Like & Share (2023): Film Hampir Sempurna untuk Menjelaskan Benang Kusut Kekerasan Seksual Remaja ‘Zaman Now’


Kebijakan.co.id Liputan Film

Adi Fauzanto-19/05/23 (17.00 WIB)-#18 Menit

Read in English Language Version

Kritik Film Like Share

Sutradara (paling) berbakat, Gina S. Noer kembali mengeluarkan mahakaryanya melalui Like & Share (2023), sekaligus kembali dengan tema yang dekat sekali dengan anak muda ‘zaman now’.

Di balik mahakarya filmnya ini, terdapat beberapa kekurangan yang mungkin terlewat oleh Sang Sutradara –sekaligus juga penulis naskahnya. Apa saja itu?

***

Kebijakan.co.id – Sebagai remaja Jekardah –pelesetan Jakarta dengan aksen Cinta Laura– yang tumbuh 2010 ke atas, saya berani menobatkan Gina S. Noer (sutrada Like & Share) –tak berlebihan— bisa dikatakan adalah sutradara paling berbakat, masa depan dunia film Indonesia. Mengapa? debutnya film Dua Garis Biru (2019) adalah film yang sangat tepat, ibarat bermain Dart Board tepat di tengah titik merahnya.

Saya menyaksikan dengan langsung fenomena itu dengan nyata, tidak hanya satu kali, dan gilanya bahkan hampir melakukannya –ini mungkin terlalu pribadi, akan tetapi itu benar-benar terjadi. Film yang menjadi masterpiece (mahakarya) di mata saya, bahkan saya menceritakan kepada teman saya yang notabene tidak besar di Jakarta, peristiwa ini adalah hal yang lumrah. Kedekatan isu dan cara bercerita benar-benar sangat tepat.

Kini, dengan Like & Share (2022) lagi-lagi Sang Sutradara paling berbakat ini benar-benar menceritakannya dengan tepat, tepat sekali. Sebagai generasi peralihan –yang umumnya disebut Gen Z— yang besar dengan gawai dan aplikasi di sekitarnya seperti Facebook, Blackberry Mesengger, Instagram, Twitter, Line terlebih dibesarkan di lingkungan perkotaan seperti Jakarta, menurut saya Film Like & Share (2022) adalah sebuah masterpiece, sempurna, sangat nyata, dan tepat. Film ini ‘hidup’ di antara kehidupan sekolah-sekolah putih abu-abu –setidaknya di Jakarta dan mungkin kota besar lainnya.

Benar-benar seperti menonton dokumenter apa yang terjadi di masa lalu –yang tidak terlalu jauh–, tentang perilaku ‘remaja’ generasi yang tumbuh dengan gawai dengan segala bentuk keliaran dan keingintahuannya yang tinggi. Dua Garis Biru (2019) dan Like & Share (2022) tak kurangnya saling melengkapi di antara kesempurnaan, menjadi lebih sempurna. Keduanya begitu dekat, dekat sekali ketimbang film anak SMA (Sekolah Menengah Atas) di dekatnya seperti Dilan 1991 (berbagai versi), Teman Tapi Menikah (2 jilid), Dear Nathan (2 jilid), dan lainnya.

Sekali lagi, tak kurang saya takjub dengan cerita-cerita yang diangkat begitu dekat sekali. Saya tidak bisa menghukum ‘peristiwa’ di atas yang terjadi ketika gawai dan remaja-remaja ini eksis adalah sebuah kesalahan, akan tetapi saya berani mengatakan bahwa ke dua film Gina S. Noer ibarat seperti perkataan di awal novel Max Havelaar, oleh John F. Keneddy “Jika politik bengkok, sastra akan meluruskannya.” Film Gina S. Noer melakukannya dalam ranah yang berbeda bukan politik tetapi gaya hidup, dengan sastra dan seni film.

Bom waktu masalah ini untuk diceritakan kembali dengan keindahan atau seni sastra bercerita ini, sudah direbut ‘dengan kurun waktu sangat cepat’ –tak perlu berganti dekade atau generasi— sudah diceritakan. Seperti peristiwa 65’ yang baru banyak di angkat setelah reformasi 98 atau yang lebih lama lagi yaitu kolonialisme sejak abad ke-17 dengan sebuah novel Max Havelaar yang lahir abad ke-19 akhir.

Keluh saya cuma satu, mengapa dia tidak hadir lebih cepat di awal 2010-an ketika saya sedang tumbuh.

Saya berani mengatakan, kepada seluruh pihak-pihak yang berkepentingan seperti pemerintah, perusahaan besar, atau siapapun yang mempunyai kuasa materi, berinvestasilah dengan sutradara paling berbakat, Gina S. Noer, dia adalah ‘juru film’ (meminjam istilah juru bicara) remaja zaman now.

***

Mari, membuktikan kalau Like & Share (2022) adalah masterpiece, karya yang menjadi juru bicara generasinya. Mulai dari perilaku remaja-remaja dan dunia di sekitarnya yang absurd yang coba diangkat Like & Share (2022), serta beberapa kekurangan minor (sedikit) –yang mungkin tidak dijelaskan karena keterbatasan waktu film. Setelah itu, membahas teknis film, yang menurut saya tidak kalah kerennya karena isu yang tepat diangkat oleh orang dan skill yang tepat, serta beberapa kekurangan teknis film yang absen dalam film ini.

Secara ringkas: Pertama, kisah yang diangkat adalah dunia Gawai dan Internet (Digital) sebagai generasi yang tumbuh dan besar bersamanya, tentunya ‘generasi kelinci percobaan’ yang bahkan orang tua kita hanya tau mendasar dan bahkan tidak banyak lebih tau, terlebih lebih banyak kita yang mengajarkan. Pintu masuk itulah yang membuka dunia besar yang akan kita bahas berikutnya.

Kedua, ketika dunia Internet dengan segala kemudahan, kebebasan, dan cara berpikir komputasi (alogaritma) bertemu dengan eksplorasi seksualitas –yang sudah secara naluri ketika anak tumbuh dewasa–, yang lepas dari pendidikan formal sekolah dan keluarga. Ini adalah pintu menuju ruangan spesisifik isu yang diangkat film ini.

Ketiga, setelah pertemuan itu, adalah bentuk eksplorasi nyata, bentuknya bisa berbeda-beda, tergantung dengan siapa, di mana, kapan, dan situasi apa yang mempertemukan dengannya. Mungkin hanya berpacaran, pegangan tangan, berduaan, jalan ke Mall, nonton, atau hingga dugem. Di sinilah ruangan nyata yang akan di bahas.

Keempat, masih berhubungan dengan hal sebelumnya adalah pendidikan luar sekolah, di mana orangtua, keluarga, orang-orang sekitar kawan setongkrongan, kawan pulang sekolah, ibarat teman sebaya, setempat duduk, kekantin bareng, hingga ke toilet bareng, menjadi faktor penting pendidikan luar sekolah. Di sinilah sempilan dari ruangan tersebut, yang bisa dilihat tidak penting, tapi bisa jadi faktor yang sangat amat penting.

