Terancamnya kesehatan warga di pinggiran kali yang menggunakan air tercemar, ditambah Pemerintah yang tidak tegas, dan perusahaan nakal ada di baliknya.
Di antara banyak cara kita menjalani hidup, memperbaiki cara mengkonsumsi dan mengolah sampah ialah cara yang paling bijak menjaga lingkungan dari diri kita.
***
Tanggerang, Kebijakan.co.id — Salah satu konten kreator yang berfokus pada gaya hidup zero waste adalah Eka Rahmawati. Ia menceritakan pada awal Januari 2020, rumah yang ia tempati bersama keluarganya terendam banjir besar mencapai lutut orang dewasa.
Atas peristiwa itu, mereka mengalami kerugian jutaan rupiah untuk mengganti perabotan rumah yang rusak. Dari peristiwa itu juga, ia memulai gerakan diet plastik dimulai dari yang dihasilkan oleh dirinya.
“Awalnya saya mengecek sampah apa yang paling banyak saya hasilkan setiap hari. Ternyata sampah kapas, tisu, dan pembalut sekali pakai yang lumayan banyak daripada jenis sampah lain. Setelah itu, saya perlahan mulai mengganti ke produk guna ulang (reusable), yaitu cotton pad kain, sapu tangan, dan pembalut kain,” ujarnya melalui keterangan tertulis pada Jumat (10/2/2023).
Pada survei yang dilakukan oleh Putu Dharma Yusa mengenai konsumsi plastik sekali pakai pada 15—25 Juli 2022, produk perawatan diri hanya menghasilkan 2—3 pcs dalam sebulan dengan menggunakan kemasan produk paling besar (57.20 persen)—tergantung pada faktor pendapatan, harga, dan selera konsumen. Pemilihan ukuran besar dinilai lebih murah dan dan dipilih oleh pendapatan relatif tinggi. Perbaikan ekonomi dan taraf hidup masyarakat berpeluang mengurangi sampah plastik ukuran kecil.
Selain menghasilkan sampah yang lebih sedikit, Eka juga merasakan pengaruh dan dampak lain dari sisi pengeluaran—bisa lebih berhemat karena dapat mengontrol diri saat hendak membeli produk.
Eka mengaku, dulunya ia sering membeli 4—5 camilan. Sekarang ia cukup membeli 1—2 makanan berkemasan supaya tidak terlalu banyak kemasan sekali pakai yang terkumpul di rumahnya.
“Di zero waste juga terdapat konsep ‘belilah produk sesuai dengan kebutuhan bukan keinginan’. Jadi, saat mau beli barang lebih berpikir, ‘gue perlu banget enggak ini barang atau cuma sekadar pengin aja?’”, tanyanya kembali pada diri sendiri pada Jumat (10/2/2023).
Untuk menjaga lingkungan, Eka juga sudah mulai mengurangi membeli pakaian baru—benar-benar pakai yang sudah ia punya dan berusaha menghilangkan pikiran harus membeli baru untuk kondangan atau acara tertentu.
“Dalam lingkup keluarga, saya berusaha mengenalkan zero waste dengan berbagai tindakan yang melibatkan mereka dengan cara meminta orang tua untuk membantu memilah sampah, mengajak mereka untuk ikut serta menyetor sampah ke drop point waste management atau berbelanja ke toko curah zero waste membawa wadah serta tas belanja kain sendiri,” tuturnya pada Jumat (10/2/2023).
Berdasarkan data yang diambil oleh Putu Dharma Yusa mengenai survei konsumsi plastik sekali pakai pada 15—25 Juli 2022 dengan total 275 responden menyimpulkan, hanya sekitar 8.80 persen responden yang berbelanja kebutuhan sehari-hari di bulk store berkonsep zero waste. Dijelaskan lebih lanjut, hal tersebut dikarenakan jumlah toko yang berkonsep seperti itu masih relatif sedikit dan sulit dijangkau oleh mereka.
Orang tua Eka sempat kebingungan dengan kebiasaan barunya yang senang mengumpulkan sampah plastik sekali pakai—mereka sempat protes berkali-kali karena berpikir apa gunanya untuk dikumpulkan sampah kotor tersebut.
Eka pun perlahan menjelaskan bahwa sampah yang dikumpulkan sudah bersih dari residu dan dipastikan tidak menimbulkan efek negatif.
“Sampai saat ini, hanya saya yang baru menjalani zero waste di rumah. Saya percaya mereka (orang tua) tergerak melakukan perubahan yang lebih besar lagi jika kebiasaan saya dilihat. Saya juga perlahan menjelaskan dampak dari plastik sekali pakai untuk lingkungan,” jelasnya pada Jumat (10/2/2023).
Dari survei peduli dan aksi terhadap sampah pada 15—31 Januari 2021 oleh Putu Dharma Yusa dengan 231 responden menunjukkan, aksi yang dilakukan individu mendominasi sebesar 39.91 persen yang disusul lingkup keluarga sebesar 31.92 persen. Aksi pengelolaan skala individu dan rumah tangga menjadi faktor penting dalam pengurangan dan pengelolaan sampah.
Eka membiasakan membawa alat makan reusable dan tas kain saat bepergian ke luar. Saat keadaan mendesak diharuskan membeli produk sekali pakai atau mungkin alat makan yang ia bawa sudah terisi dengan yang lain, ia mau tidak mau menggunakan plastik sekali pakai. Ia akan mengumpulkan, mencuci, serta mengirimkannya ke bank sampah untuk didaur ulang.
Tindakan dan perilaku Eka sejalan dengan hasil survei ekosistem sampah melibatkan 259 responden oleh Putu Dharma Yusa pada 7—15 Februari 2022 yang mana menunjukkan angka 91.51 persen responden memiliki tas belanja guna lang dan 78.38 persen memiliki tempat makan dan minum. Tingginya angka kepemilikan tersebut mengindikasikan adanya kesadaran untuk mengurangi penggunaan plastik sekali pakai.
Sebagai konten kreator, Eka ingin membagikan proses menjalani gaya hidup zero waste yang tidak mudah. Ia pun masih belajar dan banyak kekurangan.
Eka juga berpesan, jalani dengan pelan—semuanya butuh proses dan tidak harus sempunra dan usahakan ada peningkatan. Harapannya, akan ada orang yang tergerak sedikit demi sedikit beralih.
“Saya juga enggak mau terlalu memaksakan harus sempurna karena takutnya terbebani dan jadinya malah balik lagi ke kebiasaan yang lama. Paling saya cuma menyarankan, tapi enggak pernah memaksa mereka untuk ikuti saya,” jawabnya saat ditanya pengontrolan sampah sekali pakai saat berkegiatan dengan orang lain pada Jumat (10/2/2023).
Ilustri Gaya Hidup Sampah Tak Bersisa
Komunitas dan StartUp
CEO dari salah satu startup technology yang bergerak di penjemputan sampah daur ulang Octopus Indonesia, Moehammad Ichsan berdiri pada 2020 di Makassar, Sulawesi Selatan dengan tujuan mengurangi jumlah sampah yang berakhir di tempat pembuangan akhir (TPA) melalui platform teknologi.
“Octopus adalah sebuah ekosistem yang melibatkan semua pemangku kepentingan dalam ekonomi sirkular—pemerintah dan bank sampah diikutsertakan. Oleh karena itu, Octopus harus bertahap dan membutuhkan waktu (untuk tersedia di seluruh wilayah Indonesia),” terangnya melalui keterangan tertulis pada Kamis (16/2).
Ichsan menjelaskan cara Octopus Indonesia mengedukasikan zero waste kepada pengikut di media sosialnya dengan kesinambungan—memberikan rasa feel good. Proses pemilahan dimulai dari rumah tangga—melibatkan “pelestari” (relawan penjemput sampah pengguna dan bank sampah. Setelah itu, pemilahan akhir di fasilitas octopoint (tempat pengumpulan) di setiap kota.
Salah satu clean-tech startup yang menjembatani small enterprises ke factories, Rekosistem menawarkan manajemen sampah dengan koleksi sampah, pemilahan, dan treatment activities (recycle sampah dengan bantuan partner). Rekosistem menegaskan bahwa mereka bukan bank sampah, walaupun cara kerja terlihat serupa.
Sekretaris Jenderal World Cleanup Day (WCD) Indonesia, Septi menjelaskan WCD Indonesia memulai gerakan global bersih-bersih sampah yang dilaksanakan secara serentak di minggu ketiga September di setiap tahunnya sejak 2018. Tidak hanya itu, pelbagai kegiatan seperti kampanye, webinar, pelatihan, siaran langsung, dan aksi nyata terus digempurkan sebagai bentuk penyuaraan zero waste.
Dari survei peduli dan aksi terhadap sampah pada 15—31 Januari 2021 oleh Putu Dharma Yusa dengan 231 responden, sebesar 79.34 persen responden mendapatkan informasi dan rujukan mengenai budaya minim dan pengelolaan sampah dari media sosial yang mudah diakses—bagian dari gaya hidup masyarakat dan hadirnya platform bergerak di bidang pelestarian lingkungan.
“WCD Indonesia mengajak masyarakat Indonesia untuk lebih memerhatikan lingkungan, tidak hanya sampah—mengubah perilaku masyarakat dengan tindakan nyata dengan turun langsung ke sungai, jalan, gunung, laut, pantai, atau car free day (CFD) juga kunjungan ke sekolah dan desa,” bebernya pada Kamis (16/2).
Octopus Indonesia
Pengalaman
Sejak bangku sekolah dasar, saya sudah dibiasakan untuk memilah sampah sesuai jenisnya—kami juga didorong untuk mengumpulkan sampah plastik yang ada di rumah untuk disetorkan ke bank sampah yang dikelola sekolah. Bagi yang menyetor akan mendapat nilai tambahan untuk mata pelajaran Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH).
Kantin sekolah yang dalam penyajiannya tidak menggunakan kemasan sekali pakai menanamkan kebiasaan di dalam diri dan kehidupan saya. Sekolah dasar saya juga memiliki kegiatan kompos—hasil dedaunan yang kami sapu di setiap Sabtu pagi sebelum senam dikumpulkan dalam drum besar. Di sanalah kompos itu akan diproses dan pupuknya akan digunakan untuk pepohonan.
Kebiasaan tersebut terbawa hingga saat ini. Saya cenderung menolak plastik sekali pakai saat berada di luar. Jika saya harus terpaksa menggunakannya, sampah tersebut akan saya kumpulkan, bersihkan, dan setorkan ke bank sampah. Kegiatan ini saya lakukan tersembunyi dan diam-diam karena orang tua saya sangat menentang keras perbuatan tersebut.
Di rumah pun, hanya saya sendiri yang berusaha zero waste—menjadi minoritas dan tidak bisa berbuat bebas. Tidak jarang juga saya dicemooh “si paling lingkungan” oleh saudara sendiri, belum lagi orang tua yang menganggap saya mengoleksi dan menumpuk sampah kotor yang sangat meresahkan baginya. Mereka juga menganggap perbuatan saya sangat memakan tempat.
Saat masih berada di Pekanbaru yang merupakan daerah asal, saya menyetorkan sampah ke bank sampah di dekat rumah yang dikelola oleh warga sekitar. Itu pun baru dimulai pada pertengahan 2021. Ibu saya pun mencoba untuk memilah sampah dengan mengumpulkannya dalam karung goni. Namun, sampah tersebut tidak dibersihkan olehnya.
Melihat hal tersebut, saya pun mengambil kembali sampah tersebut dan membersihkannya serta mengeringkannya. Ibu saya terheran melihat perbuatan tersebut—ia berpikir mengapa harus dibersihkan, ‘kan bisa dikumpulkan saja. Saya pun menjelaskan bahwasanya sampah yang tidak dibersihkan bisa berpotensi busuk karena residu makanannya masih menempel.
Sebelum itu, saya belum bisa berbuat banyak dalam memilah sampah dikarenakan minimnya informasi serta penyuaraan tentang bank sampah di Pekanbaru. Padahal, dulunya Pekanbaru mendapatkan penghargaan Adipura selama tujuh tahun berturut-turut dari 2004. Sayangnya, penghargaan tersebut tidak diindahkan oleh wali kota selanjutnya.
Hanya saja, saya selalu mengusahakan diet plastik di mana pun dan kapan pun. Saya meletakkan tempat atau peralatan minum dan makan di dalam tas—tidak lupa juga tas belanja. Jadi, jika saya hendak memesan makan dan minum saat di luar, saya tinggal menyodorkan yang sudah disiapkan—mencegah bertambahnya plastik sekali pakai.
Saya pun merantau ke daerah Jabodetabek untuk menempuh pendidikan. Banyak fasilitas bank sampah yang tersebar di sini. Di daerah saya tempati, Dinas Lingkungan Hidup Tangerang Selatan menggencarkan bank sampah harus berdiri di setiap kelurahan. Hal itu disampaikan oleh salah satu penyuluh bank sampah di Kecamatan Pamulang.
Selain itu, banyaknya startup, lembaga swadaya masyarakat, komunitas, atau relawan lingkungan yang mendirikan bank sampah serta memfasilitasi penjemputannya sangat memudahkan saya untuk menegakkan gerakan memilah sampah ini. Hadirnya bulk store yang menjual produk yang bisa dibeli dengan wadah dan tempat sendiri secara curah menjadi “surga” bagi saya.
Dalam pemilahan sampah mandiri saat merantau, saya menyiasatinya dengan menata sampah tersebut dengan rapi di dalam satu kardus. Sampah tersebut harus dibersihkan dengan dicuci menggunakan sabun dan dan air agar tidak mengundang semut dan lalat. Setelah kering, sampah akan dilipat atau diremuk agar menjadi kecil agar menyisakan banyak ruang dan tidak memakan tempat.
Say memilih Rekosistem untuk menyetorkan sampah yang sudah dikumpulkan. Kardus yang sudah dikemas dengan baik agar tidak berceceran siap diantar. Sebelum menyetorkan sampah, saya harus melakukan pendataan di aplikasi untuk mendapatkan kode yang harus ditulis di kardus tersebut. Nantinya saya juga harus memilih drop point dan memfoto sampah tersebut.
Biasanya saya memilih untuk mengantarkannya menggunakan transportasi umum karena menghindari macet dan mengurangi risiko membawa barang menggunakan motor, sembari bersantai sejenak juga! Drop point yang saya ambil antara lain Stasiun MRT Blok M BCA atau Pantai Maju Jalasena.
Menuju ke sana, saya menggunakan Transjakarta koridor S21 Ciputat—Blok M turun di bus stop Taman Literasi Christina Martha Tiahahu dan lanjut berjalan sekitar 200 meter. Bisa juga melakukan transit di halte Cakra Selaras Wahana (CSW) untuk berpindah ke koridor 1 Blok M—Kota dan transit lagi di halte Monumen Nasional (Monas) untuk beralih ke koridor 1A Pantai Indah Kapuk (PIK)—Balai Kota. Sampah sudah bisa langsung diletakkan dalam tempat yang sudah disediakan.
Diterbitkan: Rabu, 15 Maret 2023
Pukul: 23.00 WIB
Jurnalis: Fayza Rasya
Editor: Adi Fauzanto
Ambisi transisi energi pemerintah melalui BUMN-nya, PT Geo Dipa Energi, menyisakan ancaman kerusakan lingkungan, karena dibangun di atas hutan konservasi, mengancam habitat satwa dilindungi, mata air, wisata alam, dan masyarakat 3 kabupaten/kota.
Ambisi PLTP bertenaga 200 Mega Watt tersebut hadir dalam bentuk rencana proyek melalui Peraturan Presiden, Pengamanan Pendanaan oleh Kementerian Keuangan, dan Kelanjutan rencana pembangunan PLTP Arjuno-Welirang oleh Kementerian ESDM beserta BUMN yang ditugasi secara khusus, PT Geo Dipa Energi.
Kebijakan.co.id telah mengujungi beberapa narasumber untuk membuktikan juga mengkonfirmasi terkait hal ini. Di antaranya, UPT Taman Hutan Raya Raden Soerjo, Jaringan Kolektif Energi Berkeadilan di Malang Raya, WALHI Jawa Timur, Kantor Desa Claket Mojokerto, Ahli Energi Baru Terbarukan, KHM Malang Raya, Perwakilan PT Geo Dipa di Mojokerto, Masyarakat Desa Claket, dan Masyarakat Kota Batu. Mengikuti diskusi Greenpeace yang dihadiri, ICEL, IESR, dan Trend Asia. Serta menyurati beberapa instansi terkait, PT Geo Dipa Energi, Dinas Kehutanan Jawa Timur, Direktorat Pemanfaatan Jasa Lingkungan Kawasan Konservasi KLHK RI, Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementeri ESDM RI.
