Mochtar Lubis, Sastrawan dan Jurnalis Harian Indonesia Raya


Kebijakan.co.idLiputan Mendalam

 Virta - 19 September 2022 (13.00 WIB)-#28 Paragraf
Mochtar Lubis, Sastrawan dan Jurnalis Harian Indonesia Raya

Jalan Hidup Mochtar Lubis

Depok, Kebijakan.co.id Mochtar Lubis lahir dari keluarga Batak Mandailing pada 7 Maret 1922 di Padang, Sumatera Barat. Ia lahir dari seorang ibu bernama Siti Madinah Nasution dan ayahnya Marah Husin Gelar Raja Pandapotan Lubis, yang pada saat itu menjadi Kepala Distrik Kerinci pada masa Pemerintahan Hindia Belanda.

Selama hidupnya ia banyak menghabiskan waktunya menjadi seorang sastrawan dengan menulis cerpen dan novel, pelukis, penerjemah, pematung, dan seorang jurnalis terkenal, sebelum akhirnya ia menghembuskan nafas terakhirnya pada 2 Juli 2004 di Jakarta.

Pendidikan formal Mochtar Lubis diawali dari sekolah dasarnya yang berbahasa Belanda HIS di Sungai Penuh. Kemudian, setelah itu ia melanjutkan pendidikannya di sekolah ekonomi partikelir di Kayutanam.

Perlu diketahui bahwa Mochtar Lubis dalam menempuh pendidikannya tidak dalam tingkatan HBS atau AMS.

Keluarga Mochtar Lubis adalah keluarga muslim yang merupakan anak keenam dari sepuluh saudara.

Ayah Mochtar Lubis selalu mengajarkan kepada anak-anaknya mengenai makna kehidupan hingga kedisiplinan dalam berkehidupan. Berbeda dengan Ayahnya, Ibunya selalu memberikan pengajaran mengenai bagaimana kita sebagai umat beragama harus menaati dan menghindari larangan-larangan dari Tuhan.

Salah satu orang yang menginspirasi tulisannya yaitu kisah Ayahnya. Hal ini berawal dari tuntutan pekerjaan yang dimiliki ayahnya pada saat itu sebagai kepala distrik.

Suatu hari, ia melihat Ayahnya yang sedang memberikan hukuman kepada salah seorang kuli kontrak yang mencoba untuk melarikan diri dari tanggung jawabnya. Dengan berat hati, ia melihat ayahnya yang memukuli kuli tersebut, padahal ia tahu bahwa ayahnya tidak mungkin melakukan hal tersebut kalau tidak karena tuntutan pekerjaan.

Peristiwa itu membuat Mochtar Lubis menuliskan semua hal ada di benaknya hingga menjadi sebuah cerita pendek berjudul Kuli Kontrak.

Mochtar Lubis
Mochtar Lubis membaca buku (Dokumen Harian Indonesia Raya

Perkenalan dengan Dunia Jurnalistik

Melihat anaknya yang senang menggeluti di bidang jurnalistik, ayahnya mengimbau Mochtar Lubis untuk tidak bekerja di pemerintahan Belanda, karena ia khawatir nantinya pekerjaan di pemerintah Belanda tidak sesuai bahkan bertentangan dengan minat nya.

Minat Mochtar Lubis dalam dunia jurnalistik mengantarkan ia menjadi seorang pemimpin redaksi mantan Harian Indonesia Raya. Tidak hanya itu, minatnya ini pernah membawa ia masuk ke jeruji besi akibat karya-karya nya yang dianggap membahayakan.

Namun, tidak hanya menjadi jurnalis, putra Pandapotan Lubis itu juga pernah menjadi seorang pegawai Pangreh Praja atau binnenlands bestuur (BB) pada saat pemerintahan kolonial Hindia Belanda.

Kemudian, pada pertengahan tahun 1930-an ia berpindah menjadi Demang atau Kepala Daerah Kerinci dan guru di salah satu sekolah di Pulau Nias. Memang dirinya sudah diakui menjadi seorang otodidak tulen.

Dalam perjalanan karirnya, Mochtar Lubis pernah menjadi bagian dari anggota tim monitor radio Sekutu di luar negeri pada zaman Jepang. Di sana, ia bertugas untuk menuliskan segala berita yang ia dengar dalam laporan yang kemudian akan disalurkan kepada Gunseikanbu, yaitu kantor pemerintahan bala tentara Dai Nippon.

Untuk menjaga kerahasiaan dan keamanan berita, Mochtar Lubis dan tim tinggal di tempat yang terpisah dari kompleks perumahan di Jalan Timor, belakang hotel milik Jepang.

Dalam timnya, terdapat mantan pegawai Algemene Secretarie di Bogor, D. Janssen, mantan pemimpin redaksi Harian Bataviaasche Nieuwsblad, J.H Ritman, mantan wartawan Ceylon salah seorang yang melarikan diri dari Singapura, Thambu.

Sambil menekuni pekerjaannya sebagai tim monitor, pada akhir 1944 ia memutuskan untuk menikahi gadis Sunda bernama Halimah. Halimah bekerja di Sekretariat Redaksi Harian Asia Raja dan tutup usia tepat pada usia 77 tahun, 27 Agustus 2001.

Mochtar Lubis
Mochtar Lubis ketika Perang Korea (Doc. Keluarga Mochtar Lubis)

Mochtar Lubis dan Harian Indonesia Raya

Proklamasi kemerdekaan membawa kantor berita ANTARA yang didirikan oleh Adam Malik kembali lagi aktif dan membuat Mochtar Lubis ikut bergabung. Di ANTARA ia menjadi penghubung antara korespondensi asing yang berdatangan ke Jawa dengan para masyarakat guna untuk liputan mengenai Revolusi Indonesia.

Selain karena mahir dalam berbahasa Inggris, ia juga merupakan sosok yang memiliki tinggi 1.85 meter yang menjadi sosok familiar di antara riuhnya war correspondents lain.

Pada 27 Desember 1949, menjelang adanya penyerahan kedaulatan antara Belanda dan Republik Indonesia Raya (RIS), Mochtar Lubis dan Hasjim Mahdan berinisiatif untuk membuat media surat kabar.

Dari semangat itulah kemudian mereka mendirikan Harian Indonesia Raya yang Mochtar Kubis bertugas sebagai pimpinan redaksi.

Sebagai pemimpin redaksi, wartawan senior itu pergi ke Korea Selatan untuk meliput, karena tengah terjadi Perang Eropa di pertengahan tahun 1950. Sejak saat itu kemudian ia dikenal sebagai sosok koresponden perang, mengapa? karena pada saat itu, pertengahan dasawarsa 1950 saat demokrasi parlementer, Indonesia dihebohkan dengan istilah personal journalism.

Maka dari itu, Mochtar Lubis dikenal dan identik dengan Harian Indonesia Raya, Rosihan Anwar dikenal dalam Pedoman, S. Tasrif dikenal di Abadi, dan B.M Diah dikenal di Merdeka. Mochtar Lubis dikenal sebagai seorang wartawan yang berita nya sering menggemparkan masyarakat, salah satunya “affair.”

Affair yang disajikan beragam, seperti affair Hartini yang diketahui mengungkap hubungan yang dimiliki Presiden Fatmawati dengan Presiden Indonesia, Soekarno. Kemudian, affair pelecehan seksual yang terjadi oleh Nyonya Yanti Sulaiman, yang bosnya di Kebudayaan Kementerian P & K, Sudarsono, mencoba merayu dan melontarkan beberapa kata-kata yang berbau “seram.”

Affair itu semua berasal dari Harian Indonesia Raya, namun hal yang sama juga terjadi pada Pedoman yang sering membawakan berita-berita mengenai Don Juan Sudarsono.

Seperti yang kita ketahui, Mochtar Lubis tidak hanya dikenal sebagai seorang wartawan, namun ia juga sastrawan dengan tulisan-tulisannya. Menariknya ia juga pandai melukis, membuat keramik, dan patung.

Karya-karya nya bisa kita nikmati seperti novel Senja di Jakarta, Berkelana Dalam Rimba, Harimau, Harimau!, dan Jalan Tak Ada Ujung. Dari sini, ia mendapatkan penghargaan Magsaysay Award untuk kesusastraan dan jurnalistik pada tahun 1953.

