Akal Bulus Pengembang Perumahan Syariah di Kota Depok


Kebijakan.co.idLiputan Konstruktif

Adi Fauzanto-18 Nov 2022 (18.00 WIB)-#54 Paragraf
Perumahan Syariah di Kota Depok

Fenomena perumahan syariah meruak ke pasar baru-baru ini. Terhitung semenjak kebangkitan ‘Islam Politik’ dan menjalar ke berbagai aspek, mini market syariah, hingga perumahan syariah.

Fenomena ini, ditangkap baik oleh pengusaha yang berhasil melihat pasar masyarakat islam yang gandrung akan merek syariah.

Beberapa menunjukan dampak pendek yang buruk, ketidaktepatan atau terjerat penipuan hanya karena ingin mendapatkan rumah bermerek syariah.

Dampak panjang, pengelompokan ini berpotensi menciptakan segregasi, terlebih jika ada situasi yang dapat memicunya, misal politik identititas. 

Dalam perspektif Islam, Al-Quran tidak pernah mengajarkan harus bertetangga muslim atau membuat kawasan khusus Muslim.

Dalam perspektif kebangsaan, sejarah mencatat hampir semua agama terlibat dalam kemerdekaan bangsa Indonesia, dan oleh karenanya bangsa ini didasarkan atas keberagaman.

Menarik dibahas, khususnya di Kota Depok, kota yang menurut Setara Institute tingkat tolerannya rendah, juga terjadi. Terlebih di bawah rezim penguasa yang merupakan ‘Partai Islam’ yaitu PKS.

***

Perumahan Syariah dan Cara Bayar Syariah

Depok, Kebijakan.co.id — Berbeda antara perumahan syariah atau islami dengan cara pembayaran atau metode syariah, seperti murabahah atau pembayaran langsung. Menurut Ade Supriatna, DPRD Kota Depok Fraksi PKS (Partai Keadilan Sejahtera) saat ditemui oleh Kebijakan.co.id (7/11/2022), perumahan ‘syariah’ dalam hal ini dibedakan menjadi 2.

“Pertama, terkait dengan proses jual belinya, ada yang mengklaim developer syariah, kemudian juga karena transaksinya menyesuaikan dengan hukum-hukum syariah.”

Lalu yang kedua, “Nah (jenis) developer yang ke dua memang dia bikin kawasan. Kawasan yang memang diperuntukan untuk muslim dengan nuansa-nuansa religi.”

Hal tersebut menurut Ade Supriatna, mengikut pasar permintaan yang mengingkan lingkungan islami, “Yang memang ternyata pasarnya ada gitu dan cukup banyak, makanya para pengusaha developer inikan ya namanya dagang gitukan, demand (permintaan)nya tinggi, makanya dia create gitu.”

Ade Supriatna (DPRD Kota Depok Fraksi PKS)
Ade Supriatna (DPRD Kota Depok Fraksi PKS) Sumber: RadarDepok.com

Memanfaatkan Ceruk Pasar Islami

Pasar atau ceruk islami dimanfaatkan oleh pengembang perumahan islami untuk meraih pembeli rumah dari ceruk pasar islami tadi. Walaupun secara ajaran Islam maupun etika kebangsaan, bertentangan. Selain itu, secara nilai-nilai Islam juga tidak memenuhi, di antaranya tidak ada masjid, hanya memperkaya simbol-simbol, dan cenderung sama dengan perumahan pada umumnya.

Menurut Abdul Rohim, Direktur Maarif Institute saat ditemui Kebijakan.co.id (31/10/2022), “Ya memang itu berlaku hukum pasar. Pasar itukan pragmatis ya, sesuai dengan demand kebutuhan masyarakat, ya.”

“Mereka (pengembang perumahan) melihat adanya demand (permintaan) pasar. Jadi kalau permintaan pasar itu tidak ada, pebisnis perumahan tidak mungkin kan membangun itu (perumahan syariah).”  

Abdul Rohim Ghozali (Direktur Eksekutif Maarif Institute)
Abdul Rohim Ghozali (Direktur Eksekutif Maarif Institute) Sumber: Media Indonesia

Abdul Rohim menyamakan dengan munculnya Bank-Bank Syariah –yang sebenarnya juga berasal dari Bank Konvensional yang merupakan Bank berdasarkan Riba—, “Sama dengan ketika muncul gerakan anti riba, maka Bank Syariah itu menjadi lahan bisnis dan bukan hanya mereka yang muslim, katakanlah semua Bank Konvesional karena ada tuntutan dari pasar maka membuka cabang syariahnya. Mungkin juga cluster-cluster (perumahan) syariah seperti itu.”

Abdul Rohim di akhir menekankan untuk mengedepankan etika, khususnya kepada pengusaha –yang utamanya muslim–, “Mestinya, bisnis itu kan tidak liberal dalam pengertian ‘bebas tanpa nilai’ hanya semata-mata berorientasi kepentingan keuntungan materil. Kalau mereka memegang etik, sebagai seorang muslim, maka etika yang dikembangkan etika yang diajarkan oleh Al-Quran dan Hadist, harus baik kepada tetangga.”

Ia menambahkan, “Dan jangan lupa Nabi dalam sejarahnya sebagai pedagang, yang memperdagangkan kekayaan istrinya Khadijah, ketika dia berdagang tidak pernah segregatif.”

“Jangan lupa Nabi dalam sejarahnya sebagai pedagang, yang memperdagangkan kekayaan istrinya Khadijah, ketika dia berdagang tidak pernah segregatif.”

Abdul Rohim Ghazali

Senada dengan Abdul Rohim, menurut Bro Icuk (35), Wakil Ketua DPC (Dewan Pimpinan Cabang) PSI (Partai Solidaritas Indonesia) Kota Depok saat ditemui Kebijakan.co.id (2/11/2022), menekankan, “Jadinya ya pasar (dan) pengusaha harusnya lebih aware.”

Yang dimaksud ialah, “Dalam artianih jadi pengusaha jangan terlalu pragmatis untuk mendapatkan keuntungan secepat-cepatnya dan sebesar-besarnya dari fenomena yang terjadi.”

Bro Icuk menyarankan pengusaha pengembang perumahan syariah, “Harusnya (pengusaha) juga lebih arif.”

Bro Icuk juga tidak menyalahkan para pengembang perumahan Islami yang pragmatis, “Kalau bilang disalahkan dari jalur hukum juga tidak salah, tetapi secara etika kita bernegara, etika bisnis, ini kayak menunggangi (dan) menggunakan kesempatan polarisasi yang dampaknya akan buruk kepada kehidupan berbangsa, tapi terus dijalankan oleh temen-temen pebisnis.”

Icuk Pramana Putra (Wakil Ketua DPC PSI Kota Depok)
Icuk Pramana Putra (Wakil Ketua DPC PSI Kota Depok) Sumber: JabarEkspres.com

Secara prinsip, etika bisnis dalam Islam menurut Sri Nawatmi dalam jurnalnya Etika Bisnis dalam Perspektif Islam terbagi menjadi 5: (1) Kesatuan, (2) Keseimbangan, (3) Kebebasan Berkehendak, (4) Tanggungjawab, (5) Kebenaran.

Dalam prinsip kesatuan misalnya. Menurut Sri, bisnis dalam Islam melihat keterpaduan atau kesatuan dalam hal ekonomi, sosial, budaya, dan agama. Misalnya tidak diskriminatif kepada seluruh pihak, tidak melanggar hukum agama, dan meninggalkan perbuatan yang tidak beretika.

Menjual Merek Islam

Pragmatisme itu lahir salah satunya dengan menjual merek Islam sebagai cap bahwa perumahan mereka merupakan perumahan syariah. Menurut Loepieanto (82), FKUB Kota Depok, yang sudah tinggal di Depok dari tahun 1992 saat ditemui Kebijakan.co.id (3/11/2022), mengatakan,Kalau di Depok ini ya dibangun perumahan syariah hanya merek saja.”

Selain itu juga menurut Ade Supriatna, melihat, “Kalau saya lihat ini fenomena bisnis Mas, artinya begini (misalkan) saya punya kawasan privat (sendiri) kan swasta ini tanah dia, saya hanya akan menjual kepada yang muslim.”

Sederhana ketika melihat jual-beli barang atau jasa pada umumnya, “Saya belum melihat negara ini bisa intervensi, kalau jual-belikan sesuai yang diinginkan ke duabelah pihak, (prinsip) ridho atau keleraan, kalau yang satu tidak mau menjual nggak bisa maksa, saya lihat juga memang keterbatasan tangan dari pemerintah nih gimana ngaturnya, karena kalau dari perizinan kan gaada sekarang dalam arti dia sama semua, inikan bahasa di pasar.”

Mendukung ungkapan Ade Supriatna bahwasannya negara belum bisa intervensi, dari sisi perizinan, sebenarnya tidak dibedakan antara perumahan syariah ataupun perumahan pada umumnya.

Jadi benar-benar pengembang perumahan syariah memanfaatkan Islam sebagai bahan jualannya. Menurut Meti, Dinas Perumahan Kota Depok saat ditemui Kebijakan.co.id (7/11/2022), “Kalau setahu saya, kayanya hanya label deh Mas. Kaya perumahan Mutiara Darrusalam, mungkin kalau secara nama, ‘oh perumahan Islami nih’ tetapi ngga tau islami atau ngganya ya.”

Loepianto (Sekertaris FKUB Kota Depok)
Loepianto (Sekertaris FKUB Kota Depok) Sumber: WartaAhmadiyah.org

Tidak ada Izin Khusus

Terkait izin tadi, Meti menjelaskan secara detail tahap-tahap perizinan pembangunan perumahan, lalu kebingungan ketika melihat munculnya perumahan syariah. Meti, “Sebenarnya yang saya mau tanyai malah gini, kriteria perumahan yang dianggap syariah itu apa? makanya saya baca ini kan. Kalau di kita setau saya di PTSP tidak ada pembedaan, perumahan umum (dan perumahan lainnya).”

Meti menekankan, “Ya tentunya kalau rumah tinggil izin, lebih dari 5 kapling itu udah dianggap perumahan, tanpa ada pembedaan syariah (dan) non syariah, begitu kalau di Depok ya.”

Lainnya Meti menduga bahwa perumahan syariah hanya berdasarkan nama saja, “Jadi kalau di sini itu, setau saya ya nggak ada (pembedaan). Mungkin dari nama doang kali ya. Untuk masuk ke dalamnya bukan ranahnya.”

Hal tersebut, didukung oleh pernyataan Supandi Syahrul (Ketua Dewan Pengurus Daerah Real Estat Indonesia Jawa Timur Komisariat Madura) dalam kolomnya Mangsa dan Modus Penipuan Properti Syariah di Detik.com, “Hingga saat ini, belum ada satu pun perusahaan real estate yang dinyatakan terdaftar sebagai developer atau pengembang syariah oleh MUI. Jadi, mereka menyebut dirinya developer syariah hanya akal bulus saja untuk mengelabui konsumen.”

Menurut Supandi, karena memang tidak ada perusahaan berbentuk syariah. Kecuali perusahaan mereka menyatakan penuh dalam AD/ART menggunakan metode pembayaran syariah dan diawasi oleh Dewan Pengawas Syariah layaknya Bank Syariah atau Asuransi Syariah.

Selain itu juga tidak adanya peraturan yang membatasi perumahan syariah ini, menurut Ade Supriatna, “Nah, kalau tempat tinggal memang belum –setau saya—belum ada peraturan perundangan yang mengatur, di mana harus tinggal, terus siapa saja yang tinggal di tempat itu, gitu, jadi masih diserahkan ke pasar intinya, gitukan.”

Karena tidak aturan yang mengaturnya, Ade Supriatna hanya memberikan saran kepada pengembang, “Karena belum ada juga cantolan Undang-Undang atau peraturan perundang-undangan yang bisa melarang ini kita hanya bisa (memberikan saran) kepada pengembang.”

Penyebabnya hanya memberikan saran, “Kita sih, kalau mendorong kebijakan publik yang dalam bentuk peraturan daerah tentu harus ada ‘tadi’ (merujuk pembahasan sebelumnya) cantolan peraturan perundang-undang di atasnya, yang mungkin itu baru bisa kita dorong ya.”

Gedung Pemerintah Kota Depok
Gedung Pemerintah Kota Depok

Kasus-Kasus Perumahan Syariah

Selain itu, urgensi perlunya ada intervensi negara terhadap perumahan syariah, adalah karena banyaknya korban yang sudah berjatuhan. Dari 5 kasus –yang kemungkinan jumlahnya melebihi ini— di antaranya PT Indo Tata Graha (2022); PT Wepro Citra Sentosa (2019); PT Fimadani Graha Mandiri (2021); PT ARM Cipta Mulia (2019); PT Cahaya Mentari Pratama (2020).

No.PengembangKorbanKerugianModus Utama
1.PT Indo Tata Graha805 MiliarMengatasnamakan Agama
2.PT Wepro Citra Sentosa  368040 MiliarHarga Murah dan Tanpa BI Checking
3.PT Fimadani Graha Mandiri155 MiliarTidak ada SOP dan perjanjian tidak di depan Notaris
4.PT ARM Cipta Mulia27023 MiliarTanpa BI Checking
5.PT Cahaya Mentari Pratama32 Orang3,4 MiliarTanah Fiktif
Sumber

Dari ke 5 kasus tersebut, total korban mencapai 4137 orang, dengan kerugian kurang lebih 76,4 Miliar Miliar. Kemungkinan besar masih ada banyak kasus yang belum dimasukan.

Dengan modus di antaranya: Pertama, Jelas mengatasnamakan Agama yaitu Islam; Kedua, Menggunakan simbol-simbol Agama yaitu Islam; Ketiga, Tanpa Riba (Tanpa Bunga Kredit); Keempat, Tanpa Bank Indonesia Checking; Kelima, Tanpa Sita; Keenam, Tanpa Denda; Ketujuh, Tanpa Uang Muka atau DP; Kedelapan, Perjanjian tidak di depan notaris; Kesembilan, Harganya murah atau tidak wajar; Kesepuluh, Kemudahan administrasi.

Dari kasus-kasus dan modus-modus tersebut, setidaknya calon konsumen –khususnya yang masih menginginkan cita-cita tinggal di lingkungan syariah— harus mempelajari modus tersebut.

Menurut Legowo Kusumonegoro (Presiden Direktur, PT Manulife Aset Manajemen Indonesia)  dalam acara Standard Chartered Academy for Media dilansir dari Republika.co.id, mengatakan calon pembeli atau investor harus memiliki sikap, “Sikap 80 persen tidak percaya, 10 persen takut, dan 5 persen siap ditipu.”

“Sikap 80 persen tidak percaya, 10 persen takut, dan 5 persen siap ditipu.”

Legowo Kusumonegoro

***

Sikap ketidakpercayaan, takut, dan siap ditipu tersebut harus disertai dengan:

Pertama, memastikan izin dan legalitas berupa Surat Keputusan Kementerian Hukum dan HAM (SK Kemenkumham) serta Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) atau Nomor Induk Berusaha (NIB), lalu melakukan verifikasi dokumen-dokumen tersebut, atau memastikan nama perusahaan pengembang tidak pernah bermasalah atas penipuan atau tindak pidana lainnya.

Kedua, surat kepemilikan tanah dan bangunan fisiknya, berupa akta notaris dan akta jual-beli dengan pemilik tanah sebelumnya, lalu melakukan verifikasi atas akta notaris atau jual-beli tersebut, dengan mendatangi notaris atau melakukan verifikasi kepada pemilik tanah sebelumnya.

Ketiga, melihat Izin Mendirikan Bangunan (IMB) yang dikeluarkan instansi resmi pemerintah daerah, yang dilakukan dengan bertanya legalitas dokumen IMB tersebut kepada Dinas Perumahan terkait.

Keempat, mencatat detail proses pembangunan dan dokumen-dokumen pembangunannya, seperti siapa penyedia jasa dan alat konstruksinya. Hal tersebut agar dapat dipastikan kepada jasa kontraktor nantinya, baik orang-orangnya dan kantornya.   

Kelima, melakukan pengecekan terhadap bank yang bekerjasama dengan pengembang tersebut berupa Perjanjian Kerjasama dengan Perbankan (PKS), baik cara pembayaran konvesional dengan bank-bank konvensional atau cara pembayaran syariah dengan bank-bank syariah seperti murabahah.

Keenam, untuk yang tidak menggunakan lembaga ketiga –dalam hal ini percaya terhadap adanya Riba– pastikan dalam setiap pembayaran sepeserpun, harus disertai bukti dan diperjanjikan di depan Notaris atau diatas materai dengan identitas lengkap. Hal tersebut dimaksudkan untuk keamanan. Jika tidak berani, maka patut dicurigai. Hal tersebut memang bertujuan –untuk pengembang licik—untuk menghindari Perbankan Syariah, lalu pengawasnya yaitu Otoritas Jasa Keuangan, dan izin-izin terkait di Dinas, seperti IMB, dan sebagainya.

Calon-Calon Korban Penipuan Rumah Syariah

Menurut Supandi Syahrul (Ketua DPD REI Jawa Timur Komisariat Madura) mengatakan dalam kolomnya Mangsa dan Modus Penipuan Properti Syariah di Detik.com, menurutnya korban penipuan tidak hanya calon pembeli (masyarakat umum) tetapi juga kepada:

Pertama, pemilik tanah. Pemilik tanah atau lahan biasanya petani atau pekebun yang biasanya tidak paham betul bisnis perumahan –apalagi bisnis perumahan syariah yang menabrak banyak aturan. Pemilik lahan tersebut diimingi-imingi lahan tersebut akan dibeli dan digunakan untuk perumahan. Hal tersebut ditunjukan untuk memastikan kepada calon pembeli kepastian lahan untuk dibangun perumahan. 

Kedua, pemilik modal. Umumnya pengembang perumahan syariah tidak memiliki modal awal yang cukup, untuk memenuhinya maka mereka mengajak kerjasama kepada pemilik modal. Dana tersebut tidaklah sedikit, biasanya digunakan untuk dana awal pembebasan lahan, pembangunan kantor, biaya karyawan, dan pemasaran.

Target pemilik modal tersebut –untuk pengembang yang nakal—mengincar para pemilik modal yang tidak mengerti betul bisnis perumahan syariah beserta hukum-hukum bisnis syariah. Tentu dengan iming-iming bagi hasil keuntungan yang besar dan janji surga.

***

Untuk mencegah terjadinya korban yang berjatuhan –terlebih segregasi–, baiknya semua pihak pengusaha, pembeli, pembuat aturan, dan masyarakat pada umumnya mempelajari dulu  konsep berusaha dan konsep hidup islami dengan seksama dan mendalam, agar kasus dan terlebih ‘ujung hidung’ perumahan khusus muslim tidak terlihat lagi.

*(26/11/2022): Ada perbaikan nama dari Meta menjadi Meti dari Dinas Perumahan Kota Depok dan tambahan keterangan waktu saat ditemui Kebijakan.co.id

Baca Serial Liputan Konstruktif "Perumahan Syariah di Kota Depok, Surga di Rumah atau Neraka Keberagaman" Lainnya:
•	Perumahan Syariah di Kota Depok, Surga di Rumah atau Neraka KeberagamanAkal Bulus Pengembang Perumahan Syariah di Kota DepokWawancara Mendalam tentang Perumahan Syariah di Kota Depok

Serial Liputan Konstruktif ini merupakan Program Fellowship Jurnalistik untuk Keberagaman dan Toleransi oleh Yayasan Satu Keadilan dan Search for Common Ground
Jurnalis Adi Fauzanto
Diterbitkan: Jumat, 18 November 2022
Pukul: 18.00 WIB
Jurnalis: Adi Fauzanto
Daftar Bacaan:  
• Supandi Syahrul. 2020. Mangsa dan Modus Penipuan Properti Syariah. Detik.com, 14 FebruariNashih. 2020. Masyarakat Diminta Tak Asal Tergiur Rumah Berkedok Syariah. Republika, 18 FebruariSri Nawatmi. 2010. Etika Bisnis dalam Perspektif Islam. Jurnal Fokus Ekonomi, Vol. 9 No. 1
Liputan Mendalam

Perumahan Syariah di Kota Depok, Surga di Rumah atau Neraka Keberagaman


Kebijakan.co.idLiputan Konstruktif

Adi Fauzanto-18 Nov 2022 (18.00 WIB)-#85 Paragraf
Perumahan Syariah di Kota Depok

Fenomena perumahan syariah meruak ke pasar baru-baru ini. Terhitung semenjak kebangkitan ‘Islam Politik’ dan menjalar ke berbagai aspek, mini market syariah, hingga perumahan syariah.