Sedangkan kekurangan secara ringkas: Pertama, cerita sudut pandang Sang PK (Penjahat Kelamin) –adalah sebutan yang terkenal di kalangan tongkrongan anak-anak Jekardah. Mengapa dia bisa menjadi seperti itu? itulah yang menjadi kekurangan film ini dan yang akan dibahas.

Kedua, tentang dunia Internet itu sendiri, sebagai film yang berjudul Like & Share mungkin kurang tepat rasanya jika tidak membahas dunia di balik internet itu sendiri, mungkin tentang alogaritma atau dunia dewasa di baliknya atau blokir-memblokir oleh pemerintah. Ketiga, sebagai film dengan drama 3 babak, klimaks film ini terasa kurang menendang.

Selain cerita, secara ringas (dan tidak akan dijelaskan lebih dalam) teknis film ini kembali mengulang simbol-simbol penuh makna dari ala Gina S. Noer, mulai dari poster film hingga detik terakhir film, itu yang Pertama. Kedua, dalam film ini Gina S. Noer berani memainkan warna dan suara yang ciamik.

Terakhir yang Ketiga, tak kalah pentingnya ialah adegan Seks yang luar biasa memukau dan penuh persiapan matang, yang memperhatikan pemeran dengan mempersiapkan pemeran pengganti di awal, latihan yang matang, kesepakatan apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan, hingga eksekusi yang terbatas dari kru film.

Sedangkan kekurangannya menurut saya hanya satu, jika membandingkan dengan masterpiece sebelumnya Dua Garis Biru (2019) terasa sekali ada yang kurang. Bukan tentang simbol-simbol atau eksplorasi permainan teknik film yang baru.

Lalu, apa itu? yaitu lagu dalam film, masih terngiang jelas lirik lagu “Can Anybody Tell Me? Can Anybody Help Me, How To, What To Do?” dalam film Dua Garis Biru (2019) yang ‘sangat menggangu’ itu. Lagu itu hadir sebagai penanda bahwa ia milik Dua Garis Biru (2019) dan sebaliknya Dua Garis Biru (2019) sebagai empu (pemilik) lagu itu. Itulah yang nanti akan dieksplorasi kekurangan film itu.

Meme Dua Garis Biru
Meme Dua Garis Biru (Sumber: 1Cak)

***

Dunia Baru Itu Bernama Dunia Internet dan Digital

Pembahasan ini dimulai dari sebuah permisalan, jika saya nanti berumur 40 tahun, teknologi baru ditemukan yaitu mencetak makanan hanya dengan mesin –layaknya printer. Tentu jika saya punya anak mereka akan senang bertemu alat itu, jika saya? saya akan bingung sebab 3 dekade lamanya saya hanya memasak dan mengolah makanan dari yang belum matang hingga menjadi matang –kecuali ketika membeli makanan. Bukan mencetaknya.

Tentu pada awalnya, saya menolak, ketika sudah menjadi gaya hidup massal, secara otomatis saya akan mengikutinya, sebab berkaitan dengan kebutuhan: makanan. Begitu juga halnya dengan informasi, apalagi dengan seks.

Gambaran tersebut adalah gambaran ketika internet ditemukan dan mulai diproduksi massal serta menjadi ‘gaya hidup’ baru. Sedangkan tidak ada panduan khusus, atau arahan khusus utamanya dari orang tua, orang-orang sekitar, guru, sekolah, dan bahkan (apalagi) pemerintah.

Ibarat penjelajah eropa menemukan serpihan benua lainnya, dia tidak mengetahui batasan-batasan tentang dunia baru itu, ujungnya? Ya, kolonialisme –setidaknya itu hal buruk bagi Indonesia, walaupun dari sana ditemukan banyak penemuan sekaligus pintu masuk era-industri. Hal itu terjadi kembali, dengan dunia berbeda dan generasi berbeda, itu adalah dunia digital dan generasi yang lahir pasca 1990-an hingga 2000 awal.

Internet ditemukan memang pada awalnya ditunjukan untuk memberikan informasi untuk kepentingan perang dingin. Karakter tersebutlah yang dikembangkan, hingga menjadi no bounders atau informasi yang tidak ada batas atau sekat –mungkin baru saat-saat ini aja ada persetujuan atau ada batasan tertentu seperti penggunaan data pribadi. Sekat-sekat itulah yang memungkinkan pengguna ‘yang baik’ dan ‘tidak’ bertemu.

Ibarat media informasi sebelumnya, misalnya seperti majalah, ada batas-batas bernama editor dan tentu kertas itu sendiri –dari bijih kayu yang terbatas. Sehingga pembaca (pengguna) hanya bertemu informasi yang sama di atas kertas itu.

Meme Mark Zuckerberg sedang Memperbaiki Facebook (Sumber: Twitter)

Saya melihat dengan jelas gambaran-gambaran ini terbesit dengan jelas maksud apa yang ingin disampaikan Gina S. Noer tentang dunia internet dan digital dengan segala kehidupan sosialnya.

Pertama, adegan intens antara Lisa (diperankan oleh Aurora Ribero) dan Ibunya, Ninda (diperankan oleh Unique Priscilla), yang menggambarkan gagapnya orangtua dengan anaknya dengan dunia barunya di gawai berisikan media sosial dan segala informasi yang dibutuhkan. Secara eksplisit keduanya, Lisa dan Ninda sama-sama masih mengeksplorasi hal yang baru, keduanya benar-benar baru melihat dunia digital dan internet. Prefensi ini dilihat ketika Ninda menyarankan menonton dakwah online ustadz tertentu di Youtube, yang kontras dengan apa yang dilakukan Lisa menonton bokep.

Tentu eksplorasi keduanya berbeda, di antara orang tua yang sudah mengetahui dunia seks dan sebaliknya sang anak yang baru menjelajahi dunia baru. Algoritma –yang akan dibahas nanti— memisahkan jauh dunia di gawainya antara Lisa dan Ninda, antara ‘malaikat’ dan ‘setan’. Jika saja, keduanya mengetahui di balik dunia alogaritma media sosial dan internet yang no bounder, bisa saja keduanya saling mengerti dan memahami. Akan tetapi, sebaliknya, bukan tidak mungkin keduanya menjurus hal yang paling ekstrim di antara keduanya, ‘Menjadi Paling Malaikat’ dan ‘Menjadi Paling Setan’, di film ini masih dalam tahap toleran.

Tentu kejadian di dunia nyata, melihat ‘Menjadi Paling Malaikat’ bisa mengantarkan orang berpindah negara yang sedang berperang serta membunuh dirinya sendiri dan orang lain akibat paparan informasi bubble trap atau jebakan gelembung informasi akibat alogaritma media sosial, bahasa ‘lembut’nya menjadi teroris. ‘Menjadi Paling Setan’ bisa mengantarkan orang terjerumus ke hal-hal yang paling gila, dengan mencoba hal-hal tanpa mengetahui konsekuensinya mulai dari seks bebas hingga narkoba yang berawal dari informasi bubble trap.

Kedua, adegan intens kedua tokoh utama antara Lisa dan Sarah (diperankan oleh Arawinda Kirana) adalah gambaran solid tentang bagaimana ‘generasi baru’ ini mengeksplorasi hal yang baru juga. Hal-hal seperti: coba dulu, tanpa melihat konsekuensi, dibawa senang ‘yang penting happy’, adalah karakter ketika seseorang mencoba hal baru, apapun media, medan, situasi, dan barangnya.