Dalam Harian Indonesia Raya, Lubis mencanangkan “perang salib” terhadap korupsi yang terjadi di Pertamina. Ia menyoroti sosok Letnan Jenderal Ibnu Soetomo yang pada saat itu sebagai bos dari Pertamina.

Namun, kenyataan berkata lain, semua usaha Mochtar Lubis sia-sia begitu saja. Hasil dari kasus yang terjadi pada Pertamina yaitu Letnan Jenderal Ibnu Soetomo yang kemudian mundur dari Direktur Utama Pertamina, namun seluruh harta nya tidak dijamah secara lebih dalam.

Mochtar Lubis memiliki banyak prestasi di dalam pentas jurnalistiknya, baik dari sisi sosial politik, pencemaran lingkungan, hak asasi manusia (HAM), dan usaha-usaha untuk memperjuangkan suatu keadilan dan kebenaran.

Farahdila Virta Fauziah
Diterbitkan: Senin, 19 September 2022
Pukul: 13.00 WIB
Jurnalis: Farahdila Virta Fauziah
Editor: Adi Fauzanto
Daftar Bacaan:  
• Ensiklopedia Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Liputan Mendalam

Jurnalisme Konstruktif: Narasi Keberagaman, Mencari Titik Temu di Antara Semua yang Berkonflik tanpa Kekerasan


Kebijakan.co.idLiputan Mendalam

Adi Fauzanto -31 Agustus 2022 (18.00 WIB)-#41 Paragraf
Jurnalisme Konstruktif: Narasi Keberagaman, Mencari Titik Temu di Antara Semua Pihak yang Berkonflik tanpa Kekerasan

Setiap pertemuan dan percakapan menghasilkan sebuah empati. Pertemuan atau percakapan bisa dihasilkan dari karya jurnalistik yang baik, yang bisa berbicara di antara pihak yang sedang berjauhan.

Sebaliknya, karya jurnalistik bisa juga menjadi bumerang, jika yang dihadirkan tanpa memikirkan empati antara pihak-pihak yang sedang berjauhan. Kekerasan bisa saja terjadi akibat pertemuan dan percakapan yang dituliskan dalam karya jurnalistik tanpa empati, hadir.

***

Bogor, Kebijakan.co.id — Keberagaman mulai terancam, salah satu sebabnya akibat informasi yang diterima hanya dari lingkaran atau circle itu-itu saja. Tidak ada penerimaan informasi dari lingkaran yang berbeda. Dampaknya ialah terpola masyarakat dengan lingkaran informasi yang sama.

Ketika pola masyarakat tersebut menjadi kelompok, dan saling bertemu dengan lingkaran informasi yang berbeda, dampak lainnya muncul yaitu konfrontasi, jika di dunia online maka akan terjadi ujaran kebencian, jika didunia nyata bukan tidak mungkin akan muncul kekerasan fisik antara lingkaran informasi satu dengan lingkaran informasi lainnya.

Informasi tersebut muncul dari berbagai hal, mulut adalah cara paling pertama proses informasi. Semakin berkembangnya teknologi informasi, cerita atau informasi hadir di media internet. Dan umumnya melalui berita atau kabar terbaru, bisa juga melalui pendapat-pendapat orang di internet.     

Menciptakan echo chamber -atau ruang gema- yang didukung dengan algoritma aplikasi media sosial, akibat apa yang pengguna ingin lalu memunculkan filter bubble -atau gelembung hasil pencarian- di sekitar apa yang ingin pengguna cari, sekiranya begitu menurut Bahrul Wijaksana, praktisi komunikasi yang juga Direktur Search for Common Ground (SFCG) Indonesia dalam Pelatihan Jurnalisme untuk Toleransi dan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Hotel Aston Sentul Bogor(28/08/2022).

Bahrul Wijaksana
Bahrul Wijaksana sedang berbicara dalam kegiatan (Dokumen Ditjen Permasyarakatan,19/09/2018)

Tak jarang, kecanggihan filter bubble akibat algoritma media sosial ini, dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang sengaja memecah belah. Devie Rahmwati dalam jurnal penelitiannya Risiko Polarisasi Algoritma Media Sosial: Kajian Terhadap Kerentanan Sosial dan Ketahanan Bangsa bahwa Facebook –dalam hal ini sebagai media sosial- sengaja menempatkan algoritma ‘pergaulan sosial yang selektif’ dalam mesin penyedia informasinya untuk para penggunannya menggunakan data besar yang diolah komputer.

Sehingga titik temu di antara masyarakat –khususnya di dunia digital- rasa-rasanya menjadi sulit. Yang terparah ialah menjurus kepada bias informasi –informasi yang tidak utuh-, lalu hoaks (informasi bohong), menjadi tindakan kekerasan fisik dan verbal, hingga terjerumus terorisme dengan alasan mempercayai informasi ajaran tertentu.

Dalam hal terorisme misalnya, hal itu diakui oleh mantan napi terorisme, Mukhtar Khairi (mantan narapidana terorisme dan pegiat deradikalisasi) dalam diskusi virtual Alinea berjudul Mencegah Radikalisme (7/4/2021), yang mengatakan terorisme saat ini merebak di media sosial mengincar anak muda (milenial), seperti yang dilakukan ZA di Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia, 31 Maret 2021, dengan karakteristik lone wolf atau sendirian tanpa ada ikatan organisasi.

Mukhtar Khairi
Mukhtar Khairi sedang berbicara di podium (Dokumen AIDA)

Ditambah juga, menurut Agung Sukoco dan Syauqillah dalam jurnal penelitiannya Media, Globalisasi, dan Ancaman Terorisme mengatakan kemajuan teknologi juga dimanfaatkan oleh kelompok teroris untuk propaganda, perekrutan, pelatihan, komunikasi, hingga rencana target aksi teroris.   

Narasi-narasi tersebut disampaikan dengan menyentuh sifat dasar manusia, yaitu ketakutan dan rasa bersalah atas kondisi tertentu serta janji-janji ‘indah’ yang diberikan surga, bidadari, dan beberapa hal yang menarik setelah aksi teroris tersebut.

Jurnalisme Konstruktif

Dari cara informasi bekerja, akan begitu berdampak hingga kepada kehidupan banyak orang. Begitulah pentingnya sebuah informasi. Termasuk juga, jurnalisme yang memproduksi atau menghasilkan informasi sebagai sebuah karya yang disampaikan kepada publik untuk menjalankan fungsinya mengedukasi publik atau melakukan kontrol sosial.

Jurnalisme yang memiliki kode etik seharusnya menjadi pemimpin narasi publik di media sosial sekaligus juga kehidupan nyata. Jurnalisme memiliki kode etik yang penting dalam memberikan informasi, yaitu verifikasi atau pengujian informasi dan cover both-side atau mengakomodir dua sisi bahkan all both-side atau mengakomodir semua sisi. Itu yang seharusnya. Tapi juga banyak karya jurnalistik yang ancur lebur.

Karya jurnalistik juga sejatinya mencatat informasi terbaru atau berita dan isu yang berkaitan dengan konflik atau masalah publik. Maka dari itu jurnalisme selalu relevan dengan masyarakat. Karya jurnalistik yang mencatat informasi yang tidak utuh atau menuliskan isu konflik yang berat sebelah atau tidak cover both-side berpotensi menyebabkan konflik di masyarakat.

Tetapi jika jurnalistik mencatat informasi yang utuh dan menuliskan isu konflik secara berimbang dan mendengarkan semua pihak, maka konflik yang diciptakan bersifat membangun masyarakat.

Misalnya, dalam konflik di Ambon yang melibatkan Islam dan Kristen. Menurut Eriyanto dalam Suara Kaltim, ada peran pers yang besar dalam meningkatkan eskalasi kekerasan. Pemberitaan yang tidak berimbang muncul di koran-koran lokal, di antara Suara Maluku yang memberitakan kekerasan oleh Islam, pun sebaliknya Ambon Ekspress. Jelang beberapa tahun dari tahun 1999, masyarakat Ambon jenuh dengan konflik, dan beberapa inisiasi untuk meredakan berita terkait konflik.

