Di Sekitar Berita Bohong


Kebijakan.co.idLiputan Konstruktif

Adi Fauzanto-2 Agustus 2022 (14.00 WIB)-#16 Paragraf
Di Sekitar Berita Bohong

Ada hal mendasar yang membedakan antara karya jurnalistik yang baik dan sebaliknya. Ialah verifikasi. Verifikasi bukan hanya untuk keberimbangan, tetapi juga keutuhan. Ada begitu banyak perspektif, tugas jurnalis adalah menampung dan membingkainya.

***

Tanggerang, Kebijakan.co.id – Era-digital, di mana data (informasi) bisa disebarkan hanya melalui gawai. Di balik kemudahan tersebut, ada yang memanfaatkannya untuk menyebarkan hal yang tidak sesuai, atau hal yang dianggap benar untuk kelompok atau pemahamannya. Ntah, kelompok politik, ekonomi, bahkan agama dan aliran-alirannya.  

Kelompok-kelompok ini menciptakan polarisasi yang tinggi di masyarakat akibat informasi di dunia digital yang dikelola oleh mesin teknologi kecerdasan buatan (Artificial Intellegence), menyebabkan informasi yang diterima hanya di sekitar itu-itu saja atau orang yang diikutinya di media sosial.  

Algoritma –instruksi bahasa komputasi– untuk menjalankan kecerdasaran buatan di media sosial ini, menurut Wenselaus Manggut (Ketua Umum AMSI 2010-2017), hanya menyuguhkan konten atau artikel untuk pembaca sesuai selera mereka -dilihat dari kebiasaan, pencarian, hobi, kesukaan, pekerjaan, dan aktivitas lainnya di media sosial tersebut. Misalnya, mereka tertarik membaca isu terorisme, maka yang keluar akan topik teroris melulu.

Di sinilah mengapa penting sebuah jurnalisme –yang berkualitas—di mana prinsip dasarnya ialah verifikasi. Yang bisa menangkap semua arah. Tanpa hal itu, jurnalisme hanya akan menjadi corong satu arah. Dan tidak bisa diuji kebenarannya, baik dua sisi, tiga sisi, ataupun banyak sisi lainnya.

Selain peran jurnalis, keterlibatan publik juga memainkan peran. Publik yang memiliki daya kritis yang tajam mampu memilah-memilih informasi yang sekiranya benar dan tidak, yang utuh dan tidak utuh, yang berkualitas atau yang tidak berkualitas.

Publik yang kritis harus didukung dengan, “Faktor literasi masyarakat dan juga interaksi lingkungan antara yang berbeda,” memainkan peran penting menurut Ratna Ariyanti dari Cek Fakta.com dalam Data & Computational Journalism Conference-Indonesia (DCJ-CI) hari ke-2 (28/7/2022). Keduanya berperan penting untuk membangun keutuhan informasi yang diterima, daya kritis, dan mampu menerima informasi atau perspektif dari yang berbeda.

Infografis DCJ-CI 2022

Lagi-lagi faktor literasi masyarakat memainkan peran penting. Tetapi apa mungkin tingkat literasi tinggi di masyarakat masih terjadi adanya penebaran berita bohong. “Ada kemungkinan, yang terjadi di Amerika Serikat misalnya,” tambah Ratna. Faktor literasi masyarakat salah satunya ditentukan oleh Pendidikan, “Akan tetapi pendidikan saja tidak cukup, pendidikan yang seperti apa dulu?” sambung Ratna, “Jika yang tidak terdidik tidak memiliki rasa empati rasa kemanusiaan, ya susah.”

Ratna Ariyanti
Ratna Ariyanti (Dokumen Ohio University)

Selain faktor literasi masyarakat, adanya peristiwa juga dimanfaatkan penebar informasi bohong kepada publik –yang memiliki tingkat literasi rendah atau kelompok-kelompok yang hanya meyakini benar dalam satu cara pandang.

Misalnya, peristiwa Covid-19 yang meyakini teori konspirasi dan cenderung anti-sains –dalam hal ini ilmuwan virus— serta menggangap ada campur tangan politik penyebab dari virus tersebut tanpa ada verifikasi atau bukti yang mendukung, dan diyakini kelompoknya sehingga membuat cara pandang yang aneh.

Masalah tersebut berkelindan di tengah arus informasi yang cepat mengancam keutuhan masyarakat, apalagi nyawa manusia.