Fenomena ini, ditangkap baik oleh pengusaha yang berhasil melihat pasar masyarakat islam yang gandrung akan merek syariah.

Beberapa menunjukan dampak pendek yang buruk, ketidaktepatan atau terjerat penipuan hanya karena ingin mendapatkan rumah bermerek syariah.

Dampak panjang, pengelompokan ini berpotensi menciptakan segregasi, terlebih jika ada situasi yang dapat memicunya, misal politik identititas. 

Dalam perspektif Islam, Al-Quran tidak pernah mengajarkan harus bertetangga muslim atau membuat kawasan khusus Muslim.

Dalam perspektif kebangsaan, sejarah mencatat hampir semua agama terlibat dalam kemerdekaan bangsa Indonesia, dan oleh karenanya bangsa ini didasarkan atas keberagaman.

Menarik dibahas, khususnya di Kota Depok, kota yang menurut Setara Institute tingkat tolerannya rendah, juga terjadi. Terlebih di bawah rezim penguasa yang merupakan ‘Partai Islam’ yaitu PKS.

***

Depok – Kebijakan.co.id“Berlayar ke Depok di waktu pagi hari” adalah petikan lagu Jason Ranti, kota satelit Jakarta sekaligus juga bersemayamnya universitas terbaik di Indonesia, tidak menjadikan kota ini ‘terbuka’ secara pemikiran. Sebab, di depan kantor kelurahan Tugu terpampang spanduk ‘perumahan khusus muslim’.

Secara terbuka Kebijakan.co.id (2/11/2022) menghubungi salah satu pengembang perumahan tersebut, dan memulai pertanyaan sederhana, “Apakah perumahan grand mutiara sawarga, adalah perumahan syariah hanya untuk muslim?” Setelah itu, “Mohon maaf, jika ada yang beli merupakan non-muslim apakah bisa?”

“Iya, betul perumahan khusus muslim,” jawab marketing pengembang perumahan tersebut, “Maaf kalau proyek yang ini tidak bisa (untuk non-muslim),” tambahnya. Dan berlanjut ditawari perumahan lainnya yang tidak khusus muslim atau perumahan pada umumnya. Memang otak bulus mengincar yang gandrung akan islami.

Bukan tidak mungkin ke depan, ada ‘perumahan khusus katolik’ ‘perumahan khusus hindu’ ‘perumahan khusus buddha’ bahkan ada ‘perumahan khusus muhammadiyah’ dan ‘perumahan khusus NU’.

Adalah perumahan syariah, yang secara ajaran agama dan kebangsaan benar-benar melenceng. Hal ini tercipta karena cita-cita hidup dalam lingkungan islam atau islami yang berangkat dari ide besar sebuah negara Islam. Uniknya, karena pengusaha pengembang perumahan ‘memanfaatkan’ pasar tersebut.

Kota Depok dan Indeks Kota Toleran

Kota Depok memang tidak jauh-jauh dari kata intoleransi. Menurut Setara Institute melalui risetnya berjudul Indeks Kota Toleran menempatkan Kota Depok sebagai kota dengan tingkat skor toleransi 10 terendah dari 94 kota atau kabupaten sejak tahun 2015.

Jika melihat indikator penilaiannya tersebut, berdasarkan: (1) Rencana Pembangunan (10%); Kebijakan Diskriminatif (20%); (2) Peristiwa Intoleransi (20%); (3) Dinamika Masyarakat Sipil (10%); (4) Pernyataan Publik Pemerintahan Kota (10%); (5) Tindakan Nyata Pemerintah Kota (15%); (6) Heterogenitas Agama (5%); (7) Inklusi Sosial Keagamaan (10%).

Indikator penilaian tersebut diambil berdasarkan (1) Regulasi Pemerintah Kota; (2) Tindakan Pemerintah; (3) Regulasi Sosial; (4) Demografi Agama. Data-data tersebut dikumpulkan menggunakan 3 metode: (1) Triangulasi Sumber; (2) Kuesioner Pemerintah Kota; (3) Pertemuan Ahli untuk mengkonfirmasi Data yang telah dikumpulkan sebelumnya.

***

Dari riset tersebut setidaknya tidak benar. Maka Kebijakan.co.id menemukan fakta dan cerita-cerita yang mendukung hal tersebut di lapangan, di antaranya: (1) Sedikitnya sekolah negeri dibandingkan sekolah berbasis Islam Terpadu; (2) Ditambah tidak adanya guru agama untuk agama selain Islam; (3) Peristiwa diskriminasi terhadap kelompok minoritas agama, Ahmadiyah; (4) dan tak lupa, Perumahan Syariah yang menjamur.

Selain itu, Konde.co juga merangkumnya pada tahun 2022 dengan judul 5 Fakta Tentang Depok Kota Paling Tidak Toleran Versi Setara Institute. Pertama, Rancangan Peraturan Daerah Kota Religius. Kedua, Diskriminasi dua siswi berjilbab ditolak magang di hotel. Ketiga, Pemerintah kota larang perayaan valentine. Keempat, Penyegelan Masjid Ahmadiyah. Terakhir yang kelima, Perumahan khusus muslim.

Data Perumahan Syariah di Kota Depok

Membahas perumahan syariah atau perumahan khusus muslim, baiknya dimulai dari data. Berapa jumlahnya di Kota Depok? Menurut data yang dihimpun dari open source (sumber terbuka) berasal dari Google dan aplikasi Google Maps, hal tersebut didapatkan dari klaim perumahan syariah dalam informasinya, perumahan khusus muslim dalam keterangan tertulisnya atau promosinya.

Kebijakan.co.id melakukan pemeriksaan ulang terhadap kecamatan Cimanggis secara langsung, ditemukan beberapa perumahan yang sedang dibangun, adapula yang sudah dibangun dan ditempati, dan beberapa perumahan yang tidak terdeteksi namun sedang dalam pembangunan dan melakukan promosi.  

Selain itu, Jurnalis Kebijakan.co.id mendapatkan data dari SiRumkim sebuah data terbuka yang disediakan oleh Dinas Perumahan Pemerintahan Kota Depok, yang menurut Meti salah satu petinggi dalam Dinas tersebut saat ditemui Kebijakan.co.id (7/11/2022), “Tidak pernah di perbaharui.” Dan data tersebut berasal dari dinas lain, “Jadi kita minta data juga ke (Dinas) PTSP (Pelayanan Terpadu Satu Pintu)…., karena mereka kan yang mengeluarkan izin, pasti mereka adalah ini datanya.”    

Pengolahan data SiRumkim pertama-pertama Jurnalis Kebijakan.co.id mencari irisan dari data terbuka yang didapat sebelumnya dari open source (data terbuka) berasal dari Google dan Google Maps. Setelah itu mencari nama yang bernuansa syariah atau islami di SiRumkim tersebut, lalu dilakukan crosscheck (pengecekan kembali) melalui Google, dengan tujuan memastikan benar-benar perumahan tersebut perumahan syariah dan khusus muslim secara klaim ataupun keterangan tertulis.

Selain itu kami juga mendapatkan informasi dari penelitian-penelitian sebelumnya, jika tanda-tanda tidak dapat dipastikan atau tidak ada maka Jurnalis Kebijakan.co.id akan mencoretnya.

***

Kemunculan perumahan syariah di Kota Depok ini, tercatat dalam penelitian Siti Chaerani berjudul Fenomena Perkembangan Perumahan Muslim (Studi Kasus: Cinere Insani Residence dan Griya Insani Kukusan, Depok) pada tahun 2009.

Yang berkesimpulan, (1) Tidak ada masjid di dalam perumahan syariah tersebut, dan (2) Memberikan pernyataan perumahan khusus orang Islam bukan perumahan syariah atau islami. Sebabnya, islami atau syariah hanya menjadi daya tarik atau promosi kepada pembeli.

Secara arsitektur juga di dikritik oleh Siti bahwa penempatan ku’bah dan nuansa-nuansa simbol Islam tidak ada hubungannya dengan tingkat keislaman seseorang atau kualitas islam itu sendiri.

Lalu disambut dengan tulisan Aidan Raditya Prawira berujudul Menggugat Perumahan Beridentitas Islami (2021) di Alif.id, yang juga berkuliah di perencanaan wilayah dan kota Universitas Gadjah Mada di Yogya.

Tulisan yang apik ini membahas bagaimana perumahan syariah saat ini dibangun dengan hal-hal yang justru tidak menekankan nilai-nilai Islam, seperti membangun pagar yang tinggi, memisahkan jurang antara ‘si kaya’ yang tinggal perumahan Islami dengan rumah mewah dan tetangga yang kontras dengan keadaan rumah-rumah syariah tersebut. Jelas menjauh dari nilai Islam yang menekankan ikatan sosial dan persaudaraan dengan tetangga di sekitarnya.   

Terlebih perumahan syariah tersebut, seakan-akan dipaksakan dengan ornamen timur tengah dan pengabaian hal-hal yang seharusnya diperhatikan, seperti membuat sumur resapan, menghiasi tanaman-tanaman yang produktif, desain rumah yang rendah karbon dan ventilasi udara yang baik untuk mengurangi pengurangan Air Conditioner yang mencegah pemanasan global. Hal-hal tersebut tentu lebih Islami ketimbang ‘gimmick’ timur tengah, pagar yang tinggi, dan nama-nama syariah.

Hal tersebut sejalan dengan prinsip ‘La dharar wa la dhirar’ (diriwayatkan oleh Ahmad dan Ibnu Majah yang menjadi prinsip pembangunan ketika peradaban Islam di awal). Prinsip tersebut berarti jangan memberikan kemudharatan bagi diri sendiri dan jangan membawa kemudharatan bagi orang lain.

Aidan menjelaskan kemudharatan diartikan juga sebagai jangan menyakiti, membahayakan, mencelakai, mempersulit, atau membuat kerusakan baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain.

Hal tersebut penting, karena dalam konsep pembangunan perumahan harus memperhatikan kenyamanan dan keamanan tetangga –dalam konsep kebangsaan—, memperhatikan lingkungan sekitar, dan tidak hanya memikirkan diri sendiri. Lebih luas lagi memperhatikan lingkungan hidup yang harus bisa dinikmati bersama –seperti air yang bersih, udara yang bersih, ruang terbuka hijau, sumur resapan, saluran air yang baik, dan sebagainya.

Dari apa yang dijelaskan oleh Aidan ditemukan juga oleh Kebijakan.co.id di lapangan,perumahan syariah memiliki karakteristik perumahan yang tertutup, dijaga ketat oleh satpam yang hanya memiliki satu pintu, tidak ada masjid, dan selebihnya persis seperti perumahan pada umumnya.   

***

Selain itu, kemunculan perumahan syariah di Yogyakarta yang diliput secara berseri oleh BBC Indonesia, salah satu judul yaitu Perumahan dan Permukian Syariah: Ancaman bagi Toleransi dan Budaya Lokal? (2019) mentitik fokuskan kemunculan perumahan islami di Yogyakarta yang berpotensi bahkan sudah menggerus kebudayaan masyarakat setempat yang sekiranya positif dan tidak menimbulkan kerugian –khususnya untuk pendatang yang bermukim di perumahan syariah.

Hal tersebutpun diungkapkan juga oleh Loepianto (82), Sekertaris FKUB (Forum Kerukunan Umat Beragama) Kota Depok saat ditemui oleh Kebijakan.co.id (3/11/2022), terdapat satu perumahan –bukan perumahan syariah— akan tetapi  ditinggali secara bertahap oleh yang diduga beraliran wahabi –sebuah aliran Islam yang memiliki pemahaman kaku secara syariat. Menurutnya hal tersebut mengganggu budaya masyarakat yang sudah terbentuk, seperti Yasinan dan sebagainya, dan ‘menguasai’ masjid di sekitar daerah tersebut.  

Loepianto (Sekertaris FKUB Kota Depok)
Loepianto (Sekertaris FKUB Kota Depok) Sumber: WartaAhmadiyah.org

Cita-Cita Hidup Islami dan Bayang-Bayang Surga

Menurut Ade Supriatna, DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) Kota Depok Fraksi PKS (Partai Keadilan Sejahtera) saat ditemui Kebijakan.co.id (7/11/2022), masyarakat yang tinggal di sana mengharapkan sesuatu lingkungan syariah, kondusif untuk tumbuh kembang keluarga kecilnya, “Di situ diharapkan nanti keluarga yang memang pingin anaknya atau anggota keluarganya tumbuh dalam suasana yang religi, dari mulai pendidikan, kegiatan bermain, proses bersosialisasi itu pingin yang eksklusif (Islami).”

Dalam hal pendidikan di lingkungan misalnya, Ade Supriatna menambahkan, “Menanamkan keyakinan kuat terhadap satu agama, saya rasa memang harus dari kecil agar anak-anak punya pondasi dan terbiasa untuk beribadah tidak atas dasar disuruh sama orangtua, tetapi memang kesadaran sendiri karena keyakinan dia kepada Allah kepada Tuhan, itu yang harus dibangun kan, mungkin pinginnya seperti itu.”

Ade Supriatna (DPRD Kota Depok Fraksi PKS)
Ade Supriatna (DPRD Kota Depok Fraksi PKS) Sumber: RadarDepok.com

Oleh karenanya, “Keluarga-keluarga (tadi) yang membeli perumahan di kawasan syariah, pinginnya anaknya tumbuh dalam lingkungan yang baik.” 

Namun menurut Loepianto, ironinya perumahan syariah hanya membangun ‘rumah saja’ bukan lingkungan yang syariah.

“Kalau mau bangun lingkungan syari, wilayahnya harus benar-benar syari juga. Contoh, mau bangun perumahan di Jombang, ah itu mendukung, ada sekolahnya (pesantren). Kalau yang ini ngga mendukung, hanya rumahnya saja. Kalau kita bicara satu komplek syariah, itu harus bener-bener semuanya, bukan merek aja, tetapi di situ ada madrasah (sekolah), tempat ibadah.”

Hal tersebut disetujui oleh Meti, dari Dinas Perumahan Kota Depok, “Pasti dari nama doang.”, Dia juga menambahkan, “Kalau setahu saya, kayanya hanya label (merek) deh Mas. Kaya perumahan Mutiara Darrusalam, mungkin kalau secara nama, ‘oh perumahan Islami nih’ tetapi nggak tau islami atau ngganya ya.”

***

Selain itu, cita-cita tentang kehidupan islami menurut Abdul Rohim, Direktur Maarif Institute saat ditemui Kebijakan.co.id (31/10/2022), berangkat dari kegagalan cita-cita politik Islam, “Nah kepentingan politik berkaitan dengan aspirasi ‘Islam’ dalam tanda petik, yang dimaknai secara sempit. Karena Islam yang sebenarnya tidak mengenal adanya segregasi-segregasi (pemisahan) seperti itu.”

Abdul Rohim Ghozali (Direktur Eksekutif Maarif Institute)
Abdul Rohim Ghazali (Direktur Eksekutif Maarif Institute) Sumber: Media Indonesia

Nah kepentingan politik berkaitan dengan aspirasi ‘Islam’ dalam tanda petik, yang dimaknai secara sempit. Karena Islam yang sebenarnya tidak mengenal adanya segregasi-segregasi (pemisahan) seperti itu.”

Abdul Rohim Ghazali

Kegagala aspirasi politik Islam, menurut Buya Syafii, yang diceritakan oleh Abdul Rohim, ialah tentang, “Trauma kegagalan Islam Politik, kan dulu ada aspirasi untuk mendirikan negara Islam.”

Hal tersebut menghasilkan banyak dampak dikotomi (atau pembedaan) antara yang Islami dan tidak, “Nah dikotomi yang terjadi di Indonesia antara Islam dan Umum kemudian berimplikasi kebanyak hal, awalnyakan bermula dari pendidikan, dalam kehidupan sehari-hari kita akhirnya dihadapkan pada 2 dikotomi itu. Nah itu sebenarnya yang mencoba dilawan oleh Buya (Ahmad Syafii).”

Dikotomi (pembedaan) ini sebenarnya juga tidak baik berlaku di seluruh agama, jika saja seorang muslim yang ingin tinggal di daerah non-muslim, hal itu digambarkan oleh Bro Icuk (35), Wakil Ketua DPC (Dewan Pimpinan Cabang) PSI (Partai Solidaritas Indonesia) Kota Depok saat ditemui Kebijakan.co.id (2/11/2022).

“Mungkin kalau orang bilang, ‘saya warga depok, karena rumah saya disini, saya tidak merasa itu ada,’ ya, karena itu rumah elu, tetapi pada saat elu jadi pendatang ada orang baru, elu mau ngontrak, nah itu (agama) jadi salah satu pertimbangan yang punya rumah (pemilik kontrakan), nggak mau nerima”

Hal kecil dicontohkan oleh Bro Icuk dalam tingkat yang paling ekstrim, adalah ketika, “Kemarin ada salah satu orang flores meninggal (yang merupakan mahasiswa), (kemudian) RT (rukun tetangga) tidak mau menerima dia sebagai warga, jadi langsung pencatatan sipil nya langsung ke pemerintah Kota, dukcapil nya Pemkot, diterima, tetapi RT/RW tidak menjembatani sebagai pelayan masyarakat paling depan dan itu disampaikan oleh bapak dan ibu RT yang notabene adalah seorang muslim.”

Icuk Pramana Putra (Wakil Ketua DPC PSI Kota Depok)
Icuk Pramana Putra (Wakil Ketua DPC PSI Kota Depok) Sumber: JabarEkspres.com

***

Ketika cita-cita dan impian memiliki rumah dengan lingkungan yang islami untuk keluarga terpikirkan, dari situ juga pengusaha-pengusaha mencoba memanfaatkan pasar dengan membangun perumahan syariah.

Islam dan Ajaran Perumahan Khusus Muslim

Islam sebagai agama yang mengatur melalui hukumnya, atau bisa dikatakan syariat, ‘yang diambil’ katanya secara semena-mena oleh pengembang perumahan syariah. Menurut Abdul Rohim, hal tersebut, “Mengatasnamakan Islam, itu bertolak belakang dengan prinsip-prinsip Islam sendiri.”

Karena pada dasarnya perintah Al-Quran tambah Abdul Rohim, “Perintah di Al-Quran untuk mengenal satu sama lain itu umum, tidak hanya kepada muslim atau sesama islam saja.”

Terkhusus kepada tetangga misalnya, Islam mengajarkan, “Perintah kita untuk berbuat baik kepada tetangga itu berlaku umum, tidak hanya kepada yang spesifik saja seperti kepada muslim saja, tidak ada itu.” Tambah Abdul Rohim.

“Bahkan, ketika memasak masakan itu diperintahkan oleh Nabi (Muhammad) memperbanyak kuahnya, supaya kamu (yang memasak) bisa berbagi kepada tetangga.”

“Nabi mengatakan juga, tidak beriman seseorang yang kekenyangan, tetapi tetangganya kelaparan. Dan itu tidak ada spesifik tetangganya muslim, non-muslim, bahkan orang yang tidak percaya Tuhan.” Tutup Abdul Rohim.

Dalam sejarahnya pun, ketika itu Nabi hidup berdampingan dengan agama lain, oleh karena itu kawasan khusus syariah tidak relevan menurut Ade Supriatna, “Kawasan syariah memang dalam Islam pun tidak diatur harus membuat satu kawasan khusus muslim, nggak ada, karena dari sejarahnya juga kan, Nabi tinggal di Madinah itu plural.”    

“Kawasan syariah memang dalam Islam pun tidak diatur harus membuat satu kawasan khusus muslim, nggak ada, karena dari sejarahnya juga kan, Nabi tinggal di Madinah itu plural.”

