Melihat rekam jejak konflik antara Perhutani (Badan Usaha Milik Negara) dan masyarakat di Penanggungan, akhirnya berkesudahan setelah Forum Rakyat Trawas (Foras) mengajukan Perhutanan Sosial (PS) yang nantinya dikelola oleh Foras dengan nama KTH (Kelompok Tani Hutan) ALAS (Aman, Lestari, Adil, Sejahtera) Trawas.
Dalam rencana dan pengembangannya, KTH ALAS Trawas akan dibangun dengan menyatukan antara Komunitas Pertanian Organik Brenjonk dan Kelompok Wanita Tani Desa Penanggungan, selain itu juga menyatukan ide antara wisata edukasi ekologi dan agroforestri yang berkelanjutan.
Ide besar tersebut tidak bisa terwujud, jika inisiatif gerakan masyarakat dan program perhutanan sosial tidak dijalankan.
Tim Kolaborasi —Kebijakan.co.id, Idenera.com, KabarTrenggalek.com— turun mengobservasi langsung di Desa Penanggungan, Mojokerto. Mengamati KTH ALAS Trawas dan Kampung Organik Brenjonk. Bertemu dengan Inisiator Kampung Brenjonk, Inisiator KTH ALAS Trawas, Anggota Kelompok Wanita Tani, dan Masyarakat Desa Penanggungan.
***
Mojokerto, Kebijakan.co.id – Setelah mendapatkan legalitas akan pengelolaan hutan secara agroforestri. Tantangannya untuk KTH ALAS (Aman, Lestari, Adil, Sejahtera) ialah, bagaimana mengelolanya agar bisa bermanfaat untuk masyarakat desa.
Seperti yang diungkapkan Ani Adiwinata, Peneliti CIFOR (Center for International Forestry Research), tantangan utama dari Perhutanan Sosial ialah pada tingkat lapangan, yang pada paradigma (cara berpikir) dan kerja konkret yang ada.
Senada dengan itu, Presiden Republik Indonesia dalam pidatonya di Blora, “Tolong betul-betul tanahnya dibuat produktif, jangan diterlantarkan, nanti bisa dicabut,” ucap Joko Widodo (10/03/2023).
Akan tetapi, kembali lagi kepada inisiatif masyarakat seperti yang dilakukan KTH ALAS yang sudah ada jauh sebelum Program Perhutanan Sosial hadir, berbentuk Foras (Forum Rakyat Trawas).
Jokowi sedang membagikan sertifikat Perhutanan Sosial (Dokumen KLHK)
Dua Pondasi Utama: Ide Agroforestri dan Brenjonk
Karena memang KTH ALAS memiliki embrio Foras yang sudah memiliki gerakan awal, akan dibawa kemana hutan yang nantinya akan dikelola oleh masyarakat –walaupun waktu itu secara diam-diam. Arahnya yaitu akan dibawa untuk menanam pohon-pohon agroforestri.
Selain karena melindungi ekologi lingkungan hutan tersebut, juga bermanfaat untuk ekonomi masyarakat. “Salah satu kegiatan di ALAS itu, kan ijinnya kayu, tapi bukan kayu (untuk ditebang) tapi agroforesti buah-buahan,” ucap Slamet –tokoh yang menginisiasi Foras dan KTH ALAS— kepada Tim Kolaborasi (10/03/2023) –jurnalis Kebijakan.co.id, Idenera.com, KabarTrenggalek.com.
Dalam hal peningkatan ekonomi, penelitian di salah satu kecataman Kab. Kulon Progo, Yogyakarta yang dilakukan Suroso (Penyuluh Kehutanan dan Perkebunan Yogyakarta) berjudul Optimalisasi Lahan dengan Pola Agroforestry memberikan kesimpulan bahwa dampak ekonomi terhadap adanya Agroforestri:
Pertama, adanya diversifikasi hasil yaitu hasil non kayu memberi keuntungan berupa pendapatan untuk memenuhi kebutuhan jangka pendek (mingguan, bulanan, tahunan);
Kedua, peningkatan nilai per satuan luas; Ketiga, memberi kontribusi dalam penyediaan tenaga kerja bagi masyarakat.
Agroforestri sendiri secara kata dalam bahasa inggris berarti agroforestry, yang terdiri dari agro berarti pertanian dan forestry yang berarti kehutanan.
Sedangkan menurut ICRAF (International Centre for Research in Agroforestry) dalam Buku Pengantar Agroforestri (2003) mengartikan agroforestri sebagai sistem pengelolaan sumber daya alam yang dinamis secara ekologi dengan penanaman pepohonan di lahan pertanian atau padang penggembalaan untuk memperoleh berbagai produk secara berkelanjutan sehingga dapat meningkatkan keuntungan sosial, ekonomi, dan lingkungan bagi semua pengguna lahan.
***
Selain gambaran awal akan dibawa kemana hutan tersebut. Masyarakat Desa Penanggungan, khususnya Dusun Penanggungan, juga suduh cukup berpengalaman bagaimana mengelola organisasi masyarakat dengan adanya Komunitas Petani Organik Brenjonk, yang memang, dikelola dengan baik oleh masyarakat itu sendiri.
Komunitas Petani Organik Brenjonk berdiri ini tidak lama setelah hadirnya Foras pada tahun 2000. Menurut Yuli Astuti, salah satu masyarakat sekitar yang tinggal di dekat Kantor Komunitas Petani Brenjonk, sekitar tahun 2004, embrio pertanian ini muncul, yaitu mulai dibagikannya Mini Greenhouse beserta bibitnya kepada warga.
Sedangkan menurut Rini Sudarti, salah satu pengurus Komunitas Pertanian Brenjok dan KWT (Kelompok Wanita Tani), mulai dirintis tahun 2007 dan efektif bisnisnya di tahun 2008. Sampai saat ini anggota Komunitas Petani Organik Brenjonk berjumlah 104 KK (Kartu Keluarga).
Menurut Slamet, dia menghitung produk pertanian organik, “Tak hitung produk organik Brenjonk, totalnya 140 ton sing metu (yang keluar), padahal hanya diproduksi kecil-kecil skala rumah selama 14 tahun (tahun 2008).”
Selain menjual produk pertanian, Komunitas Petani Organik Brenjok juga menyiapkan jasa lingkungan, seperti pelatihan atau penelitian terkait pertanian organik untuk peneliti (dosen), petani, dan universitas (mahasiswa), “Ada juga KKN (Kuliah Kerja Nyata),” ucap Slamet, selain itu disewakan juga penginapan di rumah-rumah warga.
Dengan adanya Komunitas Petani Organik Brenjonk, yang juga anggota merupakan anggota KTH ALAS, “Pengurusnya Brenjonk ya pengurusnya KTH, karena gabisa dipisahkan, karena satu area,” ucap Slamet yang juga inisiator Komunitas Pertanian Organik Brenjonk, merupakan sumber daya yang tidak terbentuk dalam satu dua hari ataupun dengan modal uang sekalipun.
Perlu bertahun-tahun membangun dan menjalankan Komunitas Pertanian Brenjonk. Menurut Winda Nurul dalam penelitiannya yang melihat peran Komunitas Petani Organik Brenjonk, bermanfaat dalam:
Pertama, promosi mengenai Pertanian Organik; Kedua, menjalin kemitraan dengan petani dengan mengatur struktur organisasi dengan petani;
Ketiga, melakukan penggerakan budidaya tanaman organik; Keempat, melakukan pembinaan dan pelatihan pada teknik budidaya tanaman organik;
Kelima, melakukan monitoring dan pendampingan lanjutan untuk mengoptimalkan pemberdayaan masyarakat dengan budidaya tanaman organik.
Dua hal tersebutlah yang menjadi pondasi utama, yaitu Foras dengan Agroforestrinya dan Komunitas Petani Brenjonk mengapa KTH ALAS memiliki persiapan yang matang dan organisasi masyarakat yang kuat.
