiri menurut Jeffrey Winters diartikan sebagai sistem politik yang dijalankan oligark –-orang-orang yang memiliki modal lebih—untuk mengendalikan kekuasaan dengan tujuan mencari dan mempertahakan kekayaan melalui kekuasaan politik. Dalam hal ini melalui pemilihan umum, yang sangat membutuhkan Pers sebagai alat propaganda citra kampanye, alih-alih menjalankan fungsi jurnalistiknya.  

Dunia digital dan kekuasaan yang bersifat oligark menghasilkan represi (perlawanan) yang khas, melalui kuasa struktural berupa undang-undang atau kelembagaan, misalnya saja pasal-pasal karet (yang multitafsir) dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) –dihitung juga penegekannya yang tebang pilih– serta menggunakan cara-cara yang licik menggunakan teknologi, seperti peretasan.

Lainnya adalah keberpihakan liputan media-media yang dikuasai pemodal –yang juga condong kepada penguasa– yang melulu menjilat kekuasaan –bergantung apa yang dititipkan oleh pemilik media tersebut— di mana memanfaatkan ranah digital dengan publisitas karya jurnalistik yang amburadul, layaknya TV One News yang dimiliki Aburidzal Bakrie.

Fajar dan Romel dalam jurnal penelitiannya menukil Freedom House dan McQuail, yang menjelaskan kebebasan Pers dalam suatu negara bergantung kepada:

Pertama, Sejauh mana campur tangan politik negara terhadap Pers. Seperti pembredelan, intimidasi, sensor, dan pencabutan izin;

Kedua, Sarana konstitusional dan regulasi bagi perlindungan Pers dan kebebasan berpendapat. Penegakan Undang-Undang Pers, UU ITE, dan instrumen hukum terkait pers dan kebebasan berpendapat;

Ketiga, Independensi keputusan redaksional Pers dari kepentingan komersial atau pribadi individu. Celah intervensi pemilik modal atau titipan dari pendonor dan iklan.       

Infografis AJI (Aliansi Jurnalis Independen)

Oleh karenanya AJI memilih frasa ‘memperkuat solidaritas’ dalam tema besar, sesuai dengan perkataan Ika Ningtyas selaku Sekertaris Jendral AJI dalam pembukaan HUT (Hari Ulang Tahun) AJI Ke-28, “…mari memperkuat solidaritas…” sebagai respon menghadapi ancaman digital dan kekuasaan oligarki yang mengancam kebebasan Pers.

Dalam memperkuat solidaritas itu, “Kami (AJI) masih berjuang melawan impunitas atas kejahatan terhadap jurnalis, mengadvokasi pelemahan kesejahteraan jurnalis, dan terus berkomitmen untuk meningkatkan kapasitas jurnalis di Indonesia.”

Senada dengan Sekertaris Jendral AJI, Ketua Dewan Pers, Ayzumardi Azra berpesan sebagaimana fungsi Dewan Pers, “Kedepan juga tantangan semakin berat,… tantangan dalam bentuk eksplosi digital yang menimbulkan represi, baik di dalam negeri maupun luar negeri, … dan juga sejarah panjang AJI menjadi mitra kritis pemerintah maupun juga masyarakat.” Ditambah, “Sekarang ini agak susah mencari lembaga atau pihak yang bersikap kritis kepada pemerintah, mengkoreksi apa yang perlu dikoreksi, juga kepada masyarakat.”

Di akhir, Ayzumardi Azra berpesan untuk memperkuat solidaritas, memperkuat barisan, dalam menjaga kebebasan pers sebagai salah satu pilar demokrasi. Ayzumardi mencerminkan dari kejadian terbaru, dari kondisi pelarangan liputan dalam mengungkap kasus di sekitar rumah dinas Ferdy Sambo oleh jurnalis CNN dan peretasan halaman web Tempo yang berdekatan dengan HUT AJI Ke-28.   