***
Mojokerto, Kebijakan.co.id – Setelah menelusuri dari masyarakat dan lingkungan atau hutan konservasi yang terdampak dari rencana pembangunan PLTP (Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi) Arjuno-Welirang. Baiknya, membahas PLTP Arjuno-Welirang untuk didalami, mulai dari rencana penetapan proyek tersebut, izin, pembiayaan, hingga kelanjutannya saat ini.
Selain itu, membahas PLTP tidak bisa dilepaskan dari faktor teknis, yaitu eksplorasi dan operasional pembangkit listrik dari tenaga panas bumi, hal tersebut juga akan dibahas dan didalami.
***
Seperti yang diketahui PLTP Arjuno-Welirang ini dijalankan oleh PT Geo Dipa Energi yang merupakan BUMN (Badan Usaha Milik Negara) yang ditugaskan secara khusus oleh Kementerian Keuangan dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Selain PLTP Arjuno-Welirang, PT Geo Dipa mengelola Wilayah Pertambangan Panas Bumi lain di Pulau Jawa di antaranya:
Pertama, WKP (Wilayah Kerja Panas Bumi) Dataran Tinggi Dieng (PLTP Dieng Unit 1), berlokasi di Banjarnegara/Wonosobo, dengan kapasitas cadangan 400 MW dan telah beroperasi sebesar 60 MW dan akan melakukan pengembangan PLTP Dieng Unit 2;
Di balik PLTP Dieng ini, ada kebocoran saat melakukan pengeboran sumur PAD 28, korbannya pekerja 1 meninggal dunia, 8 lainnya tidak sadarkan diri dan dilakukan perawatan. Hal tersebut, karena keluarnya gas H2S (Hidrogen Sulfida) dari sumur.
“Diduga keluar gas H2S (hidrogen sulfida) dari sumur yang menyebabkan pekerja mengalami kejang, sesak nafas dan muntah,” menurut Andri Sulistiyo (12/03/2022), Kepala Bidang Kedaruratan dan Logistik Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Banjarnegara dilansir dari Antara. Menurut salah satu informan Kebijakan.co.id, hal tersebut hanya dikarenakan kecelakaan kerja.
Kedua, WKP Patuha (PLTP Patuha Unit 1), berlokasi di Kabupaten Bandung dengan kapasitas cadangan 400 MW, telah beroperasi sebesar 60 MW, dan dalam perencanaan pengembangan PLTP Patuha Unit 2;
Ketiga, WKP Candradimuka, berlokasi di Banjarnegara dengan kapasitas cadangan 90 MW dengan status eksplorasi;
Keempat, WKP Candi Umbul Telomoyo, berlokasi di Kabupaten Semarang, Magelang, Boyolali, Tumegung dan Kota Salatiga dengan kapasitas cadangan 55 MW dengan status tahap eksplorasi;
Kelima, ialah WKP Arjuno-Welirang yang akan dibahas, berlokasi di Taman Hutan Raya (Tahura) Raden Soerjo.
Tahura Raden Soerjo (Adi/Kebijakan.co.id)
Perjalanan PLTP Arjuno-Welirang
Untuk menelusuri perjalanan PLTP Arjuno-Welirang Kebijakan.co.id melakukan riset terhadap seluruh dokumen dan pernyataan pejabat publik yang mengaitkan dengan WKP/PLTP Arjuno-Welirang melalui sumber terbuka.
Tujuannya untuk melacak benar adanya keterlibatan negara dalam niatan eksplorasi Panas Bumi di hutan konservasi –yang memang sudah ditetapkan jauh sebelum rencana ini digagas.
Dokumen paling awal ditemukan pada bulan September tahun 2007, sebuah lembaga konsultan Jepang Japan International Cooperation Agency bernama West Japan Engineering Consultant yang dipekerjakan oleh Kementerian ESDM RI mengeluarkan sebuah dokumen laporan hasil kajian berjudul Master Plan Study for Geothermal Power Development in the Republic Indonesia, dalam kajian tersebut Gunung Arjuno-Welirang masuk dalam rencana pengembangan pembangkit listrik tenaga panas bumi wilayah jawa.
Mula-mula, ide awal eksplorasi panas bumi untuk dijadikan pembangkit di gunung arjuno, tercetus oleh Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Jawa Timur, melalui Kepala Dinas (Kadis)-nya saat itu tahun 2012, Dewi Putriatni dikutip dari Tempo (18/12/2012), mengatakan bahwa Gunung Arjuno-Welirang akan dieksplorasi dan akan mendapatkan status WKP.
Menurutnya, Gunung Arjuno-Welirang memiliki potensi sebesar 200 Mega Watt. Sedangkan, menurut pakar panas bumi dari ITS (Institute Teknologi Sepuluh November), Widya Utama, dikutip dari Tempo (18/12/2012), potensi panas bumi di Gunung Arjuno-Welirang mencapai 265 Mega Watt berdasarkan survei dari PT Elnusa.
Dari dokumen yang dicari keberadaannya pada tahun 2012, hanya merujuk kepada draft RUKN (Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional) 2012-2031. Namun draft tersebut tidak ditemukan bentuk hasilnya.
Tahun 2016, melalui Pers Rilis Kementerian ESDM, mengumumkan PT Geo Dipa ditugaskan untuk melakukan pengembangan Panas Bumi pada wilayah WKP PLTP Arjuno-Welirang.
Menurut laman Dunia-Energi.com dan laporan perusahaan PT Geo Dipa, mengatakan SK Menteri Keputusan Menteri (Kepmen) ESDM Nomor 1748 K/30/MEM/2017 tanggal 11 April 2017. Namun setelah Kebijakan.co.id cari dokumen resminya melalui laman JDIH Kementerian ESDM, Peraturanpedia.com, dan JDIH BPK RI tidak ditemukan keberadaannya, ntah karena sudah dicabut, terhapus, atau sengaja tidak dipublikasikan.
Lutung dan Anaknya dalam Kawasan Hutan Konservasi Raden Soerjo (Adi/Kebijakan.co.id)
Pada tahun 2021, menurut kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) Tahura Raden Soerjo, Ahmad Wahyudi dikutip dari Radar Bromo (15/05/2021), ”Sudah dilakukan kajian studi sosial ekonomi. Sekarang tengah berjalan kajian potensi dan lingkungan.”
Hal tersebut juga dikonfirmasi oleh Sadrah Devi (Kepala Seksi Perencanaan, Pengembangan dan Pemanfaatan UPT Tahura R. Soerjo) dan Sumantri Radiansyah (Kepala Sub Bagian Tata Usaha UPT Tahura Raden Soerjo) saat ditemui Kebijakan.co.id di Malang (08/02/23).
Kajian dilakukan semenjak 2018 hingga terakhir 2022, “Setelah mendapatkan persetujuan itu, mereka (PT Geo Dipa) melakukan kajian-kajian, kajian pendahuluan, kajian infrastruktur, kajian biodiversirtas,” ucap Sadrah Devi, selain itu, “Melibatkan tim ahli, dari UGM (Universitas Gadjah Mada), UB (Universitas Brawijaya).”
Sedangkan menurut Sumantri, “Mulai dari kajian dampak, kajian keanekaragaman hayati, satwa-satwa spesies kunci, terus sampe terakhir kajian infrastruktur tahun 2022.” Menurut Sadrah Devi, kajian tersebut dibutuhkan dalam rangka perencanaan yang matang untuk menetapkan titik pengeboran ekplorasi dan mitigasinya.
Kajian itu menurut Sumantri dalam rangka izin eksplorasi, “izin eksplorasinya nanti yang mengeluarkan KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan).” Tambahnya, “Izin lingkungan dan sebagainya itu, saat dia (Geo Dipa) mengajukan izin eksplorasi ke KLHK.” Sadrah Devi menjelaskan, “Kalau di KLHK itu (namanya) izin pemanfaatan jasa lingkungan panas bumi.”
Selain itu, menurut salah satu informan Kebijakan.co.id, pada tahun 2021 juga ditentukan jalur masuk alat berat eksplorasi melalui Desa Claket.
Sedangkan rencana di tahun 2023, menurut Direktur PT Geo Dipa Energi yang lama mengatakan dalam pers rilis, “Ke depan Geo Dipa akan mengembangkan Arjuno Welirang di Jawa Timur. Untuk pengembangan Arjuno Welirang akan ngebor di tahun 2023. Saat ini sedang melakukan sosialisasi dan perubahan Tahura (taman hutan raya) untuk Hutan pakai sesuai Proyek Strategi Nasional (PSN),” ungkap Riki Firmandha Ibrahim, Direktur Utama Geo Dipa Energi yang lama (21/10/2021).
Akan tetapi menurut Sumantri Radiansyah, “PT Geo Dipa ini sampai dengan saat ini baru pada tahap studi kajian.” Artinya belum sampai tahap Izin Dampak Lingkungan (Amdal). Ditegaskan lagi oleh Sadrah Devi, “Kalo Amdal memang belum.”
Menurut Sumantri Radiansyah, “Urusan dengan regulasi kehutanannya belum selesai.” Menurutnya, “kawasan konservasi inikan kawasan tertutup ya, aturan mainnya banyak.” Akan tetapi dia mengakaui bahwa target eksplorasi pada tahun 2023, “Itu tergantung sama Geo Dipanya.”
Selain itu, titik eksplorasi juga sudah ditentukan oleh PT Geo Dipa. Sadrah Devi menunjukan bahwa terdapat 3 titik (zona) yang akan dieksplorasi untuk pengambilan air dan uap panas bumi nantinya.
Tiga titik eksplorasi WKP Arjuno-Welirang (Adi/Kebijakan.co.id)
Pembiayaan dan Kerjasama Eksplorasi PLTP Arjuno-Welirang
PLTP Arjuno-Welirang dalam rencananya akan dilakukan Government Drilling atau dilakukan pengeboran oleh pemerintah —tujuannya mengurangi risiko hulu pemboran untuk menemukan titik panas bumi karena berpotensi gagal seperti di PLTP Baturaden Gunung Slamet, kegagalan inilah yang menjadikan ketakutan pengusaha investasi di panas bumi.
Dikutip dari Dunia-Energi.com, Pemerintah dalam melaksanakan pengeboran tersebut, memanfaatkan dana hibah Geothermal Energy Upstream Development Program (GEUDP) oleh Bank Dunia mencapai US$120 juta atau 1,8 Triliun dalam rupiah. Hibah tersebut tentu tanpa melibatkan BUMN.
Nantinya, skema pemboran eksplorasi telah diatur agar dana hibah yang tidak perlu dikembalikan oleh pemenang lelang. Pemenang lelang nantinya memberikan dana kompensasi dalam pengeboran tersebut, dana tersebut nantinya akan digunakan kembali untuk melakukan eksplorasi pada lapangan panas bumi lainnya (Revolving Scheme).
Melalui skema ini dengan asumsi sukses rasio eksplorasi 50%, maka penggunaan dana GEUDP diharapkan dapat dimanfaatkan untuk kegiatan program pemerintah government drilling eksplorasi lainnya.
Namun, menurut Direktur WALHI Jawa Timur saat ditemui Kebijakan.co.id (13/02/2023), “Dana hibah tersebut tentu diberikan begitu saja, ada proses pengembalian atau timbal baliknya kepada pemberi.”
***
Dalam melakukan government drilling ini, Pemerintah melalui Kementerian Keuangan mengatur terkait pendanaan ini melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 62/PMK.08/2017 tanggal 12 Mei 2017 tentang Pengelolaan Dana Pembiayaan Infrastruktur Sektor Panas Bumi pada Perusahaan Perseroan (Persero) PT Sarana Multi Infrastruktur.
PT Sarana Multi Infrastruktur (PT SMI) merupakan BUMN yang memiliki tugas khusus untuk pendanaan dan pengembangan infrastruktur dari Kementerian Keuangan. Dana pembiayaan pengeboran dan infrastruktur panas bumi, disalurkan dalam bentuk pinjaman, penyertaan modal dan/atau penyediaan data dan informasi untuk sektor geotermal.
Tujuan Nota Kesepemahan tersebut untuk mendukung implementasi program Government Drilling.
***
Dalam melakukan government drilling, pemerintah melalui BUMN-nya tidak sendirian, dia bekerjasama dengan James Lawless dan Greg Ussher dari Jacobs Consultant.
Jacobs Consultant merupakan pihak yang ditunjuk oleh kedutaan Selandia Baru sebagai operator pelaksanan Partnership Agreement antara Kementerian Perdagangan Selandia Baru dengan Direktorat Jenderal EBTKE dalam rangka percepatan pengembangan panas bumi di Indonesia.
Kerjasama dengan Selandia Baru juga tidak hanya dalam jasa konsultan pengembangan energi panas bumi. Dikutip dari Panasbuminews.com, PT Geo Dipa juga bekerjasama dengan perusahaan asal Selandia Baru untuk melakukan pengeboran sumur ramping (slim wells) di PLTP Arjuno-Welirang. Tujuan pengeboran sumur ramping tersebut untuk meminimalisir dampak lingkungan dan
Perusahaan yang akan melakukan pengeboran tersebut bernama PT Islandia North Tech Energy (PT NTE) melalui anak perusahaanya di Indonesia, PT North Tech Drilling, anak perusahaanya ini juga akan bekerjasama dengan subkontraktor Iceland Geo Survey (ÍSOR), sebuah perusahaan jasa eksplorasi panas bumi terkemuka dari Islandia.
Kerjasama tersebut meliput: (1) prognosis (memprediksi) sumur; (2) desain sumur untuk sumur eksplorasi untuk kedua proyek; (3) pengembangan program pemboran; (4) penyediaan peralatan pemboran; (5) pengujian sumur dan pekerjaan tambahan sesuai dengan persyaratan lingkungan.
Sedikit tentang PT NTE, diklaim merupakan perusahaan spesialis jasa pengeboran internasional yang ahli dalam pengeboran sumur dengan pendekatan yang ramah lingkungan, baik untuk eksplorasi maupun pengeboran sumur produksi. Perusahaan ini adalah salah satu dari sedikit perusahaan yang berpengalaman dalam pengeboran sumur tipis untuk eksplorasi panas bumi.
Sebelumnya melalui Pers Rilis Kementerian ESDM, PT NTE dilibatkan dalam pengembangan panas bumi di Pulau Flores yang bekerjasama dengan Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian ESDM. PT NTE tergabung dalam Eastern Indonesia Geothermal Consortium yang terdiri dari dua perusahaan lainnya: Turboden SpA dan SATE Ltd.
“Kami sangat bangga bekerja sama dengan PT Geo Dipa Energy dan mendukung ambisi rencana pengembangan panas bumi Indonesia. Pendekatan sumur ramping dan kegiatan eksplorasi yang direncanakan akan membantu mempercepat eksplorasi, mengurangi risiko proyek dan ini dengan dampak lingkungan minimal dan mengurangi biaya bagi perusahaan. Kami sangat bersemangat untuk masuk ke dalam proyek ini dengan mitra kami,” kata CEO PT NTE, Geir Hagalinsson dikutip dari Thinkgeoenergy.com (04/09/2020).
***
Kerjasama dengan pihak dari luar negeri membenarkan apa yang dikatakan oleh ahli Energi Baru Terbarukan di bidang Air yang juga dosen Teknik Elektro Universitas Muhammadiyah Malang, Machmud Effendy saat ditemui oleh Kebijakan.co.id (15/02/23), “untuk pembangunan itu (Panas Bumi) mahal Mas, harus import, kita masih import dari luar. Teknologinya dari luar semua.”
Selain itu sumber daya manusia yang ahli dalam panas bumi juga terbatas, “Turbin uap itu kan mahal Mas, belom ada yang bisa buat (di Indonesia) loh Mas, bisanya (di Indonesia) itu ya turbin air itu sama turbin angin.”