Jurnalis, publik yang kritis, dan kelompok peduli lainnya akhirnya banyak mendirikan wadah, untuk memberikan penjelasan terhadap informasi yang tidak utuh, atau bohong ini. Di antaranya CekFakta.com, Mafindo (Masyarakat Anti Fitnah Indonesia), termasuk Kementerian Informasi dan Informatika yang cukup rajin melabeli informasi bohong.

Seperti yang dikatakan Dedi Rianto dalam jurnal penelitiannya (2017), pencegahan dapat dilakukan dengan meningkatkan literasi masyarakat melalui pemerintah, tokoh masyarakat, dan komunitas.

Kedepan jika tahapan-tahapan tidak dijalankan –mulai dari verifikasi lapangan, verifikasi pihak-pihak terlibat, data-data yang ada, keterlibatan ahli, dan mencari bukti yang mendukung—hanya akan menjadi bumerang bagi kebebasan informasi. Khususnya bagi pemerintah –yang memiliki otoritas—yang terjadi adalah dominasi informasi, pembagian yang benar dan mana yang salah.

Apalagi yang mencap sama sekali tidak menunjukan transparansi tahapan atas pembuktian yang terjadi atau ditutup-tutupi lalu melabeli informasi bohong. Terlebih mereka diduga terlibat dalam informasi atau berita tersebut.

Dan, tentu tidak bisa mereka-mereka ‘hanya menjadi tukang sapu atas informasi bohong’. Harus juga ada yang mengedukasi agar tidak ada ‘sampah berserakan’ yaitu dengan peningkatan daya literasi dan berpikir kritis berdasarkan bukti. Atau setidaknya jangan fanatik terhadap satu orang, satu golongan, dan satu pemahaman.

Baca Serial Liputan Konstruktif "Jurnalisme Data, Cara Baru Ungkapkan Fakta Melalui Cerita" Lainnya:
•	Jurnalisme Data, Cara Baru Ungkapkan Fakta Melalui CeritaOlah Data, Olah Rupa, dan Olah Kata untuk Asa JurnalismeDi Sekitar Berita Bohong
Jurnalis Adi Fauzanto
Diterbitkan: Selasa, 2 Agustus 2022
Pukul: 14.00 WIB
Jurnalis: Adi Fauzanto
Daftar Bacaan:  
•  Dedi Rianto. 2017. Perilaku Pengguna dan Informasi Hoax di Media Sosial. Jurnal Manajemen dan Kewirausahaan Vol. 5 No. 1Wenselaus Manggut. 2019. Meretas Kembali Jalan Jurnalisme di Era Digital. Jurnal Dewan Pers Edisi 20 

Jurnalisme Data, Cara Baru Ungkapkan Fakta Melalui Cerita

Adi Fauzanto-30 Juli 2022 (18.00 WIB)-#3 Artikel
Jurnalisme Data, Cara Baru Ungkapkan Fakta Melalui Cerita

Dalam berbagai cara jurnalis mampu mengabadikan cerita, kata menjadi senjata utama, akan tetapi dalam dunia serba ada melalui digital, data menjadi sebuah narasumber tersendiri untuk sebuah cerita yang utuh. Perlu kiranya belajar bagaimana mendapatkan, mengolah, dan menyajikan data sebagai sebuah berita.

Maka, diadakan Data & Computational Journalism Conference Indonesia (DCJ-CI) 2022 yang diadakan Universitas Multimedia Nusantara bekerjasama dengan Kedutaan Besar Amerika Serikat di Indonesia.

***

Baca Serial Liputannya Di Sini

Olah Data, Olah Rupa, dan Olah Kata untuk Asa Jurnalisme


Kebijakan.co.idLiputan Konstruktif

Adi Fauzanto-1 Agustus 2022 (12.00 WIB)-#25 Paragraf
Olah Data, Olah Rupa, dan Olah Kata untuk Asa Jurnalisme

Untuk menarik perhatian pembaca, jurnalis dituntut untuk menggunakan berbagai media. Tidak sekedar memberikan gambaran yang ada, akan tetapi juga memberikan informasi yang berkualitas. Cara tersebut harus digunakan jurnalis untuk memberikan dampak untuk masyarakat di era digital.

Maka dari itu, diperlukan olah data untuk menunjukan ketepatan akan informasi, olah rupa untuk memberikan gambaran yang sesuai, dan olah kata untuk mengabadikan cerita kepada pembaca.

***

Tanggerang, Kebijakan.co.idPulitzer Prize –sebuah penghargaan tertinggi untuk dunia jurnalistik di Amerika Serikat— baru saja (9/5/2022) memberikan penghargaan liputan investigasi kepada Tampa Bay Times dengan judul Posioned atau Keracunan.

