Soedjatmoko, Pers, dan Pembangunan Manusia


Kebijakan.co.idLiputan Mendalam

Adi Fauzanto-11 Juni 2022 (14.25 WIB)-#45 Paragraf

Soedjatmoko tampil sebagai intelektual dan jurnalis, bukan hanya omong kosong –atau sebatas ide. Dia tampil sebagaimana fungsi pers dan intelektual, mengawasi kekuasaan dan mencerahkan masyarakat. Walau ada beberapa sindiran untuknya, misal ‘Sosialis Kanan’.

***

Bekasi, Kebijakan.co.id — Terlahir tahun 1922 dan tumbuh dengan tanggung jawab intelektual yang selalu terjaga dalam pandangan kekuasaan dan tidak lelah memperjuangkan nilai. Mengembara bersama semangat kemandiriannya untuk belajar tanpa henti, meski tanpa menyelesaikan pendidikan tinggi, semangat yang tumbuh bermula dari secercah buku hasil sitaan yang dijajakan di Pasar loak, ntah buku pemikiran filsafat, sastra, dan ilmu pengetahuan lainnya, dilahap habis atas haus nya ilmu pengetahuan.

Itu terpaksa dilakukan, seusai menegaskan etika intelektual yang tidak akan tunduk dengan pemimpin fasis Jepang tahun 1943, dengan mengorbankan sekolah kedokternya untuk sekedar ‘menolak penggundulan Kaisar Jepang’ kenang Rosihan Anwar. “Saya berhutang sebagian pendidikan saya pada perampasan itu karena koleksi perpustakaan semuanya berakhir di pasar loak dan saya jadi bisa membacanya,” kenang Soedjatmoko. 

Soedjatmoko, seperti melanjutkan kiprah pendahulunya di Stovia, sekolah kedokteran untuk Priyayi, yang melahirkan dokter-dokter yang mempunyai ide tercerahkan untuk bangsanya, atau setidaknya membantu nasib bangsa nya yang terjajah, alih-alih menjadi dokter pesuruh Pemerintah Belanda kala itu. Tirto Adhi Suryo dan Tjiptomangunkusomo adalah salah dua dari mereka melepaskan jas kedokteran untuk membantu bangsanya dari penjajahan, yang kemudian dikenal tokoh sang pemula dan kebangkitan bangsa.

Sosok yang di akhir hidupnya, panggung pidato terakhirnya, di akhir nafasnya dikhidmatkan untuk ilmu pengetahuan. Adalah kematian yang sempurna untuk seorang intelektual. Di kelilingi mahasiswa juga pengembang ilmu lainnya di Yogya, seperti Syafi’i Maarif muda, Amin Rais muda, dan lainnya, di kota inkubator dan laboratorium ilmu pengetahuan berada.

Yogyakarta, tepatnya Pusat Pengkajian Strategi dan Kebijakan UGM, menjadi saksi bisu atas kehilangan fisik tubuh dan jiwa Soedjatmoko di tanggal 21 Desember 1989, tapi tidak dengan karya dan pemikiran-pemikirannya. 

Seperti Ibnu Rusyd, yang di akhir hayat nya diantarkan bersama karya-karyanya di samping seonggok tubuh dengan pikiran cemerlang melintasi zaman ke tempat persemayaman terkahirnya. 100 tahun Soedjatmoko dengan karya tulis nya –mulai dari buku, artikel, dan beberapa surat- dibagikan kembali dalam bentuk yang dapat diakses secara digital.

Namun, sayang beribu sayang. Ide dan cita dari seorang Soedjatmoko belum kunjung tercapai, bangsa-nya tak kunjung terliterasi dengan baik. Pembangunan manusia-nya belum sebaik apa yang dia pikirkan, kemunduran etika publik dan rasa kemanusiaan tak kunjung membaik. Terkhusus di selasar ruang-ruang dewan perwakilan.

Pers, juga sama adanya. Ketiadaan tanggung jawab kepada publik menjadi pelik. Memang benar, pers di era saat ini, tidak perlu menjadi ‘corong’ secara resmi partai politik atau lembaga negara seperti era pasca kemerdekaan atau demokrasi liberal.