Terkait mahalnya pengeboran (drilling) hingga setengah biaya produksi, menurut Sudra Irawan, dkk, dalam paper ilmiahnya, disebabkan:
Pertama, sifat target fluida (zat yang cair dan dapat mengalir atau zat alir, seperti cairan dan gas) di dalam reservoir (tempat penyimpanan air di kerak bumi) biasanya bersifat: (1) corrosive (merusak), (2) temperature tinggi (panas), dan (3) tekanan tinggi, yang mengharuskan penggunaan peralatan khusus yang lebih tahan pada ketiga hal tersebut di atas.
Kedua, diameter lubang yang besar fluida yang diproduksi adalah air (secara komersial, harganya tidak tinggi), maka dibutuhkan flow-rate (laju aliran) yang tinggi untuk dapat menutup biaya produksi. Hal ini berarti membutuhkan lubang bor yang besar dan casing (pipa baja dengan fungsi menjaga kestabilan lubang bor agar tidak runtuh, menutup zona bertekanan abnormal) yang besar.
Hal tersebut juga disetujui oleh Machmud Effendy, “Kalau kesalahan dikit dalam eksplorasi ya rugi besar Mas, resikonya tinggi.”
***
Selain dua BUMN, yaitu PT Geo Dipa Energi dan PT SMI, dana tersebut juga mencatut BUMN lainnya, PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia, yang juga mendapatkan tugas khusus di bawah Kementerian Keuangan yang bertugas untuk memberikan penjaminan atas proyek infrastruktur pemerintah yang dikembangkan.
***
Kembali lagi kepada pendanaan PLTP Arjuno-Welirang, menurut Wahyu Eka Setyawan, Direktur WALHI Jawa Timur saat ditemui Kebijakan.co.id (13/02/2023), memberikan pernyataan bahwa WKP Arjuno-Welirang belum ada pendanaan dari investor yang masuk, itulah yang memnyebabkan terlambat di antara PLTP Dieng atau PLTP lainnya direncakan di tahun yang bersamaan dengan PLTP Arjuno-Welirang.
Terkait dengan belum ada pendanaan dari investor, menurut informan Kebijakan.co.id hal itu dibenarkan.
Untuk mengkonfirmasi terkait pendanaan dan semua hal terkait PT Geo Dipa Energi, Kebijakan.co.id sudah berusaha menghubungi PT Geo Dipa Energi, selaku penentu jalannya proyek di lapangan, melalui surat permohonan wawancara (16/02/23) dan surat elektronik, namun sampai tulisan ini terbit belum ada respons dari PT Geo Dipa Energi.
Kebijakan.co.id juga meminta bantuan secara langsung kepada perwakilan PT Geo Dipa Energi di Mojokerto, Zulpriadi, yang khusus ditugaskan dalam proyek PLTP Arjuno-Welirang, untuk meneruskan surat kepada bagian sekretaris umum PT Geo Dipa Energi, “saya tidak memiliki kewenangan untuk memberikan statetment, biar atasan saja, tapi nanti biar saya bantu untuk meneruskan (pertanyaannya),” katanya (25/02/23).
PLTP Panas Bumi (Anis Efizudin/Antara Foto)
Pembangkit Panas Bumi: Eksplorasi, Eksploitasi, dan Operasi
Secara teknis, eksplorasi dilakukan melalui beberapa tahap. Dalam paper ilmiah yang ditulis oleh Sudra Irawan, dkk. menuliskan beberapa tahap dalam mengelola panas bumi menjadi pembangkit listrik, di antaranya.
Pertama, eksplorasi pendahuluan atau reconnaisance survei. Kegiatan ini bertujuan untuk mencari daerah prospek panas bumi, yaitu daerah yang menunjukkan tanda-tanda adanya sumber daya panas bumi dilihat dari penampakan di permukaan, serta untuk mendapatkan gambaran mengenai kondisi tanah di daerah tersebut.
Dalam tahap pertama, beberapa hal yang perlu dilakukan: pertama, studi literatur; kedua, survei lapangan; ketiga, analisa data; keempat, menentukan daerah prospek; kelima, spekulasi besar potensi listrik; keenam, menentukan jenis survei yang akan dilakukan selanjutnya.
Kedua, eksplorasi lanjut atau rinci (pre-feasibility study), yaitu melakukan kajian terhadap data geologi, hidrokimia, dan geokimia. Selain itu juga melakukan hipotesa (dugaan sementara), menganalisis, dan mengetahui reservoir (tempat penyimpanan air panas dan uap di kerak bumi), temperatur reservoir, asal sumber air, dan jenis batuan reservoir.
Detail data geologi yang menjadi pertimbangan meliputi: pertama, kondisi tektonik dan statigrafi (ilmu yang mempelajari lapisan batuan dan tanah); kedua, keberadaan dan posisi patahan (lempeng); ketiga, distribusi dan umur batuan vulkanik; keempat, lokasi manifestasi panas bumi; kelima, lokasi batuan yang mengalami alterasi (perubahan komposisi batuan secara kimia yang terjadi dalam keadaan padat lantaran adanya pengaruh suhu dan tekanan yang tinggi).
Selain itu, data hidrokimia meliputi: pertama, kandungan kimia air dan gas dengan geothermometer (alat untuk mengukur suhu tandon panas bumi); kedua, stable isotope analysis (analisis terhadap isotope atau atom-atom yang ada); ketiga, umur fluida dengan radio isotope; keempat, gas flux measurenment.
Terkakhir, data geofisika, meliputi: pertama, sifat fisik batuan mulai dari permukaan hingga beberapa kilometer di bawah permukaan; kedua, gradien temperature/anomali gradien; ketiga, hasil survey gravity, geomagnetik, geolistrik; keempat, hasil analisis manifestasi permukaan.
Ketiga, pengeboran eksplorasi. Menurut Siti Rofikoh dalam paper ilmiahnya, jumlah sumur eksplorasi tergantung dari besarnya luas daerah yang diduga mengandung energi panas bumi. Biasanya di dalam satu prospek dibor 3 – 5 sumur eksplorasi.
Sedangkan kedalaman sumur tergantung dari kedalaman reservoir yang diperkirakan dari data hasil survei rinci, batasan anggaran, dan teknologi yang ada. Tetapi sumur eksplorasi umumnya dibor hingga kedalaman 1000 – 3000 meter.
Selain itu, terdapat 3 jenis sumur yang dibedakan berdasarkan fungsinya, yaitu:
(1) Sumur Produksi, digunakan untuk mengambil panas dalam bentuk uap (steam) atau air panas (brine).
(2) Sumur Injeksi, berfungsi untuk menginjeksikan kembali brine setelah energi panasnya diekstraksi, atau untuk menginjeksikan air sisa dari proses di power plant (kondensat) ke dalam field geothermal atau tanah mula-mula kembali.
(3) Sumur Delineasi (Pemantauan), pada sumur ini tidak dilakukan produksi maupun injeksi, akan tetapi berfungsi untuk melakukan pemantauan terhadap suatu area.
Secara visual, Jelajah Trans TV, ikut ke dalam proses pengeboran yang dilakukan Pertamina Geothermal Energy.
Keempat, studi kelayakan (feasibility study). Dilakukan apabila ada beberapa sumur eksplorasi menghasilkan fluida panas bumi.
Tujuan dari studi ini adalah untuk menilai apakah sumber daya panas bumi yang terdapat di daerah tersebut secara teknis dan ekonomis menarik untuk diproduksikan. Seperti kasusnya PLTP Baturaden, yang ketika dibor, panas bumi yang dicari tidak mencapai target yang diinginkan.
Kelima, perencanaan. Apabila dari hasil studi kelayakan disimpulkan bahwa daerah panas bumi tersebut bisa untuk dikembangkan, baik ditinjau dari aspek teknis maupun ekonomis, maka tahap selanjutnya adalah membuat perencanaan secara detail.
Rencana pengembangan lapangan dan pembangkit listrik mencangkup usulan secara rinci mengenai fasilitas: (1) kepala sumur; (2) fasilitas produksi dan injeksi di permukaan; (3) sistem pipa alir di permukaan; (4) hingga fasilitas pusat pembangkit listrik.
Keenam, pengembangan dan pembangunan.
Ketujuh, produksi. Dalam video yang dibuat oleh Chevron yang dikirimkan kepada Indonesia Water Learning Week 2014, menjelaskan PLTP seperti cerek atau tungku untuk memanaskan air di kompor.
Akan tetapi, panas dari kompor dihasilkan dari magma (panas dari dalam bumi), panas yang dihasilkan dari batu-batuan yang meleleh, yang umumnya ada di daerah pegunungan. Air yang terkumpul dari daratan atau hujan mengumpul di reservoir, air tersebut lah yang di panaskan oleh magma tadi.
Untuk mendapatkan air panas dan gas tadi, maka permukaan tanah harus dibor. Sumur produksi tersebut, lalu membawa air panas dan gas tadi ke permukaan tanah. Karena sifatnya bertekanan tinggi (air panas dan gas) maka secara otomatis akan menguap ke atas melalui sumur yang dibor tadi.
Zat cair (air panas dan gas) akan melalui kepala sumur dan jaringan pipa menuju ke separator. Separator tersebut memisahkan antara air panas dan uap panas. Air panas yang sudah dipisahkan (brine) kemudian di kembalikan (injeksi) lagi ke reservoir (dasar bumi), lalu akan dipanaskan kembali oleh magma, dan akan dimanfaatkan lagi.
Dari separator –yang memisahkan air panas dan uap panas–, uap panas dialirkan ke pembangkit listrik melalui sistem jaringan pipa besar di atas tanah, menyebabkan pipa ini panas dan akan memuai jika diisi uap panas. Pipa ini membentang kurang lebih 3km.
Uap panas tersebut melalui scrubber (tempat permunian terakhir) untuk memisahkan kotoran-kotoran yang tersisa. Uap panas yang selesai dibersihkan dari kotoran dialirkan kepada turbin, dari uap panas tersebut menggerakkan turbin-turbin pembangkit. Turbin-turbin yang bergerak tersebut menggerakkan generator listrik yang akan dialirkan kepada masyarakat.
Kedelapan, perluasan atau pengembangan. Terakhir, kesemuanya ini akan dibangun di Hutan Konservasi Taman Hutan Raya Raden Soerjo.
Paradoks Energi Terbarukan yang Seharusnya Sebagai Anti-Tesa dari Batu Bara yang Merusak Alam, Justru Hadir dengan Gaya yang Sama, Akan Tetapi Perbedaannya Ada Pada Energi yang Tidak Bisa Habis, Namun Itu Harus Diuji Kembali.
Ambisi transisi energi pemerintah melalui BUMN-nya, PT Geo Dipa Energi, menyisakan ancaman kerusakan lingkungan, karena dibangun di atas hutan konservasi, mengancam habitat satwa dilindungi, mata air, wisata alam, dan masyarakat 3 kabupaten/kota.
Ambisi PLTP bertenaga 200 Mega Watt tersebut hadir dalam bentuk rencana proyek melalui Peraturan Presiden, Pengamanan Pendanaan oleh Kementerian Keuangan, dan Kelanjutan rencana pembangunan PLTP Arjuno-Welirang oleh Kementerian ESDM beserta BUMN yang ditugasi secara khusus, PT Geo Dipa Energi.
Kebijakan.co.id telah mengujungi beberapa narasumber untuk membuktikan juga mengkonfirmasi terkait hal ini. Di antaranya, UPT Taman Hutan Raya Raden Soerjo, Jaringan Kolektif Energi Berkeadilan di Malang Raya, WALHI Jawa Timur, Kantor Desa Claket Mojokerto, Ahli Energi Baru Terbarukan, KHM Malang Raya, Perwakilan PT Geo Dipa di Mojokerto, Masyarakat Desa Claket, dan Masyarakat Kota Batu. Mengikuti diskusi Greenpeace yang dihadiri, ICEL, IESR, dan Trend Asia. Serta menyurati beberapa instansi terkait, PT Geo Dipa Energi, Dinas Kehutanan Jawa Timur, Direktorat Pemanfaatan Jasa Lingkungan Kawasan Konservasi KLHK RI, Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementeri ESDM RI.
***
Mojokerto, Kebijakan.co.id – Cerita selanjutnya datang dari selatan Desa Claket, Taman Hutan Raya (Tahura) Raden Soerjo. Cerita yang tidak kalah menarik dari sebelumnya, ialah rencana pembangunan PLTP Arjuno-Welirang (Wilayah Kerja Panas Bumi/WKP Gunung Arjuno Welirang) merupakan PLTP yang akan dibangun pertama kalinya di atas hutan konservasi.
Gambaran tentang indahnya dan ‘angker’ khas hutan ini bisa dirasakan oleh setiap pengendara jika melewati jalan yang membelah kaki gunung tersebut dari Desa Pacet menuju Kota Batu, atau sebaliknya.
Monyet-monyet di pinggir jalan yang ketagihan diberikan makan oleh manusia, suara khas hutan dengan flora-faunanya, banyaknya warung-warung makan dan kopi di pinggir hutan terbuka, bahkan ada Kopi Dari Hati, tak jarang juga pelintas yang foto-foto di jembatan kembar penyebarangan karena latar belakang bentang alam Hutan Raden Soerjo.
“Nah ini, pertama kali panas bumi (dibangun) di kawasan konservasi yang memang kawasannya sudah ditetapkan, itu baru di sini (Taman Hutan Raya atau Tahura Raden Soerjo),” menurut Sumantri Radiansyah, Kepala Sub Bagian Tata Usaha UPT Tahura yang diwawancarai oleh Kebijakan.co.id di Malang (08/02/2023).
“Kalau yang lain (ada), (akan tetapi) dia sudah melakukan eksplorasi panas bumi (dahulu), ternyata (setelahnya) kawasannya baru ditetapkan kawasan konservasi, di halimun (bogor) salah satunya (WKP Cibeureum-Parabakti),” tambah Sumantri meyakinkan kalau rencana PLTP ini akan menjadi yang pertama di kawasan konservasi.
Kabar ini tentu menjadi kabar baik dan kabar buruk. Kabar baiknya, “Mungkin kalau ini goal (disetujui) Geo Dipa, akan jadi percontohan,” kata Sumantri Radiansyah saat di temui Kebijakan.co.id (08/02/2023) atau setidak-tidaknya untuk mereka yang mendukung energi terbarukan dengan tanda kutip merusak hutan konservasi.
Kabar buruknya, ketakutan akan dampak-dampak yang terjadi saat mengeksplorasi dan terdapat potensi gagal seperti PLTP Baturaden Gunung Slamet, merupakan sebuah tanda terancamnya hutan konservasi. Dan yang pasti ialah pembukaan hutan tersebut untuk alat berat eksplorasi.
Selamat Datang di Taman Hutan Raya Raden Soerjo (Adi/Kebijakan.co.id)
Status Hutan Konservasi yang Dijamah
Bicara tentang status Tahura Raden Soerjo, didapatkan dari Soeharto, Presiden ke-2 Republik Indonesia, pada tahun 1992. Tahura sendiri dalam Undang-Undang (UU) No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan –yang kemudian banyak mengalami perubahan dan beberapa judicial review oleh Mahkamah Konstitusi– termasuk dalam Kawasan Hutan Pelestarian Alam (KPA) yang di dalamnya terdapat 2 jenis hutan lainnya, yaitu Taman Nasional dan Taman Wisata Alam.
KPA sendiri merupakan salah satu jenis Hutan Konservasi, lainnya terdapat Kawasan Hutan Suaka Alam (KSA) yang di dalamnya terdapat Cagar Alam dan Suaka Margasatwa, serta Taman Buru.
Hutan konservasi secara normatif (aturan yang tertulis) dalam UU tentang Kehutanan memiliki fungsi pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya.
Pertama, perlindungan, sebagai tempat perlindungan keanekaragaman hayati dan sistem penyangga kehidupan di dalamnya;
Kedua, pelestarian, sebagai tempat pelesetarian keanekaragaman hayati yang terdapat di dalam hutan dan tetap lestari terhindar dari kepunahan;
Ketiga, pemanfaatan, sebagai tempat pemanfaatan kekayaan hutan berupa flora dan fauna yang dapat dimanfaatkan dengan bijak dan tentunya penuh tanggung jawab;
***
Dari pengertian tersebut, tentu mendapatkan gambaran sederhana tentang apa itu Hutan Konservasi. Permasalahan lainnya datang juga secara normatif, Kebijakan.co.id telah melakukan riset terhadap produk peraturan perundang-undangan yang mengatur terkait Panas Bumi dan Hutan Konservasi:
Pertama, dalam Pasal 5 Undang-Undang No. 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi, hutan konservasi diperbolehkan untuk dimanfaatkan baik secara langsung (bukan untuk keperluan energi) dan dimanfaatkan secara tidak langsung (untuk mengeksplorasi air dan memisahkannya dengan uap panasnya) untuk dimanfaatkan menggerakkan turbin menjadi energi listrik.