Jika dilihat data Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) yang dikeluarkan BPS (Badan Pusat Statistik), pada indikator ancaman atau penggunaan kekerasan oleh aparat pemerintah yang menghambat kebebasan berpendapat, skornya terus menurun dari tahun 2017 hingga 2020. Tahun 2020, di angka 58.82; tahun 2019, 65.69; tahun 2018, 70.22; tahun 2017, 68.87.

Di bawah tahun 2017, skornya turun naik, yang menempati skor terendah kedua dari bawah dibandingkan indikator lainnya. Tahun 2016, di angka 76.47; tahun 2015, 65.32; tahun 2014, 68.89; tahun 2013, 73.54; tahun 2012, 65.45; tahun 2011, 68.38; tahun 2010, 73.03; tahun 2009, 83.43.  

Tentu menjadi tantangan untuk pemerintah dalam menjaga dan meningkatkan kebebasan berpendapat, terlebih berkomitmen pada asas demokrasi pada sistem pemerintahannya yang diamanatkan konstitusi.

Dikutip dari Antara, Jaleswari Pramodhawardani, Deputi V Kantor Staf Presiden, mengatakan dan menanggapi Indeks Demokrasi tahun 2020 yang dikeluarkan The Economist, bahwa pemerintah berkomitmen kuat merawat dan menjaga demokrasi di Indonesia.  

Alih-alih mengharapkan pemerintah untuk menjaga kebebasan Pers dan berpendapat. AJI berusaha mendorong kebebasan dan keberkualitasan Pers –sekaligus juga mengenang beberapa tokoh Pers yang gugur di rezim Soeharto— dengan memberikan penghargaan kepada insan individu atau Pers yang berjasa. Karenanya juga, AJI mengumumkan penerima Udin Award 2022, Tasrif Award 2022, SK Trimurti Award 2022, Pers Mahasiswa dalam HUT AJI Ke-28.   

Baca Serial Liputan Advokatif "HUT AJI Ke-28 di Antara Ancaman Digital dan Kekuasaan Oligarki" Lainnya:
•	HUT AJI Ke-28 di Antara Ancaman Digital dan Kekuasaan OligarkiUdin Award 2022: Untuk Jurnalis di Pulau Surga yang Jatuh ke Bumi, Papua 
Jurnalis Adi Fauzanto
Diterbitkan: Senin, 8 Agustus 2022
Pukul: 06.00 WIB
Jurnalis: Adi Fauzanto
Daftar Bacaan:  
• Hari Ulang Tahun (HUT) Aliansi Jurnalisme Indonesia (AJI) Ke-28Jeffry Winters. 2011. Oligarki. Penerbit Gramedia: JakartaRoss Tapsel. 2019. Kuasa Media di Indonesia: Kaum Oligarki, Warga, dan Revolusi Digital. Penerbit Marjin Kiri: TanggerangSejarah Aliansi Jurnalisme IndependenGoenawan Mohamad. 2019. Tempo dan Sebuah Ultimatum. Qureta.comData Badan Pusat Statistik. Indeks Demokrasi Indonesia Tahun 2009-2020Fajar Shodiq dan Romel. 2021. Kemunduran Demokrasi dan Kebebasan di Asia Tenggara: Refleksi dari Enam Negara. Jurnal Penelitian Politik Vol. 18 No. 2Pudjo Rahayu. 2021. Meningkatkan Indeks Demokrasi Indonesia. Antara News
Liputan Mendalam

Jurnalisme Data, Cara Baru Ungkapkan Fakta Melalui Cerita


Kebijakan.co.idLiputan Konstruktif

Adi Fauzanto-30 Juli 2022 (18.00 WIB)-#41 Paragraf
Jurnalisme Data, Cara Baru Ungkapkan Fakta Melalui Cerita

Dalam berbagai cara jurnalis mampu mengabadikan cerita, kata menjadi senjata utama, akan tetapi dalam dunia serba ada melalui digital, data menjadi sebuah narasumber tersendiri untuk sebuah cerita yang utuh. Perlu kiranya belajar bagaimana mendapatkan, mengolah, dan menyajikan data sebagai sebuah berita.

