Pemerintah Umumkan Kenaikan Harga BBM dan BLT untuk Masyarakat yang Membutuhkan


Kebijakan.co.idLiputan Advokatif

Adi Fauzanto-7 Sept 2022 (18.00 WIB)-#54 Paragraf

Pemerintah mengumumkan kenaikan harga BBM (Bahan Bakar Minyak) subsidi, Pertalite dan Solar. Akibat harga minyak mentah dunia melambung di pasar global.

Pilihan terkahir pemerintah mengurangi subsidi dan mengalihkannya kepada BLT (Bantuan Langsung Tunai) untuk masyarakat yang membutuhkan.

Sebabnya BBM Subsidi penyalurannya tidak efektif menyasar kepada masyarakat membutuhkan. Di satu sisi, ketidakefektifan tersebut tidak dibenahi, alih-alih hanya menyalurkan BLT.  

***

Dinamika Sebelum Kenaikan Harga BBM

Jakarta, Kebijakan.co.id Luhut Binsar Panjaitan, Menteri Koordinator Maritim dan Investasi jauh satu minggu sebelumnya (21/08/2022) mengatakan dalam Kuliah Umum Daring (Dalam Jaringan) di Universitas Hasanuddin, bahwa Presiden Jokowi akan mengumumkan kenaikan harga BBM (Bahan Bakar Minyak) subsidi, baik Solar dan Pertalite.

Luhut menekankan harga BBM saat ini (21/08/2022) sangat membebani keuangan negara. Jika dibiarkan terus, APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) akan terbebani. Luhut mengatakan Pemerintah akan membuat perhitungan yang matang dampak dari kenaikan BBM, seperti inflasi dan bantalan (bantuan) sosial untuk menjaga daya beli masyarakat.

Luhut Binsar Panjaitan
Dokumentasi Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi

Isu kenaikan BBM tersebut, ditentang oleh beberapa anggota DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) dari PKS (Partai Keadilan Sejahtera). Salah duanya, Suryadi Jaya, Anggota DPR Komisi V dan Saadiah Uluputty, dikutip dari Parlementeria mereka berpendapat dalam Sidang Paripurna (30/08/2022), kenaikan BBM akan berdampak kepada barang dan jasa yang semakin mahal dan menciptakan inflasi, terlebih untuk nelayan dan petani yang membutuhkan BBM jenis solar untuk produksi.

Lainnya Suryadi Jaya mengatakan APBN 2022 sudah mengakomodir subsidi dan dana kompensasi energi sebesar Rp. 502,4 Triliun. Sebaiknya, pemerintah berhati-hati akan penurunan konsumsi rumah tangga yang menopang pertumbuhan ekonomi nasional sebanyak 56 persen.

Hal tersebut dikarenakan, ketika BBM naik pada tahun 2005 konsumsi rumah tangga turun menjadi 3,02 persen, tahun 2013 ketika BBM naik konsumsi rumah tangga turun 5,15 persen, dan ketika terjadi lagi di tahun 2014, konsumsi rumah tangga turun menjadi 4,96 persen.

Fraksi PKS di DPR RI menolak Kenaikan BBM (Dokumentasi PKS)

Senada dengan Anggota DPR dari PKS, Ekonom –sebutan untuk ahli ekonomi- CORE (Center of Reform on Economics) Yusuf Rendy  dikutip dari Kontan.co.id (26/08/2022) mengatakan tidak setuju, dikarenakan akan menciptakan inflasi. Yusuf memproyeksikan tingkat inflasi di akhir tahun 2022 mencapai 6 persen hingga 8 persen.

Diketahui bahwa, tingkat inflasi di Semester 1 2022 bulan Juli menurut BPS (Badan Pusat Statistik) Indonesia, mencapai 4,94 persen (year on year atau tahun ke tahun) sedangkan untuk bulan periode Januari-Juli 2022 mencapai 3,85 persen, dan untuk bulan Juli 2022 sendiri inflasi nya meningkat 0,64 persen.

Berikut data inflasi Bank Indonesia dari awal Januari 2022 hingga Agustus 2022: Januari 2.18 persen; Februari 2.06 persen; Maret 2.64 persen; April 3.47 persen; Mei 3.55 persen; Juni 4.35 persen; Juli 4.94 persen; Agustus 4.69 persen.

Naiknya inflasi akibat kenaikan BBM disebabkan tingginya biaya produksi, operasi, dan distribusi, serta berdampak kepada fundamental –faktor-faktor dasar- ekonomi Indonesia, hal tersebut diungkapkan Muhardi dalam jurnal penelitiannya berjudul Kenaikan Harga BBM dan Implikasinya Terhadap Makro Ekonomi Dunia.  

CORE juga mengkaji (23/08/2022) dengan proyeksi defisit anggaran tahun 2022 masih berada dalam kisaran target maka seharusnya dana kompensasi untuk tidak menaikkan BBM Pertalite masih bisa dilakukan.

Di antara pendapat yang setuju dan tidak setuju terkait kenaikan BBM, Faisal Basri, ekonom UI (Universitas Indonesia) dan INDEF (Institute for Development of Economics and Finance), dalam wawancaranya dengan CNBC Indonesia dan Narasi TV beberapa bulan sebelum Pemerintah resmi menaikan harga BBM, memberikan beberapa perhatian:

Pertama, Faisal Basri memberikan kritik untuk pemerintah yang tidak memberikan catatan resmi (nomenklatur) dana subsidi  untuk BBM dan energi sebesar Rp. 502,4 Triliun dalam APBN, yang tercatat dalam APBN hanya tercatat 14,7 Triliun. Pemerintah menurut Faisal harus tertib anggaran dan lebih transparan, “setiap uang satu sen pun harus ada tanggung jawab politik dan harus ada catatannya di APBN.”

Kedua, Faisal mendukung adanya kenaikan BBM disesuaikan dengan harga pasar minyak global dengan catatan. Hal tersebut disebabkan Pemerintah telat untuk menyesuaikan harga pasar menyebabkan subsidi dan dana kompensasi bengkak.

Seharusnya pemerintah sesuai peraturan meninjau harga pasar minyak mentah dunia dan BBM setiap bulan. Sehingga terjadi penyesuaian harga setiap bulannya dan mencegah kenaikan harga BBM secara signifikan. Hal tersebut disebabkan karena mekanisme pasar tidak berjalan karena dikebiri oleh pemerintah.

Ketiga, di Indonesia tidak ada mekanisme dana stabilisasi, ketiadaan tersebut menyebabkan kekagetan masyarakat ketika harga BBM naik. Ketika harga minyak mentah dunia turun 50% maka Pemerintah hanya menurunkan 25%. Dana selisih 25% tersebut disimpan yang difungsikan ketika BBM naik, dana tersebut digunakan.

Ketiga, Faisal menyarankan memberikan BLT sebesar Rp. 1 juta hingga Rp. 500 ribu per bulan kepada masyarakat yang membutuhkan secara tepat sasaran dan efektif untuk menjaga konsumsi masyarakat dan ekonomi tetap bergulir. Daripada, subsidi dan dana kompensasi diberikan tidak tepat sasaran. Menurut Faisal, dana subsidi terbesar digunakan untuk Pertalite sebesar Rp. 100 Triliun.

Keempat, Faisal menyarankan untuk PPN (pajak negara) dari BBM Pertamax dihapuskan sehingga selisih antara harga Pertalite yang disubsidi dan Pertamax yang mengikuti harga pasar minyak mentah dunia tidak terlampau jauh. Masyarakat yang berkemampuan dapat membeli Pertamax tanpa membebani ketika situasi ekonomi sedang sulit.

Faisal Basri (Antara Foto/ Wahyu Putro)

***

Pemerintah Mengumumkan Kenaikan Harga BBM

Isu kenaikan BBM-pun terjadi. Pemerintah pada 3 September 2022 resmi menaikkan harga BBM. Hal tersebut diumumkan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi), Menteri Keuangan Sri Mulyani, Menteri Sosial Tri Rismaharini, Menteri ESDM (Energi dan Sumber Daya Mineral) Arifin Tasrif, dan Menteri Sekertaris Negara Pratikno di Istana Presiden.

Pemerintah menjelaskan: Pertama, bahwa dana subsidi dan kompensasi BBM meningkatkan 3 kali lipat dari Rp. 152,5 Triliun menjadi Rp. 502,4 Triliun –dan akan meningkat terus. Kenaikan 3x lipat disebabkan subsidi BBM dan LPG dari Rp. 77,5 Triliun ke Rp. 149,4 Triliun, untuk Listrik dari Rp. 56 T ke Rp. 59,6 T, kompensasi untuk BBM dari Rp. 18,5 T ke Rp. 252,5 T, kompensasi untuk listrik dari Rp. 0 ke Rp. 41 T. Sehingga total subsidi BBM, LPG, Lisrtik Rp. 502,4 Triliun.

Kedua, lebih dari 70% subsidi dinikmati oleh masyarakat yang mampu yang memiliki mobil pribadi.

Ketiga, Pemerintah melakukan pilihan terakhir dalam subsidi BBM, sehingga BBM menyesuaikan harga pasar minyak global. Pilihan terakhir tersebut berbentuk, mengalihkan subsidi BBM kepada BLT sebesar 12,4 Triliun Rupiah yang diberikan kepada 20,65 juta keluarga yang kurang mampu dengan jumlah 150 ribu per bulan. Mulai diberikan bulan September selama 4 bulan.

Keempat, Pemerintah menyiapkan Rp. 9,6 Triliun untuk 16 juta pekerja dengan gaji maksimum 3,5 Jt per bulan dalam bentuk subsidi upah Rp. 600 ribu rupiah.

Kelima, Pemerintah Pusat memerintahkan Pemerintah Daerah untuk menggunakan 2% dana transfer umum sebesar Rp. 2,17 Triliun dari Pemerintah Pusat untuk bantuan kepada angkutan umum, ojek online, dan nelayan.

Keenam, menyesuaikan harga BBM jenis Pertalite dari Rp. 7.650 per liter menjadi Rp. 10.000 per liter. Jenis Solar dari Rp. 5.150 per liter menjadi Rp. 6.800 per liter. Jenis Pertamax dari Rp. 12.500 per liter menjadi Rp. 14.500 per liter. Ketiganya berlaku pada jam 14.30 di tanggal 3 September 2022.   

Pers Rilis Pengumuman Kenaikan BBM
Dokumentasi Kesekretariatan Negara Republik Indonesia

***

Kritik Muncul Setelah Kenaikan Harga BBM

Setelah pengumuman ini, beberapa ekonom pun mengkritisi. Salah satunya, ekonom CELIOS (Center of Economics and Law Studies) Bhima Yudistira, menurutnya dikutip dari BBC Indonesia (05/09/2022), pemerintah lebih baik melakukan pembatasan dan pengawasan secara ketat pengelolaan, penyaluran BBM agar tepat sasaran.

Senada dengan itu, Ekonom UGM (Universitas Gadjah Mada), Fahmy Radhi dikutip dari BBC Indonesia (05/09/2022), menurutnya jika penyaluran tidak tepat sasaran sebesar 70 persen, maka harus diselesaikan permasalahan itu terlebih dahulu. Serta melakukan pembatasan BBM Pertalite hanya untuk motor dan angkutan umum, masyarakat yang memiliki motor dan mobil mewah diwajibkan membeli BBM Pertamax.

Said Iqbal Partai Buruh
Said Iqbal sedang orasi (Dokumentasi Partai Buruh)

Terkait dengan pengawasan, kritik muncul dari Aliansi Buruh -yang diinisiasi oleh KSPI (Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia) dan Partai Buruh- yang melakukan demonstrasi di gedung DPR (06/09/2022).