Artinya, dalam Undang-Undang ini memang diperbolehkan hutan konservasi dijamah. Persetan dengan status hutan konservasi, persetan dengan praktik di lapangan yang mengharuskan panas bumi membuka lahan cukup luas, mengebor berkali-kali dan berpotensi gagal.
Kedua, dalam peraturan yang lebih khusus, baik dalam Peraturan Pemerintah No. 3 tahun 2008 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan Serta Pemanfaatan Hutan, juga dalam aturan yang lebih kecil lagi yaitu Peraturan Daerah Jawa Timur No. 2 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Taman Hutan Raya R. Soerjo, memperbolehkan jasa lingkungan.
Akan tetapi, pemanfaatan jasa lingkungan tersebut dengan tidak merusak lingkungan dan mengurangi fungsi utamanya. Secara definisi arti kata kerusakan (atau merusak) dalam Pasal 1 angka 17 UU No. 32 Tahun 2009 tentang PPLH (Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup) ialah perubahan langsung lingkungan hidup yang melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.
Yang jelas, pembukaan lahan, eksplorasi, dan eksploitasi air –walau dikembalikan lagi— itu merupakan kerusakan lingkungan hidup, yang dapat dilihat secara kasat mata, bukan pencemaran yang berangsur-angsur, walau harus ditentukan baku mutu kerusakannya. Artinya, kedua hal ini antara Panas Bumi dan Jasa Lingkungan Hutan Konservasi paradoks sejak dalam arti normatif.
***
Baru secara normatif. Secara praktik, dalam pers rilisnya, menurut Direktur PT Geo Dipa Energi yang lama mengatakan, “Ke depan Geo Dipa akan mengembangkan Arjuno Welirang di Jawa Timur. Untuk pengembangan Arjuno Welirang akan ngebor di tahun 2023. Saat ini sedang melakukan sosialisasi dan perubahan Tahura (taman hutan raya) untuk Hutan pakai sesuai Proyek Strategi Nasional (PSN),” ungkap Riki Firmandha Ibrahim, Direktur Utama Geo Dipa Energi (21/10/2021).
Sedangkan setelah dikonfirmasi terkait perkataan perubahan status Tahura menjadi hutan pakai, menurut Radiansyah Sumantri saat ditemui Kebijakan.co.id (08/02/2023), Kasubag UPT Tahura Raden Soerjo mengatakan itu tidak tepat, “Itu yang perlu diluruskan, status (kehutanan) bagi orang (yang mempelejarai) kehutanan, tahapnya itu udah tinggi.” Tambahnya, “Jadi sebenarnya bukan berubah status, tapi berubah pemanfaatannya penggunaannya, statusnya (konservasi) tetap kawasan konservasi.”
Sumantri juga menjelaskan sesuai dengan Peraturan Daerah No. 2 Tahun 2013, “Di kita (Tahura) mekanisme pengelolaannya ada blok, di (blok) sini untuk dimanfaatkan, (sedangkan) di (blok) sini khusus tidak boleh dimasukin orang, (blok) sini khusus wisata, (blok) sini khusus koleksi jenis, nah itu ada.”
Cerita Sumantri tentang Geo Dipa, “Nah yang geodipa awalnya di (blok) koleksi, automatis harus dirubah dulu nih dokumennya karena mau dimanfaatin (hutannya), syaratnya apa? kajian tadi. Di situ dilewatin macan gak? nah gitu-gitu. Kajian kehati (keragaman hayati). Nah yang mengkaji juga yang ahli di bidangnya.” Jadi bukan merubah status hutan konservasi menjadi hutan pakai.
“Awal untuk konservasi, ganti status menjadi lindung, lindung yang taraf turun satu tingkat aja udah beda, dia bisa diakses orang, orang bisa memanfaatkan hasil hutan selain kayu, apalagi status diganti jadi produksi, dia (hutannya) bisa dipanen.”
***
Selain hutan konservasi yang merupakan salah satu jenis fungsi hutan, dua lainnya yang juga sudah disinggung, yaitu hutan lindung dan hutan produksi.
PLTP lainnya rata-rata dibangun di atas hutan lindung, “Di Dieng (WKP Dataran Tinggi Dieng) itu dia HPL (Hak Penggunaan Lain),” tambah Radhar Sevi, Kepala Seksi Perencanaan, Pengembangan dan Pemanfaatan Tahura R. Soerjo.
Sedangkan, menurut Wahyu Eka Setyawan, Direktur Walhi Jawa Timur saat ditemui Kebijakan.co.id di Surabaya (13/02/2023), memberikan contoh lainnya PLTP dibangun di atas hutan lindung, “seperti di PLTP Baturaden (WKP Baturaden) yang gagal (eksplorasi) itu.” PLTP Baturaden dibangun di atas hutan lindung Gunung Slamet.
Selain itu, Wahyu juga menunjukan kepada Kebijakan.co.id terdapat halaman resmi ESDM untuk melihat peta bauran (jenis) energi baru dan energi terbarukan di Indonesia.
Kemudian, dari informasi tersebut Kebijakan.co.id melakukan verifikasi halaman resmi geoportal milik Kementerian ESDM untuk melihat PLTP yang akan dibangun dan sudah dibangun di pulau Jawa. Lalu mencocokan ke dalam Peta Kawasan Konservasi dan Peta Kawasan Hutan milik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Kebijakan.co.id menemukan dari 29 WKP & WPSP (Wilayah Penugasan Survei Pendahuluan) bahwa PLTP yang akan (22 lokasi) dan sudah diberoperasi (7 lokasi) di pulau Jawa bersentuhan dengan kawasan konservasi di antaranya 2 Suaka Margasatwa, 5 Taman Nasional, 3 Taman Hutan Raya, 15 Cagar Alam, 8 Taman Wisata Alam yang keseluruhannya merupakan kawasan konservasi, jika di total sebanyak 31 kawasan konservasi.
Sedangkan kawasan non-konservasi di antaranya 7 hutan lindung, 1 hutan produksi tetap, dan sisanya 4 tanpa keterangan –yang pasti bukan kawasan konservasi.
Namun, dari data WKP tersebut ada yang tidak tercatat dalam geoportal Kementerian ESDM tersebut. Seperti, WKP Patuha, WKP Candradimuka, yang keduanya tercatat dikelola oleh PT Geo Dipa Energi. Kemungkinan, ada beberapa WKP yang tidak tercatat secara baik oleh geoportal Kementerian ESDM.
Garis Merah untuk Geo Dipa
Hal yang menarik pembahasan sebelumnya, ketika negara melegitimasi (memperbolehkan melalui undang-undang) Hutan Konservasi dijamah, dan aktornya ialah PT Geo Dipa Energi, yang merupakan perusahaan plat merah, BUMN (Badan Usaha Milik Negara).
Geo Dipa juga memiliki tugas khusus (Special Mission Vehicle) di bawah Kementerian Keuangan untuk pemanfaatan Panas Bumi. Artinya, sudah dilegitimasi oleh negara, dilakukan oleh negara, kepada hutan konservasi yang ditetapkan oleh negara.
Akan tetapi menurut Sadrah Devi, UPT Tahura Raden Soerjo kepada Kebijakan.co.id, mewanti-wanti kepada PT Geo Dipa Energi, “Yang jelas juga kita sebagai pihak pengelola Raden Soerjo perlu dan memastikan bahwa nanti itu step-step (langkah-langkah) yang dilewati itu terpenuhi semua, bukan yang semerta-merta karena BUMN bisa langsung aja, nggak bisa juga,” tegas Sadrah dengan sedikit gusar.
Ketika diceritakan oleh Kebijakan.co.id terkait kegagalan dalam eksplorasi di salah satu PLTP, Sadrah Devi merespon, “Yang jelas begini, itu kan secara tekniknya lah ya, ‘di sini ngebor gadapet, ngebor sini gadapet’, kalau kami dari sisi kehutanan, nah dia ngebornya di mana itu yang kita mitigasi, jangan sampai rencana di sini, eh dia mencelat (pindah) ke sana, nggak boleh keluar dari area yang sudah direncanakan masak-masak.” terang Sadrah Devi.
Di akhir Sadrah Devi menekankan, “udah kita batasi. kalau nggak ketemu yaudah nggak ketemu. Nggak bisa lagi semaunya.” Wanti-wanti lainnya datang Sumantri Radiansyah, UPT Tahura Raden Soerjo kepada Kebijakan.co.id, “Kalau mau pindah, dia (PT Geo Dipa) harus ngurus lagi. Kajian lagi (dari awal). Nggak (bisa) sembarangan (eksplorasi).”
***
Terkait batasan-batasan dalam hutan konservasi yang dijalankan oleh PT Geo Dipa Energi, Kebijakan.co.id sudah berusaha mengkonfirmasi informasi tersebut kepada PT Geo Dipa Energi, selaku penentu jalannya proyek di lapangan, melalui surat permohonan wawancara (16/02/23) dan surat elektronik, namun sampai tulisan ini terbit belum ada respons dari PT Geo Dipa Energi.
Kebijakan.co.id juga meminta bantuan secara langsung kepada perwakilan PT Geo Dipa Energi di Mojokerto, Zulpriadi, yang khusus ditugaskan dalam proyek PLTP Arjuno-Welirang, untuk meneruskan surat kepada bagian sekretaris umum PT Geo Dipa Energi, “saya tidak memiliki kewenangan untuk memberikan statetment, biar atasan saja, tapi nanti biar saya bantu untuk meneruskan (pertanyaannya),” katanya (25/02/23).
Yang perlu diketahui PT Geo Dipa juga terus mendukung Tahura Raden Soerjo untuk melakukan kajian, “Supporting kajian kita juga,” menurut Sumantri Radiansyah. Seperti, “Kita perlu mendalami area situ, nah dia support juga, (untuk) inventarisasi keanekaragaman hayati.” Simpulnya, “Jadi sudah banyak sinerginya, untuk penguatan fungsi Tahura.”
Luas dan Lokasi Rencana PLTP Arjuno-Welirang di Hutan Konservasi
Dari status konservasi, bicara hal yang lebih teknis yaitu luasan dan rencana lokasi eksplorasi. Dalam situs resminya, Taman Hutan Raya ini memiliki luas 27.868,30 Hektare atau 2x luas kota Malang ditambah kecamatan DAU, Kabupaten Malang. Di mana luasan tersebut dibagi menjadi Kawasan Hutan Lindung 22.908,3 Hektare, dan Kawasan Cagar Alam Arjuno-Lalijiwo (PHPA/Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam) 4.960 Hektare.
Jika benar akan dibangun WKP (Wilayah Kerja Pertambangan) PLTP Arjuno-Welirang yang menurut dokumen rencana awal Kementerian ESDM di tahun 2017 memiliki luasan 21.280 Hektare untuk 4 titik, maka praktis secara matematis tersisa hanya 6.588 Hektare. Sugeng, inisiator gerakan Energi Berkeadilan di Malang Raya, saat ditemui Kebijakan.co.id di Malang (09/02/23) juga pernah melakukan perhitungan seperti ini, menurutnya, “luasnya berkurang banyak ya.”.
Akan tetapi menurut informasi terbaru yang diperoleh dari UPT Tahura Raden Soerjo, titik lokasi tersebut berada di bagian utara Tahura yang berdekatan dengan Desa Claket, Kabupaten Pacet. Menurut Sadrah Devi saat ditemui Kebijakan.co.id (08/02/2023), “untuk lokasi titik koordinatnya hanya PT Geo Dipa yang mengetahui,” akan tetapi Sadrah memberikan informasi titik yang sekiranya akan dieksplorasi di tiga zona ini.
Tiga titik eksplorasi yang ditunjukan perwakilan UPT Tahura Raden Soerjo (Google Earth)
Titik lokasinya 6km dari ujung kawasan yang berdekatan dengan Desa Claket, hingga. “yang terjauh sekitar 16 km (dari ujung kawasan),” menurut Sadrah Devi.
Hal tersebut juga dikonfirmasi oleh Sekretaris Desa Claket, Muchlis saat ditemui Kebijakan.co.id di Kantor Desa Claket, Mojokerto (15/02/23), bahwa titik pengeboran yang dilakukan berjarak 6 sampai 7 kilometer, “itu sekitar 6-7 kilo meter (dari desa masyarakat).”
Ancaman Kegagalan Eksplorasi
Rencana eksplorasi tersebut, tidak jarang menimbulkan ancaman. Salah satunya ialah kegagalan dalam eksplorasi. Menurut Machmud Effendy, salah satu dosen Teknik Elektro Universitas Muhammadiyah Malang, yang juga merupakan ahli Energi Baru Terbarukan di bidang Air saat ditemui oleh Kebijakan.co.id (15/02/23), “Kalau melihat dari pengeboran sebelumnya yang pernah gagal di Gunung Salak, adanya kerusakan lingkungan, sehingga Amdal-nya belum di laksanakan secara maksimal.”
Menurut Wahyu Eka Setyawan, Direktur WALHI Jawa Timur saat ditemui Kebijakan.co.id (13/02/2023), memberikan penjelasan bahwasannya pembangunan PLTP merupakan sumber energi terbarukan yang beresiko tinggi. Selain dampaknya yang berbahaya bagi lingkungan, biaya pembangunan pembangkit ini juga tidak sedikit, dan sangat berpotensi gagal dalam pengeboran air panas terbarukan, sehingga melakukan pengeboran ulang di tempat lainnya.
Melihat gagalnya eksplorasi PLTP Baturaden hingga lebih dari satu kali oleh PT Sejahtera Alam Energi menyebabkan harus berpindahnya titik eksplorasi hingga yang keempat.
“Rencana kita berikutnya itu kan sumur keempat. Kan sudah tiga, yang sukses baru satu. Yang sukses itu baru satu yang H. Yang F, kita tidak sampai Pak. Karena situasi kultur tanah yang ada di F kan,” ucap Kepala Teknis Panas Bumi PT SAE, Albaren Simbolon kepada Gatra.com (15/02/2021). Untuk diketahui bahwa wellpad (zona) H masih dievaluasi untuk dimanfaatkan karena panas bumi yang dikeluarkan tidak sesuai rencana.
Selain itu, menurut Hadi Priyanto, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace, saat ditanya Kebijakan.co.id pada Konfrensi Pers: Salah Arah RUU EBET (6/2/2023), “di (PLTP) Dieng itu, setiap 5 tahun sekali ternyata dia ngebor sumur baru, kenapa? karena dalam 5 tahun itu dia akan berpotensi untuk tidak produktif lagi, jadi dia harus menemukan sumur baru dan ketika dia ngebor sumur baru dia akan mennyediakan fasilitas pendukung seperti waduk buat dia masukin airnya.”
Tentu hal tersebut harus dipersiapkan secara masak, sebab di dua PLTP sebelumnya bukan berdiri di atas Hutan Konservasi. Akan fatal jika kesalahan ada pada eksplorasi PLTP Arjuno-Welirang yang berada di kawasan konservasi. Atau pilihan lainnya ‘tidak bermain api di pabrik petasan’ artinya tidak perlu dibangun PLTP di kawasan konservasi.
Hewan yang Terancam Habitatnya
Di balik ancaman kegagalan eksplorasi tersebut, atau setidaknya jika jadi dieksplorasi PLTP Arjuno-Welirang ini, maka yang terancam ialah keanekaragaman hayatinya, mulai dari hewan dan tumbuhan di dalam Hutan Raden Soerjo.
Menurut Sumantri Radiansyah, UPT Tahura Raden Soerjo, bercerita kepada Kebijakan.co.id dalam hal mencegah jika eksplorasi dilakukan khususnya kepada hewan dan tumbuhan, “Terkait flora fauna, (selama) 2018-2022, itu salah satunya mengkaji flora fauna, mitigasi nya seperti apa? misalnya bangun jalan nih (untuk akses eksplorasi) nyebrang jalan atau gimana? dia harus buatin kanopinya.”
