Buya Hamka I (2023): Tamparan Keras untuk Islam Oportunis, Transnasional, dan Mereka yang Merenggut Kemerdekaan


Kebijakan.co.id Liputan Film

Adi Fauzanto-27/04/23 (15.30 WIB)-#18 Menit

Read in English Language Version

Film Buya Hamka digarap dengan serius dengan modal dana yang tidak sedikit. Bukan tanpa celah, beberapa terdapat di dalamnya, sangat disayangkan untuk film yang mulai digarap tahun 2014 ini.

Selain itu, pesan yang disampaikan seharusnya menampar realitas muslim, mulai dari poligami, organisasi Islam transnasional, hingga merebut kemerdekaan.

***

Cuplikan Buya Hamka Vol I, II, dan III

Kebijakan.co.id — Ibarat sebuah dahaga dari film Islam yang bertajuk cinta-cintaan melulu. Tentang perempuan cantik, tentang perkawinan, perceraian, dan tetek bengek menyek-menyek masalah percintaan dibalut dengan islami dengan cerita yang absrud (tidak jelas) dan jelek. Praktis film Islam ‘tanpa gimik cinta-cintaan’ terakhir — sekaligus film biopik — yaitu Guru Bangsa: Tjokroaminoto (2015)

Film Buya Hamka Vol. I (2023) hadir sebagai fatamorgana film Islam jauh dari hal itu. Walaupun dalam cuplikan (trailer) di awal film terkesan seperti ‘cinta monyet’, dengan menggambarkan istrinya, Sitti Raham (diperankan Laudya Cynthia Bella) sebagai tokoh hayati dalam Roman (Novel) Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (1938), tetapi itu bukan dari cinta menyek-menyek ala film Islam karbitan, itu bagian dari kerja-kerja Hamka (yang diperankan oleh Vino Giovanni Bastian) sebagai sastrawan yang wajar saja perlu membutuhkan inspirasi dalam menulis.

Jadi jangan harap mendapatkan unsur ‘cinta monyet’ dalam film ini. Membayangkan nonton bersama dengan pasangan  — pacar ataupun istri — berharap yang muncul seperti film Ajari Aku Islam (2019), atau yang paling melegenda ialah Ayat-Ayat Cinta (2008)  — dan mungkin karena film itu juga, film bucin (butuh cinta) ala Islam menjadi pasar tersendiri — bahkan film biopik islami lainnya seperti Sang Kiai (2013) juga turut mengikuti unsur ‘cinta monyet’ (cinta anak muda) sebagai penggalan cerita dari tokoh utama.

Tanpa semua itu, film Buya Hamka Vol. I (2023) tetap memikat, karena cerita yang kuat –mungkin karena tokoh Buya Hamka diangkat dari kisah nyata yang juga sangat romantis.

Film ini bukan tanpa cinta, secara definitif ia hadir dalam bentuk yang lain, dengan gaya yang berbeda. Ia hadir, dalam bentuk pengalaman nyata, tentang sebuah cinta terhadap keluarganya, agamanya, pekerjaannya, negaranya yang tidak sempit, tetapi tetap megah, modern, dan yang pasti tidak alay.

Jika dapat merasakan kehadiran unsur cinta tersebut, beruntung. Sebab, jika tidak, maka kalianlah yang mungkin ditampar oleh film ini terlebih dahulu oleh pemikiran Buya Hamka pada zaman itu. Yang jelas tertampar ialah:

Pertama, Islam Oportunis, yang selalu memanfaatkan agama untuk keuntungan material (kekayaan) dan hawa nafsunya atas nama ayat-ayat suci dan simbol-simbol agama. Bentuk cinta yang tulus melampaui kekayaan –memang cukup sulit di dunia kapitalis seperti sekarang — tetapi bukan tidak mungkin.

Bentuk kecintaan ini, ialah belajar bagaimana bersyukur atas apa yang telah dimiliki, termasuk menyangi keluarga yang ada — dengan tidak berpoligami. Tidak menjual ceramahnya dengan tarif — seperti kebanyakan Ustadz jaman ini. Atau menjual simbol-simbol Islam untuk bisnisnya, hanya untuk mengincar ceruk pasar Islam.

Yang Kedua ialah, Islam Transnasional. Yang selalu berikrar dan bersolusi cepat dan tepat atas semua permasalahan komunitas masyarakatnya dengan satu sistem pemerintahan, alih-alih berangkat dari bawah solusi yang kecil seperti budaya komunitasnya, ujuk-ujuk menuju solusi pasti nan absurd juga imajinatif, terlebih ide yang sudah busuk. 

Bentuk kecintaan ini dilambangkan tentu terhadap masyarakat, adat, dan bangsa yang ia perjuangkan, mulai dari melawan penjajah 2 sekaligus serta harus dituduh pembangkang (di volume II). Bentuk lain dari masyarakat, adat, dan bangsa yang Buya Hamka perjuangkan adalah gambaran keinginan tersendiri dan jelas berbeda-beda, beragam, dan mempunyai ‘ciri’ tersendiri.

Terakhir ialah yang Ketiga, Atas Nama Islam yang merenggut Kemerdekaan. Mereka yang atas Islam, merenggut kemerdekaan yang lainnya, juga tertampar dengan film ini. Kemerdekaan yang bentuknya bisa bermacam-macam, mulai dari kemerdekaan beribadah, berpendapat, berpolitik, hingga menentukan nasib sendiri. Mereka yang direnggut juga berangkat dari cinta, cinta atas Tuhannya, cinta akan pilihannya, dan cinta akan bangsanya.

Selain pembahasan ketiga ini, terdapat juga pembahasan mengenai teknis film tersebut, mulai dari ketiadaan musik, kurang naturalnya set lokasi dan properti, hingga naskah.

Islam Oportunis

Ada banyak adegan dari Film Buya Hamka Vol. I (2023) yang menggambarkan ketulusan untuk menyebarkan agama Islam tanpa perlu memanfaatkannya — baik untuk material atau keuntungan lainnya — atau bersikap oportunis. Dalam salah satu adegan di cuplikan (menit 1:02) digambarkan Buya Hamka menolak berlaku adil untuk poligami kepada seorang perempuan muda, “Astagfirullah!,” ucap pemeran Buya Hamka.

Tentu jika melihat kedaan saat ini, film ini juga tidak menjadi tontonan, dan tuntunan, tapi juga menampar mereka-mereka yang berpoligami apalagi dengan mengatasnamakan Agama Islam dan segala omong kosongnya, apalagi poligaminya juga tidak mengikuti Nabi Muhammad yaitu dengan menikahi janda tua yang suaminya telah meninggal, akan tetapi dengan menikah dengan yang lebih muda dan bukan janda.

Seperti yang pernah diliput oleh Narasi TV dengan tajuk Menguak Sisi Lain Mentoring Poligami Berbayar (2021). Di mana praktik poligami seenak jidat (seenak hati), tanpa aturan, dan kaidah. Boro-boro (jangankan) mengikuti contoh Nabi Muhammad.

Adegan film Buya Hamka (2023)pun, menjungkir balikan praktik yang sebelumnya diliput Narasi TV. Naskahnya cukup lengkap untuk memberi penjelasan secara ayat disertai konteks tambahan. Penjelasan terkait ayat poligami di An-Nisa ditambah konteks tambahan dalam hal ini tafsir dari seorang Hamka –bahwa keinginan poligami atas kemauan bapaknya dari anak perempuan tersebut. 

Meme Poligami
Meme @sor_awak

Dalam tulisan Hamim Ilyas bertajuk Poligami dalam Perspektif Islam Berkemajuan (2021) menjabarkan ada yang perlu dipahami dari poligami harus melihat sisi historisnya (atau asal usul turunnya ayat). Ada berbagai syarat regulasi turunan dari hal tersebut. 

Pertama, pembatasan jumlah istri —melihat kondisi sebelum Islam yang tidak ada batasan dan tanpa aturan. Kedua, syarat darurat sosial — yang pada saat itu pasukan Islam banyak yang gugur dalam perang sehinga menimbulkan anak-anak yang tidak memiliki ayah. Ketiga, syarat tidak sewenang-wenang — yang hanya berdasarkan nafsu duniawi. Keempat, syarat adil — inilah yang paling berat.

Saya teringat penelitian Remotivi bertajuk Perempuan Tanpa Otonomi (2014) tentang perempuan dalam sinetron Islam di kala bulan ramadhan dengan sampel Anak-anak Manusia (RCTI), Para Pencari Tuhan (SCTV), dan Hanya Tuhanlah yang Tahu (Trans TV). 

Dari ketiga sinetron ini, yang memang digarap secara serius memperhatikan nilai-nilai Islam hingga kepada dialog dan konteks yang ada, ialah jatuh kepada sinetron Para Pencari Tuhan (2014).

***

Selain adegan tawaran untuk poligami, ada beberapa adegan menolak dibayar dalam kegiatan dakwahnya — tidak saya sebutkan secara detail untuk mencegah pembocoran.

Adegan dalam film tersebut juga diberikan penjelasan konteks yang cukup mendalam tentang bagaimana kehidupan Buya Hamka yang sulit di awal kemerdekaan. Pada akhirnya karena melihat kondisi sulit keluarganya, bayaran tersebut harus ditukarkan dengan karya novelnya, sebagai sebuah tanda pertukaran jual-beli — tidak ujuk-ujuk menerima bayaran dakwah tersebut.

Benar-benar jelas 180 derajat dengan kebanyakan ustadz-ustadz yang mata duitan, saat ini, jika melihat tarif yang dibocorkan. Benar atau tidaknya tarif ini, yang pasti ditambah harta melimpah ruah dari bisnis menjual agama. Belum lagi bisnisnya yang membawa unsur atau simbol Islami, mulai dari yang terkecil makanan, pakaian.

Bahkan hingga industri besar sekaliber penambangan batu bara juga perlu dicap halal sesuai apa yang diungkapkan film dokumenter investigatif Sexy Killer (2019) di mana Wakil Presiden saat ini juga ikut terlibat yang kala itu sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga sebagai komisaris besar perusahaan Bank Syariah  — dan satu yang pasti industri halal ini menghasilkan cukup banyak pemasukan.

Dalam hal ini saya pernah melakukan liputan mendalam terkait Perumahan Syariah di Kota Depok, Surga di Rumah atau Neraka Keberagaman (2022). Yang jelas-jelas benar itu tidak ada aturan dalam Al-Quran untuk membuat komplek perumahan atau perkampungan muslim. Mengada-ada. Terlebih memperlebar jarak antara komunitas muslim dengan komunitas masyarakat lainnya yang bukan muslim. Membuat muslim menjadi eksklusif.

Terlebih dalam situasi bangkitnya Islam Populis — setelah keadaan politik pemilihan umum 2014 dan 2019 — , pengusaha-pengusaha berusaha mengincar ceruk pasar pembeli mereka, untuk apa? untuk mencari keuntungan yang pasti. Layaknya menjual lampion kepada komunitas china atau agama Tionghoa, pasti hanya mereka yang beli.

Aksi 212
Aksi 212 (Antara Foto/Sigid Kurniawan)

***

Bicara tentang rumah. Film Buya Hamka Vol. I (2023) juga menggarap secara serius hingga detail kepada rumah — oleh karena itu dana yang dikeluarkan cukup besar — akan tetapi gambaran rumah dalam film Buya Hamka juga terasa hambar — walaupun sudah disesuaikan dengan kondisinya kala itu. 

Mengapa? terasa sekali ini rumah baru selesai dibangun, bersih, warna cat juga masih cerah. Tidak seperti dalam film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (2014) yang memang mengambil rumah Minangkabau asli dengan adegan yang ikonik ketika Hayati melihat Zainnudin untuk pertama kalinya, lebih nyata. Atau setidaknya terlihat kotor sedikit, agar tidak benar-benar terlihat selesai dibuat.

Hayati sedang melihat keluar jendela rumahnya

Mengapa dibuat kotor sedikit? Sebab jika tidak, seperti terlihat sketsa program televisi lawak, Bajaj Bajuri misalnya, yang rumahnya tersusun rapih, bersih, dan tanpa noda. Cara ini sudah seharusnya dibaharui jika di sebuah film dengan modal besar, untuk mendekati kenyataan –bukankah itu esensi film. Bukan plek-ketiplek baru selesai dibangun dipakai syuting.

Atau mungkin juga pengharapan penulis membayangkan menonton Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (2014) karena masih terbayang indahnya Batipuh dengan pengambilan gambar alam dan kearifan lokal Minang yang sangat tepat, yang meninggalkan bekas bahwa inilah film dengan latar belakang Minang terbaik. Nampaknya Buya Hamka (2023) –yang juga mengambil latar Minang– tidak mampu mengubah posisi itu, sekalipun lebih mahal biaya produksinya.

Tangkapan sketsa program televisi Bajaj Bajuri
Tangkapan gambar sketsa program televisi Bajaj Bajuri

***

Selain bicara rumah, pada pembahasan ini juga sedikit banyak bicara tentang liputan jurnalistik, mulai dari Poligami oleh Narasi TV, Perumahan Syariah oleh Kebijakan.co.id, hingga Sexy Killer oleh WatchDoc, saya sangat suka sekali ketika film ini banyak memasukan adegan Hamka sedang menulis, baik untuk membuat tulisan untuk di koran, novelnya, maupun buku-bukunya, hampir di seluruh adegan hampir ada. 

Melambangkan bahwa Hamka bukan jurnalis, penulis, novelis (pujangga), atau ilmuwan Islam yang ecek-ecek, gambaran tentang menulis di malam hari ditemani kopi, lalu ketika hari meninggal anaknya untuk tetap menerbitkan koran, dan belajar lagi kepada Ayahnya untuk menulis Tasawuf Modern (1939) juga memperjelas bahwa selain bukan ecek-ecek tetapi juga profesional. 

Secara kualitas tulisan, sebagai pembaca buku Hamka Falsafah Hidup (2015), benar-benar tulisannya membuat pembaca milenial — termasuk saya sendiri — pusing bukan main, sebab bahasanya yang puitis dan bernada melayu, mendayu-dayu, hampir tidak ada penggalan kalimat pendek — seperti yang terjadi saat ini — perlu dibaca 2x untuk memahaminya. 

Akan tetapi juga terdapat pertentangan atau polemik, khususnya kritik terhadap Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck yang dituduhkan plagiat dari salah satu Novel Sous les Tilleuls (1832) karya Jean-Baptiste Alphonse Karr yang diterjemahkan oleh Mustafa Luthfi Al-Manfaluthi ke dalam bahasa Arab berjudul Madjdulin (Magdalene: Di Bawah Pohon Tilla).

Dengan pembahasan kritik yang detail hingga kepada kalimat per kalimat, paragraf per paragraf, cerita per cerita oleh Abdullah Said Patmadji pada tahun 1962. Dilanjutan perbandingan dengan gambaran teks detail oleh Pramoedya Ananta Toer.

Namun, dibela oleh H.B. Jassin dalam tulisannya Apakah “Tenggelamnya Kapal Van der Wijck” Plagiat? (1967) yang mendudukan arti dari plagiat.

Pada Hamka ada pengaruh Al-Manfaluthi. Ada garis-garis persamaan tema, plot, dan buah pikiran, tapi jelas bahwa Hamka menimba dari sumber pengalaman hidup dan inspirasinya sendiri.” 

“Anasir pengalaman sendiri dan pengungkapan sendiri demikian kuat, hingga tak dapat orang bicara tentang jiplakan, kecuali kalau tiap hasil pengaruh mau dianggap jiplakan. Maka adalah terlalu gegabah untuk menuduh Hamka plagiat seperti meneriaki tukang copet di Senen.” Simpul H.B. Jassin.

Meme Hayati
Meme Hayati Lelah

Genderang perang sastra — dan dibumbui dengan aliran politik era pemerintahan demokrasi terpimpin- ini diulas secara lengkap dalam buku bertajuk Aku Mendakwa Hamka Plagiat: Skandal Sastra Indonesia 1962–1964 (2011).

Menarik jika ‘suasana’ ini dimasukan dalam film Buya Hamka (2023) Vol. I, II, III akan menjadi lebih kaya dalam sorotannya sebagai penulis sekaliber, namun sepertinya tidak ada — jika melihat cuplikan — , mungkin cakupan polemik sastra kurang menjual, ketimbang polemiknya dengan Soekarno.

Mungkin juga karena tuduhan terhadap Hamka yang sangat serius dikerjakan dan dibuktikan dengan detail, membuat posisinya dalam hal ini sangat lemah. Dibandingkan dengan tuduhan Soekarno, bahwa Hamka sebagai penghianat — yang jelas sebagai tuduhan politik.

Atau penulis naskah Buya Hamka (2023) beserta pihak-pihak yang terlibat tidak mengetahui keberadaan polemik sastra ini. Ah, yang ini kemungkinan kecil terjadi, terlebih jajaran pembuat film ini sekaliber dua produksi film besar di Indonesia, diisi orang-orang dengan yang tidak sembarangan.

Di balik plagiat atau tidak, terinspirasi oleh suatu karya atau tidak, itulah kekayaan dari kualitas sastra Indonesia, yang sulit ditemukan saat ini. 

Apalagi jika melihat kondisi penulis dan jurnalis sekaliber jadi, khususnya saat ini yang berafiliasi dengan komunitas Islam Populis saat ini macam Gelora.co yang hanya salin tempel tulisan, alih-alih menggambarkan teladan dan profesional media dan jurnalis yang berafiliasi dengan komunitas Islam Populis, malah sebaliknya, memuakkan.

Agenda ini memang disengaja dibantu oleh partai-partai yang berafiliasi dengan Islam Populis seperti yang diliput Tirto.id bertajuk Di Balik Situs Berita Hoax Cerita di Balik Situs Postmetro dan Seword (2019).

Hamka sedang Menulis
Hamka sedang Menulis

Islam Transnasional

Selanjutnya yang tertampar ialah Islam Transnasional, Islam yang menghamba akan solusi pasti cepat tepat akurat yaitu Khilafah atas semua negara-negara. Dalam adegan di film Buya Hamka Vol. I (2023) banyak sekali adegan yang menggambarkan nasionalisme salah satunya di cuplikan ialah ketika menolak kedatangan penjajah pada menit 1:12 dan menit 1:57, “Nasib kita, kitalah yang menentukan.” dan “Kita tunjukan siapa orang Minang sebenarnya.”

Sebagai pembaca biografi H.O.S Tjokroaminoto dalam buku Seri Tempo: Guru Para Pendiri Bangsa (2011), saya tahu betul bahwa kader (murid) Tjokro sudah pasti mewarisi cinta tanah air yang berawal dari gagasan Sosialisme Islam, yang pada saat itu dibawa oleh Hamka ke Minang. 

Sang Ratu Adil (sebutan untuk Tjokro kala itu) itu tak hanya berpengaruh terhadap tokoh politisi baik kanan — yang nantinya menjadi masyumi—, kiri — yang nantinya menjadi PKI —, maupun nasionalis — yang nantinya menjadi PNI — , tetapi juga kepada budayawan sekaligus ulama salah satunya Buya Hamka (walaupun natinya terafiliasi dengan Masyumi), memang benar-benar guru bangsa.

Dokumen Sejarah
H.O.S Tjokroaminoto (Dokumen Sejarah)

Menonton film Buya Hamka Vol. I (2023) sudah seperti suasana menjelang kemerdekaan, hampir setengah diisi doktrin cinta tanah air, tetapi tidak mengapa, sudah cukup jarang yang menghubungkan antara nasionalisme dan Islam dalam taraf yang patriotik, sebab habis sudah setelah Sang Pencerah (2010) dan Sang Kiai (2013)  — yang notabene ulama yang melahirkan organisasi sebagai anti-tesis ulama Islam Transnasional dan pelopor Indonesia juga— , film ulama yang benar-benar serius membangun masyarakat bangsanya, bukan ujuk-ujuk kampanye tentang Khilafah.

Bicara tentang Khilafah, baru sekali tokoh pergerakan sekaligus pengacara Front Pembela Islam (FPI) — yang juga mantan ketua YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia) — , Munarman ditangkap dan dihukum 4 tahun karena diduga menyaksikan baiat (pengakuan) kepada Hizbut Tahrir (HT) di Makassar. Walau masih diperdebatkan tetang status organisasi HT Indonesia (HTI) yang seharusnya dalam pembubarannya diadili — tidak ujuk-ujuk dibubarkan. 

Akan tetapi konsep HT sendiri masih tidak jelas, seperti apa sistem pemerintahannya? bagaimana konsepnya? mengapa negara-negara yang mayoritas Islam justru melarangnya? Hal itu abstrak perjuangannya, jika dibandingkan ulama yang tumbuh dari masyarakat, untuk melindungi tanah air tempat dia tinggal, sesederhana itu.

***

Namun secara film jika dibandingkan dengan film biopik dua ulama lainnya, masih lebih menarik Sang Pencerah (2010) dan Sang Kiai (2013), secara cerita, nilai, dan maksud lebih utuh disampaikan — walau kualitas produksi film dibawah Buya Hamka Vol. I(2023) — mungkin juga karena hanya volume pertama yang baru ditampilkan. 