Yang menarik ialah, adanya peran Dahlan Iskan –sebagai pemilik grup Jawa Pos- yang menginisasi Ambon Ekspress didirikan untuk menyuarakkan korban dari Islam. Alih-alih memerintahkan Suara Maluku untuk memberitakan perdamaian atau konflik secara utuh. Kelitnya, “Wartawan Islam tidak bisa masuk wilayah Kristen (begitu sebaliknya). Kalau bisa saya tutup, saya akan menutup. Tetapi itu tidak bisa menyelesaikan persoalan.”

Pasca perusuhan Ambon
Pasca konflik di Ambon (AFP Press/2000)

Kisah konflik Ambon yang eskalasinya dibantu oleh masing-masing media yang bertikai diceritakan juga oleh Alex Junaidi selaku Direktur Sejuk (Serikat Jurnalis untuk Keberagaman) dalam Pelatihan Jurnalisme untuk Toleransi dan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (28/08/2022). Dia juga menambahkan, masalahnya pemberitaan yang tidak berimbang atau tanpa verifikasi itu menghasilkan kebencian atau permusuhan lalu menciptakan kekerasan.     

Dalam setiap eskalasi konflik akan ada selalu media yang membuatnya menjadi besar. Istilahnya ‘digoreng media’. Bukan tanpa alasan, media massa memerlukan konflik untuk dikisahkan. Yang parah ialah konflik dijadikan semata-mata dijadikan lahan bisnis, alih-alih turut serta memperbaiki konflik tersebut.

Misalnya, ‘konflik’ Pemilihan Presiden 2019, di mana Jokowi-Ma’ruf dengan Metro Group dan Prabowo-Sandi dengan TV ONE. Secara kepemilikan jelas keduanya berada dalam kelompok Jokowi-Ma’ruf, di mana Aburidzal Bakrie jelas terafiliasi dengan Partai Golongan Karya (Golkar) yang merupakan koalisi Jokowi-Ma’ruf.

Akan tetapi media adalah bisnis dan TV ONE jelas mengincar ceruk dengan mengabarkan apa yang dilakukan Prabowo-Sandi dengan target ceruk pemilihnya. Tentu membatasi informasi atau kebebasan berpendapat, bukan suatu hal baik. Hanya yang disayangkan dari eskalasi ini menghasilkan suatu kekerasan dalam aksi 22 Mei 2019.

Tak diragukan, “Konflik adalah bisnis.” Mengutip Eriyanto dari yang diambil dari The First Casualty: A History of War, Correspondent, and Propaganda karya Phillip Knightley.  

Tapi konflik merupakan konsekuensi dari keberagaman, tanpa media massa atau pers pun, konflik dipastikan ada, karena keberagaman manusia.

Dari situlah tugas media, sebagai wadah. Konflik dari keberagaman tersebut diarahkan menjadi wadah pertemuan saling mengerti mengapa konflik bisa terjadi.

Ibarat kepala suku dalam cerita dongeng sejarah yang mengumpulkan rakyat-rakyatnya yang berkonflik lalu menceritakan apa yang terjadi, lalu kepala suku tersebut berusaha mendengar semua pihak, dan berusaha memberikan petuah untuk menyelesaikan konflik yang ada, yang diarahkan kepada perbaikan. Petuah tersebut disebar luaskan kepada masyarakat lainnya yang berkonflik.

Dan tentu dari cerita-cerita tersebut perlu diverifikasi agar tidak ada kebohongan, dalam konteks jurnalistik.

Infografis Jurnalisme Konstruktif

Membangun Empati

Selain prinsip all both-side (mendengar semua pihak) yang dipegang jurnalisme -ketimbang influencer (pendengung) atau akun-akun bodong yang sok menghasilkan analisa-  yang membantu menguraikan konflik secara utuh dan mengarahkannya kepada perbaikan konflik.

Prinsip tersebut juga membangun empati. Selama pembaca atau penonton atau pendengar tidak pernah membaca atau menonton atau mendengar keterangan informasi dari pihak yang bersebrangan maka akan sulit terjadi ke luar dari echo chamber atau ruang gema yang hanya menarasikan dari lingkungan sekitar itu-itu saja dan dia-dia lagi.

Alih-alih sulit mengetahui atau mencari informasi diluar ruang gema mereka, jurnalisme bisa menjadi alat untuk melalukannya –dan memang tugasnya untuk verifikasi.    

Tanpa informasi atau cerita dari ruang gema lingkungan sekitar, akan sulit berempati kepada ruang gema lainnya, begitu pun sebaliknya. Konflik akan terus terjadi tanpa arah perbaikan yang berusaha menemukan titik temu, karena ketidakhadiran media yang berkualitas.

Hermiyani dalam jurnal penelitiannya, menjelaskan jurnalisme empati ialah jurnalisme yang mengajak pembaca untuk merasakan apa yang dirasakan oleh subjek pemberitaan, yang mengutamakan human interest atau kemanusiaan.

Selain membangun empati, media yang berkualitas juga memperhatikan framing atau pembingkaian. Redaksi juga perlu melihat konflik tersebut struktural (yang memiliki kuasa dengan yang tidak) atau konflik horizontal (konflik antara pihak yang sama kedudukannya).

Tanpa mengetahui hal tersebut, sulit konflik struktural mendapatkan perhatian lebih, dan memang biasanya peta permasalahannya sulit, dibandingkan konflik horizontal yang mudah ditulis dan banyak yang memperhatikan karena umumnya berdekatan dengan masyarakat.    

Mengetahui siapa yang berkuasa dan siapa yang ditekan atas kuasa pihak lain. Siapa yang memiliki modal lebih dan siapa yang ditekan atas modal lebih tersebut. Siapa yang memiliki jumlah yang banyak dan siapa yang ditekan atas jumlah yang sedikit tersebut. Siapa yang berkuasa dan siapa yang dibungkam atas kuasa tersebut.

Selain itu, media juga mampu memilah mana konsumsi publik yang bisa dibaca oleh masyarakat banyak, dan mana konsumsi privat, yang tidak boleh dibaca oleh masyarakat banyak.  

Daya Literasi

Akan tetapi masalahnya, apakah mau masyarakat membaca narasi dari kelompok yang berbeda pandangan darinya? Kita memang harus belajar untuk ke luar dari echo chamber, lalu berbicara dengan kelompok berbeda, tidak hanya berbicara hal-hal yang sama kepada itu-itu saja, menurut Bahrul Wijaksana, Direktur SFCG Indonesia.

Yang jadi masalah lainnya, apakah masyarakat mampu membaca atau memahami masalah yang ada? Jika melihat tingkat literasi Indonesia yang buruk. Berkaca dari data riset Program for International Student Assessment (PISA) yang dipublikasi oleh Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) tahun 2018, tingkat literasi mendapatkan skor 371 di urutan 10 terakhir; sedangkan skor indikator matematika 379, juga sama di urutan 10 terakhir; dan skor indikator sains 396 di urutan 10 terakhir juga.   

Jauh panggang dari api bicara jurnalisme konstruktif, tetapi dari pembaca tidak mau berinisiatif untuk simpati –minimal dengan membaca narasi yang berbeda- akan cukup sulit terjadi perbaikan atas konflik yang terjadi, apapun jenisnya. Boro-boro mau bersimpati, mau membaca saja sudah bagus! Jelas lebih mudah menerima bulat-bulat informasi.

Dengan literasi –membaca, menulis, terutama memahami- masyarakat yang baik, meningkat pula daya kritis ketika menerima informasi, menurun pula menelan informasi dari satu pihak secara bulat utuh. Selain itu juga membangun rasa empati kemanusiaan.

Dengan begini, pekerjaan rumahnya menjadi dua. Pertama membangun narasi konstruktif dari setiap konflik di masyarakat dan perbaikan tingkat literasi yang menuntut pemahaman masyarakat.     

Dua pekerjaan rumah itu, bisa dikerjakan setelahnya. Setidaknya masyarakat Indonesia harus paham dulu mengapa sebuah informasi yang berkualitas dan menyeluruh itu penting.

