Kebijakan.co.id – Liputan Advokatif
Adi Fauzanto-19/09/23 (23.00 WIB)-#18 Menit.
Read in English Language Version

Terancamnya kesehatan warga di pinggiran kali yang menggunakan air tercemar, ditambah Pemerintah yang tidak tegas, dan perusahaan nakal ada di baliknya.
***
Bekasi, Kebijakan.co.id – Suram. Ialah kata pertama yang pantas menggambarkan kondisi Kali Lemahabang (biasa disebut juga Cilemahabang) di Kabupaten Bekasi. Bertahun-tahun –terhitung sejak 2016— hingga saat ini (16/09/2023) sejauh pengamatan Jurnalis Kebijakan.co.id.
Masyarakat dibiarkan hidup berdampingan dengan limbah yang bau nan hitam pekat di salah satu kali –yang juga menjadi sumber kehidupan akan kebutuhan air— di daerah industri terbesar se-Asean. Perusahaan dan khususnya Pemerintah terkesan lepas tangan membiarkan limbah tersebut ada.
Sore hari (4/9/2023) dengan menggunakan sepeda motor, Jurnalis Kebijakan.co.id menyusuri jalan untuk pertama kalinya menuju Kali Lemahabang, dengan pemandangan yang timpang antara Grand Cikarang City –sebuah perumahan elite beserta jajaran ruko mewah— dan penduduk di sepanjang Kali Lemahabang, tampak seperti cuplikan film Parasite (2019) dengan kondisi yang persis berdampingan di Desa Karangraharja.
Bertemu dengan pemancing –yang memancing di air yang tercemar—, pemuda yang sedang mencuci sepeda motornya memanfaatkan air kali yang tercemar, beberapa masyarakat yang membersihkan diri menggunakan air yang tercemar, terlebih anak-anak yang berlarian di sepanjang jalan pinggir Kali Lemahabang. Pertanyaan yang muncul di benak pertama kali, mulai dari kapan Kali ini tercemar?

Mulai Tercemar
Jurnalis Kebijakan.co.id meilipir untuk membeli makan di sebuah warung, yang tampak airnya untuk mencuci piring, air tanah tersebut bercampur dengan limbah, walau masih terlihat bening. “Ini parahnya sudah 2 tahun terakhir,” cerita Ibu pemilik warung tersebut kepada Kebijakan.co.id (4/9/2023), “dulu sih pernah bersih, kalau itempun tidak lama, mulai parah pas covid-covid itu.” Ibu itu merupakan salah satu warga Desa Karangraharja yang tinggal di bantaran Kali Lemahabang.
Terkait dengan Kali yang sempat bersih, diceritakan juga oleh warga Desa Waluya, Rosiadi, yang sebelumnya juga tinggal di Desa Karangraharja selama 10 tahun.
Ia bercerita sembari melihat motor lalu lalang di samping Bendungan Kali Lemahabang. “Waktu dulu begini (tercemar), sempet didemo,” akhirnya, “sempat bersih pas waktu almarhum (Bupati Kabupaten Bekasi, Eka Supria Atmaja) masih hidup tuh, bersih itu, sampe ada seminggu, sampe bersih bener, nah setelah meninggal (di tahun 2021) (lalu) ganti (kepemimpinan), begini lagi (tercemar sampe sekarang),” cerita Rosiadi kepada Kebijakan.co.id (9/9/2023).
Jika dilihat lagi secara spasial, dari Google Earth mencatat Februari 2019 tidak tercemar dan berwarna coklat dan 2021 mulai menghitam (hijau kehitaman).
Dari keterangan Rosiadi dan keterbatasan Google Earth belum secara jelas menceritakan dan menampilkan awal mula tercemar. Untuk mencari tahu mulai dari kapan, Kebijakan.co.id mewawancarai Pengelola Bendungan Kali Lemahabang di bawah Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bekasi, “Ini sejak saya dipindahkan ke sini (Bendungan Kali Lemahabang), tahun 2018,” Kata Andre, petugas Operator Kali Lemahabang kepada Kebijakan.co.id (12/09/2023).
Sampai-sampai dia bingung, “Kok bisa seperti ini ya?” kata Andre sambil menceritakan kondisi penempatan operator bendungan sebelumnya yang lebih jernih di Bendungan Walahar, Karawang.
Kekagetan ini juga datang dari atasannya yaitu Sahrudin, Pengawas Operator Bendungan di Kabupaten Bekasi –termasuk di dalamnya Kali Lemahabang— di bawah Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bekasi. Ia menyampaikan kekagetan tersebut kepada Kebijakan.co.id (15/09/2023) saat pertama kali berkunjung ke Kali Lemahabang setahun yang lalu, “waduh kok Kali hitam begini dibuat mandi, apa tidak gatel?” Sebelumnya Sahrudin ditugaskan di induk pengelola Kalimalang, yang tidak tercemar parah seperti Kali Lemahabang.