Gapura Kampung Brenjonk (Adi/Kebijakan.co.id)
Pengembangan Wisata Edukasi Ekologi dan Agroforestri
Dalam rencananya, KTH ALAS akan menyiapkan dua sektor utama, yaitu wisata edukasi ekologi dan agroforestri. Nantinya keduanya akan menciptakan satu kesatuan yang saling menghubungkan satu dengan lainnya.
Hal itu digambarkan oleh Slamet, “wedusnya makan rumput daun-daunan pohon, nele’, lalu disimpan, dikasih untuk mupuk jeruk, duren. Kambingnya beranak-pinak, anaknya dijual, ekonomi petani terangkat. Hutan tetap subur dan utuh, daunnya tumbuh terus, lahan tetap subur.”
Seluruhnya, sudah disiapkan dalam Rencana Kerja Usaha (RKU) untuk periode 10 tahun yang dikirim kepada KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) dan Rencana Kerja Tahunan (RKT).
Rencana Pengembangan KTH ALAS Trawas (Dokumen KTH ALAS)
Pertama, penanaman agroforestri. Rencananya KTH ALAS menyiapkan 30.000 bibit kopi siap tanam, selain itu menyiapkan lahan seluas 45 hektare untuk merica. 10 hektare untuk tanaman pohon. Pohon-pohon tersebut di antaranya, pohon petai, pohon kluwek, pohon alpukat, pohon kemiri, pohon durian, pohon nangka, pohon matoa, dan pohon buah-buahan lainnya.
Bukan tanpa dampak, agroforestri memberikan beberapa catatan yang perlu dicegah dampaknya. Penelitian Konservasi DAS (Daerah Aliran Sungai) UGM, menyimpulkan agroforestri yang kurang optimal menyebabkan pendangkalan sungai akibat erosi, penurunan kualitas air, serta yang paling besar adalah terjadinya longsor. Diperlukan pemahaman mengenai faktor-faktor terjadinya sedimen untuk keberlanjutan fungsi dari lahan untuk kehidupan sehari-hari.
Selain itu tantangannya, menurut CIFOR (Center for International Forestry Research) dalam penelitiannya, menekankan agar agroforestri berhasil, petani perlu belajar pohon mana yang cocok untuk jenis lahan mereka dan bagaimana mengelola pohon-pohon itu, selain itu bagaimana memasarkan produk-produk agroforestri.
Kedua, wisata edukasi ekologi. KTH ALAS menyiapkan 7,7 Hektare untuk wisata edukasi ekologi ini. Menurut Slamet, nantinya dalam KTH ALAS terdapat beberapa kegiatan, “Itu kegiatannya kita ada workshop, ada pelatihan, misalnya analisa vegetasi, analisa pengamatan burung, biotilik pengamatan sungai, itu akan kita lakukan.” Selain itu ada ternak kambing, yang dapat dipelajari.
Kegiatan edukasinya nanti untuk semua level untuk belajar tentang hutan, mulai dari, “Kampus, kelompok tani, instansi, pemerintah.” Selain itu, dipersiapkan juga di tengah hutan nanti akan terdapat tempat camping dan makanan organik.
Konsep desa wisata juga bukan tanpa dampak. Beberapa hal yang perlu dimitigasi ialah terkait keselarasan lingkungan dengan konsep wisata yang nantinya dibangun, agar tidak terjadi pencemaran atau kerusakan lingkungan hidup. Selain itu, dampak sosial-budaya yang dapat terjadi, karena perbedaan antara wisatawan nantinya dengan penduduk sekitar.
Jika ditarik lagi, kegiatan multiusaha kehutanan, menurut Hermudananto (Dosen Kehutanan UGM) dalam kolomnya di The Conversation (07/10/2022) menekankan, “kunci keberhasilan implementasi Multiusaha Kehutanan harus memperhatikan beberapa hal, antara lain, kesesuaian tipologi hutan dan karakteristik dari biografis, biofisik, sosial, ekonomi, dan budaya dari suatu kawasan hutan.”
Selain itu, “Penyusunan rencana pengelolaan hutan juga harus tepat dalam menentukan jenis komoditas unggul untuk kebutuhan produksi.”
Pembangunan tempat pendaftaran KTH ALAS Trawas (Adi/Kebijakan.co.id)
4 Langkah Kunci: Penguatan Organisasi, Kelestariaan Lingkungan, Pencarian Dana, dan Kampanye
Untuk mewujudkan wisata edukasi ekologi dan agroforestri tadi. Diperlukan usaha agar KTH tetap beroperasi baik dari sisi organisasi, pemasukannya, dan utamanya lingkungan. Menurut Slamet, “Kita kan udah (membuat) rencana strategis itu, ada 4 output. Pertama itu, penguatan kapasitas organisasi. Kedua, kelestarian lingkungan. Ketiga, kegiatan fundraising (mencari dana). Keempat itu, kampanye.”
Pertama, penguatan kapasitas organisasi dan sumber daya manusianya. “Bagaimana temen-temen paham berorganisasi, paham soal buat perencanaan, implementasi dan monitoring,” buka Slamet menjelaskan manajerial organisasi yang terlihat sudah berpengalaman.
“Termasuk latihan bikin proposal, latihan (teknik) lobby, latihan buat laporan keuangan. (Memang) ribet dan besar, tapi nggak ada gajinya, tapi ya resiko kerja-kerja sosial,” tutup Slamet sambil tertawa.
Selain itu penguatan terhadap manusianya, juga diadakan pelatihan edukasi. “Ya itu edukasi, eduakasi ini yang kita pelajari, karena itu tidak gampang,” menurut Slamet yang berbicara terkait edukasi wisata memerlukan pemahaman terkait objek wisatanya.
Rini sedang memegang hasil pertanian organik Brenjonk (Adi/Kebijakan.co.id)
Menurut Rini, pengurus Komunitas Petani Organik Brenjonk yang juga KTH ALAS, mengatakan bahwa KWT nantinya juga dilibatkan, “Jadi Kelompok Wanita Tani ini, sebagian ada yang masih muda nah itu sebagian ada yang ikut KTH ALAS,” jelas Rini kepada Tim Kolaborasi (11/03/2023).
Tambahnya, pelatihan edukasi untuk wisata tidak mudah, karena harus mengetahui apa yang harus dijelaskan, “Kemarin kan ada pelatihan itu edukasi, (seperti) pengamatan sungai, (observasi) burung. Jadi kita diajarin gak cuma pengamatan sungai aja, yang ada di sungai itu apa aja, itu termasuk sungai tercemar atau setengah tercemar. Jadi kita bisa tau. Nah nantinya sebagai tour guidenya.”
Kedua, menjaga dan merawat kelestarian lingkungan. “Kita aksi terus, setiap musim hujan turun, itu kita (sudah bersiap) bikin gerakan untuk menanam, alhamdullilah sudah tertanam semua,” ucap Slamet sambil menunjuk salah satu bibit yang ditanam, “tahun 2020 kita dipercaya buat KBR (Kebun Bibit Rakyat) targetnya 35.000 pohon, terealisasi 46.000 bibit, itu contohnya (pohon) matoa.”
Ketiga, pencarian dana. Menurut Slamet, dirinya tidak mengandalkan funding (donor pendanaan) sepenuhnya, akan tetapi mengintegrasikan antara jasa lingkungan wisata dan hasil agroforestri, “itu sudah kita praktikan di Brenjonk itu,” tutup Slamet.
Akan tetapi, “funding tetep kita ambil kalo ada, funding kan gak selalu ada ya.” Salah satunya Dana Nusantara yang diinisiasi oleh WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia), AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara), dan KPA (Konsorsium Pembaharuan Agraria), “kita minta dana dari Dana Nusantara itu dalam rangka supaya kita menjaga ALAS ini semakin bagus,” tutup Slamet.