Demo Aliansi Buruh menuntut DPR membentuk Panja (Panitia Kerja) atau Pansus (Panitia Khusus) terkait kenaikan BBM memanfaatkan hak khusus mereka -hak angket (menyelidiki suatu isu) dan hak interpelasi (bertanya kepada Pemerintah)- untuk kepentingan rakyat.

Ironisnya, di satu sisi di dalam gedung DPR malah merayakan ulang tahun Ketua DPR, Puan Maharani selesai rapat paripurna dan membahas RUU pertanggungjawaban APBN 2021.

Kritik lainnya di luar BBM, menurut Bhima Yudistira, Ekonom CELIOS dikutip dari BBC Indonesia, pemerintah lebih baik memangkas anggaran lembaga negara yang tidak terlalu berguna dan memangkas proyek infrastruktur yang masih dalam tahap studi kelayakan.

Terkait infrastruktur juga datang dari Faisal Basri, ekonom UI dan INDEF, dalam sebuah diskusi di Youtube Refly Harun (07/09/2022) mengatakan bahwa proyek IKN (Ibu Kota Negara) harus dihentikan sementara waktu dalam keadaan seperti ini. Lainnya ada proyek KCIC (Kereta Cepat Indonesia-China) yang mangkrak dan suntikan untuk BUMN (Badan Usaha Milik Negara).

Menurutnya, di saat yang seperti ini, jangan hanya rakyat yang diminta berkorban –karena dikurangi subsidinya- akan tetapi Pemerintah juga harus berkorban dari proyek-proyek yang ada.    

Lainnya dari Dandhy Laksono, Jurnalis Watchdoc, dalam cuitan di Twitter, strategi Pemerintahan Jokowi hanya menggunakan quick wins (kemenangan cepat) melalui cash transfer (transfer uang langsung) dan proyek infrastruktur.

Dandhy mengkritik pembangunan infrastruktur jalan TOL -jalan berbayar bebas hambatan- merangsang penggunaan kendaraan pribadi dan konsumsi BBM meningkat. Sehingga tidak tepat jika Pemerintah mengatakan, “Subsidi BBM tidak tepat sasaran.”

Dhandy Laksono
Dhandy Laksono sedang orasi (Twitter)

Cash transfer atau yang biasa disebut BLT ini, menurut Ahmad Choirul Furqon, Ketua Bidang Penguatan Usaha dan Investasi, Dewan Pengurus Pusat Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (DPP IKAPPI) dikutip dari Bisnis.com (06/09/2022) mengatakan kebijakan BLT merupakan kebijakan populis, Pemerintah seharusnya menerapkan kebijakan yang subtantif dan cerdas.

BLT menurutnya diibaratkan seperti obat bius kepada masyarakat, lalu kebijakan apa yang harus dilakukan setelahnya.

***

Kenaikan Harga Barang-Jasa Pasca Kenaikan Harga BBM

Selain pendapat dari peneliti dan jurnalis yang fokus kepada ekonomi dan kenaikan harga BBM. Dampak lainnya muncul, yaitu kenaikan harga angkutan umum atau trasportasi publik di seluruh kota/kabupaten sebesar Rp. 1000 hingga Rp. 2.000.

Selain itu kenaikan harga kebutuhan pokok makanan di pasar, seperti cabai, bawang merah-putih, daging ayam-sapi, dan telur.

Lainnya, juga kenaikan harga tarif ojek online oleh Kementerian Perhubungan (10/09/2022), dengan rincian sebelum dan sesudah kenaikan sebagai berikut:

Pertama, Zona 1 (Sumatera, Jawa, Bali selain Jabodetabek) dari Rp. 1.850 (per KiloMeter) ke Rp. 2.000 untuk batas tarif bawah dan Rp. 2.300 ke Rp. 2.500 untuk batas tarif atas;

Kedua, Zona 2 (Jabodetabek) dari Rp. 2.600 ke Rp. 2.550 untuk batas tarif bawah dan Rp. 2.700 ke Rp. 2.800 untuk batas tarif atas;

Ketiga, Zona 3 (Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua) dari Rp. 2.100 ke Rp. 2.300 untuk batas tarif bawah dan Rp. 2.600 ke Rp. 2.750 untuk batas tarif atas.

Transaksi di Pasar
Transaksi di Pasar (Antara Foto/Dhemas Reviyanto)

Dari kenaikan harga di atas menurut CORE adalah first round effect atau dampak kenaikan secara langsung yang dapat dilihat dalam satu bulan yang sama. Lainnya dampak jangka panjang atau second round effect yang menuju kepada inflasi dapat dilihat di bulan berikutnya pada sektor makanan dan transportasi.

Menurut Harun Rasyid dalam jurnal penelitiannya berjudul Pengaruh Perubahan Harga BBM terhadap Tingkat Inflasi di Indonesia yang menghitung tingkat inflasi setelah kenaikan BBM sebelum tahun 2013, mengatakan, kenaikan harga BBM berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap tingkat inflasi di Indonesia, terkhusus kepada kelompok bahan makanan dan transportasi.

Infografis Kenaikan BBM

***

Catatan untuk Pemerintah Pasca Kenaikan Harga BBM

Dari pendapat setuju dan tidak, dalam hal ini Pemerintah memerlukan konsentrasi lebih memperhatikan detail gejolak pasar global –terkhusus harga minyak bumi. Melihat setiap elemen dan faktor ekonomi yang mempengaruhi inflasi dan daya beli masyarakat -terutama kelompok rentan menengah ke bawah-, keduanya harus dipersiapkan, diperhitungkan, hingga menjaga agar tetap aman, dan nantinya dapat dipertanggungjawabkan secara akuntabel kepada rakyat.

Konsekuensi dari konsentrasi lebih ini, ialah tidak mengerjakan proyek-proyek besar jangka panjang, apalagi yang menghabiskan banyak dana.

Lainnya jangka pendek, selain memperhatikan tingkat inflasi dan daya beli masyarakat. Ialah memperhatikan dan melakukan pengawasan secara tepat penyaluran BBM, inovasi MyPertamina sudah baik tetapi belum efektif. Pemerintah harus memanfaatkan unsur POM Bensin sebagai tangan pertama dari konsumsi BBM, hal tersebut perlu detail, aplikatif, dan dapat diawasi.  

Hal yang patut diapresiasi ialah pengusutan penimbunan BBM oleh Polda (Kepolisian Daerah tingkat provinsi) Jawa Tengah (05/09/2022). Pengoplosan BBM Solar dan Pertalite tersebut dilakukan di daerah Kudus, Cilacap, dan Pekalongan.

Dengan modus memodifikasi mobil dengan tanki (penampung khusus) oleh perusahaan di Kudus dan melakukannya secara berulang lalu ditampung di suatu tempat oleh ASN (Aparatur Sipil Negara) di Pekalongan. Lalu dijual kembali kepada industri di Kudus, untuk BBM Solar, dan mengoplos (mencampur) BBM Pertalite agar menjadi BBM Pertamax di Cilacap.

Dari kasus tersebut, Rp. 11 Miliar potensi kerugian negara diselamatkan dan menangkap 60 orang dari 50 kasus. Hal tersebut perlu menjadi perhatian di beberapa daerah -khususnya Kepolisian-, untuk mencegah perusahaan nakal yang menimbun BBM bersubsidi.

Selain itu, Pemerintah Daerah (Pemda) juga melakukan kebijakan yang mendorong berkurangnya penggunaan kendaraan pribadi dengan menciptakan akses yang mudah kepada transportasi publik.

Seperti yang dilakukan Pemeritah Kota (Pemkot) Tanggerang, dengan melakukan penggratisan pada angkutan umum Si Benteng dan Bus kota Tayo, untuk meringankan beban masyarakat dan mendorong masyarakat menggunakan transportasi publik.

Selain perihal transportasi publik, yang harus dibenahi pemerintah pusat ataupun daerah ialah penyaluran BLT.

Berkaca dari bansos (bantuan sosial) Covid-19, pemantauan ICW (Indonesia Corruption Watch) tahun 2020 di 13 daerah melihatkan penyaluran bansos rawan dilakukan pemotongan atau pungutan liar sebanyak 36 kasus, lainnya kesalahan data pada penerimaan bansos 43 kasus, bantuan yang tidak sampai ke warga 23 kasus, bantuan ganda 21 kasus, penyaluran terlambat 11 kasus, politisasi 9 kasus, hingga bantuan tidak layak 2 kasus.

Aksi Menolak Kenaikan Harga BBM (Liputan 6/Angga Yuniar)

Selain itu, Pemerintah terkhusus Kementerian yang bekerja pada bidang yang berkaitan dengan minyak bumi mempersiapkan kebijakan jangka panjang. Pertama, masalah transportasi publik khususnya dalam lingkup sektor ekonomi di kota atau kabupaten.

Kedua, menyiapkan energi baru terbarukan yang dapat digunakan oleh masyarakat kecil di pesisir, sawah, hingga kebun, artinya inovasi tersebut tepat guna dan sasaran kepada kelompok yang rentan, selebihnya dapat diterapkan di kota-kota, dan industri baik kecil maupun besar. Kata kuncinya ialah bisa diterapkan sehingga tidak menjadi ‘kumpulan kertas dalam rak’.

Bukan tidak mungkin, badai yang menerpa semua negara akibat gejolak geopolitik perang Ukraina-Rusia, terkhusus Indonesia, dapat dilalui. Bukan dengan berharap, tetapi dengan memperhatikan dengan jelas fakta dan memperkirakan dampak yang terjadi, khususnya kelompok masyarakat rentan, melalui kebijakan publik yang terukur dan dapat dipertanggungjawabkan.

***

*Perbaharuan 10/09/2022: Kenaikan tarif harga Ojek Online oleh Kementerian Perhubungan

Jurnalis Adi Fauzanto
Diterbitkan: Selasa, 07 September 2022
Pukul: 18.00 WIB
Jurnalis: Adi Fauzanto
Daftar Bacaan:  
• Muhardi. 2005. Kenaikan Harga Bahan Bakar Minyak dan Implikasinya Terhadap Makro Ekonomi Indonesia. Jurnal Mimbar: Sosial dan Pembangunan Vol. 21 No. 4  Harun Rasyid. 2013. Pengaruh Perubahan Harga BBM terhadap Tingkat Inflasi di Indonesia. Jurnal Ekonomi Pembangunan Vol. 11 No. 2  ICW. 2020. Hasil Pemantauan Bansos. Rilis PersBBC Indonesia. 2022. Pemerintah Naikkan Harga BBM SubsidiBPS. 2022. Data Inflasi Bulan Juli 2022Siti Masitoh. 2022. Berapa Besaran Kenaikan BBM Subsidi? Ini Perkiraan Ekonom Core. Kontan.co.idData Inflasi Bank IndonesiaBerita DPR. 2022. Suryadi Jaya Purnama: Kenaikan BBM Akibatkan Inflasi.Berita DPR. 2022. Dinilai Tak Tepat, Saaidah Uluputty Tolak Kenaikan BBM Bersubsidi. CNBC. 2022. Waduh Subsidi BBM Perlu Dicabut Apa Enggak Ya?. Youtube CNBCNarasi TV. 2022. Faisal Basri Buka-Bukaan Penyebab BBM Naik, Pemerintah yang Cari Penyakit! Youtube Narasi TVSekretariat Negara. 2022. Konferensi Pers Presiden Jokowi dan Menteri Terkait perihal Pengalihan Subsidi BBMNasrul Nurudin. 2022. Polda Jateng Bekuk 66 Pelaku Penimbunan dan Pengoplosan Puluhan Ton BBM Bersubsidi. Polri.go.idIndra Gunawan. 2022. Pedagang Pasar: Harga Sembako Pasti Naik Akibat Harga BBM. Bisnis.comTwitter Center of Reform on EconomicsTwitter Dhandy Laksono 
Liputan Mendalam

Jurus Pemulihan Ekonomi ala Pemerintah


Kebijakan.co.idLiputan Konstruktif

Adi Fauzanto-18 Mei 2022 (14.44 WIB)-#56 Paragraf

Pandemi Covid-19 sudah berjalan 2 tahun lebih, setelah secara resmi di umumkan WHO (World Health Organization) pada 11 Maret 2020. Segala sektor terdampak, berusaha bangkit, khususnya ekonomi masyarakat. Negara hadir dengan berbagai kebijakan, utamanya berkaitan dengan ekonomi, dengan cakupan para pelaksana ekonomi, mulai dari swasta atau korporasi hingga UMKM (Usaha Mikro Kecil Menengah).