Akan tetapi dia –Pers arus utama- bersembunyi di balik modal ekonomi pemilik nya, menyetir segala isinya, yang ditunjukan untuk pemiliknya, yang terkadang merupakan anggota partai politik, simpatisan pemerintah, dan memiliki jejak buruk untuk Indonesia.

Memang benar, pers saat ini tidak dibatasi seperti era orde baru. Akan tetapi ‘banjir’ informasi di kangkangi oleh iktikad publik yang buruk, seperti mengejar klik, mengejar viral, hingga judul dan isi berita yang terkadang membuat kepala tergeleng-geleng, seakan tidak percaya ada berita yang seperti ini. Kata “Astagfirullah” atau “Astaga” adalah kata yang umum diucapkan sambil menggelengkan kepala tadi. Atau perkataan, “Kok bisa ada berita yang seperti ini?”

Keduanya dirasakan sebagai masyarakat yang memerlukan kabar yang seharusnya bermutu. Sebab, Pers memang ditakdirkan sebagai kebutuhan dan menyentuh masyarakat langsung. Dia ada sebagai jawaban atas kebutuhan informasi yang bukan melulu dari pemilik otoritas, di hadir untuk memperluas cara pandang dan gambaran apa yang akan atau sedang terjadi.

Buruknya pers bersinggungan juga dengan pembangunan manusia, yang mensyaratkan adanya penggerak dari bawah atau dari masyarakat nya langsung –bukan melulu disuapin baik itu dari pemerintah atau bantuan luar negeri. Pers berperan sebagai sumbu yang nantinya tergores menghasilkan api yang dihidupkan oleh masyarakat nya sendiri untuk kehidupan berbangsa dan negara.   

Akan tetapi ide Soedjatmoko tetaplah ide, dia menjadi bagian penting dan akan selalu ada, “Ide selalu punya kaki,” kata yang selalu diucapkan Soedjatmoko. Dia akan melintasi zaman, dengan segala tantangannya, bersama dengan ‘kaki’-nya. Ide nya tentang Pers dan juga pembangunan manusia, yang melintasi benua dibaca perserikatan bangsa-bangsa dan masyarakatnya, patut dibicarakan kembali.

Sembari juga melaksanakannya. Sebab, Soedjatmoko bukan hanya ‘Man of Idea’ atau manusia yang memiliki ide, akan tetapi juga ‘Man of Action’ atau manusia dengan aksi. Jika tidak, Soedjatmoko tidak akan di kenal oleh kalangan intelektual di luar negeri.

Atau tidak menjadi “The Prince of Indonesian Intellectual,” Seperti apa yang di katakan Nur Cholis Majid atau yang sering disapa Cak Nur. Hingga Cak Nun atau sapaan dari Emha Ainun Najib, mengatakan Soedjatmoko merupakan, “Embahnya Seluruh Ilmuwan Sosial di Negeri ini.” Karena itulah Soedjatmoko juga merupakan ‘Man of Action’. 

Maka dari itu, agaknya kurang tepat ejekan atau satire sosialis salon –merujuk kepada intelektual yang memiliki simpati kepada Partai Sosialis Indonesia- oleh intelektual yang bersimpati kepada PKI -atau beberapa orang yang terlanjur benci oleh PSI- salah satunya Buyung Saleh atau Saleh Iskandar Poeradisastra.

Soedjatmoko tidak berada dalam ruang hampa, tidak juga hanya di kampus, dalam satu ruangan kosong membaca dan meneliti –seperti dosen-dosen era sekarang yang hanya berkutat di ruang kelas dan penelitian hampa tidak berguna yang hanya mengejar indeks internasional, bernama Scopus.

“Lebih tepat dikatakan Intelektual Asketis.. membaca buku, bukan untuk memintarkan dirinya sendiri, melain buku itu digunakan pengetahuan, masukan, inspirasi, untuk menoropong masyarakatnya sendiri beserta permasalahan-permasalahannya,” menurut Sulistyowati Irianto, Guru Besar Fakultas Hukum UI, ketika 100 tahun setelah kelahiran Soedjatmoko.