Akan tetapi, itu menjadi kelemahan. Praktis, serba setengah-setengah, mau disorot dari sisi sastrawannya seorang Buya Hamka tetapi juga tidak menyeluruh, mau disorot perjuangannya juga tidak menyeluruh, mau disorot sosok keulamaannya juga tidak menyeluruh, alhasil penonton dipaksa menunggu untuk klimaksnya yang nanti akan ditayangkan.

Alhasil, film pertama belum benar-benar ‘wah’ dan akan berpikir kedua kalinya untuk menonton yang berikutnya — jika ada film yang lebih baik secara kualitas perfilman. Jika nanti Vol. II sepenayangan dengan film setan, jelas tidak perlu berpikir dua kali.

FilmAlurLokasiMusikAktingPesan
Sang Pencerah (2010)Maju (dari kecil hingga dewasa) menyorot perubahan budaya di kauman Yogyakarta: Jelas fokusnyaLatar Yogyakarta 1920an: sangat mendekati karena kondisinya tidak berbeda jauh dengan sekarangTerdapat lagu Lir-IlirTidak diragukanPerubahan budaya masyarakat
Sang Kiai (2013)Maju (ketika usia tua) menyorot perjuangan penjajahan jepang: Jelas fokusnyaLatar Jombang (Jawa Timur) 1940an: mengambil latar belakang kota tua di tempat lainnyaTerdapat lagu Bila Mati-Ungu (Namun tidak cocok)Tidak diragukanPerjuangan masyarakat untuk kemerdekaan
Buya Hamka I (2023)Maju (Dewasa) menyorot perjuangan penjajahan jepang: 50:50 (setengah) dengan kehidupan pribadi Buya Hamka sebagai suami, sebagai senulisLatar Makassar, Medan, Padang 1940an: membuat properti sendiri yang mendekati (mirip namun terlihat sekali tidak pas)Tidak ada lagu identitasTidak diragukanPerjuangan masyarakat untuk kemerdekaan? Edukasi poligami? Pencerdasan masyarakat melalui Pers?

***

Terlebih film ini juga tidak disertai lagu sebagai tanda bahwa film ini pernah ada. Ibarat kata, Ah, saya mendengar lagu ini teringat film Buya Hamka, itu tidak ada. 

Nyanyian Lir-Ilir (Abad Ke-16) — artinya bangunlah dalam bahasa Jawa — yang ditembangkan oleh Sunan Kalijaga, melekat sekali ke dalam Sang Pencerah (2010) setali dua temali dengan melekatnya kepada Cak Nun yang mempopulerkannya kembali. Lalu lagu Ungu dengan judul Bila Tiba (2013), saya tidak sengaja mendengarnya lalu saya teringat kepada suatu film, ternyata film Sang Kiai (2013).

Lagu atau musik dalam film menjadi sangat penting, dalam jurnal penelitian yang ditulis oleh Hery Supiarza berjudul Fungsi Musik di Dalam Film : Pertemuan Seni Visual dan Aural (2022), dia menyimpulkan bahwa peran musik memiliki peran penting dalam sebuah film. 

Pertama, mengintegrasikan (menyatukan) dunia bawah sadar penonton dengan melihat gambar. Kedua, mempengaruhi penonton dalam konteks ekspresi. Ketiga, memberikan pengetahuan perilaku penonton akibat dari mendengarkan musik. Kesimpulan yang menurut saya ada benarnya.

Meme Musik Rumi
Meme Musik Jalaludin Rumi (Sumber Gambar: @knowledgethatyouneed)

Secara teknis hampir tidak mungkin film yang menghabiskan 70 miliar ini melewatkan musik. Apa karena musik haram? Padahal menurut Fatwa MUI tertanggal 3 Desember 1983, dalam pertimbangannya musik (dan karya seni lainnya) boleh-boleh saja asal tidak melanggar dan bertentangan dengan ajaran Islam itu sendiri. 

Islam yang Merenggut Kemerdekaan

Dalam film juga terdapat adegan bahwa Hamka menolak secara konfrontatif — dalam cuplikan terbesit dalam (menit 1:18) —  dengan pihak penjajah Jepang terhadap cara mereka membatasi kegiatan-kegiatan muslim seperti beribadah, kemerdekaan pers, dan bahkan membunuh ulamanya.

Film ini menjadi tamparan keras sekali untuk mereka khususnya umat Muslim yang masih mencoba membatasi umat agama lain beribadah, kalian tidak kurangnya dari seorang penjajah layaknya Jepang kala itu. 

Bogor dan Cilegon adalah saksi bisu atas semua masalah yang terjadi saat ini. Yang telah diliput oleh BBC Indonesia dan Tirto.id dengan judul Gereja Yasmin Bogor: Kasus produk hukum intoleran ‘akan selesai’ tahun ini (2019) dan Tak Ada Gereja di Cilegon: Diskriminasi di Balik Topeng Pluralisme (2022). Atau kejadian baru-baru ini pelarangan ibadah Natal di Cilebut, Bogor.

Gereja Terbakar di Chile (AP Photo/Esteban Felix)

***

Merenggut kemerdekaan juga tak bisa lepas dari nasib penentuan sendiri, yang juga tergambar banyak di film ini, salah satunya menit 1:12, “Nasib kita, kitalah yang menentukan.” Mulai dari ketika awal penjajahan Jepang, hinggga masuknya Belanda saat agresi militer (secara singkat dalam Volume I).

Hal itu juga ditampilkan dengan semangat Hamka untuk mengagitasi masyarakatnya untuk memperjuangkan kemerdekaan. Dalam film Buya Hamka (2023) juga terdapat adegan yang menjabarkan mengapa penjajah ‘berkunjung’ ke negeri kita, tidak lain tidak bukan, mengeruk kekayaan.

Tetapi pertanyaan apakah Indonesia sudah mampu menjalani itu? Apakah di Indonesia sudah memfasilitasi untuk masyarakatnya untuk menentukan nasib sendiri? Apakah Indonesia bukan penjajah? Dengan mengirim bala tentara dengan segudang senjata, untuk melindungi pengerukan kekayaan-kekayaan di bumi milik masyarakat yang tinggal di sana?

Agaknya sedikit retroris, tetapi kenyataannya memang begitu. Kita belum sanggup menerima kenyataan, bahwa kita juga mengeruk kekayaan untuk elite-elite di Jakarta, dan meminggirkan masyaraka lokal yang tinggal di sekitarnya. 

Penelitian terbaru Kontras misalnya bertajuk Ekonomi-Politik Penempatan Militer di Papua (2021), dengan jelas menjabarkan bahwa ada elite tentara yang memang sengaja di tempatkan di Papua untuk melindungi entitas bisnis pertambangan. Lalu dari film ini kita membayangkan bagaimana jika terdapat tokoh agama dari Papua yang berani vokal seperti vokalnya Buya Hamka memperjuangkan Indonesia?

Ejawantah Kehidupan dan Pemikiran Buya Hamka

Membahas ketiga topik sebelumnya, tidak bisa dijauhkan dari tokoh sentral Buya Hamka. Pengejawantahan kehidupannya dalam film Buya Hamka Vol. 1 (2023) benar-benar kurang untuk orang awam yang asumsinya belum sama sekali membaca biografi sejarah Hamka  — karena mungkin masih volume pertama.

Adegan pertama disuguhkan ketika Buya Hamka di penjara lalu melompat ke masa lalu ketika menjadi pengurus Muhammadiyah di Makassar, lalu menjadi pemimpin redaksi di suatu koran di Medan, tanpa mengetahui sebab-sebabnya. Khususnya mengapa dia menjadi seorang pengurus Muhammadiyah Makassar? Mengapa dia punya latar belakang dan menjadi jurnalis? Mengapa dia menjadi pujangga?

Dan mungkin ini strategi bisnis, untuk menciptakan penasaran dan menonton ulang sebelum menonton volume berikutnya. Tapi apakah berhasil?

Akan tetapi secara budaya, Film Buya Hamka Vol. 1 (2023) benar-benar mengejawantahkan secara detail, mulai dari penggunaan bahasa minang, bahasa makassar, hingga logat jepang yang dibuat mendekati, hingga pakaian-pakaiannya. Walaupun ada beberapa sedikit kesalahan kecil seperti anak Buya Hamka ketika kecil atau staff media koran yang tidak fasih bahasa minang — terasa sekali dibuat-buat.

Untuk pengejawantahan pemikirannya juga benar-benar tersampaikan dengan baik, dari sisi keterbukaan terhadap budaya ala Buya Hamka, sisi kemodernan Islam ala Buya Hamka, sisi sufistik (hidup yang tidak mengejar duniawi saja) ala Buya Hamka. Tapi bersifat setengah jadi –alias setengah-setengah, tidak menyeluruh.

Ibarat ada benda untuk dilihat, pilihannya ada melihat keliling secara keseluruhan atau melihat pada satu sisi. Jika melihat secara keseluruhan, tentu kehilangan detail pada sisi. Jika melihat hanya detail satu sisi, tentu akan kehilangan penjelasan singkat sisi lainnya. Buya Hamka Vol. I (2023) memilih ‘jika’ yang pertama. Kebolongan dalam setiap sisi itu yang akan menjadi tanggungan penonton untuk mengenal sosok Hamka.

Film ini layak ditonton jika dibandingkan film setan lainnya —saat penayangan di Bioskop — , umumnya kehidupan ‘setan’ lebih laku dijual daripada ‘malaikat’ itu sendiri. Padahal film setan selama ini — terdekat sebelumnya dengan penonton terbanyak — tak jauh berbeda dengan sifat topiknya yaitu menipu, banyak yang absurd alias film jelek, tak jarang tak layak tonton.

Tapi jangan harap film Buya Hamka (2023) menjadi penyaing penonton film Setan dengan jumlah penonton terbanyak itu, jika masyarakat kita masih kurang kualitas manusianya yang masih suka dunia klenik dan hal-hal yang mistis tanpa penjelasan yang masuk akal, percayalah.

SutradaraFajar Bustomi
ProduserFrederica, H.B. Naveen, Chand Parwez Servia, Dallas Sinaga, dan Dewi Soemartojo
PenulisAlim Sudio dan Cassandra Massardi
Pemeran UtamaVino G. Bastian dan Laudya Cynthia Bella
Penata musikPurwacaraka
SinematograferIpung Rachmat Syaiful
PenyuntingRyan Purwoko
Pemilihan PemeranGilang Numerouno dan Nova Sarjono
Perusahaan
produksi
Falcon Pictures, Kharisma Star Vision Plus, Majelis Ulama Indonesia
Tanggal rilis19 April 2023 (Indonesia)
Durasi106 menit
Buya Hamka
Buya Hamka, Soekarno, dan Oei Tjeng Hien di Konsul Muhammadiyah Bengkulu (dokumen sejarah)
Adi Fauzanto
Diterbitkan: Kamis, 27 April 2023
Pukul: 15.30 WIB
Jurnalis: Adi Fauzanto
Daftar Bacaan:
• Roy Thaniago & Yovantra Arief. 2014. Perempuan Tanpa Otonomi. Penelitian RemotiviNarasi TV. 2021. Menguak Sisi Lain Mentoring Poligami Berbayar. Youtube, 16 NovemberDandhy Laksono & Ucok Suparta. 2019. Sexy Killer. WatchDocAdi Fauzanto. 2022. Perumahan Syariah di Kota Depok, Surga di Rumah atau Neraka Keberagaman. Kebijakan.co.id, 18 NovemberHery Supiarza. 2022. Fungsi Musik di Dalam Film : Pertemuan Seni Visual dan Aural. Jurnal Cinematology, Vol. 2 No.1Baitul Maal Hidayatullah. Mengupas Tuntas Besaran Tarif Penceramah di Indonesia! Berapa Kira-Kira Estimasinya?Haris Prabowo. 2022. Tak Ada Gereja di Cilegon: Diskriminasi di Balik Topeng Pluralisme. Tirto.id, 18 JuliBBC News Indonesia. 2019. Gereja Yasmin Bogor: Kasus produk hukum intoleran 'akan selesai' tahun ini. BBC News Indonesia, 14 Agustus.Fitria Chusna Farisa. 2022. Jejak Kasus Terorisme Munarman: Divonis 3 Tahun Penjara, Diperberat Jadi 4 Tahun. Kompas.com, 28 JuliOde Rakhman (dkk.). 2021. Ekonomi-Politik Penempatan Militer di Papua. Penelitian Kontras, AgustusTempo.co. 2022. Pelarangan Ibadah Natal di Cilebut, Pemerintah Dinilai Gagal Lindungi Hak Masyarakat. 28 DesemberBudi Setyarso. 2011. Seri Buku Tempo: Tjokroaminoto Guru Para Pendiri Bangsa. Jakarta: Penerbit Kepustakaan Populer Gramedia.STEKOM. Daftar Film Indonesia Terlaris Sepanjang MasaGarin Nugroho. 2015. Guru Bangsa: Tjokroaminoto. Film Produksi PicklockHanung Bramantyo. 2008. Ayat-Ayat Cinta. Film Produksi MD PicturesDeni Pusung. 2019. Ajari Aku Islam. Film Produksi RA PicturesHanung Bramantyo. 2010. Sang Pencerah. Film Produksi MVP PlusRako Prijanto. 2013. Sang Kiai. Film Produksi Rapi FilmsSunil Soraya. 2013. Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Film Produksi Soraya Intercine FilmsHamka. 1990. Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Jakarta: Penerbit Bulan-BintangUngu. 2013. Bila Tiba, Album Ruang Hati. Musik Produksi Suria RecordsSunan Kalijaga. Abad ke-16. Lir-IlirFatwa MUI. 1983. Nyanyian dengan Menggunakan Ayat-Ayat Suci Al-Quran. Narasi TV. 2023. Belajar dari Buya Hamka. Talkshow Mata NajwaMustafa Luthfi Al-Manfaluthi (penerj: Nursangadah). 2019.  Madjdulin (terjm: Magdalene: Di Bawah Pohon Tilla). Yogyakarta: Penerbit Spektrum Nusantara.H.B. Jassin. 1967. Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei I. Jakarta: Penerbit Gunung Agung.Muhidin M. Dahlan. 2011. Aku Mendakwa Hamka Plagiat. Yogyakarta: Penerbit Scripta Manent.Hamim Ilyas. 2021. Poligami dalam Perspektif Islam Berkemajuan. Suara Aisyiyah, 23 NovemberHamka. 2015. Tasawuf Modern. Jakarta: Penerbit RepublikaHamka. 1984. Falsafah Hidup. Jakarta: Penerbit PanjimasRejat Hidayat. 2016. Di Balik Situs Berita Hoax Cerita di Balik Situs Postmetro dan Seword. Tirto.id, 16 Desember
Liputan Mendalam

KUPI, Perempuan dalam Islam, dan Ketidakadilan Gender


Kebijakan.co.idLiputan Mendalam

Fayza Rasya-8 Des 2022 (18.00 WIB)-#80 Paragraf

Kekerasan seksual terhadap perempuan tercatat baik oleh Komnas Perempuan dari tahun 2001 hingga 2021, ada banyak faktor penyebabnya, mulai dari stigma, peminggiran, hingga sterotipe terhadap perempuan yang menyebabkan kekerasan. Hal tersebut, dilanggengkan oleh budaya, pendidikan, dan laku sehari-hari, terlebih melalui kebijakan publik yang diskriminatif.

Tak terkecuali praktik-praktik dalam Islam, sebagai otoritas agama mayoritas juga turut andil dalam memelihara simbol terhadap perempuan yang menciptakan ketidakadilan. KUPI (Kongres Ulama Perempuan Islam) hadir dalam membahas isu aktual tersebut.

***

Tanggerang, Kebijakan.co.idCukup sulit untuk perempuan hidup di negara Indonesia dengan kultur budaya dan praktik agama yang tidak adil terhadap perempuan. Realita masih banyaknya stigma, diskriminasi, pendidikan yang tidak inklusif yang membentuk pola pikir, hingga kepada kekerasan seksual terhadap perempuan.

Ditilik dari akarnya, adanya simbol terhadap perempuan yang berada di nomor dua setelah laki-laki. Lalu budaya masyarakat yang melanggengkan itu, berdampak kepada sektor ekonomi –dalam hal pekerjaan—dalam hal politik –tentang kepemimpinan perempuan— dan sektor-sektor lainnya. Ditambah adanya kebijakan publik yang diskriminatif yang terus dilanggengkan oleh kekuasaan.

Upaya untuk menghapus itu, datang dari KUPI (Kongres Ulama Perempuan Indonesia) ke-2 yang diselenggarakan pada 24-26 November 2022 di Jepara. Hadir dengan gagasan besar Peran Ulama Perempuan untuk Peradaban yang Berkeadilan. Menghasilkan rumusan fatwa untuk pemberdayaan perempuan dari isu-isu aktual dan realita kondisi perempuan yang ada.

Sumber: Kupi.or.id

Realitas Perempuan di Indonesia

Ana Abdillah, Direktur Eksekutif Women’s Crisis Center (WCC) Jombang, menjelaskan pada saat perempuan tersebut diatur-atur oleh masyarakat tanpa diimbangi dengan kesadaran akan hak yang seimbang. Realitanya, perempuan  tidak bisa dan dipersulit untuk memperjuangkan haknya. Contohnya saat perempuan menjadi korban kekerasan seksual. Bukan dukungan yang didapat, tetapi stigma dan perlakuan buruk.

“Jika terus dibudidayakan, maka yang terjadi adalah masyarakat akan menormalisasi perilaku kekerasan seksual yang berdampak pada perempuan —tidak mengedukasi laki-laki sebagai pelakunya. Hal yang selanjutnya harus dijawab adalah bagaimana permasalahan kekerasan seksual bisa dimitigasi (dicegah) sesuai kebijakan dan melalui mekanisme,” tuturnya kepada jurnalis Kebijakan.co.id, Selasa (6/12).

Tidak hanya itu, hal yang perlu diperhatikan selanjutnya adalah bagaimana respons dan menekan perempuan untuk tidak melanjutkan proses hukum. Aturan atau kebijakan yang belum sepenuhnya hadir atau belum implementatif, serta struktur hukum yang belum berhasil dalam membangun mekanisme tersebut.

“Sesungguhnya penyebab fenomena tersebut masih terjadi adalah karena masyarakat, aparat penegak hukum, dan penyedia layanan masih belum mengidentifikasi aspek kerentanan yang dihadapi oleh perempuan. Budaya dan substansi hukum yang belum signifikan,” ujarnya pada Selasa (6/12).

“Penyebab fenomena (kekerasan seksual) tersebut masih terjadi adalah karena masyarakat, aparat penegak hukum, dan penyedia layanan masih belum mengidentifikasi aspek kerentanan yang dihadapi oleh perempuan.

Ana Abdillah

Senada dengan itu semangat pemberdayaan perempuan, menurut Muhammad Hasbi dalam jurnalnya berjudul Kekerasan Perempuan dalam Wacana Pemikiran Agama dan Sosiologi (2015) mengatakan, jika ditelaah lebih mendalam tidak ada satupun teks, baik Alquran atau Hadist yang memberi peluang untuk melakukan perempuan sesuka hati.

Selain itu penjelasan dalam buku Islam, Agama Ramah Perempuan (2004) karya KH. Husein Muhammad, menurutnya dalam teks Alquran maupun hadist terdapat sejumlah pernyataan yang memberikan kepada kaum perempuan tempat yang sejajar dengan kaum laki-laki dan memberikan hak-hak kepada kaum perempuan untuk berperan dan terlibat dalam perjuangan-perjuangan sosial politik bersama laki-laki.

Selain itu, Husein Muhammad juga mengatakan dalam bukunya, “Alquran mengecam keras praktik-praktik perendahan-perendahan dan tindak kekerasan terhadap perempuan.”   

“Alquran mengecam keras praktik-praktik perendahan-perendahan dan tindak kekerasan terhadap perempuan.”

KH. Husein Muhammad

Fenomena ini dapat dijelaskan dengan ketidakadilan gender terhadap perempuan. Menurut Ratna Dewi dalam jurnalnya berjudul Kedudukan Perempuan dalam Islam dan Problematika Ketidakadilan Gender (2020), ketidakadilan gender terhadap perempuan dibagi menjadi empat hal.

Pertama, adanya marginalisasi atau peminggiran terhadap perempuan. Kedua, adanya subordinasi atau menomorduakan terhadap perempuan. Ketiga, adanya sterotipe atau kesan tertentu baik fisik atau perilaku terhadap perempuan. Keempat, adanya kekerasan –baik secara verbal maupun fisik— yang terjadi terhadap perempuan.

Menurut Andy Yentriyani, Ketua Komnas Perempuan, dalam Konfrensi Pers dalam KUPI II di PP Pesantren Hasyim Asy’ari Bangsri (25/11/2022) mengatakan bahwa akar dari kekerasan terhadap ialah diskriminasi berbasis gender, di mana menempatkan perempuan sebagai mahluk kelas dua –setelah laki-laki. “Oleh karena itu, dalam upaya penghapusan kekerasan, penting, untuk mengkampanyekan kesetaraan yang substantif,” tutupnya.   

Ketidakadilan gender ini lebih banyak menciptakan kekerasan terhadap perempuan, tak jarang terjadinya kekerasan seksual. Menurut Catatan Tahunan Komnas Perempuan yang mengumpulkan data dari organisasi yang melayani pendampingan, mencatat angka kekerasan seksual dari tahun 2001 hingga 2021.