Tegas Sumantri Radiansyah dalam bercerita terkait kajian tersebut, “Yang jelas kajiannya sudah meliputi mitigasinya nanti saat dia melakukan pembangunan.” Menurut Sadrah Devi, “Yang jelas pembangunan ini pasti ada pengorbanan, pengorbanan ini nya ini kita minimalisir, mitigasi, monitoring pembangunan.”
Bicara apa saja yang terancam akibat adanya eksplorasi tersebut mulai dari hewan hingga tumbuh-tumbuhan. “Yang jelas keragaman flora faunanya kita itu burung ada 100 lebih spesies”, terang Radiansyah Sumantri.
“Nah kalau satwa prioritas atau penciri (satwa kunci) kita itu yang jelas Elang Jawa (Nisaetus Bartelsi) 7 individu,” terangnya lagi. Mengutip dokumen Kementerian Kehutanan tahun 2013 berjudul Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Elang Jawa (2013-2022), populasi ‘Sang Garuda’ dalam beberapa penelitian tercatat paling terbaru diperkirakan sebanyak 325 pasang.
Terbaru, menurut Indra Exploitasia, Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati KLHK dalam pers rilisnya, diperkirakan terdapat, “ada 300 pasang (Burung Elang Jawa), jadi setidaknya ada 600 ekor di alam bebas.”
Selain itu ada, “Lutung (Lutung Jawa/Trachypithecus Auratus),” “Rusa (Rusa timorensis),” “Macan Tutul (Panthera Pardus Melas).” Akan tetapi macan tutul dia tentatif (masih bingung) akan ada macan tutul tersebut, sebab menurutnya, “saya belum pernah melihatnya secara langsung.”
Saat diminta hewan-hewan yang ada di sana secara detail dengan tujuan ingin menunjukan bahwa hewan di sana akan terancam habitatnya, namun ditolak oleh Sadrah Devi, “Tapi itu ada bahaya loh Mas.” Menurutnya, “orang yang berniat buruk pun, emang dikira kita nggak terancam nih kawasan konservasi, banyak perburuan, bahkan dia terima pesanan dari luar negeri, yang bacanya dari mana? internet,” ungkap Ibu itu dengan gusar.
Kebijakan.co.id memanfaatkan data terbuka dari internet untuk mencari satwa yang ada di Hutan Raden Soerjo –tetapi bukan tujuan untuk memburunya secara liar–, menurut halaman resmi Tahura Raden Soerjo dan instagram resmi Tahura Raden Soerjo, terdapat Musang Leher Kuning (Martes flavigula).
Selain itu jenis spesies burung di antaranya, Burung Pelanduk Bukit (Trichastoma pyrrogenys), Burung Puyuh Gonggong (Arborophila Javanica), Anis Siberia (Zoothera Sibirica), Burung Paok Pancawarna (Pitta Guajana), Burung Cucak Gunung (Pycnonotus Bimaculatus), Burung Luntur Harimau (Harpactes Oreskios). Sedangkan dari tumbuh-tumbuhannya, salah satunya yaitu Anggrek Hantu (Gastrodia bambu).
Spesies yang dilindungi tersebut, ialah Burung Sikep Madu Asia (Pernis Ptilorhynchus), Burung Elang Bido (Spilornis Cheela), Elang Alap Cina (Accipiter Soloensis), Burung Elang Hitam (Ictinaetus Malayensis), Alap Alap Macan (Falco severus), Cekakak Jawa (Halcyon Cyanoventris), Burung Cekakak Sungai (Todirhamphus Chloris).
Selain itu, Burung Julang Emas (Rhyticeros Undulatus), Burung Madu Gunung (Aethopyga eximia), Burung Madu Jawa (Aethopyga Mystacalis), Burung Takur Tulung Tumpuk (Megalaima Javensis), Burung Tepus Pipi Perak (Stachyris Melanothorax), Burung Kipasan Bukit (Rhipidura Euryura). Sedangkan burung yang dengan tingkat kelimpahan tertinggi adalah Burung Walet Linci (Collocalia Linchi).
Penelitian lainnya ditulis oleh Fadilah (dkk.) berjudul Kelimpahan dan Kesamaan Jenis Aves Serta Status Konservasi di Taman Hutan Raya Raden Soerjo, Jawa Timur (2019). Dari hasil penelitian di 2 lokasi di bagian hutan tersebut, mereka mengatakan terdapat 2 spesies burung yang dilindungi, di antaranya yang sudah disebutkan sebelumnya Burung Luntur Harimau dan Burung Ciung Mungkal Jawa (Chocoa Azurea) serta burung yang kelimpahannya tinggi yaitu Burung Cucak Kutilang (Pycnonotus Aurigaster).
Selain melalui penelitian, berdasarkan pemantauan yang dilakukan Yayasan Konservasi Elang Indonesia, UPT Tahura Raden Soerjo, dan Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Jawa Timur pada awal November 2022, menemukan 5 jenis spesies burung predator, 4 di antaranya sudah disebutkan sebelumnya, hanya Burung Alap Alap Sapi (Falco Moluccensis) yang belum disebutkan.
Paradoks Energi Terbarukan yang Seharusnya Sebagai Anti-Tesa dari Batu Bara yang Merusak Alam, Justru Hadir dengan Gaya yang Sama, Akan Tetapi Perbedaannya Ada Pada Energi yang Tidak Bisa Habis, Namun Itu Harus Diuji Kembali.
Ambisi transisi energi pemerintah melalui BUMN-nya, PT Geo Dipa Energi, menyisakan ancaman kerusakan lingkungan, karena dibangun di atas hutan konservasi, mengancam habitat satwa dilindungi, mata air, wisata alam, dan masyarakat 3 kabupaten/kota.
Ambisi PLTP bertenaga 200 Mega Watt tersebut hadir dalam bentuk rencana proyek melalui Peraturan Presiden, Pengamanan Pendanaan oleh Kementerian Keuangan, dan Kelanjutan rencana pembangunan PLTP Arjuno-Welirang oleh Kementerian ESDM beserta BUMN yang ditugasi secara khusus, PT Geo Dipa Energi.
Kebijakan.co.id telah mengujungi beberapa narasumber untuk membuktikan juga mengkonfirmasi terkait hal ini. Di antaranya, UPT Taman Hutan Raya Raden Soerjo, Jaringan Kolektif Energi Berkeadilan di Malang Raya, WALHI Jawa Timur, Kantor Desa Claket Mojokerto, Ahli Energi Baru Terbarukan, KHM Malang Raya, Perwakilan PT Geo Dipa di Mojokerto, Masyarakat Desa Claket, dan Masyarakat Kota Batu. Mengikuti diskusi Greenpeace yang dihadiri, ICEL, IESR, dan Trend Asia. Serta menyurati beberapa instansi terkait, PT Geo Dipa Energi, Dinas Kehutanan Jawa Timur, Direktorat Pemanfaatan Jasa Lingkungan Kawasan Konservasi KLHK RI, Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementeri ESDM RI.
***
Mojokerto, Kebijakan.co.id – Cerita ini dimulai dari sebuah desa kecil di bawah kaki Gunung Arjuno. Desa yang menjadi pintu masuk alat berat Geo Dipa yang akan membangun PLTP (Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi) di Taman Hutan Raya (Tahura) Raden Soerjo –hutan konservasi di wilayah Pegunungan Arjuno-Welirang yang meliputi Kota Batu, Kabupaten Pasuruan, dan Kabupaten Mojokerto.
Sore itu (14/02/23), dingin menyelimuti desa terakhir di bawah kaki Gunung Arjuno yang tampak sepi akibat diguyur hujan. Jalan yang menanjak dari Desa Pacet, kebun warga di kanan-kiri jalan, pekebun dan petani yang lalu lalang pulang ke rumahnya, ditemani langit mendung dan pemandangan kaki Gunung Arjuno, merupakan gambaran sederhana tentang Desa Claket, desa yang memiliki luas 226 hektare tersebut.
Saya –jurnalis Kebijakan.co.id— mencoba bertanya terkait rencana pembangunan PLTP ini kepada masyarakat sekitar, utamanya di sekitar daerah kantor Desa Claket. “Kalau urusan tanah gali-menggali saya tahu Mas,” ucap salah satu ketua RT (Rukun Tetangga) di sana saat menagih uang iurang di warung depan kantor desa Claket (14/02/23). “Mungkin, itu yang tahu hanya yang di atas sana (pejabat di pemerintah Desa Claket),” tutupnya sambil tertawa.
Ke eseokan harinya Kebijakan.co.id bertemu dengan pejabat Pemerintah Desa Claket, “Sosialisasinya (untuk pembangunan PLTP Arjuno-Welirang) memang sudah beberapa kali,” cerita Muchlis (Sekretaris Desa Claket, Mojokerto) di awal saat Kebijakan.co.id konfirmasi terkait pemberitahuan akan dilewatinya desa ini sebagai pintu masuk pembangunan PLTP Arjuno (15/02/23).
***
Informasi awal mengenai pintu masuk rencana pembangunan PLTP ini datang dari salah satu inisiator gerakan kolektif jaringan Energi Berkeadilan di Malang Raya, Sugeng (09/02/23) kepada Kebijakan.co.id saat ditemui di salah satu cafe di kota Malang. Sugeng mengatakan bahwa jaringan Energi Berkeadilan mengetahui pintu masuk tersebut dari salah satu staff Walhi Jawa Timur.
Gayung bersambut, saat ditemui oleh Kebijakan.co.id di Surabaya (13/02/23), Direktur Walhi (Wahana Lingkungan Hidup Indononesia) Jawa Timur, Wahyu Eka Setyawan, mengkonfirmasi terkait hal tersebut. “Kita (awalnya) mengetahui dari beberapa informan (warga sekitar) yang berada di sana (Desa Claket),” cerita Wahyu saat ditanya mengenai asal usul informasi pintu masuk Desa Claket.
Juga informasi klarifikasi dari salah satu staff Walhi Jawa Timur yang memberikan informasi awal kepada Sugeng, inisiator jaringan Energi Berkadilan. Menurut staff Walhi Jawa Timur tersebut dalam pesan singkat elektronik kepada Kebijakan.co.id (23/02/23), awalnya Walhi Jawa Timur hanya menduga, bukan menyebutkan bahwa lokasinya akan pasti di Desa Claket.
Selain Walhi Jawa Timur, Kebijakan.co.id juga mengkonfirmasi pintu masuk Desa Claket kepada pengelola Tahura R. Soerjo, yang pada awalnya hanya memberikan kisi-kisi umum saat ditemui Kebijakan.co.id bahwa alat berat akan masuk melalui Mojokerto, bukan dari Kota Batu, saat ditemui di kantor Tahura R. Soerjo (08/02/23).
Kantor Desa Claket, Mojokerto, Jawa Timur (Adi/Kebijakan.co.id)
Desa Claket dan Pintu Masuk Alat Berat
Sugeng, inisiator jaringan Energi Berkadilan di Malang Raya, bercerita kepada Kebijakan.co.id (09/02/23), “Awalnya, di tahun 2018 alat berat rencananya masuk dari sana (Kota Batu).” Tetapi masyarakat Kota Batu menolak rencana tersebut, menurut Sugeng, karena faktor pengetahuan masyarakat Kota Batu akan dampak lingkungan akibat pembangunan, “Masyarakat Kota Batu sudah pernah merasakan konflik akibat kerusakan lingkungan (Mata Air Umbul Gemulo).”
Terkait awal pintu masuk melalui Kota Batu tersebut dan beberapa hal penting lainnya, Kebijakan.co.id sudah berusaha mengkonfirmasi informasi tersebut kepada PT Geo Dipa Energi, selaku penentu jalannya proyek di lapangan, melalui surat permohonan wawancara (16/02/23) dan surat elektronik, namun sampai tulisan ini terbit belum ada respons dari PT Geo Dipa Energi.
Kebijakan.co.id juga meminta bantuan secara langsung kepada perwakilan PT Geo Dipa Energi di Mojokerto, Zulpriadi, yang khusus ditugaskan dalam proyek PLTP Arjuno-Welirang, untuk meneruskan surat kepada bagian sekretaris umum PT Geo Dipa Energi, “saya tidak memiliki kewenangan untuk memberikan statetment, biar atasan saja, tapi nanti biar saya bantu untuk meneruskan (pertanyaannya),” katanya (25/02/23).
Menurut Muchlis, Sekretaris Desa Claket saat ditemui Kebijakan.co.id (15/02/23), pada awalnya ada dua pilihan. Pertama, melalui pasuruan, menurutnya, “kalau di sana itu (Pasuruan) biaya pembebasan lahannya (mahal) yang mana harus melalui masyarakat semuanya, harus banyak yang berkorban,” ucapnya. Selain itu juga, “Dari sana itu (Pasuruan) kalau ke sini, melewati banyak (lahan) Perhutani, itu juga banyak yang terkorbankan.”
Jika melalui Desa Claket, Mojokerto menurutnya, “Kalau lewat sini (Mojokerto) deket, jadi sangat minimlah untuk mengorbankan tanahnya.” Jadi, menurut Muchlis, secara biaya untuk pintu masuk eksplorasi akan lebih murah melalui Mojokerto.
Menurut Muchlis juga, “Setelah evaluasi, lewat Desa Claket, Mojokerto, itu jauh lebih aman daripada lewat Malang, maupun lewat Pasuruan,” pungkasnya. Alasannya menurut Muchlis, jika lewat Malang melalui jalur Cangar tidak memungkinkan karena medan yang ekstrim baik tanjakan maupun turunan dan jalan yang sempit, kalau di Pasuruan tikungan dan tanjakannya lebih banyak dibandingkan melalui Pacet, Mojokerto.
Alasan tidak melalui Pasuruan dengan melewati jalan Desa Prigen, juga disampaikan oleh Forum LLAJ (Lalu Lintas Angkutan Jalan) Jawa Timur dalam pers rilis PT Geo Dipa Energi (17/02/21), bahwa jalan tersebut topografinya tidak memungkinkan, karena tikungan yang tajam dan membahayakan keselamatan masyarakat.
***
Menurut perwakilan UPT Tahura saat ditemui Kebijakan.co.id (08/02/23) mengira dampak masyarakat secara langsung hanya pada gangguan alat berat dan kendaraan besar yang dilewati masyarakat.
“Bisa jadi masyarakat akan terpengaruh (atau terdampak secara tidak langsung), karena jalannya di pakai nih, sebelum masuk kawasan kan lewat jalur umum, nah nanti dari alat-alat berat atau kendaraan yang menuju lokasi,” menurut Sadrah Devi, Kepala Seksi Perencanaan, Pengembangan dan Pemanfaatan Tahura R. Soerjo, “Nah, itu ada aturan mainnya dan sudah (harus ada) kajiannya oleh yang ahli,” tambah Sumantri Radiansyah, selaku Kepala Sub Bagian Tata Usaha.
Berkaitan dengan akses, menurut Sumantri Radiansyah, “Kalau menurut saya tidak masuk akal, tebing begitu (kawasan perbatasan Desa Claket dan Tahura R. Soerjo),” akan tetapi menurutnya, “sebagian besar yang dilewati itu (pintu masuknya), (merupakan) padang rumput (bukan hutan),” lebih jelas lagi, “yang jelas kalau buka lahan pasti ada mitigasinya dari PT Geo Dipa.”
***
Setelah ditetapkannya Desa Claket, Mojokerto menjadi pintu masuk eksplorasi oleh PT Geo Dipa Energi di tahun 2021 (menurut informan Kebijakan.co.id). Hasil studi kajian jarak dari pintu masuk kawasan Tahura R. Soerjo, yang juga berdekatan dengan Desa Claket, berjarak 6 kilo meter menuju titik eksplorasi paling dekat.
Dalam studi kajian yang disampaikan oleh UPT Tahura, menurut perwakilan UPT Tahura R. Soerjo, Sadrah Devi, setelah melakukan pengkajian secara teknis oleh PT Geo Dipa Energi, menghasilkan tiga titik atau zona wilayah pengeboran. Saat ditunjukan zona wilayah pengeboran tersebut, memang lebih dekat kepada daerah Mojokerto. Jadi sangat kecil kemungkinan alat berat didatangkan dari Kota Batu atau dari Pasuruan.
Tiga titik eksplorasi yang ditunjukan perwakilan UPT Tahura Raden Soerjo (Google Earth)
Menurut perwakilan UPT Tahura R. Soerjo, Sadrah Devi (08/02/23), “Jadi dia itu (wilayah Tahura R. Soerjo), mulai dari ujung kawasan ya (lalu) masuk ke dalam itu rencana (titik) eksplorasi pertama itu 6 kilo (meter), (itu) paling terdekat, yang terjauh sekitar 16 km (dari ujung kawasan).”