Jurnalis Adi Fauzanto
Diterbitkan: Rabu, 31 Agustus 2022
Pukul: 18.00 WIB
Jurnalis: Adi Fauzanto
Daftar Bacaan:  
• Eriyanto. 2002. Koran, Bisnis, dan Perang. Suara Kaltim Alinea Forum. 2021. Mencegah Deradikalisasi. YoutubeDevie Rahmawati. 2018. Resiko Polarisasi Algoritma Media Sosial: Kajian terhadap Kerentanan Sosial dan Ketahanan Bangsa. Jurnal Kajian Lemhanas RI, Vol. 33 Agung Sukoco dan Muhamad Syauqillah. 2021. Media, Globalisasi, dan Ancaman Terorisme. Jurnal Studi Terorisme, Vol. 3 No.2Hermiyani. 2014. Jurnalisme Empati dalam Pemberitaan Media Online Detikcom Mengenai Kasus Pembunuhan Ade Sara Periode Maret-April 2014. Jurnal Fisip AtmajayaOECD. 2018. Proggame for International Student Assesment.
Liputan Mendalam

Jurnalisme Data, Cara Baru Ungkapkan Fakta Melalui Cerita

Adi Fauzanto-30 Juli 2022 (18.00 WIB)-#3 Artikel
Jurnalisme Data, Cara Baru Ungkapkan Fakta Melalui Cerita

Dalam berbagai cara jurnalis mampu mengabadikan cerita, kata menjadi senjata utama, akan tetapi dalam dunia serba ada melalui digital, data menjadi sebuah narasumber tersendiri untuk sebuah cerita yang utuh. Perlu kiranya belajar bagaimana mendapatkan, mengolah, dan menyajikan data sebagai sebuah berita.

Maka, diadakan Data & Computational Journalism Conference Indonesia (DCJ-CI) 2022 yang diadakan Universitas Multimedia Nusantara bekerjasama dengan Kedutaan Besar Amerika Serikat di Indonesia.

***

Baca Serial Liputannya Di Sini

Olah Data, Olah Rupa, dan Olah Kata untuk Asa Jurnalisme


Kebijakan.co.idLiputan Konstruktif

Adi Fauzanto-1 Agustus 2022 (12.00 WIB)-#25 Paragraf
Olah Data, Olah Rupa, dan Olah Kata untuk Asa Jurnalisme

Untuk menarik perhatian pembaca, jurnalis dituntut untuk menggunakan berbagai media. Tidak sekedar memberikan gambaran yang ada, akan tetapi juga memberikan informasi yang berkualitas. Cara tersebut harus digunakan jurnalis untuk memberikan dampak untuk masyarakat di era digital.

Maka dari itu, diperlukan olah data untuk menunjukan ketepatan akan informasi, olah rupa untuk memberikan gambaran yang sesuai, dan olah kata untuk mengabadikan cerita kepada pembaca.

***

Tanggerang, Kebijakan.co.idPulitzer Prize –sebuah penghargaan tertinggi untuk dunia jurnalistik di Amerika Serikat— baru saja (9/5/2022) memberikan penghargaan liputan investigasi kepada Tampa Bay Times dengan judul Posioned atau Keracunan.

Liputan investigasi yang berisikan 3 liputan panjang ini, membongkar tabir perusahaan baterai yang abai dalam mengelola limbah atas produksi, berdampak kepada pekerjanya dan lingkungan sekitar di pabrik tersebut.

Setelah saya –Jurnalis Kebijakan.co.id—membaca liputan ini, saya kira perlu ada juga di Indonesia, khusus daerah industri macam Kabupaten Bekasi dan daerah industri lainnya, terlebih di Jawa Barat. Meski perusahaan-perusahaan banyak memoles dengan CSR (Corporate Social Responsibilty) atau tanggungjawab sosial perusahaan, yaitu menggunakan program dan pers rilis nya, bukan berarti dia lalai akan bisnis utama dia memproduksi sesuatu dan lupa memperhatikan sisa limbahnya yang dibiarkan.

Sekilas liputan tersebut, sama dengan liputan Tirto.id atas Perusahaan AICE yang meliput keamanan pekerja di sana sehingga banyak menimbulkan masalah, misal jari pekerjanya terputus, hingga masalah lainnya. Itu dari sisi perburuhan, dari sisi limbah sama seperti liputan ekspedisi 3 sungai WatchDoc –bekerjasama dengan Ecoton—yang menyoroti pembuangan limbah di sungai atas kelalaian pabrik tidak memiliki prosedur pembuangan limbah yang baik, sehingga masyarakat sekitar terdampak.

Tetapi yang perlu diperhatikan dari Liputan tersebut tidak hanya kualitas dari liputannya yang baik –yang memang sudah jelas karena memenangkan penghargaan pulitzer— akan tetapi juga penggunaan beberapa media seperti kata, audio visual berupa gambar, video, dan suara. Serta menempatkan data dan interaktif pembaca untuk mengetahui informasi.

2 bulan setelah pengumuman pulitzer, diadakan Data and Computational Journalism-Conference Indonesia (DCJ-CI) oleh Universitas Multimedia Nusantara. Kegiatan ini secara khusus memberikan pelatihan yang tidak jauh dari olah kata, olah rupa, olah data, dalam sebuah liputan. Tentu dengan harapan munculnya liputan seperti Tampa Bay Times tadi.

Jika dilihat dari susunan kurikulum yang saya dapatkan. Terdapat ketiganya, olah data, olah rupa, olah kata. Untuk olah data tidak perlu dibahas, karena memang dari judulnya saja sudah DCJ-CI. Untuk olah rupa di sebelum hari H (pre-event) diadakan diskusi oleh panitia.

Dalam diskusi tersebut bagaimana dijelaskan oleh Tim Jurnalisme Data Harian Kompas, mengolah rupa. Tim Jurnalisme Harian Kompas, menekanan bahwa data tidak boleh diberikan secara mentah begitu saja kepada pembaca. Jika diberikan secara mentah maka, tidak ada ketertarikan pembaca.

Maka harus dilakukan berbagai cara agar pembaca tertarik. Salah satunya dengan menganalogikan data tersebut dengan apa yang mudah dibayangkan oleh banyak orang. Misalnya, liputan data timbunan sampah makanan setinggi lebih Monumen Nasional.

Selain analogi penggambaran data, hal kecil lainnya juga perlu diperhatikan. Misal pemilihan warna. Warna dengan tone atau sentuhan yang tidak terlalu cerah atau gelap perlu diperhatikan, agar mudah dilihat pembaca. Dalam hal ini memang, karakter media dan target pembaca juga perlu diterjemahkan kepada pemilihan warna.

Selain itu juga, yang jarang diperhatikan banyak media ialah inklusifitas untuk mereka yang tunanetra terhadap warna. “Media juga harus belajar pemilihan warna untuk gangguan tunanetra terhadap warna, misal tidak menempatkan hijau dan merah secara bersamaan,” menurut Adolfo Arranz, Editor Grafis Reuters.         

Adolfo Arranz, Editor Grafis Reuters, saat menyampaikan materi saat hari pertama DCJ-CI 2022 di Gedung D UMN
Adolfo Arranz, Editor Grafis Reuters, saat menyampaikan materi saat hari pertama DCJ-CI 2022 di Gedung D UMN(Adi/Kebijakan.co.id)

Selain memperhatikan hal-hal kecil untuk menarik pembaca. Secara garis besar juga perlu memasukan sentuhan teknologi untuk menghasilkan liputan interaktif. Menempatkan pembaca memiliki ruang dan juga aktivitas dalam membaca liputan, seperti permainan, memilihi tempat dalam peta, tanya jawab, atau hingga memilih-milih gambar, dan berbagai interaktif lainnya.

Dalam hal ini jelaskan oleh sangat baik oleh Gabriel Giarnodoli dari New York Times –yang memang menjadi kiblat dari berbagai media di Amerika Serikat atau bahkan seluruh dunia. Dia mencontohkan liputan New York Times tentang gambaran interaktif Social Distancing atau jaga jarak dengan menggambarkan pergerakan bersin dari seseorang dengan jarak semburannya.

Satu langkah lebih maju untuk memberikan gambaran informasi kepada masyarakat, dengan kemajuan teknologi interaktif. Tetapi tidak hanya di Amerika Serikat, terkhusus di New York Times, dan pemenang Pulitzer Prize Investigasi terbaru ini, Tampa Bay Times. Akan tetapi juga ada di Indonesia.

