Kebijakan.co.id – Kolom Opini
Adi Fauzanto-18 Oktober 2022 (06.00 WIB)-#36 Paragraf

***
Plus ça change, plus c’est la même chose.
Malang, Kebijakan.co.id — Kata-kata ini merupakan pepatah Prancis yang diambil dari buku Korupsi karya Peter Carey (2017). Artinya adalah “makin berubah makin sama”. Sama seperti permasalahan korupsi, permasalahan agama tetap sama dan tidak mengalami perubahan dari ratusan tahun lalu.
Manusia dan agama menjadi dua hal yang tidak terpisahkan dari masalah-masalah sosial. Banyak faktor yang memengaruhi keduanya. Salah satu faktor yang memengaruhi adalah faktor sejarah yang tidak bisa dielakkan.
Permasalahan kedua antara manusia dan agama muncul dari zaman ke zaman. Pada saat ini, salah satunya yaitu simbol agama dan nilai agama. Hal tersebut sudah banyak dibahas oleh banyak ilmuwan. Salah satunya yang mendekati tulisan ini adalah Antara Islam Simbolik dan Islam Substantif oleh Dendy (Indoprgress, 2016).
Dari tulisan tersebut, entah saya menambahkan atau mengkritik, tetapi saya menuliskan atas dasar keresahan saya atas peristiwa yang saya lihat dan rasakan, yang bisa disebut dengan fenomena.
Hal-hal empiris yang terfokus di Kota Malang dengan hal reflektif (pertanyaan-pertanyaan), serta dibumbui dengan pembahasan ilmiah dari ilmuwan, dan sedikit kajian teologis, akan mewarnai tulisan ini.

Mari kita cermati dan membedah bersama fenomena pertentangan simbol dan nilai agama. Dimulai dari sekitar saya.
Pertama kali yang membuat saya terheran-heran adalah kantin perpustakaan di kampus saya, Universitas Brawijaya (UB). Namanya adalah “Kantin Akademik Halalan Thoyyiban”, berlokasi di Perpustakaan UB (lihat di foto). Sama seperti pada kantin umumnya, menjual makanan ringan, berat, dan minuman.
Lalu pertanyaannya, kenapa harus Halalan Thoyyiban? Kenapa tidak “Kantin Sehat dan Bergizi”? Apa karena kepentingan ekonomi saja?
Toh di Universitas Brawijaya terdapat jurusan ilmu gizi; lalu buat apa jurusan itu? Lagi pula jurusan syariah atau ilmu agama yang mengkaji tentang halal atau haram tidak terdapat di Universitas Brawijaya. Lalu pertanyaan lagi, apakah sehat dan bergizi tidak termasuk dalam kategori halal?
Dari sini berpikir, apakah kampus dengan label islam terdapat kantin seperti ini? Di Malang sendiri, terdapat kampus berlabel islam seperti UIN (Universitas Islam Negeri) Malang dan UMM (Universitas Muhammadiyah Malang), dan yang saya ketahui tidak terdapat kantin di perpustakaan seperti itu.
Lalu berpindah ke UM (Universitas Negeri Malang). Kantin perpustakaan di UM atau yang disebut Cafe Pustaka terdapat banyak diskusi (lihat instagram @perpustakaan.um). Dan menurut saya, cafe tersebut lebih islami. Kenapa? Karena perintah membaca dan belajar dalam islam merupakan kewajiban.
Dari pembahasan kantin yang kita lihat dan kaji, sudahkah kita memaknai dan bertanya antara nilai dan simbol Islam?
Setelah saya berpikir tentang hal tersebut, terbit berita dari salah satu LPM (Lembaga Pers Mahasiswa) Kampus, yaitu Kavling10 yang menerbitkan berita Fenomena Kos Muslim: Ekspresi Beragama di Kota Pendidikan tahun 2019. Pembahasannya cukup komperhensif, di mana mendapati wawancara dengan pemiliki kosan muslim (Tutik) yang menyatakan:
Kalo di saya nggak pernah nolak non islam. Kalo di sana pernah. Kan Ibu dari area sini ke sana yang pegang, ibu bagian yang nyari anak kos-kosannya. Nah ibu yang di sebelah sana itu, pernah ada satu kamar kosong, terus saya masukin anak. Pas ketahuan nonis eh dikeluarin. Diusir.
