Gaya Kita untuk Sampah Tak Bersisa


Kebijakan.co.idLiputan Mendalam

Fayza Rasya-15 Mar 2023 (21.00 WIB)-#11 Menit
Zero Waste

Di antara banyak cara kita menjalani hidup, memperbaiki cara mengkonsumsi dan mengolah sampah ialah cara yang paling bijak menjaga lingkungan dari diri kita.

***

Tanggerang, Kebijakan.co.id — Salah satu konten kreator yang berfokus pada gaya hidup zero waste adalah Eka Rahmawati. Ia menceritakan pada awal Januari 2020, rumah yang ia tempati bersama keluarganya terendam banjir besar mencapai lutut orang dewasa.

Atas peristiwa itu, mereka mengalami kerugian jutaan rupiah untuk mengganti perabotan rumah yang rusak. Dari peristiwa itu juga, ia memulai gerakan diet plastik dimulai dari yang dihasilkan oleh dirinya.

“Awalnya saya mengecek sampah apa yang paling banyak saya hasilkan setiap hari. Ternyata sampah kapas, tisu, dan pembalut sekali pakai yang lumayan banyak daripada jenis sampah lain. Setelah itu, saya perlahan mulai mengganti ke produk guna ulang (reusable), yaitu cotton pad kain, sapu tangan, dan pembalut kain,” ujarnya melalui keterangan tertulis pada Jumat (10/2/2023).

Pada survei yang dilakukan oleh Putu Dharma Yusa mengenai konsumsi plastik sekali pakai pada 15—25 Juli 2022, produk perawatan diri hanya menghasilkan 2—3 pcs dalam sebulan dengan menggunakan kemasan produk paling besar (57.20 persen)—tergantung pada faktor pendapatan, harga, dan selera konsumen. Pemilihan ukuran besar dinilai lebih murah dan dan dipilih oleh pendapatan relatif tinggi. Perbaikan ekonomi dan taraf hidup masyarakat berpeluang mengurangi sampah plastik ukuran kecil.

Selain menghasilkan sampah yang lebih sedikit, Eka juga merasakan pengaruh dan dampak lain dari sisi pengeluaran—bisa lebih berhemat karena dapat mengontrol diri saat hendak membeli produk.

Eka mengaku, dulunya ia sering membeli 4—5 camilan. Sekarang ia cukup membeli 1—2 makanan berkemasan supaya tidak terlalu banyak kemasan sekali pakai yang terkumpul di rumahnya.

“Di zero waste juga terdapat konsep ‘belilah produk sesuai dengan kebutuhan bukan keinginan’. Jadi, saat mau beli barang lebih berpikir, ‘gue perlu banget enggak ini barang atau cuma sekadar pengin aja?’”, tanyanya kembali pada diri sendiri pada Jumat (10/2/2023).

Untuk menjaga lingkungan, Eka juga sudah mulai mengurangi membeli pakaian baru—benar-benar pakai yang sudah ia punya dan berusaha menghilangkan pikiran harus membeli baru untuk kondangan atau acara tertentu.

“Dalam lingkup keluarga, saya berusaha mengenalkan zero waste dengan berbagai tindakan yang melibatkan mereka dengan cara meminta orang tua untuk membantu memilah sampah, mengajak mereka untuk ikut serta menyetor sampah ke drop point waste management atau berbelanja ke toko curah zero waste membawa wadah serta tas belanja kain sendiri,” tuturnya pada Jumat (10/2/2023).

Berdasarkan data yang diambil oleh Putu Dharma Yusa mengenai survei konsumsi plastik sekali pakai pada 15—25 Juli 2022 dengan total 275 responden menyimpulkan, hanya sekitar 8.80 persen responden yang berbelanja kebutuhan sehari-hari di bulk store berkonsep zero waste. Dijelaskan lebih lanjut, hal tersebut dikarenakan jumlah toko yang berkonsep seperti itu masih relatif sedikit dan sulit dijangkau oleh mereka.