Kita lihat seperti Kompas memiliki Virtual Interaktif Kompas (VIK), Tempo Interaktif, Jakarta Post dengan Longform , CNN Indonesia dengan Laporan Interaktif, dan masih banyak lainnya. Dan memang membutuhkan modal yang tidak sedikit untuk membentuk tim liputan interaktif, selain jurnalis, harus juga ada desain grafis dan ahli pemograman yang bisa bersentuhan langsung dengan pembaca.  

Akan tetapi yang terpenting dari kedua komponen, baik desain grafis atau pemograman berbentuk interaktif, yaitu kekuatan cerita. “Mereka-mereka ini ahli dalam pengolahan data, dan skill-skill programing lainnya,” menurut Agoeng Wijaya, akan tetapi mereka (tim Tempo Media Lab) tidak ahli dalam menyusun cerita, maka dari itu diperlukan jurnalis yang juga handal dalam menyusun cerita.

Penutupan Data & Computational Journalism Conference Indonesia 2022 di hotel Ashley
Penutupan Data & Computational Journalism Conference Indonesia 2022 di hotel Ashley (Adi/Kebijakan.co.id)

Begitu juga dengan desain grafis, “Sehari mereka ditargetkan sekian, tetapi kalau memang bukan passion disuruh nyusun point-point (menyusun cerita) agak terhambat, maka ditunjuk storyboard untuk menyusun point-point yang disampaikan dalam infografis. Mereka sehari bisa banyak mendesain, tanpa perlu berpikir (menyusun cerita) lagi,” kata Sapto Anggoro, pendiri Tirto.Id dalam sebuah wawancara dengan Kompas.com.

Menyusun kata untuk cerita, ibarat kawan lama datang untuk bercerita, sebuah gambaran dari Atmakusumah Astraatmadja yang dijadikan judul kata pengantar Andreas Harsono dalam buku Jurnalisme Sastrawi.

Buku yang ditulis dari kumpulan liputan panjang –umumnya liputan Majalah Pantau yang didirikan Andreas Harsono– yang bergaya sastrawi dengan semangat seperti Majalah The New Yorker atau karya fenomenal Hiroshima karya John Hersey yang berasal dari liputan jurnalistik.

Fifiyanti dalam penelitiannya terhadap karya Hiroshima yang menerapkan gaya jurnalisme sastrawi ini, menekankan 7 hal yang harus ada dalam jurnalisme sastrawi. (1) fakta, (2) konflik, (3) karakter, (4) emosi, (5) akses, (6) perjalanan waktu, dan (7) kebaharuan.

Infografis DCJ-CI 2022

Tanpa itu semua, dirasa kurang untuk kemajuan jurnalisme di Indonesia. Terlebih media memanfaatkan ‘pasar’ kualitas pembaca masyarakat dengan menyodorkan berita pendek nan bombastik.

Jauh panggang dari api, bicara penghargaan Pulitzer atau penghargaan internasional lainnya, bicara kualitas pembaca saja sudah menyedihkan dengan fakta media berita dengan lalu lintas terbanyak.

Tapi, bukan hidup namanya jika tidak ada tantangan. Maka, sudah menjadi tantangan untuk jurnalis dan media yang setia pada informasi berkualitas untuk masyarakat. Bukan tidak mungkin, pembaca juga berdatangan seiring dengan jengahnya pembaca akan kualitas berita yang tidak-tidak.

Baca Serial Liputan Konstruktif "Jurnalisme Data, Cara Baru Ungkapkan Fakta Melalui Cerita" Lainnya:
•	Jurnalisme Data, Cara Baru Ungkapkan Fakta Melalui CeritaOlah Data, Olah Rupa, dan Olah Kata untuk Asa JurnalismeDi Sekitar Berita Bohong
Jurnalis Adi Fauzanto
Diterbitkan: Sabtu, 1 Agustus 2022
Pukul: 12.00 WIB
Jurnalis: Adi Fauzanto
Daftar Bacaan:  
• Tim Harian Kompas. 2022. Sampah Makanan Indonesia Mencapai 330 Triliun. Kompas.idCorey (dkk.). 2021. Poisoned. Tampa Bay TimesYulia (dkk.). 2020. This 3-D Simulation Show Why Social Distancing Is So Important. New York TimesDieqy Hasbi (dkk.). 2017. Kondisi Kerja Buruh AICE Tak Semanis Iklan "Have an Aice Day". Tirto.idAgus Sopian (dkk.). 2008. Jurnalisme Sastrawi: Antologi Liputan Dalam dan Memikat. Penerbit Gramedia: Jakarta WatchDoc. 2021. Ekspedisi 3 Sungai. YoutubeKompas.com. 2021. Sapto Anggoro, Cuan Bikin Detik, Merdeka, dan Tirto Lalu Menjualnya. Youtube   Fifiyanti. 2022. Penerapan Jurnalisme Sastrawi dalam Buku Hiroshima Karya John Hersey. Jurnal Oratio Directa Vol. 3 No. 2

Jurnalisme Data, Cara Baru Ungkapkan Fakta Melalui Cerita


Kebijakan.co.idLiputan Konstruktif

Adi Fauzanto-30 Juli 2022 (18.00 WIB)-#41 Paragraf
Jurnalisme Data, Cara Baru Ungkapkan Fakta Melalui Cerita

Dalam berbagai cara jurnalis mampu mengabadikan cerita, kata menjadi senjata utama, akan tetapi dalam dunia serba ada melalui digital, data menjadi sebuah narasumber tersendiri untuk sebuah cerita yang utuh. Perlu kiranya belajar bagaimana mendapatkan, mengolah, dan menyajikan data sebagai sebuah berita.

Maka, diadakan Data & Computational Journalism Conference Indonesia (DCJ-CI) 2022 yang diadakan Universitas Multimedia Nusantara bekerjasama dengan Kedutaan Besar Amerika Serikat di Indonesia.

***

Tanggerang, Kebijakan.co.id — Hari itu (28/07/2022) sumuk luar biasa di Jakarta, selain rutinitas yang macet di Selatan Jakarta, juga harus menerima fakta bahwa tujuan yang saya –jurnalis Kebijakan.co.id— tuju, jauh luar biasa.

Saya agak ragu menggunakan KRL (Commuter Line), sebab dari stasiun terakhir jauh bukan main ke tempat lokasi yang saya tuju. Selain harus membayar ojek nantinya –cukup mahal melihat dari aplikasinya. Maka saya putuskan menggunakan kendaraan pribadi, motor.

Lokasi yang saya tuju ialah Kabupaten Tanggerang. Benar saja, menurut beberapa informasi, jalan menuju lokasi kondisinya tidak jauh berbeda dengan Kota Bekasi –tempat markas Kebijakan.co.id berada–, tata kotanya berantakan.

Akan tetapi, ketika saya memasuki lokasi yang saya tuju suasana berubah drastis, gedung dan ruko-ruko megah –tentu dengan jalan yang luas- menghiasi pinggir jalan. Lokasi yang dituju adalah Universitas Multimedia Nusantara (UMN), yang didirikan tahun 2005 atas inisiatif Jakob Oetama, pendiri Kompas Gramedia Grup, yang juga seorang guru –ketimbang mengaku sebagai wartawan atau pebisnis ulung.

Menariknya sumuk di Jakarta atau di Tanggerang tidak terlalu berasa di dalam gedung D (Gedung PK. Ojong) UMN, awalnya saya berpikir apa karena cukup kosong atau kondisi cuacanya sedang mendung, ternyata gedung tersebut memang didesain sangat terbuka, angin yang masuk bisa langsung ke luar, maka suasana cukup adem, karena sirkulasi udara yang baik.

Terlihat dari gedung yang didesain bolong-bolong, tentu bukan karena ambles, tetapi untuk ke luar-masuk angin, tampak dari luar seperti gedung Perpustakaan Universitas Indonesia atau seperti rumah teletabies.

Tampak Luar Gedung UMN (Dokumen Summarecon Serpong)
Tampak Luar Gedung UMN (Dokumen Summarecon Serpong)

Tak hanya di gedung, akan tetapi juga di tempat parkirannya (basement) hingga mushola yang berada di sana, tanpa pendingin ruangan ataupun kipas angin, hanya memperhatikan sirkulasi udara yang baik, cukup sejuk tidak membuat badan berkeringat.

