Kebijakan.co.id – Liputan Mendalam
Fayza-27 Januari 2023 (19.30 WIB)-#56 Paragraf

Berbagai cara mengatasi kemacetan di Kota yang dianggap ‘kota swasta’ dengan berbagai varian transportasi publik. Apakah upayanya membuahkan hasil? Jurnalis Kebijakan.co.id mencari tahu melalui pengamat, pegiat, pendatang, warga, data, peneliti, dan turun langsung menikmatinya.
***
Tangerang, Kebijakan.co.id — Penasaran dengan kota yang dianggap ‘kota swasta’ –yang dikendalikan oleh swasta— saya (jurnalis Kebijakan.co.id) ingin mencoba membuktikan apakah ini benar terjadi, khususnya pada transportasi publik, yang hangat dibicarakan awal tahun 2023 ini. Apakah Pemerintah Kota lepas tangan begitu saja –dan menyerahkan semuanya kepada swasta?
Sebelum saya membuktikan langsung, baiknya saya menelusuri orang-orang yang telah menggunakan transportasi publik di Kota Tangerang.
Kata Mereka: Pengamat, Pegiat, Pendatang, dan Peneliti
“Saya hanya pernah mendapatkan kendaraan yang terlalu penuh karena kurangnya armada, atau lamanya waktu tunggu antar armada,” Cerita Ari Subagyo (21), warga Kecamatan Kelapa Dua.
Menurutnya kualitas layanan transportasi umum Kota Tangerang mengalami penurunan kualitas, dilihat dari banyaknya armada yang tidak terawat dan pelayanan tidak sebaik saat baru diluncurkan.
Ia mengaku, sudah pernah mencoba Commuterline, Bus Tangerang Ayo disingkat Tayo, Bus Trans Tangerang, dan angkutan umum (angkot) konvensional. Hanya Angkot Si Benteng saja yang belum ia coba. Dari pengalaman menggunakan, pembayaran antar moda juga terpisah—masih dalam kisaran biaya terjangkau.
“Sisanya, cukup baik karena memang sangat membantu mobilitas terutama ke tempat-tempat di Kota Tangerang,” tutup ceritanya melalui keterangan tertulis pada Selasa (10/1/23) kepada saya.
Senada dengan cerita awal Ari tentang keluhan armada yang penuh. Hal tersebut juga pernah diteliti oleh Fakhruriza, Dwi, Linta pada tahun 2017.
Dalam penelitiannya itu mereka memberikan masukan untuk memperbaiki penataan ulang jumlah armada yang berpoperasi untuk mengoptimal fungsi angkot untuk masyarakat, khususnya pada jam-jam sibuk sehingga ketersediaan angkot oleh masyarakat menjadi seimbang dan tidak terjadi penumpukan.
Jika tidak ditata, maka penumpukan akan sering terjadi. Menurut cerita Ari juga, angkot konvensional dianggap salah satu penyebab kemacetan beberapa titik di Kota Tangerang.
Merespon itu, pemerintah melahirkan ide Angkot Si Benteng, pun belum terasa maksimal sebab trayek yang belum banyak dan bervariasi. Diklaim sebagai angkot modern karena mengumpan penumpang di plang khusus ini dinilai belum menjadi jawaban atas dunia permacetan ria di Kota Tangerang.
Selain itu, masalah lainnya dari Angkot Si Benteng, ialah pengemudinya yang tidak karuan dalam membawa kendaraan. Hal itu diakui oleh Wali Kota Tangerang Arief R Wismansyah mengungkapkan masih adanya keluhan masyarakat terkait pengemudi Angkot Si Benteng yang berkendara secara ugal – ugalan pada Senin (5/12/22).
Merespon itu, “Dishub (Dinas Perhubungan) saya minta nanti pasang stiker Call Center di belakang mobil dan di dalam mobil, kalau pengemudinya ugal – ugalan, berhenti sembarangan, tidak on time masyarakat bisa lapor,” pintanya.
Terkait keluhan masyarakat tersebut, Direktur PT TNG Edi Chandra mengaku telah menyediakan Call Center. Masyarakat bisa menghubungi di Nomor 021-5578-5679 atau melalui sosial media seperti Instagram di @tangerangnusantaraglobal.