Soedjatmoko atau intelektual lainnya yang bersimpati kepada PSI, umumnya memang bukan manusia penggerak massa, karena massa belum tentu berada dalam ruang diskusi, dia hanya menerima. Akan tetapi, Soedjatmoko turut andil dalam ruang publik melalui Pers, menghadiri pikiran-pikiran masyarakat akan butuhnya informasi hari ini dan gagasan di masa yang akan datang. Sekaligus juga tandingan corong narasi pemerintah, seperti era-Demokrasi Terpimpin atau era-bobroknya Orde Baru, di mana keduanya menuju otoritarian.   

Dunia pers, bagi Soedjatmoko merupakan pilihan yang dapat ia lakukan untuk bangsa ini, mengabarkan yang ada, memberikan gagasan, baik ketika di dalam negeri atau di luar negeri. Selain itu, dunia pengetahuan juga melekat dengan peran pers, dia menjadi pengiring. Sama fungsinya sebagaimana karya intelektual, yang mencerahkan masyarakatnya, yang memikirkan apa yang tidak dipikirkan, yang menjaga nilai universal kemanusiaan.    

Infografis Soedjatmoko

Pers ala Soedjatmoko

Setelah selesai membaca buku-buku di Pasar loak juga bantuan perpustakaan ayahnya di seputar buku sejarah, filsafat, dan sains. Soedjatmoko tampil sebagai jurnalis pasca kemerdekaan tahun 1945, tidak melulu liputan di Jawa, dia turun langsung meliput Konfrensi Malino di Sulawesi. Sepulangnya dari Sulawesi, Soedjatmoko menggawangi ide pendirian majalah Siasat di tahun 1946, bersama temannya, salah satunya tokoh besar Pers, Rosihan Anwar.

Soedjatmoko juga diminta mengasuh majalah Het Inzicht yang berbahasa belanda oleh Perdana Menteri Sutan Syahrir tahun 1946, sebagai tandingan dari majalah Het Uitzicht (Outlook), yang disponsori pemerintahan Belanda. Het Inzicht diisi oleh Soedjatmoko mulai dari karya prosa, puisi, analisa politik, hingga mengulas sastra.

Kemampuannya sebagai jurnalis, tidak berhenti hingga dia diminta Syahrir sebagai pengamat Indonesia di PBB tahun 1947. Di balik penugasan nya oleh Syahrir di PBB, Soedjatmoko juga membantu mengabarkan kondisi perjuangan kemerdekaan Indonesia saat itu, kepada publik Amerika Serikat melalui media massa. Mochtar Kosoemaatmadja, ahli hukum di kemudian hari, mengenang peristiwa itu merupakan sumbangsih terbesar Soedjatmoko untuk Indonesia di era pasca kemederkaan.

Dari kiri Soedjatmoko, Sumitro (belakang), Sutan Syahrir (depan), Charles Tambu, Agus Salim saat menghadiri Sidang Dewan Keamanan PBB, Amerika Serikat.
Dari kiri Soedjatmoko, Sumitro (belakang), Sutan Syahrir (depan), Charles Tambu, Agus Salim saat menghadiri Sidang Dewan Keamanan PBB, Amerika Serikat. Dokumen Keluarga.

Sepulangnya ke Indonesia tahun 1952, Soedjatmoko turut mendirikan Harian Pedoman –satu grup dengan majalah yang didirkannya dahulu-, lalu Majalah Konfrontasi, dan penerbitan buku Pembangunan –yang kelak namanya menjadi dasar ide dan gagasannya- tahun 1954.  Meski media massa –baik harian dan konfrontasi- yang didirikannya bersimpati kepada PSI –memang suatu keadaan yang umum di era demokrasi liberal partai memiliki corong atau media dan media massa menaruh simpati kepada suatu partai atau lembaga negara. 