Hal tersebut juga dikonfirmasi oleh Sekretaris Desa Claket, Muchlis, bahwa titik pengeboran yang dilakukan berjarak 6 sampai 7 kilometer, “itu sekitar 6-7 kilo meter (dari masyarakat),” tutup Pria paruhbaya tersebut.
***
Informasi terkait pintu masuk alat berat tentu tidak disampaikan PT Geo Dipa Energi melalui Pers Rilisnya yang dikirim kepada media-media berbasis energi. Dalam pers rilis terkahirnya (17/02/21) mengenai akses pintu masuk terakhir misalnya, jajaran PT Geo Dipa Energi yang lama bertemu dengan Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa.
Dalam pertemuan tersebut Khofifah tidak sendirian, dia ditemani sederet pejabat penting Jawa Timur, di antaranya Asisten Perekonomian dan Pembangunan Sekretaris Daerah (Sekda) Jawa Timur, Asisten Administrasi dan Umum, Asisten Pemerintahan, Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Jawa Timur.
Lalu Pelaksana Tugas Kepala Dinas Kehutanan Jawa Timur, Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Jawa Timur, Pelaksana Tugas Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Jawa Timur, Kepala Biro Perekonomian Jawa Timur.
Pertemuan tersebut salah satunya membahas terkait akses tranportasi alat berat. Direktur PT Geo Dipa Energi yang lama, Riki F. Ibrahim, dalam pers rilisnya (17/02/21) juga mengklaim bahwasannya perusahaannya telah berkonsultasi dengan para pemangku kepentingan yaitu Forum LLAJ (Lalu Lintas dan Angkutan Jalan) Jawa Timur, di antaranya terdapat Direktorat Lalu Lintas Polda Jawa Timur, Dinas Perhubungan Jawa Timur, Dinas Pekerjaan Umum Bina Marga Jawa Timur.
Desa Claket, desa terakhir di kaki gunung Arjuno-Welirang (Google Earth)
Dampak Sosial-Ekonomi-Lingkungan: Desa Claket dan Masyarakat Sekitarnya
Alat berat dan pembukaan lahan menuju pintu masuk merupakan salah satu dampak langsung yang dirasakan masyarakat. Selain itu, menurut Muchlis, Sekretaris Desa Claket saat ditemui Kebijakan.co.id, rencana pembangunan PLTP ini nantinya juga harus selaras dengan kearifan lokal masyarakat, “Misalnya, ada istilahnya orang jawa itu (bernama) gua siluman, jangan sampai menabrak itu (gua siluman), kalau ada apa-apa nanti masyarakat yang kena.”
Hal tersebut harus dikonfirmasi lagi, ada apa di dalam gua tersebut. Akan tetapi, garis besarnya ialah masyarakat sekitar –khususnya Desa Claket— harus terlibat penuh dan aspirasinya juga didengarkan sebagai masyarakat terdampak.
Selain itu, dampak setelah pembangunan, menurut Sekretaris Desa Claket, ialah tumbuhnya lapangan pekerjaan, “mungkin bisa menyerap tenaga kerja.”
Menurut Muchlis, nantinya juga, “Masyarakat sini (jangan) hanya sebagai penonton.” Dia menyampaikan pesan bahwasannya, kalau bukan tenaga ahli, artinya membutuhkan tenaga kasar, “saya minta itu mendahulukan masyarakat lokal.” Selain itu menurut Muchlis, masyarakat lokal bisa menyediakan catering untuk yang bekerja dalam PLTP Arjuno-Welirang, baik dalam proses eksplorasi hingga operasi nantinya.
***
Selain masyarakat Desa Claket, PT Geo Dipa Energi juga sudah melakukan pendekatan ke masyarakat Kota Batu melalui CSR (Corporate Social Responsibility), dengan membangun dan mengembangkan Inovasi Teknologi Pertanian Holtikultura, khususnya jeruk, di Instansi Penelitian dan Pengkajian Teknologi (IP2TP) Batu bekerjasama dengan Kementerian Pertanian.
Dalam pers rilisnya (22/10/21), Direktur PT Geo Dipa Energi yang lama, Riki Firmandha Ibrahim, “Ini bagian dari perusahaan yang wajib dilaksanakan dalam bentuk tanggung jawab terhadap lingkungan dan sosial serta tata kelola yang baik (Governance).”
Hal tersebut juga dikonfirmasi oleh perwakilan UPT Tahura R. Soerjo saat ditemui Kebijakan.co.id, “pemberdayaan masyarakat, dia (PT Geo Dipa Energi) supporting juga.” Menurutnya sudah banyak sinergi yang diberikan oleh PT Geo Dipa Energi.
PT Geo Dipa Energi secara khusus di PLTP Arjuno-Welirang memang sengaja membentuk kebijakan untuk pendekatan ke masyarakat terlebih dahulu sebelum proyek berjalan, bahkan sebelum proyek selesai, untuk meminimalisir konflik. Yaitu dengan mengujungi pihak-pihak yang berkepentingan, lembaga pemerintahan setempat, lembaga masyarakat, dan tokoh masyarakat setempat.
Menurut Sugeng, inisiator Jaringan Energi Berkeadilan di Malang Raya saat ditemui Kebijakan.co.id, hal tersebut merupakan cara baru untuk menjinakan masyarakat, khususnya masyarakat Kota Batu. “Biasanya CSR itu dibangun setelah perusahaan sudah mendirikan, tetapi ini sebelum pembangunan.”
Dalam observasi Kebijakan.co.id di pintu masuk Tahura Raden Soerjo melalui Kota Batu. Kebijakan.co.id menemukan proyek yang sedang dalam pembangunan awal pembukaan lahan, tepat sebelum pintu masuk Tahura Raden Soerjo.
Menurut warga sekitar yang Kebijakan.co.id (28/02/2023) temui di warung di pinggir jalan raya, Alen, yang juga mahasiswa teknik sipil Unisma, mengatakan bahwa proyek tersebut benar merupakan proyek green house milik PT Geo Dipa, “awalnya lahan tersebut bangunan tempat pengolahan jamur, (namun) pemiliknya kabur gitu keluar negeri, korupsi.”
Terkait dengan pembangunan green house tersebut, “Awalnya juga, masyarakat menolak pembangunan tersebut.” Akan tetapi menurut Alen, ada desas-desus beberapa tokoh masyarakat telah disuap untuk menyetujui pembangunan green house tersebut.
Terkait bangunan awal dan proses pembangunan green house yang bermasalah karena penolakan masyarakat dan desas-desus penyuapan harus dikonfirmasi lagi. Akan tetapi, benar adanya ‘niat’ membangun CSR di awal sebelum PLTP tersebut jadi.
Greenhouse Strawberry yang akan dibangun (Adi/Kebijakan.co.id)
***
Program CSR PT Geo Dipa, sekiranya menyasar kepada masyarakat Kota Batu yang mayoritas merupakan pekebun dan petani juga, mereka terancam akan adanya pembangunan PLTP Arjuno-Welirang, baik secara langsung maupun tidak langsung, yaitu rusaknya mata air.
Hal tersebut juga disampaikan oleh Putri, Manager Pendidikan dan Relawan Walhi Jawa Timur kala itu, dalam keterangannya kepada LPM Manifest (15/03/2020), menurutnya, “Tipologi masyarakat Batu yang mayoritasnya adalah bekerja sebagai petani juga akan terdampak, mata pencaharian masyarakat Batu pun akan terganggu, sudah pasti penghasilan mereka pun akan ikut terpengaruhi oleh kondisi ini.”
Terkait mata air di Kota Batu, dalam kajian terbarunya WALHI di Kota Batu tahun 2022, mencatat menyusutnya lahan hijau secara signifikan, pada tahun 2012 tercatat 6.034,62 hektare lahan terbuka dan turun pada tahun 2019 menjadi 5.279, hekatare. Sedangkan kawasan resapan dan tangkapan air di kawasan hutan primer menghilang 348 hekatare dalam 20 tahun terakhir.
Jika dilihat lagi, masyarakat sekitar Desa Claket dan Desa Pacet juga merupakan pekebun dan petani yang sangat membutuhkan mata air sebagai ‘oli’ untuk ladang dan lahan pertanian mereka, tentu masyarakat Desa Claket akan lebih terdampak.
Berdasarkan hasil penelitian ilmiah yang ditulis oleh Amusu Bernadus dan Herman Yosep Koisine (dkk.), Desa Claket merupakan penghasil pertanian dan perkebunan sayur (atau buah) tomat. Sedangkan untuk daerah Kota Batu –sebelum pintu masuk Tahura Raden Soerjo– dalam kasat mata umumnya merupakan buah strawberry, wortel, dan tentu apel.
Terkait dengan mata air, menurut Sekretaris Desa Claket, Muchlis saat ditemui Kebijakan.co.id (15/02/23), mengatakan bahwa dirinya sudah mempersiapkan untuk menambah juga membuat cadangan sumber-sumber mata air akibat dampak pembukaan lahan di area sekitar Desa Claket dan Tahura R. Soerjo, “dibantu dengan Yayasan Bambu Lestari.”
Selain dua daerah sekitar di Gunung Arjuno-Welirang, menurut Sugeng, inisiator Jaringan Energi Berkeadilan saat ditemui Kebijakan.co.id, mengatakan bahwa dampak terhadap rusaknya mata air terjadi dalam jangka panjang, dalam jangka pendek memang tidak berpengaruh karena tidak dibangun di sekitar masyarakat, “Termasuk di rumah saya (Kabupaten Malang), yang nantinya sumber mata airnya akan terdampak.”
Wisata Air Panas Cangar, salah satu wisata berbasis Air di Tahura Raden Soerjo yang terancam (Adi/Kebijakan.co.id)
***
Mata air tersebut nantinya juga akan berpengaruh kepada wisata alam yang bersumber dari mata air, seperti air terjun dan kolam air panas. Wisata tersebut tentunya juga menjadi mata pencarian masyarakat sekitar memanfaatkan potensi alam di sekitar mereka.
Kebijakan.co.id memanfaatkan data terbuka Google Earth dan Google Maps untuk mencari wisata air terjun dan kolam air panas yang berada di kaki Gunung Arjuno-Welirang yaitu Mojokerto, Pasuruan, dan Batu. Terdapat 12 coban –sebutan air terjun di Jawa Timur– dan 4 pemandian kolam air panas di sekitar kaki gunung Arjuno-Welirang dengan mendeteksi plang wisata yang diunggah pengunjung.
***
Nantinya dampak-dampak ini, mulai dari sosial-budaya, ekonomi, dan lingkungan berpotensi menyebabkan konflik di masyarakat.
Dalam penjelasan secara teoritis, dijelaskan dalam Buku Sosiologi Konflik Agraria: Protes-Protes Agraria dalam Masyarakat Indonesia Kontemporer karya Afrizal (2018). Buku tersebut menjelaskan konflik agraria yang disebabkan salah satunya oleh peran negara yang bisa dilihat berdasarkan teori kebijakan publik, yang menekankan konflik terjadi akibat adanya kebijakan publik tertentu dari negara, dalam hal ini rencana pembangunan PLTP Arjuno-Welirang sebagai penyebab konflik tersebut.
Diperlukan pendekatan dan penyelesaian konflik antara negara dan masyarakat lokal yang manusiawi –bukan pendekatan militer–, dengan melibatkan seluruh pihak, mulai dari lapisan masyarakat terbawah hingga pengambil kebijakan yang setara baik dalam komunikasi maupun kedudukan.
Suasana pertemuan siang dan malam di Desa Claket, Mojokerto (Adi/Kebijakan.co.id)
Paradoks Energi Terbarukan yang Seharusnya Sebagai Anti-Tesa dari Batu Bara yang Merusak Alam, Justru Hadir dengan Gaya yang Sama, Akan Tetapi Perbedaannya Ada Pada Energi yang Tidak Bisa Habis, Namun Itu Harus Diuji Kembali.
Redaksi Kebijakan.co.id
*23/02/23: Tambahan informasi klarifikasi dari salah satu staff Walhi Jawa Timur yang memberikan informasi awal terkait pintu masuk Desa Claket kepada inisiator gerakan kolektif Energi Berkeadilan.
*26/02/23: Beberapa tambahan informasi memperkuat informasi sebelumnya.
*28/02/23: Tambahan informasi proyek CSR PT Geo Dipa berupa Green House oleh masyarakat kota batu dan hasil pertanian Desa Claket serta Desa sebelum Tahura Raden Soerjo di Kota Batu.
Semangat itu tumbuh dari rasa kepemilikan bersama, potret itulah yang menggerakkan masyarakat membangun PLTMH (pembangkit listrik bertenaga air berskala kecil) serta menjaga sumbernya, tirta (dibaca: air) dan hutan, dari sampah dan pembalakan. Betul memang, ide pengurangan emisi karbon datang jauh dari benua biru, akan tetapi, kalau masyarakatnya tidak mau –terlebih pemerintahnya–, akan menjadi hal yang sulit.
Dia harus tumbuh dan berkembang bersama masyarakatnya, lewat sumber-sumber pernghasilan, seperti perkebunan, wisata, pendidikan, hingga lapak-lapak yang bisa menjaga agar dapur rupah terus mengepul asapnya. Persis seperti pepatah ‘menyelam sambil meminum air’, sudah dapat energi bersih, masyarakatnya tergerak, ekonomi berjalan, alampun menjadi sehat.
***
Malang, Kebijakan.co.id – Jalan-jalan sore ditemani udara sejuk di perbatasan Malang Kota dan Kabupaten (12/12/22) sembari melihat sungai Brantas yang besar dan deras di akhir tahun, berdiri megah Stadium atau Dome Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) yang selesai didirikan 2005 ini. Kemegahan kampus ini tak hanya tampak pada fisiknya saja. Pun, begitu juga dengan prestasinya.
Tahun 2008 misalnya, UMM mendapatkan penghargaan Asean Energy Awards, sebabnya UMM memiliki swadaya energi sendiri melalui 2 PLTMH (Pembangkit Listrik Mikro Hidro), Sengkaling 1 yang dibangun tahun 2007 bersama Kementerian ESDM (Energi dan Sumber Daya Mineral) dan Sengkaling 2 yang dibangun tahun 2015.
Ditemani udara sore yang sejuk, sekitar jam 5, saya (Jurnalis Kebijakan.co.id) berjalan mendatangi kantor PLTMH Sengkaling 1 milik UMM ini yang tidak jauh dari Dome UMM, setidaknya mengecek apakah batang hidungnya terlihat atau tidak. Karena sore, tempat itu kosong melompong, dalam hati saya, “Sepertinya stafnya sudah pada pulang, besok pagi saya balik lagi.”
Paginya (13/12/2022), saya bertemu Adit, saya janjian untuk melakukan wawancara dengan pimpinan PLTMH UMM ke eseokan harinya.
Sembari kami berkenalan, saya bercerita tentang sore hari kemarin, “Iya, biasanya kita kerja dari pagi sampai sore jam 3, terkadang sampai malam kalau lagi trouble, kalau lagi hujan atau banyak sampah,” kata Adit (teknisi dan operator PLTMH UMM), pria berkulit sawo matang berseragam ala teknisi berwarna biru pada umumnya pada saat saya kunjungi di kantor (sekaligus workshop dan sarana pendidikan).
Kantor yang berlantai 2 tersebut, di lantai atas merupakan ruangan tamu di bagian depan sisi kiri gedung, dan tempat untuk staf di bagian kanan belakang gedung yang setengahnya dihilangkan untuk melihat kondisi di lantai dasar yang merupakan tempat generator mesin PLTMH Sengkaling 1 bekerja sekaligus tempat edukasi.
***
Diberkahi kondisi alam yang mendukung, melewati sungai Brantas dan kondisi topografi gunungan (tinggi ke rendah), membuat Kementerian ESDM melirik untuk menguji coba membangun PLTMH.
Pada awalnya proyek ini diinisiasi oleh Dosen UMM yang membuat studi kelayakan pada tahun 2000-2001 di daerah sengkaling tersebut, “Iya, ini awalnya hasil studi dosen, jadi UMM itu hanya tim pengkajinya (studi kelayakan), kita sediakan tempat dan lahan, dibangun dan diputuskan oleh ESDM,“ cerita Kepala Divisi PLTMH UMM saat ini, Machmud Effendy (14/12/2022), di mana kondisi topografi miringan dan mengalir air dari Sungai Brantas cukup besar, ditambah di atasnya terdapat bendungan.