Ade Supriatna

Selain itu, “Karena dalam Islam juga kan, ada hak tetangga baik dia muslim ataupun non-muslim, karena di Madinah sendiri plural sebenarnya, waktu Nabi datang ke sana kan banyak agama, ada Yahudi, ada Nasrani juga.” Tambahnya.

Hal tersebut menjadi kebingungan, ketika ada perumahan syariah lalu bertentangan dengan syariah itu sendiri, menurut Loepienato, “Gimana kita mau bangun wilayah yang namanya syariah? Sedangkan apa yang dipraktikin melenceng dari syariah. Islam (harus) menghargai agama lain juga. Iya ga? Iya kan?”

“Gimana kita mau bangun wilayah yang namanya syariah? Sedangkan apa yang dipraktikin melenceng dari syariah. Islam (harus) menghargai agama lain juga.

Loepianto

Dalam hal menjalin hubungan yang baik dengan siapapun –terkhusus tetangga–, bahkan dengan musuhnya, dicontohkan Buya Ahmad Syafii Maarif, dalam cerita Abdul Rohim.

“Buya memesankan untuk membuka diri, untuk berhubungan dengan siapapun, bahkan dia (Buya) dalam hidupnya tidak pernah merasa canggung, tidak punya hambatan psikologis bergaul dengan siapapun, bahkan kepada orang yang secara pemikiran Buya tolak, seperti Abu Bakar Ba’asir, dia temani dan dia kunjungi.”

Potensi dan Mencegah Segregasi

Salah satu ancaman dari perumahan syariah ialah segregasi (pemisahan) di Masyarakat. Pemisahan ini tercipta karena lingkungan interaksi yang berbeda, mulai dari tetangga rumah. Ancaman tersebut bersifat potensi (akan terjadi) jika terjadi pemicunya, salah satunya peristiwa politik dan peristiwa lainnya yang menyangkut identitas keagamaan.

Menurut Abdul Rohim, mengatakan, “Ketika terjadi gesekan politik, apalagi politik itu dengan menggunakan isu agama, maka potensi gesekan akan mudah mencuat di permukaan. Seperti yang terjadi saat Pilkada DKI 2017.”

Akan tetapi potensi-potensi tersebut bisa menyebabkan dua kemungkinan menurut Ade Supriatna, “Kalau memang di dalamnya (di perumahan syariah) kondisinya tidak mengajarkan tata cara perilaku dengan yang berbeda keyakinan,” atau, “Salah asuh, dalam komunitas tersebut, bisa saja begitu (menciptakan eksklusifitas)”.  

Kedua, “bisa juga ketika di dalamnya ada pengajaran yang moderat, yang istilahnya bagaimana berlaku dengan sesama mahluk tuhan, berkasih sayang, saling tolong menolong, saling bantu, antar kawasan misalnya.”

Segregasi (pemisahan) juga bisa dicegah jika tidak ada pemicu tadi, menurut Abdul Rohim, “mungkin kalau tidak ada pemicunya, potensi itu akan menjadi ‘angin lalu’ atau ‘api dalam sekam’,” akan tetapi, “‘api dalam sekam’ kalau tidak ditiup angin maka tidak akan berbahaya, kalau tertiup angin dia akan menyala, dan kalau kena hujan bisa mati.” Ungkapnya melalui kiasan.

“Artinya potensi itu bisa hilang pada saat muncul kebijakan politik yang bisa menumbuhkan kebersamaan, bisa mengikis segregasi antar berbagai kelompok beragama.”

Kebijakan politik bisa dibangun dari RT, RW, Kelurahan, melalui kegiatan warga misalnya, menurut Ade Supriatna, “Untuk yang cluster (syariah) memang harus ada jembantan dari RT RW Kelurahan agar ada semacam dialog, kalau dialog kan resmi banget, mungkin ada kegiatan yang bisa –istilahnya juga bukan mencairkan, mungkin juga gabeku-beku juga ya—ada bahan pengajaran gitu ya kepada masyarakat, edukasi bahwa ada saudara-saudara kita yang berbeda keyakinan yang juga punya hak tetangga.”

Selain kegiatan bisa juga sosialisasi melalui kelurahan dan kecamatan, seperti yang dilakukan FKUB Kota Depok, “Kami sosialisasi mengenai kerukunan warga Kota Depok, dari sekolah, seluruh 63 kelurahan, dan 11 kecamatan kita adakan (sosialisasi). Di kelurahan kita suruh panggil RT/RW, di kecamatan kita suruh (panggil) lurah-lurah, LPM-LPM (Lembaga Pemberdayaan Masyarakat) itu.” Ungkap Loepianto.

Akan tetapi masalahnya, “Kalau lurahnya, nggak sampai 1 tahun (atau) 6 bulan diganti, ini bingung lagi. Kami itu ada biaya tersendiri buat adakan itu.” 

Secara garis besar, hal tersebut digambarkan oleh Bro Icuk, “Semakin kita mengkotak-kotakan (dan) mengclusterkan perumahan syariah dan akhirnya nggak ketemu tuh irisan-irisan, ‘oh ternyata temen gua ada yang nasrani’ ‘temen gua ada yang beda dari gua’ dan itu akan membentuk terus karakter manusianya secara tidak langsung, yang dikhawatirkan adalah itukan.”

“Semakin kita mengkotak-kotakan (dan) mengclusterkan perumahan syariah dan akhirnya nggak ketemu tuh irisan-irisan, ‘oh ternyata temen gua ada yang nasrani’ ‘temen gua ada yang beda dari gua’ dan itu akan membentuk terus karakter manusianya secara tidak langsung

Icuk Pramana Putra

Pencegahan Segregasi dari Pendidikan

Kebijakan politik lainnya selain kegiatan dan sosialisasi kepada warga, bisa dimulai dari pendidikan yang inklusif dari dini misalnya, menurut Ade Supriatna, “Lembaga pendidikan, apakah itu tingkat TK, SD, SMP, SMA, itu juga harus diberikan pemahaman terkait dengan ada ‘umat yang berbeda keyakinan dengan kamu’.”

“Jadi tidak ada yang ekstrim kanan di satu agama apapun, tidak ada pengajaran itu (ekstrim), jadi secara berkala lembaga-lembaga pendidikan juga diundang sama Dinas Pendidikan (Kota Depok),”

Sebabnya, “Ketika dapat insentif (dari) Pemkot (Pemerintah Kota), (Dinas Pendidikan) juga bisa memanggil lembaga-lembaga yang bersangkutan untuk diadakan pencerahan tadi terkait pluralitas, kebhinekaan, itu yang kita harapkan tidak terjadi ekstrim kanan di lembaga-lembaga pendidikan tersebut.”

Selain itu setidaknya di setiap sekolah ada guru agama –baik itu kristen, hingga agama lainnya–, menurut Bro Icuk, ”Semua agama, minimal ada satu guru agama di satu sekolah, kita nggak usah ngomongin yang sangat minoritas, guru agama kristen saja sudah dibilang sangat minim di Kota Depok.”

Hal itu didukung oleh Loepianto, “(ketiadaan) Guru. Kalau guru pendidikan Islam ada gurunya. Jadi dia (guru agama Kristen) harus yang belajar Kristologi (bukan guru yang belajar jurusan di luar jurusan agama).”

Dalam hal ketiadaan guru kristen ini misalnya, tambah Loepianto, “Di sini ini (Kota Depok) ada relawan dari penyuluh-penyuluh agama Protestan itu dari gereja-gereja (perkumpulan gereja), itu disuruh, mereka dapet (gaji) dari gereja.” Seharusnya, “(mereka) diambil (dan) digaji oleh sekolah.” Bukan dari lembaga luar sekolah.

Tujuan besar setidaknya menimbulkan rasa saling menghargai, “Tetapi memang kalau yang kita rasain ya –mungkin kalau mahasiswa (atau pelajar) yang sekolah di negeri— punya temen kristen, punya temen papua, punya temen kulitnya item, (temen) ada yang cina, ada segala macam, pasti terbiasa, akhirnya perbedaan, pluralisme.”

Lebih jauh Bro Icuk, membayangkan jika mereka (pelajar atau mahasiswa) yang menjadi pemimpin atau pengambil kebijakan nanti saling menghargai, “Nah nanti mereka-mereka ini yang melanjutkan perjuangan dong, merumuskan Indonesia seperti apa, menentukan Indonesia ke depan. Kalau mereka yang sudah terbiasa bertemu temennya ada yang batak, temennya ada yang ambon, temennya dari timur.”  

Akan tetapi jika anak tersebut tidak biasa bertemu dengan keyakinan atau teman dari etnis yang berbeda, dari SD hingga SMA bahkan Kuliah, menurut Bro Icuk, “Tetapi kalau dari SD-SMP-SMA sudah di tempat yang kurang keberagamannya, akhirnya juga pasti lebih ekstrim saat menerima doktrin yang ekstrim dan berpotensi ekstrim.”

“Kalau dari SD-SMP-SMA sudah di tempat yang kurang keberagamannya, akhirnya juga pasti lebih ekstrim saat menerima doktrin yang ekstrim dan berpotensi ekstrim.”

Icuk Pramana Putra

***

Itu pun kalau ada sekolah negerinya yang bisa memfasilitasi pendidikan agama, masalah lainnya menurut Bro Icuk, PSI Kota Depok, “SD dan SMP Negeri di Kota Depok jumlahnya kurang, belum (lagi) SMA.”

“SMA itu tingkatnya (dan) jumlahnya ditentukan dari pemerintah provinsi dan kewenangannya pemerintah provinsi. Sementara kalau pemerintah provinsi, kalau tidak disediakan lahan dari pemerintah kota (Depok) mau di taro di mana (sekolahnya), akhirnya masalah yang timbul adalah –tadi yang tadi, kalau tadi perumahan, adanya perumahan (syariah)— kalau ini sebenarnya di sektor pendidikan, (misalnya) SDIT-SDIT (SMPIT dan SMAIT atau Islam Terpadu).” Tambah Bro Icuk.  

Masalahnya lagi, menurut Bro Icuk, “Kenapa SMA negeri susah dibangun di Kota Depok, itu jalan keujung sana (mengarah ke Depok Baru) masih banyak tanah kosong bro, segitu banyaknya tanah tapi ga ada yang dibuat sekolah negeri, kok bisa?”  

“Sementara kayanya sulit banget (izinnya), apalagi kalau negeri, (misalnya Kecamatan) Beji belakang UI (Universitas Indonesia) gaada sama sekali sekolah negeri, jadi kalau untuk zonasi selesai mereka. Gaada pilihan lain, (harus) swasta. Pilihan swasta adalah swasta konvensional atau sekolah-sekolah Islam, ya gitulah jadinya makin terus berjauhan yang non-muslim tadi.”

Di satu sisi, menurut Bro Icuk, “Jumlah SDIT-SDIT yang swasta bertambah, yang kita ngga tahu itu Yayasan siapa? Itu punyanya siapa? Tetapi kalau di Depok sangat signifikan perkembangannya, dan izinannya langsung keluar dengan cepat, tidak seperti kalau kita mendirikan gereja puluhan tahun aja lama banget izinnya bro, tetapi kalau mendirikan SDIT dengan waktu (dan) tempo yang singkat bahkan kurang dari setahun udah berdiri bangunannya, langsung ada izin, gurunya sudah ada, pasarnya menerima dengan baik –kita gaada masalah sama pasarnya.”

Infografis Perumahan Syariah di Kota Depok, Surga di Rumah atau Neraka Keberagaman

Keberlanjutan Bangsa dan Masyarakat Majemuk

Dampak besarnya ialah menciptakan masyarakat yang eksklusif, yang bertentangan secara fitrah sebagai manusia yang beragam, dan cita-cita bangsa yang majemuk ‘berbeda-berbeda namun tetap satu jua’.

Dalam sejarah Islam sendiri, menurut Nurcholish Madjid dalam bukunya Islam: Doktrin dan Peradaban (1992), bahwa kemajemukan sudah dikenal Islam semenjak kedatangan nabi Muhammad, yang dikenal dengan Piagam Madinah –yang sangat dikagumi sarjana modern.

Piagam Mandinah menurut Nurcholish Madjid –dan beberapa sarjana– merupakan dokumen politik resmi pertama yang meletakkan prinsip kebebasan beragama dan berusaha (ekonomi). Yang secara garis besar memberikan jaminan kebebasan dan keamanan kaum Kristen (dan penganut agama dan kepercayaan lainnya) ketika itu, dan menjadi pelajaran penting untuk masyarakat modern berikutnya.

Selain itu, secara sederhana menurut Bro Icuk, “Tidak memiliki interaksi antara satu agama dengan agama lain –dengan etnis lain juga—akhirnya membahayakan untuk kesatuan bangsa sendiri sebenarnya, kalau mau balik jauh (sebagai bangsa).”

Secara umum, cita-cita kebangsaan yang majemuk disampaikan oleh Ade Supriatna, “Menjaga persatuan dan kesatuan sebagai basis (dan) modal sosial yang penting buat bangsa agar tidak bercerai berai karena masalah tadi berbeda keyakinan tadi.” 

Secara pribadi hal tersebut disampaikan oleh Loepianto, ketika dia sering mengunjungi gereja dikala waktu senja dan di akhir masa kepengurusan FKUB Kota Depok, “Saya aja kemarin masuk gereja, ‘wah udah jadi Katolik’ (gambaran orang yang menuduh kepadanya) inikan kurang ajar. Saya itu sering ke gereja-gereja di Kota Depok.”

Dia menambahkan dengan ekspresi yang begitu semangat layaknya pejuang, “Harusnya mereka itu menyadari (bicara kepada yang menuduh). Kenapa saya begitu? Saya itu menjaga kerukunan umat, walaupun purnabakti kita habis (secara periode seharusnya sudah selesai). Tapikan jiwa kita perasaan kita, mereka itu (agama lain) punya hak konstitusi yang sama sebagai anak bangsa, walaupun keyakinan aqidahnya beda, saya tidak mengurus itu, marilah kita berjalan bersama-sama.”

“Mereka itu (agama lain) punya hak konstitusi yang sama sebagai anak bangsa, walaupun keyakinan aqidahnya beda, saya tidak mengurus itu, marilah kita berjalan bersama-sama.”

Loepianto

*(26/11/2022): Ada perbaikan nama dari Meta menjadi Meti dari Dinas Perumahan Kota Depok dan tambahan keterangan waktu saat ditemui Kebijakan.co.id

Baca Serial Liputan Konstruktif "Perumahan Syariah di Kota Depok, Surga di Rumah atau Neraka Keberagaman" Lainnya:
•	Perumahan Syariah di Kota Depok, Surga di Rumah atau Neraka KeberagamanAkal Bulus Pengembang Perumahan Syariah di Kota DepokWawancara Mendalam tentang Perumahan Syariah di Kota Depok

Serial Liputan Konstruktif ini merupakan Program Fellowship Jurnalistik untuk Keberagaman dan Toleransi oleh Yayasan Satu Keadilan dan Search for Common Ground
Jurnalis Adi Fauzanto
Diterbitkan: Jumat, 18 November 2022
Pukul: 18.00 WIB
Jurnalis: Adi Fauzanto
Daftar Bacaan:  
• Ayomi Amindoni. 2019. Perumahan dan Permukian Syariah: Ancaman bagi Toleransi dan Budaya Lokal?. BBC Indonesia, 16 Agustus
Siti Chaerani. 2009. Fenomena Perkembangan Perumahan Muslim (Studi Kasus: Cinere Insani Residence dan Griya Insani Kukusan, Depok). Skripsi Universitas Indonesia Aidan Raditya Prawira. 2021. Menggugat Perumahan Beridentitas Islami. Alif.id, 16 FebruariNurul Nur Azizah. 2022. 5 Fakta Tentang Depok Kota Paling Tidak Toleran Versi Setara Institute. Konde.co, 10 AprilSiRumkim Kota DepokSetara Institute. Ringkasan Eksekutif Indeks Kota Toleran 2015-2021Nurcholish Madjid. 1992. Islam: Doktrin dan Peradaban. Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina 
Liputan Mendalam

Perumahan Syariah di Kota Depok, Surga di Rumah atau Neraka Keberagaman


Kebijakan.co.idLiputan Konstruktif

Adi Fauzanto-18 Nov 2022 (18.00 WIB)-#2 Artikel

Fenomena perumahan syariah meruak ke pasar baru-baru ini. Terhitung semenjak kebangkitan ‘Islam Politik’ dan menjalar ke berbagai aspek, mini market syariah, hingga perumahan syariah.

Fenomena ini, ditangkap baik oleh pengusaha yang berhasil melihat pasar masyarakat islam yang gandrung akan merek syariah.

Beberapa menunjukan dampak pendek yang buruk, ketidaktepatan atau terjerat penipuan hanya karena ingin mendapatkan rumah bermerek syariah.

Dampak panjang, pengelompokan ini berpotensi menciptakan segregasi, terlebih jika ada situasi yang dapat memicunya, misal politik identititas. 

Dalam perspektif Islam, Al-Quran tidak pernah mengajarkan harus bertetangga muslim atau membuat kawasan khusus Muslim.

Dalam perspektif kebangsaan, sejarah mencatat hampir semua agama terlibat dalam kemerdekaan bangsa Indonesia, dan oleh karenanya bangsa ini didasarkan atas keberagaman.

Menarik dibahas, khususnya di Kota Depok, kota yang menurut Setara Institute tingkat tolerannya rendah, juga terjadi. Terlebih di bawah rezim penguasa yang merupakan ‘Partai Islam’ yaitu PKS.

Serial Liputan Konstruktif ini merupakan Program Fellowship Jurnalistik untuk Keberagaman dan Toleransi oleh Yayasan Satu Keadilan dan Search for Common Ground

Baca Serial Liputannya Di Sini

Wawancara Mendalam tentang Perumahan Syariah di Kota Depok


Kebijakan.co.idWawancara Mendalam

Adi Fauzanto-16 Nov 2022 (18.00 WIB)-#5 Wawancara
Perumahan Syariah di Kota Depok

Fenomena perumahan syariah meruak ke pasar baru-baru ini. Terhitung semenjak kebangkitan ‘Islam Politik’ dan menjalar ke berbagai aspek, mini market syariah, hingga perumahan syariah.

Fenomena ini, ditangkap baik oleh pengusaha yang berhasil melihat pasar masyarakat islam yang gandrung akan merek syariah.

Beberapa menunjukan dampak pendek yang buruk, ketidaktepatan atau terjerat penipuan hanya karena ingin mendapatkan rumah bermerek syariah.

Dampak panjang, pengelompokan ini berpotensi menciptakan segregasi, terlebih jika ada situasi yang dapat memicunya, misal politik identititas. 

Dalam perspektif Islam, Al-Quran tidak pernah mengajarkan harus bertetangga muslim atau membuat kawasan khusus Muslim.

Dalam perspektif kebangsaan, sejarah mencatat hampir semua agama terlibat dalam kemerdekaan bangsa Indonesia, dan oleh karenanya bangsa ini didasarkan atas keberagaman.

Menarik dibahas, khususnya di Kota Depok, kota yang menurut Setara Institute tingkat tolerannya rendah, juga terjadi. Terlebih di bawah rezim penguasa yang merupakan ‘Partai Islam’ yaitu PKS.

Aerial Liputan Konstruktif ini merupakan Program Fellowship Jurnalistik untuk Keberagaman dan Toleransi oleh Yayasan Satu Keadilan dan Search for Common Ground

***

Ade Supriatna (DPRD Kota Depok Fraksi PKS): Dalam Islam pun Tidak Diatur Harus Membuat Satu Kawasan Khusus Muslim, Nggak Ada, Karena dari Sejarahnya Juga Nabi Tinggal di Madinah Itu Plural


Kebijakan.co.idWawancara Mendalam

Adi Fauzanto-16 Nov 2022 (18.00 WIB)-#41 Paragraf
Perumahan Syariah di Kota Depok

Fenomena perumahan syariah meruak ke pasar baru-baru ini. Terhitung semenjak kebangkitan ‘Islam Politik’ dan menjalar ke berbagai aspek, mini market syariah, hingga perumahan syariah.