Hampir setengah film, kedua tokoh utama ini melakukannya. Lagi-lagi karakter ini hidup dalam bubble trap dunia internet menjebak ke dalam hal ekstrim. Lisa mencoba mastrubasi dan Sarah mencoba memasuki dunia seks. Awalnya sederhana yaitu dengan hanya mengomentari video bokep HP jatoh, dengan alogaritmanya memasuki bubble trap tidak bisa keluar, dan memungkinkan masuk ke dalam tahap ekstrim (melakukan aksi) atas apa yang diterima informasinya.

Pemaknaan atas informasi itulah yang mengantarkan kepada hal yang ekstrim, pemaknaan tersebut juga dibantu dan dipengaruhi oleh konfrontasi ‘yang berhasil’ oleh orang-orang sekitar. Misalnya Lisa yang berhasil dikonfrontasi oleh orangtuanya atau Sarah yang gagal dikonfrontasi oleh Lisa saat ketidaksetujuannya pacaran dengan Devan (diperankan oleh Jerome Kurnia). Tentu, konfrontasi ini tidak terjadi di dunia internet atau digital, dia hanya terjadi di dunia nyata atau dunia di sekitarnya.

Pertemuan Dunia Internet dan Seksualitas

Ketika memasuki dunia baru itu, bertemu dengan keliaran anak muda, dengan memasuki ‘suka sama suka’ dengan lawan jenis. Ketika prefensinya adalah dunia internet tanpa batas yang bisa mengakses hingga ke selangkangan orang per orang. Bukan tidak mungkin, di dunia nyata dia melakukan hal yang paling ekstrim.

Jika dibandingkan dengan generasi sebelumnya, prefensinya adalah film bioskop dewasa yang dibatasi tayangan pemutaran –dan tentu tidak dimiliki oleh dia informasinya—atau majalah dewasa yang harus sembunyi-sembunyi membacanya. Berbeda zaman, ketika dunia memasuki alat teknologi bernama digital, awalnya melalui kaset yang dibajak, hingga masuk ke dalam gawai yang otomatis informasi tersebut menjadi miliki kita, tanpa batas waktu, dan tidak perlu sembunyi-sembunyi karena berpenampilan gawai pada umumnya –kecuali hpnya diakses oleh orang lain.

Absenya pendidikan formal –yang memang selalu ketinggalan, karena memiliki otoritas yang berbelit-belit—terhadap perkembangan teknologi dan masalah nyata yang dihadapi masyarakatnya. Buktinya, kasus kehamilan di luar sekolah memang sudah terjadi sejak dahulu, akan tetapi sekarang menjadi menarik karena pemicunya adalah informasi melalui dunia internet, berupa bokep atau apapun yang menggugah nafsu liar anak muda.

Dalam hipotesa saya, dunia baru itu memasuki beberapa tahap hingga tahap ekstrim (melakukan sesuatu untuknya). Pertama, tahap penerimaan, di mana ketika orang mengetahui informasi, teknologi, atau barang baru, atau sesuatu apapun yang baru, mereka akan berkonfrontasi dengan pengalamannya yang lama secara budaya (kebiasaan) serta nilai (pelajaran-pelajaran) yang diembannya. Penerimaan tersebut menghasilkan tiga jenis: kesalingan –mencari titik tengah—, penolakan, atau persetujuan.

Kedua, ketika dunia baru itu diterima dengan kesalingan, menghasilkan produk budaya (kebiasaan) dan nilai (pelajaran-pelajaran) baru –bahasanya ialah akulturasi atau kearifan lokal. Jika persetujuan, menghasilkan kebiasaan dan nilai yang diterimanya menjadi aktivitas nyata, yang dalam hal ini masuk ke dalam tahap yang paling ekstrim.

Dari tahap-tahap penerimaan yang saya buat, jika merujuk kepada film maka akan ditemukan:

Lisa dan Sarah berangkat dari awal garis yang sama, memasuki tahap persetujuan dengan ketika mulai mengakses video bokep bersama, hingga tahap yang paling ekstrim ialah melakukan mastrubasi untuk Lisa dan melakukan seks bebas untuk Sarah.

Namun seperti apa yang saya katakan tadi Lisa mendapatkan konfrontasi melalui pengalaman ibunya sehingga menciptakan kesalingan, dibuktikan dengan Lisa terus penarasan dengan bokep HP Jatoh, serta mendapatkan pengalaman dari Fita (diperankan oleh Aulia Sarah) yang merupakan penyintas dari bokep HP Jatoh.

Sedangkan, Sarah menunjukan persetujuan walaupun dengan dikonfrontasi oleh Lisa dengan alasan yang masuk akal “perbedaan umur yang cukup jauh” membuat hubungannya tidak seperti pada umumnya pasangan anak SMA. Kesalingan hadir ketika Sarah mendapatkan pengalamannya dari diri sendiri karena dipaksa bersetubuh oleh pasangannya.

Setiap hal baru sudah barang tentu terjadi kesalingan, dalam bahasa lain selalu ada ‘kearifan lokal’ yang disaring atau filter melalui pengalaman, kebiasaan, pandangan hidup, dan lainnya. Bentuk kesalingan ini ada di akhir film, yaitu ketika Lisa dan Sarah tetap membuat video Youtubenya dengan gaya yang sama akan tetapi apa yang disampaikan berbeda.

Eksplorasi Nyata dari Pertemuan Internet dan Seksualitas

Sudah barang tentu, ketika Lisa melakukan mastrubasi itu sudah menjadi aktivitas dari apa yang diterimanya atas informasi yang bersumber dari gawainya. Sedangkan Sarah ketika dipaksa melakukan persetubuhan adalah konsekuensi dari tahap-tahap sebelumnya yang dia lalui ketika menerima informasi seks yang bersumber dari gawainya.

Di sinilah penentu ketika aktivitas itu dilakukan, dia bertemu dengan siapa? bentuknya apa? dilakukan di mana? situasinya seperti apa? Mungkin dia bertemu dengan peristiwa seperti di Dua Garis Biru (2019) atau hanya berkutat dengan cinta monyet, akan tetapi jika semua referensi tentang dunia seks adalah akses internet yang hampir sama –dengan segala kecanggihannya–, kemungkinan kecil akan sulit bertemu dengan apa yang terjadi dengan AADC (2001), walaupun ada beberapa.

Paling banter jika referensinya AADC (2001) ialah ciuman dengan seseorang yang dia sukai. Dalam Like & Share, sialnya, prefensi Lisa dan Sarah bukan lagi AADC (2001) akan tetapi bokep HP Jatoh dan mungkin yang lainnya. Sialnya lagi Sarah bertemu dengan Devan yang memiliki maksud –dan dilakukan—jahat. Akan tetapi jika dilihat, Lisa dan Sarah sudah mengetahui akan adanya kesepakatan atau persetujuan untuk melakukan apa, namun semua hancur ketika sudah di kamar bersama dengan Devan.