Orang tua Eka sempat kebingungan dengan kebiasaan barunya yang senang mengumpulkan sampah plastik sekali pakai—mereka sempat protes berkali-kali karena berpikir apa gunanya untuk dikumpulkan sampah kotor tersebut.

Eka pun perlahan menjelaskan bahwa sampah yang dikumpulkan sudah bersih dari residu dan dipastikan tidak menimbulkan efek negatif.

“Sampai saat ini, hanya saya yang baru menjalani zero waste di rumah. Saya percaya mereka (orang tua) tergerak melakukan perubahan yang lebih besar lagi jika kebiasaan saya dilihat. Saya juga perlahan menjelaskan dampak dari plastik sekali pakai untuk lingkungan,” jelasnya pada Jumat (10/2/2023).

Dari survei peduli dan aksi terhadap sampah pada 15—31 Januari 2021 oleh Putu Dharma Yusa dengan 231 responden menunjukkan, aksi yang dilakukan individu mendominasi sebesar 39.91 persen yang disusul lingkup keluarga sebesar 31.92 persen. Aksi pengelolaan skala individu dan rumah tangga menjadi faktor penting dalam pengurangan dan pengelolaan sampah.

Eka membiasakan membawa alat makan reusable dan tas kain saat bepergian ke luar. Saat keadaan mendesak diharuskan membeli produk sekali pakai atau mungkin alat makan yang ia bawa sudah terisi dengan yang lain, ia mau tidak mau menggunakan plastik sekali pakai. Ia akan mengumpulkan, mencuci, serta mengirimkannya ke bank sampah untuk didaur ulang.

Tindakan dan perilaku Eka sejalan dengan hasil survei ekosistem sampah melibatkan 259 responden oleh Putu Dharma Yusa pada 7—15 Februari 2022 yang mana menunjukkan angka 91.51 persen responden memiliki tas belanja guna lang dan 78.38 persen memiliki tempat makan dan minum. Tingginya angka kepemilikan tersebut mengindikasikan adanya kesadaran untuk mengurangi penggunaan plastik sekali pakai.

Sebagai konten kreator, Eka ingin membagikan proses menjalani gaya hidup zero waste yang tidak mudah. Ia pun masih belajar dan banyak kekurangan.

Eka juga berpesan, jalani dengan pelan—semuanya butuh proses dan tidak harus sempunra dan usahakan ada peningkatan. Harapannya, akan ada orang yang tergerak sedikit demi sedikit beralih.

“Saya juga enggak mau terlalu memaksakan harus sempurna karena takutnya terbebani dan jadinya malah balik lagi ke kebiasaan yang lama. Paling saya cuma menyarankan, tapi enggak pernah memaksa mereka untuk ikuti saya,” jawabnya saat ditanya pengontrolan sampah sekali pakai saat berkegiatan dengan orang lain pada Jumat (10/2/2023).

Ilustri Gaya Hidup Sampah Tak Bersisa

Komunitas dan StartUp

CEO dari salah satu startup technology yang bergerak di penjemputan sampah daur ulang Octopus Indonesia, Moehammad Ichsan berdiri pada 2020 di Makassar, Sulawesi Selatan dengan tujuan mengurangi jumlah sampah yang berakhir di tempat pembuangan akhir (TPA) melalui platform teknologi.

“Octopus adalah sebuah ekosistem yang melibatkan semua pemangku kepentingan dalam ekonomi sirkular—pemerintah dan bank sampah diikutsertakan. Oleh karena itu, Octopus harus bertahap dan membutuhkan waktu (untuk tersedia di seluruh wilayah Indonesia),” terangnya melalui keterangan tertulis pada Kamis (16/2).

Ichsan menjelaskan cara Octopus Indonesia mengedukasikan zero waste kepada pengikut di media sosialnya dengan kesinambungan—memberikan rasa feel good. Proses pemilahan dimulai dari rumah tangga—melibatkan “pelestari” (relawan penjemput sampah pengguna dan bank sampah. Setelah itu, pemilahan akhir di fasilitas octopoint (tempat pengumpulan) di setiap kota.