Tahun 2001 sebesar 3.168 korban perempuan; 2002 sebesar 5.173; 2003 sebesar 5.934; 2004 sebesar 13.968; 2005 sebesar 20.931; 2006 sebesar 22.512; 2007 sebesar 25.522; 2008 sebesar 54.425; 2009 sebesar 143.586; 2010 sebesar 105.103; 2011 sebesar 119.107; 2012 sebesar 216.516;  2013 sebesar 279.688; 2014 sebesar 293.220; 2015 sebesar 321.752; 2016 sebesar 259.150; 2017 sebesar 348.446; 2018 sebesar 406.178; 2019 sebesar 431.471; 2020 sebesar 299.911; 2021 sebesar 338.506.

Terjadi peningkatan cukup signifikan dari tahun ke tahun, sebabnya ialah banyaknya lembaga perlindungan perempuan yang tumbuh di beberapa daerah, di satu sisi kemungkinan besar juga ada banyak perempuan yang mendapatkan kekerasan namun terkendala lembaga perlindungan di daerah. Layaknya ‘fenomena gunung es’, terdapat banyak kasus yang tidak tercatat dan terungkap.

Kemungkinan besar juga ada banyak perempuan yang mendapatkan kekerasan namun terkendala lembaga perlindungan di daerah. Layaknya ‘fenomena gunung es’, terdapat banyak kasus yang tidak tercatat dan terungkap.

Catatan Tahunan Komnas Perempuan

WCC Jombang dalam hal ini melakukan penanganan kasus dari pengalaman korban, lalu diidentifikasi untuk dicari akar permasalahannya berdasarkan aturan hukum. Namun, tidak semua aspek hukum tersebut membersamai kebutuhan dan akses korban. Pendampingan psikologis juga dilakukan dalam pembimbingan, pelaporan, dan dialog dalam penanganan dan proses hukum.

Tidak hanya sampai di situ, di persidangan WCC Jombang memastikan korban mendapatkan akses trauma healing melalui kegiatan semacam support group—mencegah agar tidak terjadinya pengulangan dengan pelaku yang berbeda—penguatan kepada kepada korban untuk bersikap positif dan asertif untuk menghadapi permasalahan yang dialami.

Penyedia layanan pemerintah dan aparat penegak hukum menginisiatifkan untuk tidak melanjutkan proses hukum—dampak kekerasan seksual berbanding lurus dengan angka perkawinan anak di Pengadilan Agama Jombang. Di 2019—2022, terdapat kenaikan sebesar 300 persen.

Dalam lingkup pengaduan kasus yang diterima WCC Jombang dalam lingkup agama, mereka sudah mendampinginya sejak lama dari 2017. Ana mengungkapkan, kendala yang kerap dihadapi adalah ketika pelaku merupakan tokoh agama yang mempunyai pengaruh cukup besar dalam masyarakat.

Tidak hanya terjadi di institusi keagamaan, tetapi juga terjadi di persekutuan doa teman Kristen. Sasaran empuknya adalah mereka yang baru saja bertransformasi dalam agamanya. Terdapat dua pesantren yang ditangani oleh mereka, di Kecamatan Ngoro dengan pelaku seorang kiai dan Ploso dengan pelaku seorang anak kiai.

Pesantren Kecamatan Ngoro yang santri menjadi korban mencapai tujuh orang—dengan modus menyampaikan doktrin keagamaan bahwa vagina barang mulia dan dan hanya bisa dimasukkan oleh orang mulia saja. Pesantren Kecamatan Ploso, pelaku menyampaikan bahwa ia seorang mursyid, menggantikan bapaknya sebagai penerus pesantren.

Proses penanganan kasusnya juga berbeda dan terhambat bukan karena ketidakbecusan aparat penegak hukum atau kejaksaan atau pengadilan, tetapi ketidakberanian untuk mengungkapkan fakta di atas asas keadilan—aspek non-yuridis menarasikan, mengeluarkan korban dari pesantren, berlindung atas nama baik pesantren yang besar dan terkenal.

WCC Jombang memberikan pelayanan kesehatan reproduksi, bantuan hukum gratis, pendamping psikologis dengan bermitra dengan lembaga perlindungan saksi ketika korban membutuhkan kehadiran negara dalam perlindungannya.

WCC Jombang juga berharap di Kabupaten Jombang dan seluruh wilayah di Indonesia untuk lebih peka membangun infrastruktur dan sumber daya manusia terhadap permasalahan perempuan dan anak. Untuk konteks pesantren, diharapkan iklim lebih eksklusif, responsif, serta mengedepankan korban untuk bisa survive, kuat, support system, dan tiada penekanan.

***

Jika kekerasan seksual terjadi pada diri kita, adik, teman, saudara, keluarga, bahkan ibu sendiri, yang harus dilakukan menurut ICJR (Institute or Criminal Justice Reform).

Pertama, utamakan keselamatan korban, menjaga kerahasiaan korban, kuatkan dan berdayakan korban;

Kedua, bila terjadi luka bawalah ke klinik atau dokter untuk dilakukan rekam medik sebelum melapor ke polisi untuk dijadikan bukti;

Ketiga, mencari bantuan psikolog untuk melakukan konseling dan pemulihan psikis;

Keempat, konsultasi melalui lembaga bantuan hukum atau lembaga lainnya yang dapat dipercaya apabila ingin melapor kepada polisi;

Kelima, diskusi dengan keluarga korban atau langsung melapor ke polisi disertai dengan bukti yang kuat.

Perempuan, Pekerjaan, dan Ancaman Diskriminasi

Selain itu, realita lainnya selain ancaman kekerasan seksual, terdapat adanya ancaman diskriminasi dalam lingkup lingkungan kerja. Menurut Koordinator Pusat Studi Gender dan Anak UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Iin Kandedes, “Ada beberapa tantangan yang dihadapi perempuan, yakni marjinalisasi dalam bidang ekoonomi. Contohnya perempuan mendapatkan pekerjaan kurang bagus dari segi gaji, jaminan kerja, atau status pekerjaan. Subordinasi anggapan perempuan makhluk lemah, tidak mampu memimpin, serta menggunakan banyak perasaan,” jawabnya kepada Kebijakan.co.id pada Rabu (7/12).

Iin melihat seharusnya perempuan saling mendukung dan memberikan kesempatan untuk memimpin di semua tingkat pengambilan keputusan dalam kehidupan keluarga, politik, ekonomi, dan publik sesuai posisi sosialnya. Selain itu, menghentikan segala bentuk diskriminasi, kekerasan, pelecehan dan eksploitasi seksual kepada perempuan.

Terkait wanita bekerja dalam perspektif Islam menurut Ratna Dewi dalam jurnalnya berjudul Kedudukan Perempuan dalam Islam dan Problematika Ketidakadilan Gender (2020) dalam kesimpulannya menyatakan Islam tidak pernah melarang perempuan untuk bekerja, sebab tidak ada ayat dalam Alquran yang melarangnya.

Menurut data BPS (Badan Pusat Statistik) melalui Survei angkatan Kerja Nasional (Sakernas), tenaga kerja formal perempuan tercatat tahun 2015 sebesar 37,78 persen; lalu di tahun 2016 sebesar 38,16 persen; di tahun 2017 sebesar 38,63 persen; di tahun 2018 sebesar 38,10 persen; tahun 2019 sebesar 39,19 persen; tahun 2020 sebesar 34,65 persen; tahun 2021 sebesar 36,20 persen.

Sedangkan menurut data BPS melalui Indikator Pekerjaan Layak di Indonesia tahun 2021, sebanyak 39,52 persen atau 51,79 juta penduduk produktif yang bekerja dari usia 15 tahun ke atas adalah perempuan. 

Dari 51,79 juta perempuan yang bekerja di usia produktif, 28,6 persen merupakan pekerja yang menjadi tenaga usaha penjualan. Lainnya, 24,38 persen menjadi petani, nelayan, dan pekebun. 20,51 persen merupakan tenaga produksi, operator alat angkutan, serta pekerja kasar. Sisanya, 10,48 persen merupakan tenaga professional, 8,65 persen menjadi tenaga usaha jasa,  6,56% merupakan tenaga kerja di sektor pemerintahan atau tata usaha. 0,7 persen merupakan tenaga pemimpi, sisanya 0,12 persen ada di jenis pekerjaan lainnya.

Otoritas dan Simbol Islam dalam Ketidakadilan

Salah satu penyebab dari adanya stigma dan diskriminasi terhadap perempuan misalnya, dapat terjadi karena otoritas dan pelanggengan simbol dalam agama yang tidak adil terhadap perempuan.

Otoritas dan simbol Islam terhadap perempuan misalnya dalam hal cara berpakaian.  Komisioner dan Sekretaris Jenderal (Sekjen) Komnas Perempuan sekaligus dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, Alimatul Qibtiyah memandang bahwa menilai akhlak perempuan dari cara berpakaian tidaklah sesuai.

“Jikalau seandainya akhlak perempuan dinilai dari jilbabnya, bagaimana jika kita bandingkan dengan laki-laki? Apakah hanya dengan memakai baju koko dan peci juga? Hal tersebut dirasa kurang tepat,” tutur Alim kepada Kebijakan.co.id dalam keterangan tertulisnya pada Senin (5/12/2022).

Sedangkan menurut Direktur Eksekutif Women’s Crisis Center (WCC) Jombang, Ana Abdillah mengemukakan bahwa perbuatan baik tidak harus dituntutkan kepada perempuan, tetapi harus juga kepada laki-laki. Tubuh dan cara berpakaian perempuan lebih banyak diatur oleh masyarakat ketimbang tubuh laki-laki.

“Apa yang dikenakan tidak mencerminkan ketakwaan seseorang. Kita saleh secara berpakaian, tetapi tidak selalu mengekspresikannya secara sufiah juga. Hal ini bergantung pada cara menghargai sesama individu,” papar Ana kepada jurnalis Kebijakan.co.id melalui keterangan suaranya pada Selasa (6/12).

Senada dengan itu, menurut Nana Nadiya Mahardika, Sekertaris Bidang Immawati Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Malang Raya, menyoroti fenomena saat seseorang melakukan kesalahan, tetapi yang disoroti adalah pakaian atau identitas yang digunakan. Menurutnya, perbuatan salah bisa terjadi kepada siapa saja, baik sengaja maupun tidak—kejadian yang berulang karena dampak dari konstruksi sosial. 

“Lingkungan kita terbiasa mengaitkan suatu kejadian dengan identitas yang digunakan, sehingga kerap kali beberapa orang salah kaprah dalam mengkritisi suatu kejadian. Hasilnya adalah bukan bicara akar masalah, namun mencari-cari permasalahan lain,” jelas Nana kepada jurnalis Kebijakan.co.id melalui keterangan tertulisnya pada Rabu (7/12).

Selanjutnya Alim menganggap masih banyaknya fenomena akhlak perempuan dinilai dari cara berpakaian karena keragaman penafsiran yang ada di masyarakat. Tidak hanya itu, tokoh agama di lingkungan sekitar juga berpengaruh dengan memberikan satu jawaban. Dari sinilah, masyarakat menganggapnya menjadi suatu kebenaran tunggal.

“Orang yang memengaruhi atau dakwah yang diikuti tidak menjelaskan keragaman penafsiran. Ada yang menjawab memakai jilbab itu wajib dan ada juga yang tidak. Begitu pula dengan cara menutup aurat. Sayangnya, masyarakat atau tokoh agama hanya menggunakan mayoritas penafsiran sebagai standar kebenaran,” jelasnya pada Senin (5/12/2022).  

Selain itu, Alim juga berpikir bahwa bukan persoalan agama yang menjadi perempuan mendapat ketidakadilan, tetapi penafsiran dan pemahaman akan kontekstual agama—tidak menimbulkan substansi asbabul wurud dan asbabun nuzul-nya. Perlunya perhatian terhadap penafsiran yang berpihak pada kesetaraan laki-laki dan perempuan.

“Perempuan harus mempunyai critical thinking dan otonomi terhadap dirinya dan juga kemampuan memilih-memilah penafsiran agama yang ramah perempuan—mengembalikan nilai kesetaraan dan keadilan kepada Al dan Hadis bahwa laki-laki dan perempuan diciptakan dari zat, status, hak, dan kewajiban yang sama,” tuturnya pada Senin (5/12/2022).

“Perempuan harus mempunyai critical thinking dan otonomi terhadap dirinya dan juga kemampuan memilih-memilah penafsiran agama yang ramah perempuan—mengembalikan nilai kesetaraan dan keadilan kepada Alquran dan Hadis bahwa laki-laki dan perempuan diciptakan dari zat, status, hak, dan kewajiban yang sama.”

Alimatul Qibtiyah

Untuk menghadapi dan menangani fenomena perempuan yang dituntut lebih dari simbolis agamanya adalah dengan menyampaikan keberagaman dan tidak menjadi penafsiran mayoritas sebagai ukuran kebenaran.

Simbol agama sendiri menurut Husein Wahab dalam jurnalnya berjudul Simbol-Simbol Agama (2011) terbentuk atas beberapa sistem: kognitif (berkaitan dengan akal atau proses belajar), moral (berkaitan dengan norma-norma), konstiutif (berkaitan dengan kepercayaan), dan ekspresif (berkaitan dengan penyembahan). Hal tersebut dimungkinkan untuk mempertahankan pola ajaran keagamaan.

Lanjut Alim, “Perempuan muslimah mempunyai banyak pengalaman dalam hidupnya yang ditentukan saat dibesarkan oleh keluarga dan lembaga pendidikannya. Jika itu adalah bentuk pengekspresian keberagaman diri, tidak mengambil hak orang lain, tidak bertentangan dengan konstitusi, serta tidak membawa kemaslahatan maka tidak masalah,” ujarnya pada Senin (5/12/2022).

Alim melanjutkan, agama itu diturunkan untuk kemaslahatan, hanya saja pertanyaannya agama yang ditafsirkan atau dipahami oleh siapa dan bagaimana—sebab konteks agama itu tidak bisa diubah, tetapi penafsirannya bisa berubah.

Dalam Komnas Perempuan, Alim menjelaskan bahwa mereka bekerja sesuai mandat dan berfokus pada implementasi dan pemenuhan hak-hak perempuan—didasari pada keberagaman dan pengalaman. Komnas Perempuan melakukan penelitian dan kajian terhadap peraturan daerah yang diskriminatif—mendiskriminasikan kelompok minoritas yang beda.

“Adanya kewajiban menggunakan jilbab pada instansi negeri—yang pasti di dalamnya tidak semua beragama Islam. Kami (Komnas Perempuan) melakukan advokasi kepada lembaga terkait untuk mencabut kewajiban dan memberikan advokasi kepada kelompok minoritas sebagai upaya untuk menghindari diskriminasi dan kekerasan,” bebernya pada Senin (5/12/2022).

Komnas Perempuan juga berharap hak-hak perempuan sebagai manusia terpenuhi dengan beragam pengalaman yang ada—laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama, termasuk dalam mengekspresikan bagaimana ia berpakaian dan agama.

Adanya pemaksaan secara otoritas dan simbol untuk perempuan menyebabkan perempuan terbelenggu akan simbol dan otoritas keagamaan. KUPI hadir sebagai bentuk untuk menghadirkan pandangan keagamaan yang setara antara perempuan dan laki-laki.

Akan tetapi menurut Koordinator Pusat Studi Gender dan Anak UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Iin Kandedes merasa senang dengan tren positif di kalangan perempuan Indonesia untuk sadar menutup aurat—yang bukan hanya sekadar menaati perintah dan simbol agama, tetapi sudah menjadi suatu kebutuhan.

“Jika kita melihat di mal, bahkan karya perancang busana sudah membuat tren fashion muslimah yang harganya tidak murah. Ibarat sepasang sepatu yang dipakai hanya sebelah, pasti kurang nyaman. Begitu pula dengan hijab, saat keluar rumah pasti terasa janggal,” jawab Iin kepada jurnalis Kebijakan.co.id melalui keterangan tertulisnya pada Rabu (7/12/2022).

Iin menambahkan, fenomena berhijab dan menggunakan pakaian tertutup untuk menghindari terjadinya berbagai tindakan kejahatan perempuan, seperti pelecehan seksual karena terpicu penampakan aurat. Terlebih lagi sesuai dengan ajaran Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia.

Iin menjelaskan bahwa fenomena perempuan mendapatkan ketidakadilan dari simbol agamanya berkaitan dengan aspek sejarah masuknya Islam di Indonesia. Dengan berbagai kepercayaan yang beragam, salah satunya kasta Sudra dalam Hindu yang tidak memiliki hak dan kesempatan yang sama dengan kasta lain—paling banyak mengalami diskriminasi.

“Apalagi kalangan perempuannya yang pasrah dengan kondisi ketidakadilan maupun ketidaksetaraan yang dialaminya. Lalu, Islam datang membawa kesetaraan yang tidak ada perbedaan di mata Allah swt. kecuali ketakwaannya. Tiada perbedaan derajat antara bangsawan dan rakyat jelata—diskriminasi laki-laki dan perempuan,” paparnya, Rabu (7/12/2022).

“Islam datang membawa kesetaraan yang tidak ada perbedaan di mata Allah swt. kecuali ketakwaannya. Tiada perbedaan derajat antara bangsawan dan rakyat jelata—diskriminasi laki-laki dan perempuan.”

Iin Kandedes

Ia melanjutkan, pada awal masuknya Islam dengan sukarela dan tanpa paksaan, mereka pun berbondong-bondong menjadi mualaf. Hal tersebut juga terjadi saat ini, tiada paksaan bagi Muslimah Indonesia untuk mengenakan hijab dan busana syarinya—pemaksaan semata-mata karena pemahaman keagamaan, nyaman, dan aman.

Negara juga menjamin kebebasan menjalankan perintah agamanya sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Selain itu, kebebasan beragama dan menjalankan ajarannya termasuk dalam Hak Asasi Manusia (HAM). 

“Kita harus menghormati keputusan seseorang yang ingin menggunakan hijab dan berbusana muslimah. Jadi, jangan pernah mengusik hak tersebut jika tidak ingin dicap sebagai orang yang melanggar HAM dan UUD 1945,” tegasnya pada Rabu (7/12/2022).

Iin juga menekankan bahwa bukan agama yang menjadi masalah ketidakadilan perempuan. Salah satu pokok ajaran Islam adalah mengakui persamaan antar manusia, baik laki-laki dan perempuan, suku, bangsa, atau keturunan.

Pendidikan dan Edukasi untuk Kesetaraan

Untuk mengakhiri praktik otoritas dan simbol agama yang menyebabkan perempuan di nomor duakan, Nana Nadiya mengemukakan bahwa lingkungan keluarga dan akses pendidikan sangat membawa pengaruh. Akses sekolah juga tidak cukup, perlunya akses terhadap pemenuhan informasi dan materi lain yang juga dibutuhkan murid sekolah. Pakaian tidak mencerminkan akhlak dan paham bahwa perempuan juga bisa berpendapat dan menjadi pemimpin kelas atau upacara.

“Saya seorang pengajar di taman pendidikan Alquran (TPQ) di Malang. Beberapa murid perempuan sekolah dasar (SD) yang saya ajarkan sering bercerita bahwa mereka sering merasa malu untuk berpendapat, malu saat berolahraga karena laki-laki lebih jago, dan terheran mengapa selalu laki-laki menjadi pemimpin upacara,” ceritanya pada Rabu (7/12/2022).

Nana juga memberikan langkah yang dapat dilakukan untuk memperbaiki pola pikir masyarakat terhadap fenomena ketidakadilan yang dialami perempuan dalam simbolis agamanya dengan menanamkan ilmu bersosial oleh orang tua dan guru sejak dini—pengajaran ilmu tersebut bukan berdasarkan kebiasaan dan konstruksi sosial turun-temurun

“Selanjutnya meramaikan media sosial dengan konten edukatif, terutama hal yang masih dianggap tabu oleh masyarakat. Dengan upaya menyebar dan mencari ilmu pengetahuan tambahan melalui berbagai media, kelompok muda bisa menyebarkan lebih luas ilmu dan edukasi kepada lingkungan keluarganya,” harapnya di akhir wawancara pada Rabu (7/12/2022).

Nana menyampaikan bahwa Kementerian Pendidikan, Budaya, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) sudah memasukkan materi pendidikan seksual ke dalam kurikulum. Menurutnya tidak berjalan efektif dikarenakan tidak disediakannya waktu khusus untuk guru menjelaskan kepada muridnya di sekolah.

***

Selain itu, menurut Iin Kandedes, perlunya edukasi dan mendukung serta memberikan kesempatan yang sama untuk memberdayakan perempuan dalam menempuh pendidikan. Islam juga menjaga kaum perempuan dari segala yang menodai kehormatan, menjatuhkan wibawa, atau merendahkan martabatnya.

“Bagai mutiara yang mahal harganya, Islam menempatkan perempuan sebagai makhluk mulia yang harus dijaga. Semua syariat telah ditetapkan Allah swt. untuk menjaga dan memuliakan perempuan—sekaligus menjadi tatanan kehidupan lebih baik dan bersih dari berbagai perilaku menyimpang,” imbuhnya pada Rabu (7/12/2022).