Sejauh ini, sudah terdapat bantuan dari program KLHK yaitu Bantuan Pengembangan Perhutanan Sosial Nusantara (BangPeSoNa) itu untuk tanaman 50 persen dan ternak kambing 50 persen, selain itu program bantuan KBR (Kebun Bibit Rakyat).
Selain bantuan Slamet juga menyiapkan beberapa pendanaan yang berasal dari, “workshop, ada pelatihan, misalnya analisa vegetasi, analisa pengamatan burung, biotilik, itu sudah kita lakukan, dalam rangka supaya kita paham soal ekologi.” Selain itu di dalamnya terdapat, “Di dalamnya kita membuat kuliner organik dalam rumah edukasi.”
Salah satu targetnya ialah universitas, “Besok rencananya kita mau ketemu dengan Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya, dari yang kehutanan (agroforestri), kita ajak untuk Program Merdeka Belajar di sini” ucap Slamet.
Keempat, terakhir ialah kampanye. “Kita baru sedikit diliput media,” ucap Slamet, “kemarin ada Thoriq, dari Times Indonesia.” Akan tetapi ke depannya KTH ALAS akan memanfaatkan sosial media untuk memberitahu kepada masyarakat luas.
Selain kampanye program, KTH ALAS juga melakukan kampanye advokasi, “kemarin (09/03/23) kita baru audiensi dengan bupati (Mojokerto).” Audiensi tersebut berkaitan dengan percepatan Izin Hutan Kemasyarakatan (HKM) yang dikeluarkan oleh KLHK, termasuk KTH ALAS Trawas yang mengajukan izin tersebut.
Izin Hutan Kemasyarakatan tersebut, ditunjukan untuk pengelolaan hutan secara mandiri atau sepenuhnya oleh masyarakat, bukan bentuk kemitraan dengan Perhutani (Perusahaan Umum Perhutanan Negara) –seperti yang terjadi saat ini.
Slamet sedang menunjukan bibit yang baru saja ditanam (Adi/Kebijakan.co.id)
Semangat itu tumbuh dari rasa kepemilikan bersama, potret itulah yang menggerakkan masyarakat membangun PLTMH (pembangkit listrik bertenaga air berskala kecil) serta menjaga sumbernya, tirta (dibaca: air) dan hutan, dari sampah dan pembalakan. Betul memang, ide pengurangan emisi karbon datang jauh dari benua biru, akan tetapi, kalau masyarakatnya tidak mau –terlebih pemerintahnya–, akan menjadi hal yang sulit.
Dia harus tumbuh dan berkembang bersama masyarakatnya, lewat sumber-sumber pernghasilan, seperti perkebunan, wisata, pendidikan, hingga lapak-lapak yang bisa menjaga agar dapur rupah terus mengepul asapnya. Persis seperti pepatah ‘menyelam sambil meminum air’, sudah dapat energi bersih, masyarakatnya tergerak, ekonomi berjalan, alampun menjadi sehat.
***
Malang, Kebijakan.co.id – Jalan-jalan sore ditemani udara sejuk di perbatasan Malang Kota dan Kabupaten (12/12/22) sembari melihat sungai Brantas yang besar dan deras di akhir tahun, berdiri megah Stadium atau Dome Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) yang selesai didirikan 2005 ini. Kemegahan kampus ini tak hanya tampak pada fisiknya saja. Pun, begitu juga dengan prestasinya.
Tahun 2008 misalnya, UMM mendapatkan penghargaan Asean Energy Awards, sebabnya UMM memiliki swadaya energi sendiri melalui 2 PLTMH (Pembangkit Listrik Mikro Hidro), Sengkaling 1 yang dibangun tahun 2007 bersama Kementerian ESDM (Energi dan Sumber Daya Mineral) dan Sengkaling 2 yang dibangun tahun 2015.
Ditemani udara sore yang sejuk, sekitar jam 5, saya (Jurnalis Kebijakan.co.id) berjalan mendatangi kantor PLTMH Sengkaling 1 milik UMM ini yang tidak jauh dari Dome UMM, setidaknya mengecek apakah batang hidungnya terlihat atau tidak. Karena sore, tempat itu kosong melompong, dalam hati saya, “Sepertinya stafnya sudah pada pulang, besok pagi saya balik lagi.”
Paginya (13/12/2022), saya bertemu Adit, saya janjian untuk melakukan wawancara dengan pimpinan PLTMH UMM ke eseokan harinya.
Sembari kami berkenalan, saya bercerita tentang sore hari kemarin, “Iya, biasanya kita kerja dari pagi sampai sore jam 3, terkadang sampai malam kalau lagi trouble, kalau lagi hujan atau banyak sampah,” kata Adit (teknisi dan operator PLTMH UMM), pria berkulit sawo matang berseragam ala teknisi berwarna biru pada umumnya pada saat saya kunjungi di kantor (sekaligus workshop dan sarana pendidikan).
Kantor yang berlantai 2 tersebut, di lantai atas merupakan ruangan tamu di bagian depan sisi kiri gedung, dan tempat untuk staf di bagian kanan belakang gedung yang setengahnya dihilangkan untuk melihat kondisi di lantai dasar yang merupakan tempat generator mesin PLTMH Sengkaling 1 bekerja sekaligus tempat edukasi.
***
Diberkahi kondisi alam yang mendukung, melewati sungai Brantas dan kondisi topografi gunungan (tinggi ke rendah), membuat Kementerian ESDM melirik untuk menguji coba membangun PLTMH.
Pada awalnya proyek ini diinisiasi oleh Dosen UMM yang membuat studi kelayakan pada tahun 2000-2001 di daerah sengkaling tersebut, “Iya, ini awalnya hasil studi dosen, jadi UMM itu hanya tim pengkajinya (studi kelayakan), kita sediakan tempat dan lahan, dibangun dan diputuskan oleh ESDM,“ cerita Kepala Divisi PLTMH UMM saat ini, Machmud Effendy (14/12/2022), di mana kondisi topografi miringan dan mengalir air dari Sungai Brantas cukup besar, ditambah di atasnya terdapat bendungan.
Tahun 2008 selesai dibangun, PLTMH ini masih dikendalikan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian ESDM, namun selang beberapa tahun dikelola oleh UMM, tetapi masih dimiliki oleh ESDM. Hingga pada tahun 2020 diserahkan secara hibah kepada UMM secara kepemilikan oleh ESDM. “Iya, setelah 2020 sudah diserahkan kepada UMM, full milik UMM yang mengelola,” cerita Mahcmud kepada Saya.
Secara teknis, “awalnya PLTMH ini terhubung (interkoneksi) dengan PLN, namun karena arusnya (air sungai dikarenakan banjir atau kemarau) tidak stabil menyebabkan generator tidak siap, akhirnya ketika terhubung dengan PLN yang memiliki besaran yang stabil. Akhirnya generator kita yang rusak karena lebih besar dari PLN, dari hal itu tidak kerjasama (interkoneksi) dengan PLN lagi,” cerita Adit kepada Saya.
Setelah mengakhiri kerjasama dengan PLN, PLTMH UMM mengaliri swadaya untuk kegiatan perkuliahan UMM sendiri. Untuk diketahui PLTMH UMM saat ini mengaliri listrik kepada sebagain gedung UMM, tepatnya setengah GKB 4, lainnya mengaliri rusunawa (rusun mahasiswa), dan sebagian gedung perkantoran UMM.
Dan sampai saat ini, “UMM menjadi satu-satunya, bukan salah satunya, kampus yang memiliki PLTMH,” klaim Machmud kepada saya.
UMM menjadi satu-satunya, bukan salah satunya, kampus yang memiliki PLTMH.