Fenomena ini, ditangkap baik oleh pengusaha yang berhasil melihat pasar masyarakat islam yang gandrung akan merek syariah.

Beberapa menunjukan dampak pendek yang buruk, ketidaktepatan atau terjerat penipuan hanya karena ingin mendapatkan rumah bermerek syariah.

Dampak panjang, pengelompokan ini berpotensi menciptakan segregasi, terlebih jika ada situasi yang dapat memicunya, misal politik identititas. 

Dalam perspektif Islam, Al-Quran tidak pernah mengajarkan harus bertetangga muslim atau membuat kawasan khusus Muslim.

Dalam perspektif kebangsaan, sejarah mencatat hampir semua agama terlibat dalam kemerdekaan bangsa Indonesia, dan oleh karenanya bangsa ini didasarkan atas keberagaman.

Menarik dibahas, khususnya di Kota Depok, kota yang menurut Setara Institute tingkat tolerannya rendah, juga terjadi. Terlebih di bawah rezim penguasa yang merupakan ‘Partai Islam’ yaitu PKS.

***

“Membahas fenomena perumahan syariah di Kota Depok, kalau di penelitian itu yang saya baca itu bahkan sudah ada dari 2009 di Kota Depok. Nah, menurut Bang Ade sendiri terkait perumahan syariah itu bagaimana Bang?“

Ya, ada 2 interpretasi ya. Pertama, terkait dengan proses jual belinya, ada yang mengklaim developer syariah, kemudian juga karena transaksinya menyesuaikan dengan hukum-hukum syariah, ada yang cash bertahap misalnya, dia juali-beli dengan developernya langsung, artinya harganya disepakati di awal misalnya 1 Miliar 10x cicil atau 20x cicil misalnya. Atau juga yang menggunakan metode bank (syariah) bisa jual beli menggunakan murabahah jadi ketika ada term waktu 20 tahun, dari 1 miliar bisa menjadi 2 miliar, itu juga ada penyesuaian dengan ketentuan-ketentuan syariah, makanya dia mengklaim developer itu developer syariah.

Nah (jenis) developer yang ke dua memang dia bikin kawasan. Kawasan yang memang diperuntukan untuk muslim dengan nuansa-nuansa religi, yang memang ternyata pasarnya ada gitu dan cukup banyak, makanya para pengusaha developer inikan ya namanya dagang gitukan, demand (permintaan)nya tinggi, makanya dia create gitu, semacam kampung muslim, di situ diharapkan nanti keluarga yang memang pingin anaknya atau anggota keluarganya tumbuh dalam suasana yang religi, dari mulai pendidikan, kegiatan bermain, proses bersosialisasi itu pingin yang eksklusif makanya di create lah perumahan tersebut, jadi kalau saya lihat ya karena ada permintaan di pasar aja, kalau nggak ada nggak laku juga itu. Seperti itu sih Mas.   

“Tadi sih saya sempat menduga (berhipotesa) by (oleh) pasar, karena ada permintaan, selanjutnya ada bisnis juga mengambil keuntungan dari situ, nah saya coba tanya ke dinas (perumahan kota Depok) apakah ada ketentuan khusus mengenai perumahan syariah, tadi tanya nggak ada, izinnya pada umumnya aja.

Sebenarnya saya rencana bertemu dengan MUI Kota Depok, tapi dia berhalangan ada kegiatan lain, saya juga mau bertanya apakah ada ketentuan khusus mengenai perumahan syariah ini, kayaknya nggak ada, karena sertifikasi halalpun sekarang sudah diambil pemerintahkan.

Nah kalau menurut Bang Ade itu, ceruk pasarnya ini sekiranya berpotensi akan banyak terus, dan ini berpotensi menimbulkan pengelempokan, kalau kata peneliti Maarif (Institute) itu kita kan harus saling bertentangga dengan non-muslim dan sebagainya itu, apakah menimbulkan potensi (meniadakan) bertentangga dengan non-muslim, berbagi, dan sebagainya?”     

Kalau itu waktu yang akan menjawab, mungkin prediksi-prediksi para peneliti terkait dengan fenomena sosial yang ada saat ini diprediksi ke depannya akan seperti itu, kaya gitukan. Kalau misalnya ada perubahan eksklusif, masyarakat eksklusif, yang ketika nanti bergabung di kelompok yang lebih besar dengan ada yang berbeda, itu dikhawatirkan akan ada interaksi yang tidak harmonis, karena terlalu eksklusif.

Sebatas prediksi, mungkin-mungkin saja kalau ada kekhawatiran seperti itu, kalau memang di dalamnya kondisinya tidak mengajarkan tata cara perilaku dengan yang berbeda keyakinan, gitukan, atau salah asuh, dalam komunitas tersebut, bisa saja begitu.

Atau bisa saja juga ketika di dalamnya ada pengajaran yang moderat, yang istilahnya bagaimana berlaku dengan sesama mahluk tuhan, berkasih sayang, saling tolong menolong, saling bantu, antar kawasan misalnya itu juga bisa terjadi, jadi kemungkinannya bisa apa saja.

Cuman memang kan ini, apakah ini potret idaman di suatu kawasan kota, gitu kan, atau potret di suatu kawasan bangsa dengan kita tidak ada intervensi negara terkait dengan fenomena bisnis seperti ini.

“Inikan bisnis.”

Kalau saya lihat ini fenomena bisnis Mas, artinya begini (misalkan) saya punya kawasan privat (sendiri) kan swasta ini tanah dia, saya hanya akan menjual kepada yang muslim. Saya belum melihat negara ini bisa intervensi, kalau jual-belikan sesuai yang diinginkan ke duabelah pihak, (prinsip) ridho atau keleraan, kalau yang satu tidak mau menjual nggak bisa maksa, saya lihat juga memang keterbatasan tangan dari pemerintah nih gimana ngaturnya, karena kalau dari perizinan kan gaada sekarang dalam arti dia sama semua, inikan bahasa di pasar.

Kalau misalnya pemerintah juga, mensyaratkan tidak boleh mengkhususkan pada satu agama tertentu di satu pemukiman, cantolan hukumnya apa? gitukan, dia (aturan hukum) kan kalau di perda aturan perundang-undangan di atasnya mana, aturan pemerintah kah, nah ini juga kalau misalnya ada boleh kasih tau saya juga cantolan hukumnya dari para peneliti itu ya.

Peneliti itu kan lebih dalam hal terkait konstitusi, peraturan perundang-undangan di bawah dan undang-undang dasar, TAP MPR, atau peraturan pemerintah atau undang-undang, itu silakan saja, kalau misalkan ada yang bisa diadopsi diperaturan daerah atau peraturan wali kota, pasti akan adopsi gitu sama pemerintah daerah.

“Sebenarnya, memang peneliti Maarif belum sampe mengarah ke sana, dia cuma bilang gapapa tapi ini berpotensi, jika ada fenomena tertentu ini akan berpotensi untuk (terjadi konflik), jadi awalnya tidak apa-apa. Maksudnya kalau dalam sejarah seperti Geger Pecinan, dulu kan komunitas etnis Tionghoa sama Belanda, awalnya tidak apa-apa, ketika ada konflik tertentu itu menimbulkan kerusuhan di sana dan itu sangat berbahaya untuk keberagaman dan untuk etnisnya sendiri, nanti jadi mudah dikontrol.”

“Nah selanjutnya, mungkin dari PKS sendiri atau dari Bang Ade sendiri akankah ada kebijakan publik yang sekiranya mengatur atau membatasi atau mendukung atau meregulasi terkait hal perumahan syariah?”       

Kita sih, kalau mendorong kebijakan publik yang dalam bentuk peraturan daerah tentu harus ada ‘tadi’ (merujuk pembahasan sebelumnya) cantolan peraturan perundang-undang di atasnya, yang mungkin itu baru bisa kita dorong ya.

Nah kalau saat ini saya lihat karena ini memang sudah banyak yang jalan juga (perumahan syariah), semacam edaran dari wali kota berarti ya, artinya tetap harus ada jembatan lah ya, yang menjembantani atau saluran komunikasi antara komunitas yang berbeda di kota Depok, jadi kalau misalnya di komplek yang (berkonsep) konvensional kan sudah terjadikan, mereka kan sudah bertentangga, tapi untuk yang cluster (syariah) memang harus ada jembantan dari RT RW Kelurahan agar ada semacam dialog, kalau dialog kan resmi banget, mungkin ada kegiatan yang bisa –istilahnya juga bukan mencairkan, mungkin juga gabeku-beku juga ya—ada bahan pengajaran gitu ya kepada masyarakat, edukasi bahwa ada saudara-saudara kita yang berbeda keyakinan yang juga punya hak tetangga. Karena dalam muslim juga kan, ada hak tetangga baik dia muslim ataupun non-muslim, karena di Madinah sendiri plural sebenarnya, waktu Nabi datang ke sana kan banyak agama, ada Yahudi, ada Nasrani juga.

“Selama dia (non-muslim) tidak menggangu”

Kan bikin perjanjian tuh, antar kabilah, antar suku, antar agama, gitukan, untuk saling menolong ketika ada (serangan) dari luar, saling menghormati, atau apa gitukan. Cuman kalau waktu itu ada sejarahnya pengusiran kaum Yahudi dari Madinah, itu ada alasan juga, karena ada perjanjian yang dilanggar dari pihak Yahudi terhadap pihak Muslim, makanya dengan kekuatan yang ada, ada pengusiran.

Nah ya di waktu itukan juga kan ternyata komponen (dan) keadaan yang plural itu dijembatani dengan tadi (yaitu) perjanjian, itukan bentuk formal dari satu diskusi atau satu kesepakatankan yang dituangkan dalam bentuk perjanjian, walaupun kalau sekarang di kita ada RT ada RW yang mengelola kondisi itu.

Jadi kalau di PKS sih, balik lagi kita menghimbau, misalnya dalam cluster atau antar cluster di satu komplek juga banyak yang (keyakinannya berbeda), kita harapkan tetap ada komunikasi, tetap ada kegiatan bersama, apakah itu gotong royong, atau peringatan hari kemerdekaan, dan lain-lain itu bisa menjebantani komunikasi yang mungkin belum terjadi.

“Balik lagi mungkin ke pasar, nah ini apakah –tadikan kebijakan umumnya untuk masyarakat—nah ini untuk perusahaan (atau) pengembangan yang memanfaatkan ceruk itu, apakah ada nanti ada sertifikasi, maksudnya ada pembatasan di sana, tidak menggunakan perumahan syariah semata-mata untuk bisnis, kaya misalkan yang makanan, (seperti) gitu ada sertifikasi halal, apakah ada, seperti itu.”

Kalo sertifikasi halal, memangkan ada Undang-Undangnya, jadi karena umat Islam mendorong adanya penjaminan produk halal, maka pemerintah diwajibkan menjamin makanan halal untuk umat Islam. Makanya ada sertifikasi halal itu. Nah, kalau tempat tinggal memang belum –setau saya—belum ada peraturan perundangan yang mengatur, di mana harus tinggal, terus siapa saja yang tinggal di tempat itu, gitu, jadi masih diserahkan ke pasar intinya, gitukan.

Sebagaimana banyak juga produk-produk yang dikonsumsi (atau) dipakai, apakah itu baju, apakah itu hiburan, itukan juga masih juga diserahkan ke pasar, mana yang suka, gitukan, orang memproduksi rok mini, itukan silakan, atau baju transparant silakan, tanktop silakan, gitukan, tinggal usernya aja, belinya, makenya sesuai tempat, gitu.

“Jadi memang belum ada sertifikasi atau belum ada pengaturan terkait perumahan syariah itu ya.”          

Nggak ada, memang nggak diatur. Tidak ada aturan yang menganjurkan, tidak ada aturan yang juga melarang. Karena itu secara normatif, izin mendirikan bangunan, izin perumahan, pemanfaatan ruang, itu umum aja. Ketika kita menambahkan tadi, tidak boleh ada aturan agama, salah lagi, karena pemerintah daerah, nggak boleh ngatur agama, agama diatur sama pemerintah pusat, gitukan.

“Iya sih Bang, sebenarnya pembahasannya sesederhana bisnis aja, bisnis pengembang dan ada ceruk pasarnya. Dan sementara ini pemerintah, belum punya regulasi, ataupun MUI sebagai pemegang otoritas agama (Islam) yang melakukan sertifikasi belum ada, DPRD pun menyuarakkan adanya komunikasi antara warga dan sebagainya.” 

Ya, jadi, pemerintah kota dalam hal ini lebih kepada bagaimana membuka ruang-ruang tadi, membuka ruang komunikasi antara warga.

Selain itu juga ke lembaga pendidikan, apakah itu tingkat TK, SD, SMP, SMA, itu juga harus diberikan pemahaman terkait dengan ada ‘umat yang berbeda keyakinan dengan kamu’. Terus terkait sikap terhadap yang berbeda keyakinan, kaya gimana. Kemudian kita tinggal di negara yang plural, apa yang disepakati terkait pluralitas itu di Indonesia, kemudian bagaimana negara juga menjamin kemerdekaan pemeluk agama untuk beribadah, nah gitukan perlu di evaluasi. Jadi tidak ada yang ekstrim kanan di satu agama apapun, tidak ada pengajaran itu, jadi secara berkala lembaga-lembaga pendidikan juga diundang sama Dinas Pendidikan, kan Dinas Pendidikan Kota juga menangani PAUD, SD, SMP ya tanggungjawabnya, nah itu baik yang umum maupun dari agama, apakah (itu dari) madrasah, nah itu juga kan dapat insentif juga dari Pemkot (Pemerintah Kota), nah, ketika dapat insentif (dari) Pemkot (Pemerintah Kota) juga bisa memanggil lembaga-lembaga yang bersangkutan untuk diadakan pencerahan tadi terkait pluralitas, kebhinekaan, itu yang kita harapkan tidak terjadi ekstrim kanan di lembaga-lembaga pendidikan tersebut.

Cuman, kalau menanamkan keyakinan kuat terhadap satu agama, saya rasa memang harus dari kecil agar anak-anak punya pondasi dan terbiasa untuk beribadah tidak atas dasar disuruh sama orangtua, tetapi memang kesadaran sendiri karena keyakinan dia kepada Allah kepada Tuhan, itu yang harus dibangun kan, mungkin pinginnya seperti itu, keluarga-keluarga yang membeli perumahan di kawasan syariah, pinginnya anaknya tumbuh dalam lingkungan yang baik.

“Kemarin coba hubungin satu pengembang (perumahan syariah), memang pada intinya sama saja seperti perumahan umum, ada masjid juga, ada lapangan juga, ya apa bedanya? Ya apa ya paling cuma tetangga (yang berbeda), itukan bisa dibangun dengan kesepakatan tidak boleh memelihara anjing karena berisik atau tidak mengenakan pengeras suara yang terlalu keras itu kan bisa diatur, maksudnya tidak perlu diatur oleh pengembangnya (terkait perumahan syariah), istilahnya pengembangnya nih punya kerajaan sendiri di satu komplek itu.”

Ya, pada akhirnya nantikan akan diserahkan ke masyarakat ketika sudah selesai sudah beli, udah nyicil ke bank masing-masing gitu, dia akan mencari titik baru, dia tidak akan mengelola kawasan itu terus menerus, pasti akan diserahkan ke masyarakat apakah itu jadi RT baru, atau RW baru akan diserahkan ke masyarakat.

“Terkahir ini mungkin Bang, pesan terakhir terhadap fenomena perumahan syariah ini, di Kota Depok khususnya”

Artinya kalau terkait bagaimana pengembang itu mensosialisasikan transaksi syariah yang menjamin si Pembeli itu terbebas dari riba, gitukan, karena ada muamallah yang harus dia kerjakan, dia tidak punya cash misalnya, dikasih jalan yaitu misalnya transaksi cara syariah dengan murabahah misalnya. Itu, kita mendukung 100 persen, nah karena ini edukasi ke publik dan masyarakat bisa terbebas dari riba sesuai yang sudah diatur oleh Dewan Syariah Nasional-kan. Tiap bank syariah kan punya ketentuan.

Nah, samakan seperti tumbuhnya Bank Syariah juga, karena kekhawatiran ataupun ada aturan di agama Islamnya yang melarang riba, makanya tumbuh Bank Syariah, sampe sekarang kan jalan, ada bank syariah, ada asuransi syariah, gitukan. Terhadap kawasan syariah memang dalam Islam pun tidak diatur harus membuat satu kawasan khusus muslim, ngga ada, karena dari sejarahnya juga kan, Nabi tinggal di Madinah itu plural, makannya karena belum ada juga cantolan Undang-Undang atau peraturan perundang-undangan yang bisa melarang ini kita hanya bisa (memberikan saran) kepada pengembang, masyarakat yang tinggal di sana kita sarankan tetap menjalin hubungan yang harmonis dengan yang berbeda keyakinan, tetap merasa kita dalam satu negara yang dihuni oleh banyak warga yang berbeda keyakinan dan tetap saling menghargai, menghormati, dan menjaga persatuan dan kesatuan sebagai basis (dan) modal sosial yang penting buat bangsa agar tidak bercerai berai karena masalah tadi berbeda keyakinan tadi.

Baca Serial Liputan Konstruktif "Perumahan Syariah di Kota Depok, Surga di Rumah atau Neraka Keberagaman" Lainnya:
•	Perumahan Syariah di Kota Depok, Surga di Rumah atau Neraka KeberagamanAkal Bulus Pengembang Perumahan Syariah di Kota DepokWawancara Mendalam tentang Perumahan Syariah di Kota Depok

Serial Liputan Konstruktif ini merupakan Program Fellowship Jurnalistik untuk Keberagaman dan Toleransi oleh Yayasan Satu Keadilan dan Search for Common Ground
Jurnalis Adi Fauzanto
Diterbitkan: Rabu, 16 November 2022
Pukul: 18.00 WIB
Jurnalis: Adi Fauzanto
Liputan Mendalam

Meti (Dinas Perumahan Kota Depok): Setau Saya di Pemerintahan Kota Depok Tidak Ada Pembedaan (Antara Perumahan Umum dan Perumahan Syariah)


Kebijakan.co.idWawancara Mendalam

Adi Fauzanto-16 Nov 2022 (18.00 WIB)-#36 Paragraf
Perumahan Syariah di Kota Depok

Fenomena perumahan syariah meruak ke pasar baru-baru ini. Terhitung semenjak kebangkitan ‘Islam Politik’ dan menjalar ke berbagai aspek, mini market syariah, hingga perumahan syariah.

Fenomena ini, ditangkap baik oleh pengusaha yang berhasil melihat pasar masyarakat islam yang gandrung akan merek syariah.

Beberapa menunjukan dampak pendek yang buruk, ketidaktepatan atau terjerat penipuan hanya karena ingin mendapatkan rumah bermerek syariah.

Dampak panjang, pengelompokan ini berpotensi menciptakan segregasi, terlebih jika ada situasi yang dapat memicunya, misal politik identititas. 

Dalam perspektif Islam, Al-Quran tidak pernah mengajarkan harus bertetangga muslim atau membuat kawasan khusus Muslim.

Dalam perspektif kebangsaan, sejarah mencatat hampir semua agama terlibat dalam kemerdekaan bangsa Indonesia, dan oleh karenanya bangsa ini didasarkan atas keberagaman.

Menarik dibahas, khususnya di Kota Depok, kota yang menurut Setara Institute tingkat tolerannya rendah, juga terjadi. Terlebih di bawah rezim penguasa yang merupakan ‘Partai Islam’ yaitu PKS.

***

“Saya ingin mencari data perumahan syariah di Kota Depok, melalui Dinas Perumahan. Saya sudah melihat dari data web dinas Perumahan, Si Rumkim dan pengecekan melalui Google (open source) lalu dicocokan, nah saya mau tahu data langsungnya dari Dinas Perumahan (Kota Depok).”