Di akhir wawancara, Iin berpesan kepada muslimah untuk menuntut ilmu setinggi-tingginya karena Allah swt. akan mengangkat derajat orang yang menuntut ilmu—berpeluang untuk mendapat kesempatan yang lebih luas dan sama dalam berbagai bidang kehidupan, juga berdaya secara ekonomi untuk mengantisipasi ketidakadilan dan diskriminasi perempuan.

Komitmen dan Peran KUPI dalam Perubahan Kebijakan Publik

Sumber: Fahmina Institute

Adanya masalah aktual yang terjadi khususnya kepada perempuan, mulai dari simbolisasi agama, diskriminasi, hingga kekerasan seksual. Sejalan dengan tujuan utama kongres KUPI II ini, yaitu merumuskan sikap dan pandangan keagamaan ulama perempuan Indonesia tentang isu-isu aktual dengan menggunakan paradigma –cara berpikir—dan metode yang diadopsi KUPI, salah satunya berkaitan dengan kekerasan terhadap perempuan.

Adapun rekomendasi hasil KUPI II di Jepara, salah satunya membahas bagaimana, “korban dalam kasus kekerasan seksual dan perkosaan acap kali tersudut, terstigma, dan terdiskriminasi oleh narasi patriarki atau kuasa laki-laki.”

Salah dua misalnya yang dibahas dalam KUPI II ini ialah, (1) perlindungan perempuan dari bahaya pemaksaan perkawinan, (2) perlindungan jiwa perempuan dari bahaya kehamilan akibat pemerkosaan, dan (3) perlindungan perempuan dari bahaya tindak pemotongan dan pelukaan genetalia perempuan.   

“Alih-alih mendapatkan bantuan hukum, korban justru semakin terpinggirkan dan dikucilkan di tengah beban psikologis yang dialami. Oleh karena itu, negara harus memprioritasan regulasi yang berpihak pada korban,” Lanjut salah satu rekomendasi KUPI II.

“UU TPKS adalah salah satu perantara untuk merubah cara berpikir kuno dan mulai membuka kesadaran untuk berpihak pada korban. Oleh karena itu, masyarakat sipil harus terlibat dalam memastikan tak ada lagi korban pemerkosaan dan kekrasan seksual yang terdiskriminasi,” Lanjut salah satu rekomendasi KUPI II.

Terkait UU TPKS misalnya, WCC Jombang juga berpesan kepada masyarakat sipil bersedia mendedikasikan dirinya untuk membantu semua perempuan dan kelompok rentan untuk tidak memulai konfrontasi Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual—mendukung Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) untuk basis intelektual mewujudkan masyarakat yang berkeadilan gender.

“Adapun jaringan KUPI harus gencar mengkaji nash-nash (naskah) berkaitan dengan kekerasan dan perkosaan dengan perspektif pengalaman perempuan. Karena tak jarang, marginalisasi (peminggiran) korban perkosaan justru dilegitimasi (di dukung) oleh narasi-narasi teks literaris yang tekstual.” Tutup point kedua rekomendasi KUPI II tersebut.    

Dari kedelapan rekomendasi KUPI, sektor utamanya ada pada kebijakan pemerintah. KUPI dan Pemerintah harus membangun sinergi untuk membuat kebijakan publik atau regulasi yang berkeadilan gender.

Selain itu bukti sinergi KUPI dan Pemerintah, salah satunya ialah dorongan dari KUPI I di tahun 2017 yang bertempat di Cirebon, menurut Rosidin, Direktur Fahmina –salah satu pihak penyelenggara KUPI II- ialah, “KUPI I berhasil mendorong disahkannya Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) dan peningkatan usia perkawinan,” ucap Rosyidin saat konfrensi pers (24/11/2022). 

Selanjutnya KUPI juga akan mendorong dan mengadvokasi disahkannya RUU (Rancangan Undang-Undang) Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) yang sudah ada di Prolegnas (Program Legislasi Nasional) sejak tahun 2004, namun tak kunjung disahkan. “Maka para ulama perempuan perlu merefleksikan sejumlah titik lemah dalam advokasi RUU PPRT,” ucap Rosidin.

Senada dengan itu, menurut Pera Sopariyanti, Direktur Rahima –salah satu penyelenggara KUPI II—mengatakan pekerja rumah tangga sangat rentan terhadap kekerasan seksual, oleh karenanya ulama perempuan bersepakat perlindungan terhadap pekerja rumah tangga adalah hal yang penting.


Perempuan harus berani lantang. Bersuara atas praktik yang lancang. Merubah budaya yang usang. Untuk masa depan perempuan yang lebih terang.

Catatan Redaksi Kebijakan.co.id
Fayza Rasya
Diterbitkan: Kamis, 8 Desember 2022
Pukul: 18.00 WIB
Jurnalis: Fayza Rasya
Editor: Adi Fauzanto
Grafis, Data, dan Referensi: Adi Fauzanto
Daftar Bacaan:  
• Husein Wahab. 2011. Simbol-Simbol Agama. Jurnal Substantia, Vol. 12 No. 1Ratna Dewi. 2020. Kedudukan Perempuan dalam Islam dan Problematika Ketidakadilan Gender. Noura: Jurnal Kajian Gender dan Anak, Vol. 4 No. 1KH. Husein Muhammad. 2021. Islam, Agama Ramah Perempuan. Penerbit IRCiSod: YogyakartaMuhammad Hasbi. 2015. Kekerasan Perempuan dalam Wacana Pemikiran Agama dan Sosiologi. Jurnal At-Tahrir, Vol. 15 No. 2
 Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2001-2021
 BPS. 2021. Indikator Pekerjaan Layak di Indonesia
• BPS. Presentase Tenaga Kerja Formal menurut Jenis Kelamin 2016-2018
 ICJR. 2021. Apa Yang Harus Dilakukan Jika Mengalami Kekerasan Seksual?. Youtube
Liputan Mendalam

Akal Bulus Pengembang Perumahan Syariah di Kota Depok


Kebijakan.co.idLiputan Konstruktif

Adi Fauzanto-18 Nov 2022 (18.00 WIB)-#54 Paragraf
Perumahan Syariah di Kota Depok

Fenomena perumahan syariah meruak ke pasar baru-baru ini. Terhitung semenjak kebangkitan ‘Islam Politik’ dan menjalar ke berbagai aspek, mini market syariah, hingga perumahan syariah.

Fenomena ini, ditangkap baik oleh pengusaha yang berhasil melihat pasar masyarakat islam yang gandrung akan merek syariah.

Beberapa menunjukan dampak pendek yang buruk, ketidaktepatan atau terjerat penipuan hanya karena ingin mendapatkan rumah bermerek syariah.

Dampak panjang, pengelompokan ini berpotensi menciptakan segregasi, terlebih jika ada situasi yang dapat memicunya, misal politik identititas. 

Dalam perspektif Islam, Al-Quran tidak pernah mengajarkan harus bertetangga muslim atau membuat kawasan khusus Muslim.

Dalam perspektif kebangsaan, sejarah mencatat hampir semua agama terlibat dalam kemerdekaan bangsa Indonesia, dan oleh karenanya bangsa ini didasarkan atas keberagaman.

Menarik dibahas, khususnya di Kota Depok, kota yang menurut Setara Institute tingkat tolerannya rendah, juga terjadi. Terlebih di bawah rezim penguasa yang merupakan ‘Partai Islam’ yaitu PKS.

***

Perumahan Syariah dan Cara Bayar Syariah

Depok, Kebijakan.co.id — Berbeda antara perumahan syariah atau islami dengan cara pembayaran atau metode syariah, seperti murabahah atau pembayaran langsung. Menurut Ade Supriatna, DPRD Kota Depok Fraksi PKS (Partai Keadilan Sejahtera) saat ditemui oleh Kebijakan.co.id (7/11/2022), perumahan ‘syariah’ dalam hal ini dibedakan menjadi 2.

“Pertama, terkait dengan proses jual belinya, ada yang mengklaim developer syariah, kemudian juga karena transaksinya menyesuaikan dengan hukum-hukum syariah.”

Lalu yang kedua, “Nah (jenis) developer yang ke dua memang dia bikin kawasan. Kawasan yang memang diperuntukan untuk muslim dengan nuansa-nuansa religi.”

Hal tersebut menurut Ade Supriatna, mengikut pasar permintaan yang mengingkan lingkungan islami, “Yang memang ternyata pasarnya ada gitu dan cukup banyak, makanya para pengusaha developer inikan ya namanya dagang gitukan, demand (permintaan)nya tinggi, makanya dia create gitu.”

Ade Supriatna (DPRD Kota Depok Fraksi PKS)
Ade Supriatna (DPRD Kota Depok Fraksi PKS) Sumber: RadarDepok.com

Memanfaatkan Ceruk Pasar Islami

Pasar atau ceruk islami dimanfaatkan oleh pengembang perumahan islami untuk meraih pembeli rumah dari ceruk pasar islami tadi. Walaupun secara ajaran Islam maupun etika kebangsaan, bertentangan. Selain itu, secara nilai-nilai Islam juga tidak memenuhi, di antaranya tidak ada masjid, hanya memperkaya simbol-simbol, dan cenderung sama dengan perumahan pada umumnya.

Menurut Abdul Rohim, Direktur Maarif Institute saat ditemui Kebijakan.co.id (31/10/2022), “Ya memang itu berlaku hukum pasar. Pasar itukan pragmatis ya, sesuai dengan demand kebutuhan masyarakat, ya.”

“Mereka (pengembang perumahan) melihat adanya demand (permintaan) pasar. Jadi kalau permintaan pasar itu tidak ada, pebisnis perumahan tidak mungkin kan membangun itu (perumahan syariah).”  

Abdul Rohim Ghozali (Direktur Eksekutif Maarif Institute)
Abdul Rohim Ghozali (Direktur Eksekutif Maarif Institute) Sumber: Media Indonesia

Abdul Rohim menyamakan dengan munculnya Bank-Bank Syariah –yang sebenarnya juga berasal dari Bank Konvensional yang merupakan Bank berdasarkan Riba—, “Sama dengan ketika muncul gerakan anti riba, maka Bank Syariah itu menjadi lahan bisnis dan bukan hanya mereka yang muslim, katakanlah semua Bank Konvesional karena ada tuntutan dari pasar maka membuka cabang syariahnya. Mungkin juga cluster-cluster (perumahan) syariah seperti itu.”

Abdul Rohim di akhir menekankan untuk mengedepankan etika, khususnya kepada pengusaha –yang utamanya muslim–, “Mestinya, bisnis itu kan tidak liberal dalam pengertian ‘bebas tanpa nilai’ hanya semata-mata berorientasi kepentingan keuntungan materil. Kalau mereka memegang etik, sebagai seorang muslim, maka etika yang dikembangkan etika yang diajarkan oleh Al-Quran dan Hadist, harus baik kepada tetangga.”

Ia menambahkan, “Dan jangan lupa Nabi dalam sejarahnya sebagai pedagang, yang memperdagangkan kekayaan istrinya Khadijah, ketika dia berdagang tidak pernah segregatif.”

“Jangan lupa Nabi dalam sejarahnya sebagai pedagang, yang memperdagangkan kekayaan istrinya Khadijah, ketika dia berdagang tidak pernah segregatif.”

Abdul Rohim Ghazali

Senada dengan Abdul Rohim, menurut Bro Icuk (35), Wakil Ketua DPC (Dewan Pimpinan Cabang) PSI (Partai Solidaritas Indonesia) Kota Depok saat ditemui Kebijakan.co.id (2/11/2022), menekankan, “Jadinya ya pasar (dan) pengusaha harusnya lebih aware.”

Yang dimaksud ialah, “Dalam artianih jadi pengusaha jangan terlalu pragmatis untuk mendapatkan keuntungan secepat-cepatnya dan sebesar-besarnya dari fenomena yang terjadi.”

Bro Icuk menyarankan pengusaha pengembang perumahan syariah, “Harusnya (pengusaha) juga lebih arif.”

Bro Icuk juga tidak menyalahkan para pengembang perumahan Islami yang pragmatis, “Kalau bilang disalahkan dari jalur hukum juga tidak salah, tetapi secara etika kita bernegara, etika bisnis, ini kayak menunggangi (dan) menggunakan kesempatan polarisasi yang dampaknya akan buruk kepada kehidupan berbangsa, tapi terus dijalankan oleh temen-temen pebisnis.”

Icuk Pramana Putra (Wakil Ketua DPC PSI Kota Depok)
Icuk Pramana Putra (Wakil Ketua DPC PSI Kota Depok) Sumber: JabarEkspres.com

Secara prinsip, etika bisnis dalam Islam menurut Sri Nawatmi dalam jurnalnya Etika Bisnis dalam Perspektif Islam terbagi menjadi 5: (1) Kesatuan, (2) Keseimbangan, (3) Kebebasan Berkehendak, (4) Tanggungjawab, (5) Kebenaran.

Dalam prinsip kesatuan misalnya. Menurut Sri, bisnis dalam Islam melihat keterpaduan atau kesatuan dalam hal ekonomi, sosial, budaya, dan agama. Misalnya tidak diskriminatif kepada seluruh pihak, tidak melanggar hukum agama, dan meninggalkan perbuatan yang tidak beretika.

Menjual Merek Islam

Pragmatisme itu lahir salah satunya dengan menjual merek Islam sebagai cap bahwa perumahan mereka merupakan perumahan syariah. Menurut Loepieanto (82), FKUB Kota Depok, yang sudah tinggal di Depok dari tahun 1992 saat ditemui Kebijakan.co.id (3/11/2022), mengatakan,Kalau di Depok ini ya dibangun perumahan syariah hanya merek saja.”

Selain itu juga menurut Ade Supriatna, melihat, “Kalau saya lihat ini fenomena bisnis Mas, artinya begini (misalkan) saya punya kawasan privat (sendiri) kan swasta ini tanah dia, saya hanya akan menjual kepada yang muslim.”

Sederhana ketika melihat jual-beli barang atau jasa pada umumnya, “Saya belum melihat negara ini bisa intervensi, kalau jual-belikan sesuai yang diinginkan ke duabelah pihak, (prinsip) ridho atau keleraan, kalau yang satu tidak mau menjual nggak bisa maksa, saya lihat juga memang keterbatasan tangan dari pemerintah nih gimana ngaturnya, karena kalau dari perizinan kan gaada sekarang dalam arti dia sama semua, inikan bahasa di pasar.”

Mendukung ungkapan Ade Supriatna bahwasannya negara belum bisa intervensi, dari sisi perizinan, sebenarnya tidak dibedakan antara perumahan syariah ataupun perumahan pada umumnya.

Jadi benar-benar pengembang perumahan syariah memanfaatkan Islam sebagai bahan jualannya. Menurut Meti, Dinas Perumahan Kota Depok saat ditemui Kebijakan.co.id (7/11/2022), “Kalau setahu saya, kayanya hanya label deh Mas. Kaya perumahan Mutiara Darrusalam, mungkin kalau secara nama, ‘oh perumahan Islami nih’ tetapi ngga tau islami atau ngganya ya.”

Loepianto (Sekertaris FKUB Kota Depok)
Loepianto (Sekertaris FKUB Kota Depok) Sumber: WartaAhmadiyah.org

Tidak ada Izin Khusus

Terkait izin tadi, Meti menjelaskan secara detail tahap-tahap perizinan pembangunan perumahan, lalu kebingungan ketika melihat munculnya perumahan syariah. Meti, “Sebenarnya yang saya mau tanyai malah gini, kriteria perumahan yang dianggap syariah itu apa? makanya saya baca ini kan. Kalau di kita setau saya di PTSP tidak ada pembedaan, perumahan umum (dan perumahan lainnya).”

Meti menekankan, “Ya tentunya kalau rumah tinggil izin, lebih dari 5 kapling itu udah dianggap perumahan, tanpa ada pembedaan syariah (dan) non syariah, begitu kalau di Depok ya.”

Lainnya Meti menduga bahwa perumahan syariah hanya berdasarkan nama saja, “Jadi kalau di sini itu, setau saya ya nggak ada (pembedaan). Mungkin dari nama doang kali ya. Untuk masuk ke dalamnya bukan ranahnya.”

Hal tersebut, didukung oleh pernyataan Supandi Syahrul (Ketua Dewan Pengurus Daerah Real Estat Indonesia Jawa Timur Komisariat Madura) dalam kolomnya Mangsa dan Modus Penipuan Properti Syariah di Detik.com, “Hingga saat ini, belum ada satu pun perusahaan real estate yang dinyatakan terdaftar sebagai developer atau pengembang syariah oleh MUI. Jadi, mereka menyebut dirinya developer syariah hanya akal bulus saja untuk mengelabui konsumen.”

Menurut Supandi, karena memang tidak ada perusahaan berbentuk syariah. Kecuali perusahaan mereka menyatakan penuh dalam AD/ART menggunakan metode pembayaran syariah dan diawasi oleh Dewan Pengawas Syariah layaknya Bank Syariah atau Asuransi Syariah.

Selain itu juga tidak adanya peraturan yang membatasi perumahan syariah ini, menurut Ade Supriatna, “Nah, kalau tempat tinggal memang belum –setau saya—belum ada peraturan perundangan yang mengatur, di mana harus tinggal, terus siapa saja yang tinggal di tempat itu, gitu, jadi masih diserahkan ke pasar intinya, gitukan.”

Karena tidak aturan yang mengaturnya, Ade Supriatna hanya memberikan saran kepada pengembang, “Karena belum ada juga cantolan Undang-Undang atau peraturan perundang-undangan yang bisa melarang ini kita hanya bisa (memberikan saran) kepada pengembang.”

Penyebabnya hanya memberikan saran, “Kita sih, kalau mendorong kebijakan publik yang dalam bentuk peraturan daerah tentu harus ada ‘tadi’ (merujuk pembahasan sebelumnya) cantolan peraturan perundang-undang di atasnya, yang mungkin itu baru bisa kita dorong ya.”

Gedung Pemerintah Kota Depok
Gedung Pemerintah Kota Depok

Kasus-Kasus Perumahan Syariah

Selain itu, urgensi perlunya ada intervensi negara terhadap perumahan syariah, adalah karena banyaknya korban yang sudah berjatuhan. Dari 5 kasus –yang kemungkinan jumlahnya melebihi ini— di antaranya PT Indo Tata Graha (2022); PT Wepro Citra Sentosa (2019); PT Fimadani Graha Mandiri (2021); PT ARM Cipta Mulia (2019); PT Cahaya Mentari Pratama (2020).

No.PengembangKorbanKerugianModus Utama
1.PT Indo Tata Graha805 MiliarMengatasnamakan Agama
2.PT Wepro Citra Sentosa  368040 MiliarHarga Murah dan Tanpa BI Checking
3.PT Fimadani Graha Mandiri155 MiliarTidak ada SOP dan perjanjian tidak di depan Notaris
4.PT ARM Cipta Mulia27023 MiliarTanpa BI Checking
5.PT Cahaya Mentari Pratama32 Orang3,4 MiliarTanah Fiktif
Sumber

Dari ke 5 kasus tersebut, total korban mencapai 4137 orang, dengan kerugian kurang lebih 76,4 Miliar Miliar. Kemungkinan besar masih ada banyak kasus yang belum dimasukan.

Dengan modus di antaranya: Pertama, Jelas mengatasnamakan Agama yaitu Islam; Kedua, Menggunakan simbol-simbol Agama yaitu Islam; Ketiga, Tanpa Riba (Tanpa Bunga Kredit); Keempat, Tanpa Bank Indonesia Checking; Kelima, Tanpa Sita; Keenam, Tanpa Denda; Ketujuh, Tanpa Uang Muka atau DP; Kedelapan, Perjanjian tidak di depan notaris; Kesembilan, Harganya murah atau tidak wajar; Kesepuluh, Kemudahan administrasi.

Dari kasus-kasus dan modus-modus tersebut, setidaknya calon konsumen –khususnya yang masih menginginkan cita-cita tinggal di lingkungan syariah— harus mempelajari modus tersebut.

Menurut Legowo Kusumonegoro (Presiden Direktur, PT Manulife Aset Manajemen Indonesia)  dalam acara Standard Chartered Academy for Media dilansir dari Republika.co.id, mengatakan calon pembeli atau investor harus memiliki sikap, “Sikap 80 persen tidak percaya, 10 persen takut, dan 5 persen siap ditipu.”

“Sikap 80 persen tidak percaya, 10 persen takut, dan 5 persen siap ditipu.”

Legowo Kusumonegoro

***

Sikap ketidakpercayaan, takut, dan siap ditipu tersebut harus disertai dengan:

Pertama, memastikan izin dan legalitas berupa Surat Keputusan Kementerian Hukum dan HAM (SK Kemenkumham) serta Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) atau Nomor Induk Berusaha (NIB), lalu melakukan verifikasi dokumen-dokumen tersebut, atau memastikan nama perusahaan pengembang tidak pernah bermasalah atas penipuan atau tindak pidana lainnya.

Kedua, surat kepemilikan tanah dan bangunan fisiknya, berupa akta notaris dan akta jual-beli dengan pemilik tanah sebelumnya, lalu melakukan verifikasi atas akta notaris atau jual-beli tersebut, dengan mendatangi notaris atau melakukan verifikasi kepada pemilik tanah sebelumnya.