Selain kekagetan, Andre juga mengkonfirmasi terkait dengan kondisi tercemarnya Kali Lemahabang, yang sempat bersih, “Waktu itu sempat bersih selama dua minggu sampai seminggu, abis itu balik lagi, yang pas hujan, jadi bau lagi,” dan kondisi parah akhir-akhir ini, “Hanya baru akhir-akhir tahun ini kondisinya terjadi pencemaran yang lama, sebelumnya hanya beberapa kali (waktu),” ucapnya kepada Kebijakan.co.id.
Terkait limbah turun bersamaan dengan hujan, hal tersebut juga dikonfirmasi oleh warga sekitar, Siti dilansir dari Antara (14/6/2023), “Jadi baunya itu pas musim hujan. Jadi kalau hujan, sepertinya limbahnya dibuang.”
Selain Siti, dikonfirmasi juga oleh warga lainnya, Adih, dilansir dari Tribun Bekasi (4/10/2021), “Beberapa hari lalu kan hujan pas malam, nah mulai dari situ besok paginya sudah berbusa.”
Pola yang terjadi selain hujan, ialah ketika malam hari. Salah seorang warga Desa Karangasih, Dien mengatakan yang dilansir dari Tribun Bekasi (4/10/2021), “Itu malam (hari) saya liat sendiri, awalnya ya bersih warna hijau, terus airnya surut, lama-lama air warna hitam datang kecampur.”
Pola tersebut dikonfirmasi oleh Peneliti Pusat Riset Lingkungan dan Teknologi Bersih, BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional), Ikbal (Dr. Ir. M.Eng), yang juga ahli dalam teknologi pengolahan air limbah anaerobik, ia menjelaskan kepada Kebijakan.co.id ketika ditemui di Puspiptek, Serpong (11/09/2023). Ia menjelaskan bahwasannya sungai mulai tercemar ketika hujan turun dan pada saat malam hari, “malam dia (industri nakal) buang (limbah), atau lagi hujan (limbah) di gelontorkan,” ceritanya terkait industri yang nakal saat membuang limbah.
Dari hal tersebut belum menjawab kapan pertama kali Kali Lemahabang mulai tercemar?
Pantauan Kebijakan.co.id terhadap pemberitaan yang ada, tercatat berita pertama tercemarnya Kali Lemahabang ialah pada bulan Januari, tahun 2017. Menurut Suwanda Halim, dikutip dari Antara (5/1/2017), selaku Supervisor Sungai dan Irigasi PJT II Lemahabang, mengatakan, “Bau menyengat dan warna hitam pada air itu, diketahui terjadi dalam beberapa bulan terakhir.” Berarti Kali Lemahabang tercatat tercemar sejak dari tahun 2016.
Untuk benar-benar memastikan sejak kapan tercemarnya, dugaan besar tersebut terdapat dalam data Dinas Lingkungan Kabupaten Bekasi. Kebijakan.co.id dalam hal ini sudah mengirim surat permohonan wawancara tertanggal 5 September 2023 untuk memverifikasi hal tersebut.
Tercemar
Untuk mengidentifikasi sungai tercemar, secara ringkas ICEL (Indonesian Center for Environmental Law) dalam bukunya Memulihkan Sungai Sebuah Panduan Umpan Balik dan Partisipasi Komunitas (2017), memberikan sebuah pertanyaan mendasar untuk mendekteksi bahwa suatu sungai mengalami pencemaran.
- Apakah air di sungai berwarna yang tidak wajar (selain berwarna bening)?
- Apakah air di sungai berbau (berbau tidak sedap)?
- Apakah pernah melihat ikan-ikan atau binatang air lainnya mati dalam jumlah besar di sungai tersebut?
- Apakah terjadi penurunan produksi hasil alam (seperti padi) atau penurunan hasil panen perikanan di wilayah sekitar sungai?
- Apakah ada peningkatan keluhan kesehatan oleh masyarakat di sekitar sungai?
Sejak 2016, tercatat pencemaran limbah berwarna hitam pekat dan berbau tidak sedap, sama seperti saat Jurnalis Kebijakan.co.id berkunjung pertama kali ke Kali Lemahabang (4/9/2023).