Liputan investigasi yang berisikan 3 liputan panjang ini, membongkar tabir perusahaan baterai yang abai dalam mengelola limbah atas produksi, berdampak kepada pekerjanya dan lingkungan sekitar di pabrik tersebut.

Setelah saya –Jurnalis Kebijakan.co.id—membaca liputan ini, saya kira perlu ada juga di Indonesia, khusus daerah industri macam Kabupaten Bekasi dan daerah industri lainnya, terlebih di Jawa Barat. Meski perusahaan-perusahaan banyak memoles dengan CSR (Corporate Social Responsibilty) atau tanggungjawab sosial perusahaan, yaitu menggunakan program dan pers rilis nya, bukan berarti dia lalai akan bisnis utama dia memproduksi sesuatu dan lupa memperhatikan sisa limbahnya yang dibiarkan.

Sekilas liputan tersebut, sama dengan liputan Tirto.id atas Perusahaan AICE yang meliput keamanan pekerja di sana sehingga banyak menimbulkan masalah, misal jari pekerjanya terputus, hingga masalah lainnya. Itu dari sisi perburuhan, dari sisi limbah sama seperti liputan ekspedisi 3 sungai WatchDoc –bekerjasama dengan Ecoton—yang menyoroti pembuangan limbah di sungai atas kelalaian pabrik tidak memiliki prosedur pembuangan limbah yang baik, sehingga masyarakat sekitar terdampak.

Tetapi yang perlu diperhatikan dari Liputan tersebut tidak hanya kualitas dari liputannya yang baik –yang memang sudah jelas karena memenangkan penghargaan pulitzer— akan tetapi juga penggunaan beberapa media seperti kata, audio visual berupa gambar, video, dan suara. Serta menempatkan data dan interaktif pembaca untuk mengetahui informasi.

2 bulan setelah pengumuman pulitzer, diadakan Data and Computational Journalism-Conference Indonesia (DCJ-CI) oleh Universitas Multimedia Nusantara. Kegiatan ini secara khusus memberikan pelatihan yang tidak jauh dari olah kata, olah rupa, olah data, dalam sebuah liputan. Tentu dengan harapan munculnya liputan seperti Tampa Bay Times tadi.

Jika dilihat dari susunan kurikulum yang saya dapatkan. Terdapat ketiganya, olah data, olah rupa, olah kata. Untuk olah data tidak perlu dibahas, karena memang dari judulnya saja sudah DCJ-CI. Untuk olah rupa di sebelum hari H (pre-event) diadakan diskusi oleh panitia.

Dalam diskusi tersebut bagaimana dijelaskan oleh Tim Jurnalisme Data Harian Kompas, mengolah rupa. Tim Jurnalisme Harian Kompas, menekanan bahwa data tidak boleh diberikan secara mentah begitu saja kepada pembaca. Jika diberikan secara mentah maka, tidak ada ketertarikan pembaca.

Maka harus dilakukan berbagai cara agar pembaca tertarik. Salah satunya dengan menganalogikan data tersebut dengan apa yang mudah dibayangkan oleh banyak orang. Misalnya, liputan data timbunan sampah makanan setinggi lebih Monumen Nasional.

Selain analogi penggambaran data, hal kecil lainnya juga perlu diperhatikan. Misal pemilihan warna. Warna dengan tone atau sentuhan yang tidak terlalu cerah atau gelap perlu diperhatikan, agar mudah dilihat pembaca. Dalam hal ini memang, karakter media dan target pembaca juga perlu diterjemahkan kepada pemilihan warna.

Selain itu juga, yang jarang diperhatikan banyak media ialah inklusifitas untuk mereka yang tunanetra terhadap warna. “Media juga harus belajar pemilihan warna untuk gangguan tunanetra terhadap warna, misal tidak menempatkan hijau dan merah secara bersamaan,” menurut Adolfo Arranz, Editor Grafis Reuters.         

Adolfo Arranz, Editor Grafis Reuters, saat menyampaikan materi saat hari pertama DCJ-CI 2022 di Gedung D UMN
Adolfo Arranz, Editor Grafis Reuters, saat menyampaikan materi saat hari pertama DCJ-CI 2022 di Gedung D UMN(Adi/Kebijakan.co.id)

Selain memperhatikan hal-hal kecil untuk menarik pembaca. Secara garis besar juga perlu memasukan sentuhan teknologi untuk menghasilkan liputan interaktif. Menempatkan pembaca memiliki ruang dan juga aktivitas dalam membaca liputan, seperti permainan, memilihi tempat dalam peta, tanya jawab, atau hingga memilih-milih gambar, dan berbagai interaktif lainnya.