Untuk mengatasi krisis ekonomi, Program Pemulihan Ekonomi (PEN) dirancang dan dijalankan oleh para pemangku kepentingan. Mulai dari Presiden hingga Dinas-Dinas di daerah hingga kepada pemerintahan desa. Dirasakan oleh berbagai pihak, khususnya masyarakat dan sektor UMKM.

Tidak terkecuali, kebijakan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia, sebagai bank sentral yang bertanggungjawab secara luas kepentingan keuangan Negara.

Baik itu stabilitas nilai rupiah, stabilitas sistem keuangan, stabilitas serta pertumbuhan ekonomi secara makro (luas), meningkatkan akses ke dalam pasar keuangan, mengembangkan ekonomi keuangan syariah, hingga yang terbarukan turut andil dalam mengembangkan ekonomi keuangan digital atau pembayaran non-fisik.

Dan tentu mengatasi dampak negatif dari Covid-19,” papar Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo (63) dalam video yang diunggah Bank Indonesia.

Stabilitas menjadi kunci dalam krisis ekonomi. Kebijakan yang inklusif –yang menyentuh berbagai pihak khususnya ekonomi skala kecil- menjadi pegangan untuk membantu pulihnya ekonomi masyarakat.

***

 Jokowi sedang berpidato
Jokowi sedang berpidato (Lukas/Biro Pers Presiden)

Jakarta, Kebijakan.co.id — Di balik keluarnya Indonesia dari jurang resesi. Ditandai dengan pulih nya pertumbuhan ekonomi triwulan 2 tahun 2021, kemudian stabil di triwulan berikutnya hingga triwulan 1 tahun 2022. Ada berbagai jurus yang dilakukan Pemerintah untuk bertahan –atau setidaknya tidak terhantam cukup dalam.

Salah satunya dengan mengeluarkan Kebijakan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang ditetapkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 23 Tahun 2020. Disempurnakan melalui PP No. 43 Tahun 2020. Peraturan Pemerintah –yang berisikan aturan pelaksana yang bersifat pelengkap dari Undang-Undang- tersebut merupakan turunan dari UU No. 2 Tahun 2020.

Untuk melaksanakan kebijakan PEN ini. Pemerintah melakukan 4 cara, Penyertaan Modal Negara (PMN), itu pertama. Kedua, penempatan dana. Ketiga, investasi pemerintah. Keempat, penjaminan.

Untuk menentukan sektor dan usaha jenis apa, yang harus dibantu. Pemerintah berisikan Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian, Menko Kemaritiman dan Investasi (Marinves), Menteri terkait, dibantu dengan pimpinan lembaga independen negara, berisikan Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Disertai dengan pimpinan lembaga sektor usaha yang dibantu tersebut.    

Adapun dana yang dibutuhkan dari PEN ini bersumber dari APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) dan sumber-sumber lainnya. Sedangkan dalam pembiayaan PEN, pemerintah dapat menerbitkan SBN (Surat Berharga Negara) yang dibeli oleh BI.

Dari dua tahun berjalan krisis kesehatan dan ekonomi ini -2020, 2021, berjalan 2021- total dana PEN dianggarkan pemerintah mencapai 1.895,59 Triliun Rupiah. Dengan realisasi per 1 April 2022, mencapai 1.263,7 Triliun Rupiah.   

Jurus Pemulihan Ekonomi 2020

Tahun pertama dihantam pandemi disertai krisis ekonomi. Pemerintah melalui PEN-nya, mengalokasikan anggaran pembiayaan mencapai 695,2 Triliun Rupiah yang dibagi untuk 6 kluster. Dengan realisasi –anggaran yang terpakai- mencapai 575,8 Triliun Rupiah atau 82,83 persen.

Namun ada beberapa perbedaan data. Realisasi 575,8 Triliun Rupiah merupakan data dari pers rilis yang dikeluarkan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) pada 15 Juli 2021 saat Sri Mulyani menyampaikan pertanggungjawaban penggunaan APBN.

Sedangkan menurut Antara –kantor berita Pemerintah- pada 4 Januari 2021, anggaran terealisasi mencapai 579,78 Triliun Rupiah atau 83,4 persen saat Sri Mulyani dalam salah satu webinar, senada dengan Indonesiabaik.id –yang merupakan laman berita terafiliasi Kementerian Komunikasi dan Informatika.

Menggunakan data dari Kemenkeu, kluster yang pertama, ditunjukan untuk perlindungan sosial dengan realisasi anggaran 216,6 Triliun Rupiah dari 230,21 Triliun Rupiah. Kluster kedua, ditunjukan untuk Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) dengan realisasi sebesar 112,3 Triliun Rupiah dari 116,31 Triliun Rupiah.  

Ketiga, kluster Kementerian dan Lembaga serta Pemerintah Daerah dengan realisasi anggaran 65 Triliun Rupiah dari 67,86 Triliun Rupiah. Keempat, kluster kesehatan, dengan realisasi anggaran 62,6 Triliun dari 99,5 Triliun Rupiah. Kelima, kluster korporasi atau perusahaan besar, dengan realisasi anggaran 60,7 Triliun Rupiah sesuai dengan anggaran pagu yang ditetapkan.

Terakhir ketujuh, ditunjukan untuk insentif –bantuan atau mengurangi sesuatu dengan tujuan meringankan- usaha dengan realisasi anggaran mencapai 58,4 Triliun dari 120,61 Triliun Rupiah.

Dari besaran realisasi tersebut, pembiayaan untuk UMKM mencapai 112,3 Triliun Rupiah dengan jumlah terbesar kedua atau pertama untuk bidang usaha, selain korporasi dan insentif usaha. Dengan prosentase realisasi mencapai 96,5 persen. Tertinggi kedua, dari pembiayaan korporasi mencapai 100 persen dana pagu.

Jurus Pemulihan Ekonomi 2021

Tahun kedua pandemi, Pemerintah melalui PEN-nya mengalokasikan 744,77 Triliun Rupiah -yang semula 533,1 Triliun Rupiah lalu diubah menjadi 619 Triliun Rupiah dan diubah lagi menjadi 699, 43 Triliun.

Anggaran tersebut naik 49,5 Triliun jika dibandingkan dana PEN tahun 2020. Dengan angka realisasi anggaran mencapai 658,6 Triliun Rupiah atau 88,4 Persen. Prosentase realisasi tersebut naik 5,57 Persen dari prosentasi realisasi dana PEN 2020 sebesar 82,83 persen.

Adapun sektor dalam pembiayaan PEN tahun 2021, terdapat 5 sektor. Pertama, sektor kesehatan dengan realisasi anggaran 198,5 Triliun Rupiah dari 214,96 Triliun Rupiah dengan prosentase 92,3 persen.

Anggaran tersebut digunakan untuk 1,4 Juta pasien; insentif untuk 1,5 Juta tenaga kesehatan; santunan kematian untuk 571 tenaga kesehatan; pengadaan 310,9 juta dosis vaksin; dan bantuan JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) –program jaminan sosial yang dapat digunakan untuk BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) Kesehatan dengan Kartu Indonesia Sehat- untuk 42,02 Juta penduduk.

Kedua, sektor perlindungan sosial, realisasi mencapai 171 Triliun Rupiah dari 186,64 Triliun Rupiah dengan prosentase 91,5 persen.

Anggaran tersebut digunakan untuk bantuan sosial (bansos) PKH (Program Keluarga Harapan) dan kartu sembako untuk 18,6 Juta KPM (Keluarga Penerima Manfaat); Bantuan Sosial Tunai (BST) dan Bantuan Langsung Tunai (BLT) Desa untuk 5,62 Juta KPM; Kartu Pra-Kerja untuk 5,96 juta peserta; Bantuan Subsidi Upah (BSU) untuk 8,38 Juta Pekerja; Bantuan Kouta Internet untuk 66,6 Juta penerima; Diskon Listrik untuk 32,6 Juta Penerima; Pengentasan Kemiskinan Ekstrem untuk 1,16 Juta KPM di 35 Kabupaten Prioritas.

Ketiga, sektor program prioritas. Dengan realisasi mencapai 105,4 Triliun Rupiah dari 117,94 Triliun Rupiah dengan prosentase 89,3 persen. Anggaran tersebut ditunjukan untuk program usaha padat karya kementerian atau lembaga untuk 2,26 juta tenaga kerja; Sektor pariwisata dan ketahanan pangan; PT. SMI (Sarana Multi Infrastruktur) -sebagai SMV (Special Mission Vehicle atau badan usaha yang memiliki tugas khusus) di bawah koordinasi Kementerian Keuangan yang tidak mencari keuntungan- yang di salurkan kepada pemerintah daerah sebesar 10 Triliun Rupiah.     

Keempat, sektor UMKM dan Korporasi. Dengan realisasi 116,2 Triliun Rupiah dari 162,4 Triliun Rupiah, dengan prosentase 71,5 persen. Anggaran tersebut ditunjukan untuk BPUM (Bantuan Produktif Mikro) untuk 12,8 Juta usaha dan 1 Juta PKL; Imbal jasa penjaminan untuk 2,45 UMKM dan 69 korporasi;  Subsidi bunga KUR (Kredit Usaha Rakyat) untuk 7,51 Juta debitur dan non-KUR untuk 7,02 Juta debitur.

Sisanya 40,76 Triliun yaitu PMN untuk BUMN (Badan Usaha Milik Negara) seperti Hutama Karya, Pelindo 3, Waskita Karya, dkk.

Terakhir kelima, sektor insentif usaha. Dengan realisasi anggaran 67,7 Triliun Rupiah dari 62,83 Triliun, dengan prosentase 107,7 persen.

Anggaran tersebut ditunjukan untuk insentif PPh -Pajak Penghasilan Pribadi atau Badan atas penghasilan yang diterima satu tahun- 21 DTP –Ditanggung Pemerintah- untuk 106.100 pengusaha; PPh Final DTP untuk 138.600 UMKM; Pembebasan PPh 22 Impor untuk 9.700 wajib pajak; Pengurangan angsungran PPh 25 untuk 58.305 wajib pajak; Penurunan tarif PPh Badan untuk seluruh wajib pajak; PPN -Pajak Pertambahan Nilai- DTP Properti; PPnBM –Pajak Penjualan atas Barang Mewah- Mobil; BM –Bea Masuk- DTP.    

Dari besaran realisasi tersebut, pembiayaan untuk sektor UMKM –setelah dikurangi BUMN- 76,18 Triliun Rupiah beserta insentif PPh Final DTP untuk 138.000 UMKM.   