Ketiga, melihat Izin Mendirikan Bangunan (IMB) yang dikeluarkan instansi resmi pemerintah daerah, yang dilakukan dengan bertanya legalitas dokumen IMB tersebut kepada Dinas Perumahan terkait.

Keempat, mencatat detail proses pembangunan dan dokumen-dokumen pembangunannya, seperti siapa penyedia jasa dan alat konstruksinya. Hal tersebut agar dapat dipastikan kepada jasa kontraktor nantinya, baik orang-orangnya dan kantornya.   

Kelima, melakukan pengecekan terhadap bank yang bekerjasama dengan pengembang tersebut berupa Perjanjian Kerjasama dengan Perbankan (PKS), baik cara pembayaran konvesional dengan bank-bank konvensional atau cara pembayaran syariah dengan bank-bank syariah seperti murabahah.

Keenam, untuk yang tidak menggunakan lembaga ketiga –dalam hal ini percaya terhadap adanya Riba– pastikan dalam setiap pembayaran sepeserpun, harus disertai bukti dan diperjanjikan di depan Notaris atau diatas materai dengan identitas lengkap. Hal tersebut dimaksudkan untuk keamanan. Jika tidak berani, maka patut dicurigai. Hal tersebut memang bertujuan –untuk pengembang licik—untuk menghindari Perbankan Syariah, lalu pengawasnya yaitu Otoritas Jasa Keuangan, dan izin-izin terkait di Dinas, seperti IMB, dan sebagainya.

Calon-Calon Korban Penipuan Rumah Syariah

Menurut Supandi Syahrul (Ketua DPD REI Jawa Timur Komisariat Madura) mengatakan dalam kolomnya Mangsa dan Modus Penipuan Properti Syariah di Detik.com, menurutnya korban penipuan tidak hanya calon pembeli (masyarakat umum) tetapi juga kepada:

Pertama, pemilik tanah. Pemilik tanah atau lahan biasanya petani atau pekebun yang biasanya tidak paham betul bisnis perumahan –apalagi bisnis perumahan syariah yang menabrak banyak aturan. Pemilik lahan tersebut diimingi-imingi lahan tersebut akan dibeli dan digunakan untuk perumahan. Hal tersebut ditunjukan untuk memastikan kepada calon pembeli kepastian lahan untuk dibangun perumahan. 

Kedua, pemilik modal. Umumnya pengembang perumahan syariah tidak memiliki modal awal yang cukup, untuk memenuhinya maka mereka mengajak kerjasama kepada pemilik modal. Dana tersebut tidaklah sedikit, biasanya digunakan untuk dana awal pembebasan lahan, pembangunan kantor, biaya karyawan, dan pemasaran.

Target pemilik modal tersebut –untuk pengembang yang nakal—mengincar para pemilik modal yang tidak mengerti betul bisnis perumahan syariah beserta hukum-hukum bisnis syariah. Tentu dengan iming-iming bagi hasil keuntungan yang besar dan janji surga.

***

Untuk mencegah terjadinya korban yang berjatuhan –terlebih segregasi–, baiknya semua pihak pengusaha, pembeli, pembuat aturan, dan masyarakat pada umumnya mempelajari dulu  konsep berusaha dan konsep hidup islami dengan seksama dan mendalam, agar kasus dan terlebih ‘ujung hidung’ perumahan khusus muslim tidak terlihat lagi.

*(26/11/2022): Ada perbaikan nama dari Meta menjadi Meti dari Dinas Perumahan Kota Depok dan tambahan keterangan waktu saat ditemui Kebijakan.co.id

Baca Serial Liputan Konstruktif "Perumahan Syariah di Kota Depok, Surga di Rumah atau Neraka Keberagaman" Lainnya:
•	Perumahan Syariah di Kota Depok, Surga di Rumah atau Neraka KeberagamanAkal Bulus Pengembang Perumahan Syariah di Kota DepokWawancara Mendalam tentang Perumahan Syariah di Kota Depok

Serial Liputan Konstruktif ini merupakan Program Fellowship Jurnalistik untuk Keberagaman dan Toleransi oleh Yayasan Satu Keadilan dan Search for Common Ground
Jurnalis Adi Fauzanto
Diterbitkan: Jumat, 18 November 2022
Pukul: 18.00 WIB
Jurnalis: Adi Fauzanto
Daftar Bacaan:  
• Supandi Syahrul. 2020. Mangsa dan Modus Penipuan Properti Syariah. Detik.com, 14 FebruariNashih. 2020. Masyarakat Diminta Tak Asal Tergiur Rumah Berkedok Syariah. Republika, 18 FebruariSri Nawatmi. 2010. Etika Bisnis dalam Perspektif Islam. Jurnal Fokus Ekonomi, Vol. 9 No. 1
Liputan Mendalam

Perumahan Syariah di Kota Depok, Surga di Rumah atau Neraka Keberagaman


Kebijakan.co.idLiputan Konstruktif

Adi Fauzanto-18 Nov 2022 (18.00 WIB)-#85 Paragraf
Perumahan Syariah di Kota Depok

Fenomena perumahan syariah meruak ke pasar baru-baru ini. Terhitung semenjak kebangkitan ‘Islam Politik’ dan menjalar ke berbagai aspek, mini market syariah, hingga perumahan syariah.

Fenomena ini, ditangkap baik oleh pengusaha yang berhasil melihat pasar masyarakat islam yang gandrung akan merek syariah.

Beberapa menunjukan dampak pendek yang buruk, ketidaktepatan atau terjerat penipuan hanya karena ingin mendapatkan rumah bermerek syariah.

Dampak panjang, pengelompokan ini berpotensi menciptakan segregasi, terlebih jika ada situasi yang dapat memicunya, misal politik identititas. 

Dalam perspektif Islam, Al-Quran tidak pernah mengajarkan harus bertetangga muslim atau membuat kawasan khusus Muslim.

Dalam perspektif kebangsaan, sejarah mencatat hampir semua agama terlibat dalam kemerdekaan bangsa Indonesia, dan oleh karenanya bangsa ini didasarkan atas keberagaman.

Menarik dibahas, khususnya di Kota Depok, kota yang menurut Setara Institute tingkat tolerannya rendah, juga terjadi. Terlebih di bawah rezim penguasa yang merupakan ‘Partai Islam’ yaitu PKS.

***

Depok – Kebijakan.co.id“Berlayar ke Depok di waktu pagi hari” adalah petikan lagu Jason Ranti, kota satelit Jakarta sekaligus juga bersemayamnya universitas terbaik di Indonesia, tidak menjadikan kota ini ‘terbuka’ secara pemikiran. Sebab, di depan kantor kelurahan Tugu terpampang spanduk ‘perumahan khusus muslim’.

Secara terbuka Kebijakan.co.id (2/11/2022) menghubungi salah satu pengembang perumahan tersebut, dan memulai pertanyaan sederhana, “Apakah perumahan grand mutiara sawarga, adalah perumahan syariah hanya untuk muslim?” Setelah itu, “Mohon maaf, jika ada yang beli merupakan non-muslim apakah bisa?”

“Iya, betul perumahan khusus muslim,” jawab marketing pengembang perumahan tersebut, “Maaf kalau proyek yang ini tidak bisa (untuk non-muslim),” tambahnya. Dan berlanjut ditawari perumahan lainnya yang tidak khusus muslim atau perumahan pada umumnya. Memang otak bulus mengincar yang gandrung akan islami.

Bukan tidak mungkin ke depan, ada ‘perumahan khusus katolik’ ‘perumahan khusus hindu’ ‘perumahan khusus buddha’ bahkan ada ‘perumahan khusus muhammadiyah’ dan ‘perumahan khusus NU’.

Adalah perumahan syariah, yang secara ajaran agama dan kebangsaan benar-benar melenceng. Hal ini tercipta karena cita-cita hidup dalam lingkungan islam atau islami yang berangkat dari ide besar sebuah negara Islam. Uniknya, karena pengusaha pengembang perumahan ‘memanfaatkan’ pasar tersebut.

Kota Depok dan Indeks Kota Toleran

Kota Depok memang tidak jauh-jauh dari kata intoleransi. Menurut Setara Institute melalui risetnya berjudul Indeks Kota Toleran menempatkan Kota Depok sebagai kota dengan tingkat skor toleransi 10 terendah dari 94 kota atau kabupaten sejak tahun 2015.

Jika melihat indikator penilaiannya tersebut, berdasarkan: (1) Rencana Pembangunan (10%); Kebijakan Diskriminatif (20%); (2) Peristiwa Intoleransi (20%); (3) Dinamika Masyarakat Sipil (10%); (4) Pernyataan Publik Pemerintahan Kota (10%); (5) Tindakan Nyata Pemerintah Kota (15%); (6) Heterogenitas Agama (5%); (7) Inklusi Sosial Keagamaan (10%).

Indikator penilaian tersebut diambil berdasarkan (1) Regulasi Pemerintah Kota; (2) Tindakan Pemerintah; (3) Regulasi Sosial; (4) Demografi Agama. Data-data tersebut dikumpulkan menggunakan 3 metode: (1) Triangulasi Sumber; (2) Kuesioner Pemerintah Kota; (3) Pertemuan Ahli untuk mengkonfirmasi Data yang telah dikumpulkan sebelumnya.

***

Dari riset tersebut setidaknya tidak benar. Maka Kebijakan.co.id menemukan fakta dan cerita-cerita yang mendukung hal tersebut di lapangan, di antaranya: (1) Sedikitnya sekolah negeri dibandingkan sekolah berbasis Islam Terpadu; (2) Ditambah tidak adanya guru agama untuk agama selain Islam; (3) Peristiwa diskriminasi terhadap kelompok minoritas agama, Ahmadiyah; (4) dan tak lupa, Perumahan Syariah yang menjamur.

Selain itu, Konde.co juga merangkumnya pada tahun 2022 dengan judul 5 Fakta Tentang Depok Kota Paling Tidak Toleran Versi Setara Institute. Pertama, Rancangan Peraturan Daerah Kota Religius. Kedua, Diskriminasi dua siswi berjilbab ditolak magang di hotel. Ketiga, Pemerintah kota larang perayaan valentine. Keempat, Penyegelan Masjid Ahmadiyah. Terakhir yang kelima, Perumahan khusus muslim.

Data Perumahan Syariah di Kota Depok

Membahas perumahan syariah atau perumahan khusus muslim, baiknya dimulai dari data. Berapa jumlahnya di Kota Depok? Menurut data yang dihimpun dari open source (sumber terbuka) berasal dari Google dan aplikasi Google Maps, hal tersebut didapatkan dari klaim perumahan syariah dalam informasinya, perumahan khusus muslim dalam keterangan tertulisnya atau promosinya.

Kebijakan.co.id melakukan pemeriksaan ulang terhadap kecamatan Cimanggis secara langsung, ditemukan beberapa perumahan yang sedang dibangun, adapula yang sudah dibangun dan ditempati, dan beberapa perumahan yang tidak terdeteksi namun sedang dalam pembangunan dan melakukan promosi.  

Selain itu, Jurnalis Kebijakan.co.id mendapatkan data dari SiRumkim sebuah data terbuka yang disediakan oleh Dinas Perumahan Pemerintahan Kota Depok, yang menurut Meti salah satu petinggi dalam Dinas tersebut saat ditemui Kebijakan.co.id (7/11/2022), “Tidak pernah di perbaharui.” Dan data tersebut berasal dari dinas lain, “Jadi kita minta data juga ke (Dinas) PTSP (Pelayanan Terpadu Satu Pintu)…., karena mereka kan yang mengeluarkan izin, pasti mereka adalah ini datanya.”    

Pengolahan data SiRumkim pertama-pertama Jurnalis Kebijakan.co.id mencari irisan dari data terbuka yang didapat sebelumnya dari open source (data terbuka) berasal dari Google dan Google Maps. Setelah itu mencari nama yang bernuansa syariah atau islami di SiRumkim tersebut, lalu dilakukan crosscheck (pengecekan kembali) melalui Google, dengan tujuan memastikan benar-benar perumahan tersebut perumahan syariah dan khusus muslim secara klaim ataupun keterangan tertulis.

Selain itu kami juga mendapatkan informasi dari penelitian-penelitian sebelumnya, jika tanda-tanda tidak dapat dipastikan atau tidak ada maka Jurnalis Kebijakan.co.id akan mencoretnya.

***

Kemunculan perumahan syariah di Kota Depok ini, tercatat dalam penelitian Siti Chaerani berjudul Fenomena Perkembangan Perumahan Muslim (Studi Kasus: Cinere Insani Residence dan Griya Insani Kukusan, Depok) pada tahun 2009.

Yang berkesimpulan, (1) Tidak ada masjid di dalam perumahan syariah tersebut, dan (2) Memberikan pernyataan perumahan khusus orang Islam bukan perumahan syariah atau islami. Sebabnya, islami atau syariah hanya menjadi daya tarik atau promosi kepada pembeli.

Secara arsitektur juga di dikritik oleh Siti bahwa penempatan ku’bah dan nuansa-nuansa simbol Islam tidak ada hubungannya dengan tingkat keislaman seseorang atau kualitas islam itu sendiri.

Lalu disambut dengan tulisan Aidan Raditya Prawira berujudul Menggugat Perumahan Beridentitas Islami (2021) di Alif.id, yang juga berkuliah di perencanaan wilayah dan kota Universitas Gadjah Mada di Yogya.

Tulisan yang apik ini membahas bagaimana perumahan syariah saat ini dibangun dengan hal-hal yang justru tidak menekankan nilai-nilai Islam, seperti membangun pagar yang tinggi, memisahkan jurang antara ‘si kaya’ yang tinggal perumahan Islami dengan rumah mewah dan tetangga yang kontras dengan keadaan rumah-rumah syariah tersebut. Jelas menjauh dari nilai Islam yang menekankan ikatan sosial dan persaudaraan dengan tetangga di sekitarnya.   

Terlebih perumahan syariah tersebut, seakan-akan dipaksakan dengan ornamen timur tengah dan pengabaian hal-hal yang seharusnya diperhatikan, seperti membuat sumur resapan, menghiasi tanaman-tanaman yang produktif, desain rumah yang rendah karbon dan ventilasi udara yang baik untuk mengurangi pengurangan Air Conditioner yang mencegah pemanasan global. Hal-hal tersebut tentu lebih Islami ketimbang ‘gimmick’ timur tengah, pagar yang tinggi, dan nama-nama syariah.

Hal tersebut sejalan dengan prinsip ‘La dharar wa la dhirar’ (diriwayatkan oleh Ahmad dan Ibnu Majah yang menjadi prinsip pembangunan ketika peradaban Islam di awal). Prinsip tersebut berarti jangan memberikan kemudharatan bagi diri sendiri dan jangan membawa kemudharatan bagi orang lain.

Aidan menjelaskan kemudharatan diartikan juga sebagai jangan menyakiti, membahayakan, mencelakai, mempersulit, atau membuat kerusakan baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain.

Hal tersebut penting, karena dalam konsep pembangunan perumahan harus memperhatikan kenyamanan dan keamanan tetangga –dalam konsep kebangsaan—, memperhatikan lingkungan sekitar, dan tidak hanya memikirkan diri sendiri. Lebih luas lagi memperhatikan lingkungan hidup yang harus bisa dinikmati bersama –seperti air yang bersih, udara yang bersih, ruang terbuka hijau, sumur resapan, saluran air yang baik, dan sebagainya.

Dari apa yang dijelaskan oleh Aidan ditemukan juga oleh Kebijakan.co.id di lapangan,perumahan syariah memiliki karakteristik perumahan yang tertutup, dijaga ketat oleh satpam yang hanya memiliki satu pintu, tidak ada masjid, dan selebihnya persis seperti perumahan pada umumnya.   

***

Selain itu, kemunculan perumahan syariah di Yogyakarta yang diliput secara berseri oleh BBC Indonesia, salah satu judul yaitu Perumahan dan Permukian Syariah: Ancaman bagi Toleransi dan Budaya Lokal? (2019) mentitik fokuskan kemunculan perumahan islami di Yogyakarta yang berpotensi bahkan sudah menggerus kebudayaan masyarakat setempat yang sekiranya positif dan tidak menimbulkan kerugian –khususnya untuk pendatang yang bermukim di perumahan syariah.

Hal tersebutpun diungkapkan juga oleh Loepianto (82), Sekertaris FKUB (Forum Kerukunan Umat Beragama) Kota Depok saat ditemui oleh Kebijakan.co.id (3/11/2022), terdapat satu perumahan –bukan perumahan syariah— akan tetapi  ditinggali secara bertahap oleh yang diduga beraliran wahabi –sebuah aliran Islam yang memiliki pemahaman kaku secara syariat. Menurutnya hal tersebut mengganggu budaya masyarakat yang sudah terbentuk, seperti Yasinan dan sebagainya, dan ‘menguasai’ masjid di sekitar daerah tersebut.  

Loepianto (Sekertaris FKUB Kota Depok)
Loepianto (Sekertaris FKUB Kota Depok) Sumber: WartaAhmadiyah.org

Cita-Cita Hidup Islami dan Bayang-Bayang Surga

Menurut Ade Supriatna, DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) Kota Depok Fraksi PKS (Partai Keadilan Sejahtera) saat ditemui Kebijakan.co.id (7/11/2022), masyarakat yang tinggal di sana mengharapkan sesuatu lingkungan syariah, kondusif untuk tumbuh kembang keluarga kecilnya, “Di situ diharapkan nanti keluarga yang memang pingin anaknya atau anggota keluarganya tumbuh dalam suasana yang religi, dari mulai pendidikan, kegiatan bermain, proses bersosialisasi itu pingin yang eksklusif (Islami).”

Dalam hal pendidikan di lingkungan misalnya, Ade Supriatna menambahkan, “Menanamkan keyakinan kuat terhadap satu agama, saya rasa memang harus dari kecil agar anak-anak punya pondasi dan terbiasa untuk beribadah tidak atas dasar disuruh sama orangtua, tetapi memang kesadaran sendiri karena keyakinan dia kepada Allah kepada Tuhan, itu yang harus dibangun kan, mungkin pinginnya seperti itu.”

Ade Supriatna (DPRD Kota Depok Fraksi PKS)
Ade Supriatna (DPRD Kota Depok Fraksi PKS) Sumber: RadarDepok.com

Oleh karenanya, “Keluarga-keluarga (tadi) yang membeli perumahan di kawasan syariah, pinginnya anaknya tumbuh dalam lingkungan yang baik.” 

Namun menurut Loepianto, ironinya perumahan syariah hanya membangun ‘rumah saja’ bukan lingkungan yang syariah.

“Kalau mau bangun lingkungan syari, wilayahnya harus benar-benar syari juga. Contoh, mau bangun perumahan di Jombang, ah itu mendukung, ada sekolahnya (pesantren). Kalau yang ini ngga mendukung, hanya rumahnya saja. Kalau kita bicara satu komplek syariah, itu harus bener-bener semuanya, bukan merek aja, tetapi di situ ada madrasah (sekolah), tempat ibadah.”

Hal tersebut disetujui oleh Meti, dari Dinas Perumahan Kota Depok, “Pasti dari nama doang.”, Dia juga menambahkan, “Kalau setahu saya, kayanya hanya label (merek) deh Mas. Kaya perumahan Mutiara Darrusalam, mungkin kalau secara nama, ‘oh perumahan Islami nih’ tetapi nggak tau islami atau ngganya ya.”

***

Selain itu, cita-cita tentang kehidupan islami menurut Abdul Rohim, Direktur Maarif Institute saat ditemui Kebijakan.co.id (31/10/2022), berangkat dari kegagalan cita-cita politik Islam, “Nah kepentingan politik berkaitan dengan aspirasi ‘Islam’ dalam tanda petik, yang dimaknai secara sempit. Karena Islam yang sebenarnya tidak mengenal adanya segregasi-segregasi (pemisahan) seperti itu.”

Abdul Rohim Ghozali (Direktur Eksekutif Maarif Institute)
Abdul Rohim Ghazali (Direktur Eksekutif Maarif Institute) Sumber: Media Indonesia

Nah kepentingan politik berkaitan dengan aspirasi ‘Islam’ dalam tanda petik, yang dimaknai secara sempit. Karena Islam yang sebenarnya tidak mengenal adanya segregasi-segregasi (pemisahan) seperti itu.”

Abdul Rohim Ghazali

Kegagala aspirasi politik Islam, menurut Buya Syafii, yang diceritakan oleh Abdul Rohim, ialah tentang, “Trauma kegagalan Islam Politik, kan dulu ada aspirasi untuk mendirikan negara Islam.”

Hal tersebut menghasilkan banyak dampak dikotomi (atau pembedaan) antara yang Islami dan tidak, “Nah dikotomi yang terjadi di Indonesia antara Islam dan Umum kemudian berimplikasi kebanyak hal, awalnyakan bermula dari pendidikan, dalam kehidupan sehari-hari kita akhirnya dihadapkan pada 2 dikotomi itu. Nah itu sebenarnya yang mencoba dilawan oleh Buya (Ahmad Syafii).”

Dikotomi (pembedaan) ini sebenarnya juga tidak baik berlaku di seluruh agama, jika saja seorang muslim yang ingin tinggal di daerah non-muslim, hal itu digambarkan oleh Bro Icuk (35), Wakil Ketua DPC (Dewan Pimpinan Cabang) PSI (Partai Solidaritas Indonesia) Kota Depok saat ditemui Kebijakan.co.id (2/11/2022).