Dalam hal ini jelaskan oleh sangat baik oleh Gabriel Giarnodoli dari New York Times –yang memang menjadi kiblat dari berbagai media di Amerika Serikat atau bahkan seluruh dunia. Dia mencontohkan liputan New York Times tentang gambaran interaktif Social Distancing atau jaga jarak dengan menggambarkan pergerakan bersin dari seseorang dengan jarak semburannya.

Satu langkah lebih maju untuk memberikan gambaran informasi kepada masyarakat, dengan kemajuan teknologi interaktif. Tetapi tidak hanya di Amerika Serikat, terkhusus di New York Times, dan pemenang Pulitzer Prize Investigasi terbaru ini, Tampa Bay Times. Akan tetapi juga ada di Indonesia.

Kita lihat seperti Kompas memiliki Virtual Interaktif Kompas (VIK), Tempo Interaktif, Jakarta Post dengan Longform , CNN Indonesia dengan Laporan Interaktif, dan masih banyak lainnya. Dan memang membutuhkan modal yang tidak sedikit untuk membentuk tim liputan interaktif, selain jurnalis, harus juga ada desain grafis dan ahli pemograman yang bisa bersentuhan langsung dengan pembaca.  

Akan tetapi yang terpenting dari kedua komponen, baik desain grafis atau pemograman berbentuk interaktif, yaitu kekuatan cerita. “Mereka-mereka ini ahli dalam pengolahan data, dan skill-skill programing lainnya,” menurut Agoeng Wijaya, akan tetapi mereka (tim Tempo Media Lab) tidak ahli dalam menyusun cerita, maka dari itu diperlukan jurnalis yang juga handal dalam menyusun cerita.

Penutupan Data & Computational Journalism Conference Indonesia 2022 di hotel Ashley
Penutupan Data & Computational Journalism Conference Indonesia 2022 di hotel Ashley (Adi/Kebijakan.co.id)

Begitu juga dengan desain grafis, “Sehari mereka ditargetkan sekian, tetapi kalau memang bukan passion disuruh nyusun point-point (menyusun cerita) agak terhambat, maka ditunjuk storyboard untuk menyusun point-point yang disampaikan dalam infografis. Mereka sehari bisa banyak mendesain, tanpa perlu berpikir (menyusun cerita) lagi,” kata Sapto Anggoro, pendiri Tirto.Id dalam sebuah wawancara dengan Kompas.com.

Menyusun kata untuk cerita, ibarat kawan lama datang untuk bercerita, sebuah gambaran dari Atmakusumah Astraatmadja yang dijadikan judul kata pengantar Andreas Harsono dalam buku Jurnalisme Sastrawi.

Buku yang ditulis dari kumpulan liputan panjang –umumnya liputan Majalah Pantau yang didirikan Andreas Harsono– yang bergaya sastrawi dengan semangat seperti Majalah The New Yorker atau karya fenomenal Hiroshima karya John Hersey yang berasal dari liputan jurnalistik.

Fifiyanti dalam penelitiannya terhadap karya Hiroshima yang menerapkan gaya jurnalisme sastrawi ini, menekankan 7 hal yang harus ada dalam jurnalisme sastrawi. (1) fakta, (2) konflik, (3) karakter, (4) emosi, (5) akses, (6) perjalanan waktu, dan (7) kebaharuan.

Infografis DCJ-CI 2022

Tanpa itu semua, dirasa kurang untuk kemajuan jurnalisme di Indonesia. Terlebih media memanfaatkan ‘pasar’ kualitas pembaca masyarakat dengan menyodorkan berita pendek nan bombastik.

Jauh panggang dari api, bicara penghargaan Pulitzer atau penghargaan internasional lainnya, bicara kualitas pembaca saja sudah menyedihkan dengan fakta media berita dengan lalu lintas terbanyak.

Tapi, bukan hidup namanya jika tidak ada tantangan. Maka, sudah menjadi tantangan untuk jurnalis dan media yang setia pada informasi berkualitas untuk masyarakat. Bukan tidak mungkin, pembaca juga berdatangan seiring dengan jengahnya pembaca akan kualitas berita yang tidak-tidak.