Setelah demokrasi terpimpin menunjukan watak keotoriterannya, majalah juga harian yang diasuhi  oleh Soedjatmoko seperti Pedoman dibredel atau dilarang terbit oleh pemerintahan Soekarno tahun 1960, lainnya seperti Harian Indonesia Raya yang dipimpin oleh Mochtar Lubis yang dekat dengan TNI juga turut dibredel. Pers kala itu hanya menjadi alat dari jargon Revolusi pemerintahan Soekarno, lainnya turut dibredel.

Di balik peristiwa demi peristiwa tersebut. Bisa di katakan Soedjatmoko adalah Man is Action. Sebesar apapun gagasan tanpa pernah ada wujud, akan sulit dimaknai. Sebesar dia bicara berbuih-buih tentang Pers, tanpa pernah terjun di gelanggang –apalagi dengan keadaan sulit seperti Soedjatmoko- rasa-rasanya hampir sulit.

Praktis, Soedjatmoko menjalankan fungsi Pers sebagai penyeimbang pemerintah atau yang berkuasa. Ketika Belanda masih ingin berkuasa kembali, baik melalui perang atau diplomasi, Soedjatmoko hadir sebagai penyeimbang corong Belanda, baik di Indonesia atau di Amerika. Ketika pemerintahan Soekarno menuju demokrasi terpimpin yang berwatak otoritarian, Soedjatmoko juga hadir sebagai penyeimbang, meski harus dibredel dan keluar dari Indonesia.

Foto Resmi Soedjatmoko tahun 1968
Foto Resmi Soedjatmoko tahun 1968

Ide tentang Pers

Sedangkan ide tentang Pers, yang umumnya dituangkan dalam tulisan. Bisa dilacak dalam Soedjatmoko ketika Pidato Perdana Pembukaan Lembaga Pendidikan Dr. Sutomo tahun 1988, 1 tahun sebelum kepeninggalan Soedjatmoko. Pidato tersebut ia beri judul Indonesia Menghadapi Perubahan Dunia: Peranan Informasi.

Soedjatmoko menjabat Penasehat Badan Perencanaan Pembangunan Nasional di Jakarta tahun 1975
Soedjatmoko menjabat Penasehat Badan Perencanaan Pembangunan Nasional di Jakarta tahun 1975. Martin Aleida/Tempo

Secara garis besar dalam pidato nya menjelaskan perkembangan Revolusi Industri 3.0 ditambah globalisasi serta dampaknya kepada negara maju dan berkembang, tidak terkecuali Indonesia. Di akhir pidato, Soedjatmoko menghubungkan peran Pers dalam menghadapi tantangan perubahan tersebut. 

“Informasi merupakan suatu aset atau modal yang strategis,” buka kalimat Soedjatmoko. Selain itu, perlu jaminan pintu masuk atau akses informasi yang relevan. Relevansi tersebut berhubungan dengan tugas Pers, sebagai pendidikan umum dalam bidang politik, ekonomi, dan kebudayaan serta bertanggung jawab untuk memelihara nilai dan sikap yang dilandasi kesadaran dan solidaritas sosial.

Selain itu, dalam menghadapi perubahan dunia, Soedjatmoko mengingatkan tugas Pers untuk mempersiapkan masyarakat dan pemerintah dalam tiga bidang, baik dalam ataupun luar negeri.

Pertama, kependudukan, yang memperhatikan kondisi kehidupan masyarakat yang damai dalam pertumbuhan tingkat penduduk yang tinggi; Kedua, IPTEK, memperhatikan dampak sosial dari kemajuan teknologi yang ada; Ketiga, lingkungan hidup, menyelaraskan antara strategi pembangunan, sumber daya alam, serta pola hidup dengan prinsip lingkungan yang berkelanjutan.     

Ide tersebut disampaikan tahun 1988, hingga hari ini tahun 2022, masih sangat relevan, walau ada beberapa perubahan. Di antaranya perubahan Revolusi Industri 4.0 menghasilkan Internet of Things (IoT) yang mengumpulkan data sebagai basis berbentuk bahasa code. Data ibarat oli untuk sebuah mesin. Data tersebut terkumpul (Big Data) dan diolah oleh secara komputasi, misalnya Artificial Intellegent (Kecerdesan Buatan), lalu menghasilkan satu keputusan.