Maka, diadakan Data & Computational Journalism Conference Indonesia (DCJ-CI) 2022 yang diadakan Universitas Multimedia Nusantara bekerjasama dengan Kedutaan Besar Amerika Serikat di Indonesia.

***

Tanggerang, Kebijakan.co.id — Hari itu (28/07/2022) sumuk luar biasa di Jakarta, selain rutinitas yang macet di Selatan Jakarta, juga harus menerima fakta bahwa tujuan yang saya –jurnalis Kebijakan.co.id— tuju, jauh luar biasa.

Saya agak ragu menggunakan KRL (Commuter Line), sebab dari stasiun terakhir jauh bukan main ke tempat lokasi yang saya tuju. Selain harus membayar ojek nantinya –cukup mahal melihat dari aplikasinya. Maka saya putuskan menggunakan kendaraan pribadi, motor.

Lokasi yang saya tuju ialah Kabupaten Tanggerang. Benar saja, menurut beberapa informasi, jalan menuju lokasi kondisinya tidak jauh berbeda dengan Kota Bekasi –tempat markas Kebijakan.co.id berada–, tata kotanya berantakan.

Akan tetapi, ketika saya memasuki lokasi yang saya tuju suasana berubah drastis, gedung dan ruko-ruko megah –tentu dengan jalan yang luas- menghiasi pinggir jalan. Lokasi yang dituju adalah Universitas Multimedia Nusantara (UMN), yang didirikan tahun 2005 atas inisiatif Jakob Oetama, pendiri Kompas Gramedia Grup, yang juga seorang guru –ketimbang mengaku sebagai wartawan atau pebisnis ulung.

Menariknya sumuk di Jakarta atau di Tanggerang tidak terlalu berasa di dalam gedung D (Gedung PK. Ojong) UMN, awalnya saya berpikir apa karena cukup kosong atau kondisi cuacanya sedang mendung, ternyata gedung tersebut memang didesain sangat terbuka, angin yang masuk bisa langsung ke luar, maka suasana cukup adem, karena sirkulasi udara yang baik.

Terlihat dari gedung yang didesain bolong-bolong, tentu bukan karena ambles, tetapi untuk ke luar-masuk angin, tampak dari luar seperti gedung Perpustakaan Universitas Indonesia atau seperti rumah teletabies.

Tampak Luar Gedung UMN (Dokumen Summarecon Serpong)
Tampak Luar Gedung UMN (Dokumen Summarecon Serpong)

Tak hanya di gedung, akan tetapi juga di tempat parkirannya (basement) hingga mushola yang berada di sana, tanpa pendingin ruangan ataupun kipas angin, hanya memperhatikan sirkulasi udara yang baik, cukup sejuk tidak membuat badan berkeringat.

Tak ayal, jika gedung tersebut diganjar penghargaan Energy Efficient Building kategori Tropical Building pada ASEAN Energy Award tahun 2019 yang dipajang di pelantaran gedungnya.  

Namun, terlihat masih ada lampu-lampu yang menyala walaupun siang hari di tengah sorotan sinar matahari, sama seperti gedung-gedung tinggi lainnya di kota-kota besar, yang seharusnya bisa dikurangi kegunaannya. “Jangankan gedung-gedung tinggi di kota besar, ini aja laptop sama hp (gawai) masih charger sambil dinyalain, sampe penuh lupa dicabut,” dalam hati saya.           

Di balik kunjungan saya ke gedung kampus ramah lingkungan tersebut, saya tidak sedang mengaudit kelayakan gedung, sebab bukan kewenangan saya juga. Atau sekedar melihat mahasiswa-mahasiswi yang sedang berkumpul sembari mengerjakan tugas atau sekedar berkumpul mempersiapkan kegiatan yang ada. Saya ke sana untuk belajar tentang apa yang disebut dengan jurnalisme data di Data & Computational Journalism Conference Indonesia (DCJ-CI) 2022.