“Ini kalau pegang tangan (dicelupin ke dalam Kali Lemahabang) itu baunya nggak ilang-ilang, sama kaya tangan dicelupin ke lumpur, harus dibilas dulu pake air bersih, kalau orang sini udah biasa,” cerita Rosiadi (9/9/2023) terkait kondisi airnya, sedangkan kondisi baunya, “Kalo orang-orang baru (pendatang), kecium bau banget, kalau kita (masyarakat) mah udah biasa di sini.”

Terkait kondisi air yang seperti ini, menurut Peneliti BRIN, Ikbal, menjelaskan kepada Kebijakan.co.id (11/09/2023), “Untuk mengenal sungai tersebut tercemar sangat sangat mudah sekali dikenali dari warna airnya, yaitu hitam, butek (keruh), berbusa, dan berbau, sudah bisa dipastikan sungai tersebut tercemar, tanpa perlu kita melihat polutan dan tanpa perlu pengujian.”
Hal tersebut juga dikonfirmasi oleh Peneliti ECOTON (Ecological Observation and Wetland Conservation), yang juga pelaku Ekspedisi Sungai Nusantara, Amiruddin Mutaqqin (S.T., M.Si.) yang menjelaskan kepada Kebijakan.co.id (7/9/2023), bahwa secara kasat mata, “air yang di duga mengalami pencemaran akan terlihat perubahan warna menjadi (hitam, merah, putih atau coklat).”
Sedangkan untuk bau yang tidak sedap, “menjadi indikator sungai sedang mengalami pencemaran, karena mikroorganisme pengurai di air tidak mampu menetralisir beban pencemaran yang masuk ke dalam sungai,” ungkap Amiruddin.
Secara kasat mata, terbukti bahwa Kali Lemahabang tercemar. Akan tetapi perlu adanya uji laboratorium untuk membuktikan bahwa Kali Lemahabang tercemar limbah. Di tahun 2019, Perum Jasa Tirta (PJT) II Lemahabang, Suwandi Halim, mengirimkan contoh air Kali Lemahabang kepada Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (BPLH) Kabupaten Bekasi untuk diuji di laboratorium, “Hasil uji lab positif tercemar,” ucap Suwandi dilansir dari Saluran8.com (2/1/2019).
Di tahun 2017 dilansir Antara (5/1/2017), Suwandi Halim juga pernah melakukan uji lab terhadap contoh air Kali Lemahabang di Laboratorium Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (BPLH) Kabupaten Bekasi, dari contoh air yang diuji terbukti mengandung logam, pewarna, dan juga bahan kimia.
Penyebab Tercemar
Setelah mengetahui bahwa sungai tersebut tercemar, lalu apa yang menyebabkan Kali Lemahabang tercemar limbah?
Dari beberapa keterangan narasumber, keseluruhannya hanya bersifat dugaan. Dugaan Andre, Operator Bendungan Kalilemahabang (12/09/2023), yang sudah bekerja di sana selama 5 tahun berjalan, ialah limbah tekstil. Hal tersebut juga diduga oleh Peneliti ECOTON, Amiruddin Mutaqqin (7/9/2023), yang melihat potongan video yang Kebijakan.co.id kirimkan, yaitu limbah tekstil (pakaian), ditambah limbah pabrik kertas.
Selain limbah tekstil, menurut dugaan warga sekitar, menurut Itas dilansir dari Antara (14/6/2023), menduga ini berasal dari limbah oli, “bau menyengat, sering juga bau oli.”
Menurut dugaan Peneliti BRIN, Pusat Riset Lingkungan dan Teknologi Bersih, Ikbal (11/09/2023), yang melihat potongan video yang Kebijakan.co.id tunjukan, dengan melihat secara kasat mata, bahwa itu merupakan limbah organik padat (bahan yang dapat terurai) yang mengendap di dasar sungai, seperti sisa makanan industri, sisa pakaian industri –bukan logam, besi, atau sejenisnya— yang melebihi baku matu mikroorganisme di kali tersebut karena terjadi terus menerus.

Limbah organik yang mengendap di dasar sungai tersebut, lalu mengalami proses anaerob (penguraian karena tidak mendapatkan oksigen dari matahari yang tertutup hitam pekat warna sungai), dari proses tersebut, “sehingga menghasilkan gas-gas yang mengeluarkan bau, berupa senyawa asam organik berbentuk gelembung-gelembung,” ucap lulusan doktoral di negeri matahari terbit tersebut.
Hal tersebut juga dikonfirmasi oleh Peneliti ECOTON, Amiruddin Mutaqqin (7/9/2023), bahwa, “jumlah beban pencemaran jauh lebih besar dari pada mikroorganisme pengurai di dalam sungai.”