Baca Serial Liputan Konstruktif "Jurnalisme Data, Cara Baru Ungkapkan Fakta Melalui Cerita" Lainnya:
•	Jurnalisme Data, Cara Baru Ungkapkan Fakta Melalui CeritaOlah Data, Olah Rupa, dan Olah Kata untuk Asa JurnalismeDi Sekitar Berita Bohong
Jurnalis Adi Fauzanto
Diterbitkan: Sabtu, 1 Agustus 2022
Pukul: 12.00 WIB
Jurnalis: Adi Fauzanto
Daftar Bacaan:  
• Tim Harian Kompas. 2022. Sampah Makanan Indonesia Mencapai 330 Triliun. Kompas.idCorey (dkk.). 2021. Poisoned. Tampa Bay TimesYulia (dkk.). 2020. This 3-D Simulation Show Why Social Distancing Is So Important. New York TimesDieqy Hasbi (dkk.). 2017. Kondisi Kerja Buruh AICE Tak Semanis Iklan "Have an Aice Day". Tirto.idAgus Sopian (dkk.). 2008. Jurnalisme Sastrawi: Antologi Liputan Dalam dan Memikat. Penerbit Gramedia: Jakarta WatchDoc. 2021. Ekspedisi 3 Sungai. YoutubeKompas.com. 2021. Sapto Anggoro, Cuan Bikin Detik, Merdeka, dan Tirto Lalu Menjualnya. Youtube   Fifiyanti. 2022. Penerapan Jurnalisme Sastrawi dalam Buku Hiroshima Karya John Hersey. Jurnal Oratio Directa Vol. 3 No. 2

Jurnalisme Data, Cara Baru Ungkapkan Fakta Melalui Cerita


Kebijakan.co.idLiputan Konstruktif

Adi Fauzanto-30 Juli 2022 (18.00 WIB)-#41 Paragraf
Jurnalisme Data, Cara Baru Ungkapkan Fakta Melalui Cerita

Dalam berbagai cara jurnalis mampu mengabadikan cerita, kata menjadi senjata utama, akan tetapi dalam dunia serba ada melalui digital, data menjadi sebuah narasumber tersendiri untuk sebuah cerita yang utuh. Perlu kiranya belajar bagaimana mendapatkan, mengolah, dan menyajikan data sebagai sebuah berita.

Maka, diadakan Data & Computational Journalism Conference Indonesia (DCJ-CI) 2022 yang diadakan Universitas Multimedia Nusantara bekerjasama dengan Kedutaan Besar Amerika Serikat di Indonesia.

***

Tanggerang, Kebijakan.co.id — Hari itu (28/07/2022) sumuk luar biasa di Jakarta, selain rutinitas yang macet di Selatan Jakarta, juga harus menerima fakta bahwa tujuan yang saya –jurnalis Kebijakan.co.id— tuju, jauh luar biasa.

Saya agak ragu menggunakan KRL (Commuter Line), sebab dari stasiun terakhir jauh bukan main ke tempat lokasi yang saya tuju. Selain harus membayar ojek nantinya –cukup mahal melihat dari aplikasinya. Maka saya putuskan menggunakan kendaraan pribadi, motor.

Lokasi yang saya tuju ialah Kabupaten Tanggerang. Benar saja, menurut beberapa informasi, jalan menuju lokasi kondisinya tidak jauh berbeda dengan Kota Bekasi –tempat markas Kebijakan.co.id berada–, tata kotanya berantakan.

Akan tetapi, ketika saya memasuki lokasi yang saya tuju suasana berubah drastis, gedung dan ruko-ruko megah –tentu dengan jalan yang luas- menghiasi pinggir jalan. Lokasi yang dituju adalah Universitas Multimedia Nusantara (UMN), yang didirikan tahun 2005 atas inisiatif Jakob Oetama, pendiri Kompas Gramedia Grup, yang juga seorang guru –ketimbang mengaku sebagai wartawan atau pebisnis ulung.

Menariknya sumuk di Jakarta atau di Tanggerang tidak terlalu berasa di dalam gedung D (Gedung PK. Ojong) UMN, awalnya saya berpikir apa karena cukup kosong atau kondisi cuacanya sedang mendung, ternyata gedung tersebut memang didesain sangat terbuka, angin yang masuk bisa langsung ke luar, maka suasana cukup adem, karena sirkulasi udara yang baik.

Terlihat dari gedung yang didesain bolong-bolong, tentu bukan karena ambles, tetapi untuk ke luar-masuk angin, tampak dari luar seperti gedung Perpustakaan Universitas Indonesia atau seperti rumah teletabies.

Tampak Luar Gedung UMN (Dokumen Summarecon Serpong)
Tampak Luar Gedung UMN (Dokumen Summarecon Serpong)

Tak hanya di gedung, akan tetapi juga di tempat parkirannya (basement) hingga mushola yang berada di sana, tanpa pendingin ruangan ataupun kipas angin, hanya memperhatikan sirkulasi udara yang baik, cukup sejuk tidak membuat badan berkeringat.