Kegiatan ini dimulai dua hari sebelumnya (27/07/2022) agenda diskusi membahas kurikulum jurnalisme data, saya mengikutinya secara daring (dalam jaringan). Di hari itu, saya belajar bagaimana susah payahnya tim liputan data Harian Kompas yang diwakilkan Puteri Rosalina, dalam mengolah data, “layaknya tugas akhir,” menurutnya. Prosesnya mulai dari proposal liputan, pencarian data, hingga pengujian. Alih-alih membuat berita dengan 5-6 paragraf dengan judul yang bombastis.

Dari hal itu, saya berpikir, “Mereka ini layak disebut profesor, toh setiap minggu harus menyajikan laporan yang sekelas tugas akhir S2 atau S3, atau bahkan lebih bagus dan berguna, ketimbang tugas akhir yang diselesaikan karena tuntutan gelar apalagi dikerjakan orang lain.”

Dan yang lebih mengkhawatirkan lagi –seperti yang saya duga sebelumnya–, jumlah pembaca yang sedikit, “Kita harus mencari cara juga agar banyak yang baca.” Tim jurnalisme data Harian Kompas harus menganalogikan data dengan sesuatu yang dapat dibayangkan atau visualisasi oleh banyak orang, misal liputan data timbunan sampah makanan yang dihitung tinggi dan diameternya melebih Monumen Nasional atau mencari topik-topik yang sedang hangat di Twitter. Walaupun agak sulit, karena data yang dicari belum tentu mudah.

Dari data Alexa.com –sebuah situs yang dikelola Amazon untuk mengetahui lalu lintas laman web dan sekarang sudah ditutup- tahun 2021 akhir, laman berita yang banyak diakses dari 1 hingga 5 merupakan Okezone.com (54), Pikiran-Rakyat.com (77), Tribunnews.com (76), Kompas.com (126), Detik.com (139). Walaupun yang banyak diakses juga dari grup Kompas yang sama dengan Harian Kompas, namun berbeda bendera.

Paradoks memang, seperti yang dikatakan Andreas Harsono dalam wawancaranya di Tirto.id, antara Kompas.com (atau bahkan Tribunnews.com) dan Harian Kompas.

Akan tetapi setelah saya telusuri, Kompas.com dan Detik.com sudah ada liputan mendalam sebagai jawaban atas kekecewaan masyarakat yaitu JEO Kompas.com dan DetikX

Memang dari data tersebut berbicara, yang berkualitas memang sedikit juga kuantitas pembacanya juga menggambarkan kualitas pembacanya –ntah saya harus bangga atau tidak juga senang sekaligus sedih secara bersamaan.

Di balik liputan yang baik ada perjuangan untuk mendapatkannya, seperti pembicara selanjutnya adalah Leoni Alvionita, peserta yang lolos pelatihan DCJ-CI tahun 2021 dan mahasiswa UMN angkatan 2017 yang menceritakan perihal tugas akhirnya berbentuk proyek jurnalistik yang berkualitas, disajikan dengan cerita, juga data, dan dapat dibaca melalui sebuah laman yaitu UnfreeJournalist.com.

Sebuah proyek luar biasa, yang patut diacungi jempol, bukan hanya karna karyanya yang berkualitas, tetapi mengangkat isu yang tidak mudah dikerjakan, yaitu kebebasan pers, terlebih menyinggung hal yang tabu di Indonesia, yaitu soal Papua.

Jurnalisme Data ini ternyata merupakan program studi baru yang diajarkan secara khusus di Jurusan Jurnalistik, Universitas Multimedia Nusantara. Objek yang sudah muncul lama, lalu diteorisasikan oleh ilmu pengetahuan merupakan suatu hal yang wajar bagi setiap fenomena.

Jurnalisme data memang sudah ada jauh sebelum kata tersebut muncul. “Dan memang sudah hakikat jurnalis harus berpegang pada fakta (dalam hal ini data),” menurut salah satu narasumber dalam konfrensi tersebut. Hanya saja digaungkan kembali ketika kemudahan mencari data semenjak era-digital ada.