Apapun itu, yang pasti ini dihasilkan dari industri. Dugaan tersebut tentu sangat beralasan jika merujuk kepada data Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat, jumlah pertumbuhan industri besar hingga sedang di Kabupaten Bekasi meningkat dari tahun ke tahun antara 2003 hingga 2014. Di tahun 2003 tercatat terdapat industri besar hingga sedang berjumlah 740 naik signifikan di tahun 2014 sebanyak 1143 industri besar menengah hingga sedang.
Hal tersebut tentu mendukung klaim bahwa Cikarang merupakan kawasan industri terbesar se-Asean. Data lainnya yang mendukung tersebut, data kawasan industri yang dipublikasi oleh Kementerian Perindustrian, yang mencatat total kawasan industri di Kabupaten Bekasi sebesar 7000 Hektare.
Data tersebut diperkuat oleh keterangan Pengawas Operator Bendungan di Kabupaten Bekasi, Sahrudin, ia menyampaikan kepada Kebijakan.co.id (15/09/2023), bahwa “pas saya survei ke sana (hulu Kali Lemahabang), dari hulunya (daerah industri Jababeka dan sekitarnya) saja sudah hitam, ditambah sekarang musim kemarau panjang.”
Akan tetapi Sahrudin juga mengatakan, hal tersebut disebabkan karena jumlah debit air berkurang, “dari hulu biasanya 2 kubik (2000 liter per detik) dari hulu, sekarang cuma 400 liter (per detik), tidak seimbang dengan pembuangan masyarakat (dan industri), makanya sudah hitam dari hulu,” jelas pria yang baru 1 tahun dipindahkan sebagai Pengawas Operator Bendungan di Kabupaten Bekasi kepada Kebijakan.co.id.
Hal tersebut diperparah beban Kali Lemahabang, yang menurut Andre, petugas Operator Bendungan Kali Lemahabang kepada Kebijakan.co.id, “hampir seluruh industri di (Kabupaten) Bekasi, masuknya (limbah) ke Kali Lemahabang (Cikarang).”
Ditambah keterangan oleh Penjabat (PJ) Bupati Bekasi, Dani Ramdan, “Yang berizin (hanya) ada 13 perusahaan (saja di seluruh Kabupaten Bekasi), lainnya tidak. Maka dari itu, hasil yang berizin ini harus ada uji laboratoriumnya, karena dia harus ada IPAL (Instalasi Pengelolaan Air Limbah)-nya,” kata Dani saat dikonfirmasi, yang dilansir Tribun Bekasi (2/10/2021).
Hal tersebut dikatakan berdasar kepada rapat koordinasi yang dilakukan jajaran Gakkumdu (Penegakan Hukum Terpadu), yang terdiri dari unsur Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bekasi, Kejaksaan Negeri Kabupaten Bekasi, dan Polresta Bekasi. Dari rapat koordinasi tersebut, tercatat hanya 13 perusahaan saja yang mengantongi izin membuang limbah ke sungai.
Mengatasi Kali Tercemar ala Pemerintah
Dari penjelasan sebelumnya tercatat dari sejak tahun 2017, 6 tahun berjalan hingga saat ini, limbah di Kali Lemahabang belum kunjung ditangani secara serius oleh Pemerintah, terlebih kesadaran para Perusahaan. Yang dibuktikan dengan masih hitamnya Kali Lemahabang hingga saat ini (16/09/2023).
Menurut Meiki Wemly Paendong, Direktur Eksekutif WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) Jawa Barat, mengatakan kepada Kebijakan.co.id (6/09/2023) bahwa, “Pencemaran ini, patut diduga atau besar kemungkinan tidak ada sistem pengendalian, pengawasan (limbah tercemar) yang dilakukan oleh Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bekasi.”

Terkait dengan tidak adanya sistem pengawasan Pemerintah Kabupaten Bekasi, hal tersebut dibantah oleh Pengawas Operator Bendungan Kali Lemahabang, Sahrudin saat Kebijakan.co.id (15/09/2023) konfirmasi, “Banyak sekali upaya-upaya kami (Operator Bendungan) dengan (Dinas) LH (Lingkungan Hidup), terkait air item begini mengadakan rapat yang dimpimpin oleh Dinas LH Kabupaten (Bekasi), mengumpulkan industri-industri yang ada di hulu (Kali Lemahabang).”
Namun setelah ditanya lebih lanjut oleh Kebijakan.co.id terkait industri apa saja yang terlibat di dalamnya, Sahrudin tidak mengetahui lebih detail.