Sedangkan Sarah, eksplorasinya juga ‘bukan main-main’, dia terus mengikuti Fita, hingga mengikuti kelas membuat kue, berkali-kali bahkan hingga mahir. Untungnya, Fita yang pada akhirnya membagikan pengalamannya tentang kekerasan seksual yang diterima oleh mantan suaminya. Bayangkan jika Fita juga memiliki maksud buruk kepada Fita karena mengetahui dirinya dulu.

Dalam dunia nyata, jangan pernah sepelekan hal gila ‘yang bukan main-main’ yang dilakukan anak SMA, jangan salah, mereka pada umumnya akan melakukan hal gila. Misalnya prefensinya tentang tawuran dan musuh antar sekolah, hingga berani membacok, atau melakukan klitih seperti di Yogyakarta. Hal-hal gila ini dilakukan karena prefensinya atas informasi yang diterima oleh pendidikan di luar sekolah –nanti akan dibahas.

Meme Tawuran (Sumber: MCRI)

Saya pun juga merasakannya, dalam hal ini saya dulu adalah seorang pecinta alam, mendaki gunung tertinggi di Jawa, dengan segala pertimbangan sembrono ala anak SMA, lalu tanpa pikir panjang berangkat, dengan satu prefensi tentang keindahan dan hal-hal lainnya setelah mendaki gunung. Tentu setelah dipikir-dipikir setelahnya itu adalah hal gila, yang jika saja saya mengetahuinya saya tidak akan lakukan. Tetapi itulah unik dan hebatnya. Dalam beberapa hal kita perlu seperti itu.

Pendidikan Luar Sekolah

Klise memang menyebut ‘setiap orang adalah guru’, di satu sisi menunjukan sisi positif, di satu sisi menunjukan sisi bobroknya sekolah formal. Guru itu sejatinya pemengaruh informasi atas apa yang dilakukan di kehidupannya, layaknya anak TK yang diajarkan oleh Gurunya jika mau menyebrang melihat kanan-kiri, selain mengajarkan pengenalan huruf-huruf.

Dalam tahap-tahap itulah antara Lisa dan Sarah saling mempengaruhi ketimbang gurunya di sekolah, yang dalam film ini digambarkan guru olahraganya yang mesum yang ada di film.

Sialnya ini terjadi hampir di seluruh dunia nyata. Atas apa yang dilakukannya setiap hari. Pelajaran itu datang dari orang-orang terdekatnnya orang tuanya, keluarganya, teman tongkrongannya, teman sebangku, teman organisasi pelajarnya, teman se-genk-nya, pacarnya, suami-istrinya, dan lain-lain. Bahkan itu berpengaruh kurang lebih banyak kepada masa depannya.

Saya hampir tidak dapat menjelaskan, bahwa ini begitu berpengaruh. Pendidikan luar sekolah –bukan tempat bimbel (bimbingan belajar) ya!— harus benar-benar diperhatikan oleh siapapun, bukan membatasi, setidaknya tahu akan apa konsekuensinya. Jika saya nongkrong dengan pecandu narkoba, kemungkinan besar saya ikut make narkoba, jika konsekuensi itu diketahui bukan tidak mungkin dia tetap nongkrong, tetapi tidak ikut make karena tahu konsekuensinya.

Dalam Like & Share, berpacaran dengan umur yang jauh di atas, sudah harus mengetahui konsekuensinya. Pertama, itu adalah sebuah keanehan, untuk apa seorang yang mau memasuki umur 30 berpacaran dengan anak SMA. Kedua, jarak yang cukup jauh membuat dominasi secara umur jelas timpang, apalagi laki-laki yang didoktrin untuk menjadi kuat sejak kecil.

Selain itu, pendidikan luar sekolah juga disinggung di awal film oleh film ini. Seperti konfrontasi keluarga terhadap pertemanan antara Lisa dan Sarah yang memiliki aktivitas membuat video ASMR –sebuah video yang menekankan suara yang dalam membuat yang mendengar terasa nyaman, tenang, atau merasakan hal-hal positif menurut pendengarnya.

Hal itu menunjukan bahwa Ninda dan Ario atau Kakanya Sarah (diperankan oleh Kevin Julio) belum bisa menjadi ‘guru’ luar sekolahnya –walaupun perkataan Ninda pada akhirnya diterima oleh Lisa dengan cara doktrin. Secara tidak langsung, persahabatan antara Lisa dan Sarah dari awal hingga akhir film menunjukan cerita solid (utuh) bagaimana pendidikan luar sekolah berjalan.

***

Asal Usul Devan

Setelah membahas narasi cerita yang coba ingin disampaikan oleh Gina S. Noer, saya mencoba hal-hal apa saja yang kurang dalam film ini. Mulai dari membahas sosok seperti Devan, dalam hidup pergaulan anak Jekardah sudah tidak asing lagi, ia disebut PK atau Penjahat Kelamin, seseorang yang berpacaran untuk merenggut perawan atau perjaka pasangannya, atau hanya ingin berorientasi kepada seks lalu berganti pasangan.

Tentu, dalam kehidupan aslinya, prefensi dia terhadap pasangan sudah barang tentu dipengaruhi hal-hal mesum, video bokep, cerita panas, dan lainnya. Tak jarang, juga kondisi biologis –ini masih jadi perdebatan—seperti tingkat hormon dan lain-lain, apakah harus dipicu oleh hal-hal mesum atau tumbuh dengan sendirinya dengan menjadi bejat –dalam hal ini PK.

Dalam tahap-tahap kriminal dia masuk dalam kategori itu, jika merujuk kepada UU TPKS (Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual) ketika seseorang diajak bersetubuh tanpa kesepakatan antara pasangannya atau pemaksaan. Atau setidaknya dijerat dengan UU ITE (Informasi Elektronik). Atau cerita ini diambil sebelum adanya UU TPKS dan UU ITE.

Menarik dibahas, sebab film ini absen membahas asal usul si Devan, yang tiba-tiba datang dikegiatan olahraga untuk merekam, dan hilang tanpa penjelasan asal usulnya, yang hanya ditampilkan sebagai –sepertinya—pelatih workout (olahrga beban tubuh) dan seorang pekerja.

Asal usul mungkin bisa disimbolkan –jika merujuk kepada Gina S. Noer yang jago akan permainan simbol—dengan koleksi video-video bokep atau pesan di Whatsapp yang berisi perempuan semua atau memiliki aplikasi Mi-Chat atau apapun yang menggambarkan rekam jejak dia bejat.  Penggambaran baik (dalam tanda kutip) kepada teman (atau murid)nya lainnya selain Sarah di komunitas workout belum cukup, sebab itu memang hal yang lumrah.

Dunia di Balik Internet

Selain absennya asal usul Devan, nihilnya penjelasannya tentang dunia Like and Share alias dunia internet, juga menjadi perhatian. Sebab, film ini telah mengambil 2 kata kunci yang sering diambil di dunia internet, terkhusus media sosial.Adegan simbol-simbol emoticon media sosial atau membaca komentar tidaklah cukup, sebab itu salah satu konsekuensi dari Like and Share terhadap suatu konten di Youtube yang menjalankan alogaritma.