Tak ayal, jika gedung tersebut diganjar penghargaan Energy Efficient Building kategori Tropical Building pada ASEAN Energy Award tahun 2019 yang dipajang di pelantaran gedungnya.  

Namun, terlihat masih ada lampu-lampu yang menyala walaupun siang hari di tengah sorotan sinar matahari, sama seperti gedung-gedung tinggi lainnya di kota-kota besar, yang seharusnya bisa dikurangi kegunaannya. “Jangankan gedung-gedung tinggi di kota besar, ini aja laptop sama hp (gawai) masih charger sambil dinyalain, sampe penuh lupa dicabut,” dalam hati saya.           

Di balik kunjungan saya ke gedung kampus ramah lingkungan tersebut, saya tidak sedang mengaudit kelayakan gedung, sebab bukan kewenangan saya juga. Atau sekedar melihat mahasiswa-mahasiswi yang sedang berkumpul sembari mengerjakan tugas atau sekedar berkumpul mempersiapkan kegiatan yang ada. Saya ke sana untuk belajar tentang apa yang disebut dengan jurnalisme data di Data & Computational Journalism Conference Indonesia (DCJ-CI) 2022.

Kegiatan ini dimulai dua hari sebelumnya (27/07/2022) agenda diskusi membahas kurikulum jurnalisme data, saya mengikutinya secara daring (dalam jaringan). Di hari itu, saya belajar bagaimana susah payahnya tim liputan data Harian Kompas yang diwakilkan Puteri Rosalina, dalam mengolah data, “layaknya tugas akhir,” menurutnya. Prosesnya mulai dari proposal liputan, pencarian data, hingga pengujian. Alih-alih membuat berita dengan 5-6 paragraf dengan judul yang bombastis.

Dari hal itu, saya berpikir, “Mereka ini layak disebut profesor, toh setiap minggu harus menyajikan laporan yang sekelas tugas akhir S2 atau S3, atau bahkan lebih bagus dan berguna, ketimbang tugas akhir yang diselesaikan karena tuntutan gelar apalagi dikerjakan orang lain.”

Dan yang lebih mengkhawatirkan lagi –seperti yang saya duga sebelumnya–, jumlah pembaca yang sedikit, “Kita harus mencari cara juga agar banyak yang baca.” Tim jurnalisme data Harian Kompas harus menganalogikan data dengan sesuatu yang dapat dibayangkan atau visualisasi oleh banyak orang, misal liputan data timbunan sampah makanan yang dihitung tinggi dan diameternya melebih Monumen Nasional atau mencari topik-topik yang sedang hangat di Twitter. Walaupun agak sulit, karena data yang dicari belum tentu mudah.

Dari data Alexa.com –sebuah situs yang dikelola Amazon untuk mengetahui lalu lintas laman web dan sekarang sudah ditutup- tahun 2021 akhir, laman berita yang banyak diakses dari 1 hingga 5 merupakan Okezone.com (54), Pikiran-Rakyat.com (77), Tribunnews.com (76), Kompas.com (126), Detik.com (139). Walaupun yang banyak diakses juga dari grup Kompas yang sama dengan Harian Kompas, namun berbeda bendera.

Paradoks memang, seperti yang dikatakan Andreas Harsono dalam wawancaranya di Tirto.id, antara Kompas.com (atau bahkan Tribunnews.com) dan Harian Kompas.

Akan tetapi setelah saya telusuri, Kompas.com dan Detik.com sudah ada liputan mendalam sebagai jawaban atas kekecewaan masyarakat yaitu JEO Kompas.com dan DetikX

Memang dari data tersebut berbicara, yang berkualitas memang sedikit juga kuantitas pembacanya juga menggambarkan kualitas pembacanya –ntah saya harus bangga atau tidak juga senang sekaligus sedih secara bersamaan.

Di balik liputan yang baik ada perjuangan untuk mendapatkannya, seperti pembicara selanjutnya adalah Leoni Alvionita, peserta yang lolos pelatihan DCJ-CI tahun 2021 dan mahasiswa UMN angkatan 2017 yang menceritakan perihal tugas akhirnya berbentuk proyek jurnalistik yang berkualitas, disajikan dengan cerita, juga data, dan dapat dibaca melalui sebuah laman yaitu UnfreeJournalist.com.

Sebuah proyek luar biasa, yang patut diacungi jempol, bukan hanya karna karyanya yang berkualitas, tetapi mengangkat isu yang tidak mudah dikerjakan, yaitu kebebasan pers, terlebih menyinggung hal yang tabu di Indonesia, yaitu soal Papua.

Jurnalisme Data ini ternyata merupakan program studi baru yang diajarkan secara khusus di Jurusan Jurnalistik, Universitas Multimedia Nusantara. Objek yang sudah muncul lama, lalu diteorisasikan oleh ilmu pengetahuan merupakan suatu hal yang wajar bagi setiap fenomena.

Jurnalisme data memang sudah ada jauh sebelum kata tersebut muncul. “Dan memang sudah hakikat jurnalis harus berpegang pada fakta (dalam hal ini data),” menurut salah satu narasumber dalam konfrensi tersebut. Hanya saja digaungkan kembali ketika kemudahan mencari data semenjak era-digital ada.

Akan tetapi ada yang perlu diperhatikan secara lebih, data yang dimaksud bukan hanya sekedar angka-angka, layaknya laporan BPS (Badan Pusat Statistik) di halaman web nya –yang penuh dengan angka statistik. Data yang dimaksud merupakan fakta yang dikumpulkan lalu diolah menjadi cerita, dengan kata ataupun visual nantinya, bisa juga berupa angka seperti BPS, tapi tidak sementah itu.

Data tersebut bukan juga data ‘resmi’ yang dikeluarkan pemerintah. Tetapi data yang dicari oleh jurnalis dari sumber terbuka (Open Source) untuk mengulik fenomena yang ada.

Adolfo Arranz, Editor Grafis Reuters, saat menyampaikan materi saat hari pertama DCJ-CI 2022 di Gedung D UMN
Adolfo Arranz, Editor Grafis Reuters, saat menyampaikan materi saat hari pertama DCJ-CI 2022 di Gedung D UMN(Adi/Kebijakan.co.id)

Seperti yang diungkapkan Adi Marsiela dari Aliansi Jurnalis Indonesia di hari pertama (28/07/2022), “Umumnya data yang dicari memang hanya untuk melengkapi liputan jurnalistik.” Ke depan menurut Adi, data digunakan untuk mencari suatu masalah atau celah yang perlu dicari kejelasannya untuk dijadikan liputan kepada publik.

“Maka dari itu kita butuh Big Data,” satu hal yang coba di inisiasi oleh Ronny Buol dari ZonaUtara.com untuk mengumpulkan data-data menjadi sebuah DataBooks atau BigData atau Data Besar khusus untuk Kota Manado. “Ini disambut baik oleh masyarakat yang ingin tahu (keadaan covid-19 ketika itu).”  

Cara lain ditempuh oleh Tim Investigasi Tempo yang disampaikan Agoeng Wijaya dihari terakhir DCJ-CI (30/07/2022), yang mencari data perusahaan sawit yang tidak membayar pajak dari jumlah hektar lahan yang dikelola di lapangan, lalu mencocokan melalui Dirjen Pajak. “Ada usaha untuk melobi agar data itu dibuka.” Setelah dibuka, ada beberapa keterangan lahan yang dikelola tidak sesuai dengan temuan, begitupun dengan pajak yang dibayarkan.

Penutupan Data & Computational Journalism Conference Indonesia 2022 di Hotel Ashley
Penutupan Data & Computational Journalism Conference Indonesia 2022 di hotel Ashley (Adi/Kebijakan.co.id)

“Kita (Tim Investigasi Tempo) mencocokan data temuan di lapangan dan data di balik lembaga yang berwenang. Jika tidak, maka apa bedanya kita dengan analis.” Sebuah cerita dari Agoeng yang menggambarkan bagaimana sebuah data didapatkan dan diverifikasi.