Selain itu menurut Sahrudin, pengelola bendungan Kali Lemahabang bersama Dinas Lingkungan Hidup berupaya untuk mengatasi limbah padat dari masyarakat, berupa sampah, yaitu dengan melakukan pasang jaring di setiap RT di setiap Desa, “untuk mengantisipasi sampah tersebut mengalir ke belakang (hilir Kali Lemahabang).”
Segala upaya telah dilakukan, seperti sosialisasi kepada warga-warga dan memberikan karung untuk tempat sampah, “yang setiap hari Jumat, diangkut secara khusus oleh Dinas Lingkungan Hidup.” Hal tersebut tentu solusi individual –atau bergantung kepada individu atau masyrakat perorangan.
Hal tersebut juga dikonfirmasi oleh Sekretaris Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Bekasi saat ditemui oleh Kebijakan.co.id, yang bekerjasama dengan Dinas Lingkungan Hidup, BPBD (Badan Penanggulangan Bencana Daerah), Kecamatan, Desa, dan pihak-pihak lainnya, untuk mengangkat sampah Kali Lemahabang, “Waktu malam kita ngangkat sampah, sekitar 2 bulan yang lalu, sampah kan numpuk tuh kita angkut.”
Namun, solusi individual di masyarakat atau pengangkatan sampah oleh Dinas Lingkungan Hidup bukan solusi jangka panjang dan terstruktur –mulai dari perusahaan, hingga kepada masyarakat.
Usaha-usaha penegakan hukumpun sudah dilakukan, mulai dari memberikan sanksi, “Kami akan berikan sanksi tegas sesuai dengan peraturan perundang-undangan karena ini merupakan pelanggaran pidana lingkungan,” kata Penjabat Bupati Bekasi, Dani Ramdan dilansir dari Independensi.com, (7/9/2021).
Lalu membentuk Tim Penegakan Hukum Terpadu atau Gakkumdu, menurut Kepala Seksi Penegakan Hukum Lingkungan, Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bekasi, David, “Sedang disusun keanggotaannya, ada penyidik pegawai negeri sipil, kepolisian, hingga kejaksaan. Kami segera turun, sidak ke lapangan,” ungkap David dilansir dari WestJavaToday.com, (8/9/2021).
Lalu ingin mengumumkan nama-nama perusahaan nakal yang membuang limbah ke Kali Cilemahabang. “Bila terbukti dan dalam beberapakali teguran tidak menggubris maka akan kita umumkan,” ucap Penjabat Bupati Bekasi, Dani Ramdan dilansir dari Pikiran Rakyat, (10/9/2021).
Hingga meninjau langsung atau sidak ke lapangan, “Kami telah menurunkan tim dari bidang penegakan hukum, namun sangat disayangkan saat sampai ke lokasi itu debit air sedang tinggi, arus deras. Dugaan limbah oli yang mencemari drainase tidak bisa ditemukan,” ucap Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bekasi, Syafri Doni Sirait dilansir dari Antara, (14/6/2023).
Akan tetapi tampaknya hasilnya tidak ada perubahan. Baik dari sanksi yang tegas, hasil pembentukan Gakkumdu, mengumumkan nama-nama perusahaan pencemar limbah, hingga meninjau langsung ke lapangan.
Solusi Lain: Laporan Berkala, IPAL, dan Class Action
Selain solusi ala Pemerintah yang cenderung individual dan ingin menegakan peraturan tersebut tidak berhasil.
Dari ketidakberhasilan tersebut, ada beberapa saran di antaranya, menurut Meiki, Direktur Eksekutif WALHI Jawa Barat kepada Kebijakan.co.id (6/9/2023), dalam hal ini memberikan sebuah solusi yang memang sudah diatur, menurutnya, “Dicek ulang daftar nama industri yang limbah buang cair ke Kali Lemahabang.”
Setelah dicek ulang, cek laporannya, “ada laporan juga, industri ini seharusnya juga harus melaporkan upaya pengelolaan lingkungan dan pemantauan lingkungan.”
Dari laporan tersebut apakah dikelola limbah cairnya, “termasuk upaya mereka (industri) dalam mengelola limbah cairnya,” selain itu, “apakah perusahaan ini rutin memberikan laporan? … itu harus memberikan per 6 bulan (semester), ada yang per 3 bulan yang diberikan kepada Dinas Lingkungan Hidup.” Laporan tersebut menunjukan apakah limbah sudah dikelola atau belum, “dengan melakukan pengecekan atau pembuktian langsung di lapangan.”