Tahun 2008 selesai dibangun, PLTMH ini masih dikendalikan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian ESDM, namun selang beberapa tahun dikelola oleh UMM, tetapi masih dimiliki oleh ESDM. Hingga pada tahun 2020 diserahkan secara hibah kepada UMM secara kepemilikan oleh ESDM. “Iya, setelah 2020 sudah diserahkan kepada UMM, full milik UMM yang mengelola,” cerita Mahcmud kepada Saya.
Secara teknis, “awalnya PLTMH ini terhubung (interkoneksi) dengan PLN, namun karena arusnya (air sungai dikarenakan banjir atau kemarau) tidak stabil menyebabkan generator tidak siap, akhirnya ketika terhubung dengan PLN yang memiliki besaran yang stabil. Akhirnya generator kita yang rusak karena lebih besar dari PLN, dari hal itu tidak kerjasama (interkoneksi) dengan PLN lagi,” cerita Adit kepada Saya.
Setelah mengakhiri kerjasama dengan PLN, PLTMH UMM mengaliri swadaya untuk kegiatan perkuliahan UMM sendiri. Untuk diketahui PLTMH UMM saat ini mengaliri listrik kepada sebagain gedung UMM, tepatnya setengah GKB 4, lainnya mengaliri rusunawa (rusun mahasiswa), dan sebagian gedung perkantoran UMM.
Dan sampai saat ini, “UMM menjadi satu-satunya, bukan salah satunya, kampus yang memiliki PLTMH,” klaim Machmud kepada saya.
UMM menjadi satu-satunya, bukan salah satunya, kampus yang memiliki PLTMH.
Saya mencari tahu apa itu PLTMH? PLTMH sendiri menurut panduan singkat dari Kementerian ESDM, ialah, mengubah energi air yang terdapat pada air terjun menjadi daya yang berguna. Untuk mengalihkan aliran air, tinggi muka air sungai harus dinaikkan dengan penghalang (bendung). Aliran air diarahkan kepada bangunan penyadap dan saluran pembawa yang berada di sepanjang pinggang bukit.
Saluran pelimpah melindungi dari kerusakan akibat aliran air yang berlebihan. Lalu, diperlambat dan ditampung di bak penenang—air memasuki pipa pesat dan pertekanan yang mengalirkan air ke rumah pembangkit yang terdapat turbin.
Turbin sebagai pengubah tenaga di peralatan penggilingan atau pembangkit listrik berada. Kemudian, air dibuang kembali ke pipa atau saluran pembuangan jika menggunakan turbin aliran silang (pelton).
UMM dan Cita 1000 PLTMH di Indonesia
Saya diajak berkeliling melihat PLTMH Sengkaling 1, sambil melihat beberapa siswa SMK dan SMA yang hadir secara rombongan untuk belajar. “Iya selain untuk mengaliri listrik, di sini juga sarana edukasi,” cerita Adit, yang tampaknya kebingungan karena di hari itu banyak tamu yang datang.
Setidaknya saya melihat kurang lebih 5 sekolah SMK atau SMA sudah menunggu di luar untuk melihat dan belajar langsung terkait PLTMH.
Machmud bercerita PLTMH UMM dikunjungi sekolah-sekolah dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi, “bahkan tingkat S3 untuk penelitian,” satu minggu, “bisa 2 sampai 3 kali dikunjungi,” tambah Mahcmud.
Layaknya Ahmad Dahlan muda yang sedang mengajar dengan bangku dan meja ketika awal abad 1900-an dengan ‘mendobrak’ sistem kolot dan mulai menyelaraskan dengan modernisasi. Sama halnya ketika saya melihat Adit sedang menjelaskan PLTMH melalui TOA-nya kepada siswa yang duduk. Mengajarkan energi masa depan, energi yang bersih, dan yang tidak akan habis kecuali kita merusak sumbernya.
Ketika Adit menjelaskan kepada anak-anak SMA dan SMK, Machmud, Kepala Divisi PLTMH, yang nampaknya rela menemui saya di saat jam-jam kuliah Fakultas Teknik UMM.
Ketika Machmud mulai menceritakan sejarah pembangunan PLTMH. Di tengah pembicaraan, terdapat satu hal yang menarik, ialah UMM memiliki cita-cita membangun 1000 PLTMH, “Kita sudah punya titik-titik daerah mana saja di Indonesia yang cocok dibangun PLTMH,” UMM melakukan studi kelayakan atas daerah-daerah tersebut, atas ketinggian dan jumlah air.
Hanya saja menurutnya, “cumakan, tergantung kepada pemerintah dan swasta yang ikut andil dalam (pembangunan) PLTMH ini, kalau kita sih sudah siap sebenarnya.” Rencana ini termasuk di Kota Batu, yang merupakan kawasan dataran tinggi dibandingkan Kota Malang.
Terkait pemetaan titik-titik potensi, saya diceritakan oleh Direktur IBEKA (Inisiatif Bisnis dan Ekonomi Masyarakat), Sapto Nugroho (25/12/2022), bahwa pada tahun 2004 terdapat program yang diprakarsai Kedutaan Besar Jepang yang dilaksanakan oleh Kementerian Koperasi untuk mencatat data potensi sumber energi baru, termasuk air terjun di daerah kabupaten dan desa-desa. Lalu, Kementerian Koperasi meninjau langsung lokasi tersebut.
Senada dengan itu, Direktur WALHI Jawa Timur, Wahyu Eka Setiawan (26/12/2022) dalam pesan tertulisnya, dalam hal ini mendukung pemetaan sumber potensi energi terbarukan yang ramah terhadap ruang hidup seperti PLTMH dan berpotensi mendorong kemandirian desa.
Bukan omong kosong, UMM berhasil memfasilitasi dan membangun 2 PLTMH yang diinisiasi masyarakat, tepatnya PLTMH Sumber Maron yang selesai dibangun tahun 2012 dan PLTMH Broon Pring yang dibangun tahun 2019.
“Keduanya datang ke kami, terkendala teknisi dan dana, kami bantu,” UMM menyediakan tim ahli untuk mengkaji dan membuat studi kelayakan, sekaligus mencari dana, “Kita carikan CSR (Corporate Social Responsibility) dari BNI (untuk PLTMH Broon Pring) dan lembaga donor internasional (untuk PLTMH Sumber Maron).”
Di akhir, mahasiswa S3 yang juga dosen ini menjelaskan, “PLMTH UMM sebagai edukasi energi terbarukan untuk masa yang akan datang, apalagi pemerintah (dan negara-negara lainnya) punya target 2060 net zero emissions,” ungkapnya.
Senada dengan itu, Suwigyono, yang merupakan inisiator PLTMH Sengkaling 1, yang juga peneliti di bidang Perencanaan Jaringan Pipa Air Minum dan Bendungan Kecil dan Energi dan dosen UMM ini, dilansir dari Antara mengatakan, “Ketersediaan bahan bakar fosil, seperti minyak bumi dan lainnya semakin menipis. Sebagai antisipasi, salah satu teknologi yang bisa digunakan adalah mengembangkan teknologi Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH).”
Komitmen ini juga disampaikan oleh Pemerintah dalam siaran persnya, Kementerian Koordinator (Kemenko) Bidang Perekonomian (25/10/2022) memberikan pernyataan komitmen bahwa Indonesia pada tahu 2060 atau lebih cepat untuk mencapat net zero emissions. Sebuah kondisi di mana jumlah emisi karbon yang dilepaskan ke atmosfer (umumnya disebabkan energi fosil) tidak melebihi jumlah emisi yang mampu diserap oleh bumi.
“Hanya ada satu kunci untuk memastikan keberhasilan transisi energi, yaitu kerja sama dan kemitraan. Publik, swasta, dan BUMN harus memiliki andil dalam proyek ini,” tutup Airlangga, Menko Perekonomian.
Sebelum saya mengetahui di UMM terdapat PLTMH, saya melakukan riset energi baru terbarukan di Kota Batu, Kota Wisata yang sejuk dan indah ini, tampaknya belum tersentuh PLTMH, agaknya aneh karena kondisi geografis begitu mendukung, daerah pegunungan dengan air yang mengalir cukup deras.
Tahun 2021 direncakan pembangunan PLTMH yang diinisiasi oleh PT Pembangkitan Jawa Bali (PT PJB) bekerjasama dengan UMM, di tiga titik, Desa Torongrejo (jaringan irigasi kedang klutuk 1), Desa Sidomulyo (jaringan irigasi perambatan kanan), dan Kelurahan Temas (jaringan irigasi kedang klutuk 2).
Saya membaca berita yang dilansir Radar Malang (2/4/2021), proyek ini akan selesai pada tahun yang sama, “Insyallah, pada bulan Mei dan Juni selama satu bulan sudah selesai, sebelumnya Kota Batu belum punya sistem semacam itu.” Kata Kepala Bidang Sumber Daya Air dan Jaringan Irigasi Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Kota Batu kala itu, Suwoko.
Menurutnya (2/4/2021), PT PJB memiliki target pembangunan 10 ribu titik PLTMH. Di setiap titiknya membutuhkan 300 juta, jika target di kota Batu terdapat 3 titik, berarti PT PJB mengucurkan 900 juta untuk Kota Batu.
Namun, setahun setelahnya, rasa penasaran saya mengantarkan kepada gedung Balai Kota Batu yang megah berwarna putih tersebut, sebab sudah hampir setahun (setelah berita itu terbit) tidak ada perkembangan. Saya mencoba mengirimi surat kepada Bidang Sumber Daya Air Dinas PUPR (Pekerjaan Umum dan Penataan Kota) Batu (12/12/2022).
Satu hari setelahnya (13/12/2022), saya dihubungi melalui telepon, bahwa Kepala Bidang Sumber Daya Air yang baru menduduki jabatan tersebut, “tidak mengetahui kalau ada kerjasama dengan PT Pembangkitan Jawa Bali, tadi saya keliling (kantor dinasnya) untuk bertanya apakah ada kerjasama dengan ini (PT PJB) atau tidak.”
“Memang ada rencana pembangunan PLTMH di beberapa titik di Kota Batu bekerjasama dengan UMM, namun tidak ada kabar kelanjutannya.”
Kepala Dinas tersebut mengira bahwa PT PJB melihat kondisi air sungai Kota Batu tidak menentu, “terkadang musim kemarau kecil, kalau musim hujan (alirannya) besar.” Selain itu menurutnya, “Sektor energi itu sekarang di bawah kewenangan dinas provinsi, termasuk air ini.”
Sayapun mengkonfirmasi UMM sebagai pihak yang tercantum dari berita tersebut, “Iya, memang ada kerjasama program 1000 PLTMH di Indonesia,” Namun, “Secara resmi belum (bekerjasama),” menurut Machmud.
Artinya UMM dan PT PJB belum memiliki perjanjian khusus dalam kerjasama pembangunan PLTMH di Kota Batu, hanya konsultasi (studi kelayakan) dan, “belum ada bantuan berbentuk dana,” tutupnya.
Untuk menelusuri keterbengkalaian program bagus ini, saya mencoba mencoba menghubungi PT PJB dengan telefon dan surat resmi (13/12/2022), teleponnya terangkat namun hanya sampai customer service setelah disambungkan kepada yang berwenang, tertutup.
Sementara surat elektroniknya belum mendapat respon dan jawaban. Pun, informasi mengenai program bagus ini dari keterangan resmi melalui situs resminya tidak ada.
Selain mengkonfirmasi PT PJB, saya juga berusaha menghubungi Dinas ESDM (Energi dan Sumber Daya Mineral) Jawa Timur, yang berwenang dalam hal energi di Jawa Timur. Saya berangkat ke kota ‘panas’ arek suroboyo, dari Malang ke gedung sementara Dinas ESDM Jawa Timur di daerah Wonokromo.
Namun karena terkendala kesibukan beberapa atasan Dinas ESDM, wawancara tersebut diundur hingga akhirnya melalui aplikasi Zoom (28/12/22).
Menurut Oni Setiawan, Kepala Bidang Energi Dinas ESDM Jawa Timur, “Batasan-batasan terkait pengerjaannya, jika PLTM (Pembangkit Listrik Tenaga Mikro) di atas 1 MegaWatt (1000 KiloWatt) dibangun PT PJB (Pembangkitan Jawa Bali) itu kewenangan pemerintah pusat.” Terkait PLTMH yang besarannya 0-100 KiloWatt, “memang kewenangannya daerah, dikerjakan daerah,” ungkap Oni.
Program 10.000 PLTMH milik PT PJB ini merupakan proyek besar. Dan izinnya tentu dari pemerintah pusat yang didelegasikan kepada PT PJB (dalam hal ini PT PLN). Oni juga menekankan, “ketika mereka (PT PJB) membangun, tidak ada koordinasi dengan daerah, mereka melaksanakan itu ke lokasi masing-masing. Kewajiban itu dilaksanakan kepada DJK (Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan) PLN.”
Tentu bertabrakan dengan Pasal 8 Peraturan Menteri ESDM Republik Indonesia nomor 39 tahun 2017, Pengusulan kegiatan fisik pemanfaatan energi baru terbarukan dilaksanakan berdasarkan permohonan daerah provinsi kepada menteri melalui jenderal atau program nasional, kementerian, atau kerja sama antara kementerian dengan lembaga lainnya.
Di akhir, Oni menjelaskan, “Perlu ada perbaikan izin-izin (terkait) pengelolaan energi.” Perbaikan tersebut di antaranya, perincian kebijakan aturan dan perincian informasi terkait pengelolaan energi tersebut.
Selain menggali informasi dari Dinas ESDM Jawa Timur, saya berkesempatan bertemu salah satu konsultan pembiayaan energi baru terbarukan di Pelatihan Membangun Narasi Transisi Energi (30/1/2023), Josep Bely Utarja.
Kepada saya dia menjelaskan terkait gagalnya proyek PT PJB dalam pembangunan PLTMH di Kota Batu.
Hal tersebut, menurutnya bisa jadi karena jumlah proyeknya tidak terlalu besar. Untuk diketahui PT PJB yang dalam hal ini sahamnya dikuasai oleh PLN, memiliki 4 skema pembiayaan.
“Ada beberapa jalur, keterlibatan (PLN) pembiayaan (keuangan) di pembangkit (listrik).”
Jalur pertama, PLN menginisiasi tender (proyek pengadaan) sendiri. “Artinya, punyanya PLN sendiri.”
Jalur kedua, pembiayaan melalui swasta atau IPP (Independent Power Producer).
Jalur ketiga, pembiayaan untuk pengadaan di kawasan industri, yaitu Private Power Utility (perusahaan listrik swasta) untuk menyediakan (listrik) di kawasan tertentu.
Jalur keempat, pembiayaan atas operasi untuk digunakan sendiri, “duitnya sendiri, untuk sendiri juga.”
Jalur kelima, pembiayaan untuk skala kecil, bisa koperasi, bisa BUMDES, “lembaga-lembaga daerah bisa terlibat di sana, dan itu akan lebih cocok (untuk PLTMH yang dibangun oleh masyarakat sendiri).”
***
Terdapat satu hal yang bisa dipelajari dari gagalnya proyek PLTMH tersebu, meski dialiri air yang deras, jika inisiatif masyarakat tidak membangun dari bawah maka hal tersebut akanlah susah.
Terlebih ancaman kerusakan akibat pembangunan hotel, seperti yang terjadi di Mata Air Umbul Gemulo. Saya mencoba menghubungi WALHI Jawa Timur (26/12/2022) untuk mencoba memverifikasi kondisi mata air di Kota Batu, menurut Direktur WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) Jawa Timur, Wahyu Eka Setiawan, dalam keterangan tertulisnya mengatakan Kota Batu merupakan daerah yang potensial membangun kemandirian energi di sektor desa.
Namun, menurutnya, “Permasalahan tata ruang di Kota Batu, melalui RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) versi revisi, tidak memiliki kehendak untuk menyelematkan mata air di Kota Batu.” Sebab menurutnya masih memfasilitasi pembangunan fisik berupa hotel yang masif dan mengeksploitasi air itu sendiri.