“Mungkin kalau orang bilang, ‘saya warga depok, karena rumah saya disini, saya tidak merasa itu ada,’ ya, karena itu rumah elu, tetapi pada saat elu jadi pendatang ada orang baru, elu mau ngontrak, nah itu (agama) jadi salah satu pertimbangan yang punya rumah (pemilik kontrakan), nggak mau nerima”

Hal kecil dicontohkan oleh Bro Icuk dalam tingkat yang paling ekstrim, adalah ketika, “Kemarin ada salah satu orang flores meninggal (yang merupakan mahasiswa), (kemudian) RT (rukun tetangga) tidak mau menerima dia sebagai warga, jadi langsung pencatatan sipil nya langsung ke pemerintah Kota, dukcapil nya Pemkot, diterima, tetapi RT/RW tidak menjembatani sebagai pelayan masyarakat paling depan dan itu disampaikan oleh bapak dan ibu RT yang notabene adalah seorang muslim.”

Icuk Pramana Putra (Wakil Ketua DPC PSI Kota Depok)
Icuk Pramana Putra (Wakil Ketua DPC PSI Kota Depok) Sumber: JabarEkspres.com

***

Ketika cita-cita dan impian memiliki rumah dengan lingkungan yang islami untuk keluarga terpikirkan, dari situ juga pengusaha-pengusaha mencoba memanfaatkan pasar dengan membangun perumahan syariah.

Islam dan Ajaran Perumahan Khusus Muslim

Islam sebagai agama yang mengatur melalui hukumnya, atau bisa dikatakan syariat, ‘yang diambil’ katanya secara semena-mena oleh pengembang perumahan syariah. Menurut Abdul Rohim, hal tersebut, “Mengatasnamakan Islam, itu bertolak belakang dengan prinsip-prinsip Islam sendiri.”

Karena pada dasarnya perintah Al-Quran tambah Abdul Rohim, “Perintah di Al-Quran untuk mengenal satu sama lain itu umum, tidak hanya kepada muslim atau sesama islam saja.”

Terkhusus kepada tetangga misalnya, Islam mengajarkan, “Perintah kita untuk berbuat baik kepada tetangga itu berlaku umum, tidak hanya kepada yang spesifik saja seperti kepada muslim saja, tidak ada itu.” Tambah Abdul Rohim.

“Bahkan, ketika memasak masakan itu diperintahkan oleh Nabi (Muhammad) memperbanyak kuahnya, supaya kamu (yang memasak) bisa berbagi kepada tetangga.”

“Nabi mengatakan juga, tidak beriman seseorang yang kekenyangan, tetapi tetangganya kelaparan. Dan itu tidak ada spesifik tetangganya muslim, non-muslim, bahkan orang yang tidak percaya Tuhan.” Tutup Abdul Rohim.

Dalam sejarahnya pun, ketika itu Nabi hidup berdampingan dengan agama lain, oleh karena itu kawasan khusus syariah tidak relevan menurut Ade Supriatna, “Kawasan syariah memang dalam Islam pun tidak diatur harus membuat satu kawasan khusus muslim, nggak ada, karena dari sejarahnya juga kan, Nabi tinggal di Madinah itu plural.”    

“Kawasan syariah memang dalam Islam pun tidak diatur harus membuat satu kawasan khusus muslim, nggak ada, karena dari sejarahnya juga kan, Nabi tinggal di Madinah itu plural.”

Ade Supriatna

Selain itu, “Karena dalam Islam juga kan, ada hak tetangga baik dia muslim ataupun non-muslim, karena di Madinah sendiri plural sebenarnya, waktu Nabi datang ke sana kan banyak agama, ada Yahudi, ada Nasrani juga.” Tambahnya.

Hal tersebut menjadi kebingungan, ketika ada perumahan syariah lalu bertentangan dengan syariah itu sendiri, menurut Loepienato, “Gimana kita mau bangun wilayah yang namanya syariah? Sedangkan apa yang dipraktikin melenceng dari syariah. Islam (harus) menghargai agama lain juga. Iya ga? Iya kan?”

“Gimana kita mau bangun wilayah yang namanya syariah? Sedangkan apa yang dipraktikin melenceng dari syariah. Islam (harus) menghargai agama lain juga.

Loepianto

Dalam hal menjalin hubungan yang baik dengan siapapun –terkhusus tetangga–, bahkan dengan musuhnya, dicontohkan Buya Ahmad Syafii Maarif, dalam cerita Abdul Rohim.

“Buya memesankan untuk membuka diri, untuk berhubungan dengan siapapun, bahkan dia (Buya) dalam hidupnya tidak pernah merasa canggung, tidak punya hambatan psikologis bergaul dengan siapapun, bahkan kepada orang yang secara pemikiran Buya tolak, seperti Abu Bakar Ba’asir, dia temani dan dia kunjungi.”

Potensi dan Mencegah Segregasi

Salah satu ancaman dari perumahan syariah ialah segregasi (pemisahan) di Masyarakat. Pemisahan ini tercipta karena lingkungan interaksi yang berbeda, mulai dari tetangga rumah. Ancaman tersebut bersifat potensi (akan terjadi) jika terjadi pemicunya, salah satunya peristiwa politik dan peristiwa lainnya yang menyangkut identitas keagamaan.

Menurut Abdul Rohim, mengatakan, “Ketika terjadi gesekan politik, apalagi politik itu dengan menggunakan isu agama, maka potensi gesekan akan mudah mencuat di permukaan. Seperti yang terjadi saat Pilkada DKI 2017.”

Akan tetapi potensi-potensi tersebut bisa menyebabkan dua kemungkinan menurut Ade Supriatna, “Kalau memang di dalamnya (di perumahan syariah) kondisinya tidak mengajarkan tata cara perilaku dengan yang berbeda keyakinan,” atau, “Salah asuh, dalam komunitas tersebut, bisa saja begitu (menciptakan eksklusifitas)”.  

Kedua, “bisa juga ketika di dalamnya ada pengajaran yang moderat, yang istilahnya bagaimana berlaku dengan sesama mahluk tuhan, berkasih sayang, saling tolong menolong, saling bantu, antar kawasan misalnya.”

Segregasi (pemisahan) juga bisa dicegah jika tidak ada pemicu tadi, menurut Abdul Rohim, “mungkin kalau tidak ada pemicunya, potensi itu akan menjadi ‘angin lalu’ atau ‘api dalam sekam’,” akan tetapi, “‘api dalam sekam’ kalau tidak ditiup angin maka tidak akan berbahaya, kalau tertiup angin dia akan menyala, dan kalau kena hujan bisa mati.” Ungkapnya melalui kiasan.

“Artinya potensi itu bisa hilang pada saat muncul kebijakan politik yang bisa menumbuhkan kebersamaan, bisa mengikis segregasi antar berbagai kelompok beragama.”

Kebijakan politik bisa dibangun dari RT, RW, Kelurahan, melalui kegiatan warga misalnya, menurut Ade Supriatna, “Untuk yang cluster (syariah) memang harus ada jembantan dari RT RW Kelurahan agar ada semacam dialog, kalau dialog kan resmi banget, mungkin ada kegiatan yang bisa –istilahnya juga bukan mencairkan, mungkin juga gabeku-beku juga ya—ada bahan pengajaran gitu ya kepada masyarakat, edukasi bahwa ada saudara-saudara kita yang berbeda keyakinan yang juga punya hak tetangga.”

Selain kegiatan bisa juga sosialisasi melalui kelurahan dan kecamatan, seperti yang dilakukan FKUB Kota Depok, “Kami sosialisasi mengenai kerukunan warga Kota Depok, dari sekolah, seluruh 63 kelurahan, dan 11 kecamatan kita adakan (sosialisasi). Di kelurahan kita suruh panggil RT/RW, di kecamatan kita suruh (panggil) lurah-lurah, LPM-LPM (Lembaga Pemberdayaan Masyarakat) itu.” Ungkap Loepianto.

Akan tetapi masalahnya, “Kalau lurahnya, nggak sampai 1 tahun (atau) 6 bulan diganti, ini bingung lagi. Kami itu ada biaya tersendiri buat adakan itu.” 

Secara garis besar, hal tersebut digambarkan oleh Bro Icuk, “Semakin kita mengkotak-kotakan (dan) mengclusterkan perumahan syariah dan akhirnya nggak ketemu tuh irisan-irisan, ‘oh ternyata temen gua ada yang nasrani’ ‘temen gua ada yang beda dari gua’ dan itu akan membentuk terus karakter manusianya secara tidak langsung, yang dikhawatirkan adalah itukan.”

“Semakin kita mengkotak-kotakan (dan) mengclusterkan perumahan syariah dan akhirnya nggak ketemu tuh irisan-irisan, ‘oh ternyata temen gua ada yang nasrani’ ‘temen gua ada yang beda dari gua’ dan itu akan membentuk terus karakter manusianya secara tidak langsung

Icuk Pramana Putra

Pencegahan Segregasi dari Pendidikan

Kebijakan politik lainnya selain kegiatan dan sosialisasi kepada warga, bisa dimulai dari pendidikan yang inklusif dari dini misalnya, menurut Ade Supriatna, “Lembaga pendidikan, apakah itu tingkat TK, SD, SMP, SMA, itu juga harus diberikan pemahaman terkait dengan ada ‘umat yang berbeda keyakinan dengan kamu’.”

“Jadi tidak ada yang ekstrim kanan di satu agama apapun, tidak ada pengajaran itu (ekstrim), jadi secara berkala lembaga-lembaga pendidikan juga diundang sama Dinas Pendidikan (Kota Depok),”

Sebabnya, “Ketika dapat insentif (dari) Pemkot (Pemerintah Kota), (Dinas Pendidikan) juga bisa memanggil lembaga-lembaga yang bersangkutan untuk diadakan pencerahan tadi terkait pluralitas, kebhinekaan, itu yang kita harapkan tidak terjadi ekstrim kanan di lembaga-lembaga pendidikan tersebut.”

Selain itu setidaknya di setiap sekolah ada guru agama –baik itu kristen, hingga agama lainnya–, menurut Bro Icuk, ”Semua agama, minimal ada satu guru agama di satu sekolah, kita nggak usah ngomongin yang sangat minoritas, guru agama kristen saja sudah dibilang sangat minim di Kota Depok.”

Hal itu didukung oleh Loepianto, “(ketiadaan) Guru. Kalau guru pendidikan Islam ada gurunya. Jadi dia (guru agama Kristen) harus yang belajar Kristologi (bukan guru yang belajar jurusan di luar jurusan agama).”

Dalam hal ketiadaan guru kristen ini misalnya, tambah Loepianto, “Di sini ini (Kota Depok) ada relawan dari penyuluh-penyuluh agama Protestan itu dari gereja-gereja (perkumpulan gereja), itu disuruh, mereka dapet (gaji) dari gereja.” Seharusnya, “(mereka) diambil (dan) digaji oleh sekolah.” Bukan dari lembaga luar sekolah.

Tujuan besar setidaknya menimbulkan rasa saling menghargai, “Tetapi memang kalau yang kita rasain ya –mungkin kalau mahasiswa (atau pelajar) yang sekolah di negeri— punya temen kristen, punya temen papua, punya temen kulitnya item, (temen) ada yang cina, ada segala macam, pasti terbiasa, akhirnya perbedaan, pluralisme.”

Lebih jauh Bro Icuk, membayangkan jika mereka (pelajar atau mahasiswa) yang menjadi pemimpin atau pengambil kebijakan nanti saling menghargai, “Nah nanti mereka-mereka ini yang melanjutkan perjuangan dong, merumuskan Indonesia seperti apa, menentukan Indonesia ke depan. Kalau mereka yang sudah terbiasa bertemu temennya ada yang batak, temennya ada yang ambon, temennya dari timur.”  

Akan tetapi jika anak tersebut tidak biasa bertemu dengan keyakinan atau teman dari etnis yang berbeda, dari SD hingga SMA bahkan Kuliah, menurut Bro Icuk, “Tetapi kalau dari SD-SMP-SMA sudah di tempat yang kurang keberagamannya, akhirnya juga pasti lebih ekstrim saat menerima doktrin yang ekstrim dan berpotensi ekstrim.”

“Kalau dari SD-SMP-SMA sudah di tempat yang kurang keberagamannya, akhirnya juga pasti lebih ekstrim saat menerima doktrin yang ekstrim dan berpotensi ekstrim.”

Icuk Pramana Putra

***

Itu pun kalau ada sekolah negerinya yang bisa memfasilitasi pendidikan agama, masalah lainnya menurut Bro Icuk, PSI Kota Depok, “SD dan SMP Negeri di Kota Depok jumlahnya kurang, belum (lagi) SMA.”

“SMA itu tingkatnya (dan) jumlahnya ditentukan dari pemerintah provinsi dan kewenangannya pemerintah provinsi. Sementara kalau pemerintah provinsi, kalau tidak disediakan lahan dari pemerintah kota (Depok) mau di taro di mana (sekolahnya), akhirnya masalah yang timbul adalah –tadi yang tadi, kalau tadi perumahan, adanya perumahan (syariah)— kalau ini sebenarnya di sektor pendidikan, (misalnya) SDIT-SDIT (SMPIT dan SMAIT atau Islam Terpadu).” Tambah Bro Icuk.  

Masalahnya lagi, menurut Bro Icuk, “Kenapa SMA negeri susah dibangun di Kota Depok, itu jalan keujung sana (mengarah ke Depok Baru) masih banyak tanah kosong bro, segitu banyaknya tanah tapi ga ada yang dibuat sekolah negeri, kok bisa?”  

“Sementara kayanya sulit banget (izinnya), apalagi kalau negeri, (misalnya Kecamatan) Beji belakang UI (Universitas Indonesia) gaada sama sekali sekolah negeri, jadi kalau untuk zonasi selesai mereka. Gaada pilihan lain, (harus) swasta. Pilihan swasta adalah swasta konvensional atau sekolah-sekolah Islam, ya gitulah jadinya makin terus berjauhan yang non-muslim tadi.”

Di satu sisi, menurut Bro Icuk, “Jumlah SDIT-SDIT yang swasta bertambah, yang kita ngga tahu itu Yayasan siapa? Itu punyanya siapa? Tetapi kalau di Depok sangat signifikan perkembangannya, dan izinannya langsung keluar dengan cepat, tidak seperti kalau kita mendirikan gereja puluhan tahun aja lama banget izinnya bro, tetapi kalau mendirikan SDIT dengan waktu (dan) tempo yang singkat bahkan kurang dari setahun udah berdiri bangunannya, langsung ada izin, gurunya sudah ada, pasarnya menerima dengan baik –kita gaada masalah sama pasarnya.”

Infografis Perumahan Syariah di Kota Depok, Surga di Rumah atau Neraka Keberagaman

Keberlanjutan Bangsa dan Masyarakat Majemuk

Dampak besarnya ialah menciptakan masyarakat yang eksklusif, yang bertentangan secara fitrah sebagai manusia yang beragam, dan cita-cita bangsa yang majemuk ‘berbeda-berbeda namun tetap satu jua’.

Dalam sejarah Islam sendiri, menurut Nurcholish Madjid dalam bukunya Islam: Doktrin dan Peradaban (1992), bahwa kemajemukan sudah dikenal Islam semenjak kedatangan nabi Muhammad, yang dikenal dengan Piagam Madinah –yang sangat dikagumi sarjana modern.

Piagam Mandinah menurut Nurcholish Madjid –dan beberapa sarjana– merupakan dokumen politik resmi pertama yang meletakkan prinsip kebebasan beragama dan berusaha (ekonomi). Yang secara garis besar memberikan jaminan kebebasan dan keamanan kaum Kristen (dan penganut agama dan kepercayaan lainnya) ketika itu, dan menjadi pelajaran penting untuk masyarakat modern berikutnya.

Selain itu, secara sederhana menurut Bro Icuk, “Tidak memiliki interaksi antara satu agama dengan agama lain –dengan etnis lain juga—akhirnya membahayakan untuk kesatuan bangsa sendiri sebenarnya, kalau mau balik jauh (sebagai bangsa).”

Secara umum, cita-cita kebangsaan yang majemuk disampaikan oleh Ade Supriatna, “Menjaga persatuan dan kesatuan sebagai basis (dan) modal sosial yang penting buat bangsa agar tidak bercerai berai karena masalah tadi berbeda keyakinan tadi.” 

Secara pribadi hal tersebut disampaikan oleh Loepianto, ketika dia sering mengunjungi gereja dikala waktu senja dan di akhir masa kepengurusan FKUB Kota Depok, “Saya aja kemarin masuk gereja, ‘wah udah jadi Katolik’ (gambaran orang yang menuduh kepadanya) inikan kurang ajar. Saya itu sering ke gereja-gereja di Kota Depok.”

Dia menambahkan dengan ekspresi yang begitu semangat layaknya pejuang, “Harusnya mereka itu menyadari (bicara kepada yang menuduh). Kenapa saya begitu? Saya itu menjaga kerukunan umat, walaupun purnabakti kita habis (secara periode seharusnya sudah selesai). Tapikan jiwa kita perasaan kita, mereka itu (agama lain) punya hak konstitusi yang sama sebagai anak bangsa, walaupun keyakinan aqidahnya beda, saya tidak mengurus itu, marilah kita berjalan bersama-sama.”

“Mereka itu (agama lain) punya hak konstitusi yang sama sebagai anak bangsa, walaupun keyakinan aqidahnya beda, saya tidak mengurus itu, marilah kita berjalan bersama-sama.”

Loepianto

*(26/11/2022): Ada perbaikan nama dari Meta menjadi Meti dari Dinas Perumahan Kota Depok dan tambahan keterangan waktu saat ditemui Kebijakan.co.id

Baca Serial Liputan Konstruktif "Perumahan Syariah di Kota Depok, Surga di Rumah atau Neraka Keberagaman" Lainnya:
•	Perumahan Syariah di Kota Depok, Surga di Rumah atau Neraka KeberagamanAkal Bulus Pengembang Perumahan Syariah di Kota DepokWawancara Mendalam tentang Perumahan Syariah di Kota Depok

Serial Liputan Konstruktif ini merupakan Program Fellowship Jurnalistik untuk Keberagaman dan Toleransi oleh Yayasan Satu Keadilan dan Search for Common Ground
Jurnalis Adi Fauzanto
Diterbitkan: Jumat, 18 November 2022
Pukul: 18.00 WIB
Jurnalis: Adi Fauzanto
Daftar Bacaan:  
• Ayomi Amindoni. 2019. Perumahan dan Permukian Syariah: Ancaman bagi Toleransi dan Budaya Lokal?. BBC Indonesia, 16 Agustus
Siti Chaerani. 2009. Fenomena Perkembangan Perumahan Muslim (Studi Kasus: Cinere Insani Residence dan Griya Insani Kukusan, Depok). Skripsi Universitas Indonesia Aidan Raditya Prawira. 2021. Menggugat Perumahan Beridentitas Islami. Alif.id, 16 FebruariNurul Nur Azizah. 2022. 5 Fakta Tentang Depok Kota Paling Tidak Toleran Versi Setara Institute. Konde.co, 10 AprilSiRumkim Kota DepokSetara Institute. Ringkasan Eksekutif Indeks Kota Toleran 2015-2021Nurcholish Madjid. 1992. Islam: Doktrin dan Peradaban. Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina 
Liputan Mendalam

Icuk (PSI Kota Depok): “Semakin Kita Mengkotak-Kotakan, Mengclusterkan Perumahan Syariah dan Akhirnya Nggak Ketemu tuh Irisan-Irisan (Masyrakat).”

Kebijakan.co.idWawancara Mendalam

Adi Fauzanto-16 Nov 2022 (18.00 WIB)-#45 Paragraf
Perumahan Syariah di Kota Depok

Fenomena perumahan syariah meruak ke pasar baru-baru ini. Terhitung semenjak kebangkitan ‘Islam Politik’ dan menjalar ke berbagai aspek, mini market syariah, hingga perumahan syariah.

Fenomena ini, ditangkap baik oleh pengusaha yang berhasil melihat pasar masyarakat islam yang gandrung akan merek syariah.

Beberapa menunjukan dampak pendek yang buruk, ketidaktepatan atau terjerat penipuan hanya karena ingin mendapatkan rumah bermerek syariah.

Dampak panjang, pengelompokan ini berpotensi menciptakan segregasi, terlebih jika ada situasi yang dapat memicunya, misal politik identititas. 

Dalam perspektif Islam, Al-Quran tidak pernah mengajarkan harus bertetangga muslim atau membuat kawasan khusus Muslim.

Dalam perspektif kebangsaan, sejarah mencatat hampir semua agama terlibat dalam kemerdekaan bangsa Indonesia, dan oleh karenanya bangsa ini didasarkan atas keberagaman.

Menarik dibahas, khususnya di Kota Depok, kota yang menurut Setara Institute tingkat tolerannya rendah, juga terjadi. Terlebih di bawah rezim penguasa yang merupakan ‘Partai Islam’ yaitu PKS.