Dari hal tersebut, saya teringat dengan kampung saya di Jatiasih, Bekasi. Yang seingat saya terdapat perumahan (cluster) syariah, dan mungkin di banyak tempat juga terdapat perumahan (cluster) syariah. Tentunya hal tersebut membuat muslim menjadi eksklusif dengan sendirinya dengan komunitas agama lain.
Dari fenomena kedua tadi, kosan muslim dan perumahan muslim, menambahkan kajian teologis yang diambil dari hadis; Imam Ahmad meriwayatkan dari Abdullah Ibnu Amr Ibnul As bahwa Nabi Muhammad SAW (Republika, 2018) bersabda:
Sebaik-baik teman di sisi Allah ialah orang yang paling baik kepada temannya, dan sebaik-baik tetangga di sisi Allah ialah orang yang paling baik kepada tetangganya.
Lalu dari hal tempat tinggal (kosan dan perumahan), sudahkah memaknai dan bertanya tentang nilai dan simbol Islam?
Jauh sebelum saya terheran-heran dengan hal-hal tersebut, ternyata sudah terdapat seorang Ilmuwan Muslim dari Indonesia yang membahas dengan kajian yang luas, yaitu Cak Nur atau Nurcholis Majdid, yang terkenal dengan jargon Islam Yes, Partai Politik Islam No (Tirto, 2018).
Dan dewasa ini juga terdapat ilmuwan muslim dari Indonesia yang viral di Twitter, yaitu Gus Nadir atau Nadirsyah Hosen, yang terkenal dengan buku Islam Yes, Khilafah No.
Berbicara Partai Politik (parpol) Islam. Dewasa ini, salah satu parpol berlogo kakbah, sebut saja PPP, ketua umum PPP didapati melakukan jual-beli jabatan di Kementerian Agama. Jauh sebelum itu, parpol Islam, yaitu PKS, ketua umumnya didapati melakukan korupsi, yaitu kasus suap impor daging sapi (Tirto, 2019).
Walaupun tidak ada parpol yang terlepas dari kasus korupsi, kecuali partai baru, tetapi di balik itu, nama dan ideologi agama Islam yang terdapat dalam parpol tersebut menjadi tercoreng.
Lalu dari pembahasan partai politik, sudahkah kita memaknai dan bertanya lagi antara simbol dan nilai islam?
Berbicara partai politik islam, kita juga perlu mengkaji organisasi mahasiswa ekstra islam yang di beberapa kampus yang menjadi “partai politik” dalam pemilihan umum mahasiswa serta pembuat kebijakan atau penguasa seperti BEM.
Sebenarnya saya sudah menulis tentang hal ini di Mohon Maaf: PKS, KAMMI dan Kebenaran (2019). Sederhananya dalam organisasi mahasiswa ekstra islam yang menjadi penguasa (pemenang) melakukan nepotisme dalam memilih jabatan di kementerian dengan tidak transparan, padahal di awal menyebutkan open recruitment yang seharusnya prosesnya transparan. Selanjutnya dibaca saja.
Selain itu, organisasi islam ekstra yang genit memanfaatkan jabatannya untuk melakukan pengkaderan, dalam kasus ini HMI. Selanjutnya baca di Genitnya Organisasi Ekstra Kampus (2019). Pada akhirnya, nama dan ideologi agama Islam yang tercoreng akibat organisasi tersebut.
Berbicara soal organisasi mahasiswa ekstra islam, saya mempunyai rencana penelitian tentang indeks islami dalam kontrakan organisasi ekstra sebagai tempat perkaderan antara HMI, IMM, KAMMI, PMII di kota Malang. Penelitian tersebut saya gagas di kegiatan SCORE (Score of Researcher) IMM Malang Raya, walaupun gagal dikarenakan keterbatasan tenaga dan ilmu saya.
