
Pelik rasanya melihat jurnalisme ‘pasar’ yang menuhankan traffic dengan clickbait nya. Pelik juga melihat media partisan –yang secara jelas-jelas atau yang memanfaatkanya. Yang jelas-jelas, menampilkan dalam sebuah berita atau segmen khusus ‘kelompok partai’ nya, sebut saja kelompok Media Group News dengan Surya Paloh serta Nasdem-nya dan MNC Group dengan Hary Tanoesudibjo serta Perindo-nya.
Begitu juga yang memanfaatkan partisan, dengan menempatkan framing partisan secara berlebih, alih-alih menimbulkan daya kritis, malah membuat kegelapan partisan tersebut, sebut saja TV One (Viva Group) dengan pseudo-oposisi Karni Ilyas dan Aburidzal Bakrie dengan bisnis serta Golkar-nya.
Misalnya, putra Aburidzal Bakrie memakai narkoba. Hampir tidak ada satu pun berita yang dikeluarkan group TV One. Praktik-praktik ini paradoks luar biasa, aneh. Media dan pemilik yang bukan berlatar belakang ‘jurnalis’ hanya akan melahirkan media tanpa arah perbaikan –terlebih jika pemilik nya berlatar businessman cum politisi.
Kenajisan dan banalitas itu tidak terbendung ketika bertemu teknologi. Sebuah alat yang ‘membantu’ manusia menemukan circle-nya, justru menjebak dalam filter bubble, itulah Artificial Intellegence. Teknologi super apps yang menggunakan itu, tidak jarang menimbulkan konflik yang tidak konstruktif. Misal, perbedaan warna kulit, perbedaan suku, hingga perbedaan agama. Melahirkan kebencian, permusuhan, menjauhkan –tidak memberikan setitik pun untuk bertemu dalam dunia digital.
Ketika prinsip yang dipegang media-media tadi, juga dengan bantuan penemuan teknologi. Maka lahirlah, berita-berita palsu, berita-berita pendek, berita-berita yang hanya menceritakan setitik dari ribuan makna didalamnya, lagu-lagu partai, berita yang melindungi pemiliknya.
Terlebih kualitas masyarakat belum siap dengan keadaan seperti ini. Salah duanya, yaitu Detik.com dan Tribunnews, kedua media tersebut melengkapi tragisnya fenomena kualitas baca di Indonesia. Sudah dikenal dengan minat rendah membaca, didukung ‘penyebar informasinya’ seperti salah keduanya –Detik dan Tribun. Pelik. Alih-alih memperbaiki, malah menjatuhkan palu sidang atas pasar rendah baca masyarakat Indonesia.
Hal ini tak jarang, digunakan juga oleh masyarakat Indonesia, sebagai penyambung lidah –baik itu langsung atau visual. Mengirimkan pesan whatsapp, line, atau instagram. Membuat video pendek, atau hal-hal lainya. Ditambah stupid influencer yang berlaga konyol memperparah keadaan. Ditambah dengan adanya produk iklan yang masuk mengendorse mereka. Menambah vonis berkali-kali lipat atas pasar rendah baca masyarakat Indonesia.
Tersisa hanya Kompas dan Tempo. Kompas dengan ‘nilai luhur’ nya berusaha melawan dirinya sendiri, kompas.com –juga tribun- dan kompas.id –harian kompas- adalah gambaran paradoks dari fenomena ini. Begitu juga dengan Tempo, antara tempo.co dengan koran tempo dan majalah tempo, juga bagian dari fenomena paradoks.
Yang satu membahas artis yang gemar belanja, yang satu membahas bagaimana menggambarkan prioritas belanja kebutuhan pemerintah pusat, daerah, hingga korporasi agar optimal. Yang satu misalnya, memberitakan artis-artis yang jatuh tersandung batu, yang satu nya membahas agenda kebijakan yang jatuh tersandung batu ‘hutang’. Paradoks dan absurd. Saya masih membayangkan seorang Jakob Oetama dan Goenawan Mohamad melihat kualitas berita kompas.com juga tempo.co yang receh mengincar traffic.
Jurnalisme Sekali Lagi
Mengapa sekali lagi? Bisnis (dibaca: urusan) informasi, bisa jadi bisnis tertua yang manusia lakukan selagi mencari bahan makanan, dengan berburu atau meramu. Tak jarang perpindahan era, pionirnya –penggeraknya- merupakan informasi atau komunikasi.
Ambil contoh, Renaissance tanpa penyebaran gagasan pencerahan, muskil terjadinya eropa maju saat ini. Era kejayaan Islam, tanpa pertukaran informasi Yunani Kuno atau India Kuno dengan terjemahan informasi yang ditulis ulang, muskil menemukan Ibnu Sina, dan ibnu-ibnu lainya.
Tidak perlu jauh-jauh, negara dengan banyak kepualan ini, muskil merdeka tanpa informasi yang memberitakan bobroknya Belanda. Atau Cina –saat ini- muskil maju tanpa penerimaan informasi terkait informasi perdagangan bebas sesuai kebutuhan dan informasi manfaat internet, dilanjutkan dengan pengembangan pendidikan dasar hingga tinggi, lalu pembangunan kota-kota dagang, begitu juga dengan Jepang di era restorasi meiji.
Kembali lagi, lalu membayangkan bagaimana jika informasi yang pendek-pendek tadi mempengaruhi kita? Apa yang akan terjadi? Apalagi Indonesia, yang memiliki pasar pembaca yang rendah. Alih-alih meraih kejayaan nya, yang ada justru menjadi tempat jual-beli informasi (murah) layaknya pasar kumuh.