Akan tetapi ada yang perlu diperhatikan secara lebih, data yang dimaksud bukan hanya sekedar angka-angka, layaknya laporan BPS (Badan Pusat Statistik) di halaman web nya –yang penuh dengan angka statistik. Data yang dimaksud merupakan fakta yang dikumpulkan lalu diolah menjadi cerita, dengan kata ataupun visual nantinya, bisa juga berupa angka seperti BPS, tapi tidak sementah itu.

Data tersebut bukan juga data ‘resmi’ yang dikeluarkan pemerintah. Tetapi data yang dicari oleh jurnalis dari sumber terbuka (Open Source) untuk mengulik fenomena yang ada.

Adolfo Arranz, Editor Grafis Reuters, saat menyampaikan materi saat hari pertama DCJ-CI 2022 di Gedung D UMN
Adolfo Arranz, Editor Grafis Reuters, saat menyampaikan materi saat hari pertama DCJ-CI 2022 di Gedung D UMN(Adi/Kebijakan.co.id)

Seperti yang diungkapkan Adi Marsiela dari Aliansi Jurnalis Indonesia di hari pertama (28/07/2022), “Umumnya data yang dicari memang hanya untuk melengkapi liputan jurnalistik.” Ke depan menurut Adi, data digunakan untuk mencari suatu masalah atau celah yang perlu dicari kejelasannya untuk dijadikan liputan kepada publik.

“Maka dari itu kita butuh Big Data,” satu hal yang coba di inisiasi oleh Ronny Buol dari ZonaUtara.com untuk mengumpulkan data-data menjadi sebuah DataBooks atau BigData atau Data Besar khusus untuk Kota Manado. “Ini disambut baik oleh masyarakat yang ingin tahu (keadaan covid-19 ketika itu).”  

Cara lain ditempuh oleh Tim Investigasi Tempo yang disampaikan Agoeng Wijaya dihari terakhir DCJ-CI (30/07/2022), yang mencari data perusahaan sawit yang tidak membayar pajak dari jumlah hektar lahan yang dikelola di lapangan, lalu mencocokan melalui Dirjen Pajak. “Ada usaha untuk melobi agar data itu dibuka.” Setelah dibuka, ada beberapa keterangan lahan yang dikelola tidak sesuai dengan temuan, begitupun dengan pajak yang dibayarkan.

Penutupan Data & Computational Journalism Conference Indonesia 2022 di Hotel Ashley
Penutupan Data & Computational Journalism Conference Indonesia 2022 di hotel Ashley (Adi/Kebijakan.co.id)

“Kita (Tim Investigasi Tempo) mencocokan data temuan di lapangan dan data di balik lembaga yang berwenang. Jika tidak, maka apa bedanya kita dengan analis.” Sebuah cerita dari Agoeng yang menggambarkan bagaimana sebuah data didapatkan dan diverifikasi.

Memang merupakan fenomena umum terjadi, “Sebenarnya data tersebut sudah ada di dalam pemerintahan, akan tetapi tidak terdokumentasi dengan baik, misalnya Data kebakaran di Bandung yang disimpan rapih Dinas Pemadam Kebarakan Kota Bandung, tetapi tidak tersusun dengan rapih,” Kata Adi menggambarkan data di lembaga pemerintah yang menumpuk, maka sudah tugas jurnalis merapihkan dan mendokumentasikan, sekaligus mencari fakta lainnya yang dapat membantu warga, misalnya data hidran di pinggir jalan untuk saluran air yang rusak dan yang bisa digunakan.

“Pun data-data tersebut (dalam hal ini tentang Covid-19) dikumpulkan dari beberapa petugas kesehatan di kecamatan-kecamantan (dalam hal ini di Manado),” kata Ronny Doul yang mengumpulkan data resmi dari lembaga kesehatan di Kota Manado.

Akan tetapi ada juga yang tidak tepat, maka itu diperlukan verifikasi lapangan, misalnya, “Data pasien di Kota Surabaya yang meninggal karena Covid-19 di hari tertentu tidak ada, ternyata setelah diverifikasi di rumah sakit, ternyata ada.” Kata Eko Widianto dari TeraKota.id.  