Tak ayal, jika gedung tersebut diganjar penghargaan Energy Efficient Building kategori Tropical Building pada ASEAN Energy Award tahun 2019 yang dipajang di pelantaran gedungnya.  

Namun, terlihat masih ada lampu-lampu yang menyala walaupun siang hari di tengah sorotan sinar matahari, sama seperti gedung-gedung tinggi lainnya di kota-kota besar, yang seharusnya bisa dikurangi kegunaannya. “Jangankan gedung-gedung tinggi di kota besar, ini aja laptop sama hp (gawai) masih charger sambil dinyalain, sampe penuh lupa dicabut,” dalam hati saya.           

Di balik kunjungan saya ke gedung kampus ramah lingkungan tersebut, saya tidak sedang mengaudit kelayakan gedung, sebab bukan kewenangan saya juga. Atau sekedar melihat mahasiswa-mahasiswi yang sedang berkumpul sembari mengerjakan tugas atau sekedar berkumpul mempersiapkan kegiatan yang ada. Saya ke sana untuk belajar tentang apa yang disebut dengan jurnalisme data di Data & Computational Journalism Conference Indonesia (DCJ-CI) 2022.

Kegiatan ini dimulai dua hari sebelumnya (27/07/2022) agenda diskusi membahas kurikulum jurnalisme data, saya mengikutinya secara daring (dalam jaringan). Di hari itu, saya belajar bagaimana susah payahnya tim liputan data Harian Kompas yang diwakilkan Puteri Rosalina, dalam mengolah data, “layaknya tugas akhir,” menurutnya. Prosesnya mulai dari proposal liputan, pencarian data, hingga pengujian. Alih-alih membuat berita dengan 5-6 paragraf dengan judul yang bombastis.

Dari hal itu, saya berpikir, “Mereka ini layak disebut profesor, toh setiap minggu harus menyajikan laporan yang sekelas tugas akhir S2 atau S3, atau bahkan lebih bagus dan berguna, ketimbang tugas akhir yang diselesaikan karena tuntutan gelar apalagi dikerjakan orang lain.”

Dan yang lebih mengkhawatirkan lagi –seperti yang saya duga sebelumnya–, jumlah pembaca yang sedikit, “Kita harus mencari cara juga agar banyak yang baca.” Tim jurnalisme data Harian Kompas harus menganalogikan data dengan sesuatu yang dapat dibayangkan atau visualisasi oleh banyak orang, misal liputan data timbunan sampah makanan yang dihitung tinggi dan diameternya melebih Monumen Nasional atau mencari topik-topik yang sedang hangat di Twitter. Walaupun agak sulit, karena data yang dicari belum tentu mudah.

Dari data Alexa.com –sebuah situs yang dikelola Amazon untuk mengetahui lalu lintas laman web dan sekarang sudah ditutup- tahun 2021 akhir, laman berita yang banyak diakses dari 1 hingga 5 merupakan Okezone.com (54), Pikiran-Rakyat.com (77), Tribunnews.com (76), Kompas.com (126), Detik.com (139). Walaupun yang banyak diakses juga dari grup Kompas yang sama dengan Harian Kompas, namun berbeda bendera.

Paradoks memang, seperti yang dikatakan Andreas Harsono dalam wawancaranya di Tirto.id, antara Kompas.com (atau bahkan Tribunnews.com) dan Harian Kompas.

Akan tetapi setelah saya telusuri, Kompas.com dan Detik.com sudah ada liputan mendalam sebagai jawaban atas kekecewaan masyarakat yaitu JEO Kompas.com dan DetikX

Memang dari data tersebut berbicara, yang berkualitas memang sedikit juga kuantitas pembacanya juga menggambarkan kualitas pembacanya –ntah saya harus bangga atau tidak juga senang sekaligus sedih secara bersamaan.

Di balik liputan yang baik ada perjuangan untuk mendapatkannya, seperti pembicara selanjutnya adalah Leoni Alvionita, peserta yang lolos pelatihan DCJ-CI tahun 2021 dan mahasiswa UMN angkatan 2017 yang menceritakan perihal tugas akhirnya berbentuk proyek jurnalistik yang berkualitas, disajikan dengan cerita, juga data, dan dapat dibaca melalui sebuah laman yaitu UnfreeJournalist.com.