Misalnya, informasi paham kekerasan –umumnya dari timur tengah- tertentu, masuk, setelah itu laku di masyarakat. Begitu juga dengan informasi budaya Korea –yang tidak berguna-, laku di masyarakat. Informasi dari negara barat –yang merusak-, seperti narkoba tanpa pengendalian diri, atau seks bebas tanpa pertanggungjawaban, hanya akan memupus anak muda berbakat.
Jurnalisme Sekali Lagi. Bukan tentang pikiran pesimis atau nihilis. Sekali lagi, meniru –mengambil pelajaran- tetapi bukan mengulang. Ntah, dibilang optimis atau bualan belaka. Layaknya Amerika mengambil pelajaran dari krisis kapital era 1930-an. Dia mengambil langkah ‘sekali lagi’ atau memulai kembali. Terutama mengembalikan peran pers sebagai pengawas, sangat dibutuhkan.
Tentu, bukan membuangnya dan menolaknya secara total, walaupun masih ada beberapa hal yang harus diperbaiki. Menolak dan membuangnya total, namanya revolusi. Tidak mengapa, jika ‘siap’. Jika tidak, Uni Soviet dengan kehancurannya atas bobroknya sistem dari atas hingga bawah. Tentu ada sebab lain mengapa ‘hancur’, tetapi mereka tidak mengambil pelajaran dan memperbaiki.

Jurnalisme Nanti
Sekali lagi, layaknya sebuah piring kotor, yang harus dicuci untuk digunakan ulang untuk makan. Maka harus seperti itulah jurnalisme. Tentu kita tidak makan dengan piring yang kotor dan berminyak, bisa jadi makanan nanti terserang bakteri yang membahayakan kita. Atau langsung membuang piring tersebut, tidak. Jurnalisme harus memulai kembali, sembari menatap teknologi.
Didukung dengan teknologi terbaharukan. Bukan tidak mungkin, kedepannya ada teknologi yang memudahkan untuk mencuci piring tersebut. Misalnya, dengan anti-tesis memperbaiki struktur code algoritma yang tidak menempatkan filter bubble. Atau memberikan tempat indikator informasi terbaik, bukan berdasarkan pasar total tetapi melihat indikator informasi yang layak.
Munculnya jurnalisme pionir, sebagai penunjuk arah, bukan penuntun. Penunjuk arah, bukan hanya yang ‘baik’ tapi juga ‘buruk’. Bukan hanya ‘kekonyolan’, tetapi juga yang ‘seharusnya’. Bukan hanya ‘cepat’, tetapi juga ‘panjang dan mendalam’. Jurnalisme yang berjalan dengan ‘bangga atas dirinya’, ‘bukan bangga di miliki siapa’. Rasa-rasanya ‘membangkitkan’ Mochtar Lubis akan sulit dalam jurnalisme kedepan, tetapi bukan tidak mungkin.
Tidak perlu mencari siapa yang harus bertanggung jawab atas semua ini. Mekanisme kerja manusia, beralih itu hal biasa, layaknya proses dialektika -baik dalam alam pikir menurut Socrates atau realitas menurut Hegel. Proses beralih itulah yang harusnya dilihat. Jangan sampai menuju jurang yang sama. Terutama memperhatikan masyarakat –sebagai pembaca- yang memiliki andil penting, bukan hanya sebagai target pasar, tetapi juga melibatkan unsur kognitif –individu manusia juga jamak masyarakat- yang bisa mengendalikan hal-hal tertentu, jangankan pasar, penemuan-penemuan besar dapat dilakukan dari sana.



Diterbitkan: 29 November 2021 Kolomnis Opini: Adi Fauzanto
Daftar Bacaan: • Ross Tapsell. 2019. Kuasa Media di Indonesia: Kaum Oligarki, Warga, dan Revolusi Digital. Penerbit Marjin Kiri: Yogyakarta. • David Hill. 2010. Jurnalisme dan Politik di Indonesia: Biografi Kritis Mochtar Lubis Sebagai Pemimpin Redaksi dan Pengarang. Penerbit Obor: Jakarta • Wartawan Kompas. 2020. Jejak Langkah Jakob Oetama: Warisan Sang Pemula. Penerbit Gramedia: Jakarta • Suryopratomo. 2021. Belajar dari Pengalaman “The Straits Times”. Kolom Opini Kompas.id • Ignas Kleden. 2020. Fragmen Sejarah Intelektual: Beberapa Profil Indonesia Merdeka. Penerbit Obor: Jakarta • Benson Bobrick. 2019. Kejayaan Harun Ar-Rasyid: Legenda Sang Khalifah dan Kemajuan Peradaban Dunia pada Zaman Keemasan Islam. Penerbit Alvabet: Tangerang • Yuval Noah Harari. 2018. Sapiens: Riwayat Singkat Manusia. Penerbit Gramedia: Jakarta • Sindhunata. 2019. Teori Kritis Sekolah Frankfurt: Dilema Usaha Manusia Rasional. Penerbit Gramedia: Jakarta • Budi Hadirman. 2011. Pemikiran-Pemikiran yang Membentuk Dunia Modern. Penerbit Erlangga: Jakarta • Majalah Tempo. 2012. Kapitalisme Buatan China. Laporan Khusus Majalah Tempo • Hasyim Asy’ari. 2018. Renaisans Eropa dan Transmisi Keilmuan Islam ke Eropa. Jurnal Sejarah Peradaban Islam Vol. 2 No. 1