Jadi Dinas Perumahan Kota Depok lebih mengarah ke buat peraturan dan kebijakan perumahan, tupoksi (tugas) nya lebih kesitu, jadi kita minta data juga ke (Dinas) PTSP (Pelayanan Terpadu Satu Pintu) lantai 1, nanti selanjutnya Masnya ke sana aja, karena mereka kan yang mengeluarkan izin, pasti mereka adalah ini datanya.

Sebenarnya yang saya mau tanyai malah gini, kriteria perumahan yang dianggap syariah itu apa? makanya saya baca ini kan. Kalau di kita setau saya di PTSP tidak ada pembedaan, perumahan umum (dan perumahan lainnya). Ya tentunya kalau rumah tinggil izin, lebih dari 5 kapling itu udah dianggap perumahan, tanpa ada pembedaan syariah (dan) non syariah, begitu kalau di Depok ya.

“Untuk mulanya ibu tau ga kira-kira ini munculnya tahun berapa?”

Saya tidak tahu, karena memang tidak ada pembedaan, ini Masnya mengangkat perumahan syariah ya, kriteria perumahan yang masuk syariah apa? begitu aja, dari Mas nya apa? yang menandakan kalau itu Rumah Syariah. Apakah dari nama doang, pasti dari nama doang.

“Hipotesa saya hanya mengincar pasar saja. Makanya saya mencari konfirmasi (ke Dinas) apakah ada kriteria khusus.” 

Kalau di Depok tidak ada.

“Jadi hanya label saja ya?”

Kalau setahu saya, kayanya hanya label deh Mas. Kaya perumahan Mutiara Darrusalam, mungkin kalau secara nama, ‘oh perumahan Islami nih’ tetapi ngga tau islami atau ngganya ya. Kan masyarakat juga lebih tau ya untuk pemasaran rumah seperti itu.

“Kalau Dinas Perumahan sendiri membuat kebijakan terkait perumahan-perumahan syariah?”

 Kalau kita, di kita kan aturan Perda (Peraturan Daerah Provinsi) RP3KP (Rencana Pembangunan Pengembangan Perumahan dan Kawasan Pemukiman), kita membuat aturan dari aturan RP3KP itu, kaya kajian, insentif-insentif perumahan, nanti tahun depan pemanfaatan rumah secara terbatas. Jadi untuk data perumahan kita juga dapat dari PTSP.

“Untuk tata kelola, dan tata perumahan lainnya termasuk PTSP itu?”

 Iya, yang membikin izin PTSP, ya semualah, izin dari awal ya, dari izin pemanfaatan ruang sampai terbitnya IMB.

“Termasuk juga izin lingkungannya? Kan ada Amdal.”

Kalo Amdal beda, dia di Dinas Terkait. Kalo ke banjir dia ke Dinas PUPR (Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat). Terkait rekayasa lalu lintas ke Dishub (Dinas Perhubungan Kota Depok).

“Jadi tidak satu pintu ya?”

Jadi begini, mereka ngurus dulu ke Dinas (masalah) teknis, pas saat pengesehaan site plan (atau pengajuan), udah dilampirkan dokumen itu atas nama site plannya.

Makanya kalau Masnya ini (perumahan syariah) ciri-ciri ini, nggak ada aturan menyebutkan kalau perumahan syariah apa, saya baru denger.

“Sebenarnya tujuan besarnya, menurut Maarif Insitute berpotensi menciptakan pengelompokan etnis atau agama tertentu. Nah itu yang menciptakan potensi konflik. Tidak ada komunikasi, misalkan kita punya tetangga non-Islam, setidaknya kita mengerti cara kehidupan dia dan dia juga mengerti kita. Jadi kalau (perumahan) satu etnis, satu kelompok, satu agama itu, berpotensi (menciptakan konflik), tetapi tidak mesti selalu, tapi berpotensi itu.”

Jadi kalau gitu, harus ngontrol di penjualan (dan) marketingnya dong Mas.

“Iya itu makanya.”

 Jadi kalau di sini itu, setau saya ya nggak ada (pembedaan). Mungkin dari nama doang kali ya. Untuk masuk ke dalamnya bukan ranahnya.

“Ngga ada pengecekan khusus?”  

Iya, nggak ada.

“Benar-benar dikasih pengembang aja gitu ya?”

Iya, kan kita nggak (melakukan pengecekan) ini. Setelah izin mereka jadi, udah mereka jualan.

“Hipotesa saya sih seperti itu. Jadi pengembang ya memanfaatkan masyarakat di Kota Depok atau masyarakat Indonesia pada umumnya, karena nggak hanya terjadi di Kota Depok, tapi di beberapa kota lainnya. Di Bekasi paling banyak.”

Banyak perumahan seperti itu? Berarti mereka mengelompokkan diri.

“Ya, jadi istilahnya kalau dulu itu ada Geger Pecinan. Itu Belanda menciptakan satu kelompok (satu daerah) untuk etnis Cina (atau Tionghoa), nah itu kan sebenarnya gapapa buat pengelompokan. Tapi nanti berpotensi (konflik seperti Geger Pecinan).”

Negatif imbasnya ya.

“Mungkin sekarang gapapa (perumahan Syariah).”

Ya, beberapa tahun ke depan.

“Ya, hipotesa saya awalnya ini dimanfaatin sama pengembang, ya istilahnya buat laku, namanya juga pebisnis. Kemarin juga saya izin melakukan wawancara dengan pengembang, tetapi ditolak juga sama pengembang. Karena pengembang juga punya 2 pilihan, punya (perumahan) konvensional dan (perumahan) syariah. Tetapi ya kaya gitu, tetap saja tujuannya hanya laku, tetapi tidak melihat ke depannya atau potensi-potensi yang kemungkinan bisa terjadi.     

Iya kalau di Depok, misal nih, Mas nya punya tanah 1000 meter mau bikin perumahan, kalau 1000 (meter) kan lebih dari 5 kapling ya, langsung ngajuin aja perumahan, boleh. Jadi kita ngga ada kriteria khusus, gitu.

Makanya saran saya Masnya perlu ke PTSP. Tapi saya rasa sama, tapi coba Masnya nyoba dulu aja. Terus Masnya dari aplikasi si Rumkim, berapa perumahan (yang syariah).

“Ada sekitar 10% sih (perkiraan dari keseluruhan). Jadi setiap kecamatan ada satu-satu dikumpulin. Pertama, yang crosscheck tadi (melalui open source Google) ada 10 atau berapa (dari keseluruhan Kota Depok) lalu dicocokan dengan si Rumkim, sisanya yang menggunakan nama-nama syariah itu (dari Si Rumkim).”  

Jarang sih, paling. Apa Mas nama perumahannya (perumahan syariah) yang (ditemui) Mas?

“Yang tadi, yang Darrusalam itu, sisanya ada di laptop sih.”

Setau saya, yang islami itu aja.

“Dan beberapa pernah saya ke lapangan yang terbaru itu di depannya kelurahan Cimanggis.”

Apa namanya coba?

“Namanya Grand Mutiara Sawarga”

Emang itu islami?

“Iya ya, di banner (spanduk) nya, tulisannya begitu khusus (untuk) muslim, terus saya crosscheck di WA (Whatsapp).”

Tapi itu udah dibangun?

“Lagi on proses (tahap pembangunan), jadi emang marketingnya lagi jalan.”

Kalau itu berarti Masnya, coba ke marketing nanya-nanya, ceritanya mau beli rumah.

“Iya, betul”

Terus konsep mereka?

“Ya, tetap hipotesa saya, tidak ada perbedaan khusus, ya mungkin hanya mengincar segmen pasar masyarakat muslim, tapikan saya ingin menggali apakah ini ada kriteria khusus dari dinas, dari MUI, kalau misalnya makanan (halal) itu dia ada sertifikasinya, yang sekarang sudah dipindah ke Kementerian Agama. Tapi apakah, perumahan syariah ini ada? Harus ada masjidnya, harus ada apanya.”

Kalau kita secara umum sih, kalo perumahan itu harus maksimal 60 persen efektif kaplingnya dari luas tanah, dia harus menyediakan 5 persen untuk taman, 5 persen fasos (fasilitas sosial), sisanya untuk sarana jalan misalnya, RTH (Ruang Terbuka Hijau) menyesuaikan RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah). Jadi ngga secara persis mengatur perumahan syariah.

Masnya ke sana (ke PTSP) cari pembanding. Kan kita aturannya sama, kalau di bawah Perwal (Peraturan Walikota) Site Plan, kita juga sama. Kalau udah izin ya udah, mereka (pengembang) bangun, nanti paling dari bidang pengawasan di bawah crosscheck lagi turun ke bawah bener ngga dia udah dibangun sesuai site plan.   

“Tapi untuk perumahan syariah ini kira-kira akan tumbuh terus?”

Kurang tahu ya, karena kalau di Depok nggak melihat perumahan syariah, mereka (pengembang) asalkan udah sesuai ketentuan aturan tata ruang, (dan) izin (dari) dinas-dinas terkait.

*(26/11/2022) Ada perbaikan nama dari Meta menjadi Meti dari Dinas Perumahan Kota Depok

Baca Serial Liputan Konstruktif "Perumahan Syariah di Kota Depok, Surga di Rumah atau Neraka Keberagaman" Lainnya:
•	Perumahan Syariah di Kota Depok, Surga di Rumah atau Neraka KeberagamanAkal Bulus Pengembang Perumahan Syariah di Kota DepokWawancara Mendalam tentang Perumahan Syariah di Kota Depok

Serial Liputan Konstruktif ini merupakan Program Fellowship Jurnalistik untuk Keberagaman dan Toleransi oleh Yayasan Satu Keadilan dan Search for Common Ground
Jurnalis Adi Fauzanto
Diterbitkan: Rabu, 16 November 2022
Pukul: 18.00 WIB
Jurnalis: Adi Fauzanto
Liputan Mendalam

Loepianto (FKUB Kota Depok): Gimana Kita Mau Bangun Wilayah yang Namanya Syariah? Sedangkan Apa yang Dipraktikin Melenceng dari Syariah. Islam (harus) Menghargai Agama Lain Juga


Kebijakan.co.idWawancara Mendalam

Adi Fauzanto-16 Nov 2022 (18.00 WIB)-#43 Paragraf
Perumahan Syariah di Kota Depok

Fenomena perumahan syariah meruak ke pasar baru-baru ini. Terhitung semenjak kebangkitan ‘Islam Politik’ dan menjalar ke berbagai aspek, mini market syariah, hingga perumahan syariah.

Fenomena ini, ditangkap baik oleh pengusaha yang berhasil melihat pasar masyarakat islam yang gandrung akan merek syariah.

Beberapa menunjukan dampak pendek yang buruk, ketidaktepatan atau terjerat penipuan hanya karena ingin mendapatkan rumah bermerek syariah.

Dampak panjang, pengelompokan ini berpotensi menciptakan segregasi, terlebih jika ada situasi yang dapat memicunya, misal politik identititas. 

Dalam perspektif Islam, Al-Quran tidak pernah mengajarkan harus bertetangga muslim atau membuat kawasan khusus Muslim.

Dalam perspektif kebangsaan, sejarah mencatat hampir semua agama terlibat dalam kemerdekaan bangsa Indonesia, dan oleh karenanya bangsa ini didasarkan atas keberagaman.

Menarik dibahas, khususnya di Kota Depok, kota yang menurut Setara Institute tingkat tolerannya rendah, juga terjadi. Terlebih di bawah rezim penguasa yang merupakan ‘Partai Islam’ yaitu PKS.

***

“Saya sedang membahas tentang Perumahan Syariah di Kota Depok, berangkat dari Riset Setara Insitute. Saya ingin tahu pendapat dari FKUB Kota Depok, sebagai salah satu pihak yang menjaga kerukunan di Kota Depok?”

Pengurus FKUB setidaknya mempunyai wawasan kebangsaan yang tinggi. Kedua, mengenai toleransi dan kerukunan. Sekarangkan ketuanya Habib Muchsin Ahmad Alatas, sudah dua periode itu 2012 sampe 2017 (lalu) 2017 sampe 2022, sebelumnya alm. Pak Rustadi. Kita mulai dari pertama (FKUB) dari Forum Kota itu, kita ambil (sepakati) secara proporsional, kita ambil dari jumlah penduduk penganut agama, ternyata Islam terbanyak, kemudian kedua Kristen, ketiga Hindu, kemudian Katolik. Jadi Islam itu dulu dapet 11 (orang pengurus) perwakilan, kemudian Kristen Protestan dapat 2 (orang pengurus), KWI, dan lain-lain dapat 1-1, totalnya 17 orang, itu ketentuan dalam PBR No. 9 dan No. 8 bahwa tingkat daerah totalnya 17. Provinsi 21 (orang).

Tergantung wilayahnya mana, kalau di Sulawesi, Kota mana? Kota Tomohon, mayoritas Kristen, kemudian Katolik, kemudian Hindu, Islam sedikit di sana itu. Saya kan pernah ke Minahasa Utara, saya waktu itu berada di salah satu pantai, Islam hanya satu kampung (di sana), jadi mereka tidak bisa terwakili (dalam FKUB Kota tersebut).

“Tetapi mereka dapat struktural FKUB di sana?”   

Tidak dapat

“Persyaratan minimalnya apa kalau boleh tau Pak?”

Ada jumlah tertentu, dia cuman satu kampung (merujuk kampung Muslim di Minahasa Utara)  satu masjid aja. Nah kalau Hindu banyak di sana. Budha juga sedikit, Budha gadapet juga (perwakilan di FKUB) di Tomohon itu, Minahasa Utara.

“Kasusnya (contoh) mungkin sama di Bali, ketika Hindu yang banyak”

Hindu mayoritas, kemudian ada Islam, Kristen, Katolik, semua sedikit-sedikit. Nah itu kalau kita bicara komposisi.

Di Depok ini, sebelum kita ke arah Syariah ya (perumahan syariah). Di Depok, jumlah Islamnya banyak dengan jumlah penduduk 2,3 juta. Cuma untuk kalau civil society artinya kerukunan umat, terpelihara. Jadi dikatakan Depok kota Intoleran sama Setara Institute, itu memang bukan menyangkut civil society (kerukunan umat).

Nah ini saya mau mengadakan seminar itu, karena Wali Kota bilang kerukunan (umat) sama toleransi itu beda. Justru kerukunan itu sejajar dengan toleransi, toleransi sejajar dengan kerukunan, itu setara (kerukunan dan toleransi) itu.

Nah yang dimaksud dengan surveinya Setara Institute itu, kalau menurut saya government regulation dan government wisdom yaitu kebijakan pemerintah dan aturan pemerintah.

“Yang dianalisis memang data pemerintah, bukan keadaan situasi (masyarakat)” 

Bukan, kebijakan dan regulasi di Kota Depok ini intoleran. Kasih contoh, rumah ibadah di segel, Ahmadiyah itu. Padahal Ahmadiyah itu berpegang pada SKB 3 Menteri yang diterbitkan pada tahun 2008, itu sudah selesai. Mereka tidak boleh menyebarkan agamanya, kita tidak boleh mempersekusi mereka. Kalau mereka menyebarkan, urusannya hukum, kalau kita (mempersekusinya) hukum, itu selesai. Nah ini masjidnya di Segel, jadikan itu termasuk kebijaksanaan (kebijakan publik) yang intoleran.

“Dari atas ya Pak?”

Dari Pemerintah Kota. Kedua, terjadi diskriminasi masalah pendidikan agama, itu di SMA Negeri 2 (Kota Depok). Itu agama islam dapat ruangan di Kelas, agama nasrani di lorong. Belakang ini (peristiwa baru-baru ini). Itukan intoleran jadi, ya gak? Ah itu apapun alasannya tidak bisa dibiarkan. Karena semua ini bapaknya wali kota sama wakil wali kota, bagaimana eksekutif dan legislatif.

*Menunjukan video rapat pembahasan terkait guru agama non-muslim di DPRD Kota Depok*

“Berarti ini kebijakan dari daerahnya (pemerintah daerah) ya?”

Ini kebijakan dari pemangku jabatan, itu siapa? kepala sekolahnya. Kepala sekolahnya siapa yang bertanggung jawab? Disdik (Dinas Pendidikan Kota Depok). Dinas pendidikan siapa yang bertanggung jawab? Wali Kota. Kenapa terjadi kaya begini? Kalau terjadi masalah, jangan jadi pembiaran, ya gak? Jadi ini dengan kata lain pasrah, nggak ada inisiatif namanya. Nggak boleh, dia (Pemerintah Kota) harus berinsiatif, kenapa kok kelompok ini sampai ga bisa dapat ruangan (dan guru), kalau SMA itu aturan Jawa Barat (Pemerintah Provinsi), tapi dia (Pemerintah Kota) harus berusaha, nggak boleh (kaya gitu).

“Tetapi sebenarnya ini semacam (fenomena) gunung es sih Pak, kebetulan saya SMA di Jakarta, dan memang (ada) kesulitan untuk menggunakan ruangan-ruangan bagi agama Kristen (dan lainnya).”

Jadi selain ruangan itu, (ketiadaan) guru. Kalau guru pendidikan Islam ada gurunya. Jadi dia (guru agama Kristen) harus yang belajar Kristologi (bukan guru yang belajar jurusan di luar jurusan agama).

“Jadi ya bukan guru lain (spesialisasi ilmu pengetahuan diluar agama), kebetulan (agamanya) Kristen dijadiin guru agama Kristen”

Itu masih lumayan masih ada. Kalau tidak ada. Di sini ini (Kota Depok) ada relawan dari penyuluh-penyuluh agama Protestan itu dari gereja-gereja (perkumpulan gereja), itu disuruh, mereka dapet (gaji) dari gereja. Itu harusnya diambil digaji oleh sekolah, lalu digajilah sesuai UMR.

“Ya setara guru honorer Ya”

Iya, harusnya gitu. Gimana kita mau bangun wilayah yang namanya syariah? Sedangkan apa yang dipraktikin melenceng dari syariah. Islam menghargai agama lain juga. Iya ga? Iya kan? Memfasilitasi (beribadan agama lain).

Saya aja kemarin masuk gereja, “wah udah jadi Katolik” (gambaran orang yang menuduh kepadanya) inikan kurang ajar. Saya itu sering ke gereja-gereja di Kota Depok.

Harusnya mereka itu menyadari (bicara kepada yang menuduh). Kenapa saya begitu? Saya itu menjaga kerukunan umat, walaupun purnabakti kita habis (secara periode seharusnya sudah selesai). Tapikan jiwa kita perasaan kita, mereka itu (agama lain) punya hak konstitusi yang sama sebagai anak bangsa, walaupun keyakinan aqidahnya beda, saya tidak mengurus itu, marilah kita berjalan bersama-sama.

Saya tahun 2018, di Depok itu ngadakan pawai budaya lintas agama, wah gede Mas, kebetulan pas ulang tahun kementerian agama.

*terputus*

“Tadi, sampai memfasilitasi setiap warga Kota Depok untuk beribadah, untuk berkeyakinan”

Ya, kan kita ini jati diri bangsa Indonesia itu bangsa yang beragama, yang dituangkan sila pertama Pancasila. Menjunjung tinggi nilai-nilai agama. Ini kadang-kadang orang keliru lagi, kalau saya ngafal Pancasila berarti mundur lagi ke jaman 70an, jaman Pak Harto itu, kalau sekarang gak paham, bodoh.

Padahal kami sosialisasi mengenai kerukunan warga Kota Depok, dari sekolah, seluruh 63 kelurahan, dan 11 kecamatan kita adakan (sosialisasi). Dikelurahan kita suruh panggil RT/RW, dikecamatan kita suruh (panggil) lurah-lurah, LPM-LPM (Lembaga Pemberdayaan Masyarakat) itu. Lah, kalau lurahnya, nggak sampai 1 tahun (atau) 6 bulan diganti, ini bingung lagi. Kami itu ada biaya tersendiri buat adakan itu. Karena terus terang, pejabat dari tingkat kelurahan hingga (pemerintahan daerah) depok ini dikondisikan berbuat jahat, bener. Jadi bagaimana saya bisa mengkritik Kota Depok, diserang saya, yang nyerang bukannya..