Jurus Pemulihan Ekonomi 2022

Untuk tahun ini, dana PEN tetap dikucurkan oleh Pemerintah untuk pemulihan ekonomi yang sudah berjalan baik. Sebesar 455,62 Triliun Rupiah untuk 3 sektor. Turun 289,15 Triliun Rupiah dari total anggaran tahun 2021 sebesar 744,77 Triliun Rupiah dan turun 239,58 Triliun tahun 2020 sebesar 695,2 Triliun. Adapun 3 sektor tersebut.

Pertama, sektor kesehatan dialokasikan 122,54 Triliun Rupiah, yang ditunjukan untuk program lanjutan vaksinasi Covid-19; insentif tenaga kesehatan; insentif perpajakan; dan penanganan covid-19 di daerah-daerah.

Kedua yaitu sektor perlindungan masyarakat. Dengan alokasi 154,76 Triliun, yang ditunjukan untuk program bansos dan sembako untuk PKH; Kartu Pra-Kerja; BLT Desa; Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP); dan antisipasi perluasan perlindungan sosial.

Ketiga ditunjukan untuk pemulihan ekonomi. Dengan alokasi dana 178,32 Triliun Rupiah, yang ditunjukan untuk mendukung inisiatif program atau kegiatan yang dilakukan kementerian atau lembaga. Misalnya, program padat karya, bantuan untuk UMKM, program ketahanan pangan, dan penanaman modal untuk BUMN.

Dari ketiganya, per 1 April 2022, realisasi anggaran baru mencapai 29,3 Triliun Rupiah atau 6,4 persen. Kluster kesehatan mencapai 1,55 Triliun atau 1,3 persen. Ditunjukan untuk insentif pajak atas vaksin dan alat kesehatan; serta penanganan covid-19 melalui Dana Desa.

Kluster perlindungan masyarakat mencapai 22,74 Triliun Rupiah atau 14,7 persen ditunjukan untuk program PKH; Kartu Sembako; Kartu Pra-Kerja; BLT Desa; dan Bantuan Tunai PKLWN (Pedagang Kaki Lima, Warung, dan Nelayan).

Kluster pemulihan ekonomi mencapai 5,02 Triliun Rupiah atau 2,8 persen ditunjukan untuk program pariwisata, ketahanan pangan, subsidi UMKM, dan insentif perpajakan.

Dari ketiganya, bagi UMKM, bergantung kepada inisiatif kementerian dan lembaga yang berkaitan. Dalam hal ini, Kementerian Koperasi dan UMKM, dan lembaga lainnya.  

Tentu, dari ketiga sektor tersebut, tetap dilakukan secara fleksibel –dapat berubah tiba-tiba- untuk mengantisipasi perubahan. Pada prinsipnya PEN didesain untuk fleksibel dan akuntabel –dapat dipertanggungjawabkan-, sehingga responsif dalam menghadapi krisis kesehatan dan ekonomi di kemudian hari.

Tantangan Pemulihan Ekonomi 2022

No War in Ukraine
No War in Ukraine (Masanobu Kumagai/AP Photoa)

Krisis belum berakhir, selain masih adanya virus Covid-19, terdapat beberapa ancaman. Seperti yang diungkapkan Sri Mulyani, dalam wawancara dengan Kompas TV (10/06/2022), ancaman tersebut ketika ekonomi di setiap negara mulai tumbuh kembali terdapat potensi untuk inflasi –naiknya harga secara terus menerus- atas komoditas –kebutuhan- global, seperti pada penyebab krisis tahun 2007.

“Di saat negara-negara tumbuh, perekonomian jalan kembali, kebutuhan akan komoditas produksi juga tinggi,” Ujar Sri Mulyani.   

Ditambah faktor di luar ekonomi, seperti geopolitik –konflik di kawasan tertentu. Perang atau invasi militer yang dilakukan oleh Rusia kepada Ukraina sejak 24 Februari 2022, menyebabkan terhentinya pasokan komoditas global.

Kebutuhan akan minyak goreng misalnya, Ukraina sebagai pemasok akan kebutuhan biji matahari yang digunakan untuk minyak goreng di negara-negara kawasan Eropa, harus terhenti.

Akibatnya permintaan akan kelapa sawit (CPO atau Crude Palm Oil) naik, menyebabkan kelangkaan dan harga tinggi. Hal tersebut, berdampak langsung kepada Indonesia, sebagai produsen kelapa sawit terbesar.

Kebijakan DMO (Domestic Market Obligation) –kebijakan penetapan kouta untuk pasar dalam negeri-, DPO (Domestic Price Obligation) –Kebijakan penetapan harga maksimal untuk pasar dalam negeri-, dan subsidi harga terhadap minyak goreng jenis kemasan dikeluarkan oleh Pemerintah Indonesia –dalam hal ini Kementerian Perdagangan (Kemendag)- untuk melindungi pasar lokal dari kelangkaan akibat penyaluran kelapa sawit keluar negeri karena harga tinggi.

Menurut INDEF (Institute for Development of Economics and Finance), Pemerintah dalam kebijakan subsidi minyak goreng kemasan dirasa belum tepat. Dikarenakan konsumsi minyak goreng rumah tangga sebesar 61 persen dari minyak goreng curah, namun kebijakan yang diambil ialah subsidi minyak goreng kemasan.   

Masalah lainnya beberapa perusahaan kelapa sawit mencoba mencari kesempatan atas kelangkaan dan tinggi nya harga minyak kelapa sawit. Beberapa perusahaan sawit bermain nakal dengan mengakali kouta pasar dalam negeri dengan kongkalikong bersama pejabat perdagangan luar negeri Kemendag, dengan memberikan izin ekspor komoditas kelapa sawit.

Kejaksaan Agung pada 19 April 2022, menetapkan Direktur Jenderal Perdangangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan (Kemendag), Indrasari Wisnu atas korupsi pemberian izin fasilitas ekspor minyak goreng.

Lainnya Komisaris PT. Wilmar Nabati Indonesia, Parulin Tumanggor; Manajer Senior PT. Pelita Agung Agriindustri (Permata Hijau Group), Stanley Ma; Manajer Umum PT. Musim Mas, Picare Tagore; Terbaru, Konsultan dari Independent Research & Advisory Indonesia, Lin Che Wei alias Weibinanto Halimdjati.  

Menyebabkan Presiden Jokowi harus membatasi total kouta ekspor kelapa sawit, untuk menstabilkan harga dan juga pasokan minyak goreng dalam negeri pada 28 April 2022.

Akan tetapi menurut Bhima Yudistira, Ekonom CELIOS (Center of Economics and Law Studies) membatasi total kouta ekspor kelapa sawit tidaklah tepat.

Sebab masalahnya bukan pada ekspor, akan tetapi pada kepatuhan distribusi pasar lokal. Menurutnya membatasi ekspor total, hanya akan merugikan petani dan pengusaha kelapa sawit, terlebih merugikan potensi keuntungan negara sebanyak 43 Triliun Rupiah –jika dihitung selama satu bulan sejak penutupan.

Setelah semuanya terkendali baik harga maupun pasokan, Presiden Jokowi kembali membuka keran ekspor kelapa sawit pada 23 Mei 2022. Dan mewajibkan masyarakat yang membeli minyak goreng curah, menggunakan KTP, sebagai kontrol dari Pemerintah agar tidak terjadi kelangkaan –dikarenakan subsidi untuk minyak goreng curah berpotensi susah untuk dilakukan kontrol. Serta mewajibkan DMO sebanyak 10 Juta Ton minyak goreng.

***

Komoditas global lainnya, minyak bumi atau minyak mentah atau bahan bakar untuk industri ataupun kendaraan. Menjadi langka disebabkan Rusia yang merupakan salah satu pemasok minyak bumi terbesar ke-2 setelah Amerika, diputus akses penjualannya –atau di embargo- atas hukuman melakukan invasi militer ke Ukraina.

Sehingga minyak bumi menjadi langka dan mahal akibat pemasok minyak bumi diputus akibat hukuman. Hal tersebut menyebabkan harga minyak bumi di Indonesia juga terdampak, ICP (Indonesian Crude Price atau Minyak Mentah Indonesia) naik dari rata-rata 63 Dolar Amerika per barel terkerek di atas 100 Dolar Amerika per Barel.

Akibatnya, bahan bakar Pertamax atau Ron 92 dari BUMN Pertamina misalnya, ikut merangsek naik pada 1 April 2022 setelah kelangkaan tersebut, dari 9.000-9.400 Rupiah per liter menjadi 12.500-13.000 Rupiah per liter, karena tidak dibantu subsidi atau bantuan dari Pemerintah.

Sementara, Pemerintah harus mengeluarkan biaya besar untuk mensubsidi bahan bakar Pertalite dari Pertamina dan juga kenaikan harga listrik, setelah kenaikan harga minyak mentah tersebut. Menurut Sri Mulyani, potensi beban subsidi dalam hantaman naiknya harga komoditas global mencapai 443,6 Triliun Rupiah.  

Baca Serial Liputan Konstruktif "Pemulihan Ekonomi 2022, UMKM, dan Kebijakan Inklusif Bank Indonesia" Lainnya:
•	Kisah Awal Pandemi dan Krisis EkonomiKebijakan Inklusif Bank Indonesia di Kala KrisisJurus Pemulihan Ekonomi ala Pemerintah
Diterbitkan: 15 Mei 2022
Pukul: 14.44 WIB
Jurnalis: Adi Fauzanto  
Daftar Bacaan:      
• Rusli, Tauhid, dkk. 2022. Menakar Efektivitas Kebijakan Subsidi vs DMO-DPO Minyak Goreng. Policy Brief INDEF 
• Pers Rilis Kementerian Keuangan. 2022. Per 1 April, Realisasi Anggaran PC-PEN 2022 Sebesar Rp29,3 Triliun. 5 April 
• Pers Rilis Kementerian Keuangan. 2022. Anggaran PEN 2022 Disederhanakan Menjadi Tiga Kelompok, Namun Tetap Fleksibel. 23 Februari 
• Dany Saputra. 2022. Anggaran PEN 2021 Tidak Terealisasi 100 Persen, Ini Penjelasan Sri Mulyani. Bisnis.com, 3 Januari 
• Pers Rilis Kementerian Keuangan. 2021. Realisasi PEN 2021 Capai Rp326,74 Triliun. 6 September  
• Pers Rilis Kementerian Keuangan. 2021. Realisasi Program PEN Tahun 2020 Capai Rp275,8 Triliun. 15 Juni  
• Pers Rilis Kementerian Keuangan. 2021. Pemerintah Menambah Anggaran PEN 2021 Menjadi Rp619 Triliun. 3 Februari   
• Astrid Faidlatul. 2021. Sri Mulyani Sebut Realisasi Anggaran PEN 2020 Capai 83,4 Persen. Antara News, 4 Januari 
• Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2020
• Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 2020

 

Kebijakan Inklusif Bank Indonesia di Kala Krisis


Kebijakan.co.idLiputan Konstruktif

Adi Fauzanto-15 Mei 2022 (13.55 WIB)-#37 Paragraf

Pandemi Covid-19 sudah berjalan 2 tahun lebih, setelah secara resmi diumumkan WHO (World Health Organization) pada 11 Maret 2020. Segala sektor terdampak, berusaha bangkit, khususnya ekonomi masyarakat. Negara hadir dengan berbagai kebijakan, utamanya berkaitan dengan ekonomi, dengan cakupan para pelaksana ekonomi, mulai dari swasta atau korporasi hingga UMKM (Usaha Mikro Kecil Menengah).