Menurut salah satu penggiat mobilitas aktif dengan nama akun @tfjakarta, Adriansyah Yasin Sulaeman atau yang biasa disapa Adrian, mengacungi jempol kepada Pemkot Tangerang dengan adanya Trans Kota Tangerang dan feeder Si Benteng –mirip Mikrotrans di Jakarta– bisa menjadi jaringan transportasi umum yang baik—dibanding kota lain di Bodetabek hanya Tangerang yang mampu dan punya political will untuk membuat layanan transportasi umum tersebut berjalan hingga sekarang.

Hanya Tangerang yang mampu dan punya political will untuk membuat layanan transportasi umum tersebut berjalan hingga sekarang.
Adrian (Pegiat Transportasi Publik)
Selain itu Angkot Si Benteng juga bisa melakukan pembayaran melalui QRIS, suatu yang diapresiasi oleh Ari.
Sedangkan untuk Trans Kota Tangerang sendiri, menurut Ardrian, “Walaupun memang tidak bisa dibandingkan secara apple-to-apple dengan Transjakarta, sudah lumayan bisa menjadi opsi bagi warga Kota Tangerang yang dilayani oleh bus tersebut untuk dijadikan moda mobilitas harian mereka,” tautnya melalui keterangan tertulis.
Apresiasi lainnya datang dari salah satu pemerhati transportasi umum, Insan Ridho Chairuasni, ia mengapresiasi upaya dari pemerintah Kota Tangerang dalam layanan transportasi umum yang beragam. Menurutnya memang layanan integrasi secara pembayaran dan jadwal layanan harus dibenahi.
“Saya rasa layanan transportasi umum di Kota Tangerang sudah mengalami perbaikan, walaupun masih terbatas dari segi cakupan layanan. Upaya penambahan dan modifikasi rute sepertinya akan lebih memberi dampak positif bagi masyarakat Kota Tangerang,” jawabnya melalui keterangan tertulis pada Rabu (18/1/23) kepada saya.

Saya rasa layanan transportasi umum di Kota Tangerang sudah mengalami perbaikan, walaupun masih terbatas dari segi cakupan layanan.
Insan Ridho (Pengamat Transportasi Publik)
Selain itu, apresiasi lainnya datang dari salah satu perantau asal Pekanbaru bernama Wan Muhammad Arraffi (18), ia merasakan beragamnya transportasi umum, mulai dari bus, kereta, angkot, dan lainnya sangat terjangkau di kantongnya sebagai mahasiswa. Namun, “saya lebih memilih transportasi online jika keadaan mendesak dan memilih angkot jika tidak diburu waktu. Hanya saja, angkot tidak tepat waktu dan sering ngetem.” Hal tersebut juga harus menjadi catatan.
Apresiasi tersebut harus dilihat lagi secara data. Misalnya, data jumlah kendaraan di BPS (Badan Pusat Statistik) Provinsi Banten. Data tersebut menunjukan adanya peningkatan jumlah kendaraan bus cukup signifikan di tahun 2021. Dan adanya jumlah penurunan kendaraan pribadi, berupa motor. Serta kendaraan mobil, yang cenderung naik dan turun.
Keamanan dan Kenyamanan
Respon pemerintah terhadap keluhan Angkot Si Benteng yang dirasa ugal-ugalan tersebut, perlu diapresiasi. Sistem keamanan memang harus dijangkau sedekat mungkin dengan pengguna transportasi publik.
Dalam hal ini Aldhi, Imma, Deni melakukan penelitian dengan menggunakan metode perhitungan kemungkinan masyarakat berpindah dari transportasi pribadi ke transportasi massal Bus Trans Tangerang.
Untuk meningkatkan kualitas pelayanan transportasi publik di Kota Tangerang, menurut mereka, kemungkinan tersebut dapat terjadi jika beberapa hal diperbaiki, di antaranya:
(1) Atribut identitas kendaraan Bus (yang ditunjukan untuk mengidentifikasi Bus tersebut mencegah hal-hal yang tidak diinginkan);
(2) Menambahkan informasi dan tanda bahaya: lampu isyarat tanda bahaya, informasi gangguan keamanan yang masif yang berisikan nomor telepon atau call center;
(3) Akses informasi akses transportasi, seperti: informasi kedatangan bus, informasi umum trayek, informasi suara atau melalui perangkat elektronik;
(4) Faktor kebersihan, mulai dari kendaraan transportasi massal hingga haltenya;
(5) Terakhir ialah penambahan jumlah armada yang dihitung secara pasti antara kedatangan satu kendaraan dengan kendaraan lainnya.