***

“Awal pembahasan (wawancara) ini, saya membaca riset Setara Institute kalau Kota Depok dalam 5 tahun terakhir mendapatkan Indeks Kota Toleran dengan tingkat toleransi terendah, nah di 2021 Setara Institute menempatkan kota Depok urutan terbawah, dan itu memang konsisten sejak 5 tahun terakhir, menurut Bro Icuk itu sikap PSI terhadap kondisi tersebut atau keadaan Kota Depok?”         

Kebetulan gua juga muslim Bro, buat temen-temen yang di agama lain ada sedikit kesenjangan di situ ya (di Kota Depok), dalam arti ya kalau untuk beribadah mungkin belum seekstrim melarang peribadahan ya, tapi kalau misalnya ditanya, contoh ya disaat gua temuin temen-temen kampus di daerah Beji –daerah-daerah yang deket kampus—ditanya mengenai agama mereka apa saat mau ngekos, kalau mereka non-muslim ‘jangan lah begitu’ kurang diterima, mungkin itu menjadi salah satu faktor pendorong (intoleransi).

Mungkin kalau orang bilang, “saya warga depok, karena rumah saya disini, saya tidak merasa itu ada” ya, karena itu rumah elu, tetapi pada saat elu jadi pendatang ada orang baru, elu mau ngontrak, nah itu (agama) jadi salah satu pertimbangan yang punya rumah (pemilik kontrakan), nggak mau nerima, misalkan gua punya kontrakan nih, itu ada yang begitu, kita gabisa terima kawan-kawan batak, kawan-kawan nasrani, orang timur, itu masih terasa dan itu ada, nggak bisa dibilang nggak.

Bahkan kemarin ada salah satu orang flores meninggal RT (rukun tetangga) tidak mau menerima dia sebagai warga, jadi langsung pencatatan sipil nya langsung ke pemerintah Kota, dukcapil nya Pemkot, diterima, tetapi RT/RW tidak menjembatani sebagai pelayan masyarakat paling depan dan itu disampaikan oleh bapak dan ibu RT yang notabene adalah seorang muslim, gua bisa pertanggungjawabkan itu.       

“Sebenarnya itu hampir di semua kampus negeri sih (swasta juga termasuk), dulu saya di Malang, di (Universitas) Brawijaya, pasti ada pemisahan, khususnya perempuan paling terasa, paling kelihatan lah ciri fisiknya, harus berkerudung dan sebagainya.”

Nah dari hasil riset Setara Institute itu gamungkin semua dibahas detailnya –pasti ada banyak—saya mengambil salah satu objek yaitu perumahan syariah, nah kebetulan jika di Bekasi itu tingkat perumahan syariah itu tinggi –menurut data paling tertinggi— tapi kalau di Bekasi tidak objektif (karena merupakan tempat tinggal), jadi saya mengambil Kota Depok sebagai objeknya, saya kemarin sudah melihat data di Google (open source atau data terbuka) dan datang langsung di beberapa kecamatan, ada yang sedikit (dan) ada yang banyak, di Cimanggis –di sekitar UI– ada 5 atau 6, itu yang tercatat di Google dan tercatat di Dinas (Dinas Perumahan Kota Depok), belum lagi dengan nama-nama Islami (yang tidak tercatat di Google atau Dinas) nah itu banyak juga. Menurut PSI atau Bro Icuk sebagai partai politik, sebagai (yang) mewakili aspirasi rakyat (yang mendapatkan satu kursi DPRD Kota Depok), bagaimana tentang kondisi perumahan syariah tersebut?”

Sebenarnya kasusnya ada 2 tadi: ada penamaannya, ada yang memang betul-betul di wilayah syariah. Sebenarnya ada gap (perbedaan) nih bro, antara pengertian yang dimaksud temen-temen developer (pengembang) sama syariahnya yang ada temen-temen di non-Islam, itu ada gap di situ.

Jadi ini yang terdekat perumahan syariah ini, tidak mengakomodir temen-temen non-Islam, walaupun juga ada temen yang menjalankan usaha yang sama “nggak kok kita terima (non-Islam), tapi ada konsekuensi yang harus ditanggung, karena nuansanya Islami banget nih, kalian nanti gaenak pake celana pendek ke luar rumah” hal-hal seperti itulah yang ditakuti sama masyarakat, mereka berpikir “dibandingkan saya beli rumah di (perumahan) syariah, mendingan saya (beli rumah) di konvesional aja” gitu sih, kalo (menurut) gue ada gap di situ aja yang bikin orang-orang agak takut lah gitu, karena mungkin kata syariah sendiri seberapa syariah mereka menjalankan prinsip-prinsip Islam di komplek tersebut.   

Nah masuk ke pertanyaan selanjutnya Bang Icuk, jadikan ada pasar dan ada developer sebagai pebisnis, nah pebisnis ini memanfaatkan ceruk pasar yang sudah terbentuk mungkin –fenomena perumahan syariah—pasca Pilkada DKI 2017, ini belum lama, maksudnya dalam 5 tahun terakhir ini baru muncul. Pun bagi pebisnis melihatnya sebagai ceruk pasar itu (sah saja). Sebenarnya bagaimana pasar ini membentuk pebisnis menciptakan perumahan syariah? Itu bagaimana menurut Bang Icuk”

Jadi gini Bro menurut gua, pasar ini kan terbentuk dari pola hidup masyarakat, nah saat ini pola hidup masyarakat ada polarisasi di situ kan, agak sedikit gimana ya, kalau bilang disalahkan dari jalur hukum juga tidak salah, tetapi secara etika kita bernegara, etika bisnis, ini kayak menunggangi (dan) menggunakan kesempatan polarisasi yang dampaknya akan buruk kepada kehidupan berbangsa, tapi terus dijalankan oleh temen-temen pebisnis dan bahkan dilanggengkan juga –bukan pembiaran mungkin- pemberian restu dari pemangku kebijakan, karena memang kebetulan kalau di Depok ada kebutuhan-kebutuhan juga untuk mengakomodir temen-temen yang maunya hidup lebih ‘syariah’lah menurut mereka kurang lebihnya lah.

Jadinya ya pasar (dan) pengusaha harusnya lebih aware, dalam artianih jadi pengusaha jangan terlalu pragmatis untuk mendapatkan keuntungan secepat-cepatnya dan sebesar-besarnya dari fenomena yang terjadi, harusnya juga lebih arif lah, ini balik lagi ke personal masing-masing, tapi kan kalau bisa minimal pemerintah juga memberikan salah satu solusi juga, mungkin apa yang dilakukan pak Harto jaman dulu, pernah kan, nggak ada nama-nama arab (dan) nama-nama cina, penyeragaman-penyeragaman itu mungkin ada plus-minusnya kita harus akui, yang baru terasa (pada) saat ini, bahwa kalau ternyata kalau kita (Indonesia) terlihat sekali lebih ‘hijau’ (Islam) saat ini, yang mungkin selama ini (terutama dulu) ditekan juga oleh pemerintah orde baru, dan akhirnya muncul pebisnis-pebisnis yang memanfaatkan (pasar), berkembanglah itu. Nggak ada salahnya (bagi pebisnis).

“Dan ternyata laku”

Lebih (merasakan) kaya gimana (temen-temen) yang non-muslim, sebenarnya lebih kaya gitu sih.

“Kebetulan kemarin sempat mewawancarai Mas Abdul Rohim dari Maarif Institute, sebenarnya ini tidak mengapa (pebisnis dan fenomena perumahan syariah) berpotensi menciptakan segregasi. Nah dari situ, Islam pun mengajarkan mengasihi tetangga tanpa pengecualian.”

“Nah pertanyaan selanjutnya ini, mungkin ini ada sangkut pautnya dengan target atau ceruk pemilih (politik) yang dirawat oleh partai politik, apakah itu mungkin atau tidak? Sebenarnya saya ingin bertanya kepada DPD PKS (Kota Depok). Atau (murni) diciptakan oleh pasar yang tadi, baik oleh budaya, oleh pola masyarakat. Tetapi ada kemungkinan diciptakan juga (untuk) merawat segmen pemilih (politik).”

Itu mungkin ada kecenderungan seperti itu, tetapi kalau biologisnya (secara natural alamiah) adalah –gua percaya sih—kalau orang Indonesia ya, lu pure orang Indonesia dalam artian lu mencintai negara ini dengan segala keberagamannya, mau agama lu apapun, nggak akan seekstrim itu, saat elu menerima atau melihat sesuatu yang tidak sama seperti lu. Yang tercipta saat ini adalah –anak muda jaman sekarang bilangnya— ‘mainnya kurang jauh’ punya lingkup pertemanan yang sedikit, akhirnya merasakan bahwa, ‘cara hidup yang gua jalanin nih paling bener’ gitukan permasalahannya kan.

Semakin kita mengkotak-kotakan (dan) mengclusterkan perumahan syariah dan akhirnya nggak ketemu tuh irisan-irisan, ‘oh ternyata temen gua ada yang nasrani’ ‘temen gua ada yang beda gua’ dan itu akan membentuk terus karakter manusianya secara tidak langsung, yang dikhawatirkan adalah itukan. Tidak memiliki interaksi antara satu agama dengan agama lain –dengan etnis lain juga—akhirnya membahayakan untuk kesatuan bangsa sendiri sebenarnya, kalau mau balik jauh (sebagai bangsa) gitu.

Tetapi memang kalau yang kita rasain ya –mungkin kalau mahasiswa (atau pelajar) yang sekolah di negeri—punya temen kristen, punya temen papua, punya temen kulitnya item, (temen) ada yang cina, ada segala macam, pasti terbiasa, akhirnya perbedaan, pluralisme. Tetapi kalau dari SD-SMP-SMA sudah di tempat yang kurang keberagamannya, akhirnya juga pasti lebih ekstrim saat menerima doktrin yang ekstrim dan berpotensi ekstrim.

“Ke depannya, pasti PSI (Kota Depok) punya program-program untuk meningkatkan toleransi di Kota Depok ini –yang menurut Setara Institute tingkat toleransinya paling rendah—apa PSI punya program tersendiri atau pragmatis mengikuti penguasa (Partai PKS) –kayaknya tidak.”

Kalau untuk PSI sebenarnya bukannya tidak mau (atau) tidak ada program, tetapi kami ingin menjalankan posisi PSI saat ini baru 1 kursi dan kurang kuat lah kalau untuk menjalankan program-program politik –yang jelas sangat akan bertentangan dengan temen-temen yang lain— karena kami ini berpikiran semua agama, minimal ada satu guru agama di satu sekolah, kita nggak usah ngomongin yang sangat minoritas, guru agama kristen saja sudah dibilang sangat minim di Kota Depok, itu satu (hal) ya.

Dalam artian, belum lagi kontras saat kita akan mengenal suatu agama (keyakinan atau aliran) baru itu kan pasti akan sangat kontroversial sekali. Misalnya, anak-anak muslim ini diajarkan (dikenalkan) agama baru, walaupun sifatnya mengenal, nah itu juga harus di paksa (untuk dikenalkan) ada, walaupun nggak populer bro, pasti kalau gua ngomong gini ke media (publik) ‘wah PSI maunya agama semua di ajarkan’ (sebagai contoh tanggapan publik) nggak diajarkan, dikenalkan aja, ‘bahwa kita ini (agama tertentu yang berbeda) begini loh’ ‘kita (agama tertentu yang berbeda) begini loh’ (menggambarkan pengenalan agama yang berbeda) bukan berarti lu harus mengikuti agamanya, lu harus dapet nilai, nggak harus ikut ibadahnya, saling mengenalkan aja, kalau saling mengenal lebih enak.

Ini salah satunya Bro, kalau misalnya larinya ke dunia pendidikan, ini emang larinya di bawa ke dunia pendidikan bro, SD dan SMP negeri di Kota Depok jumlahnya kurang, belum (lagi) SMA. SMA itu tingkatnya (dan) jumlahnya ditentukan dari pemerintah provinsi dan kewenangannya pemerintah provinsi. Sementara kalau pemerintah provinsi, kalau tidak disediakan lahan dari pemerintah kota (Depok) mau di taro di mana (sekolahnya), akhirnya masalah yang timbul adalah –tadi yang tadi, kalau tadi perumahan, adanya perumahan (syariah)— kalau ini sebenarnya di sektor pendidikan, (misalnya) SDIT-SDIT (SMPIT dan SMAIT atau Islam Terpadu).

Yang ini kami juga gatau ya, kami mendengar kabar di luar-luar (yang merupakan) temen-temen yang pengamat, (bilang) “kok dari tahun ke tahun bukan SMA Negeri yang naik jumlahnya, ataupun Madrasah Ibtidaiyah (MI), ataupun sekolah-sekolah Islam lain yang dalam naungan pemerintah bertambah”, tetapi jumlah SDIT-SDIT yang swasta bertambah, yang kita ngga tahu itu Yayasan siapa? Itu punyanya siapa? Tetapi kalau di Depok sangat signifikan perkembangannya, dan izinannya langsung keluar dengan cepat, tidak seperti kalau kita mendirikan gereja puluhan tahun aja lama banget izinnya bro, tetapi kalau mendirikan SDIT dengan waktu (dan) tempo yang singkat bahkan kurang dari setahun udah berdiri bangunannya, langsung ada izin, gurunya sudah ada, pasarnya menerima dengan baik –kita gaada masalah sama pasarnya.

Yang kita masalahi kenapa SMA negeri susah dibangun di Kota Depok, itu jalan keujung sana (mengarah ke Depok Baru) masih banyak tanah kosong bro, segitu banyaknya tanah tapi ga ada yang dibuat sekolah negeri, kok bisa? Sementara kayanya sulit banget (izinnya), apalagi kalau negeri, (misalnya) Beji belakang UI (Universitas Negeri) gaada sama sekali sekolah negeri, jadi kalau untuk zonasi selesai mereka. Gaada pilihan lain, (harus) swasta. Pilihan swasta adalah swasta konvensional atau sekolah-sekolah Islam, ya gitulah jadinya makin terus berjauhan yang non-muslim tadi.

“Di bekasi sendiri, (sekolah) yang berbasis IT (Islam Terpadu) mempunyai afiliasi tertentu dengan anggota partai, soalnya saya sekolah di sana waktu SD, jadi memang keliatan sekali, di depan sekolah saja ada spanduk-spanduk (partai politik tertentu). Tetapi itu di kampuspun memang sudah terkenal, apalagi dengan organisasi pergerakannya, kaya gitu. Biasanya dari SMAIT lebih gampang ditarik (direkrut) jadi organisasi tertentu.” 

“Nah, tadi program PSI yang terkait dengan dunia pendidikan, tetapi untuk secara budaya, gerakan-gerakan tertentu (tentang toleransi), apakah ada?”

Karna kalau gua pikir fokus kami tuh, lebih ke pendidikan bro. Karena tadi ya, yang gua bilang: budaya, pendekatan ke masyarakat, (dan) segala macem, jatuhnya juga pendidikan. Gua bisa ngomong mengenai toleransi ke temen-temen nasrani dan muslim yang memang mau mendengarkan, karena ada forumnya. Sementara forum paling besar bertemu orang, setiap hari lo ketemu itu di kelas, lu ketemu setiap hari di kelas. Kalau gua pikir seminar, setahun udah bagus 6x, beberapa kali ganti temanya, tetapi apa itu berpengaruh? Nggak. Yang berpengaruh itu di sekolah bro, karena apa? seminarnya setiap hari di kelas, iya gak? Lu ketemu orang setiap hari di sekolah.

“Instansinya ya”

Instansinya memang di situ, nah nanti mereka-mereka ini yang melanjutkan perjuangan dong, merumuskan Indonesia seperti apa, menentukan Indonesia ke depan. Kalau mereka yang sudah terbiasa bertemu temennya ada yang batak, temennya ada yang ambon, temennya dari timur.

Tapi pasti (ada) pada saat “orang-orang kristen pasti jahat” (membayangkan perkataan seperti itu) itu ada guru yang ngomong gitu, kita gak bisa pungkiri, pasti ada yang ngomong guru begini-begini, itu ada sekali-dua kali keceplosan ngomong yang gak harusnya diomongin mengenai perbedaan.

***

(terpotong)

“Instansi, pendidikan, PSI mengincari (program) di sana”

Karena kalau partai politik tentu kebijakan politik yang diambil. Kalau cuman penyuluhan-penyuluhan, bukan kebijakan politik, event itumah. Kebijakan politik yang bisa diterapkan dan diatur oleh negara di dunia pendidikan bro, dan itu tugas negara juga bro, bahwa semua warga negara (harus) terdidik –dalam artian terdidik dalam budi pekerti dan segala macamkan.

“Tetapi sejauh ini pendorongan kebijakan sekolah tadi (sekolah negeri dan guru pelajaran agama) sudah sampai mana?”

Kami itukan selama ini bekerja itu bareng sama fraksi PKB dan PSI, terus temen-temen Gerindra, temen-temen PDIP, nah mereka itu kemarin yang mendorong adalah menolak rancangan perda (peraturan daerah) religius, mungkin bro pernah denger. Walaupun di situ pada salah satu pasalnya ingin meningkatkan kesejahteraan guru agama, tetapi dalam kebijakan-kebijakan lain tidak memberikan solusi untuk temen-temen yang non-muslim untuk mendapatkan pendidikan secara layak dan seluas-luasnya, lingkupnya (peraturan daerah tersebut) terlalu sempit.

Nah kami mendorong jumlah sekolah –itu selalu diomongin dirapat-rapat—SMA,SMP,SD ditambah terus jumlahnya. Nanti terserahlah, mau masuk dan terkendala dana, nanti dicari solusi bareng-bareng. Gak mungkin pendanaan itu tidak ada. Kalau diliat-liat silpa –kelebihan—APBD 500-600 miliar, apalagi (ini) perkotaan. Pemkot mintanya 3,2 Triliun (dalam RAPBD) itu biasanya dilaksanakannya 2,8-2,9 Triliun, masih ada sisakan, masih ada gap di situ dong. Nah (ini terjadi) setiap tahun. Dan kita fokus penggunaan maksimal dari data gap nya tadi, untuk pembelian tanah, pembangunan gedung. Jadi nggak ada alasan sebenarnya untuk Pemkot Depok tidak memiliki tanah, tidak punya ruang untuk membangun sekolah baru. Nah itu aja. Atau (memang) menjaga kebijakan yang tadi lu bilang, menjaga ‘kerajaan-kerajaan’ kecil tadi (afiliasi Sekolah IT Islam Terpadu dengan partai politik), segmen-segmen (pilihan politik) tadi.     

“Kebetulan kemarin bertemu dengan Mas Abdul Rohim dari Maarif Institute, dia juga bilang ya semuanya berawal dari pendidikan tadi. Pendidikan yang tidak inklusif, menciptakan percikan-percikan tadi. Kebetulan ada fenomena Pilkada DKI waktu itu, dan pengusaha yang pragmatis tadi. Akhirnya bertemu di sana (perumahan syariah)”

“Terakhir nih Bang, apa ada statement atau kata-kata untuk perumahan syariah di Kota Depok, sepatah dua kata.”

Gini, gua setuju pembangunan perumahan syariah, jika memang mengakomodir temen-temen dari non-muslim ataupun dari agama lain. Terus, aturan-aturan yang tidak berlaku secara umum (dan) secara nasional, harusnya juga tidak berlaku di perumahan syariah tersebut. Jangan sampai ada hukum baru, aturan baru, yang tidak harusnya mengikat, itu malah menjadikan ‘negara dalam negara’, ada aturan-aturan kecil yang harusnya tidak dijalankan. Jangan sampai ada peraturan-peraturan yang seharusnya didapatkan untuk temen-temen non-muslim.

Baca Serial Liputan Konstruktif "Perumahan Syariah di Kota Depok, Surga di Rumah atau Neraka Keberagaman" Lainnya:
•	Perumahan Syariah di Kota Depok, Surga di Rumah atau Neraka KeberagamanAkal Bulus Pengembang Perumahan Syariah di Kota DepokWawancara Mendalam tentang Perumahan Syariah di Kota Depok

Serial Liputan Konstruktif ini merupakan Program Fellowship Jurnalistik untuk Keberagaman dan Toleransi oleh Yayasan Satu Keadilan dan Search for Common Ground
Jurnalis Adi Fauzanto
Diterbitkan: Rabu, 16 November 2022
Pukul: 18.00 WIB
Jurnalis: Adi Fauzanto
Liputan Mendalam

Mencegah Hoaks ‘Rendang Babi Padang’ dan Lainnya Terjadi Kembali


Kebijakan.co.idLiputan Mendalam

Adi Fauzanto-15 Juni 2022 (06.00 WIB)-#55 Paragraf

Pertikaian seringkali disebabkan berkurangnya komprehensifitas, kemenyeluruhan, atau keutuhan informasi atau kabar yang disampaikan.  

Setelah dipahami kembali, adapun penyebabnya dikatakan hoaks yang bukan melulu informasi bohong atau salah informasi. Akan tetapi, juga adanya informasi yang tidak utuh, kurangnya verifikasi, serta penyebaran dilakukan masif dan tendensius alih-alih menjabarkan tanpa ada iktikad baik.

Ditambah unsur pendukung lainnya, yaitu seseorang dengan pengikut yang banyak atau dapat mempengearuhi publik dan masalah menyangkut kebangsaan, kepercayaan, agama, ras, suku, pilihan politik, dan paham tertentu.