Saya mencari tahu apa itu PLTMH? PLTMH sendiri menurut panduan singkat dari Kementerian ESDM, ialah, mengubah energi air yang terdapat pada air terjun menjadi daya yang berguna. Untuk mengalihkan aliran air, tinggi muka air sungai harus dinaikkan dengan penghalang (bendung). Aliran air diarahkan kepada bangunan penyadap dan saluran pembawa yang berada di sepanjang pinggang bukit.
Saluran pelimpah melindungi dari kerusakan akibat aliran air yang berlebihan. Lalu, diperlambat dan ditampung di bak penenang—air memasuki pipa pesat dan pertekanan yang mengalirkan air ke rumah pembangkit yang terdapat turbin.
Turbin sebagai pengubah tenaga di peralatan penggilingan atau pembangkit listrik berada. Kemudian, air dibuang kembali ke pipa atau saluran pembuangan jika menggunakan turbin aliran silang (pelton).
UMM dan Cita 1000 PLTMH di Indonesia
Saya diajak berkeliling melihat PLTMH Sengkaling 1, sambil melihat beberapa siswa SMK dan SMA yang hadir secara rombongan untuk belajar. “Iya selain untuk mengaliri listrik, di sini juga sarana edukasi,” cerita Adit, yang tampaknya kebingungan karena di hari itu banyak tamu yang datang.
Setidaknya saya melihat kurang lebih 5 sekolah SMK atau SMA sudah menunggu di luar untuk melihat dan belajar langsung terkait PLTMH.
Machmud bercerita PLTMH UMM dikunjungi sekolah-sekolah dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi, “bahkan tingkat S3 untuk penelitian,” satu minggu, “bisa 2 sampai 3 kali dikunjungi,” tambah Mahcmud.
Layaknya Ahmad Dahlan muda yang sedang mengajar dengan bangku dan meja ketika awal abad 1900-an dengan ‘mendobrak’ sistem kolot dan mulai menyelaraskan dengan modernisasi. Sama halnya ketika saya melihat Adit sedang menjelaskan PLTMH melalui TOA-nya kepada siswa yang duduk. Mengajarkan energi masa depan, energi yang bersih, dan yang tidak akan habis kecuali kita merusak sumbernya.
Ketika Adit menjelaskan kepada anak-anak SMA dan SMK, Machmud, Kepala Divisi PLTMH, yang nampaknya rela menemui saya di saat jam-jam kuliah Fakultas Teknik UMM.
Ketika Machmud mulai menceritakan sejarah pembangunan PLTMH. Di tengah pembicaraan, terdapat satu hal yang menarik, ialah UMM memiliki cita-cita membangun 1000 PLTMH, “Kita sudah punya titik-titik daerah mana saja di Indonesia yang cocok dibangun PLTMH,” UMM melakukan studi kelayakan atas daerah-daerah tersebut, atas ketinggian dan jumlah air.
Hanya saja menurutnya, “cumakan, tergantung kepada pemerintah dan swasta yang ikut andil dalam (pembangunan) PLTMH ini, kalau kita sih sudah siap sebenarnya.” Rencana ini termasuk di Kota Batu, yang merupakan kawasan dataran tinggi dibandingkan Kota Malang.
Terkait pemetaan titik-titik potensi, saya diceritakan oleh Direktur IBEKA (Inisiatif Bisnis dan Ekonomi Masyarakat), Sapto Nugroho (25/12/2022), bahwa pada tahun 2004 terdapat program yang diprakarsai Kedutaan Besar Jepang yang dilaksanakan oleh Kementerian Koperasi untuk mencatat data potensi sumber energi baru, termasuk air terjun di daerah kabupaten dan desa-desa. Lalu, Kementerian Koperasi meninjau langsung lokasi tersebut.
Senada dengan itu, Direktur WALHI Jawa Timur, Wahyu Eka Setiawan (26/12/2022) dalam pesan tertulisnya, dalam hal ini mendukung pemetaan sumber potensi energi terbarukan yang ramah terhadap ruang hidup seperti PLTMH dan berpotensi mendorong kemandirian desa.
Bukan omong kosong, UMM berhasil memfasilitasi dan membangun 2 PLTMH yang diinisiasi masyarakat, tepatnya PLTMH Sumber Maron yang selesai dibangun tahun 2012 dan PLTMH Broon Pring yang dibangun tahun 2019.
“Keduanya datang ke kami, terkendala teknisi dan dana, kami bantu,” UMM menyediakan tim ahli untuk mengkaji dan membuat studi kelayakan, sekaligus mencari dana, “Kita carikan CSR (Corporate Social Responsibility) dari BNI (untuk PLTMH Broon Pring) dan lembaga donor internasional (untuk PLTMH Sumber Maron).”
Di akhir, mahasiswa S3 yang juga dosen ini menjelaskan, “PLMTH UMM sebagai edukasi energi terbarukan untuk masa yang akan datang, apalagi pemerintah (dan negara-negara lainnya) punya target 2060 net zero emissions,” ungkapnya.
Senada dengan itu, Suwigyono, yang merupakan inisiator PLTMH Sengkaling 1, yang juga peneliti di bidang Perencanaan Jaringan Pipa Air Minum dan Bendungan Kecil dan Energi dan dosen UMM ini, dilansir dari Antara mengatakan, “Ketersediaan bahan bakar fosil, seperti minyak bumi dan lainnya semakin menipis. Sebagai antisipasi, salah satu teknologi yang bisa digunakan adalah mengembangkan teknologi Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH).”
Komitmen ini juga disampaikan oleh Pemerintah dalam siaran persnya, Kementerian Koordinator (Kemenko) Bidang Perekonomian (25/10/2022) memberikan pernyataan komitmen bahwa Indonesia pada tahu 2060 atau lebih cepat untuk mencapat net zero emissions. Sebuah kondisi di mana jumlah emisi karbon yang dilepaskan ke atmosfer (umumnya disebabkan energi fosil) tidak melebihi jumlah emisi yang mampu diserap oleh bumi.
“Hanya ada satu kunci untuk memastikan keberhasilan transisi energi, yaitu kerja sama dan kemitraan. Publik, swasta, dan BUMN harus memiliki andil dalam proyek ini,” tutup Airlangga, Menko Perekonomian.
Sebelum saya mengetahui di UMM terdapat PLTMH, saya melakukan riset energi baru terbarukan di Kota Batu, Kota Wisata yang sejuk dan indah ini, tampaknya belum tersentuh PLTMH, agaknya aneh karena kondisi geografis begitu mendukung, daerah pegunungan dengan air yang mengalir cukup deras.
Tahun 2021 direncakan pembangunan PLTMH yang diinisiasi oleh PT Pembangkitan Jawa Bali (PT PJB) bekerjasama dengan UMM, di tiga titik, Desa Torongrejo (jaringan irigasi kedang klutuk 1), Desa Sidomulyo (jaringan irigasi perambatan kanan), dan Kelurahan Temas (jaringan irigasi kedang klutuk 2).
Saya membaca berita yang dilansir Radar Malang (2/4/2021), proyek ini akan selesai pada tahun yang sama, “Insyallah, pada bulan Mei dan Juni selama satu bulan sudah selesai, sebelumnya Kota Batu belum punya sistem semacam itu.” Kata Kepala Bidang Sumber Daya Air dan Jaringan Irigasi Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Kota Batu kala itu, Suwoko.
Menurutnya (2/4/2021), PT PJB memiliki target pembangunan 10 ribu titik PLTMH. Di setiap titiknya membutuhkan 300 juta, jika target di kota Batu terdapat 3 titik, berarti PT PJB mengucurkan 900 juta untuk Kota Batu.
Namun, setahun setelahnya, rasa penasaran saya mengantarkan kepada gedung Balai Kota Batu yang megah berwarna putih tersebut, sebab sudah hampir setahun (setelah berita itu terbit) tidak ada perkembangan. Saya mencoba mengirimi surat kepada Bidang Sumber Daya Air Dinas PUPR (Pekerjaan Umum dan Penataan Kota) Batu (12/12/2022).