Sayang sekali, kekosongan ini mungkin yang paling fatal, ketimbang asal usul Devan –yang bisa saja beralasan bukan mengambil sudut pandang cerita si Bejat.

Ambil bagian pembahasan alogaritma ini misalnya dengan penggambaran layar gawai Youtube antara Ninda dan Lisa yang secara aktivitas berbeda. Yang satu memiliki prefensi menonton dakwah yang pada akhirnya memunculkan rekomendasi tontonan dakwah-dakwah agama, sedangkan tampilan gawai Lisa yang memunculkan video-video ASMR atau video dewasa sesuai aktivitas apa yang dia tonton dan dia cari.

Keduanya hampir tidak bisa keluar dari Bubble Trap karena alogaritma yang ada, kecuali konfrontasi di kehidupan nyata, yang memaksa mereka merubah pandangan hidup –termasuk mencari informasi.

Itu sudah cukup menjadi simbol bahwa sudut pandang keduanya ditentukan dari apa prefensi yang dia tonton, terlebih Gina S. Noer jago akan simbol-simbol.

Drama Tiga Babak yang Kentang

Selanjutnya membahas tentang Kentang, bukan makanan, ia adalah bahasa gaul Jekardah yang berasal dari kepanjangan Kena Tanggung. Drama tiga babak Like & Share sangat nanggung di akhir, tanpa klimaks. Memang, kata-kata di akhir Sarah membuat itu menjadi penutup menarik –yang secara tegas menempatkan posisi film ini berada di mana.

Selain itu juga disinggung sedikit tentang spill (membocorkan) di media sosial, kultur ini sebagai lawan dari otoritas berbentuk patriarki laki-laki yang melakukan kekerasan seksual, yang dalam hal ini merasuk dalam Devan, absen dalam film ini. Apalagi jerat hukum, yang memang bisa saja dimasukan dalam penyebaran informasi, layaknya Ariel pada tahun 2010 –walau dalam hal ini berbeda kasus, satu nyata dan satu tidak nyata, satu suka sama suka (?) satu dipaksa.

Kultur spill ini memang menjadi kekuatan terakhir untuk membocorkan informasi penting mengenai pelaku, memanfaatkan internet sebagai kekuatannya ‘tanpa batas’ melalui akun anonim (tidak dikenal). Akan lebih menarik jika hal tersebut dimasukan dalam film, walau secara harfiah sudah disampaikan, jika tidak salah begini, “walau sudah dispill, laki-laki akan tetap hidup bebas di luar sana”.

Oh tidak, kenyataan spill ini banyak manfaatnya, berpengaruh mulai dari pekerjaan, sekolah, dan hukum tentunya. Tentu dengan informasi spill yang tepat, bukan sekedar tuduhan. Jangan main-main dengan netizen Indonesia, adagium yang terkadang berguna untuk kasus-kasus seperti ini.

Akan tetapi saya ingin menyampaikan yang lebih ekstrim lagi, film ini secara utopia menempatkan babak akhir adalah keberanian Sarah dalam menyampaikan sesuatu di akhir rekaman video Youtubenya.

Secara kenyataan jelas banyak yang berbeda, mulai dari bunuh diri, mengurung diri, menutup diri, hingga stress atau menjadi gila. Tentu, saya menangkap pesan untuk kuat kepada perempuan atau penyintas kekerasan seksual, saya juga paham bahwa ini bukan film dokumenter, jika ini film dokumenter sudah pasti babak akhirnya mayoritas menyedihkan.

***

Like & Share

Gina S. Noer: Juru Bicara Anak Muda

Di balik kekurangan film Like & Share, saya berharap Gina S. Noer bisa menjadi juru bicara anak muda pada eranya. Bukan hanya film cinta menyek-menyek (tetapi juga tidak bisa dihindari), tetapi juga film yang bisa memberikan makna, kesan, atau pengalaman selama dan setelah menonton. Terlebih menjadi ‘tanda’ –sesuai dengan kekuatan Gina S. Noer akan simbol dan tanda— pada era-nya.

SutradaraGina S. Noer
ProduserChand Parwez Servia, Gina S. Noer
PenulisGina S. Noer
PemeranAurora Ribero, Arawinda Kirana, Aulia Sarah, Jerome Kurnia
Penata musikAria Prayogi
SinematograferDeska Binarso
PenyuntingAline Jusria
Perusahaan
produksi
Starvision Plus, Wahana Kreator Nusantara
Tanggal rilis8 Desember 2022 (Indonesia), 27 Januari 2023 (Festival Film Internasional Rotterdam), 23 April 2023 (Red Lotus Asian Film Festival)
Durasi112 menit
Adi Fauzanto
Diterbitkan: Jumat, 19 Mei 2023
Pukul: 17.00 WIB
Jurnalis: Adi Fauzanto
Liputan Mendalam

Buya Hamka I (2023): Tamparan Keras untuk Islam Oportunis, Transnasional, dan Mereka yang Merenggut Kemerdekaan


Kebijakan.co.id Liputan Film

Adi Fauzanto-27/04/23 (15.30 WIB)-#18 Menit

Read in English Language Version

Film Buya Hamka digarap dengan serius dengan modal dana yang tidak sedikit. Bukan tanpa celah, beberapa terdapat di dalamnya, sangat disayangkan untuk film yang mulai digarap tahun 2014 ini.

Selain itu, pesan yang disampaikan seharusnya menampar realitas muslim, mulai dari poligami, organisasi Islam transnasional, hingga merebut kemerdekaan.

***

Cuplikan Buya Hamka Vol I, II, dan III

Kebijakan.co.id — Ibarat sebuah dahaga dari film Islam yang bertajuk cinta-cintaan melulu. Tentang perempuan cantik, tentang perkawinan, perceraian, dan tetek bengek menyek-menyek masalah percintaan dibalut dengan islami dengan cerita yang absrud (tidak jelas) dan jelek. Praktis film Islam ‘tanpa gimik cinta-cintaan’ terakhir — sekaligus film biopik — yaitu Guru Bangsa: Tjokroaminoto (2015)

Film Buya Hamka Vol. I (2023) hadir sebagai fatamorgana film Islam jauh dari hal itu. Walaupun dalam cuplikan (trailer) di awal film terkesan seperti ‘cinta monyet’, dengan menggambarkan istrinya, Sitti Raham (diperankan Laudya Cynthia Bella) sebagai tokoh hayati dalam Roman (Novel) Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (1938), tetapi itu bukan dari cinta menyek-menyek ala film Islam karbitan, itu bagian dari kerja-kerja Hamka (yang diperankan oleh Vino Giovanni Bastian) sebagai sastrawan yang wajar saja perlu membutuhkan inspirasi dalam menulis.

Jadi jangan harap mendapatkan unsur ‘cinta monyet’ dalam film ini. Membayangkan nonton bersama dengan pasangan  — pacar ataupun istri — berharap yang muncul seperti film Ajari Aku Islam (2019), atau yang paling melegenda ialah Ayat-Ayat Cinta (2008)  — dan mungkin karena film itu juga, film bucin (butuh cinta) ala Islam menjadi pasar tersendiri — bahkan film biopik islami lainnya seperti Sang Kiai (2013) juga turut mengikuti unsur ‘cinta monyet’ (cinta anak muda) sebagai penggalan cerita dari tokoh utama.