*menunjukan foto chat kepada Wakil Wali Kota Depok tentang kondisi anak-anak kecil yang tidak sekolah di Kota Depok kemudian mengemis di jalan dan warung-warung, serta mempertanyakan Kartu Depok Sejahtera *            

“Ada masalah baru juga Pak, saya baru baca itu di Kota Depok, sekolah negerinya nya termasuk sedikit”

Kalau saya bukan masalah sedikit, sekolahan itu seharusnya di ngga bayar, dan mereka itu tanggung jawab negara lah, kan ada kartunya KDS, Kartu Depok Sejahtera itu, ke mana? Itu 150 Miliar. Balik-balik ke kelompoknya pejabat-pejabat itu.

‘Jangan nyirnyirin pemerintah’ (mencontohkan gaya bicara orang), gimana? Walikotanya banyak pencitraan. Apalagi kalau walikota lewat (naik mobil) ngeng ngong ngeng ngong. Saya pernah di sini (menunjuk di jalan depan Cafe Zayn) tak parkir motor tengah jalan (untuk menghalangi), saya bilang ‘Minggir, ini macet jalan’. Inikan gendeng. Mau ke mana (menunjuk ke Wali)? Paling cuma mau dolan (main) ke pendukung-pendukungnya.      

Majelis Ulama (MUI Kota Depok) udah dikuasain, sekarang AD/ART nya MUI itu hanya sampai tingkat kecamatan. AD/ART MUI Pusat nggak ada sampai tingkat kelurahan (MUI Kota Depok sampai tingkat kelurahan). Yang ngatur ini bukan ketua MUI-nya, walikota nya yang ngatur. Ini udah ngga bener semua ini. Nah di MUI ini, ada orang dari MUI yang juga dari struktural partai masuk, cari kendaraan partailah, jadi duduk (anggota) dewan (DPRD Kota Depok). Rusak negara ini Mas. MUI dapat dari APBD (Kota Depok) tahun ini 1,5 Miliar, PGI nggak dikasih, semua organisasi (keagamaan) lainnya nggak dikasih, itu setiap tahun 1,5 Miliar. Inikan sebagai mata pencaharian. 

“Kalau yang saya tahu dulu MUI itu dapat dananya dari sertifikat halal itu”

Lepas dari itu Mas, MUI ini lembaga agama, bukan untuk nyari duit.

“Sebenarnya fungsinya untuk Dakwah”

Iya.

“Jadi sebenarnya perumahan syariah ini, saya kurang tahu kemunculan awalnya (di Kota Depok), kalau di Bekasi itu 2017-2018 sebelum-sebelumnya saya belum pernah melihat, fenomena ini kan termasuk baru, nah menurut Bapak bagaimana perumahan syariah ini?”   

Perumahan syariah ya, Di depok ini ada satu perumahan yang selain orang Islam ga boleh, depannya telaga Golf yang ada masjidnya itu. Itu kalau bukan agama Islam gaboleh tinggal. Itu benar yang punya arab. Pertama kali dia bangun masjid (lalu perumahan). Cuma yang saya sayangkan lingkungannya kurang mendukung. Kalau mau bangun lingkungan syari, wilayahnya harus benar-benar syari juga. Contoh, mau bangun perumahan di Jombang, ah itu mendukung, ada sekolahnya (pesantren). Kalau yang ini ngga mendukung, hanya rumahnya saja.

Kalau kita bicara satu komplek syariah, itu harus bener-bener semuanya, bukan merek aja, tetapi di situ ada madrasah (sekolah), tempat ibadah, nah itu harus syari, ganti itu Indomaret jangan di situ, yang bener syari itu Padang Sumatera Barat, nggak ada Indomaret sama Alfamaret, adanya kaya gitu tapi punyanya orang Padang, orang Islam. Pernah Matahari (Departemen Store) hanya buka 2 bulan di sana, jadi orangnya bagus, apa yang ada di Matahari di depan jual juga, barang sama harganya beda, jadi pada beli di situ, di dalam orang hanya lihat saja.

Kalau di Depok ini ya dibangun perumahan syariah hanya merek saja. Kecuali kalau dia bangun perumahan syariah dilengkapi masjid, kemudian ada pendidikan mulai dari PAUD ada Madrasah.

“Jadi ditargetin hanya sebagai banyak yang beli ya?”

Iya. Arahnya ke ekonomi. Jadi (seharusnya) itu nanti ada ekonomi syariah, ada di sini, jangan koperasi 212 ya, itu udah nggak jalan tuh. Di sini ada koperasi bakti karya.

Baca Serial Liputan Konstruktif "Perumahan Syariah di Kota Depok, Surga di Rumah atau Neraka Keberagaman" Lainnya:
•	Perumahan Syariah di Kota Depok, Surga di Rumah atau Neraka KeberagamanAkal Bulus Pengembang Perumahan Syariah di Kota DepokWawancara Mendalam tentang Perumahan Syariah di Kota Depok

Serial Liputan Konstruktif ini merupakan Program Fellowship Jurnalistik untuk Keberagaman dan Toleransi oleh Yayasan Satu Keadilan dan Search for Common Ground
Jurnalis Adi Fauzanto
Diterbitkan: Rabu, 16 November 2022
Pukul: 18.00 WIB
Jurnalis: Adi Fauzanto
Liputan Mendalam

Abdul Rohim (Maarif Institute): Dalam Al-Quran Tidak Ada Segregasi, Tidak Ada Kebencian, Tidak Ada Orang Tidak Mau Bertetangga Hanya Karena Berbeda Agama


Kebijakan.co.idWawancara Mendalam

Adi Fauzanto-16 Nov 2022 (18.00 WIB)-#49 Paragraf
Perumahan Syariah di Kota Depok

Fenomena perumahan syariah meruak ke pasar baru-baru ini. Terhitung semenjak kebangkitan ‘Islam Politik’ dan menjalar ke berbagai aspek, mini market syariah, hingga perumahan syariah.

Fenomena ini, ditangkap baik oleh pengusaha yang berhasil melihat pasar masyarakat islam yang gandrung akan merek syariah.

Beberapa menunjukan dampak pendek yang buruk, ketidaktepatan atau terjerat penipuan hanya karena ingin mendapatkan rumah bermerek syariah.

Dampak panjang, pengelompokan ini berpotensi menciptakan segregasi, terlebih jika ada situasi yang dapat memicunya, misal politik identititas. 

Dalam perspektif Islam, Al-Quran tidak pernah mengajarkan harus bertetangga muslim atau membuat kawasan khusus Muslim.

Dalam perspektif kebangsaan, sejarah mencatat hampir semua agama terlibat dalam kemerdekaan bangsa Indonesia, dan oleh karenanya bangsa ini didasarkan atas keberagaman.

Menarik dibahas, khususnya di Kota Depok, kota yang menurut Setara Institute tingkat tolerannya rendah, juga terjadi. Terlebih di bawah rezim penguasa yang merupakan ‘Partai Islam’ yaitu PKS.

***

“Bagaimana Mas Abdul Rohim menanggapi riset Setara Institute yang menunjukan bahwa Kota Depok merupakan kota dengan toleransi yang terendah? Kebetulan Maarif Institute juga pernah melakukan Penelitian tentang Indek Kota Islami tahun 2016. Dan melihat munculnya fenomena perumahan syariah?”

Penelitian Indeks Kota Islami mungkin udah tidak relevan lagi, sekarang dinamis banget ya, akan tetapi secara garis besar mungkin belum banyak berubah. Saya lupa, Depok itu masuk termasuk kota yang toleran atau intoleran (merujuk kepada Penelitian Maarif Institute tentang Indeks Kota Islami tahun 2016).

Tetapi memang kota yang pada umumnya dipimpin oleh partai tertentu yang mempunyai aspirasi politik keagamaan, punya kecenduruang  –bukan intoleran atau belum tentu intoleran— menerapkan kebijakan pada aspek di wilayah otonomi daerah, seperti pendidikan, tata kota, dll, karena itu kebijakan pemerintahan daerah, termasuk di dalam pengaturan tata ruang.

Berkaitan dengan cluster-cluster syariah itu, kaitannya dengan kebijakan tata ruang. Jika dikaitkan dengan Buya (Ahmad Syafii Maarif), pemikiran Buya tidak ada yang lepas dari Al-Quran, dan Buya selalu menekankan Al-Quran tidak pernah mengajarkan kebencian pada siapapun, bahkan Tuhan (melalui firmannya) tidak ada sedikitpun penegasan menciptakan segregasi muslim dan non-muslim, bahkan terhadap pada mereka yang tidak mempercayai Tuhan tidak boleh mengajarkan (melakukan) pembecian, kecuali mereka yang memerangi kita (Islam).

Dan jika memerangi kita, tidak berkaitan dengan agama, karena kebencian tidak pandang agama, orang yang menebar kebencian harus kita lawan, apapun agamanya. Tetapi mereka yang tidak punya salah kepada kita, berlaku ketentuan umum jika kita membunuh mereka sama dengan membunuh seluruh umat manusia, kan ajaran di Al-Quran seperti itu.

Dan perintah di Al-Quran untuk mengenal satu sama lain itu umum, tidak hanya kepada muslim atau sesama islam saja. Dan perintah kita untuk berbuat baik kepada tetangga itu berlaku umum, tidak hanya kepada yang spesifik saja seperti kepada muslim saja, tidak ada. Bahkan, ketika memasak masakan itu diperintahkan oleh Nabi (Muhammad) memperbanyak kuahnya, supaya kamu (yang memasak) bisa berbagi kepada tetangga. Nabi mengatakan juga, tidak beriman seseorang yang kekenyangan, tetapi tetangganya kelaparan. Dan itu tidak ada spesifik tetangganya muslim, non-muslim, bahkan orang yang tidak percaya Tuhan.

Dan Buya memesankan untuk membuka diri, untuk berhubungan dengan siapapun, bahkan dia (Buya) dalam hidupnya tidak pernah merasa canggung, tidak punya hambatan psikologis bergaul dengan siapapun, bahkan kepada orang yang secara pemikiran Buya tolak, seperti Abu Bakar Ba’asir dia temani dan dia kunjungi.         

“Melihat Fenomena Perumahan Syariah yang baru muncul akhir-akhir ini, di Kota Bekasi misalnya perumahan syariah muncul di tahun sekitar 2016-2017. Kemunculan ini mungkin juga disebabkan kondisi politik ketika itu (Pilkada DKI) atau faktor pebisnis yang memanfaatkan ceruk pasar muslim sebagai target bisnis?”

Ya memang itu berlaku hukum pasar. Pasar itukan pragmatis ya, sesuai dengan demand kebutuhan masyarakat, ya. Sama dengan ketika muncul gerakan anti riba, maka Bank Syariah itu menjadi lahan bisnis dan bukan hanya mereka yang muslim, katakanlah semua Bank Konvesional karena ada tuntutan dari pasar maka membuka cabang syariahnya. Mungkin juga cluster-cluster (perumahan) syariah seperti itu.

Akan tetapi, jika kita berambisi dalam melakukan riset atau apapun ya, memang semua orang bisa punya aspirasi, termasuk aspirasi politik dalam kehidupan sehari-hari, akan tetapi kalau aspirasi punya potensi untuk menumbuhkan segregasi di tengah masyarakat, kalau bisa sih kita (Maarif Institute) lawan.

Karena apalagi dengan mengatas namakan Islam itu bertolak belakang dengan prinsip-prinsip Islam sendiri, seperti yang saya sampaikan tadi, dalam Al-Quran tidak ada segregasi, tidak ada kebencian, tidak ada orang tidak mau bertetangga hanya karena berbeda agama. Yang harus kita lawan itu adalah kebencian, dan kebencian itu tidak pandang agama, orang yang benci kepada kita ya harus kita lawan, apapun agamanya.

Jadi dalam Al-Quran itu, ayat-ayat vital atau ayat-ayat perang itu, selalu diawali oleh perumushan dari pihak lawan, tidak ada perang itu di awali atau inisiatif dari umat islam, itu dalam Al-Quran ya.

Bahwa dalam sejarah itu banyak, kekhalifafan atau kesultanan secara ekspansif itu hal lain, dan itu banyak yang dikritik juga oleh Buya dalam buku-bukunya, soal bagaimana Islam itu di bawah kekuasaan para khalifah Islam yang membuat Islam tidak mencerminkan keanggunan, Buya menyebut itu, ‘daki-daki’ khilafah yang menjadi wajah yang menanggu keanggunan wajah Islam, antaranya karena khalifah melakukan ekspansi secara agresif apakah lawan itu melakukan penyerangan atau tidak, padahal dalam al-Quran itu tidak ada perintah seperti itu.

Cara berdakwah Nabi itu bukan dengan kekerasan, hanya dengan mengirimkan surat, kalau responnya baik dari surat itu, apakah lawan (raja-raja non-Muslim) mau mengikuti ajaranya dia atau tidak, kalau sambutannya baik, Nabi baik juga, seperti kasus raja Mesir ketika itu, raja Mesir mengirimkan hadiah kepada Nabi, respon Nabi juga baik akhirnya berhubungan baik.

Dan jangan lupa Nabi dalam sejarahnya sebagai pedagang, yang memperdagangkan kekayaan istrinya Khadijah, ketika dia berdagang tidak pernah segregatif.

“Malah menunjukan etika berkemajuan, ada juga kisah ketika pedagang lain melakukan hiburan-hiburan, dia berjalan duluan untuk kembali pulang”

Dan ketika Nabi hijrah ke Tha’if, itu kan dilempari batu dan segala macam, Malaikat yang menyertai Nabi, yang kasian kepada nabi, itu minta “gimana kalau kita balas saja”, Nabi gamau kamu (malaikat) membalas itu, karena kata Nabi mereka itu tidak tahu dan tidak paham, kalau mereka sudah paham mereka tidak akan melakukan seperti itu. 

“Ini menarik mengenai etika bisnis, berarti untuk pengembang diperumahan-perumahan syariah ini sekiranya apa yang perlu dipahami lebih dalam dari Islam itu sendiri?”

Jadi kan gini, ya memang mestinya, bisnis itu kan tidak liberal dalam pengertian ‘bebas tanpa nilai’ hanya semata-mata berorientasi kepentingan keuntungan materil. Kalau mereka memegang etik, sebagai seorang muslim, maka etika yang dikembangkan etika yang diajarkan oleh Al-Quran dan Hadist, harus baik kepada tetangga. Kenapa? Kalau itu dibiarkan memberi ruang kepada segresasi

“Sebagai pemicunya (segregasi)”

Implikasinya apa nanti? sudah pasti mereka yang berpikir seperti itu, pada saat kelompok agama lain saat ingin membangun rumah ibadah, sudah pasti akan ditolak, dan itukan tidak baik. Karena secara etis tidak sejalan dengan nilai nilai yang diajarkan Al-Quran. Dalam konteks keindonesiaan yang terdiri dari berbagai bangsa, suku, agama, dll, yang sejak jaman dahulu kenapa kita ada? Kenapa kita merdeka? Karena semangat kebersamaan suku dan agama, ya sumpah pemuda (yang baru saja dirayakan). Kalau tidak ada itu, Indonesia akan terdiri dari kerajaan-kerajaan kecil, ntah didasarkan pada basis suku, ras, atau agama. Dulukan kerajaan kan itu basisnya (..menyebutkan contoh kerajaan..), karena kepentingan bersama kemudian mereka melebur menjadi Indonesia.     

“Fenomena ini tumbuh di daerah perkotaan, misal tumbuh Yogyakarta, Bekasi paling banyak secara data statistik, Depok, Jakarta –yang mungkin agak jarang karena rumah dan tanahnya mahal–, (secara umum) yang banyak ya di pinggiran Jakarta. Bagaimana ketika masyarakat perkotaan mengenal agama secara eksklusif, akan sangat berbahaya atau tidak? Dan bagaimana dampaknya ke depan?”

Dalam kondisi normal terlihat biasa saja, tetapi karena ada potensi (berbahaya atau membahayakan) maka potensi itu akan muncul jika ada pemicunya. Apa pemicunya? Permasalahan politik misalnya. Ketika terjadi ada gesekan politik, apalagi politik itu dengan menggunakan isu agama, maka potensi gesekan akan mudah mencuat di permukaan.

Seperti yang terjadi saat Pilkada DKI 2017, mungkin kalau tidak ada pemicunya, potensi itu akan menjadi ‘angin lalu’ atau ‘api dalam sekam’, ‘api dalam sekam’ kalau tidak ditiup angin maka tidak akan berbahaya, kalau tertiup angin dia akan menyala, dan kalau kena hujan bisa mati. Artinya potensi itu bisa hilang pada saat muncul kebijakan politik yang bisa menumbuhkan kebersamaan, bisa mengikis segregasi antar berbagai kelompok beragama. 

“Mungkin ini yang terakhir, tadi Mas Rohim sempat membahas sejarah (Islam) panjang lebar, aku juga sempat mengikuti, ada faktor ketika Golden Age Islam ketika abad pertengahan, Islam membuka diri ke semua peradaban, misalkan dari Cina, India, Yunani, dan Romawi (yang berkuasa ketika itu) hasilnya begitu besar dampaknya, terbuka dan membuka diri untuk mempelajari hal lain, yang juga disinggung juga oleh Ahmet Kuru melalui Buku barunya (Islam, Otoritarianisme, dan Ketertinggalan). Ketika Islam membuka diri, syarat membangun peradaban dengan membuka diri dengan toleransi, dia harus menerima, tidak mungkin mengeksklusifkan diri. Bagaimana sejarah Islam yang sebenarnya sangat mahal dan harus dipelajari kembali?”

 Saya bukan ahli dalam sejarah Islam, tetapi memang ada 2 wajah kekhalifan baik dari masa Ummayah maupun Abbasiyah, 2 wajahnya bagaimana? Ada wajah politik ekspansionis, tetapi juga ada khalifah-khalifah tertentu yang punya visi keilmuan, misalnya memerintahkan kepada ahli memberikan gagasan untuk melakuan penelitian, menerjemahkan buku-buku, dan lain-lain. Itu semuanya hancur pada saat penyeburan tentara Mongol ke Baghdad, buku-buku, khazanah keilmuan dibakar habis, sisa-sisanya itu yang ada di Turki Utsmani, awalnya mereka kelompok kecil yang mendirikan kerajaan di sana, dari yang minor (minoritas) sebenarnya, kalau peradaban besarnyakan ada di Baghdad, yang hancur.

“Sama di Cordova (Cordoba, Spanyol)”

Nah itukan hanya sebagian kecil saja (buku-buku, khazanah) yang terselamatkan, ntah karena dibawa. Itu perjalanan sejarah peradaban, tetapi memangkan sisi-sisi politiknya itukan jauh lebih kuat, kenapa? Karena dari sekian banyak khalifah (baik dari masa Ummayah dan Abasiyah) itukan hanya satu-dua yang punya visi keilmuan membangun peradaban.

“Salah satunya, Harun Al-Rasyid, dan ketika anaknya selesai ya sudah, selesai semua. Ketika peradaban berpindah, eropa membuka diri, menerjemahkan karya-karya Islam. Sebaliknya Islam mengalami ortodoksi (nilai-nilai Agama) kalau menurut Ahmet Kuru, ketika penelitian dan sebagainya mulai turun, akhirnya muncul eropa dengan Renaissance nya.”    

“Tetapi yang bisa diambil untuk fenomena perumahan Syariah, mungkin ini awalnya dan tidak akan menyambung ke sana, tetapi ketika ada faktor kecil (lalu) melebar-melebar paham-paham eksklusif akan sulit membangun Indonesia, membangun Islam.”