Untuk mengatasi krisis ekonomi, Program Pemulihan Ekonomi (PEN) dirancang dan dijalankan oleh para pemangku kepentingan. Mulai dari Presiden hingga Dinas-Dinas di daerah hingga kepada Pemerintahan Desa. Dirasakan oleh berbagai pihak, khususnya masyarakat dan sektor UMKM.

Tidak terkecuali, kebijakan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia, sebagai bank sentral yang bertanggungjawab secara luas kepentingan keuangan Negara.

Baik itu stabilitas nilai rupiah, stabilitas sistem keuangan, stabilitas serta pertumbuhan ekonomi secara makro (luas), meningkatkan akses ke dalam pasar keuangan, mengembangkan ekonomi keuangan syariah, hingga yang terbarukan turut andil dalam mengembangkan ekonomi keuangan digital atau pembayaran non-fisik.

“Dan tentu mengatasi dampak negatif dari Covid-19,” papar Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo (63) dalam video yang diunggah Bank Indonesia.

Stabilitas menjadi kunci dalam krisis ekonomi. Kebijakan yang inklusif –yang menyentuh berbagai pihak khususnya ekonomi skala kecil- menjadi pegangan untuk membantu pulihnya ekonomi masyarakat.

***

Gubernur Bank Indonesia
Dokumen Bank Indonesia

Jakarta, Kebijakan.co.id — Pasca krisis moneter tahun 1998 dan finansial global tahun 2007-2008, membuka tabir buruknya pengaturan serta pengawasan secara khusus kepada lembaga keuangan. Reformasi kelembagaan setelah krisis tersebut, menghasilkan beberapa lembaga, di antaranya OJK (Otoritas Jasa Keuangan).

Untuk mencegah terjadi nya bank-bank bermasalah, yang tercermin dari krisis tahun 1998. Atau kehati-kehatian bank atau lembaga keuangan lainnya dalam menghadapi krisis karena inflasi atau faktor krisis global ekonomi, yang tercemin dari krisis tahun 2007. 

Melahirkan OJK dengan tujuan mulia. Dengan membagi tugas dengan Bank Indonesia (BI), yang sebelumnya menjalankan pengaturan juga pengawasan terhadap seluruh aspek ekonomi makro hingga mikro –keuangan, perbankan, dan lainnya. Lahirnya OJK diperuntukan membawahi aspek ekonomi mikro –dari sinilah dikenal dengan namanya mikroprudensial.

Mikroprudensial sendiri diartikan sebagai fungsi OJK dalam membuat kebijakan –baik itu peraturan, dan pengawasan- untuk mencegah dan menghadapi krisis ekonomi –atau setidak-tidaknya mengurangi dampak resiko- yang terjadi dalam lingkup mikro, seperti lembaga perbankan, lembaga keuangan, pasar modal, hingga asuransi.     

Tentu dengan lahirnya OJK dengan lingkup mikroprudensialnya, BI fokus dengan aspek ekonomi makro atau lingkup ekonomi secara luas –dikenal juga dengan makroprudensial.

Tidak lagi mengatur dan mengawasi sektor lembaga keuangan –semisal perbankan dan pasar modal-akan tetapi lebih banyak menjaga –memantau sekaligus mencegah dari krisis- stabilitas nilai rupiah dengan kebijakan moneternya, stabilitas sistem keuangan, stabilitas pertumbuhan ekonomi, dan mengatur sekaligus mengawasi, serta mengembangkan sistem pembayaran –di mana sudah masuk era digital, ketika uang fisik tidak lagi menjadi nomor satu untuk sistem pembayaran.

Sedangkan fungsinya dalam makroprudensial, tercemin untuk membuat kebijakan –baik peraturan atau pengawasan- untuk mencegah dan bersiap –atau setidak-tidaknya mengurangi dampak resiko- jika terjadinya krisis ekonomi skala makro, baik dalam negeri atau luar negeri –ekonomi kawasan atau ekonomi satu negara- seperti krisis moneter, krisis finansial, hingga inflasi global.  

Dalam Buku Mengupas Kebijakan Makroprudensial yang diterbitkan Bank Indonesia (2016), diartikan sebagai kebijakan yang bertujuan untuk membatasi resiko dan biaya dari krisis sistemik. Definisi lainnya dari IMF (International Monetary Fund) yaitu kebijakan yang bertujuan memelihara stabilitas keuangan melalui pembatasan resiko sistemik.

Dengan pembagian tugas yang dirasa tepat, jika melihat perkembangan lembaga keuangan selain perbankan, merebaknya lembaga asuransi –juga asuransi digital-, hingga kepada lembaga pembiayaan yang merebak di era digital saat ini -disebut juga financial tehcnology. Bahkan munculnya bank digital –dibaca digital banking.

KRIS dan Sistem Pembayaran Inklusif

Tentu dalam perkembangan era digital, Bank Indonesia juga turut serta berperan sesuai dengan fungsinya yaitu makro atau secara luas. Salah satunya pembayaran digital.

Alat pembayaran digital yang berlaku secara nasional QRIS (Quick Response Indonesian Standard) -dibaca KRIS- adalah salah satu hasil dari kinerja Bank Indonesia terkait sistem pembayaran yang inklusif, yang efektif difungsikan 1 Januari 2020.    

Ntah, secara kebetulan, difungsikannya KRIS seiring muncul dengan adanya bencana nasional Covid-19. Yang mengharuskan pembatasan kontak fisik langsung, termasuk pembayaran menggunakan uang fisik yang ikut dibatasi.

Jika melihat krisis terdahulu –baik itu krisis tahun 1998 dan tahun 2007- akan menghasilkan inovasi terbaru, baik itu pengaturan atau lahirnya peraturan, lahirnya lembaga seperti OJK, hingga kepada etika –sebuah pedoman nilai atau sikap- lembaga keuangan seperti keterbukaan dan demokratis –untuk diawasi langsung oleh masyarakat. Sedangkan KRIS adalah inovasi sebelum krisis, seakan dapat memprediksi sesuatu.

Krisis tahun 2020 adalah krisis kesehatan dan ekonomi. Berbeda dengan krisis tahun 1998 dan tahun 2007-2008, di mana sektor ritel –penjualan secara langsung- kebutuhan masyarakat tidak terdampak parah, hanya perusahaan dan industri besar yang terdampak parah.

Akan tetapi, pada krisis tahun 2020 sektor ritel kebutuhan masyarakat, juga ikut terdampak parah, karena pembatasan fisik. Hulu hingga hilir.

Pedagang sektor kecil -dibaca ultra mikro- bingung, jika diperbolehkan berjualan dengan protokol kesehatan akan tetapi tidak boleh bersentuhan secara fisik –baik komunikasi dan alat pembayarannya. Maka dari itu, hampir seluruh pedagang kecil, terbantu dengan adanya sistem pembayaran KRIS tersebut.

Hal tersebut, salah satu gambaran dari adanya kebijakan Bank Indonesia yang inklusif -menyentuh seluruh pihak- termasuk UMKM, yang memiliki peran signifikan dalam perekonomian Indonesia.

UMKM dan Pembiayaan Inklusif

Terlebih secara khusus Bank Indonesia, mengeluarkan aturan terkait Makroprudensial atau kehati-hatian dalam menghadapi krisis untuk sektor UMKM –termasuk perorangan berpenghasilan rendah dan pembiayaan rumah sederhana- melalui Rasio Pembiayaan Inklusif Makroprudensial (RPIM) oleh bank –baik konvensional atau syariah- yang tidak bermasalah atau tidak dalam pengawasan OJK.

Melalui Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 16/13/PBI/2021. Yang efektif berjalan 31 Agustus 2021. Disempurnakan melalui PBI No. 24/3/PBI/2022. Efektif berlaku 22 Februari 2022

Di mana BI mewajibkan pemenuhan RPIM –rasio porsi pendanaan inklusif oleh bank- yang dijalankan oleh bank disertai dengan pertanggungjawaban dan sanksi jika tidak menjalani pemenuhan tersebut.

Pemenuhan RPIM, dilakukan bank dengan cara memberikan kredit atau pembiayaan langsung, melalui rantai pasok, melalui jasa keuangan, melalui badan usaha, atau jika tidak, bank dapat melakukan pembelian Surat Berharga Pembiayaan Inklusif (SBPI). 

Pemenuhan RPIM, dilakukan secara periodik tahunan. Dilakukan setiap periode akhir Desember, dimulai dari Desember 2022. Untuk target pemenuhan RPIM, disesuaikan dengan keahlian dan model bisnis bank itu sendiri melalui Rencana Bisnis Bank (RBB).

Target pemenuhan tersebut, diharuskan meningkat dari periode tahun sebelumnya. Dengan angka maksimal pemenuhan target mencapai 30 persen.

Untuk mengetahui pemenuhan tersebut BI mendapatkan laporan dari LBUT (Laporan Bank Umum Terintegrasi) yang disetorkan oleh setiap bank atau menyampaikan secara langsung untuk periode Desember 2022.

Yang nantinya akan dipublikasikan oleh Bank Indonesia melalui kanalnya terkait pemenuhan RPIM tersebut kepada publik, baik pemenuhan RPIM oleh bank yang berdiri sendiri atau RPIM secara keseluruhan oleh lembaga perbankan.

Selain itu, bank diwajiban memenuhi Giro -simpanan nasabah- RPIM, jika tidak dapat memenuhi target RPIM dan pembiayaan kurang dari 30 persen RPIM. Kewajiban pemenuhan Giro RPIM dimulai sejak periode Desember 2024.

Serta menghentikan kewajiban Giro RPIM untuk bank yang tahun berikutnya mencapai target pemenuhan RPIM berdasar penetapan target tahun sebelumnya.

Jika tidak dapat melakukan pemenuhan RPIM dalam periode tertentu. Bank mendapatkan teguran tertulis oleh BI dimulai sejak periode Desember 2024 dan kewajiban pembayaran bagi bank yang tidak melakukan pemenuhan Giro RPIM, paling banyak 5 Miliar -hal tersebut dikecualikan bagi bank dengan kondisi tertentu sesuai rekomendasi OJK.

Sanksi terakhir, jika terlambat dalam memberikan laporan terkait pemenuhan RPIM oleh bank, baik kepada BI secara langsung atau LBUT.   

Meski terdapat kritik atas tumpang tindih kewenangan antara BI dan OJK, yang diutarakan Fathya Nirmala, peneliti CORE (Center of Reform on Economics). Yaitu dengan mengintervensi pelaksanaan -hingga sanksi- kepada bank dalam pemenuhan RPIM oleh Bank Indonesia. 

Akan tetapi dari hal tersebut, menunjukan adanya inklusifitas kebijakan yang menjaga stabilitas keuangan oleh Bank Indonesia –yang menyasar seluruh pihak tidak terkecuali UMKM yang terdampak pandemi dengan resiko yang besar dan berusaha untuk pulih kembali.

Apalagi jika melihat potensi pembiayaan ke sektor UMKM mencapai 1.605 Triliun Rupiah menurut catatan BI, yang disampaikan Ardhineus, analis senior di Bank Indonesia. 1065 Triliun tersebut, meliputi usaha mikro sebesar 331 Triliun, menengah 740 Triliun, dan usaha kecil 543 Triliun.