Revolusi Industri 4.0 berdampak kepada seluruh industri, tidak terkecuali Pers dan Informasi. Terkumpulnya data melalui cloud atau tempat penyimpanan data –yang biasanya dimiliki perusahaan multinasional atau lembaga negara yang membutuhkan- membentuk suatu globalisasi data yaitu keterhebungan data dengan mudah antar negara. Atau disebut digitalisasi. Alhasil, informasi berbentuk data juga dapat diakses dengan mudah melintas batas dan negara.

Perusahaan media sosial, macam Facebook atau pencarian informasi terintegrasi, macam Google, adalah salah dua hasil revolusi Industri 4.0. Mengumpulkan banyak data, melalui pengguna, diolah melalui kecerdasan buatan yang diprogram oleh perusahaan tersebut, menghasilkan satu keputusan hasil pencarian atau informasi yang diberikan oleh media sosial yang bersangkutan.  

Tak jarang, keuntungan kepemilikan data disalahgunakan untuk kepentingan komersial atau kepentingan politik, hal tersebut bisa disebut dominasi data. Layaknya pemerintah otoriter yang memiliki data tindak tanduk aktivitas masyarakat melalui aparatur nya atau informasi latar belakang masyarakatnya, seperti Hitler pada zamannya. 

Misal, ketika Facebook menjual data penggunanya untuk pemilu di Amerika Serikat kepada Cambridge Analytic. Tak jarang, cara bekerjanya kecerdesan buatan menghasilkan satu bubble atau bertemunya satu informasi yang sama. Misal, revolusi Musim Semi Arab yang memanfaatkan internet atau Pilkada DKI Jakarta tahun 2017 di mana menguatnya arus informasi mengenai Islam di Internet.

Di Indonesia, temuan terbaru dari liputan investigasi Narasi TV, tentang penggunaan data pelajar di bawah umur yang menggunakan aplikasi edutech. Data tersebut dihubungkan kembali ke aplikasi iklan untuk tujuan komersial dengan melihat kebiasaan pengguna. Sangat berbahaya, seperti dalam rumah kaca, selalu dipantau. Terlebih tujuannya untuk meraup keuntungan.

Tak jarang bekerja nya kecerdesan buatan menghasilkan ekstrimisme atau seseorang yang membela habis-habisan pahamnya -tak jarang berujung tindakan kekerasan kepada paham yang berlawanan. Sebab informasi yang dia terima –dan diyakini- hanya berkutat kepada satu paham saja karena keterkaitan dia dengan handphone atau teknologi lainnya yang terhubung ke jaringan internet yang menggunakan kecerdesan buatan alogaritma bubble.  

***

Peran Pers dan wartawan dalam hal ini sangat penting. Sebagai institusi keempat demokrasi –yang mengawasi publik. Serta memiliki kode etik profesi untuk wartawannya. Peran keduanya penting mengolah informasi yang berguna dan penting untuk kehidupan masyarakat banyak.  

Pers sebagai alat. Yang bisa mempertemukan pikiran-pikiran masyarakat, yang mencerahkan juga membebaskan serta menggerakkan masyarakatnya. Dengan pra-syarat, dia haruslah sesuai dengan zamannya juga menghadirkan apa yang patutnya dibaca dengan utuh dan menyeluruh. Dengan kata lain, Pers memerlukan keberkualitasan untuk bisa ditelaah oleh masyarakatnya.

Selain itu, Pers harus bisa berjalan beriringan dengan Industri 4.0 dan IoT, akan tetapi tidak melepaskan semangatnya mencerahkan publik, tidak justru kebalikannya. Masalah IoT beserta kecerdasan buatan nya dapat digunakan sebagai alat mencerdaskan, lagi-lagi masyarakat membutuhkan ‘etika publik’ memanfaatkan metode kecerdasan buatan tersebut dengan maksud memperbaiki kualitas hidup manusia, bukan sebaliknya, untuk kepentingan komersial, politik praktis, atau paham kekerasan tertentu.