Memang merupakan fenomena umum terjadi, “Sebenarnya data tersebut sudah ada di dalam pemerintahan, akan tetapi tidak terdokumentasi dengan baik, misalnya Data kebakaran di Bandung yang disimpan rapih Dinas Pemadam Kebarakan Kota Bandung, tetapi tidak tersusun dengan rapih,” Kata Adi menggambarkan data di lembaga pemerintah yang menumpuk, maka sudah tugas jurnalis merapihkan dan mendokumentasikan, sekaligus mencari fakta lainnya yang dapat membantu warga, misalnya data hidran di pinggir jalan untuk saluran air yang rusak dan yang bisa digunakan.

“Pun data-data tersebut (dalam hal ini tentang Covid-19) dikumpulkan dari beberapa petugas kesehatan di kecamatan-kecamantan (dalam hal ini di Manado),” kata Ronny Doul yang mengumpulkan data resmi dari lembaga kesehatan di Kota Manado.

Akan tetapi ada juga yang tidak tepat, maka itu diperlukan verifikasi lapangan, misalnya, “Data pasien di Kota Surabaya yang meninggal karena Covid-19 di hari tertentu tidak ada, ternyata setelah diverifikasi di rumah sakit, ternyata ada.” Kata Eko Widianto dari TeraKota.id.  

Berkembangnya jurnalisme data di Indonesia perlu mendapatkan perhatian lebih, yang memang sudah terbukti membantu menghadapi wabah Covid-19.

Menurut Hartinah dalam penelitiannya (2018), tantangan jurnalisme data hadir dalam bentuk kemampuan dan banyaknya jurnalis yang menguasainya, juga pengerjaannya yang memakan waktu tidak sedikit dan cukup sulit –ketimbang berita bombastis. Tentu, Media harus berinvestasi lebih untuk keberlanjutan jurnalisme data. 

Maka, sudah sepatutnya, “Data menjadi narasumber tersendiri,” menurut pengajar jurnalistik UMN. Sama seperti narasumber berbentuk ahli, peneliti, praktisi, atau warga biasa. Dan tentu verifikasi atau pemeriksaan ulang menjadi pembeda antara ‘sekedar berita’ dan berita yang tidak mengada-ada.

Semoga dengan data menjadi narasumber liputan, pers yang bekerja sesuai etika jurnalistik menjadi seperti apa yang dikatakan oleh Azyumardi Azra, Ketua Dewan Pers yang baru, dalam sambutannya di kegiatan DCJ-CI 2022, “Menjadi pelopor, bukan pengekor.” Dan mencegah media atau jurnalisme abal-abal seperti yang dikatakan Perwakilan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) dalam sambutannya.      

Infografis DCJ-CI 2022

Setelah saya selesai dengan proses belajar ini, sudah sepatutnya saya percaya dengan fakta, bahwa jalan menuju Tanggerang tidak semudah yang saya kira –sama semrawut nya dengan Kota Bekasi.

Dan yang saya ingat masih tentang kekecewaan saya di awal menggunakan kendaraan pribadi. Alangkah hari itu menggunakan kendaraan umum. Sebab, jalannya cukup memutar-mutar untuk menuju ke tempat lokasi.

Setelah saya hitung-hitung jauh lebih mahal ongkos yang harus dikeluarkan, beserta nyasar dan minggir sana-sini untuk sekedar beli sesuatu untuk bertanya warga sekitar dan mengisi bensin yang habis untuk berputar-putar tanpa bantuan aplikasi map yang mati.

Dan fakta lainnya tentang panas –dan buruknya lingkungan– kota Jakarta dan sekitarnya, dengan kualitas udara pada hari itu menurut IQAir.com di angka 109 untuk Jakarta, 142 untuk Tanggerang Selatan, 135 untuk Kota Tanggerang, menandakan tidak sehat untuk kelompok sensitif.

Di balik itu, saya harus tetap bersyukur, sebab di balik susah payah tersebut ada ilmu yang saya bawa. Dan semoga berguna –kalau banyak yang baca.

Baca Serial Liputan Konstruktif "Jurnalisme Data, Cara Baru Ungkapkan Fakta Melalui Cerita" Lainnya:
•	Jurnalisme Data, Cara Baru Ungkapkan Fakta Melalui CeritaOlah Data, Olah Rupa, dan Olah Kata untuk Asa JurnalismeDi Sekitar Berita Bohong
Jurnalis Adi Fauzanto
Diterbitkan: Sabtu, 30 Juli 2022
Pukul: 18.00 WIB
Jurnalis: Adi Fauzanto
Daftar Bacaan:
•  Wan Ulfa Nur Zahra. 2017. Andreas Harsono: Jangan Ada Perbedaan Kualitas Jurnalisme, Apapun Mediumnya. Tirto.idLeoni Alvianto Susanto. 2022. Unfree Journalist. Unfreejournalist.comHartinah Sanusi. 2018. Jurnalisme Data: Transformasi dan Tantangan Era Digital. Jurnal Tabligh Vol. 19 No. 1 IQAir.comAdi Marsiela. 2020. Bandung Lautan Api: Seberapa Dekat Kita dengan Kebakaran?  Eko Widianto. 2021. Malang Kota Genangan. Terakota.id Tim Harian Kompas. 2022. Sampah Makanan Indonesia Mencapai 330 Triliun. Kompas.id

Jurnalisme, Sekali Lagi dan Nanti

Pelik rasanya melihat jurnalisme ‘pasar’ yang menuhankan traffic dengan clickbait nya. Pelik juga melihat media partisan –yang secara jelas-jelas atau yang memanfaatkanya. Yang jelas-jelas, menampilkan dalam sebuah berita atau segmen khusus ‘kelompok partai’ nya, sebut saja kelompok Media Group News dengan Surya Paloh serta Nasdem-nya dan MNC Group dengan Hary Tanoesudibjo serta Perindo-nya.

Begitu juga yang memanfaatkan partisan, dengan menempatkan framing partisan secara berlebih, alih-alih menimbulkan daya kritis, malah membuat kegelapan partisan tersebut, sebut saja TV One (Viva Group) dengan pseudo-oposisi Karni Ilyas dan Aburidzal Bakrie dengan bisnis serta Golkar-nya.

Misalnya, putra Aburidzal Bakrie memakai narkoba. Hampir tidak ada satu pun berita yang dikeluarkan group TV One. Praktik-praktik ini paradoks luar biasa, aneh. Media dan pemilik yang bukan berlatar belakang ‘jurnalis’ hanya akan melahirkan media tanpa arah perbaikan –terlebih jika pemilik nya berlatar businessman cum politisi.  

Kenajisan dan banalitas itu tidak terbendung ketika bertemu teknologi. Sebuah alat yang ‘membantu’ manusia menemukan circle-nya, justru menjebak dalam filter bubble, itulah Artificial Intellegence. Teknologi super apps yang menggunakan itu, tidak jarang menimbulkan konflik yang tidak konstruktif. Misal, perbedaan warna kulit, perbedaan suku, hingga perbedaan agama. Melahirkan kebencian, permusuhan, menjauhkan –tidak memberikan setitik pun untuk bertemu dalam dunia digital.

Ketika prinsip yang dipegang media-media tadi, juga dengan bantuan penemuan teknologi. Maka lahirlah, berita-berita palsu, berita-berita pendek, berita-berita yang hanya menceritakan setitik dari ribuan makna didalamnya, lagu-lagu partai, berita yang melindungi pemiliknya.

Terlebih kualitas masyarakat belum siap dengan keadaan seperti ini. Salah duanya, yaitu Detik.com dan Tribunnews, kedua media tersebut melengkapi tragisnya fenomena kualitas baca di Indonesia. Sudah dikenal dengan minat rendah membaca, didukung ‘penyebar informasinya’ seperti salah keduanya –Detik dan Tribun. Pelik. Alih-alih memperbaiki, malah menjatuhkan palu sidang atas pasar rendah baca masyarakat Indonesia.

Hal ini tak jarang, digunakan juga oleh masyarakat Indonesia, sebagai penyambung lidah –baik itu langsung atau visual. Mengirimkan pesan whatsapp, line, atau instagram. Membuat video pendek, atau hal-hal lainya. Ditambah stupid influencer yang berlaga konyol memperparah keadaan. Ditambah dengan adanya produk iklan yang masuk mengendorse mereka. Menambah vonis berkali-kali lipat atas pasar rendah baca masyarakat Indonesia.    