Baca Serial Liputan Konstruktif "Pemulihan Ekonomi 2022, UMKM, dan Kebijakan Inklusif Bank Indonesia" Lainnya:
•	Kisah Awal Pandemi dan Krisis EkonomiKebijakan Inklusif Bank Indonesia di Kala KrisisJurus Pemulihan Ekonomi ala Pemerintah
Diterbitkan: 15 Mei 2022
Pukul: 13.55 WIB
Jurnalis: Adi Fauzanto  
Daftar Bacaan:      
• Bank Indonesia. 2016. Mengupas Kebijakan Makroprudensial. 
• Ardhineus. 2022. Arah Kebijakan Makroprudensial. Kolom Harian Kompas, 12 Januari
• Fathya Nirmala. 2021. Menata Batas Kewenangan Makroprudensial. Kolom Detik.com, 29 Desember
• Pers Rilis Bank Indonesia. 2019. Bank Indonesia Terbitkan Ketentuan Pelaksanaan QRIS 
• Peraturan Bank Indonesia No. 23/13/PBI/2021
• Peraturan Bank Indonesia No. 24/3/PBI/2020 

Pemulihan Ekonomi 2022, UMKM, dan Kebijakan Inklusif Bank Indonesia


Kebijakan.co.idLiputan Konstruktif

Adi Fauzanto-15 Juli 2022 (13.49 WIB)-#3 Artikel

***

Jakarta, Kebijakan.co.id — Pandemi Covid-19 sudah berjalan 2 tahun lebih, setelah secara resmi diumumkan WHO (World Health Organization) pada 11 Maret 2020. Segala sektor terdampak, berusaha bangkit, khususnya ekonomi masyarakat. Negara hadir dengan berbagai kebijakan, utamanya berkaitan dengan ekonomi, dengan cakupan para pelaksana ekonomi, mulai dari swasta atau korporasi hingga UMKM (Usaha Mikro Kecil Menengah).

Untuk mengatasi krisis ekonomi, Program Pemulihan Ekonomi (PEN) dirancang dan dijalankan oleh para pemangku kepentingan. Mulai dari Presiden hingga Dinas-Dinas di daerah hingga kepada pemerintahan desa. Dirasakan oleh berbagai pihak, khususnya masyarakat dan sektor UMKM.

Tidak terkecuali, kebijakan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia, sebagai bank sentral yang bertanggungjawab secara luas kepentingan keuangan Negara.

Baik itu stabilitas nilai rupiah, stabilitas sistem keuangan, stabilitas serta pertumbuhan ekonomi secara makro (luas), meningkatkan akses ke dalam pasar keuangan, mengembangkan ekonomi keuangan syariah, hingga yang terbarukan turut andil dalam mengembangkan ekonomi keuangan digital atau pembayaran non-fisik.

Dan tentu mengatasi dampak negatif dari Covid-19,” papar Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo (63) dalam video yang diunggah Bank Indonesia.

Stabilitas menjadi kunci dalam krisis ekonomi. Kebijakan yang inklusif –yang menyentuh berbagai pihak khususnya ekonomi skala kecil- menjadi pegangan untuk membantu pulihnya ekonomi masyarakat.

***

Baca Serial Liputannya Di Sini

Kisah Awal Pandemi dan Krisis Ekonomi


Kebijakan.co.idLiputan Konstruktif

Adi Fauzanto-15 Mei 2022 (13.38 WIB)-#80 Paragraf

Pandemi Covid-19 sudah berjalan 2 tahun lebih, setelah secara resmi diumumkan WHO (World Health Organization) pada 11 Maret 2020. Segala sektor terdampak, berusaha bangkit, khususnya ekonomi masyarakat. Negara hadir dengan berbagai kebijakan, utamanya berkaitan dengan ekonomi, dengan cakupan para pelaksana ekonomi, mulai dari swasta atau korporasi hingga UMKM (Usaha Mikro Kecil Menengah).

Untuk mengatasi krisis ekonomi, Program Pemulihan Ekonomi (PEN) dirancang dan dijalankan oleh para pemangku kepentingan. Mulai dari Presiden hingga Dinas-Dinas di daerah hingga kepada Pemerintahan Desa. Dirasakan oleh berbagai pihak, khususnya masyarakat dan sektor UMKM.

Tidak terkecuali, kebijakan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia, sebagai bank sentral yang bertanggungjawab secara luas kepentingan keuangan Negara.

Baik itu stabilitas nilai rupiah, stabilitas sistem keuangan, stabilitas serta pertumbuhan ekonomi secara makro (luas), meningkatkan akses ke dalam pasar keuangan, mengembangkan ekonomi keuangan syariah, hingga yang terbarukan turut andil dalam mengembangkan ekonomi keuangan digital atau pembayaran non-fisik.

“Dan tentu mengatasi dampak negatif dari Covid-19,” papar Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo (63) dalam video yang diunggah Bank Indonesia.

Stabilitas menjadi kunci dalam krisis ekonomi. Kebijakan yang inklusif –yang menyentuh berbagai pihak khususnya ekonomi skala kecil- menjadi pegangan untuk membantu pulihnya ekonomi masyarakat.

***

Jakarta, Kebijakan.co.id — Kisah dimulai dari Penyintas Covid-19 –orang yang mampu bertahan hidup melawan Covid-19- pertama dan kedua, Sita Tyasutami (32) dan Maria Darmaningsih (65). Kedua merupakan ibu dan anak, yang tertular dari Warga Negara Asing (WNA) asal Jepang –dari Malaysia- setelah melakukan kontak di sebuah restaurant.

Waktu awal sakit saya mikirnya flu biasa, tapi emang agak parah gejalanya, memang lama sekali,” Tutur Sita dalam Konfrensi Pers KPCPEN (Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional) (2/3/2021). Secara resmi, keduanya dinyatakan positif Covid-19 pada 1 Maret 2020 di RSPI (Rumah Sakit Penyakit Infeksi) Dr. Sulianti Saroso.  

Satu bulan setelah pasien pertama diumumkan, tepatnya 12 April 2020, pemerintah secara resmi mengumumkan Covid-19 sebagai bencana nasional. Yang dikeluarkan oleh Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Non-alam Penyebabaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) sebagai Bencana Nasional.  

Tak ayal untuk penanganan pandemi untuk pertama kalinya berhadapan dengan kondisi cukup parah. Alhasil di awal kebijakan publik yang dikeluarkan pemerintah berganti-ganti, tidak jarang saling bertabrakan karena kurangnya koordinasi. Mulai dari kebijakan mudik, lockdown –pembatasan total kegiatan- di daerah, pembelian alat test, hingga operasional ojek online.

Ditambah celotehan pejabat publik yang berpotensi membingungkan masyarakat, baik di media sosial ataupun saat di depan publik.

Satu di antaranya celotehan Mahfud MD (65) pada 15 Februari 2020 di Twitter, “Alhamdullilah 243 WNI yang pulang dr Wuhan dan diobservasi 14 hr di Natuna dinyatakan brsh dr Corona. Dlm kelakarnya, Menko Perekonomian Airlangga bilang “Krn perizinan di Indonesia ber-belit2 maka virus corona tak bs masuk, Tp omnibus law ttg perizinan lapangan kerja jalan trs.” *gambar emoticon tertawa*”

Twitter Mahfud MD Covid
Twitter.com

Selain itu pemerintah mengeluarkan Perppu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang) No. 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 -lalu ditetapkan menjadi UU (Undang-Undang) No. 2 Tahun 2020 oleh DPR (Dewan Perwakilan Rakyat)- yang ditunjukan melindungi ekonomi nasional.

Dalam hal ini, terdapat perubahan pada Pasal 27 Ayat (1) dan (3) yang didasarkan atas Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 37/PUU-XVIII/2020.

Begini perubahannya untuk Ayat (1), “….. bukan merupakan kerugian negara.”Menjadi, “…bukan merupakan kerugian negara sepanjang dilakukan dengan iktikad baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.” Perubahan tersebut di dasarkan karena bertentangan dengan UU Tindak Pidana Korupsi.

Sedangkan perubahan untuk Ayat (3), “Segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara (PTUN).” Menjadi, “..bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara…dilakukan dengan iktikad baik dan sesuai peraturan perundang-undangan.

Meski tidak bertentangan dengan Pasal 49 UU No. 5 Tahun 1986 Tentang PTUN. Menurut MK, Pasal tersebut tidak hanya pandemi Covid-19 atau keadaan bencana non-alam, akan tetapi terdapat potensi membahayakan ekonomi nasional, maka perlu ada pengawasan.

PTUN sendiri memiliki kewenangan untuk memutus sengketa yang melibatkan individu atau badan hukum perdata dengan pejabat atau badan pemerintah yang berwenang mengeluarkan Keputusan TUN –keputusan tertulis berkaibat hukum yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat yang berwenang bersifat konkrit dan invidiual.

Selain itu di satu sisi, UU No. 2 Tahun 2020 dikritik oleh Pusat Studi Hukum Tata Negara (PSHTN) Universitas Indonesia, karena UU yang dikeluarkan tidak menggambarkan aspek kesehatan publik untuk penangangan Covid-19.

Akan tetapi di sisi lainnya, dipuji karena mempersiapkan kebijakan penanganan krisis ekonomi di awal pandemi, seperti yang diungkapkan Sri Mulyani (60) dalam wawancara dengan Kompas TV (10/6/2022).

***

Sri Mulyani Berfikir
Sri Mulyani

Sri Mulyani, salah satu ekonom –sebutan untuk ahli ekonomi- yang menghadapi krisis ekonomi 1998, 2007, hingga 2020. “Saya juga melihat bagaimana Indonesia menangani krisis ekonomi yang sangat parah tahun 1997 – 1998,” ujar Sri Mulyani yang kala itu menjabat Wakil Kepala Bidang Penelitian LPEM UI (Lembaga Penelitian Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia) dalam Buku Sri Mulyani Indrawati, Putri Indonesia yang Mendunia (2019). 

“Saat itu tidak banyak masyarakat bahkan akdemisi yang memahami krisis 1998, di saat itulah dibutuhkan ekonom yang mampu memaparkan krisis tersebut dengan bahasa yang ringan dan mudah ditangkap,” tambahnya dalam artikel Bisnis.com berjudul Sri Mulyani: Karir Saya Dibentuk oleh Krisis 97-98.

Krisis 1998

Penjarahan saat Reformasi 1998 di Indonesia
Penjarahan saat Reformasi 1998 di Indonesia (Choo Youn-Kong/AFP Photo)

Untuk diketahui, krisis moneter –keuangan- tahun 1998 bermula dari jatuhnya mata uang Baht di Thailand pada Juni 1997, lalu merambat menuju negara asia lainnya, seperti Korea Selatan, Malaysia, Filipina, tak terkecuali Indonesia.

Jatuhnya mata uang Baht, bermula ketidakmampuan swasta-swasta di Thailand gagal membayar utang jangka pendek ke Bank Jepang yang jatuh tempo pada akhir tahun 1996 –ditambah munculnya permasalahan ekonomi di Jepang sendiri.

Akibat gagal membayar utang yang jatuh tempo, harga saham perusahaan-perusahaan swasta tersebut jatuh, berdampak juga kepada turunya pasar modal –pasar yang menjual instrumen keuangan seperti kepemilikan perusahaan atau saham- Thailand.

Lalu mata uang Baht terkerek naik (dibaca: melemah) di Juni 1997 dengan harga 26 Bath per Dollar Amerika, diperparah dengan spekulan –pihak yang mencari keuntungan dari spekulasi dalam hal ini dalam pasar uang-  yang mencoba menjual Baht dengan tujuan untuk menurunkan mata uang tersebut, dan itu berhasil.

Pemerintah Thailand melihat uang Baht yang ke luar, mencoba mengintervensi dengan membeli mata uang Baht, menghabiskan cadangan devisa –aset negara dalam bentuk mata uang asing- di sisi lain dibantu oleh IMF (International Monetary Fund) dengan menyediakan dana pinjaman dengan syarat, pada Agustus 1997. Akan tetapi hal itu gagal, dari situlah terjadi gelembung, mengerek mata uang Baht menjadi 54 Baht per Dollar Amerika.