Tanpa semua itu, film Buya Hamka Vol. I (2023) tetap memikat, karena cerita yang kuat –mungkin karena tokoh Buya Hamka diangkat dari kisah nyata yang juga sangat romantis.

Film ini bukan tanpa cinta, secara definitif ia hadir dalam bentuk yang lain, dengan gaya yang berbeda. Ia hadir, dalam bentuk pengalaman nyata, tentang sebuah cinta terhadap keluarganya, agamanya, pekerjaannya, negaranya yang tidak sempit, tetapi tetap megah, modern, dan yang pasti tidak alay.

Jika dapat merasakan kehadiran unsur cinta tersebut, beruntung. Sebab, jika tidak, maka kalianlah yang mungkin ditampar oleh film ini terlebih dahulu oleh pemikiran Buya Hamka pada zaman itu. Yang jelas tertampar ialah:

Pertama, Islam Oportunis, yang selalu memanfaatkan agama untuk keuntungan material (kekayaan) dan hawa nafsunya atas nama ayat-ayat suci dan simbol-simbol agama. Bentuk cinta yang tulus melampaui kekayaan –memang cukup sulit di dunia kapitalis seperti sekarang — tetapi bukan tidak mungkin.

Bentuk kecintaan ini, ialah belajar bagaimana bersyukur atas apa yang telah dimiliki, termasuk menyangi keluarga yang ada — dengan tidak berpoligami. Tidak menjual ceramahnya dengan tarif — seperti kebanyakan Ustadz jaman ini. Atau menjual simbol-simbol Islam untuk bisnisnya, hanya untuk mengincar ceruk pasar Islam.

Yang Kedua ialah, Islam Transnasional. Yang selalu berikrar dan bersolusi cepat dan tepat atas semua permasalahan komunitas masyarakatnya dengan satu sistem pemerintahan, alih-alih berangkat dari bawah solusi yang kecil seperti budaya komunitasnya, ujuk-ujuk menuju solusi pasti nan absurd juga imajinatif, terlebih ide yang sudah busuk. 

Bentuk kecintaan ini dilambangkan tentu terhadap masyarakat, adat, dan bangsa yang ia perjuangkan, mulai dari melawan penjajah 2 sekaligus serta harus dituduh pembangkang (di volume II). Bentuk lain dari masyarakat, adat, dan bangsa yang Buya Hamka perjuangkan adalah gambaran keinginan tersendiri dan jelas berbeda-beda, beragam, dan mempunyai ‘ciri’ tersendiri.

Terakhir ialah yang Ketiga, Atas Nama Islam yang merenggut Kemerdekaan. Mereka yang atas Islam, merenggut kemerdekaan yang lainnya, juga tertampar dengan film ini. Kemerdekaan yang bentuknya bisa bermacam-macam, mulai dari kemerdekaan beribadah, berpendapat, berpolitik, hingga menentukan nasib sendiri. Mereka yang direnggut juga berangkat dari cinta, cinta atas Tuhannya, cinta akan pilihannya, dan cinta akan bangsanya.

Selain pembahasan ketiga ini, terdapat juga pembahasan mengenai teknis film tersebut, mulai dari ketiadaan musik, kurang naturalnya set lokasi dan properti, hingga naskah.

Islam Oportunis

Ada banyak adegan dari Film Buya Hamka Vol. I (2023) yang menggambarkan ketulusan untuk menyebarkan agama Islam tanpa perlu memanfaatkannya — baik untuk material atau keuntungan lainnya — atau bersikap oportunis. Dalam salah satu adegan di cuplikan (menit 1:02) digambarkan Buya Hamka menolak berlaku adil untuk poligami kepada seorang perempuan muda, “Astagfirullah!,” ucap pemeran Buya Hamka.

Tentu jika melihat kedaan saat ini, film ini juga tidak menjadi tontonan, dan tuntunan, tapi juga menampar mereka-mereka yang berpoligami apalagi dengan mengatasnamakan Agama Islam dan segala omong kosongnya, apalagi poligaminya juga tidak mengikuti Nabi Muhammad yaitu dengan menikahi janda tua yang suaminya telah meninggal, akan tetapi dengan menikah dengan yang lebih muda dan bukan janda.

Seperti yang pernah diliput oleh Narasi TV dengan tajuk Menguak Sisi Lain Mentoring Poligami Berbayar (2021). Di mana praktik poligami seenak jidat (seenak hati), tanpa aturan, dan kaidah. Boro-boro (jangankan) mengikuti contoh Nabi Muhammad.

Adegan film Buya Hamka (2023)pun, menjungkir balikan praktik yang sebelumnya diliput Narasi TV. Naskahnya cukup lengkap untuk memberi penjelasan secara ayat disertai konteks tambahan. Penjelasan terkait ayat poligami di An-Nisa ditambah konteks tambahan dalam hal ini tafsir dari seorang Hamka –bahwa keinginan poligami atas kemauan bapaknya dari anak perempuan tersebut. 

Meme Poligami
Meme @sor_awak

Dalam tulisan Hamim Ilyas bertajuk Poligami dalam Perspektif Islam Berkemajuan (2021) menjabarkan ada yang perlu dipahami dari poligami harus melihat sisi historisnya (atau asal usul turunnya ayat). Ada berbagai syarat regulasi turunan dari hal tersebut. 

Pertama, pembatasan jumlah istri —melihat kondisi sebelum Islam yang tidak ada batasan dan tanpa aturan. Kedua, syarat darurat sosial — yang pada saat itu pasukan Islam banyak yang gugur dalam perang sehinga menimbulkan anak-anak yang tidak memiliki ayah. Ketiga, syarat tidak sewenang-wenang — yang hanya berdasarkan nafsu duniawi. Keempat, syarat adil — inilah yang paling berat.

Saya teringat penelitian Remotivi bertajuk Perempuan Tanpa Otonomi (2014) tentang perempuan dalam sinetron Islam di kala bulan ramadhan dengan sampel Anak-anak Manusia (RCTI), Para Pencari Tuhan (SCTV), dan Hanya Tuhanlah yang Tahu (Trans TV). 

Dari ketiga sinetron ini, yang memang digarap secara serius memperhatikan nilai-nilai Islam hingga kepada dialog dan konteks yang ada, ialah jatuh kepada sinetron Para Pencari Tuhan (2014).

***

Selain adegan tawaran untuk poligami, ada beberapa adegan menolak dibayar dalam kegiatan dakwahnya — tidak saya sebutkan secara detail untuk mencegah pembocoran.

Adegan dalam film tersebut juga diberikan penjelasan konteks yang cukup mendalam tentang bagaimana kehidupan Buya Hamka yang sulit di awal kemerdekaan. Pada akhirnya karena melihat kondisi sulit keluarganya, bayaran tersebut harus ditukarkan dengan karya novelnya, sebagai sebuah tanda pertukaran jual-beli — tidak ujuk-ujuk menerima bayaran dakwah tersebut.