Dalam konteks Indonesia sebenarnya saya kira Buya juga pernah menyinggung tentang trauma kegagalan Islam Politik, kan dulu ada aspirasi untuk mendirikan negara Islam dan aspirasi itu sempat muncul juga dalam sidang-sidang konstituante, itu dibahas dalam disertasinya Buya, (membahas) siapa yang punya aspirasi itu. Upaya untuk mencari jalan dari munculnya aspirasi itu, menjadikan Indonesia sebagai negara yang mempunyai kebijakan yang sedikit ambigu sebenarnya. Ambigunya bagaimana? Jadi satu sisi mengadopsi demokrasi, tetapi disisi lain ada aspek-aspek keagamaan yang juga menjadi bagian dari politik di Indonesia. Misalnya dengan munculnya Kementerian Agama, perundang-undangan menyangkut agama, dan implikasi yang paling nyata itu dalam dunia pendidikan, kita mengenal dikotomi sekolah agama dan sekolah umum, padahal sebenarnya semua ilmu itu sesuai dengan aspirasi (agama) dan sepanjang ilmu itu bermanfaat untuk kemanusiaan, jadi itu sesuai dengan semangat Al-Quran.

Jadi tidak ada (perbedaan) ini ilmu agama, ini ilmu umum. Semua ilmu ya sesuai dengan semangat keagamaan. Di situlah mengapa Buya tidak mendikotomikan (memisah) antara Islam dan Kemanusiaan. Kemanusiaan ya Islam, Islam ya Kemanusiaan. Semua ilmu pengetahuan, sepanjang itu bermanfaat untuk kemanusiaan, maka itu sebenarnya ya itu Islam juga.

Tadi ya yang disebut jaman “Renaissance” Islam itukan ketika para ilmuwan, misalkan Ibnu Sina dalam bidang kedokteran, Ibnu Rusyd, pokoknya ilmuwan-ilmuwan pada saat itukan karenai lmuwannya Muslim, (lalu) kita klaim sebagai peradaban Islam, padahal sebenarnya ya kalau dalam kategorisasi yang sekarang ini (termasuk) ilmu umum, makanya kategorisasi Islam itu tidak relevan sebenarnya Ahistoris kalau merujuk kepada masa kejayaan Islam.

Nah dikotomi yang terjadi di Indonesia antara Islam dan Umum kemudian berimplikasi kebanyak hal, awalnyakan bermula dari pendidikan, dalam kehidupan sehari-hari kita akhirnya dihadapkan pada 2 dikotomi itu. Nah itu sebenarnya yang mencoba dilawan oleh Buya, dikotomi-dikotomi semacam itu, makanya dia (Buya) ada tiga chandra: Keislaman, Kebangsaan atau Keindonesiaan, dan Kemanusiaan. Nah itu satu tarikan nafas, kalau saya sering bilang itu bukan pilihan ganda, ketika kita memilih satu, lalu mengabaikan yang lain, tidak seperti itu. Itukan secara tidak langsung Buya ingin mencoba menghilangkan dikotomi-dikotomi itu, karena sama sekali tidak produktif. Bahkan untuk kalangan tertentu bisa menimbulkan segregasi itu, padahal urusan kemanusiaan itu ya urusan Islam juga, misalnya, berbagi dengan tetangga, bagaimana memelihara lingkungan agar tetap bersih, kalau dalam bidang politik ya bagaimana membangun politik yang berkeadilan, yang bebas dari korupsi, itu kan ajaran Islam sebenarnya, tetapi dalam konteks keIndonesiaan itu dianggap dalam aspirasi umum dan sebenarnya itu aspirasi Islam banget.

Karena Al-Quran itu sangat menekankan kepada keadilan, kebersihan, integritas, kejujuran, dll.

“Kata terakhir dari Mas Abdul Rohim untuk fenomena perumahan syariah, jika ada”

Fenomena itu muncul karena ada kepentingan politik dan ekonomi, tentu saja. Nah kepentingan politik berkaitan dengan aspirasi ‘Islam’ dalam tanda petik, yang dimaknai secara sempit. Karena Islam yang sebenarnya tidak mengenal adanya segregasi-segregasi seperti itu. Islam itu menawarkan keadilan, menawarkan kebersamaan kepada semua orang, tidak terbatas pada (umat) Islam. Bahkan kata Buya, kepada mereka yang tidak percaya Tuhan, itu kita harus berbuat baik.

Nah yang berkaitan dengan ekonomi, mereka (pengembang perumahan) melihat adanya demand (permintaan) pasar. Jadi kalau permintaan pasar itu tidak ada, pebisnis perumahan tidak mungkin kan membangun itu (perumahan syariah).

Nah yang kedua, dalam konteks keIndonesiaan, sebenarnya fenomena ini harus kita ‘kalau kita tidak lawan’ setidaknya menjadi tantangan bagi kita untuk memberikan pemahaman yang lebih subtantif tentang Islam di Indonesia, (Islam) yang orisinil dalam pengertian Islam yang adil, toleran. Karena banyak juga orang yang mengartikan orisinil mengembalikan Islam ke abad 7, itu juga tidak benar.

Orisinalitas islam justru pada semangat kontekstualnya, karena ayat-ayat al-quran itu turun sesuai dengan konteks zamannya, artinya apa? artinya kita tidak bisa melepaskan ayat-ayat atau hadist itu dengan konteks zamannya. Kita tidak bisa menafsirkan sesuai dengan pada saat itu (abad ke-7)  karena kehidupan kita (saat ini) sudah berbeda. Karena ada dua (hal): karena ada sesuatu yang Qot’i yang tidak bisa diubah kapanpun dan di manapun, dan itu ajaran. Ada yang kontekstual, bagaimana mengamalkan ajaran itu. Sebagai contoh misalnya, tentang ajaran Sholat, Sholat itu mutlak, wajib, di manapun kapanpun harus kita lakukan, tetapi bagaimana kita melaksanakan sholat itu kontekstual, kalau kita dalam perjalanan bisa kita jama’ bisa kita gabungkan antara waktu yang satu dengan yang lain.

Makanya saya pribadi dalam menafsirkan ayat-ayat tentang menutup aurat juga sama, menutup aurat itu betul ajaran Islam yang mutlak, tetapi bagaimana menutup aurat itu kontekstual, karena dalam ayatnya sendiri, dalam Al-Quran itu kan kontekstual juga, kita harus menutup aurat itu di hadapan siapa, boleh membuka aurat itu di hadapan mahram kita, anak, istri, sodara-sodara, ibu, bapak, itu kan boleh, artinya tidak mutlak dong. Kemudian kepada orang lain pun boleh, seperti apa? orang tua dan anak.

Baca Serial Liputan Konstruktif "Perumahan Syariah di Kota Depok, Surga di Rumah atau Neraka Keberagaman" Lainnya:
•	Perumahan Syariah di Kota Depok, Surga di Rumah atau Neraka KeberagamanAkal Bulus Pengembang Perumahan Syariah di Kota DepokWawancara Mendalam tentang Perumahan Syariah di Kota Depok

Serial Liputan Konstruktif ini merupakan Program Fellowship Jurnalistik untuk Keberagaman dan Toleransi oleh Yayasan Satu Keadilan dan Search for Common Ground
Jurnalis Adi Fauzanto
Diterbitkan: Rabu, 16 November 2022
Pukul: 18.00 WIB
Jurnalis: Adi Fauzanto
Liputan Mendalam

Bait Keberagaman Musik Indonesia


Kebijakan.co.idLiputan Lagu

Adi Fauzanto-26 Sept 2022 (06.00 WIB)-#50 Paragraf
Bait Keberagaman Musik Indonesia

Cara musik berbicara atas penyeragaman. Cara musik menyemai keberagaman melalui bait dan nada.

***

Daftar Lagu

Jakarta, Kebijakan.co.id Penyelesaian konflik dihadapi dengan konflik, nyaris tidak ada selesainya. Jalan panjangnya ialah gerakan budaya –atau cara manusia berpikir dan bertindak— di masyarakat. Beberapa masalah lainnya, karya seni –sebagai perpanjangan tangan budaya–, mengagumi selera pasar. Cinta, cinta, dan cinta.

Kejenuhan ini melahirkan karya seni, musik di dalamnya, memberikan satu terobosan, menyuarakkan masalah yang ada, keresahan, dan konflik di dalamnya.

Resolusi konflik sendiri membutuhkan gambaran tentang sebab-sebabnya. Menghasilkan akibat. Jika pemerintah menghasilkan kebijakan publik. Pengadilan menghasilkan putusan. Sesama masyarakat menghasilkan kesepakatan. Tetapi melalui seni menghasilkan kebudayaan.

Mengenai budaya, akar permasalahannya terletak pada penyeragaman budaya. Dalam jurnal penelitiannya Samsul (2015) warisan orde baru membunuh keberagaman sosial-budaya, menciptakan penyeragaman sosial-budaya, yang menyebabkan konflik di awal era reformasi –bahkan hingga sekarang.

Musik dapat mensuarakan anti-penyeragaman sosial-budaya –termasuk agama dan keyakinan- itu. Seperti yang dikatakan McGann (2001), musik dapat menjadi wadah komunikasi dalam konteks sosial-budaya.

Masalah di Sekitar Keberagaman

Layaknya karya seni lainnya, lukisan, novel, film hingga musik, mempunyai tempat untuk memberikan kritik terhadap satu keadaan tertentu. Politik boleh belok, biar sastra yang meluruskannya, begitu kalau tidak salah kutipan pembuka Novel Max Havelar.

Musik sebagai karya seni hampir kehilangan ruhnya yang selalu mengikuti pasar dengan lagu cinta melulu seperti yang diutarakan Efek Rumah Kaca di album pertamanya tahun 2007 –dan menjadi perbincangan seru, membahas musik kembali, pasca habisnya era Iwan Fals muda.

Asing tak terdengar, musik yang sedikit mengusik keadaan atau status quo. Ialah Jason Ranti, dengan musiknya yang sinis terhadap penguasa dalam tanda kutip. Untuk mereka yang selalu mendominasi narasi tentang surga dan neraka, secara angka dia tidak banyak, tetapi bising.

Mula-mulanya dari pembedaan antara yang “kami” dan “kalian”, dengan gaya khas Iwan Fals muda, Jason Ranti melalui Kafir (2016), dengan petikan lirik Perjalanan iman soal personal; ia paksakan penafsiran orang lain, dan beriman di negeri yang belum aman liriknya begitu mendalam.

Dalam kondisi yang ada, tidak perlu diragukan lagi keadaannya. Ahmadiyah, Islam Syiah, Penganut Kepercayaan Lokal, dan lainnya adalah saksi bisu dari sulitnya minoritas di negeri ini.

Dalam situasi yang lebih parah tergambarkan dalam lirik Peradaban (2018) milik Feast yang dinyanyikan Hindia –nama lain dari Baskara Putra. Bawa pesan ini ke persekutuan mu; rumah ibadah terbakar lagi memang lirik ini begitu menyentuh, terlebih di tempatkan di awal lagu.

Dari pembedaan disitu, bertemunya paham “kami” yang sama, menciptakan satu gerakan, terlebih ada “target” yang empuk untuk dijadikan sasak di tahun-tahun itu yaitu Ahok –calon gubernur yang beragama non-Islam. Di judul yang sama petikan Awas itu komandan dengan bahasa dendam menggambarkan gerakan itu, terus tumbuh dan terus terjadi berjilid-jilid, menciptakan konflik politik dan identitas yang tak karuan dan berkesudahan.  

Jason Ranti kembali bercerita tentang kondisi ketidakpastian politik, khususnya dari minoritas –baik secara keyakinan atau status sosial. Dalam judul Dua ratus dua belas (2018) dia bercerita tentang ketidakpastian karena konflik politik dan identitas yang tidak berujung. Masa depan, masa jalan; kurasa mencekam, kuucap takbir; aku khawatir sebentar lagi anakku lahir. Dari kutipan lirik sangat menggambarkan ketakutan atas ketidakpastian yang terjadi, tentang kebutuhan dan ancaman dari kondisi yang tidak pasti, baik ekonomi (kebutuhannya), politik, dan sosial sebagai minoritas.

Dalam penutup lagunya dijelaskan sekali lagi, Tuhan dipaksa turun ke jalan; seisi surga berpegangan tangan; aku khawatir sebentar lagi anakku lahir. Jelas, kondisi suram politik identitas ketika itu memang tidak menentu, terlebih gelaran politik yang memicu pembelahan masyarakat antara cebong dan kampret dalam Pemilihan Presiden 2019.

Suara curahan hati minoritas –dari sisi agama- memang diperlukan, bertarungnya sesama Islam yang sama menciptakan kekacauan yang benar-benar membingungkan. Jason Ranti memenuhi suara ketakutan tersebut.

Dari hal itu, lebih ekstrim lagi melakukan hal yang diluar masuk akal, membunuh yang dianggap musuh dan terlebih dengan dirinya sendiri alias bunuh diri, lalu menciptakan ketakutan publik. Tergambar dalam video clip Suci Maksimal (2017) Jason Ranti, yang secara eksplisit mengarah kepada terorisme.

Jika dilihat dari liriknya Doanya kencang, jahatnya tetap; hatinya hitam, baju berkilau lirik yang menggambarkan kaum ekstrimis, yang memiliki kedekatan dengan Tuhannya, tetapi melakukan kejahatan yang luar biasa.  

Dalam beberapa keterangan bahwa doktrin seseorang menjadi pengantin –atau calon yang melakukan bom bunuh diri– teroris ialah doktrin menyelamatkan agama dari thagut atau setan yang dinilai tidak sesuai islam menurutnya atau setidak-tidaknya menebus dosa diri sendiri yang teramat besar –tidak dapat diampuni–, sehingga harus ditebus dengan jihad.

Terlihat dalam lirik Pak Penjahat; cita-cita jadi robin hood. Jelas tafsir berjuang atau jihad atas nama agama yang salah, menciptakan pahlawan yang tidak tepat. Alih-alih memperbaiki keadaan, malah menyusahkan.

Jika dilihat dari sejarahnya kebencian yang terus tertanam dalam masyarakat, selain antara komunitas agama juga dijalankan negara –yang terkadang diamini oleh komunitas agama.

Kali ini lagu dari Glenn Fredly Menanti Arah (2012), lagu tersebut menjadi pengiring dalam film Surat Dari Praha (2016) yang menceritakan tahanan eksil di negara orang lain atau mereka yang dituduh komunis pasca 1965 sehingga kehilangan status warga negaranya. Lirik negeriku gelap histori; kebencian jadi ideologi; banyak nama yang hilang haknya begitu sangat menyentuh, apalagi sembari menonton filmnya.

Kebencian ini lahir menjadi pembeda antara “kami” dan “kalian” yang kali ini aktornya merupakan negara. Dari situ kita harus kehilangan satu generasi yang mendapatkan beasiswa pelajar di negara-negara blok timur –dalam perang dingin antara Uni Soviet dan Amerika.

Lagu Menanti Arah memang bukan lagu sindiran atau cerita pribadi seperti Jason Ranti. Lagu ini masih menampilkan harapan, sesuai judul lagunya.  

Dalam kehidupan saat ini, jelas luka lama ini terus dirawat, hampir tidak ada rekonsiliasi, walaupun secara resmi pemerintah sudah mengembalikan status warga negaranya. Tetapi di akar rumput begitu bising, atas tuduhan “Kamu PKI (Partai Komunis Indonesia)”. Yang seharusnya sudah selesai, ketika Uni Soviet runtuh, dan China menjadi negara berekonomi pasar bebas. Tetapi lagi-lagi ini menjadi gorengan untuk membedakan “kami” dan “kalian”.

Jason Ranti
Jason Ranti

Berkaca dan Melihat Kondisi

Tepat di tahun 2019, Novel Bumi Manusia di alih mediakan kepada film, yang banyak digandrungi anak muda kebanyakan karena salah satu pemerannya –tanpa mengenal penulis dan membaca karya novel Pramoedya Ananta Toer.

Dalam film tersebut, memilih lagu Ibu Pertiwi sebagai pengiring dalam film tersebut, yang dinyanyikan ulang Iwan Fals, Once Mekel, dan Fiersa Besari.

Kulihat ibu pertiwi; Sedang bersusah hati; Air matanya berlinang Lirik dan pembawaan yang mendalam di tengah kondisi politik nasional dan politik identitas yang tidak pasti, lagu tersebut mendapatkan tempat tersendiri di luar film atau karya novelnya.  

Menyibak kondisi tersebut, lagu tersebut memberikan kita sebuah tamparan, layaknya lagu What I’ve Done yang dibawakan Linkin Park yang mengajak kita melihat diri sendiri atas semua kondisi konflik di dunia –khususnya pemimpin politik. I’ll Face Myself Lirik tersebut menunjukan bahwa kita menghadapi diri kita sendiri ketika konflik atau perang terjadi.

Mengobati dan Merawat

Ntah berhubungan atau tidak, maksud liriknya, akan tetapi saya –dan mungkin beberapa seniman— berpendapat setiap karya seni ketika dia sebarkan, maka penafsiran tersebut milik penikmat atau milik publik. Maka karya seni tersebut menjadi bebas tafsir. Di situah magis nya karya seni.

Dia bukan peraturan yang tafsirnya dimiliki penguasa, atau kitab agama yang tafsirya dimiliki pemuka agama. Layaknya lukisan, begitu juga dengan musik, dia tanpa batas yang dapat ditafsirkan oleh penikmatnya, menari-nari di pancaindra dan pikiran penikmatnya.

Yang Patah Tumbuh, Yang Hilang Berganti (2016) adalah musik yang tepat untuk rekonsiliasi atas semua peristiwa konflik horizontal keberagaman. Lagu yang dinanyikan Banda Neira –yang resmi bubar 2016—menyajikan sentuhan instrumen musik dan lirik yang merdu dan menyentuh.

Yang menyiratkan segala sesuatu yang berlalu yang menyedihkan, akan menjadi sesuatu yang bermanfaat kelak. Jika dilihat dalam konteks konflik keberagaman, konflik lalu menjadi sebuah pelajaran yang berharga bagaimana kita mengharagai keberagaman –terlebih kemanusiaan.

Bagaimana Ahmadiyah masjidnya dibakar, lalu Islam Syiah dipersekusi, hingga agama minoritas yang selalu kesusahan membangun tempat ibadahnya, yang semuanya menjadi pembelajaran di masa yang akan datang.

Membasuh (2019) adalah lagu yang tepat didengarkan setelah mendengar Yang Patah Tumbuh, Yang Hilang Berganti (2016). Lagu yang dinyanyikan Hindia dan Rara Sekar –mantan penyanyi Banda Neira—ini juga hampir sama, memiliki instrumen dan lirik yang merdu dan menyentuh.

Lirik Bisakah Kita Tetap Memberi; Walau Tak Suci; Bisakah Terus Mengobati; Walau Membiru, adalah metafora kata yang indah untuk menggambarkan saling keterkaitan antara pihak satu dan pihak lainnya. Dalam konteks ini, antara umat agama, antara individu, antara masyarakat, antara golongan.

Mengering Sumurku; Terisi Kembali adalah pemaknaan bahwa sumur yang diartikan nilai hidup kita kering atau kosong, yang diisi oleh pihak lainnya –yang diartikan saling mengisi antara tadi– Sedikit Air Yang Kupunya; Milikmu Juga, Bersama.  

Untuk menutup rekonsiliasi konflik, Seperti Rahim Ibu adalah penutup yang tepat. Bahwa memimpikan sebuah negara, yang menghargai kemanusiaan –seperti Rahim Ibu—Merawat Kehidupan, Menguatkan Yang Rapuh.

Dalam hal keberagaman, minoritas dijamin kebebasan, keamanan, dan dihargai kehidupannya –keyakinan dan kepercayaannya—dan mengungkap kejahatan kemanusiaan di masa lalu. Kemanusiaan itu; Seperti Terang Pagi.

Baskara Putra
Hindia atau Baskara Putra

Bangun atas Kondisi Sebelumnya

Hari berat itu, telah dilewati. Setelah selesai menghargai dan mengetahui, saling berbagi dan mengisi pasca konflik. Merajut kembali ikatan, yang telah terurai-burai sebelumnya.

Kuat Kita Bersinar (2009) yang dinyanyikan Superman Is Dead adalah musik yang tepat, dengan instrumen menghentak, seakan mengembalikan semangat bersatu setelah konflik keberagaman yang melelahkan. Ayo Bangun Dunia di Dalam Perbedaan; Jika Satu Tetap Kuat Kita Tetap Bersinar; Harus Percaya Tak Ada Yang Sempurna; dan Dunia Kembali Tertawa.