Sedangkan di Indonesia, di awal tahun 1997 mata uang Rupiah masih stabil di harga 2000-2300 per Dollar Amerika. Lalu terkerek naik di angka 10.000 per Dollar Amerika dalam waktu satu tahun.

Pelemahan rupiah bermula dari para investor yang menarik dana –capital flight– nya dari pasar modal Indonesia. Ditambah, kondisi pemerintah dan swasta-swasta memiliki utang berjangka pendek dalam valuta asing atau valas –mata uang yang sah untuk perdagangan internasional- cukup banyak senilai 75 Miliar Dollar Amerika -sumber lain menyebutkan 20,8 Milliar dan 33 Milliar-, di satu sisi terkereknya Rupiah sehingga menyebabkan utang merangkak drastis.

Swasta-swasta pun mencari Dollar –tentu menjual Rupiah cukup besar- untuk menyiapkan pembayaran utang, di satu sisi permintaan akan Dollar tinggi, sedangkan ketersediaan Dollar menipis. Pasar uang dan pasar modal (Bursa Efek Jakarta) di Indonesia pun menyentuh titik terendah.      

Pemerintah pun berusaha dengan menaikkan suku bunga SBI (Sertifikat Bank Indonesia) dari 11 persen menjadi 30 persen, untuk mencegah Rupiah ke luar dari Indonesia. Di sisi lainnya, mengatur ulang APBN dan menunda proyek besar. Akan tetapi tetap, aliran modal semakin deras ke luar dari Indonesia. Sedangkan cadangan devisa terus tergerus untuk mempertahankan dengan membeli Rupiah.

Pemerintah meminta pertolongan bantuan IMF. Di sisi lainnya IMF menyetujui bantuan tersebut dengan syarat tertentu atau Standby Loan. Total pinjamannya ialah 43 Miliar Dollar Amerika, 12.3 Milliar dari IMF, sisanya 30.7 Milliar berasal dari Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia, dan Negara tetangga lainnya Jepang dan Singapura.

Di antara syaratnya ialah. Pada ketentuan (term) pertama mencairkan 3 Milliar Dollar Amerika, dengan syarat menutup 16 bank bermasalah, karena buruknya tata kelola dan pencegahan krisis keuangan Bank –pasca krisis 1998 kepercayaan terhadap Bank di Indonesia direspon dengan menolak Letter of Credit atau surat jaminan pembayaran untuk kegiatan ekspor impor dari Bank Asing.

Akibatnya pengambilan dana dari bank-bank oleh nasabah karena ketidakpercayaan terhadap Bank, selain itu juga belum ada jaminan simpanan. Setelah itu, rupiah kian memburuk, ditambah pasar -pelaku ekonomi- merespon negatif APBN yang direncanakan Pemerintah di awal Tahun 1998. Alhasil rupiah terkerek tajam menjadi 13.600-17.000 per Dollar Amerika.

Tidak lama setelah ketentuan (term) ketiga pada 8 April 1998 dijalankan antara IMF dan Pemerintah. Indonesia mengalami konflik sosial-politik pada Mei 1998, akibat banyak faktor. Pertama, ialah turunnya ketidakpercayaan masyarakat. Kedua, pemerintahan yang bersifat otoriter –tidak demokratis- dengan pendekatan militeristik. Ketiga, banyaknya dugaan korupsi dalam lingkaran pemerintahan. Sehingga Presiden Soeharto jatuh dari kursi Presiden.

Dari krisis ini, reformasi ekonomi yang dirasakan ialah. Pertama, APBN lebih transparan dan proses perumusan melibatkan legislatif yaitu DPR (Dewan Perwakilan Rakyat), masukan DPD (Dewan Perwakilan Daerah), dan pelibatan lembaga negara indepnden yaitu Badan Pemeriksa Keungan (BPK) dalam pemeriksaan laporan pertanggungjawaban.

Kedua, lahirnya Badan Pemeriksa Keuangan –sebuah lembaga independen negara yang bertanggung jawab untuk memeriksa pengelolaan keuangan negara. Ketiga, lahirnya Lembaga Penjamin Simpanan, sebagai bentuk wujud kepastian atas perlindungan nasabah.

Krisis 2007

Kesedihan saat Anjlok nya Saham Wall Street
Kesedihan saat Anjlok nya Saham Wall Street (Wall Street Journal/Getty Images)

Kisah selanjutnya, krisis tahun 2007-2008. Sri Mulyani selaku menteri keuangan kala itu, punya kisah tersendiri, “Hari-hari menghadapi krisis ekonomi dunia tersebut menjadi kawah ujian yang lengkap dan bagi saya. Karena, pada saat itu merupakan puncak guncangan krisis ekonomi dunia yang menyebabkan suasana ekonomi Indonesia juga terguncang. Harga saham dan mata uang Rupiah merosot tajam menjadi pemicu munculnya kepanikan pelaku ekonomi. Saat itu pula, kesehatan ibu saya merosot tajam, akhirnya meninggal dunia.”

Sri Mulyani sadar bahwa posisinya sebagai menteri keuangan menjadi tumpuan dan harapan di setiap langkah yang dikeluarkan dalam krisis tersebut, nasib ekonomi Indonesia ada di tanganya. Segala bentuk pemantauan dan kebijakan, seperti kurs –nilai tukar mata uang antar negara-,suku bunga, cadangan devisa, likuiditas, rush –menarik uang secara besar-besaran dalam lembaga keuangan-, neraca perdagangan, stimulus –bantuan dalam lingkup ekonomi-, dan kebijakan ekonomi lainnya harus dirumuskan secara matang dan tepat, agar tidak salah.

Krisis 2007-2008 tersebut ialah krisis yang terjadi di Amerika yang berdampak keseluruh dunia, salah satu faktornya adalah kebangkrutan perusahaan bank swasta tertua di Amerika yaitu Lehman Brother Holding Incorporation dan masalah keuangan di lembaga lainnya seperti perusahaan asuransi AIG (American International Group), Goldman Sachs, dan lembaga bank investasi lainnya.

 Penyebab nya bermula dari dua faktor yang salih mempengaruhi.

Pertama, dari naik nya harga minyak dunia di tahun 2003, 2005, hingga 2007 –yang langka dan permintaan naik-, disebabkan oleh laju pertumbuhan negara-negara setelah krisis tahun 1998 sehingga konsumsi minyak bumi ikut naik, konsekuensinya angka inflasi tinggi –kenaikan harga secara terus menerus, disebabkan kelangkaan, biaya produksi tinggi, peredaran uang berlebih menyebabkan turunnya nilai mata uang tersebut.

Kenaikan harga minyak  bumi ini berdampak kepada komoditas harga barang lainnya juga terkerek naik. Krisis keuangan pun muncul.

Kedua, bermula dari tahun 1990-an hingga 2000-an awal. Amerika menjadi tempat berlabuhnya dana investasi asing. Iklim bisnis begitu menjajikan. Menyebabkan likuiditas bank –ketersediaan dana Bank untuk pinjaman dan pemenuhan atas penarikan dana- meningkat dan berlanjut menurunnya suku bunga –suku bunga meminjam juga menyimpan.  

Menyebabkan perusahaan mencari model bisnis atau bank berusaha menjual aset yang dapat mengembalikan keuntungan yang tinggi. Termasuk aset beresiko tinggi ditambah produk keuangan yang diciptakan dan dijual belikan dalam kemasan derivatif –perjanjian atau kontrak yang memiliki nilai dari kinerja aset.

Aset beresiko tinggi tersebut merupakan kredit rumah kelas dua (subprime mortage) untuk nasabah yang memiliki profil resiko tinggi, seperti penghasilan tidak tetap dan faktor resiko lainnya. Aset beresiko tersebut dijadikan jaminan nyata (underlying asset) untuk produk-produk derivatif yang dijual belikan nantinya. Adanya produk derivatif tersebut untuk mengalihkan resiko dari Kredit Rumah yang bersifat jangka panjang.  

Sebelum adanya produk derivatif dari kredit rumah kelas dua, perbankan sangat berhati-hati untuk menyalurkan pinjamannya pada kredit rumah kelas dua, karena bersifat pinjaman jangka panjang dan beresiko untuk macet.  

Dari adanya produk derivatif atas kredit rumah kelas kedua, munculah produk keuangan perbankan lainnya, mortage-backed securities (MBS) –efek yang dibuat oleh pemberi kredit rumah dengan mengsekuritasi atau menginstrumenkannya menjadi produk keuangan atas aset piutang kredit rumah untuk dijual kepada investor- atau bentuk serupa lainnya seperti collateralized mortage obligation (CMO) atau collateralized debt obligation (DBO).

Produk derivatif, seperti MBS, CMO, dan CDO dijual kepada investor oleh Bank Investasi yang membeli secara besar-besaran produk derivatif dari Bank pemberi pinjaman kredit rumah tersebut.  

Untuk membuat menarik MBS, CMO, dan CDO untuk dijual tinggi kepada investor, yaitu dengan menyewa dan membayar perusahaan pemeringkat untuk penilaian tertinggi. Dengan penilaian yang tinggi, para investor, seperti bank, dana pensiun, perusahaan asuransi, aset manajemen membeli produk deviratif tersebut untuk portofolio mereka.

Hingga tahun 2004, ketika suku bunga The Fed –bank sentral Amerika layaknya BI- 1 persen dan suku bunga kredit rumah diangka 2 persen, semua terlihat normal oleh para pihak, seperti penerima kredit rumah, pengembang properti, bank pemberi kredit, investor pembeli produk derivatif, bank investasi penjual produk derivatif, hingga perusahaan asuransi.

Keadaan berubah ketika dimulai dari pertengahan tahun 2004, di mana The Fed mulai menaikkan suku bunga hingga puncaknya pada tahun 2007, dengan bunga di angka 5,25 persen. 

Para peminjam untuk Kredit rumah kelas dua pun, gagal bayar. Menyebabkan efek domino lembaga keuangan –baik bank atau bukan bank. Sehingga produk derivatif jatuh. Bank pemegang derivatif mengalami kesulitan likuiditas –pemenuhan kewajiban atas produk derivatif yang diterbitkan kepada investor- dan portofolio –kumpulan saham- lembaga pemegang produk derivatif lainnya juga terdampak kerugian besar. Sehingga untuk menjalankan atau mengembangkan bisnis bagi para investornya cukup sulit. Dan berdampak pada ekonomi makro.

Dengan globalisasi sistem ekonomi, dengan pembeli produk derivatif tersebut merupakan perusahaan atau lembaga dari berbagai negara, berdampak juga pada bursa saham di negara lainnya, tak terkecuali di Indonesia, ke luarnya modal asing dari Bursa Efek Indonesia khususnya saham-saham perusahaan besar, menyebabkan guncangan ekonomi.

Ke luarnya para penyimpan dana di Bank (deposan atau orang-orang yang memiliki deposito) karena tidak diberlakukan penjaminan dana nasabah secara penuh oleh Lembaga Penjamin Simpanan di bank-bank swasta –hanya maksimal 2 miliar. Sehingga pemegang dana-dana jumbo –di atas 2 miliar- kabur ke negara dengan penjaminan dana penuh.

Akan tetapi guncangan ekonomi terasa dalam sektor-sektor komoditas permintaan internasional dan perusahaan-perusahaan besar. Sedangkan ekonomi ritel masyarakat di daerah-daerah, khususnya UMKM, tidak begitu berdampak.      