Benar-benar jelas 180 derajat dengan kebanyakan ustadz-ustadz yang mata duitan, saat ini, jika melihat tarif yang dibocorkan. Benar atau tidaknya tarif ini, yang pasti ditambah harta melimpah ruah dari bisnis menjual agama. Belum lagi bisnisnya yang membawa unsur atau simbol Islami, mulai dari yang terkecil makanan, pakaian.

Bahkan hingga industri besar sekaliber penambangan batu bara juga perlu dicap halal sesuai apa yang diungkapkan film dokumenter investigatif Sexy Killer (2019) di mana Wakil Presiden saat ini juga ikut terlibat yang kala itu sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga sebagai komisaris besar perusahaan Bank Syariah  — dan satu yang pasti industri halal ini menghasilkan cukup banyak pemasukan.

Dalam hal ini saya pernah melakukan liputan mendalam terkait Perumahan Syariah di Kota Depok, Surga di Rumah atau Neraka Keberagaman (2022). Yang jelas-jelas benar itu tidak ada aturan dalam Al-Quran untuk membuat komplek perumahan atau perkampungan muslim. Mengada-ada. Terlebih memperlebar jarak antara komunitas muslim dengan komunitas masyarakat lainnya yang bukan muslim. Membuat muslim menjadi eksklusif.

Terlebih dalam situasi bangkitnya Islam Populis — setelah keadaan politik pemilihan umum 2014 dan 2019 — , pengusaha-pengusaha berusaha mengincar ceruk pasar pembeli mereka, untuk apa? untuk mencari keuntungan yang pasti. Layaknya menjual lampion kepada komunitas china atau agama Tionghoa, pasti hanya mereka yang beli.

Aksi 212
Aksi 212 (Antara Foto/Sigid Kurniawan)

***

Bicara tentang rumah. Film Buya Hamka Vol. I (2023) juga menggarap secara serius hingga detail kepada rumah — oleh karena itu dana yang dikeluarkan cukup besar — akan tetapi gambaran rumah dalam film Buya Hamka juga terasa hambar — walaupun sudah disesuaikan dengan kondisinya kala itu. 

Mengapa? terasa sekali ini rumah baru selesai dibangun, bersih, warna cat juga masih cerah. Tidak seperti dalam film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (2014) yang memang mengambil rumah Minangkabau asli dengan adegan yang ikonik ketika Hayati melihat Zainnudin untuk pertama kalinya, lebih nyata. Atau setidaknya terlihat kotor sedikit, agar tidak benar-benar terlihat selesai dibuat.

Hayati sedang melihat keluar jendela rumahnya

Mengapa dibuat kotor sedikit? Sebab jika tidak, seperti terlihat sketsa program televisi lawak, Bajaj Bajuri misalnya, yang rumahnya tersusun rapih, bersih, dan tanpa noda. Cara ini sudah seharusnya dibaharui jika di sebuah film dengan modal besar, untuk mendekati kenyataan –bukankah itu esensi film. Bukan plek-ketiplek baru selesai dibangun dipakai syuting.

Atau mungkin juga pengharapan penulis membayangkan menonton Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (2014) karena masih terbayang indahnya Batipuh dengan pengambilan gambar alam dan kearifan lokal Minang yang sangat tepat, yang meninggalkan bekas bahwa inilah film dengan latar belakang Minang terbaik. Nampaknya Buya Hamka (2023) –yang juga mengambil latar Minang– tidak mampu mengubah posisi itu, sekalipun lebih mahal biaya produksinya.

Tangkapan sketsa program televisi Bajaj Bajuri
Tangkapan gambar sketsa program televisi Bajaj Bajuri

***

Selain bicara rumah, pada pembahasan ini juga sedikit banyak bicara tentang liputan jurnalistik, mulai dari Poligami oleh Narasi TV, Perumahan Syariah oleh Kebijakan.co.id, hingga Sexy Killer oleh WatchDoc, saya sangat suka sekali ketika film ini banyak memasukan adegan Hamka sedang menulis, baik untuk membuat tulisan untuk di koran, novelnya, maupun buku-bukunya, hampir di seluruh adegan hampir ada. 

Melambangkan bahwa Hamka bukan jurnalis, penulis, novelis (pujangga), atau ilmuwan Islam yang ecek-ecek, gambaran tentang menulis di malam hari ditemani kopi, lalu ketika hari meninggal anaknya untuk tetap menerbitkan koran, dan belajar lagi kepada Ayahnya untuk menulis Tasawuf Modern (1939) juga memperjelas bahwa selain bukan ecek-ecek tetapi juga profesional. 

Secara kualitas tulisan, sebagai pembaca buku Hamka Falsafah Hidup (2015), benar-benar tulisannya membuat pembaca milenial — termasuk saya sendiri — pusing bukan main, sebab bahasanya yang puitis dan bernada melayu, mendayu-dayu, hampir tidak ada penggalan kalimat pendek — seperti yang terjadi saat ini — perlu dibaca 2x untuk memahaminya. 

Akan tetapi juga terdapat pertentangan atau polemik, khususnya kritik terhadap Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck yang dituduhkan plagiat dari salah satu Novel Sous les Tilleuls (1832) karya Jean-Baptiste Alphonse Karr yang diterjemahkan oleh Mustafa Luthfi Al-Manfaluthi ke dalam bahasa Arab berjudul Madjdulin (Magdalene: Di Bawah Pohon Tilla).

Dengan pembahasan kritik yang detail hingga kepada kalimat per kalimat, paragraf per paragraf, cerita per cerita oleh Abdullah Said Patmadji pada tahun 1962. Dilanjutan perbandingan dengan gambaran teks detail oleh Pramoedya Ananta Toer.

Namun, dibela oleh H.B. Jassin dalam tulisannya Apakah “Tenggelamnya Kapal Van der Wijck” Plagiat? (1967) yang mendudukan arti dari plagiat.

Pada Hamka ada pengaruh Al-Manfaluthi. Ada garis-garis persamaan tema, plot, dan buah pikiran, tapi jelas bahwa Hamka menimba dari sumber pengalaman hidup dan inspirasinya sendiri.” 

“Anasir pengalaman sendiri dan pengungkapan sendiri demikian kuat, hingga tak dapat orang bicara tentang jiplakan, kecuali kalau tiap hasil pengaruh mau dianggap jiplakan. Maka adalah terlalu gegabah untuk menuduh Hamka plagiat seperti meneriaki tukang copet di Senen.” Simpul H.B. Jassin.

Meme Hayati
Meme Hayati Lelah

Genderang perang sastra — dan dibumbui dengan aliran politik era pemerintahan demokrasi terpimpin- ini diulas secara lengkap dalam buku bertajuk Aku Mendakwa Hamka Plagiat: Skandal Sastra Indonesia 1962–1964 (2011).

Menarik jika ‘suasana’ ini dimasukan dalam film Buya Hamka (2023) Vol. I, II, III akan menjadi lebih kaya dalam sorotannya sebagai penulis sekaliber, namun sepertinya tidak ada — jika melihat cuplikan — , mungkin cakupan polemik sastra kurang menjual, ketimbang polemiknya dengan Soekarno.

Mungkin juga karena tuduhan terhadap Hamka yang sangat serius dikerjakan dan dibuktikan dengan detail, membuat posisinya dalam hal ini sangat lemah. Dibandingkan dengan tuduhan Soekarno, bahwa Hamka sebagai penghianat — yang jelas sebagai tuduhan politik.