Sebuah proyek luar biasa, yang patut diacungi jempol, bukan hanya karna karyanya yang berkualitas, tetapi mengangkat isu yang tidak mudah dikerjakan, yaitu kebebasan pers, terlebih menyinggung hal yang tabu di Indonesia, yaitu soal Papua.

Jurnalisme Data ini ternyata merupakan program studi baru yang diajarkan secara khusus di Jurusan Jurnalistik, Universitas Multimedia Nusantara. Objek yang sudah muncul lama, lalu diteorisasikan oleh ilmu pengetahuan merupakan suatu hal yang wajar bagi setiap fenomena.

Jurnalisme data memang sudah ada jauh sebelum kata tersebut muncul. “Dan memang sudah hakikat jurnalis harus berpegang pada fakta (dalam hal ini data),” menurut salah satu narasumber dalam konfrensi tersebut. Hanya saja digaungkan kembali ketika kemudahan mencari data semenjak era-digital ada.

Akan tetapi ada yang perlu diperhatikan secara lebih, data yang dimaksud bukan hanya sekedar angka-angka, layaknya laporan BPS (Badan Pusat Statistik) di halaman web nya –yang penuh dengan angka statistik. Data yang dimaksud merupakan fakta yang dikumpulkan lalu diolah menjadi cerita, dengan kata ataupun visual nantinya, bisa juga berupa angka seperti BPS, tapi tidak sementah itu.

Data tersebut bukan juga data ‘resmi’ yang dikeluarkan pemerintah. Tetapi data yang dicari oleh jurnalis dari sumber terbuka (Open Source) untuk mengulik fenomena yang ada.

Adolfo Arranz, Editor Grafis Reuters, saat menyampaikan materi saat hari pertama DCJ-CI 2022 di Gedung D UMN
Adolfo Arranz, Editor Grafis Reuters, saat menyampaikan materi saat hari pertama DCJ-CI 2022 di Gedung D UMN(Adi/Kebijakan.co.id)

Seperti yang diungkapkan Adi Marsiela dari Aliansi Jurnalis Indonesia di hari pertama (28/07/2022), “Umumnya data yang dicari memang hanya untuk melengkapi liputan jurnalistik.” Ke depan menurut Adi, data digunakan untuk mencari suatu masalah atau celah yang perlu dicari kejelasannya untuk dijadikan liputan kepada publik.

“Maka dari itu kita butuh Big Data,” satu hal yang coba di inisiasi oleh Ronny Buol dari ZonaUtara.com untuk mengumpulkan data-data menjadi sebuah DataBooks atau BigData atau Data Besar khusus untuk Kota Manado. “Ini disambut baik oleh masyarakat yang ingin tahu (keadaan covid-19 ketika itu).”  

Cara lain ditempuh oleh Tim Investigasi Tempo yang disampaikan Agoeng Wijaya dihari terakhir DCJ-CI (30/07/2022), yang mencari data perusahaan sawit yang tidak membayar pajak dari jumlah hektar lahan yang dikelola di lapangan, lalu mencocokan melalui Dirjen Pajak. “Ada usaha untuk melobi agar data itu dibuka.” Setelah dibuka, ada beberapa keterangan lahan yang dikelola tidak sesuai dengan temuan, begitupun dengan pajak yang dibayarkan.

Penutupan Data & Computational Journalism Conference Indonesia 2022 di Hotel Ashley
Penutupan Data & Computational Journalism Conference Indonesia 2022 di hotel Ashley (Adi/Kebijakan.co.id)

“Kita (Tim Investigasi Tempo) mencocokan data temuan di lapangan dan data di balik lembaga yang berwenang. Jika tidak, maka apa bedanya kita dengan analis.” Sebuah cerita dari Agoeng yang menggambarkan bagaimana sebuah data didapatkan dan diverifikasi.

Memang merupakan fenomena umum terjadi, “Sebenarnya data tersebut sudah ada di dalam pemerintahan, akan tetapi tidak terdokumentasi dengan baik, misalnya Data kebakaran di Bandung yang disimpan rapih Dinas Pemadam Kebarakan Kota Bandung, tetapi tidak tersusun dengan rapih,” Kata Adi menggambarkan data di lembaga pemerintah yang menumpuk, maka sudah tugas jurnalis merapihkan dan mendokumentasikan, sekaligus mencari fakta lainnya yang dapat membantu warga, misalnya data hidran di pinggir jalan untuk saluran air yang rusak dan yang bisa digunakan.

“Pun data-data tersebut (dalam hal ini tentang Covid-19) dikumpulkan dari beberapa petugas kesehatan di kecamatan-kecamantan (dalam hal ini di Manado),” kata Ronny Doul yang mengumpulkan data resmi dari lembaga kesehatan di Kota Manado.