Dari masalah kepentingan komersial, politik praktis, permufakatan jahat, atau paham kekerasan yang mengancam kemanusiaan di balik digdaya teknologi. Disitulah tugas Pers untuk membongkarnya, dengan syarat ia mesti memahami teknologinya terlebih dahulu untuk membongkarnya. Selebihnya masyarakat yang menilai secara keseluruhan apakah teknologi tersebut benar berguna untuk manusia, sesuai tujuan awal teknologi yaitu untuk memudahkan manusia, atau justru membahayakan.  

Ke depan peran Pers juga, bersuara untuk kemanusiaan universal. Bersuara sembari penemuan teknologi ditemukan. Sebab ketidakhadiran Pers –yang menyentuh masyarakat- hanya akan membawa penemuan teknologi menjadi semakin suram, dengan efek negatif di baliknya, baik itu untuk masyarakat atau lingkungan hidupnya.

Diterbitkan: Sabtu, 11 Juni 2022
Pukul: 14.25 WIB 
Jurnalis: Adi Fauzanto  
Daftar Bacaan:         
• Pusat Data dan Analisa Tempo. 2020. Soedjatmoko: Seorang Intelektual Humanis Indonesia. Tempo Publishing: Jakarta
---- Koko Pejuang Sejati Telah Pergi. Dalam Soedjatmoko: Seorang Intelektual Humanis Indonesia.   
---- Soedjatmoko dan Kaum Muda. Dalam Soedjatmoko: Seorang Intelektual Humanis Indonesia. 
• Pusat Data dan Analisa Tempo. 2020. Robot dan Kecerdasan Buatan. Tempo Publishing: Jakarta
• Pawito. 2007. Media Komunitas dan Media Literacy. Jurnal Ilmu Komunikasi, Vol. 4 No. 2 
• Klaus Schwab. 2019. Revolusi Industri Keempat. Penerbit Gramedia: Jakarta  
• Petrik Matanasi. 2019. Soedjatmoko Sejarah Hidup Seorang Intelektual Sosialis Kanan. Tirto.Id, 21 Desember 
• Muhammad Yuanda Zara. 2019. Muhammadiyah dan Soedjatmoko. Majalah Suara Muhammadiyah, Edisi 24
• Ramon Magsaysay Award for Peace and International Understanding 1978
• Maulida Handayani. Hidup dan Pemikiran Soedjatmoko. Academia.edu
• Soedjatmoko. 1988. Indonesia Menghadapi Perubahan Dunia: Peranan Informasi. Pidato Pembukaan Lembaga Pendidikan Dr. Sutomo
• Soedjatmoko. 1986. Ilmu-Ilmu Kemanusiaan dan Masalah Pembangunan. Makalah Kongres Ilmu Pengetahuan IV
• Narasi TV. 2022. Data Anak Indonesia Dijual Aplikasi Pendidikan. Narasi TV, 27 Mei 
• Bill Clinten. 2019. (terj. Kompas.com) Facebook Resmi Didenda Rp 70 Triliun, Terbesar dalam Sejarah. Kompas.com, 25 Juli  
• Deutch Welle. 2013. Peran Jejaring Sosial dalam Revolusi Tunisia. Deutch Welle, 15 April
• Deutch Welle. 2011. Peran Internet dalam Revolusi di Mesir. Deutch Welle, 14 Februari
• David Hill. 2011. Jurnalisme dan Politik di Indonesia, Biografi Kritis Mochtar Lubis (1922-2004) sebagai Pemimpin Redaksi dan Pengarang. Penerbit Obor: Jakarta
• Khudori Soleh. 2015. Epistimologi Ibnu Rusyd Upaya Mempertemukan Agama dan Filsafat. Penerbit UIN Maliki: Malang 
• Diskusi Membaca Soedjatmoko. 2022. Seri Pemikiran Ilmuwan “Soedjatmoko, Ilmuwan Pemikir Kebebasan & Pembangunan”