Hal tersebut juga dikonfirmasi oleh Peneliti BRIN, Ikbal mengatakan kepada Kebijakan.co.id, “Dalam aturan perusahaan itu selain itu pengelolaan (limbah) ada juga pelaporan berkala, yang 3 bulan sekali, seminggu sekali, dan melakukan analisa air limbah itu sebulan sekali lalu dilaporkan 3 bulan sekali ke DLH,” lalu dari situ DLH bisa melakukan pengecekan, “ada ga yang melanggar (laporan tersebut)? sekali dua kali bisa sanksi teguran atau administrasi. Bahkan bisa juga menutup karena (DLH) memiliki kewenangan,” ujar Ikbal yang juga Komisi Penilai Amdal DKI Jakarta untuk limbah cair.
Berdasarkan peraturan terbaru, Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 2021 tentang Izin Lingkungan, pelaporan setiap 6 bulan sekali terdapat pada Pasal 100 ayat (5). Dalam hal ini Kebijakan.co.id merangkum beberapa aturan hukum dari Undang-Undang hingga kepada Peraturan Daerah Kabupaten Bekasi terkait pelaporan dan pengelolaan limbah cair.

Terkait dengan laporan, menurut Meiki, Direktur Eksekutif WALHI kepada Kebijakan.co.id (6/9/2023), dokumen laporan itu seharusnya secara serta merta dibuka untuk masyarakat agar bisa dilihat di halaman resmi DLH, “kan dampaknya ke publik (masyarakat).” Sebab, “tanpa diminta harusnya sudah disajikan di website.” Tidak hanya pemerintah, dalam hal ini perusahaan juga, “itu perusahaan-perusahaanpun juga harus menunjukannya pada publik.”
Kebijakan.co.id berusaha mencari dokumen laporan terkait pengelolaan limbah, yang ditemukan dalam Open Data Kabupaten Bekasi hanya ditemukan statistik jumlah pelaporan pengawasan yang dilakukan Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bekasi berjumlah 69 laporan. Selain Open Data Kabupaten Bekasi yang terintegrasi, Dinas Lingkungan Hidup tidak memiliki halaman resmi untuk informasi publik lainnya.
Selain mencari dokumen Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bekasi, Kebijakan.co.id berusaha mencari dokumen laporan terkait pengelolaan limbah yang terdapat dalam Kawasan Industri Jababeka, yang dikelola oleh PT Kawasan Industri Jababeka Tbk dan Kawasan Industri LIPPO Cikarang yang dikelola oleh PT Lippo Cikarang Tbk. Dua kawasan industri tersebut, merupakan yang terbesar di Kabupaten Bekasi mencapai total luas 3.239,97 Hektare.
Kedua kawasan tersebut, secara berkala memberikan informasi publik secara menahun. Akan tetapi, tidak semua laporan menunjukan limbah yang dikeluarkan, tercatat baru pada tahun 2019 yang menunjukan laporan terkait pembuangan limbah secara statistik.
Laporan berkala tersebut, juga perlu didukung oleh teknologi monitoring. Menurut Peneliti BRIN, Ikbal kepada Kebijakan.co.id, perlu memang ada teknologi yang melaporkan kondisi sungai secara berkala melalui digital online, seperti laporan berkala pada kondisi polutan di udara.
“Misalnya, ada industri yang kita curigai, yang nakal, di tempat pembuang (limbah) itu kita kasih sensor, dipantau itu, termonitor.” Lalu bisa dilihat melalui waktu tertentu, “oh tanggal (jam tertentu) segini kok melonjak, anda (perusahaan) tanggal segini kok (buang limbah) dari data saya, jadi gak bisa ngelak (berkelit).”
Jadi menurut Ikbal, bisa sesuai antara pengaduan masyarakat terkait limbah yang dibuang ketika hujan atau malam hari atau kondisi tertentu, dengan data sensor pemerintah yang melaporkan secara berkala kondisi limbah di sungai.
***
Itu adalah langkah pertama yang bisa dilakukan. Langkah keduanya ialah memperbaiki IPAL perusahaan industri yang membuang limbah ke dalam Kali Lemahabang.
Menurut Peneliti ECOTON, Amiruddin Mutaqqin kepada Kebijakan.co.id, terkait teknologi IPAL mengatakan bahwa, “Teknologinya harus bagus dan didesign yang benar sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik limbah yang di hasilkan oleh industri.”

Jika itu tidak bisa dilakukan, yaitu dengan membuat alternatif, “Membuat IPAL komunal,” akan tetapi ada dampaknya, “akan membuat tiap perusahaan industri menjadi tidak bertanggung jawab terhadap limbahnya masing-masing,” serta lepas tanggung jawab dalam pengelolaan, “biayanya IPAL komunal menjadi tanggung jawab siapa?”