***

Jakarta, Kebijakan.co.id — Tanpa ada tendesi, sekonyong-konyong, muncul cuit dan pembahasan di grup WhatsApp terkait Rendang Babi Padang. Diduga awal merebak nya informasi itu melalui akun twitter @Hilmi28 tanggal 10 Juni 2022 pukul 06.00 Waktu Indonesia Barat (WIB), Lalu meluas melalui grup Whatsapp sebagai jaringan komunikasi massal. Adapun bunyinya cuitan sepert ini.

Menurut sy ini sdh melampaui batas. Warga Minang teguh dgn prinsip ADAT BASANDI SYARAK, SYARAK BASANDI KITABULLAH (ABS-SBK). Masakan Padang terkenal di dunia krn citarasa, kelezatan dan kehalalanya. Tlg jgn rusak itu. Kalau pun trick marketing, ini sdh kelewatan. Smg sgra diambil tindakan.” *foto depan halama instagram Babiambo*

Instagram Babiambo
Instagram Babiambo

Seperti diketahui akun twitter @Hilmi28 dengan pengikut 491.003 –tercatat hingga berita ini diterbitkan- merupakan kepunyaan Muhammad Hilmi Firdausi. Tercatat dalam laman berita BeritaKBB.com berasal dari Nganjuk, Jawa Timur, bukan dari Padang, Sumatera Barat. Tercatat juga, dia merupakan Ketua Yayasan Sekolah Islam Terpadu (SIT) Daarul Fikri di Depok. Dan tercatat salah satu PA (Persaudaraan Alumni) 212, yang diklaim merupakan aksi bela Islam.

Jurnalis Kebijakan.co.id coba menghubungi Hilmi Firdausi untuk mengkonfirmasi maksud postingan tersebut dan kebenaran bahwa dia bukan merupakan asli Padang, melalui kontak akun Instagram-nya. Akan tetapi tidak kunjung mendapat respon.

Tidak berhenti disitu, Jurnalis Kebijakan.co.id juga coba menelusuri informasi awal secara resmi melalui berita terkait ‘Rendang Babi Padang’. Tanggal 9 Juni 2022, laman berita Katasumbar.com merupakan laman yang paling dahulu –sepengamatan jurnalis. Berita tersebut diberi judul Heboh! Restoran Padang Jual Aneka Masakan Olahan Babi, Ada Rendang dan Gulai Babi pada pukul 19.50 WIB dengan penulisnya Ocky A.M yang tercatat sebagai redaktur Katasumbar.com Oki Anugrah Mahesa.

Berita tersebut sebenarnya sudah coba menelusuri lebih dalam terkait restoran yang menjual olahan babi tersebut, Babiambo, yang berlokasi di Jalan Gading Elok Utara III, Blok FV2 Nomor 9. Hasilnya ialah restoran tersebut sudah tutup permanen dari pencarian di Google, dan masih tercatat dalam data toko di aplikasi Gojek, Grab, dan Tokopedia. Akan tetapi, satu hal yang terlewatkan, verifikasi pemilik Babiambo yang dimaksud belum dipenuhi.

Jurnalis Kebijakan.co.id sudah coba mengklarifikasi ketiadaan narasumber pemilik Babiambo dalam berita tersebut, dengan mengirimkan pertanyaan melalui email resmi redaksi laman berita juga penulisnya atas nama Oki Anugrah Mahesa. Namun belum kunjung mendapat respon.

Dipanggil Kepolisian

Tak berlansung lama, di tanggal yang sama (10/06/2022) Kepolisian Sektor Kelapa Gading memanggil pemilik Babiambo, Sergio, pemilik tersebut memberikan keterangan bahwa restoran nya sudah tutup sejak tahun 2020 di 3 bulan pertamanya.

Setelahnya dia juga meminta maaf atas kegaduhan usahanya dan ketidaktahuan bahwa nama Padang tidak boleh dipakai untuk makanan non-halal oleh Suku Minang, juga tidak berniat untuk menyinggung Suku tersebut.   

Sergio, pemilik Babiambo, mengambil peluang dengan membuka usaha kuliner yang mencoba inovasi dengan memadukan kuliner masakan Padang dengan bahan baku daging babi untuk memperluas pasar. Namun, usaha tersebut ternyata hanya bertahan 3 bulan di tahun 2020.

Setelah diperiksa keterangannya, Kepolisian Sektor (Polsek) Kelapa Gading mengaku belum menemukan unsur pidana. “Iya betul (belum ada unsur pidana). Jadi nanti kita ke tahap lebih lanjut lah,” ujar Kepala Polsek Kelapa Gading, Vokky Sagala.

Konfrensi Pers Pemiliki Restoran Babiambo
Konfrensi Pers/Rizky Sulistio/VOI

Dikomentari Pejabat Publik

Parahnya di masalah ini, diikuti dan dikomentari oleh beberapa Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Gubernur, alih-alih mengurusi kebijakan publik dan mengomentari isu yang penting menyangkut hidup orang banyak. Sebab, mencari simpati publik di tengah isu yang sedang hangat di masyarakat dengan tidak bijak adalah kebiasaan buruk pejabat publik. Beberapa di antaranya.

Guspardi Gaus, Anggota DPR RI dari Daerah Pemilihan (Dapil) Sumatera Barat 2, dari Partai Amanat Nasional. Seperti dilansir CNN, dirinya kaget atas kemunculan restoran Padang yang menjual olahan daging babi (10/06/2022). Guspardi menilai, usaha tersebut memanfaatkan nama ketenaran makanan padang untuk usaha, tetapi dengan mengabaikan etika dan merusakan tradisi dan citra masakan padang.   

Guspardi Gaus, juga meminta pemilik minta maaf dan meminta Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mencabut izin usaha serta Kementerian Informatika dan Informasi bertindak memblokir akun media sosial restoran tersebut.

Anggota DPR lainnya, Andre Rosiade, Dapil Sumatera Barat 1 dari Partai Gerindra sebagai Wakil Ketua Umum, yang juga sebagai Ketua Harian Dewan Pengurus Pusat Ikatan Keluarga Minang (IKM). Dilansir dari CNN, dirinya sudah mendengar dan menghimbau usaha tersebut tidak memakai unsur Minang dan tidak lagi menjual rendang babi (10/06).   

Tak luput, ialah Wakil Gubernur DKI Jakarta, Ahmad Riza Patria. Dilansir dari Wartaekonomi yang menghimbau pemilik rumah makan untuk berkreasi yang baik dan tidak melukai perasaan yang lainnya (10/06).   

Ditambah usulan Gubernur Sumatera Barat, Mahyeldi (11/06). Seperti dilansir CNN, Usulan tersebut ialah masakan padang di pelbagai daerah di Indonesia harus dilakukan sertifikasi oleh Ikatan Keluarga Minangkabau (IKM) di daerah nya masing-masing. Dia menegaskan bahwa masakan Padang tidak boleh ada yang non-halal.  

Mahyeldi berpedoman kepada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Jaminan Produk Halal. Peraturan tersebut memberikan ruang bagi Pemerintah Daerah untuk melakukan pengawasan jaminan produk halal. Mahyeldi, juga berkomitmen mengembangkan industri halal dengan memberikan kesempatan bagi para pelaku usaha untuk berpartisipasi melakukan sertifikasi halal.

Tak hanya dari yang menolak restoran tersebut. Pejabat publik yang mempertanyakan kepolisian pun ada, ialah Anggota DPRD DKI Jakarta dari Fraksi PDIP, Gilbert Simanjutak. Dilansir Detik, dia pun mempertanyakan keterlibatan Pemerintah Pronvinsi DKI Jakarta, Dinas Perindustrian Perdagangan yang turut mengadakan pertemuan dengan pemilik usaha tersebut (10/06). 

Kepala Seksi Pengawasan dan Pengendalian Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif DKI Jakarta, Iffan, dilansir dari Suara, setelah mengetahui dari media sosial, setelahnya mengirim timnya untuk inspeksi kelapangan (10/06).    

Dari keseluruhan pejabat publik yang berkomentar atas permasalahan yang tidak cukup penting ini. Di antaranya masih ada keterhubungan, dari perwakilan masyarakat di Sumatera Barat, DKI Jakarta, Gubernur DKI Jakarta, dan Sumatera Barat.

Dan yang paling tidak ada hubungannya ialah Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indraparawangsa, yang melakukan sidak di Rumah Makan Padang di Surabaya, Jawa Timur untuk memastikan tidak ada makanan dari olahan daging babi (11/06).

Gubernur Jatim sedang memakan masakan Padang
Gubernur Jatim sedang memakan masakan Padang/Dokumen Pemerintah Provinsi Jawa Timur

Akar Masalah: Rendang, Padang, dan Minang

Dari sengkarut permasalahan tersebut, mulai dari pejabat publik, etika kesukuan, kurangnya informasi yang disampaikan, hingga mencari sensasi atas suku orang lain. Ada beberapa awal mula permasalahan.

Pertama, restoran Babiambo menggunakan nama ‘Padang’ dalam trade mark atau tanda merek, yaitu “First in Indonesia, a Non-Halal Padang Food” dengan menu makanan nya olahan daging babi, seperti nasi babi rendang, nasi babi bakar, dan lainnya. Di mana daging babi tidak boleh di makan warga beragama muslim menurut ajaran kitab nya.

Sedangkan penggunaan kata ‘Padang’ identik dengan Kota Padang, yang isinya menurut warga di sana hanya ada Suku Minang atau Minangkabau. Dan Suku Minangkabau ini sudah pasti beragama Islam.

Jika ada orang yang tinggal di Padang yang beragama non-Islam atau keturunan orang Padang yang beragama non-Islam, maka bukan dikatakan orang Padang –yang di dalamnya hanya ada Suku Minangkabau.

Selain itu adat mereka ABS-SBK yang beartikan Adat Bersendi Syariat dan Syariat Bersendi kitab Allah.

***

Akan tetapi menurut artikel Minang, Rendang, Islam oleh Usman Kansong juga buku Rendang, Merantau, dan Minangkabau, sebelum Islam masuk ke Padang sudah ada rendang. Rendang, menurut Hikayat Amir Hamzah, sudah dikenal dalam seni masakan Melayu sejak tahun 1550-an atau abad ke-16. Dari hikayat tersebut Rendang merupakan seni masakan Melayu, bukan Minang asli.

Sedangkan Melayu, terdiri dari budaya Minang, Deli, Malaysia, Riau, dan lainnya. Oleh karenanya Rendang sempat diklaim oleh Malaysia.

***

Dalam artikel Minang, Rendang, Islam, Islam masuk ke Padang melalui pedagang dari Gujarat, pada abad ke-18. Islam yang dibawa bersifat sufistik dan inklusif, sebab mengapa mereka diterima dan banyak melahirkan tarekat sufi kepada pengikut ulamanya. Sebelumnya masyarakat Minang, penganut animisme, beralih ke Hindu-Budhha ketika Raja Adityawarman datang ke Minang abad ke-14.

Sedangkan, menurut Amir Syarifuddin (1982) dilansir Republika ada 2 tambahan Islamisasi di Padang selain dari Gujarat. Pertama, para penyebar agama Islam masuk melalui pesisir Minangkabau dengan perantara saudagar dari Aceh pada abad ke-15. Kedua, perkembangan dari pesisir ke dataran tinggi yang pada saat itu menganut kebudayaan Hindu-Budhha yang diinisiasi Kerajaan Pagaruyung, Raja Adityawarman. Dikenal dengan Syara Mandaki, Adat Manurun atau penyebaran Islam mulai naik ke dataran tinggi.

Sebabnya pengaruh Kerajaan Pagaruyung dengan Raja Ananggawarman (anak Adityawarman) mulai melemah pengaruhnya seiring dengan melemahnya Kerajaan Majapahit di Jawa. Islam mulai dikenal di kalangan kerajaan Pagaruyung abad ke-17. Seiring waktu kerajaan pun bertransformasi, dengan memadukan agama dan adat.

Menurut Hamka –dikenal dengan Buya Hamka- dilansir Republika, ketika Islam masuk Sumatra Barat, tatanan sosial dan tatanan nilai di daerah sudah terbentuk serta mengadat kuat. Pada awalnya, ajaran Islam banyak bertentangan dengan adat di Minangkabau yang terpengaruh kepercayaan animisme dan dinamisme sebelum Hindu-Budhha.

Namun karena para ulama yang datang mulanya merupakan seorang sufi yang mudah diterima. Mereka tidak serta merta menolak keseluruhan adat, akan tetapi menambahkan unsur baru. Setelah Islam diterima dan hidup berdampingan dengat adatnya, masih harus bersinggungan, ialah gerakan Padri yang menghasilkan Adaik Basandi Syara atau adat harus bersendi syariat.

Sedangkan menurut Usman Kasong, adanya pengaruh kepada orang-orang Minang yang belajar ke Arab yang ketika itu dikuasi oleh pengikut Wahab –namun tidak dijelaskan lebih lanjut keterhubungan tersebut. Namun, dalam buku Rendang, Merantau, dan Minangkabau mengatakan adanya peran Belanda di Perang Padri dan jatuhnya Kerajaan Pagaruyung.   

Lebih dalam lagi, dalam buku tersebut menjelaskan mula-mula Minangkabau merupakan salah satu desa dalam daerah Sungayang, Kerajaan Pagaruyung. Desa tersebut awalnya merupakan tanah lapang, namun karena ada kabar bahwa Kerajaan Majapahit dari Jawa akan menyerang, maka diusulkan adu kerbau atas usul kedua belah pihak. Dikarenakan kerbau Minang memenangkan perkelahian tersebut, lahirlah kata Manang Kabau yang selanjutnya dijadikan nama nagari atau desa tersebut.  

Rumah Gadang
Rumah Gadang/Dededian/Shutterstock.com

Akar Masalah: Verifikasi, Salah Informasi dan Sensasi Tendensius

Kedua, yaitu kekurangan informasi dari penyebar informasi @hilmi28 bahwa dia tidak mencantumkan toko tersebut sudah tutup. Selain itu ditambah kalimat bersifat tendensius, alih-alih mendidik sebagaimana klaimnya sebagai da’i atau ustadz atau guru agama yang umumnya diikuti oleh para pemeluk agama secara fanatik –tanpa boleh melihat kesalahan.

Jangankan mendidik, bersikap bijaksana -melihat dengan jernih atas permasalahan dari pihak-pihak yang ada serta berkata-kata yang dapat dipahami banyak orang tanpa menunjukan arogansi yang dalam hal ini kesukuan- sudah pasti tidak mampu.

Ketiga, penyebab dari kekurangan informasi @hilmi28 berawal dari berita pertama yang diterbitkan, yang menunjukan tidak ada iktikad baik atau pemenuhan kode etik untuk klarifiskasi terhadap restoran Babiambo. Jangankan verifikasi, prinsip pers yang berusaha mendidik publik pasti tidak terpenuhi.   

Hilmi28 sedang mengetik
Hilmi sedang mengetik/Twitter @hilmi28

***

Prinsip verifikasi berkelindan, tidak hanya dalam dunia jurnalistik atau ilmu pengetahuan, akan tetapi prinsip ini terdapat juga dalam Agama Islam –agama yang dianut oleh @hilmi28- yaitu Tabayyun, mengkonfirmasi kembali. Andaikan saja prinsip tersebut dijalankan -sebelum merebak yang bersifat destruktif atau penghancuran kondisi masyarakat yang multi agama dan suku- maka hal tersebut dapat diketahui maksud dan tujuan usaha Babiambo dijalankan, tanpa harus kepolisian yang terlibat.

Verifikasi umumnya dilakukan dengan bertemu dengan pihak yang tertuduh secara langsung, jika tidak melalui perantaranya.

Jika tidak dapat melakukan verifikasi atau tabayyun -sebagai pembawa kabar yang bersifat menuduh atau destruktif kepada satu pihak- maka harus juga menjabarkan apa bukti dari kabar yang bersifat tuduhan tersebut secara menyeluruh dari segala aspek –bukan hanya bersifat ringkas yang menyebabkan tertuduh merasa dirugikan tanpa sebab yang jelas. Hal tersebut dinamakan Burden of Proof, konsep siapa yang menuduh seseorang atas sesuatu, wajib membuktikannya, bukan sebaliknya.   

Konsep pembuktian ini biasanya dilakukan, dengan mencari dokumen-dokumen yang mendukung, misal dokumen bahwa usaha restoran tersebut benar menjual daging babi melalui percobaan pembelian lalu dibuktikan di laboratiorium, memang agak sulit, tapi inilah yang diperlukan untuk menunjukan iktikad baik menuduh seseorang. Atau jika mampu, menunjukan adanya bukti pembelian daging babi oleh usaha restoran tersebut.  

Bukan ujuk-ujuk dituduh atas nama suku, terlebih tidak juga menjelaskan adat budaya suku tersebut lebih dalam dan awal mengapa adat budaya tersebut ada. Terlebih lagi, yang menuduh atau menyebarkan bukan dari suku adat tersebut.

Dengan adanya verifikasi atau tabayyun dan pembuktian tadi, setidaknya informasi menjadi utuh. Dapat dipahami oleh yang menyimak dari pihak-pihak yang terkait atau masyarakat banyak.  

Setelah dipahami kembali, adapun penyebabnya bisa dikatakan hoaksyang bukan melulu informasi bohong atau salah informasi. Akan tetapi, adanya informasi yang tidak utuh, kurangnya verifikasi, serta penyebaran dilakukan masif dan tendensius alih-alih menjabarkan tanpa ada iktikad baik.

Ditambah unsur pendukung yaitu seseorang dengan pengikut yang banyak atau dapat mempengearuhi publik dan masalah menyangkut kebangsaan, kepercayaan, agama, ras, suku, pilihan politik, dan paham tertentu.   

***

Dari banyak kasus hoaks, dari mulai kasus Ratna Sarumpaet –yang dituduhkan dari pendukung Prabowo kala itu, kepada pendukung Jokowi. Atau Kasus Mobil SMK –yang diklaim untuk kepentingan Jokowi yang dijadikan bahan kampanye. Atau yang lebih netral, ialah Kasus Penerus Habibie yang sontak merebak, hingga diwawancarai oleh banyak media.

Menimbulkan banyak akibat. Pertama, tentu mencermarkan nama baik, bagi itu yang menuduh, penyebar, juga tertuduh. Kesemuanya memiliki dampak yang buruk. Kedua, menyebabkan polarisasi di masyarakat, karena ketidakutuhan informasi, baik itu pendukung informasi tersebut dan yang menolak kebenaran informasi tersebut.

Menyebabkan dampak lanjutan yang ketiga, yaitu perpecahan di masyarakat. Terbelah atau terpolarisasi nya kedua pihak, berdampak kepada kehidupan sosial masyarakat. Hingga yang paling ekstrim ialah menimbulkan gerakan-gerakan, ‘gerakan mendukung ini’ atau ‘gerakan antiitu’ adalah dampak yang keempat.

Terkahir yang kelima, yang melebihi gerakan hingga terancam nya kemanusiaan ialah munculnya tindakan kekerasan dari gerakan atau kelompok tersebut, kepada gerakan atau kelompok yang berseberangan atau berlawanan.   

Diterbitkan: Rabu, 15 Juni 2022
Pukul: 06.00 WIB 
Jurnalis: Adi Fauzanto  
Daftar Bacaan:         
• Hana Hanifah, dkk. 2017. Rendang, Merantau, dan Minangkabau, Relasi Masakan Rendang dengan Filosofi Merantau Orang Minangkabau. Penerbit Bitread: Bandung   
• Agus Mulyadi. 2020. Ustaz Rahmat Baequni dan Ingatan Akan Hoax Anak Durhaka yang Dikutuk jadi Ikan Pari. Penerbit Mojok.co: Yogya
• Andreas Harsono. 2016. Agama Saya Adalah Jurnalisme. Penerbit Kanisius: Depok
• Usman Kansong. 2022. Minang, Rendang, Islam. Kolom Media Indonesia 
• Hafidz Muftisany. 2015. Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitbullah. Republika, 8 Mei
• Hasanul Rizqa. 2019. Awal Mula Islam Masuk ke Ranah Minang. Republika, 11 Maret
• Ocky A.M. 2022. Heboh! Restoran Padang Jual Aneka Masakan Olahan Babi, Ada Rendang dan Gulai Babi. Katasumbar.com, 9 Juni 
• Isal Mawardi. 2022. PDIP DKI Kritik Polisi Bawa Pemilik Usaha Nasi Padang Babi ke Polsek. Detik.com, 11 Juni 
• CNN Indonesia. 2022 Polemik Rendang Babi, Gubernur Sumbar Usul Sertifikasi Masakan Padang. CNN Indonesia, 11 Juni
• CNN Indonesia. 2022. Anggota DPR Kecam Rumah Makan Nasi Padang Babi di Jakarta. CNN Indonesia, 10 Juni  
• Safyra Primadhyta. 2022. Heboh Rendang Babi, Pemilik Dipanggil Polisi hingga Minta Maaf. CNN Indonesia, 11 Juni  
• Tim Detik. 2022. Saat Khofifah Cek Resto Padang di Surabaya Khawati Rendang Babi. Detik, 12 Juni
• Agung dan Fakhri. 2022. Heboh Rendang Babi Restoran Padang Babiambo di Kelapa Gading, Wagub DKI: Kreatif Boleh Tapi Jangan Lukai Orang. Suara.com, 10 Juni