Satu hari setelahnya (13/12/2022), saya dihubungi melalui telepon, bahwa Kepala Bidang Sumber Daya Air yang baru menduduki jabatan tersebut, “tidak mengetahui kalau ada kerjasama dengan PT Pembangkitan Jawa Bali, tadi saya keliling (kantor dinasnya) untuk bertanya apakah ada kerjasama dengan ini (PT PJB) atau tidak.”
“Memang ada rencana pembangunan PLTMH di beberapa titik di Kota Batu bekerjasama dengan UMM, namun tidak ada kabar kelanjutannya.”
Kepala Dinas tersebut mengira bahwa PT PJB melihat kondisi air sungai Kota Batu tidak menentu, “terkadang musim kemarau kecil, kalau musim hujan (alirannya) besar.” Selain itu menurutnya, “Sektor energi itu sekarang di bawah kewenangan dinas provinsi, termasuk air ini.”
Sayapun mengkonfirmasi UMM sebagai pihak yang tercantum dari berita tersebut, “Iya, memang ada kerjasama program 1000 PLTMH di Indonesia,” Namun, “Secara resmi belum (bekerjasama),” menurut Machmud.
Artinya UMM dan PT PJB belum memiliki perjanjian khusus dalam kerjasama pembangunan PLTMH di Kota Batu, hanya konsultasi (studi kelayakan) dan, “belum ada bantuan berbentuk dana,” tutupnya.
Untuk menelusuri keterbengkalaian program bagus ini, saya mencoba mencoba menghubungi PT PJB dengan telefon dan surat resmi (13/12/2022), teleponnya terangkat namun hanya sampai customer service setelah disambungkan kepada yang berwenang, tertutup.
Sementara surat elektroniknya belum mendapat respon dan jawaban. Pun, informasi mengenai program bagus ini dari keterangan resmi melalui situs resminya tidak ada.
Selain mengkonfirmasi PT PJB, saya juga berusaha menghubungi Dinas ESDM (Energi dan Sumber Daya Mineral) Jawa Timur, yang berwenang dalam hal energi di Jawa Timur. Saya berangkat ke kota ‘panas’ arek suroboyo, dari Malang ke gedung sementara Dinas ESDM Jawa Timur di daerah Wonokromo.
Namun karena terkendala kesibukan beberapa atasan Dinas ESDM, wawancara tersebut diundur hingga akhirnya melalui aplikasi Zoom (28/12/22).
Menurut Oni Setiawan, Kepala Bidang Energi Dinas ESDM Jawa Timur, “Batasan-batasan terkait pengerjaannya, jika PLTM (Pembangkit Listrik Tenaga Mikro) di atas 1 MegaWatt (1000 KiloWatt) dibangun PT PJB (Pembangkitan Jawa Bali) itu kewenangan pemerintah pusat.” Terkait PLTMH yang besarannya 0-100 KiloWatt, “memang kewenangannya daerah, dikerjakan daerah,” ungkap Oni.
Program 10.000 PLTMH milik PT PJB ini merupakan proyek besar. Dan izinnya tentu dari pemerintah pusat yang didelegasikan kepada PT PJB (dalam hal ini PT PLN). Oni juga menekankan, “ketika mereka (PT PJB) membangun, tidak ada koordinasi dengan daerah, mereka melaksanakan itu ke lokasi masing-masing. Kewajiban itu dilaksanakan kepada DJK (Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan) PLN.”
Tentu bertabrakan dengan Pasal 8 Peraturan Menteri ESDM Republik Indonesia nomor 39 tahun 2017, Pengusulan kegiatan fisik pemanfaatan energi baru terbarukan dilaksanakan berdasarkan permohonan daerah provinsi kepada menteri melalui jenderal atau program nasional, kementerian, atau kerja sama antara kementerian dengan lembaga lainnya.
Di akhir, Oni menjelaskan, “Perlu ada perbaikan izin-izin (terkait) pengelolaan energi.” Perbaikan tersebut di antaranya, perincian kebijakan aturan dan perincian informasi terkait pengelolaan energi tersebut.
Selain menggali informasi dari Dinas ESDM Jawa Timur, saya berkesempatan bertemu salah satu konsultan pembiayaan energi baru terbarukan di Pelatihan Membangun Narasi Transisi Energi (30/1/2023), Josep Bely Utarja.
Kepada saya dia menjelaskan terkait gagalnya proyek PT PJB dalam pembangunan PLTMH di Kota Batu.
Hal tersebut, menurutnya bisa jadi karena jumlah proyeknya tidak terlalu besar. Untuk diketahui PT PJB yang dalam hal ini sahamnya dikuasai oleh PLN, memiliki 4 skema pembiayaan.
“Ada beberapa jalur, keterlibatan (PLN) pembiayaan (keuangan) di pembangkit (listrik).”
Jalur pertama, PLN menginisiasi tender (proyek pengadaan) sendiri. “Artinya, punyanya PLN sendiri.”
Jalur kedua, pembiayaan melalui swasta atau IPP (Independent Power Producer).
Jalur ketiga, pembiayaan untuk pengadaan di kawasan industri, yaitu Private Power Utility (perusahaan listrik swasta) untuk menyediakan (listrik) di kawasan tertentu.
Jalur keempat, pembiayaan atas operasi untuk digunakan sendiri, “duitnya sendiri, untuk sendiri juga.”
Jalur kelima, pembiayaan untuk skala kecil, bisa koperasi, bisa BUMDES, “lembaga-lembaga daerah bisa terlibat di sana, dan itu akan lebih cocok (untuk PLTMH yang dibangun oleh masyarakat sendiri).”
***
Terdapat satu hal yang bisa dipelajari dari gagalnya proyek PLTMH tersebu, meski dialiri air yang deras, jika inisiatif masyarakat tidak membangun dari bawah maka hal tersebut akanlah susah.
Terlebih ancaman kerusakan akibat pembangunan hotel, seperti yang terjadi di Mata Air Umbul Gemulo. Saya mencoba menghubungi WALHI Jawa Timur (26/12/2022) untuk mencoba memverifikasi kondisi mata air di Kota Batu, menurut Direktur WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) Jawa Timur, Wahyu Eka Setiawan, dalam keterangan tertulisnya mengatakan Kota Batu merupakan daerah yang potensial membangun kemandirian energi di sektor desa.
Namun, menurutnya, “Permasalahan tata ruang di Kota Batu, melalui RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) versi revisi, tidak memiliki kehendak untuk menyelematkan mata air di Kota Batu.” Sebab menurutnya masih memfasilitasi pembangunan fisik berupa hotel yang masif dan mengeksploitasi air itu sendiri.
WALHI mencatat, sejak 2011 hingga 2017 dari 111 mata air di Kota Batu tersisa hanya 53 mata air, “berkurang 50%,” menurut Direktur WALHI Jawa Timur tersebut. Kedepan juga WALHI akan melakukan pengecekan ulang terhadap mata air di Kota Batu.
Pun, dalam kajian terbarunya WALHI di Kota Batu tahun 2022, mencatat menyusutnya lahan hijau secara signifikan, pada tahun 2012 tercatat 6.034,62 hektare lahan terbuka dan turun pada tahun 2019 menjadi 5.279, hekatare. Sedangkan kawasan resapan dan tangkapan air di kawasan hutan primer menghilang 348 hekatare dalam 20 tahun terakhir.
Dalam kesimpulannya mengatakan pemerintah Kota Batu dalam melestarikan lingkungan hidup belum berhasil. Komitmen petinggi daerah dan ketaatan pada peraturan yang menjadi permasalahan. Menurut peneliti jurnal tersebut, upaya pelestarian justru tumbuh dari masyarakat.