Penelitian tersebut ingin melihat tingkat literasi (baca, tulis, diskusi) di Kontrakan sebagai tempat perkaderan. Dari penelitian tersebut, ingin melihat kualitas buku, diskusi, dan kuantitas buku, diskusi, atau bahkan tidak ada sama sekali. Penelitian ini diangkat karena keresahan atas maraknya games yang meracuni mahasiswa.
Karena memang dalam Alquran terdapat perintah iqra! bacalah! Yang memang pada faktanya tingkat literasi di Indonesia sangat rendah (Detik, 2019), didukung juga dengan fakta bahwa muslim di Indonesia merupakan muslim terbanyak di dunia (Republika, 2015). Kontradiktif.
Setelah pembahasan Organisasi Ekstra Mahasiswa Islam, sudahkah kita memaknai dan bertanya kembali dengan simbol dan nilai Islam?
Berbicara Penelitian tentang Indeks. Saya terinspirasi dengan penelitian Indeks Kota Islami di Indonesia yang dilakukan oleh Maarif Institute Tahun 2016. Yang menunjukkan kota Yogyakarta (urutan pertama), kota Denpasar (urutan ketiga).
Menariknya, kota Banda Aceh (urutan ke-17) yang terkenal dengan serambi Makkah. Indeks tersebut berdasarkan pada tingkat Keamanan, Kesejahteraan, dan Bahagia di suatu kota.
Jauh sebelum itu, di tahun 2010, terdapat penelitian yang lebih luas objeknya, yaitu negara islami, berujudul How Islamic are Islamic Countries? (Republika, 2015) Penelitian ini dilakukan oleh Hoosein Askari, seorang Ilmuwan dari Universitas George Washington, AS.
Negara Islami menurut penelitian ini adalah Selandia Baru, Irlandia, dan lain lain. Menariknya, dari 25 besar negara, tidak satu pun negara islam yang mendudukinya. Indeksnya adalah pencapaian ekonomi, pemerintahan, dan hak politik.
Dari pembahasan kantin islami hingga negara islami, sudahkah memaknai dan bertanya tentang simbol dan nilai islam?
Terakhir, saya memang bukan dari disiplin ilmu agama. Yang mungkin menurut Tom Nichols dalam bukunya Matinya Kepakaran, saya termasuk di dalamnya. Tapi salahkah saya bertanya tentang apa yang melekat dari kecil hingga saat ini, yaitu agama?
*Kolom ini terbit pertama kali pada Qureta (20 Agustus 2019) dan ditulis ulang dalam Buku Catatan Kritis Sosial, Politik, Hukum: Paradigma-Praksis (2020)



Diterbitkan: Senin, 19 Oktober 2022 Pukul: 06.00 WIB Kolomnis: Adi Fauzanto
Daftar Bacaan: • Peter Carey. 2017. Korupsi: Dalam Silang Sejarah Indonesia. Depok: Komunitas Bambu • Maarif Institute. Indeks Kota Islami Tahun 2016. Jakarta • Dendy Raditya. 2016. Antara Islami Simblok dan Islami. Indoprogress • Kavling10. Buletin Jurnal Ospek 2019 • Republika. 2018. Bertentanga dengan Non-Muslim, ini Fatwa Al-Azhar Mesir. • Zacky Khairul Umam. 2018. Nurchlish Madjid, Anak Gontor yang Besar sebagai Pembaru Islam. Tirto.id • Mohammad Bernie. 2019. Jaksa KPK Ungkap Peran Menteri Lukman dalam Suap Jual Beli Jabatan. Tirto.id • Fathiyah Wardah. 2013. Mantan Presiden PKS Divonis 16 Tahun Penjara. VOA Indonesia • Adi Fauzanto. 2019. Mohon Maaf: PKS, Kammi, dan Kebenaran. Kavling19 • Adi Fauzanto. 2020. Genitnya Organisasi Ekstra Kampus. Qureta • Danu Darmajati. 2019. Benarkah Minat Baca Orang Indonesia Serendah Ini?. Detik • Republika. 2015. Inilah 10 Negara dengan Populasi Muslim Terbesar di Dunia • Republika. 2015. Selandia Baru Negara Paling Islami di Dunia