Salah satu clean-tech startup yang menjembatani small enterprises ke factories, Rekosistem menawarkan manajemen sampah dengan koleksi sampah, pemilahan, dan treatment activities (recycle sampah dengan bantuan partner). Rekosistem menegaskan bahwa mereka bukan bank sampah, walaupun cara kerja terlihat serupa.

Sekretaris Jenderal World Cleanup Day (WCD) Indonesia, Septi menjelaskan WCD Indonesia memulai gerakan global bersih-bersih sampah yang dilaksanakan secara serentak di minggu ketiga September di setiap tahunnya sejak 2018. Tidak hanya itu, pelbagai kegiatan seperti kampanye, webinar, pelatihan, siaran langsung, dan aksi nyata terus digempurkan sebagai bentuk penyuaraan zero waste.

Dari survei peduli dan aksi terhadap sampah pada 15—31 Januari 2021 oleh Putu Dharma Yusa dengan 231 responden, sebesar 79.34 persen responden mendapatkan informasi dan rujukan mengenai budaya minim dan pengelolaan sampah dari media sosial yang mudah diakses—bagian dari gaya hidup masyarakat dan hadirnya platform bergerak di bidang pelestarian lingkungan.

“WCD Indonesia mengajak masyarakat Indonesia untuk lebih memerhatikan lingkungan, tidak hanya sampah—mengubah perilaku masyarakat dengan tindakan nyata dengan turun langsung ke sungai, jalan, gunung, laut, pantai, atau car free day (CFD) juga kunjungan ke sekolah dan desa,” bebernya pada Kamis (16/2).

Octopus Indonesia
Octopus Indonesia

Pengalaman

Sejak bangku sekolah dasar, saya sudah dibiasakan untuk memilah sampah sesuai jenisnya—kami juga didorong untuk mengumpulkan sampah plastik yang ada di rumah untuk disetorkan ke bank sampah yang dikelola sekolah. Bagi yang menyetor akan mendapat nilai tambahan untuk mata pelajaran Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH).

Kantin sekolah yang dalam penyajiannya tidak menggunakan kemasan sekali pakai menanamkan kebiasaan di dalam diri dan kehidupan saya. Sekolah dasar saya juga memiliki kegiatan kompos—hasil dedaunan yang kami sapu di setiap Sabtu pagi sebelum senam dikumpulkan dalam drum besar. Di sanalah kompos itu akan diproses dan pupuknya akan digunakan untuk pepohonan.

Kebiasaan tersebut terbawa hingga saat ini. Saya cenderung menolak plastik sekali pakai saat berada di luar. Jika saya harus terpaksa menggunakannya, sampah tersebut akan saya kumpulkan, bersihkan, dan setorkan ke bank sampah. Kegiatan ini saya lakukan tersembunyi dan diam-diam karena orang tua saya sangat menentang keras perbuatan tersebut.

Di rumah pun, hanya saya sendiri yang berusaha zero waste—menjadi minoritas dan tidak bisa berbuat bebas. Tidak jarang juga saya dicemooh “si paling lingkungan” oleh saudara sendiri, belum lagi orang tua yang menganggap saya mengoleksi dan menumpuk sampah kotor yang sangat meresahkan baginya. Mereka juga menganggap perbuatan saya sangat memakan tempat.

Saat masih berada di Pekanbaru yang merupakan daerah asal, saya menyetorkan sampah ke bank sampah di dekat rumah yang dikelola oleh warga sekitar. Itu pun baru dimulai pada pertengahan 2021. Ibu saya pun mencoba untuk memilah sampah dengan mengumpulkannya dalam karung goni. Namun, sampah tersebut tidak dibersihkan olehnya.