Titik tengahnya, bisa menerapkan PLTMH yang juga dijadikan wisata, seperti di Broon Pring. Dilansir dari Mongabay, PLTMH Broon Pring selain mengairi sawah, juga memenuhi kebutuhan sehari-hari warga, termasuk kawasan wisata Broon Pring.
Untuk mencari informasi tambahan dari lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang energi, yang sudah berpengalaman yaitu IBEKA (Inisiatif Bisnis dan Ekonomi Kerakyatan) yang sudah berdiri dari tahun 1979, saya menghubungi dan khusus bertanya terkait potensi pembangunan PLTMH di Kota Batu (25/12/2022).
Menurut Sapto Nugroho, mendukung baik inisiasi pembangunan PLTMH di Kota Batu, “tidak masalah mau dibangun di dalam kota sekalipun, baik-baik saja,” akan tetapi tujuannya akhirnya bukan kepada pembangkit listriknya, akan tetapi tergeraknya ekonomi rakyat, dalam hal ini melalui PLTMH.
“Listrik bukan semata-semata kita membangun jaringan, tetapi juga sebagai alat untuk memberdayakan membangun desa,” tutup Sapto kepada saya.
Sapto Nugroho sedang menjelaskan Energi Baru Terbarukan (Adi/Kebijakan.co.id)
Energi dari Arek Jawa Timur untuk Energi Terbarukan
Berbeda jika berasal dari inisiatif masyarakat, seperti PLTMH Boon Pring yang dikelola oleh BUMDES Kertoraharjo dan PLTMH Sumber Maron yang dikelola oleh HIPPAM (Himpunan Pengguna Air Minum) Karangsuko yang bekerja sama dengan UMM. PLTMH ini berhasil dibangun.
“PLTMH Sumber Maron dan Boon Pring, itu awalnya (inisiatif) dari masyarakat,” cerita Machmud.
Sebabnya, sesaat proses liputan ini saya mencari data PLTMH di Jawa Timur menggunakan data terbuka yang berasal dari Google Maps dan Google, lalu diverifikasi berita, jurnal penelitian, dan dokumen-dokumen resmi lainnya.
Pencarian ini, nantinya mengidentifikasi ‘masih eksis’ atau tidak, lalu mencari besaran arus listrik, sejarah pembangunan, pengelola, dan kegunaan dari PLTMH tersebut.
Saya menemukan 20 PLTMH di Jawa Timur yang teridentifikasi.
Mayoritas dari PLTMH yang berhasil dan bertahan hingga saat ini diinisiasi dan dikelola sendiri oleh masyarakat. Tercatat hanya 1 PLTMH di Jawa Timur yang dikelola perusahaan dan 2 dikelola oleh universitas. PLTMH yang dikelola oleh perusahaan yaitu PLTMH Desa Taman Sari, yang dikelola oleh PT Akasa Eko Energi, sedangkan universitas dimiliki UMM.
Menurut Sapto Nugroho, Direktur IBEKA, jalan tengah jika dikelola perusahaan ialah, “berilah masyarakat saham di situ.” Sebab menurutnya, “Supaya hasil dari penjualan listrik dari sumber daya alam lokal itu bisa memberi masukan bagi orang lokal di mana pembangkit itu dibangun, tidak semua keuntungan mengalir ke kota saja.”
Sedangkan untuk pengelolaan oleh masyarakat ini umumnya berbentuk paguyuban atau perkempulan yang dibentuk khusus untuk mengelola PLTMH, lainnya dikelola oleh BUMDES (Badan Usaha Milik Desa).
Pun kegunaanya tidak jauh dari aktivitas warga, misalnya untuk pengolahan hasil perkebunan, persawahan, pariwisata lokal, hingga aktivitas warga sehari-hari.
Misalnya, saya mencatat PLTMH Gunung Sawur 1 dan 2 di Lumajang yang diinisiasi oleh Sucipto dan dikelola oleh masyarakat desa di sana dan kembali kepada kebutuhan warga juga. Selain itu ada, PLTMH Jamus 1, 2, dan 3 di Ngawi yang diinisiasi masyarakat dibantu dana dari LDII (Lembaga Dakwah Islam Indonesia) yang dikelola oleh masyarakat untuk keperluan pabrik dan perkebunan teh serta fasilitas warga desa di sana.
Dalam hal ini, Wahyu Eka, Direktur WALHI Jawa Timur mengatakan kepada saya (26/12/2022), sangat setuju kalau PLTMH dikelola mandiri oleh Desa, baik itu melalui koperasi atau unit khusus ekonomi desa.
Selain itu, “Keberadaan PLTMH di tengah masyarakat, mengharuskan (masyarakat) untuk menjaga ekosistemnya, karena jika debit menurun atau sumbernya kering maka mereka kehilang energi (listriknya).”
Persis seperti apa yang diceritakan oleh Zainudin (HIPPAM Karangsuko) pada PLTMH Sumber Maron yang dilansir dari Mongabay, bahwa pada tahun 2014 debit air sempat anjlok atau turun drastis, sebabnya pohon-pohon dan rimbunan bambu ditebangi untuk lahan parkir wisata. Setelah itu, ditanami kembali dengan pohon besar seperti beringin, randu, dan mahoni yang tetap harus dijaga.
Selain itu, juga bisa memberikan alasan mengapa masyarakat tidak boleh membuang sampah di sungai, sebab kendala PLTMH Sengkaling salah satunya yaitu sampah, “Masyarakat tidak disiplin membuang sampah, ya jadi kotor,” tutur Machmud kepada saya cerita kendala PLTMH Sengkaling. Dalam hal ini, menurut Wahyu, energi terbarukan harus sejalan dengan ketahanan ekologis.
Kondisi tersebut, didukung Penelitian baru-baru ini yang dilakukan Ecoton (Ecological Observation and Wetland Conservation) yang melakukan pengamatan mikroplastik di 68 sungai strategis di Indonesia, misalnya. Provinsi Jawa Timur, merupakan peringkat pertama tingkat tercemar mikroplastik (dari sampah plastik), yang di dalamnya terdapat Sungai Brantas.
Dalam kesimpulannya, menyatakan akses listrik yang dikelola sendiri dan murah ini, telah mendorong ekonomi masyarakat, keahlian masyarakat, pengetahuan, tumbuhnya lapangan kerja, kualitas pendidikan, serta aktivitas kolektif masyarakat, seperti pengajian dan rapat pada malam hari, serta yang terpenting ialah gotong royong menjaga lingkungan.
Dampak ini juga dilihat oleh IBEKA. Sapto Nugroho, menceritakan kepada saya, “beberapa, (listrik dari) PLTMH dialirkan kepada puskesmas dan sekolah-sekolah yang membutuhkan listrik untuk kesehatan dan belajar.”
Hal tersebut juga karena dikelola oleh koperasi yang memiliki manajemen dan pengelolaan yang baik, “itu juga perlu (manajemen),” cerita Sapto, yang nantinya hasil keuntungan bisa dialokasikan untuk perawatan generator sehingga berkelanjutan.
Selain manajemen operasional PLTMH. Hal lainnya yang perlu diperhatikan, ialah sumber daya manusia atau operatornya, sebab mereka, “Tiba-tiba mereka berhenti karena diterima kerja di tempat yang lebih menguntungkan,” Cerita Oni Setiawan menggambarkan PLTMH yang tidak berjalan di masyarakat.
Tujuan-tujuan permberdayaan yang seperti ini, yang memang menjadi tujuan dari IBEKA, ketimpangan antara kota dan desa bisa dikikis dengan pemberdayaan masyarakat dengan teknologi yang tepat guna, salah satunya melalui PLTMH. “Listrik dijadikan sebagai alat untuk menyejahterakan masyarakat,” cerita Sapto Nugroho kepada saya.
Hal tersebut diartikan tujuannya bukan membangun PLTMH, akan tetapi untuk membuat masyarakat sejahtera, dengan melakukan pemberdayaan masyarakat. “Khususnya prioritas kepada daerah 3T (Terdepan, terpencil, dan tertinggal),” ungkap Sapto.