Terlebih, terlihat lebih berpengalaman dari krisis sebelumnya. Pemerintah mengeluarkan tiga Perppu ketika berhadapan dengan krisis 2007-2008. Pertama, Perppu No. 2 Tahun 2008 tentang Bank Indonesia yang ditetapkan 13 Oktober 2008.

Kedua, Perppu No. 3 Tahun 2008 tentang Lembaga Penjamin Simpanan yang ditetapkan 13 Oktober 2008 berisikan perluasan aset yang dijadikan agunan untuk pinjaman jangka pendek dari BI untuk memberikan bantuan dana kepada bank yang kesulitan likiuditas.

Terkahir yang tetiga, Perppu No. 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan yang ditetapkan 15 Oktober 2008 berisikan koordinasi antara lembaga negara yang mencegah dan menangani krisis.  

Krisis 2007-2008 juga menghasilkan reformasi bagi dunia perbankan baik secara mikroprudensial dan makroprudensial. Salah satunya OJK (Otoritas Jasa Keuangan) yang khusus mengatur kesehatan keuangan dunia perbankan dan pasa modal –atau mikroprudensial- dipisah dengan cakupan kesehatan ekonomi lebih luas, seperti keuangan, sistem pembayaran, dan instrumen ekonomi lainnya oleh Bank Sentral atau BI –atau makroprudensial.

Krisis 2020

Ibu dan Anak ketika Covid-19 menyerang
Ibu dan Anak ketika Covid-19 menyerang (EastAsiaForum.org)

Sedangkan krisis 2020, disebabkan pandemi, yang memaksa daerah untuk menutup akses baik barang atau orang untuk mencegah virus tersebut tersebar. Ada dua faktor krisis, antara kesehatan dan ekonomi.

Dari faktor ekonomi, pembatasan fisik, menghambat sektor ekonomi yang membutuhkan kontak fisik langsung. Misal pariwisata, transportasi, perdagangan kecil, pendidikan, hingga keuangan. Berhentinya rantai ekonomi di semua sektor –kecuali kesehatan dan digital- dari hulu-hilir karena turunnya permintaan akibat pembatasan, mengakibatkan ekonomi lesu.

Dengan melihat kemungkinan dampak yang terjadi, pemerintah khususnya dalam bidang ekonomi. Mampu mengatasinya dengan menerbitkan aturan-aturan, yang ditunjukan untuk bantuan atau pengalokasian ulang. UU No. 2 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 adalah salah satu produk aturan yang dikeluarkan dengan responsif –bahkan melebihi kebijakan kesehatan yang struktural.

Dalam Perppu tersebut, berisikan tambahan belanja dan pembiayaan dalam APBN 2020 sebesar 405,1 Triliun Rupiah. Tambahan tersebut, terdiri dari 75 Triliun untuk sektor kesehatan, 110 Triliun untuk jaring pengaman sosial, 70,1 Triliun untuk sektor industri, terakhir 150 Triliun untuk penanganan pembiayaan penjaminan serta restrukturisasi industri untuk mendukung Program Pemulihan Nasional.

Dalam sektor kesehatan ditunjukan untuk subsidi BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial); membayar tagihan rumah sakit; insentif –bantuan atau mengurangi sesuatu dengan tujuan meringankan- tenaga medis pusat dan daerah di 132 RS Rujukan; baik itu kepada dokter spesialis, dokter umum, perawat, dan tenaga kesehatan lainnya. Sisanya digunakan untuk dibelikan alat-alat medis, seperti APD; alat test; ventilator; termasuk membangun Rumah Sakit Khusus Karantina Covid-19.

Untuk jaring pengaman sosial, diberikan kepada program keluarga harapan; penerima bantuan sosial; program kartu pra-kerja terdiri dari program pelatihan dan uang saku; menggratiskan dan memberikan potongan pemakaian listrik; memberikan subsidi perumahan untuk masyarakat berpenghasilan rendah; sisanya sebesar 25 Triliun dicadangkan untuk operasi pasar untuk kebutuhan pokok mencegah kelangkaan.

Untuk stimulus sektor industri dengan memperluas sektor; penundaan pajaknya dan perluasan pembebasan bea masuk; penundaan pembayaran pokok dan bunga kredit usaha rakyat;

Total ketiga sektor kesehatan, jaring pengaman sosial dan industri membutuhkan 225,1 Triliun. Dengan cadangan 30 Triliun. Sisanya 150 T digunakan untuk program restrukturisasi –penjadwalan ulang kredit oleh debitur dan kreditur- ditunjukan untuk pemulihan ekonomi agar tidak ada kredit macet.

Konsekuensi dari penambahan biaya tersebut, penerimaan akan turun, baik dari pajak, bea cukai, migas, dan non-migas. Dan kemungkinan defisiti APBN diperkirakan mencapai 5,07 persen. Sehingga dalam Perppu tersebut, mengizinkan relaksasi –melonggarkan- APBN defisit di atas 3 persen, yang berlansung selama 3 tahun.    

***

Kemungkinan tersebut, terjadi. Indonesia mengalami resesi. Tidak ada definisi yang resmi terkait resesi, akan tetapi dapat dilihat dengan keadaan di mana ekonomi lesu, mulai dari Pemutusan Hubungan Kerja, perlambatan pada sektor usaha, kredit usaha yang macet. Secara statistik angka, ditandai dengan penurunan -kontraksi- pertumbuhan ekonomi PDB (Produk Domestik Bruto atau nilai pasar semua barang dan jasa yang diproduksi suatu negara dalam periode tertentu) 2 quartal -6 bulan- berturut-turut.

Jika dilihat pertumbuhan ekonomi Triwulan 1 2020 –dibaca quartal 1 atau Q1 artinya 3 bulan pertama 2020- tumbuh 2,97 persen year on year –dibaca perbandingan tahun ke tahun antara Q1 2020 dengan Q1 2019 disebut juga pertumbuhan GDP dalam setahun. Melambat dibandingkan dengan Q1 2019 5,07 persen. Sedangkan Q1 2020 secara q to q –dibaca perbandingan Q1 2020 dengan Q4 2019- mengalami penurunan 2,41 persen.

Lanjut triwulan selanjutnya yaitu Q2, ketika Covid-19 sudah ditetapkan oleh pemerintah sebagai bencana nasional. Q2 2020 menurun 5,32 persen year on year, sedangkan secara q to q menurun 4,19 persen.

Triwulan selanjutnya Q3, secara statistik angka di Indonesia masuk ke dalam resesi ekonomi. Q3 2020 menurun 3,49 persen year on year, sedangkan secara q to q mengalami pertumbuhan 5,05 persen dibandingkan Q2 2020.

Triwulan selanjutnya Q4 menurun 2,19 persen year on year, sedangkan secara q to q menurun 0,42 persen dibandingkan Q3 2020. Jika melihat c to c –dibaca kumulatif dari dari periode 4 triwulan tahunan dibandingkan 4 triwulan tahunan sebelumnya- tahun 2020 menurun 2,07 persen dibanding tahun 2019.

Di tahun 2021, Q1 menurun 0,47 persen year on year. Sedangkan secara q to q, Q1 2021 mengalami penurunan 0,96 persen.

Sedangkan di triwulan kedua 2021, Indonesia secara statistik angka terbebas dari resesi ekonomi. Q2 mengalami pertumbuhan 7,07 persen year on year. Tingginya angka pertumbuhan tersebut, dikarenakan pembandingnya merupakan Q2 2020 yang mengalami penurunan 5,32 persen year on year. Sedangkan secara q to q juga mengalami pertumbuhan 3,31 persen.   

Triwulan selanjutnya Q3 mengalami pertumbuhan 3,51 persen year on year. Untuk q to q juga tumbuh 1,55 persen.

Dan terakhir untuk Q4 tahun 2021, tumbuh 5,02 persen year on year. Sedangkan untuk q to q mengalami pertumbuhan 1,06 persen. Untuk kumulatif atau keseluruhan 4 triwulan mengalami pertumbuhan 3,69 persen c to c dibandingkan dengan tahun 2020. 

Dari data tersebut, terlihat bagaimana Indonesia memasuki resesi atau lesu dalam produktifitas ekonomi, hingga ke luar dari jurang resesi untuk kembali tumbuh.

***

Akan tetapi, bila data dilihat lebih jelas atau detail, terdapat potensi kelemahan ekonomi di Indonesia.

Menurut Azhar Syahida, ekonom CORE (Center of Reform on Economics), misalnya merujuk pada data surplus perdagangan –yang berarti ekspor lebih tinggi ketimbang impor- hingga Q2 tahun 2021, yang menunjukan peningkatan surplus perdagangan yang signifikan, akan tetapi terdapat keropos dalam bidang industri dalam hal impor barang baku -selain bahan baku terdapat bahan mentah dan barang jadi.

Di balik surplus perdagangan yang signifikan yang menyebabkan pertumbuhan ekonomi secara statistik tersebut. Surplus yang terjadi bukan dikarenakan kinerja ekspor yang baik, tetapi impor yang memburuk, di antaranya impor bahan baku yang melambat, menyebabkan bahan baku industri yang kosong, dan industrialisasi yang keropos.

Kedepan, diperlukan perhatian pada bahan baku prioritas -diutamakan- yang diproduksi sendiri dari bahan mentah dalam negeri. Sehingga, tidak melulu bergantung kepada impor bahan baku untuk industri prioritas.

***

Namun, secara garis besar, dalam keadaan potensi krisis yang luar biasa, mendorong negara melakukan hal yang luar biasa pula untuk menyelamatkan ekonomi masyarakat. Untuk itu, perlu ada program pencegahan dan pemulihan ekonomi. Dengan diterbitkannya UU No. 2 Tahun 2020 sudah dirasa tepat untuk menanggulangi krisis ekonomi di tahun 2020.

Baca Serial Liputan Konstruktif "Pemulihan Ekonomi 2022, UMKM, dan Kebijakan Inklusif Bank Indonesia" Lainnya:
•	Kisah Awal Pandemi dan Krisis EkonomiKebijakan Inklusif Bank Indonesia di Kala KrisisJurus Pemulihan Ekonomi ala Pemerintah
Diterbitkan: 15 Mei 2022
Pukul: 13.38 WIB
Jurnalis: Adi Fauzanto 
Daftar Bacaan:     
• Fredy B. L. Tobing. 2013. Praktik Relasi Kekuasaan: Soeharto dan Krisis Ekonomi 1997-1998. Penerbit Gramedia: Jakarta  
• Leightne J.E. 2007. Thailand Financial Crisis: Its Causes, Consequences, and Implications. Journal of Economic Issues Vol. 41 No. 1 
• Mahdi Mahmudy. 1998. Setahun Krisis Asia:  Beberapa Pelajaran yang Dapat Diambil dari Krisis Tersebut. Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan  
• Imam Sugema. 2012. Krisis Keuangan Global 2008-2009 dan Implikasinya pada Perekonomian Indonesia. Jurnal Ilmu Pertanian Vol. 17 No. 3 
• Budi Frendisy. 2022. Kilas Balik Krisis Finansial 2008. Koran Kontan, Rubrik Portofolio, 31 Januari 
• Azhar Syahida. 2021. Industri yang Keropos. Opini Republika.co.id, 12 Juni
• Nurul Qomariyah. 2020. Krisis Finansial 2008, Bagaimana Indonesia Mengatasinya?. Serial Krisis Ekonomi Tirto.id, 18 November 
• Nurul Qomariyah. 2020. Krisis Moneter 1997/1998 adalah Periode Terkelam Ekonomi Indonesia. Serial Krisis Ekonomi Tirto.id, 18 November 
• Rilis Pers Kementerian Keuangan. 2020. Perppu No. 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Keuangan. 1 April