Akan tetapi ada juga yang tidak tepat, maka itu diperlukan verifikasi lapangan, misalnya, “Data pasien di Kota Surabaya yang meninggal karena Covid-19 di hari tertentu tidak ada, ternyata setelah diverifikasi di rumah sakit, ternyata ada.” Kata Eko Widianto dari TeraKota.id.  

Berkembangnya jurnalisme data di Indonesia perlu mendapatkan perhatian lebih, yang memang sudah terbukti membantu menghadapi wabah Covid-19.

Menurut Hartinah dalam penelitiannya (2018), tantangan jurnalisme data hadir dalam bentuk kemampuan dan banyaknya jurnalis yang menguasainya, juga pengerjaannya yang memakan waktu tidak sedikit dan cukup sulit –ketimbang berita bombastis. Tentu, Media harus berinvestasi lebih untuk keberlanjutan jurnalisme data. 

Maka, sudah sepatutnya, “Data menjadi narasumber tersendiri,” menurut pengajar jurnalistik UMN. Sama seperti narasumber berbentuk ahli, peneliti, praktisi, atau warga biasa. Dan tentu verifikasi atau pemeriksaan ulang menjadi pembeda antara ‘sekedar berita’ dan berita yang tidak mengada-ada.

Semoga dengan data menjadi narasumber liputan, pers yang bekerja sesuai etika jurnalistik menjadi seperti apa yang dikatakan oleh Azyumardi Azra, Ketua Dewan Pers yang baru, dalam sambutannya di kegiatan DCJ-CI 2022, “Menjadi pelopor, bukan pengekor.” Dan mencegah media atau jurnalisme abal-abal seperti yang dikatakan Perwakilan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) dalam sambutannya.      

Infografis DCJ-CI 2022

Setelah saya selesai dengan proses belajar ini, sudah sepatutnya saya percaya dengan fakta, bahwa jalan menuju Tanggerang tidak semudah yang saya kira –sama semrawut nya dengan Kota Bekasi.

Dan yang saya ingat masih tentang kekecewaan saya di awal menggunakan kendaraan pribadi. Alangkah hari itu menggunakan kendaraan umum. Sebab, jalannya cukup memutar-mutar untuk menuju ke tempat lokasi.

Setelah saya hitung-hitung jauh lebih mahal ongkos yang harus dikeluarkan, beserta nyasar dan minggir sana-sini untuk sekedar beli sesuatu untuk bertanya warga sekitar dan mengisi bensin yang habis untuk berputar-putar tanpa bantuan aplikasi map yang mati.

Dan fakta lainnya tentang panas –dan buruknya lingkungan– kota Jakarta dan sekitarnya, dengan kualitas udara pada hari itu menurut IQAir.com di angka 109 untuk Jakarta, 142 untuk Tanggerang Selatan, 135 untuk Kota Tanggerang, menandakan tidak sehat untuk kelompok sensitif.

Di balik itu, saya harus tetap bersyukur, sebab di balik susah payah tersebut ada ilmu yang saya bawa. Dan semoga berguna –kalau banyak yang baca.

Baca Serial Liputan Konstruktif "Jurnalisme Data, Cara Baru Ungkapkan Fakta Melalui Cerita" Lainnya:
•	Jurnalisme Data, Cara Baru Ungkapkan Fakta Melalui CeritaOlah Data, Olah Rupa, dan Olah Kata untuk Asa JurnalismeDi Sekitar Berita Bohong
Jurnalis Adi Fauzanto
Diterbitkan: Sabtu, 30 Juli 2022
Pukul: 18.00 WIB
Jurnalis: Adi Fauzanto
Daftar Bacaan:
•  Wan Ulfa Nur Zahra. 2017. Andreas Harsono: Jangan Ada Perbedaan Kualitas Jurnalisme, Apapun Mediumnya. Tirto.idLeoni Alvianto Susanto. 2022. Unfree Journalist. Unfreejournalist.comHartinah Sanusi. 2018. Jurnalisme Data: Transformasi dan Tantangan Era Digital. Jurnal Tabligh Vol. 19 No. 1 IQAir.comAdi Marsiela. 2020. Bandung Lautan Api: Seberapa Dekat Kita dengan Kebakaran?  Eko Widianto. 2021. Malang Kota Genangan. Terakota.id Tim Harian Kompas. 2022. Sampah Makanan Indonesia Mencapai 330 Triliun. Kompas.id