Listrik bukan semata-semata kita membangun jaringan, tetapi juga sebagai alat untuk memberdayakan membangun desa.
Sapto Nugroho (Direktur Eksekutif IBEKA)
Sejalan dengan cita-cita IBEKA, pada Pasal 5 Peraturan Menteri ESDM Republik Indonesia nomor 39 tahun 2017, dijelaskan bahwa kegiatan fisik pemanfaatan energi baru bertujuan salah satunya untuk mendorong pertumbuhan dan pemerataan pembangunan infrastruktur keenergian di wilayah terpencil, tertinggal, perbatasan, kepulauan kecil dan terluar, pasca bencana, atau pasca konflik.
***
Selain inisiatif dari warga, inisiatif dari pemerintah juga ada. Salah satunya hadir melalui Dinas ESDM Jawa Timur yang mengajak seluruh lembaga daerah yang resmi bekerjasama, “Kita semua bekerjasama dengan semua steakholder di Jawa Timur, yaitu lembaga resmi,” cerita Oni Setiawan menunjukan komitmen Pemerintah Provinsi Jawa Timur untuk energi terbarukan.
“Mereka kita ajak untuk memberikan peran transisi energi terbarukan,” PLN melalui CSR-nya telah membangun PLTMH di Probolinggo. Kemudian, “Kita juga telah membangun PLTMH di Madiun.”
Sumber Air untuk Energi Baru di Jawa Timur
Transisi energi ini begitu penting. Saya memiliki pengalaman di tahun 2019 tinggal bersama masyarakat Celukan Bawang yang hidup berdampingan dengan PLTU (Pembangkit Listrik Tenaga Uap).
Kondisi udara di sana, sungguh sesak, ditambah tinggal di pesisir yang udaranya cukup panas. Terkadang terdengar dentuman dikala bongkar muat batu bara, menggangu telinga dan rasa takut warga, namun tidak untuk yang ‘menikmati’ di baliknya, seperti pengusaha batu bara, pengusaha PLTU, dan pemerintah cum pemilik batu bara.
Sudah sepatutnya mempersiapkan dari dini untuk transisi dari PLTU tersebut. Sebab menipisnya batu bara yang diprediksi akan habis 20-30 tahun lagi. Serta dampak di sekitarnya yaitu kerusakan hutan yang berakibat pemanasan global. Akibat pertambangan yang masif, tanpa penanaman kembali.
Sebagai salah satu provinsi terbesar di Indonesia, Jawa Timur sudah seharusnya memiliki komitmen transisi energi secara sungguh-sungguh.
Saya ditunjukan oleh Oni Setiawan bahwa Pemerintah Provinsi Jawa Timur mendapatkan penghargaan terbaik implementasi RUED (Rencana Umum Energi Daerah), selain itu juga, “Di Oktober kemarin, kita mendapatkan penghargaan terbaik implementasi transisi energi dari Dewan Energi Nasional,” cerita Oni Setiawan kepada saya. Tentu, menjadi kabar baik, akan tetapi tetapi harapan itu juga bisa muncul dari masyarakat.
Di Oktober (2022) kemarin, kita mendapatkan penghargaan terbaik implementasi transisi energi dari Dewan Energi Nasional
Oni Setiawan (Kepala Bidang Energi Dinas ESDM Jawa Timur)
Secercah harapan itu muncul, melalui aktivitas kecil sebuah generator yang bergerak dari air, yang dinamakan PLTMH. Sedikit dan kecil memang, tapi menurut Sapto Nugroho, “yang kecil-kecil seperti ini kalau dibangun pada akhirnya akan bisa mempunyai kontribusi yang bagus juga untuk jaringan (listrik) nasional.” Sebuah kalimat optimis, dari pria paruh baya yang sudah puluhan tahun bergelut mengabdi kepada masyarakat.
Titik-titik kecil itu saya telusuri, jika dihitung, untuk PLTMH (0-100 KiloWatt) sendiri di Jawa Timur terdapat 20 yang teridentifikasi dengan total KW-nya mencapai 552 KiloWatt.
Sedangkan PLTM (Pembangkit Listrik Tenaga Mikro atau lebih besar Watt-nya dibandingkan PLTMH yaitu 1000-3600 KiloWatt) di Jawa Timur terdapat 9, dengan total KW-nya mencapai 21.520 KiloWatt.
Sedangkan PLTA (Pembangkit Listrik Tenaga Air yang besar Watt-nya lebih besar yaitu 4.500-105.000 KiloWatt) di Jawa Timur terdapat 11, dengan total KW-nya mencapai 209.500 KiloWatt.
Saya mencatanya melalui data terbuka yang diambil dari berbagai sumber: berita, penelitian, google maps, dan keterangan-keterangan sumber praktisi.
Walaupun julmlah pembangkit listrik bertenaga air cukup banyak. Hal tersebut dikarenakan beberapa faktor. Pertama, faktor wilayah, karena masih pulau Jawa yang infrastrukturnya mudah dijangkau. Kedua, dibantu sumber daya manusianya, karena kualitas pendidikan dan literasi yang baik.
Hal tersebutlah yang membuat Sapto Nugroho, Direktur IBEKA, memberikan catatan, “Saya lebih setuju jika pembangunan PLTMH (atau energi alternatif skala kecil yang mudah diaplikasikan) diprioritaskan untuk daerah di luar Jawa, ke daerah yang belum terlistriki gitu lho,” tegas Sapto. “kalau kita melihatnya (pakai) asas pemerataan dan asas keadilan, saya melihatnya seperti itu.”
Catatan lainnya datang dari Wahyu, Direktur WALHI Jawa Timur terkait PLTA yang memakan banyak ruang dan membutuhkan bendungan.
Bahwa pembangunannya tidak boleh menabrak hak asasi manusia, yaitu menggusur tempat tinggal warga dan sumber mata pencaharian. “Semisal, di Nganjuk untuk pembangunan bendungan Semantok yang juga akan difungsikan sebagai PLTA memakan korban sekitar 400 warga di Desa Tritik dan Sambikerep,” ungkap Wahyu dalam keterangan tertulisnya.
Pelaksanaan EBT seharusnya tidak merampas hak orang, dijalankan secara demokratis dan berkelanjutan.
Wahyu Eka Setiawan (Direktur WALHI Jawa Timur)
Wahyu menyarankan pembangunan energi terbarukan tidak bertolak kepada prinsip ‘human well being’ yang menjadi pegangan dalam prinsip ekonomi hijau dan berkelanjutan (green and sustainability economic). Dan harus mendapatkan persetujuan dari masyarakat yang terdampak. “Pelaksanaan EBT seharusnya tidak merampas hak orang, dijalankan secara demokratis dan berkelanjutan,” tutup Wahyu.
Setelah meriset data pembangkit listrik tenaga air di Jawa Timur selesai, saya kembali merasakan dinginnya Malang di akhir tahun. Yang mungkin, dingin tersebut akan hilang jika kita tidak menjaga lingkungan. Bisa saja, Malang akan menjadi panas seperti Surabaya nantinya.
Air Sudah Seharusnya Dirawat. Sebab, Itu Merupakan Masa Depan Energi Kita. Tak Ada Pilihan Lain. Jika Tidak, Kita Akan Kualat.
Catatan Redaksi Kebijakan.co.id
*Artikel diperbarui tanggal 31 Januari 2023 setelah mendapatkan konfirmasi tambahan dari Konsultan Pembiayaan Energi Baru Terbarukan terkait gagalnya proyek pembangunan PLTMH di Kota Batu dalam kegiatan Pelatihan Membangun Narasi Transisi Energi.
Jakarta, Kebijakan.co.id — Tidak jauh di bawah telunjuk patung pancoran di Selatan Jakarta. Perpustakaan yang baru berdiri Februari 2021 Baca di Tebet menggelar sebuah diskusi dan nonton bareng film Sangihe Melawan karya WatchDoc.