Jabat Erat Tangan Ku Kawan; Kau Tak Akan Pernah Sendiri.   

Lainnya lagu yang menyentuh ialah Symphoni Yang Indah (2012) yang dinyanyikan Once Merkel dengan instrumen dan nada orkestra yang indah di telinga, dengan lirik bak puisi yang ingin mengungkapkan suatu kesempurnaan atas bersatunya dua hal.

Meski ditafsirkan seseorang yang saling jatuh cinta, akan tetapi karena baitnya yang indah layak ditafsirkan sebagai suatu yang indah, yaitu kedamaian antara dua hal yang berbeda. Symphoni dan Keindahan; Melahirkan Kedamaian.

Syair dan Melodi; Kau Bagai Aroma Penghapus Pilu. 

Setelah kedamaian terjadi, lagu yang membangunkan menjadi perlu. Lir Ilir lagu yang datang jauh sebelum Indonesia merdeka, lagu yang digunakan Sunan Kalijaga (salah satu Wali Songo) untuk berdakwah –menyampaikan pesan kebaikan– membangunkan masyarakat Jawa ketika itu dari keterpurukan dan keterbelakangan, yang menyesuaikan budaya masyarakat Jawa ketika yang menyukai tembang –musik Jawa.

Setelah merdeka, Lir Ilir diaransmen ulang oleh Cak Nun (Ainun Najib) yang diiringi Kyai Kanjeng –sebutan kelompok kesenian musik—yang selalu ikut keliling untuk Mak Iyah-an –ngaji budaya dengan konsep dialog dengan penonton.

Makna Lir Ilir begitu dalam. Lir Ilir artinya Bangunlah, Bangunlah. Salah satu liriknya Penekno Blimbing Kui (Tolong Panjatlah Pohon Blimbing itu); Lunyu-Lunyu Penekno (Walaupun Licin, Tetaplah Panjat); Kanggo Mbasuh Dodot Iro (Untuk Menyuci Pakaianmu) ditafsirkan mengambil buah blimbing – yang bentuknya segi 5—diartikan memegang teguh prinsip agama Islam –rukun Islam dan Iman– untuk membasuh baju yang artinya untuk menyucikan manusia.

Dalam konsep keberagaman di Indonesia, sederhana buah blimbing diartikan Pancasila –yang juga memiliki lima butir—walaupun sulit, harus diambil untuk menyuci baju yang diartikan untuk mensucikan lagi tujuan kita bernegara. Toh nilai dalam pancasila baik, hanya saja praktiknya yang terkadang sulit.

Selain itu musik yang membangunkan ialah Jadilah Legenda (2013) yang dinyayikan Superman Is Dead. Dalam liriknya sudah jelas sekali, lagu ini untuk Indonesia. Untuk Indonesia; Kita Punya Semua; Seribu Budaya dan Kekayaan Alam.

Dalam lagu ini menyentil individu, untuk berbuat lebih untuk Indonesia, menjadi legenda –terdengar sulit tetapi bukan tidak mungkin. Darah Indonesia; Akulah Halilintar Mu. Berbuat untuk persatuan atas keberagaman Indonesia.

Jrx Superman Is Dead
Jrx Superman Is Dead

***

Tentu tidak semudah bait dan pesan lagu-lagu diatas untuk mewujudkan cita keberagaman. Setidaknya dengan menikmatinya, siapa tahu bisa merasakannya. Atau kalaupun diharamkan oleh seseorang –misalnya–, melafalkan bait per bait, tidak masalah bukan? Toh pesannya baik.

Jurnalis Adi Fauzanto
Diterbitkan: Senin, 26 September 2022
Pukul: 06.00 WIB
Jurnalis: Adi Fauzanto
Daftar Bacaan:  
• McGann Mary E. (2002). Exploring Music as Worship and Theology Research in Liturgical Practice.Minnesota: The Liturgical Press. Dewi Tika Lestari. 2020. Membangun Harmoni Sosial Melalui Musik dalam Ekspresi Budaya Orang Basudara di Maluku. Jurnal Panggung: Seni Budaya Vol. 30 No.3Samsul Ode. 2015. Budaya Lokal Sebagai Media Resolusi Dan Pengendalian Konflik Di Provinsi Maluku (Kajian,Tantangan Dan Revitalisasi Budaya Pela). Jurnal Politika Vol. 6 No. 2 
Liputan Mendalam

Jurnalisme Konstruktif: Narasi Keberagaman, Mencari Titik Temu di Antara Semua yang Berkonflik tanpa Kekerasan


Kebijakan.co.idLiputan Mendalam

Adi Fauzanto -31 Agustus 2022 (18.00 WIB)-#41 Paragraf
Jurnalisme Konstruktif: Narasi Keberagaman, Mencari Titik Temu di Antara Semua Pihak yang Berkonflik tanpa Kekerasan

Setiap pertemuan dan percakapan menghasilkan sebuah empati. Pertemuan atau percakapan bisa dihasilkan dari karya jurnalistik yang baik, yang bisa berbicara di antara pihak yang sedang berjauhan.

Sebaliknya, karya jurnalistik bisa juga menjadi bumerang, jika yang dihadirkan tanpa memikirkan empati antara pihak-pihak yang sedang berjauhan. Kekerasan bisa saja terjadi akibat pertemuan dan percakapan yang dituliskan dalam karya jurnalistik tanpa empati, hadir.

***

Bogor, Kebijakan.co.id — Keberagaman mulai terancam, salah satu sebabnya akibat informasi yang diterima hanya dari lingkaran atau circle itu-itu saja. Tidak ada penerimaan informasi dari lingkaran yang berbeda. Dampaknya ialah terpola masyarakat dengan lingkaran informasi yang sama.

Ketika pola masyarakat tersebut menjadi kelompok, dan saling bertemu dengan lingkaran informasi yang berbeda, dampak lainnya muncul yaitu konfrontasi, jika di dunia online maka akan terjadi ujaran kebencian, jika didunia nyata bukan tidak mungkin akan muncul kekerasan fisik antara lingkaran informasi satu dengan lingkaran informasi lainnya.

Informasi tersebut muncul dari berbagai hal, mulut adalah cara paling pertama proses informasi. Semakin berkembangnya teknologi informasi, cerita atau informasi hadir di media internet. Dan umumnya melalui berita atau kabar terbaru, bisa juga melalui pendapat-pendapat orang di internet.     

Menciptakan echo chamber -atau ruang gema- yang didukung dengan algoritma aplikasi media sosial, akibat apa yang pengguna ingin lalu memunculkan filter bubble -atau gelembung hasil pencarian- di sekitar apa yang ingin pengguna cari, sekiranya begitu menurut Bahrul Wijaksana, praktisi komunikasi yang juga Direktur Search for Common Ground (SFCG) Indonesia dalam Pelatihan Jurnalisme untuk Toleransi dan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Hotel Aston Sentul Bogor(28/08/2022).

Bahrul Wijaksana
Bahrul Wijaksana sedang berbicara dalam kegiatan (Dokumen Ditjen Permasyarakatan,19/09/2018)

Tak jarang, kecanggihan filter bubble akibat algoritma media sosial ini, dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang sengaja memecah belah. Devie Rahmwati dalam jurnal penelitiannya Risiko Polarisasi Algoritma Media Sosial: Kajian Terhadap Kerentanan Sosial dan Ketahanan Bangsa bahwa Facebook –dalam hal ini sebagai media sosial- sengaja menempatkan algoritma ‘pergaulan sosial yang selektif’ dalam mesin penyedia informasinya untuk para penggunannya menggunakan data besar yang diolah komputer.

Sehingga titik temu di antara masyarakat –khususnya di dunia digital- rasa-rasanya menjadi sulit. Yang terparah ialah menjurus kepada bias informasi –informasi yang tidak utuh-, lalu hoaks (informasi bohong), menjadi tindakan kekerasan fisik dan verbal, hingga terjerumus terorisme dengan alasan mempercayai informasi ajaran tertentu.

Dalam hal terorisme misalnya, hal itu diakui oleh mantan napi terorisme, Mukhtar Khairi (mantan narapidana terorisme dan pegiat deradikalisasi) dalam diskusi virtual Alinea berjudul Mencegah Radikalisme (7/4/2021), yang mengatakan terorisme saat ini merebak di media sosial mengincar anak muda (milenial), seperti yang dilakukan ZA di Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia, 31 Maret 2021, dengan karakteristik lone wolf atau sendirian tanpa ada ikatan organisasi.

Mukhtar Khairi
Mukhtar Khairi sedang berbicara di podium (Dokumen AIDA)

Ditambah juga, menurut Agung Sukoco dan Syauqillah dalam jurnal penelitiannya Media, Globalisasi, dan Ancaman Terorisme mengatakan kemajuan teknologi juga dimanfaatkan oleh kelompok teroris untuk propaganda, perekrutan, pelatihan, komunikasi, hingga rencana target aksi teroris.   

Narasi-narasi tersebut disampaikan dengan menyentuh sifat dasar manusia, yaitu ketakutan dan rasa bersalah atas kondisi tertentu serta janji-janji ‘indah’ yang diberikan surga, bidadari, dan beberapa hal yang menarik setelah aksi teroris tersebut.

Jurnalisme Konstruktif

Dari cara informasi bekerja, akan begitu berdampak hingga kepada kehidupan banyak orang. Begitulah pentingnya sebuah informasi. Termasuk juga, jurnalisme yang memproduksi atau menghasilkan informasi sebagai sebuah karya yang disampaikan kepada publik untuk menjalankan fungsinya mengedukasi publik atau melakukan kontrol sosial.

Jurnalisme yang memiliki kode etik seharusnya menjadi pemimpin narasi publik di media sosial sekaligus juga kehidupan nyata. Jurnalisme memiliki kode etik yang penting dalam memberikan informasi, yaitu verifikasi atau pengujian informasi dan cover both-side atau mengakomodir dua sisi bahkan all both-side atau mengakomodir semua sisi. Itu yang seharusnya. Tapi juga banyak karya jurnalistik yang ancur lebur.

Karya jurnalistik juga sejatinya mencatat informasi terbaru atau berita dan isu yang berkaitan dengan konflik atau masalah publik. Maka dari itu jurnalisme selalu relevan dengan masyarakat. Karya jurnalistik yang mencatat informasi yang tidak utuh atau menuliskan isu konflik yang berat sebelah atau tidak cover both-side berpotensi menyebabkan konflik di masyarakat.

Tetapi jika jurnalistik mencatat informasi yang utuh dan menuliskan isu konflik secara berimbang dan mendengarkan semua pihak, maka konflik yang diciptakan bersifat membangun masyarakat.

Misalnya, dalam konflik di Ambon yang melibatkan Islam dan Kristen. Menurut Eriyanto dalam Suara Kaltim, ada peran pers yang besar dalam meningkatkan eskalasi kekerasan. Pemberitaan yang tidak berimbang muncul di koran-koran lokal, di antara Suara Maluku yang memberitakan kekerasan oleh Islam, pun sebaliknya Ambon Ekspress. Jelang beberapa tahun dari tahun 1999, masyarakat Ambon jenuh dengan konflik, dan beberapa inisiasi untuk meredakan berita terkait konflik.

Yang menarik ialah, adanya peran Dahlan Iskan –sebagai pemilik grup Jawa Pos- yang menginisasi Ambon Ekspress didirikan untuk menyuarakkan korban dari Islam. Alih-alih memerintahkan Suara Maluku untuk memberitakan perdamaian atau konflik secara utuh. Kelitnya, “Wartawan Islam tidak bisa masuk wilayah Kristen (begitu sebaliknya). Kalau bisa saya tutup, saya akan menutup. Tetapi itu tidak bisa menyelesaikan persoalan.”

Pasca perusuhan Ambon
Pasca konflik di Ambon (AFP Press/2000)

Kisah konflik Ambon yang eskalasinya dibantu oleh masing-masing media yang bertikai diceritakan juga oleh Alex Junaidi selaku Direktur Sejuk (Serikat Jurnalis untuk Keberagaman) dalam Pelatihan Jurnalisme untuk Toleransi dan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (28/08/2022). Dia juga menambahkan, masalahnya pemberitaan yang tidak berimbang atau tanpa verifikasi itu menghasilkan kebencian atau permusuhan lalu menciptakan kekerasan.     

Dalam setiap eskalasi konflik akan ada selalu media yang membuatnya menjadi besar. Istilahnya ‘digoreng media’. Bukan tanpa alasan, media massa memerlukan konflik untuk dikisahkan. Yang parah ialah konflik dijadikan semata-mata dijadikan lahan bisnis, alih-alih turut serta memperbaiki konflik tersebut.

Misalnya, ‘konflik’ Pemilihan Presiden 2019, di mana Jokowi-Ma’ruf dengan Metro Group dan Prabowo-Sandi dengan TV ONE. Secara kepemilikan jelas keduanya berada dalam kelompok Jokowi-Ma’ruf, di mana Aburidzal Bakrie jelas terafiliasi dengan Partai Golongan Karya (Golkar) yang merupakan koalisi Jokowi-Ma’ruf.

Akan tetapi media adalah bisnis dan TV ONE jelas mengincar ceruk dengan mengabarkan apa yang dilakukan Prabowo-Sandi dengan target ceruk pemilihnya. Tentu membatasi informasi atau kebebasan berpendapat, bukan suatu hal baik. Hanya yang disayangkan dari eskalasi ini menghasilkan suatu kekerasan dalam aksi 22 Mei 2019.

Tak diragukan, “Konflik adalah bisnis.” Mengutip Eriyanto dari yang diambil dari The First Casualty: A History of War, Correspondent, and Propaganda karya Phillip Knightley.  

Tapi konflik merupakan konsekuensi dari keberagaman, tanpa media massa atau pers pun, konflik dipastikan ada, karena keberagaman manusia.

Dari situlah tugas media, sebagai wadah. Konflik dari keberagaman tersebut diarahkan menjadi wadah pertemuan saling mengerti mengapa konflik bisa terjadi.

Ibarat kepala suku dalam cerita dongeng sejarah yang mengumpulkan rakyat-rakyatnya yang berkonflik lalu menceritakan apa yang terjadi, lalu kepala suku tersebut berusaha mendengar semua pihak, dan berusaha memberikan petuah untuk menyelesaikan konflik yang ada, yang diarahkan kepada perbaikan. Petuah tersebut disebar luaskan kepada masyarakat lainnya yang berkonflik.

Dan tentu dari cerita-cerita tersebut perlu diverifikasi agar tidak ada kebohongan, dalam konteks jurnalistik.

Infografis Jurnalisme Konstruktif

Membangun Empati

Selain prinsip all both-side (mendengar semua pihak) yang dipegang jurnalisme -ketimbang influencer (pendengung) atau akun-akun bodong yang sok menghasilkan analisa-  yang membantu menguraikan konflik secara utuh dan mengarahkannya kepada perbaikan konflik.

Prinsip tersebut juga membangun empati. Selama pembaca atau penonton atau pendengar tidak pernah membaca atau menonton atau mendengar keterangan informasi dari pihak yang bersebrangan maka akan sulit terjadi ke luar dari echo chamber atau ruang gema yang hanya menarasikan dari lingkungan sekitar itu-itu saja dan dia-dia lagi.

Alih-alih sulit mengetahui atau mencari informasi diluar ruang gema mereka, jurnalisme bisa menjadi alat untuk melalukannya –dan memang tugasnya untuk verifikasi.    

Tanpa informasi atau cerita dari ruang gema lingkungan sekitar, akan sulit berempati kepada ruang gema lainnya, begitu pun sebaliknya. Konflik akan terus terjadi tanpa arah perbaikan yang berusaha menemukan titik temu, karena ketidakhadiran media yang berkualitas.

Hermiyani dalam jurnal penelitiannya, menjelaskan jurnalisme empati ialah jurnalisme yang mengajak pembaca untuk merasakan apa yang dirasakan oleh subjek pemberitaan, yang mengutamakan human interest atau kemanusiaan.

Selain membangun empati, media yang berkualitas juga memperhatikan framing atau pembingkaian. Redaksi juga perlu melihat konflik tersebut struktural (yang memiliki kuasa dengan yang tidak) atau konflik horizontal (konflik antara pihak yang sama kedudukannya).

Tanpa mengetahui hal tersebut, sulit konflik struktural mendapatkan perhatian lebih, dan memang biasanya peta permasalahannya sulit, dibandingkan konflik horizontal yang mudah ditulis dan banyak yang memperhatikan karena umumnya berdekatan dengan masyarakat.    

Mengetahui siapa yang berkuasa dan siapa yang ditekan atas kuasa pihak lain. Siapa yang memiliki modal lebih dan siapa yang ditekan atas modal lebih tersebut. Siapa yang memiliki jumlah yang banyak dan siapa yang ditekan atas jumlah yang sedikit tersebut. Siapa yang berkuasa dan siapa yang dibungkam atas kuasa tersebut.

Selain itu, media juga mampu memilah mana konsumsi publik yang bisa dibaca oleh masyarakat banyak, dan mana konsumsi privat, yang tidak boleh dibaca oleh masyarakat banyak.  

Daya Literasi

Akan tetapi masalahnya, apakah mau masyarakat membaca narasi dari kelompok yang berbeda pandangan darinya? Kita memang harus belajar untuk ke luar dari echo chamber, lalu berbicara dengan kelompok berbeda, tidak hanya berbicara hal-hal yang sama kepada itu-itu saja, menurut Bahrul Wijaksana, Direktur SFCG Indonesia.

Yang jadi masalah lainnya, apakah masyarakat mampu membaca atau memahami masalah yang ada? Jika melihat tingkat literasi Indonesia yang buruk. Berkaca dari data riset Program for International Student Assessment (PISA) yang dipublikasi oleh Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) tahun 2018, tingkat literasi mendapatkan skor 371 di urutan 10 terakhir; sedangkan skor indikator matematika 379, juga sama di urutan 10 terakhir; dan skor indikator sains 396 di urutan 10 terakhir juga.   

Jauh panggang dari api bicara jurnalisme konstruktif, tetapi dari pembaca tidak mau berinisiatif untuk simpati –minimal dengan membaca narasi yang berbeda- akan cukup sulit terjadi perbaikan atas konflik yang terjadi, apapun jenisnya. Boro-boro mau bersimpati, mau membaca saja sudah bagus! Jelas lebih mudah menerima bulat-bulat informasi.

Dengan literasi –membaca, menulis, terutama memahami- masyarakat yang baik, meningkat pula daya kritis ketika menerima informasi, menurun pula menelan informasi dari satu pihak secara bulat utuh. Selain itu juga membangun rasa empati kemanusiaan.

Dengan begini, pekerjaan rumahnya menjadi dua. Pertama membangun narasi konstruktif dari setiap konflik di masyarakat dan perbaikan tingkat literasi yang menuntut pemahaman masyarakat.     

Dua pekerjaan rumah itu, bisa dikerjakan setelahnya. Setidaknya masyarakat Indonesia harus paham dulu mengapa sebuah informasi yang berkualitas dan menyeluruh itu penting.

Jurnalis Adi Fauzanto
Diterbitkan: Rabu, 31 Agustus 2022
Pukul: 18.00 WIB
Jurnalis: Adi Fauzanto
Daftar Bacaan:  
• Eriyanto. 2002. Koran, Bisnis, dan Perang. Suara Kaltim Alinea Forum. 2021. Mencegah Deradikalisasi. YoutubeDevie Rahmawati. 2018. Resiko Polarisasi Algoritma Media Sosial: Kajian terhadap Kerentanan Sosial dan Ketahanan Bangsa. Jurnal Kajian Lemhanas RI, Vol. 33 Agung Sukoco dan Muhamad Syauqillah. 2021. Media, Globalisasi, dan Ancaman Terorisme. Jurnal Studi Terorisme, Vol. 3 No.2Hermiyani. 2014. Jurnalisme Empati dalam Pemberitaan Media Online Detikcom Mengenai Kasus Pembunuhan Ade Sara Periode Maret-April 2014. Jurnal Fisip AtmajayaOECD. 2018. Proggame for International Student Assesment.
Liputan Mendalam