WALHI mencatat, sejak 2011 hingga 2017 dari 111 mata air di Kota Batu tersisa hanya 53 mata air, “berkurang 50%,” menurut Direktur WALHI Jawa Timur tersebut. Kedepan juga WALHI akan melakukan pengecekan ulang terhadap mata air di Kota Batu.
Pun, dalam kajian terbarunya WALHI di Kota Batu tahun 2022, mencatat menyusutnya lahan hijau secara signifikan, pada tahun 2012 tercatat 6.034,62 hektare lahan terbuka dan turun pada tahun 2019 menjadi 5.279, hekatare. Sedangkan kawasan resapan dan tangkapan air di kawasan hutan primer menghilang 348 hekatare dalam 20 tahun terakhir.
Dalam kesimpulannya mengatakan pemerintah Kota Batu dalam melestarikan lingkungan hidup belum berhasil. Komitmen petinggi daerah dan ketaatan pada peraturan yang menjadi permasalahan. Menurut peneliti jurnal tersebut, upaya pelestarian justru tumbuh dari masyarakat.
Titik tengahnya, bisa menerapkan PLTMH yang juga dijadikan wisata, seperti di Broon Pring. Dilansir dari Mongabay, PLTMH Broon Pring selain mengairi sawah, juga memenuhi kebutuhan sehari-hari warga, termasuk kawasan wisata Broon Pring.
Untuk mencari informasi tambahan dari lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang energi, yang sudah berpengalaman yaitu IBEKA (Inisiatif Bisnis dan Ekonomi Kerakyatan) yang sudah berdiri dari tahun 1979, saya menghubungi dan khusus bertanya terkait potensi pembangunan PLTMH di Kota Batu (25/12/2022).
Menurut Sapto Nugroho, mendukung baik inisiasi pembangunan PLTMH di Kota Batu, “tidak masalah mau dibangun di dalam kota sekalipun, baik-baik saja,” akan tetapi tujuannya akhirnya bukan kepada pembangkit listriknya, akan tetapi tergeraknya ekonomi rakyat, dalam hal ini melalui PLTMH.
“Listrik bukan semata-semata kita membangun jaringan, tetapi juga sebagai alat untuk memberdayakan membangun desa,” tutup Sapto kepada saya.
Sapto Nugroho sedang menjelaskan Energi Baru Terbarukan (Adi/Kebijakan.co.id)
Energi dari Arek Jawa Timur untuk Energi Terbarukan
Berbeda jika berasal dari inisiatif masyarakat, seperti PLTMH Boon Pring yang dikelola oleh BUMDES Kertoraharjo dan PLTMH Sumber Maron yang dikelola oleh HIPPAM (Himpunan Pengguna Air Minum) Karangsuko yang bekerja sama dengan UMM. PLTMH ini berhasil dibangun.
“PLTMH Sumber Maron dan Boon Pring, itu awalnya (inisiatif) dari masyarakat,” cerita Machmud.
Sebabnya, sesaat proses liputan ini saya mencari data PLTMH di Jawa Timur menggunakan data terbuka yang berasal dari Google Maps dan Google, lalu diverifikasi berita, jurnal penelitian, dan dokumen-dokumen resmi lainnya.
Pencarian ini, nantinya mengidentifikasi ‘masih eksis’ atau tidak, lalu mencari besaran arus listrik, sejarah pembangunan, pengelola, dan kegunaan dari PLTMH tersebut.
Saya menemukan 20 PLTMH di Jawa Timur yang teridentifikasi.
Mayoritas dari PLTMH yang berhasil dan bertahan hingga saat ini diinisiasi dan dikelola sendiri oleh masyarakat. Tercatat hanya 1 PLTMH di Jawa Timur yang dikelola perusahaan dan 2 dikelola oleh universitas. PLTMH yang dikelola oleh perusahaan yaitu PLTMH Desa Taman Sari, yang dikelola oleh PT Akasa Eko Energi, sedangkan universitas dimiliki UMM.
Menurut Sapto Nugroho, Direktur IBEKA, jalan tengah jika dikelola perusahaan ialah, “berilah masyarakat saham di situ.” Sebab menurutnya, “Supaya hasil dari penjualan listrik dari sumber daya alam lokal itu bisa memberi masukan bagi orang lokal di mana pembangkit itu dibangun, tidak semua keuntungan mengalir ke kota saja.”
Sedangkan untuk pengelolaan oleh masyarakat ini umumnya berbentuk paguyuban atau perkempulan yang dibentuk khusus untuk mengelola PLTMH, lainnya dikelola oleh BUMDES (Badan Usaha Milik Desa).
Pun kegunaanya tidak jauh dari aktivitas warga, misalnya untuk pengolahan hasil perkebunan, persawahan, pariwisata lokal, hingga aktivitas warga sehari-hari.
Misalnya, saya mencatat PLTMH Gunung Sawur 1 dan 2 di Lumajang yang diinisiasi oleh Sucipto dan dikelola oleh masyarakat desa di sana dan kembali kepada kebutuhan warga juga. Selain itu ada, PLTMH Jamus 1, 2, dan 3 di Ngawi yang diinisiasi masyarakat dibantu dana dari LDII (Lembaga Dakwah Islam Indonesia) yang dikelola oleh masyarakat untuk keperluan pabrik dan perkebunan teh serta fasilitas warga desa di sana.
Dalam hal ini, Wahyu Eka, Direktur WALHI Jawa Timur mengatakan kepada saya (26/12/2022), sangat setuju kalau PLTMH dikelola mandiri oleh Desa, baik itu melalui koperasi atau unit khusus ekonomi desa.
Selain itu, “Keberadaan PLTMH di tengah masyarakat, mengharuskan (masyarakat) untuk menjaga ekosistemnya, karena jika debit menurun atau sumbernya kering maka mereka kehilang energi (listriknya).”
Persis seperti apa yang diceritakan oleh Zainudin (HIPPAM Karangsuko) pada PLTMH Sumber Maron yang dilansir dari Mongabay, bahwa pada tahun 2014 debit air sempat anjlok atau turun drastis, sebabnya pohon-pohon dan rimbunan bambu ditebangi untuk lahan parkir wisata. Setelah itu, ditanami kembali dengan pohon besar seperti beringin, randu, dan mahoni yang tetap harus dijaga.
Selain itu, juga bisa memberikan alasan mengapa masyarakat tidak boleh membuang sampah di sungai, sebab kendala PLTMH Sengkaling salah satunya yaitu sampah, “Masyarakat tidak disiplin membuang sampah, ya jadi kotor,” tutur Machmud kepada saya cerita kendala PLTMH Sengkaling. Dalam hal ini, menurut Wahyu, energi terbarukan harus sejalan dengan ketahanan ekologis.
Kondisi tersebut, didukung Penelitian baru-baru ini yang dilakukan Ecoton (Ecological Observation and Wetland Conservation) yang melakukan pengamatan mikroplastik di 68 sungai strategis di Indonesia, misalnya. Provinsi Jawa Timur, merupakan peringkat pertama tingkat tercemar mikroplastik (dari sampah plastik), yang di dalamnya terdapat Sungai Brantas.
Dalam kesimpulannya, menyatakan akses listrik yang dikelola sendiri dan murah ini, telah mendorong ekonomi masyarakat, keahlian masyarakat, pengetahuan, tumbuhnya lapangan kerja, kualitas pendidikan, serta aktivitas kolektif masyarakat, seperti pengajian dan rapat pada malam hari, serta yang terpenting ialah gotong royong menjaga lingkungan.
Dampak ini juga dilihat oleh IBEKA. Sapto Nugroho, menceritakan kepada saya, “beberapa, (listrik dari) PLTMH dialirkan kepada puskesmas dan sekolah-sekolah yang membutuhkan listrik untuk kesehatan dan belajar.”
Hal tersebut juga karena dikelola oleh koperasi yang memiliki manajemen dan pengelolaan yang baik, “itu juga perlu (manajemen),” cerita Sapto, yang nantinya hasil keuntungan bisa dialokasikan untuk perawatan generator sehingga berkelanjutan.
Selain manajemen operasional PLTMH. Hal lainnya yang perlu diperhatikan, ialah sumber daya manusia atau operatornya, sebab mereka, “Tiba-tiba mereka berhenti karena diterima kerja di tempat yang lebih menguntungkan,” Cerita Oni Setiawan menggambarkan PLTMH yang tidak berjalan di masyarakat.
Tujuan-tujuan permberdayaan yang seperti ini, yang memang menjadi tujuan dari IBEKA, ketimpangan antara kota dan desa bisa dikikis dengan pemberdayaan masyarakat dengan teknologi yang tepat guna, salah satunya melalui PLTMH. “Listrik dijadikan sebagai alat untuk menyejahterakan masyarakat,” cerita Sapto Nugroho kepada saya.
Hal tersebut diartikan tujuannya bukan membangun PLTMH, akan tetapi untuk membuat masyarakat sejahtera, dengan melakukan pemberdayaan masyarakat. “Khususnya prioritas kepada daerah 3T (Terdepan, terpencil, dan tertinggal),” ungkap Sapto.
Listrik bukan semata-semata kita membangun jaringan, tetapi juga sebagai alat untuk memberdayakan membangun desa.
Sapto Nugroho (Direktur Eksekutif IBEKA)
Sejalan dengan cita-cita IBEKA, pada Pasal 5 Peraturan Menteri ESDM Republik Indonesia nomor 39 tahun 2017, dijelaskan bahwa kegiatan fisik pemanfaatan energi baru bertujuan salah satunya untuk mendorong pertumbuhan dan pemerataan pembangunan infrastruktur keenergian di wilayah terpencil, tertinggal, perbatasan, kepulauan kecil dan terluar, pasca bencana, atau pasca konflik.
***
Selain inisiatif dari warga, inisiatif dari pemerintah juga ada. Salah satunya hadir melalui Dinas ESDM Jawa Timur yang mengajak seluruh lembaga daerah yang resmi bekerjasama, “Kita semua bekerjasama dengan semua steakholder di Jawa Timur, yaitu lembaga resmi,” cerita Oni Setiawan menunjukan komitmen Pemerintah Provinsi Jawa Timur untuk energi terbarukan.
“Mereka kita ajak untuk memberikan peran transisi energi terbarukan,” PLN melalui CSR-nya telah membangun PLTMH di Probolinggo. Kemudian, “Kita juga telah membangun PLTMH di Madiun.”
Sumber Air untuk Energi Baru di Jawa Timur
Transisi energi ini begitu penting. Saya memiliki pengalaman di tahun 2019 tinggal bersama masyarakat Celukan Bawang yang hidup berdampingan dengan PLTU (Pembangkit Listrik Tenaga Uap).
Kondisi udara di sana, sungguh sesak, ditambah tinggal di pesisir yang udaranya cukup panas. Terkadang terdengar dentuman dikala bongkar muat batu bara, menggangu telinga dan rasa takut warga, namun tidak untuk yang ‘menikmati’ di baliknya, seperti pengusaha batu bara, pengusaha PLTU, dan pemerintah cum pemilik batu bara.
Sudah sepatutnya mempersiapkan dari dini untuk transisi dari PLTU tersebut. Sebab menipisnya batu bara yang diprediksi akan habis 20-30 tahun lagi. Serta dampak di sekitarnya yaitu kerusakan hutan yang berakibat pemanasan global. Akibat pertambangan yang masif, tanpa penanaman kembali.
Sebagai salah satu provinsi terbesar di Indonesia, Jawa Timur sudah seharusnya memiliki komitmen transisi energi secara sungguh-sungguh.
Saya ditunjukan oleh Oni Setiawan bahwa Pemerintah Provinsi Jawa Timur mendapatkan penghargaan terbaik implementasi RUED (Rencana Umum Energi Daerah), selain itu juga, “Di Oktober kemarin, kita mendapatkan penghargaan terbaik implementasi transisi energi dari Dewan Energi Nasional,” cerita Oni Setiawan kepada saya. Tentu, menjadi kabar baik, akan tetapi tetapi harapan itu juga bisa muncul dari masyarakat.
Di Oktober (2022) kemarin, kita mendapatkan penghargaan terbaik implementasi transisi energi dari Dewan Energi Nasional
Oni Setiawan (Kepala Bidang Energi Dinas ESDM Jawa Timur)
Secercah harapan itu muncul, melalui aktivitas kecil sebuah generator yang bergerak dari air, yang dinamakan PLTMH. Sedikit dan kecil memang, tapi menurut Sapto Nugroho, “yang kecil-kecil seperti ini kalau dibangun pada akhirnya akan bisa mempunyai kontribusi yang bagus juga untuk jaringan (listrik) nasional.” Sebuah kalimat optimis, dari pria paruh baya yang sudah puluhan tahun bergelut mengabdi kepada masyarakat.
Titik-titik kecil itu saya telusuri, jika dihitung, untuk PLTMH (0-100 KiloWatt) sendiri di Jawa Timur terdapat 20 yang teridentifikasi dengan total KW-nya mencapai 552 KiloWatt.
Sedangkan PLTM (Pembangkit Listrik Tenaga Mikro atau lebih besar Watt-nya dibandingkan PLTMH yaitu 1000-3600 KiloWatt) di Jawa Timur terdapat 9, dengan total KW-nya mencapai 21.520 KiloWatt.
Sedangkan PLTA (Pembangkit Listrik Tenaga Air yang besar Watt-nya lebih besar yaitu 4.500-105.000 KiloWatt) di Jawa Timur terdapat 11, dengan total KW-nya mencapai 209.500 KiloWatt.
Saya mencatanya melalui data terbuka yang diambil dari berbagai sumber: berita, penelitian, google maps, dan keterangan-keterangan sumber praktisi.
Walaupun julmlah pembangkit listrik bertenaga air cukup banyak. Hal tersebut dikarenakan beberapa faktor. Pertama, faktor wilayah, karena masih pulau Jawa yang infrastrukturnya mudah dijangkau. Kedua, dibantu sumber daya manusianya, karena kualitas pendidikan dan literasi yang baik.
Hal tersebutlah yang membuat Sapto Nugroho, Direktur IBEKA, memberikan catatan, “Saya lebih setuju jika pembangunan PLTMH (atau energi alternatif skala kecil yang mudah diaplikasikan) diprioritaskan untuk daerah di luar Jawa, ke daerah yang belum terlistriki gitu lho,” tegas Sapto. “kalau kita melihatnya (pakai) asas pemerataan dan asas keadilan, saya melihatnya seperti itu.”
Catatan lainnya datang dari Wahyu, Direktur WALHI Jawa Timur terkait PLTA yang memakan banyak ruang dan membutuhkan bendungan.
Bahwa pembangunannya tidak boleh menabrak hak asasi manusia, yaitu menggusur tempat tinggal warga dan sumber mata pencaharian. “Semisal, di Nganjuk untuk pembangunan bendungan Semantok yang juga akan difungsikan sebagai PLTA memakan korban sekitar 400 warga di Desa Tritik dan Sambikerep,” ungkap Wahyu dalam keterangan tertulisnya.
Pelaksanaan EBT seharusnya tidak merampas hak orang, dijalankan secara demokratis dan berkelanjutan.
Wahyu Eka Setiawan (Direktur WALHI Jawa Timur)
Wahyu menyarankan pembangunan energi terbarukan tidak bertolak kepada prinsip ‘human well being’ yang menjadi pegangan dalam prinsip ekonomi hijau dan berkelanjutan (green and sustainability economic). Dan harus mendapatkan persetujuan dari masyarakat yang terdampak. “Pelaksanaan EBT seharusnya tidak merampas hak orang, dijalankan secara demokratis dan berkelanjutan,” tutup Wahyu.
Setelah meriset data pembangkit listrik tenaga air di Jawa Timur selesai, saya kembali merasakan dinginnya Malang di akhir tahun. Yang mungkin, dingin tersebut akan hilang jika kita tidak menjaga lingkungan. Bisa saja, Malang akan menjadi panas seperti Surabaya nantinya.
Air Sudah Seharusnya Dirawat. Sebab, Itu Merupakan Masa Depan Energi Kita. Tak Ada Pilihan Lain. Jika Tidak, Kita Akan Kualat.
Catatan Redaksi Kebijakan.co.id
*Artikel diperbarui tanggal 31 Januari 2023 setelah mendapatkan konfirmasi tambahan dari Konsultan Pembiayaan Energi Baru Terbarukan terkait gagalnya proyek pembangunan PLTMH di Kota Batu dalam kegiatan Pelatihan Membangun Narasi Transisi Energi.