Terkait dengan teknologi yang sesuai dengan karakteristik limbah, menurut Ikbal, Peneliti BRIN kepada Kebijakan.co.id, “Sistem IPAL-nya harus disesuaikan dengan karakteristik limbah cair yang dikeluarkan dari industri.”
Misalnya, “limbah organik itu harus disusun IPAL-nya dengan proses biologi yang alamiah akan mengurai limbah tersebut.” Diperlukan perlakuan khusus, “itu harus dirawat seperti makhluk hidup pada umumnya, (perlu) harus ada divisi khusus.”
Selain itu, “ada limbah anorganik, itu harus diolah dengan proses kimia-fisika dengan proses pengendapan, penyaringan, dan penguapan.” Pada intinya terkait limbah anorganik, “air limbah tersebut harus dipisahkan dari material anorganik seperti besi, logam, dan sebagainya agar tidak tercampur ketika dibuang ke sungai.”

Selain teknologi yang sesuai dengan karakteristik limbah, perlu dilihat juga kapasitas pengolah limbah tersebut, “Kapasitas IPAL, air limbahnya berapa yang dikeluarkan harus disesuaikan dengan kapasitas perancangan, harus juga dipersiapkan (jika terjadi) pertumbuhan industri tersebut, jangan sampai limbahnya bertambah akan tetapi kapasitas IPAL-nya tidak ditambah.”
Terkait dengan kedua hal tersebut, “Banyak teknologi dari konsultan yang ditawarkan akan tetapi tidak cocok dengan limbah industri, itu harus hati-hati dengan pemilihan IPAL, banyak yang gagal dibangun dengan biaya tinggi.”
Terkait dengan biaya tinggi, Direktur Eksekutif WALHI, Meiki kepada Kebijakan.co.id, dalam hal ini memiliki informasi terkait pengalaman di salah satu perusahaan yang tidak boleh lagi membuang limbahnya ke sungai di salah satu anak Sungai Citarum, yaitu Sungai Cikijing. “Secara teknis jadi limbahnya diangkut, mereka (perusahaan) menyewa pihak ketiga untuk mengangkut.”
Akan tetapi karena biayanya lebih mahal, “mereka membandingkan lebih murah mengaktifkan IPAL mereka daripada menggunakan pihak ketiga untuk membuang limbah.” Akhirnya perusahaan tersebut, “mengajukan izin kembali, mengurus kembali, harus mengikuti peraturan teknis yang diberikan oleh Kabupaten Sumedang.”
Pada intinya, semua pihak termasuk perusahaan harus memiliki komitmen, seperti apa yang disampaikan oleh Ikbal, Peneliti BRIN kepada Kebijakan.co.id, “Harus ada komitmen, semua air (limbah) yang masuk ke sungai itu harus diolah sampe memenuhi baku mutu (ambang batas pencemaran).”
Perusahaan dalam hal ini, menurut Ikbal, “perusahaan harus memiliki kesadaran bahwa usahanya tidak boleh menggangu orang, jangan sampe gara-gara saya mereka sakit.” cerita dia membandingkan dengan kondisi tempat studi doktoralnya di Jepang. “Jadi mereka (perusahaan di Jepang) tanpa dikontrol Pemerintah, mereka sudah malu kalau ketahuan (membuang limbah), malu berbuat salah.”
***
Langkah ketiga yang bisa dilakukan ialah dengan menggugat Pemerintah yang abai karena tidak mengeluarkan tindakan atau kebijakan apapun terkait pencemaran limbah, dan menggugat Perusahaan industri yang mengeluarkan limbah melebihi baku mutu yang menyebabkan tercemarnya sungai.
Itu juga bisa dikatakan sebagai class action atau gugatan dari masyarakat.
Dalam hal ini WALHI memiliki pengalaman untuk menggugat 3 perusahaan yang tidak mengolah limbah cairnya, menurut Meiki kepada Kebijakan.co.id (6/9/2023), “Di tahun 2015, WALHI berkoalisi dengan kawan-kawan organisasi lingkungan yang lain dengan organisasi advokasi hukum bersama dengan kelompok masyarakat yang terdampak itu menggugat ijin pembuangan limbah cair 3 perusahaan.”
Menurut Meiki, “Dari investigasi kami, mereka (3 perusahaan) membuang limbah cair tanpa diolah ke Sungai Cikijing (anak sungai Citarum).” Selain investigasi untuk melihat limbah cair yang dibuang tanpa diolah, WALHI juga menghitung valuasi (total) kerugian yang di alami masyarakat.
“Kalau kami (WALHI Jawa Barat) sendiri pernah menghitung valuasi ekonomi dari pencemaran limbah industri (di Sungai Cikijing).”