Selain keamanan, hal yang perlu diperhatikan juga kenyamanan. Datang dari Bella dan Haryono melalui penelitiannya, mereka menekankan pada kebersihan halte dan kendaraan. Di kendaraan misalnya, masih banyak masyarakat yang membuang sampah sembarangan pada beberapa armada, hal ini perlu direspon dengan disediakannya tempat sampah.
Sedangkan di halte, masyarakat –khususnya anak muda—kerap kali mencoret-coret halte untuk ajang eksistensi, hal ini perlu direspon dengan disediakannya ruang publik untuk ekspresi untuk anak-anak muda. Lainnya, halte juga dijadikan mangkalnya ojek online, sehingga fungsi sebagai tempat tunggu transportasi publik menjadi terganggu, hal ini perlu direspon oleh perusahaan ojek online tersebut untuk mentertibkan ‘mitra’nya.

Integrasi Tangerang dan Jabodebek Sekitarnya
Sebagai perantau, Raffi merasa terbantu dengan transportasi umum di Jabodetabek, menurutnya, ”memiliki layanan cukup baik—petugas bersikap ramah dan suka membantu. Informasi mengenai jadwal dan rute dapat dipahami dengan mudah. Kebersihan dari segi armada, halte, atau stasiun juga terjaga dan nyaman digunakan,” ceritanya melalui keterangan tertulis pada Selasa (10/1/23) kepada saya.
Namun, menurut Raffi terdapat kendala di beberapa rute wilayah tertentu yang armada busnya cukup lama, sebab terbatas armadanya. Jadi untuk keadaan yang mendesak, transportasi umum sangat sulit jika kendala tersebut tidak diperbaiki, yaitu ketepatan waktu.
Bicara Integrasi di Jabodetabek, khususnya Jakarta-Tangerang, Ridho beranggapan dalam cuitannya di Twitter, bahwa koridor 13 Transjakarta rute Puri Beta—Tendean merupakan anugerah terindah yang dimiliki warga DKI Jakarta dan Kota Tangerang.
“Saya pikir ini memang koridor yang ideal untuk operasi BRT. Meskipun beberapa halte memang masih punya keterbatasan aksesibilitas penumpang, saya rasa koridor 13 punya karakteristik operasi yang baik, seperti headway yang terjaga dan jalur yang steril,” paparnya saat ditanya alasannya menuliskan cuitan tersebut pada Kamis (19/1/23) kepada saya.
Ridho juga merasakan Transjakarta koridor S11 dan T11 bisa membantu transportasi antarwilayah walaupun ini sesungguhnya perlu didorong oleh pemegang kebijakan terkait seperti BPTJ. Layanan seperti Transjabodebek dan JR Connexion seharusnya bisa menyokong lebih banyak wilayah dan rute untuk daerah sekitar Jakarta.
Sedangkan menurut Adrian, dia melihat dalam waktu sepuluh tahun terakhir, Kota Tangerang sebagai salah satu kota sub-urban Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi) telah melihat banyak perkembangan besar dalam hal pengembangan transportasi umum.
“Dimulai dari pembenahan layanan Commuterline ke Kota Tangerang, kemudian dengan adanya KA Bandara juga ke Bandara Soekarno-Hatta yang memberikan opsi akses yang lebih banyak untuk warga Kota Tangerang,” jabarnya melalui keterangan tertulis pada Jumat (20/1/23).
Selain itu menurut Adrian, PR (tugas rumah) Pemerintah Kota Tangerang ialah memaksimalkan akses yang sudah ada—mungkin bisa fokus di pengembangan integrasi di sekitar Terminal Poris Plawad ke Stasiun Batu Ceper yang kondisinya belum optimal.
“Akses dari Stasiun Commuterline lain seperti Poris juga bisa menjadi sorotan di mana Pemkot Tangerang bisa membuka layanan-layanan feeder baru dari Stasiun Poris ke Cipondoh atau daerah sekitarnya yang berpotensi menjadi moda pengumpan bagi banyak warga di sekitar daerah tersebut,” pikirnya melalui keterangan tertulis.
Adrian berpendapat lebih penting untuk tetap memaksimalkan layanan Trans Kota Tangerang yang sudah ada saat ini dan ke depannya untuk terus aktif memperlebar akses transportasi umum ini ke wilayah yang belum terjangkau serta membangun integrasi antar wilayah.