Tersisa hanya Kompas dan Tempo. Kompas dengan ‘nilai luhur’ nya berusaha melawan dirinya sendiri, kompas.com –juga tribun- dan kompas.id –harian kompas- adalah gambaran paradoks dari fenomena ini. Begitu juga dengan Tempo, antara tempo.co dengan koran tempo dan majalah tempo, juga bagian dari fenomena paradoks.

Yang satu membahas artis yang gemar belanja, yang satu membahas bagaimana menggambarkan prioritas belanja kebutuhan pemerintah pusat, daerah, hingga korporasi agar optimal. Yang satu misalnya, memberitakan artis-artis yang jatuh tersandung batu, yang satu nya membahas agenda kebijakan yang jatuh tersandung batu ‘hutang’. Paradoks dan absurd. Saya masih membayangkan seorang Jakob Oetama dan Goenawan Mohamad melihat kualitas berita kompas.com juga tempo.co yang receh mengincar traffic.

Jurnalisme Sekali Lagi

Mengapa sekali lagi? Bisnis (dibaca: urusan) informasi, bisa jadi bisnis tertua yang manusia lakukan selagi mencari bahan makanan, dengan berburu atau meramu. Tak jarang perpindahan era, pionirnya –penggeraknya- merupakan informasi atau komunikasi.

Ambil contoh, Renaissance tanpa penyebaran gagasan pencerahan, muskil terjadinya eropa maju saat ini. Era kejayaan Islam, tanpa pertukaran informasi Yunani Kuno atau India Kuno dengan terjemahan informasi yang ditulis ulang, muskil menemukan Ibnu Sina, dan ibnu-ibnu lainya.

Tidak perlu jauh-jauh, negara dengan banyak kepualan ini, muskil merdeka tanpa informasi yang memberitakan bobroknya Belanda. Atau Cina –saat ini- muskil maju tanpa penerimaan informasi terkait informasi perdagangan bebas sesuai kebutuhan dan informasi manfaat internet, dilanjutkan dengan pengembangan pendidikan dasar hingga tinggi, lalu pembangunan kota-kota dagang, begitu juga dengan Jepang di era restorasi meiji.

Kembali lagi, lalu membayangkan bagaimana jika informasi yang pendek-pendek tadi mempengaruhi kita? Apa yang akan terjadi? Apalagi Indonesia, yang memiliki pasar pembaca yang rendah. Alih-alih meraih kejayaan nya, yang ada justru menjadi tempat jual-beli informasi (murah) layaknya pasar kumuh.

Misalnya, informasi paham kekerasan –umumnya dari timur tengah- tertentu, masuk, setelah itu laku di masyarakat. Begitu juga dengan informasi budaya Korea –yang tidak berguna-, laku di masyarakat. Informasi dari negara barat –yang merusak-, seperti narkoba tanpa pengendalian diri, atau seks bebas tanpa pertanggungjawaban, hanya akan memupus anak muda berbakat.

Jurnalisme Sekali Lagi. Bukan tentang pikiran pesimis atau nihilis. Sekali lagi, meniru –mengambil pelajaran- tetapi bukan mengulang. Ntah, dibilang optimis atau bualan belaka. Layaknya Amerika mengambil pelajaran dari krisis kapital era 1930-an. Dia mengambil langkah ‘sekali lagi’ atau memulai kembali. Terutama mengembalikan peran pers sebagai pengawas, sangat dibutuhkan.

Tentu, bukan membuangnya dan menolaknya secara total, walaupun masih ada beberapa hal yang harus diperbaiki. Menolak dan membuangnya total, namanya revolusi. Tidak mengapa, jika ‘siap’. Jika tidak, Uni Soviet dengan kehancurannya atas bobroknya sistem dari atas hingga bawah. Tentu ada sebab lain mengapa ‘hancur’, tetapi mereka tidak mengambil pelajaran dan memperbaiki.

Jurnalisme Invetigasi/Jurnalisme Foto Kebijakan.co.id

Jurnalisme Nanti

Sekali lagi, layaknya sebuah piring kotor, yang harus dicuci untuk digunakan ulang untuk makan. Maka harus seperti itulah jurnalisme. Tentu kita tidak makan dengan piring yang kotor dan berminyak, bisa jadi makanan nanti terserang bakteri yang membahayakan kita. Atau langsung membuang piring tersebut, tidak. Jurnalisme harus memulai kembali, sembari menatap teknologi.

Didukung dengan teknologi terbaharukan. Bukan tidak mungkin, kedepannya ada teknologi yang memudahkan untuk mencuci piring tersebut. Misalnya, dengan anti-tesis memperbaiki struktur code algoritma yang tidak menempatkan filter bubble. Atau memberikan tempat indikator informasi terbaik, bukan berdasarkan pasar total tetapi melihat indikator informasi yang layak.

Munculnya jurnalisme pionir, sebagai penunjuk arah, bukan penuntun. Penunjuk arah, bukan hanya yang ‘baik’ tapi juga ‘buruk’. Bukan hanya ‘kekonyolan’, tetapi juga yang ‘seharusnya’. Bukan hanya ‘cepat’, tetapi juga ‘panjang dan mendalam’. Jurnalisme yang berjalan dengan ‘bangga atas dirinya’, ‘bukan bangga di miliki siapa’. Rasa-rasanya ‘membangkitkan’ Mochtar Lubis akan sulit dalam jurnalisme kedepan, tetapi bukan tidak mungkin.

Tidak perlu mencari siapa yang harus bertanggung jawab atas semua ini. Mekanisme kerja manusia, beralih itu hal biasa, layaknya proses dialektika -baik dalam alam pikir menurut Socrates atau realitas menurut Hegel. Proses beralih itulah yang harusnya dilihat. Jangan sampai menuju jurang yang sama. Terutama memperhatikan masyarakat –sebagai pembaca- yang memiliki andil penting, bukan hanya sebagai target pasar, tetapi juga melibatkan unsur kognitif –individu manusia juga jamak masyarakat- yang bisa mengendalikan hal-hal tertentu, jangankan pasar, penemuan-penemuan besar dapat dilakukan dari sana.

Diterbitkan: 29 November 2021 
Kolomnis Opini: Adi Fauzanto
Daftar Bacaan: 
• Ross Tapsell. 2019. Kuasa Media di Indonesia: Kaum Oligarki, Warga, dan Revolusi Digital. Penerbit Marjin Kiri: Yogyakarta.
• David Hill. 2010. Jurnalisme dan Politik di Indonesia: Biografi Kritis Mochtar Lubis Sebagai Pemimpin Redaksi dan Pengarang. Penerbit Obor: Jakarta 
• Wartawan Kompas. 2020. Jejak Langkah Jakob Oetama: Warisan Sang Pemula. Penerbit Gramedia: Jakarta 
• Suryopratomo. 2021. Belajar dari Pengalaman “The Straits Times”. Kolom Opini Kompas.id 
• Ignas Kleden. 2020. Fragmen Sejarah Intelektual: Beberapa Profil Indonesia Merdeka. Penerbit Obor: Jakarta 
• Benson Bobrick. 2019. Kejayaan Harun Ar-Rasyid: Legenda Sang Khalifah dan Kemajuan Peradaban Dunia pada Zaman Keemasan Islam. Penerbit Alvabet: Tangerang 
• Yuval Noah Harari. 2018. Sapiens: Riwayat Singkat Manusia. Penerbit Gramedia: Jakarta  
• Sindhunata. 2019. Teori Kritis Sekolah Frankfurt: Dilema Usaha Manusia Rasional. Penerbit Gramedia: Jakarta
• Budi Hadirman. 2011. Pemikiran-Pemikiran yang Membentuk Dunia Modern. Penerbit Erlangga: Jakarta
• Majalah Tempo. 2012. Kapitalisme Buatan China. Laporan Khusus Majalah Tempo
• Hasyim Asy’ari. 2018. Renaisans Eropa dan Transmisi Keilmuan Islam ke Eropa. Jurnal Sejarah Peradaban Islam Vol. 2 No. 1