Di tengah hingar bingar –baik ekonomi maupun gaya hidup anak muda- Jakarta Selatan, masih ada yang peduli nasib saudara sedarah sebangsa, setanah air di ujung utara Indonesia, bahkan “Lebih dekat 4 jam ke Filipina” menurut moderator acara tersebut, Kanti W. Janis.
Diskusi yang menghadirkan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Lingkungan, Greenpeace, dan LSM yang fokus di advokasi hukum, Kontras. Dan beberapa tokoh Sangir –ucapan untuk masyarakat Suku Sangir, Pulang Sangihe- yang berkumpul menjadi SSI (Save Sangihe Island) dan Diaspora Sangir di pelbagai daerah di Indonesia ataupun luar Indonesia.
Peserta diskusi sedang nonton bareng diskusi, dengan suasana sedih karena perampasan tanah di Pulau Sangihe oleh PT Tambang Mas Sangihe (Nonton Bareng Sangihe Melawan/Adi/Kebijakan.co.id)
Diskusi dan nonton bareng tersebut digelar dengan judul Sangihe Melawan Premanisme Negara. Judul yang sama dengan materi diskusi Solomon B. Ponto, seorang Purnawirawan Tentara Nasional Indonesia Angakatan Laut (TNI AL), yang diakhir jabatannya menjabat Kepala Badan Intelejen Strategis (BAIS).
Solomon, yang juga menempuh pendidikan hukum ini, menjelaskan dalam diskusi dengan membongkar kejanggalan hukum positif (hukum yang berlaku) di Indonesia beserta putusan penegak hukum dan keputusan eksekutif.
Solomon dengan latar belakang militernya, menganalogikan Kuda Kayu dengan Kuda Troya yang diambil dalam kisah Perang Troya sebagai strategi untuk menembus tembok musuh berupa ‘hadiah’ patung kayu berbentuk kuda dari Yunani, akan tetapi Kuda Troya tersebut berisikan pemberontak untuk masuk ke dalam Kerajaan Troya tanpa perlu perang.
Kuda Kayu berwujud keputusan, putusan, izin, dan aturan hukum yang bodong –bersifat jelek- untuk melancarkan proyek mengeruk emas di Sangihe oleh PT TMS (Tambang Mas Sangihe), mulai dari tingkat kementerian hingga pejabat lokal setingkat provinsi.
Diakhir dia menyimpulkan, salah satu Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 163.K/MB.04/DJB/2021 tanggal 29 Januari 2021 tentang Persetujuan Peningkatan Tahap Kegiatan Operasi Produksi Kontrak Karya PT Tambang Mas Sangihe merupakan bentuk nyata dari Premanisme Negara, seperti judul materi awal.
Akan tetapi dari informasi terbaru dari narasumber warga diakhir diskusi, wujud premanisme lainnya hadir berbentuk tambang-tambang emas ilegal yang dilindungi aparat setempat.
Selain itu, menurut pimpinan PT TMS, Terry Filbert dalam wawancaranya dengan BBC, mengatakan ada tambang-tambang emas ilegal yang mendapatkan dokumen area emas berada di pinggir pantai. Tambang emas ilegal tersebut berusaha membayar pemberitaan negatif untuk menjadikan masalah PT TMS isu nasional, sehingga hanya mereka yang dapat menikmati.
***
Yang menjadi perhatian lebih adalah bagaimana orang-orang Sangir, yang terletak dihalaman terluar Indonesia ini, memilih untuk tetap percaya terhadap negara –walaupun dikhiniati oleh Kuda Kayu berbentuk PT TMS- dengan menempuh jalur hukum di PTUN (Peradilan Tata Usaha Negara) berupa gugatan Keputusan ESDM dan Izin AMDAL (Analisis Dampak Lingkungan), serta masih mau dan bersusah payah untuk dialog dengan pelbagai kementerian mulai dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), dan tentu Kementerian ESDM.
Semua langkah yang manusiawi masih dilakukan, “walaupun cukup kesal dengan perlakuan di lapangan yang terus mengirimkan tronton –truk besar- berisikan alat berat melalui kapal-kapal yang seharusnya tidak diperbolehkan semenjak Putusan PTUN Manado terbit,” ujar Jan Takasihaeng.
Dan mungkin, “Yang terburuk adalah disintegrasi” adalah kata yang terucap oleh salah satu narasumber. “Kita lebih sering menikmati produk Filipina di sana, ketimbang dari Indonesia.” Cukup tegas untuk sebuah gambaran sederhana masyarakat di Sangihe.
“Yang terburuk adalah disintegrasi.”
Narasumber Diskusi
Jika dilihat penduduk Sangihe yang berhadapan konflik cukup dekat atau solid, karena memang isolasi alam dan keturunan yang sama (Suku Sangir), tidak seperti konflik Sumber Daya Alam di Jawa, Bali, dan Kalimantan, yang notabene banyak penduduk pendatang, dan potensi terpecahnya masyarakat akan sangat memungkinkan.
“Semua di sini menolak, dari gereja, hingga perguruan tinggi satu-satunya,” ujar Venetzia Andermora, Tokoh Perempuan Sangir, yang juga salah satu satu dari 56 perempuan yang menggugat terbitnya izin Amdal oleh Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Sulawesi Utara ke PTUN Manado, yang secara sederhana. Dengan semangat sederhana, ibu-ibu ini khawatir akan keberlanjutan hidup keluarga dan anak-anaknya jika alam rusak.
Keberlanjutan hidup masyarakat Sangihe ditopang dari laut, jika tinggal di pesisir dan berkebun, jika tinggal di dataran yang tinggi. Kehadiran kerukan tambang Emas di gunung-gunung Sangihe akan menimbulkan longsor karena vegetasi yang bolong.
Longsoran tersebut, jatuh ke laut –karena pulau tersebut berbatasan langsung antara laut dan dataran tinggi- menyebabkan karang-karang beserta ekosistem hutan mangrove juga akan rusak, sebabnya ikan jauh pindah ke tengah laut. Sumber penghasilan laut dan daratan tinggi sudah hilang sekaligus karena tambang emas.
Inilah yang disebut Solomon dan juga Rivan dari Kontras disebut dengan Eco-Genoside atau Genosida Lingkungan. Genosida sendiri istilah yang digunakan untuk menghapus suatu manusia secara masif berdasarkan suku, golongan, agama, ras, dan kelompok.
Upaya menghancurkan lingkungan di Pulau Sangihe adalah upaya menghancurkan sumber mata pencaharian dan juga tempat tinggal orang-orang Sangir. Disisi lain juga terancamnya flora dan fauna yang tinggal di dalamnya atau endemik.
Singkatnya, “Orang sebodoh apa yang mau menambang (menghancurkan) Pulau seindah ini (Pulau Sangihe).” Kata Afdillah dari Greenpeace. Kementerian yang berkantor di dekat persimpangan setelah Monumen Nasional menuju Bundaran Hotel Indonesia, Jawabnya –selaku yang mengeluarkan izin- dan PT TMS tentunya.
Orang bodoh menurut Afdillah itulah yang akan “Go To Hell” (Menuju Neraka) menurut perkataan Venetzia Andermora dalam film Sangihe Melawan.
Film Sangihe Melawan setidaknya berhasil menyampaikan pesan kampanye sosial terhadap kondisi di lapangan, yaitu penyelamatan Pulau Sangihe.
Pesan dalam film dokumenter tersebut, menurut Desak Putu, dkk. (2019) dalam penelitiannya tentang film dokumenter, ialah harus memiliki unsur visual (bisa dilihat) dan verbal (bisa didengar) yang menarik dan memiliki unsur observasi partisan yaitu membawa penonton merasakan situasi yang sama dengan yang ada di film.