Selain itu masalah lainnya diungkapkan salah satu akun yang menginformasikan seputar transportasi umum secara rutin, @jalurlima menerangkan bahwa kelemahan yang digarisbawahi dari transportasi umum di Kota Tangerang adalah jam operasi selain Commuterline dan sulitnya membangun transportasi umum antar wilayah.
“Padahal, banyak warga yang beraktivitas ke Tangerang Selatan dan Kabupaten Tangerang. Sebagai contoh Trans Tangerang tidak bisa menyentuh Tangerang Selatan,” tuturnya melalui keterangan tertulis pada Rabu (11/1/23).
Dan jika berkaca dari Jakarta, Ari juga sangat menyayangkan Kota Tangerang tidak memiliki ide integrasi transportasi layaknya JakLingko yang dimiliki DKI Jakarta yang juga menghubungkan daerah di sekitar ibukota, seperti Bekasi.
Menurut Ari, seharusnya melihat keadaan ekonomi Tangerang yang cukup tinggi, Tangerang Raya (Kabupaten, Kota, Tangsel) memiliki kendala, “Belum lagi masalah angkutan antar daerah (di Tangerang Raya).”
Sudah selayaknya Kota Tangerang memikirkan skenario terbaik penduduk menggunakan transportasi umum agar terpecahnya kemacetan,” pikirnya melalui keterangan tertulis pada Rabu (11/1/23).
Salah satunya melalui pembangunan Transit Oriented Development (TOD), “Melihat rute dan koridor yang disediakan, rasanya sulit menentukan lokasi yang bisa menjadi titik integrasi TOD,” pungkas Ari.
Terkait TOD sendiri, Adji Prama, Anisa, dan Lutfi pernah melakukan penelitian berkaitan dengan pembangunan TOD dalam satu kawasan di Kota Tangerang, dengan tujuan memberikan kenyamanan dan kemudahan untuk aktivitas lalu-lalang masyarakat.
Mereka menyimpulkan dalam penelitiannya, kondisi integrasi antarmoda di sekitar stasiun Tangerang masih kurang baik, walaupun lokasinya sudah dekat, namun aksesnya kurang baik, “berdasarkan perhitungan Jumlah Pengguna Commuter Line di stasiun Kota Tangerang dibandingkan dengan Jumlah Pengguna Kereta Kota Tangerang Tahun 2015.”
Transportasi publik harus didesain sebaik mungkin, agar dapat memberikan rasa aman, nyaman, mudah dan murah untuk dijangkau seluruh lapisan masyarakat
Amsal (Penulis Buku Transportasi Publik)
Dari masalah yang ada, Amsal mengatakan dalam bukunya, “Transportasi publik harus didesain sebaik mungkin, agar dapat memberikan rasa aman, nyaman, mudah dan murah untuk dijangkau seluruh lapisan masyarakat.” Sehingga keinginan masyarakat untuk berpindah dari transportasi pribadi ke publik, menjadi besar.

Melihat dari Dekat
Setelah lelah mendengarkan, membaca, dan meriset dari berbagai narasumber, saya turun ke lapangan untuk langsung mencobanya pada Rabu (18/1/23). Diawali menggunakan Commuterline dari Stasiun Sudimara yang berada di lin hijau (Serpong) dengan estimasi keberangkatan pukul 11.09 WIB.
Untuk mencapai lin coklat (Tangerang), saya harus transit terlebih dahulu di Stasiun Tanah Abang pada pukul 11.34 WIB dan berpindah ke peron dua menuju Stasiun Duri pada jadwal 11.37 WIB. Kisaran kurang lebih lima menit saya pun sampai dan langsung bergegas ke peron lima dan memulai perjalanan pada pukul 11.48 WIB.
Sekitar pukul 12.35 WIB, saya pun sampai di Stasiun Tanah Tinggi. Untuk melanjutkan perjalanan, saya menuju halte BRT yang tidak jauh dari pintu keluar—sekitar tiga menit berjalan kaki. Sepuluh menit kemudian, bus Trans Tangerang koridor T01 rute Terminal Poris Plawad pun muncul.
Saya berjumpa dengan sang sopir bernama Abdurrahman Saleh (46). Ia mengungkapkan bahwasanya Trans Tangerang sudah diluncurkan sejak 2015 dan setahun terakhir kembali diaktifkan karena pandemi Covid-19 yang mewabah tiga tahun belakangan.