Melihat hal tersebut, saya pun mengambil kembali sampah tersebut dan membersihkannya serta mengeringkannya. Ibu saya terheran melihat perbuatan tersebut—ia berpikir mengapa harus dibersihkan, ‘kan bisa dikumpulkan saja. Saya pun menjelaskan bahwasanya sampah yang tidak dibersihkan bisa berpotensi busuk karena residu makanannya masih menempel.

Sebelum itu, saya belum bisa berbuat banyak dalam memilah sampah dikarenakan minimnya informasi serta penyuaraan tentang bank sampah di Pekanbaru. Padahal, dulunya Pekanbaru mendapatkan penghargaan Adipura selama tujuh tahun berturut-turut dari 2004. Sayangnya, penghargaan tersebut tidak diindahkan oleh wali kota selanjutnya.

Hanya saja, saya selalu mengusahakan diet plastik di mana pun dan kapan pun. Saya meletakkan tempat atau peralatan minum dan makan di dalam tas—tidak lupa juga tas belanja. Jadi, jika saya hendak memesan makan dan minum saat di luar, saya tinggal menyodorkan yang sudah disiapkan—mencegah bertambahnya plastik sekali pakai.

Saya pun merantau ke daerah Jabodetabek untuk menempuh pendidikan. Banyak fasilitas bank sampah yang tersebar di sini. Di daerah saya tempati, Dinas Lingkungan Hidup Tangerang Selatan menggencarkan bank sampah harus berdiri di setiap kelurahan. Hal itu disampaikan oleh salah satu penyuluh bank sampah di Kecamatan Pamulang.

Selain itu, banyaknya startup, lembaga swadaya masyarakat, komunitas, atau relawan lingkungan yang mendirikan bank sampah serta memfasilitasi penjemputannya sangat memudahkan saya untuk menegakkan gerakan memilah sampah ini. Hadirnya bulk store yang menjual produk yang bisa dibeli dengan wadah dan tempat sendiri secara curah menjadi “surga” bagi saya.

Dalam pemilahan sampah mandiri saat merantau, saya menyiasatinya dengan menata sampah tersebut dengan rapi di dalam satu kardus. Sampah tersebut harus dibersihkan dengan dicuci menggunakan sabun dan dan air agar tidak mengundang semut dan lalat. Setelah kering, sampah akan dilipat atau diremuk agar menjadi kecil agar menyisakan banyak ruang dan tidak memakan tempat.

Say memilih Rekosistem untuk menyetorkan sampah yang sudah dikumpulkan. Kardus yang sudah dikemas dengan baik agar tidak berceceran siap diantar. Sebelum menyetorkan sampah, saya harus melakukan pendataan di aplikasi untuk mendapatkan kode yang harus ditulis di kardus tersebut. Nantinya saya juga harus memilih drop point dan memfoto sampah tersebut.

Biasanya saya memilih untuk mengantarkannya menggunakan transportasi umum karena menghindari macet dan mengurangi risiko membawa barang menggunakan motor, sembari bersantai sejenak juga! Drop point yang saya ambil antara lain Stasiun MRT Blok M BCA atau Pantai Maju Jalasena.

Menuju ke sana, saya menggunakan Transjakarta koridor S21 Ciputat—Blok M turun di bus stop Taman Literasi Christina Martha Tiahahu dan lanjut berjalan sekitar 200 meter. Bisa juga melakukan transit di halte Cakra Selaras Wahana (CSW) untuk berpindah ke koridor 1 Blok M—Kota dan transit lagi di halte Monumen Nasional (Monas) untuk beralih ke koridor 1A Pantai Indah Kapuk (PIK)—Balai Kota. Sampah sudah bisa langsung diletakkan dalam tempat yang sudah disediakan.

Fayza Rasya
Diterbitkan: Rabu, 15 Maret 2023
Pukul: 23.00 WIB
Jurnalis: Fayza Rasya
Editor: Adi Fauzanto
Daftar Bacaan:
Liputan Mendalam