Berkembangnya jurnalisme data di Indonesia perlu mendapatkan perhatian lebih, yang memang sudah terbukti membantu menghadapi wabah Covid-19.

Menurut Hartinah dalam penelitiannya (2018), tantangan jurnalisme data hadir dalam bentuk kemampuan dan banyaknya jurnalis yang menguasainya, juga pengerjaannya yang memakan waktu tidak sedikit dan cukup sulit –ketimbang berita bombastis. Tentu, Media harus berinvestasi lebih untuk keberlanjutan jurnalisme data. 

Maka, sudah sepatutnya, “Data menjadi narasumber tersendiri,” menurut pengajar jurnalistik UMN. Sama seperti narasumber berbentuk ahli, peneliti, praktisi, atau warga biasa. Dan tentu verifikasi atau pemeriksaan ulang menjadi pembeda antara ‘sekedar berita’ dan berita yang tidak mengada-ada.

Semoga dengan data menjadi narasumber liputan, pers yang bekerja sesuai etika jurnalistik menjadi seperti apa yang dikatakan oleh Azyumardi Azra, Ketua Dewan Pers yang baru, dalam sambutannya di kegiatan DCJ-CI 2022, “Menjadi pelopor, bukan pengekor.” Dan mencegah media atau jurnalisme abal-abal seperti yang dikatakan Perwakilan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) dalam sambutannya.      

Infografis DCJ-CI 2022

Setelah saya selesai dengan proses belajar ini, sudah sepatutnya saya percaya dengan fakta, bahwa jalan menuju Tanggerang tidak semudah yang saya kira –sama semrawut nya dengan Kota Bekasi.

Dan yang saya ingat masih tentang kekecewaan saya di awal menggunakan kendaraan pribadi. Alangkah hari itu menggunakan kendaraan umum. Sebab, jalannya cukup memutar-mutar untuk menuju ke tempat lokasi.

Setelah saya hitung-hitung jauh lebih mahal ongkos yang harus dikeluarkan, beserta nyasar dan minggir sana-sini untuk sekedar beli sesuatu untuk bertanya warga sekitar dan mengisi bensin yang habis untuk berputar-putar tanpa bantuan aplikasi map yang mati.

Dan fakta lainnya tentang panas –dan buruknya lingkungan– kota Jakarta dan sekitarnya, dengan kualitas udara pada hari itu menurut IQAir.com di angka 109 untuk Jakarta, 142 untuk Tanggerang Selatan, 135 untuk Kota Tanggerang, menandakan tidak sehat untuk kelompok sensitif.

Di balik itu, saya harus tetap bersyukur, sebab di balik susah payah tersebut ada ilmu yang saya bawa. Dan semoga berguna –kalau banyak yang baca.

Baca Serial Liputan Konstruktif "Jurnalisme Data, Cara Baru Ungkapkan Fakta Melalui Cerita" Lainnya:
•	Jurnalisme Data, Cara Baru Ungkapkan Fakta Melalui CeritaOlah Data, Olah Rupa, dan Olah Kata untuk Asa JurnalismeDi Sekitar Berita Bohong
Jurnalis Adi Fauzanto
Diterbitkan: Sabtu, 30 Juli 2022
Pukul: 18.00 WIB
Jurnalis: Adi Fauzanto
Daftar Bacaan:
•  Wan Ulfa Nur Zahra. 2017. Andreas Harsono: Jangan Ada Perbedaan Kualitas Jurnalisme, Apapun Mediumnya. Tirto.idLeoni Alvianto Susanto. 2022. Unfree Journalist. Unfreejournalist.comHartinah Sanusi. 2018. Jurnalisme Data: Transformasi dan Tantangan Era Digital. Jurnal Tabligh Vol. 19 No. 1 IQAir.comAdi Marsiela. 2020. Bandung Lautan Api: Seberapa Dekat Kita dengan Kebakaran?  Eko Widianto. 2021. Malang Kota Genangan. Terakota.id Tim Harian Kompas. 2022. Sampah Makanan Indonesia Mencapai 330 Triliun. Kompas.id