“Seharusnya dilakukan dengan memindai QRIS, tetapi banyak penumpang yang memilih membayar tunai kepada saya. Nanti saya sendiri yang membayarnya melalui QRIS setelah berjalan satu keliling penuh,” ungkapnya saat ditanya sistem pembayaran Trans Tangerang ditemui langsung pada Rabu (18/1/23).
Ia melanjutkan bahwasanya Pemerintah Kota Tangerang menghabiskan dana sekitar Rp12,5 miliar untuk menggratiskan layanan Trans Tangerang selama tiga bulan, September—November. Hal ini dilakukan untuk memberikan kemudahan bagi masyarakat yang terkena dampak kenaikan BBM.
“Trans Tangerang ini dikelola oleh pihak ketiga. Oleh karena itu, pembayarannya melalui QRIS karena dianggap universal. Jika menggunakan Kartu Uang Elektronik (KUE), maka mereka mengurungkan niat. Target pengguna Trans Tangerang adalah masyarakat menengah ke bawah,” sambungnya saat ditemui langsung.
Dengan tarif yang murah dan terjangkau Rp2 ribu, Saleh berharap makin banyak warga Kota Tangerang yang mengandalkan berbagai armada transportasi umum yang disediakan Pemkot dan Dishub Tangerang dalam mobilitas sehari-hari.
Untuk mengitari satu rute penuh dengan interval setiap 15 menit, Trans Tangerang koridor T01 membutuhkan waktu tempuh sekitar satu jam—saya pun turun pada pukul 13.50 WIB untuk berlanjut menggunakan Transjakarta koridor T11 Poris Plawad—Bundaran Senayan pada pukul 14.00 WIB.
Koridor ini menggunakan ruas tol Tangerang—Jakarta untuk dalam lintasan jalurnya. Perjalanan memakan waktu sekitar satu jam 15 menit. Saya pun melakukan transit di Halte Gelora Bung Karno (GBK) untuk beralih ke Transjakarta koridor satu rute Blok M—Kota.
Dengan interval yang singkat setiap lima menit, berselang dua menit saya pun menuju Halte Cakra Selaras Wahana (CSW) pada pukul 16.37 WIB. Enam menit kemudian, Transjakarta koridor S21 rute Ciputat—CSW pun muncul dan saya mengakhiri turun lapangan pada pukul 17.45 WIB.

Jika Jakarta (dan sekitarnya) diprediksi akan macet total. Dan, kita terus mengeluh tentang kemacetan. Sederhana, beralihlah ke transportasi publik. Pengambil kebijakan (pemerintah, perusahaan, legislatif) harus menyadari itu.
Redaksi Kebijakan.co.id


Diterbitkan: Jumat, 27 Januari 2023 Pukul: 19.30 WIB Jurnalis: Fayza Rasya Editor: Adi Fauzanto Riset dan Data: Adi Fauzanto
Daftar Bacaan: • Amsal. 2017. Kebijakan Pengembangan Transportasi Perkotaan. Penerbit Indocamp: Tangerang Selatan • Adji Prama Priadmaja, Anisa Anisa, Lutfi Prayogi. 2017. Penerapan Konsep Transit Oriented Development (TOD) Pada Penataan Kawasan di Kota Tangerang. Jurnal Arsitektur Purwarupa, Vol. 1 No. 2 • Aldhi Try Suwanto, Imma Widyawati Agustin, Deni Agus Setyono. 2020. Probabilitas Perpindahan Moda Dari Kendaraan Pribadi Ke Trans Kota Tangerang. Jurnal Pure UB, Vol. 9 No. 4 • Muhammad Fakhruriza Pradana, Dwi Esti Intari, Linta Apriardiarti. 2017. Evaluasi Kinerja Pelayanan dan Jumlah Armada Angkutan Kota di Kota Tangerang (Studi Kasus: Trayek Angkutan Kota T.01, Terminal Poris Plawad–Jatake). Jurnal Pondasi: Teknik Sipil, Vol. • Bella Hanny Saputri & Haryono Haryono. 2022. Pola Perilaku Masyarakat Pengguna Transportasi Umum pada Masa Pandemi di Kecamatan Karawaci Kota Tangerang. Jurnal Manajemen dan Pendidikan Dasar, Vol. 2 No. 3 • Data Kendaraan BPS Provinsi Banten 2015-2021 • Rangga Agung Zuliansyah. 2022. Wali Kota Tangerang Ungkap Sering Dapat Keluhan Sopir Angkot Si Benteng Ugal-ugalan. Berita TangerangNews.com, 5 Desember