Mulai dari menghitung kerugian di sektor pertanian, sektor perkebunan, sektor pertenakan, sektor perikanan, sektor kebutuhan air, sektor kesehatan masyarakat, dengan total kerugian Rp. 3.339.695.473.968 atau sekitar 3 triliun (kurs pada tahun 2015). Dengan valuasi biaya pemulihan lahan atau remediasi mencapai Rp. 8.045.421.090.700 atau 8 triliun (kurs pada tahun 2015).
Terkait kerugian kesehatan masyarakat, menurut Diah Satyani Saminarsih, Direktur Eksekutif CISDI (Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives) –sebuah lembaga riset yang berfokus pada pembangunan sektor kesehatan dan sistem kesehatan— kepada Kebijakan.co.id (11/09/2023).
Ia mengatakan, “Pihak swasta juga mesti bertanggung jawab atas kegiatan industri masing-masing,” termasuk dalam hal kesehatan masyarakat.
Selain data WALHI, lainnya dari Tim Peneliti Universitas Padjajaran (Unpad). Dikutip dari Mongabay, Tim Peneliti Unpad tersebut, juga membuat laporan valuasi ekonomi dampak pencemaran di kawasan industri yang mencapai Rp. 11.385 triliun.
Dari riset penghitungan kerugian masyarakat tersebut, tentu perlu diawali dengan kesadaran akan pentingnya lingkungan terlebih dahulu di masyarakat. Dengan begitu kondisi suram di awal bisa diatasi.

“Pengolahan Limbah Harus Dipandang Sebagai ‘Produk’ Yang Dihasilkan oleh Perusahaan, Begitu Juga Sama Ketatnya dengan Pengawasan ‘Produk’ oleh Pemerintah, dan Agar Masyarakat Tidak Dirugikan.”
Kebijakan.co.id
Baca Versi PDF-nya: Hitam Menahun Kali Lemahabang
Baca Serial Liputan Advokatif "Hitam Bau Menahun Kali Lemahabang" Lainnya: • Hitam Bau Menahun Kali Lemahabang • Terancamnya Kesehatan Warga Kali Lemahabang


Diterbitkan: Selasa, 19 September 2023 Pukul: 23.00 WIB Jurnalis: Adi Fauzanto
Daftar Bacaan: • Donny Iqbal, Kemenangan Perjuangan Panjang Melawan Limbah Rancaekek, Gugatan Dikabulkan PTUN Bandung, Mongabay.co.id, 25 Mei 2016 • Open Data Kabupaten Bekasi, Jumlah Laporan Pengawasan Terhadap Izin Lingkungan dan Izin Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, 21 Februari 2023 • Pradita Kurniawan Syah, Dinas LH Bekasi Sulit Ungkap Pencemaran Sungai Cilemahabang, Antara News, 14 Juni 2023 • Heriyanto Retno, Dani Ancam Perusahaan Cemari Kali Lemahabang Diumumkan, Pikiran Rakyat, 10 September 2021 • Pam, Polres Metro Bekasi Usut Kasus Pembuangan Limbah ke Kali Lemahabang, WestJavaToday.com, 8 September 2021 • Jonder Sihotang, Pencemaran Limbah B-3 Sungai Cilemahabang Bekasi, Independensi.com, 7 September 2021 • Rangga Baskoro, Kali Cilemahabang Cikarang Utara Lagi-Lagi Berbusa dan Mengeluarkan Bau Tidak Sedap, Tribun Bekasi, 2 Februari 2022 • Muhammad Sabiq, Kali di Bekasi Dibiarkan Tercemar Limbah Beracun, Saluran8.com, 3 Agustus 2019 • Mayolus Fajar, Air Sungai Cilemahabang Bekasi Tercemar, Antara News, 5 Januari 2017 • Jaffry Prabu Prakoso, Kawasan Industri Terbesar di Asia Tenggara Ada di Cikarang, Bisnis Indonesia, 19 September 2022 • WALHI Jawa Barat, Valuasi Ekonomi Kerugian Pencemaran Limbah Kawasan Industri Rancaekek, November 2015 • Laporan Tahunan, PT Kawasan Industri Jababeka 2021-2022 • Laporan Berkelanjutan, PT LIPPO Cikarang 2022 - 2021 • Daftar Kawasan Industri, Kementerian Perindustrian • Industri Besar Sedang Kab/Kota Tahun 2012-2014, BPS Provinsi Jawa Barat • Margaretha Quina (dkk.), Memulihkan Sungai Sebuah Panduan Umpan Balik dan Partisipasi Komunitas, Penerbit ICEL, 2017