Atau penulis naskah Buya Hamka (2023) beserta pihak-pihak yang terlibat tidak mengetahui keberadaan polemik sastra ini. Ah, yang ini kemungkinan kecil terjadi, terlebih jajaran pembuat film ini sekaliber dua produksi film besar di Indonesia, diisi orang-orang dengan yang tidak sembarangan.

Di balik plagiat atau tidak, terinspirasi oleh suatu karya atau tidak, itulah kekayaan dari kualitas sastra Indonesia, yang sulit ditemukan saat ini. 

Apalagi jika melihat kondisi penulis dan jurnalis sekaliber jadi, khususnya saat ini yang berafiliasi dengan komunitas Islam Populis saat ini macam Gelora.co yang hanya salin tempel tulisan, alih-alih menggambarkan teladan dan profesional media dan jurnalis yang berafiliasi dengan komunitas Islam Populis, malah sebaliknya, memuakkan.

Agenda ini memang disengaja dibantu oleh partai-partai yang berafiliasi dengan Islam Populis seperti yang diliput Tirto.id bertajuk Di Balik Situs Berita Hoax Cerita di Balik Situs Postmetro dan Seword (2019).

Hamka sedang Menulis
Hamka sedang Menulis

Islam Transnasional

Selanjutnya yang tertampar ialah Islam Transnasional, Islam yang menghamba akan solusi pasti cepat tepat akurat yaitu Khilafah atas semua negara-negara. Dalam adegan di film Buya Hamka Vol. I (2023) banyak sekali adegan yang menggambarkan nasionalisme salah satunya di cuplikan ialah ketika menolak kedatangan penjajah pada menit 1:12 dan menit 1:57, “Nasib kita, kitalah yang menentukan.” dan “Kita tunjukan siapa orang Minang sebenarnya.”

Sebagai pembaca biografi H.O.S Tjokroaminoto dalam buku Seri Tempo: Guru Para Pendiri Bangsa (2011), saya tahu betul bahwa kader (murid) Tjokro sudah pasti mewarisi cinta tanah air yang berawal dari gagasan Sosialisme Islam, yang pada saat itu dibawa oleh Hamka ke Minang. 

Sang Ratu Adil (sebutan untuk Tjokro kala itu) itu tak hanya berpengaruh terhadap tokoh politisi baik kanan — yang nantinya menjadi masyumi—, kiri — yang nantinya menjadi PKI —, maupun nasionalis — yang nantinya menjadi PNI — , tetapi juga kepada budayawan sekaligus ulama salah satunya Buya Hamka (walaupun natinya terafiliasi dengan Masyumi), memang benar-benar guru bangsa.

Dokumen Sejarah
H.O.S Tjokroaminoto (Dokumen Sejarah)

Menonton film Buya Hamka Vol. I (2023) sudah seperti suasana menjelang kemerdekaan, hampir setengah diisi doktrin cinta tanah air, tetapi tidak mengapa, sudah cukup jarang yang menghubungkan antara nasionalisme dan Islam dalam taraf yang patriotik, sebab habis sudah setelah Sang Pencerah (2010) dan Sang Kiai (2013)  — yang notabene ulama yang melahirkan organisasi sebagai anti-tesis ulama Islam Transnasional dan pelopor Indonesia juga— , film ulama yang benar-benar serius membangun masyarakat bangsanya, bukan ujuk-ujuk kampanye tentang Khilafah.

Bicara tentang Khilafah, baru sekali tokoh pergerakan sekaligus pengacara Front Pembela Islam (FPI) — yang juga mantan ketua YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia) — , Munarman ditangkap dan dihukum 4 tahun karena diduga menyaksikan baiat (pengakuan) kepada Hizbut Tahrir (HT) di Makassar. Walau masih diperdebatkan tetang status organisasi HT Indonesia (HTI) yang seharusnya dalam pembubarannya diadili — tidak ujuk-ujuk dibubarkan. 

Akan tetapi konsep HT sendiri masih tidak jelas, seperti apa sistem pemerintahannya? bagaimana konsepnya? mengapa negara-negara yang mayoritas Islam justru melarangnya? Hal itu abstrak perjuangannya, jika dibandingkan ulama yang tumbuh dari masyarakat, untuk melindungi tanah air tempat dia tinggal, sesederhana itu.

***

Namun secara film jika dibandingkan dengan film biopik dua ulama lainnya, masih lebih menarik Sang Pencerah (2010) dan Sang Kiai (2013), secara cerita, nilai, dan maksud lebih utuh disampaikan — walau kualitas produksi film dibawah Buya Hamka Vol. I(2023) — mungkin juga karena hanya volume pertama yang baru ditampilkan. 

Akan tetapi, itu menjadi kelemahan. Praktis, serba setengah-setengah, mau disorot dari sisi sastrawannya seorang Buya Hamka tetapi juga tidak menyeluruh, mau disorot perjuangannya juga tidak menyeluruh, mau disorot sosok keulamaannya juga tidak menyeluruh, alhasil penonton dipaksa menunggu untuk klimaksnya yang nanti akan ditayangkan.

Alhasil, film pertama belum benar-benar ‘wah’ dan akan berpikir kedua kalinya untuk menonton yang berikutnya — jika ada film yang lebih baik secara kualitas perfilman. Jika nanti Vol. II sepenayangan dengan film setan, jelas tidak perlu berpikir dua kali.

FilmAlurLokasiMusikAktingPesan
Sang Pencerah (2010)Maju (dari kecil hingga dewasa) menyorot perubahan budaya di kauman Yogyakarta: Jelas fokusnyaLatar Yogyakarta 1920an: sangat mendekati karena kondisinya tidak berbeda jauh dengan sekarangTerdapat lagu Lir-IlirTidak diragukanPerubahan budaya masyarakat
Sang Kiai (2013)Maju (ketika usia tua) menyorot perjuangan penjajahan jepang: Jelas fokusnyaLatar Jombang (Jawa Timur) 1940an: mengambil latar belakang kota tua di tempat lainnyaTerdapat lagu Bila Mati-Ungu (Namun tidak cocok)Tidak diragukanPerjuangan masyarakat untuk kemerdekaan
Buya Hamka I (2023)Maju (Dewasa) menyorot perjuangan penjajahan jepang: 50:50 (setengah) dengan kehidupan pribadi Buya Hamka sebagai suami, sebagai senulisLatar Makassar, Medan, Padang 1940an: membuat properti sendiri yang mendekati (mirip namun terlihat sekali tidak pas)Tidak ada lagu identitasTidak diragukanPerjuangan masyarakat untuk kemerdekaan? Edukasi poligami? Pencerdasan masyarakat melalui Pers?

***

Terlebih film ini juga tidak disertai lagu sebagai tanda bahwa film ini pernah ada. Ibarat kata, Ah, saya mendengar lagu ini teringat film Buya Hamka, itu tidak ada. 

Nyanyian Lir-Ilir (Abad Ke-16) — artinya bangunlah dalam bahasa Jawa — yang ditembangkan oleh Sunan Kalijaga, melekat sekali ke dalam Sang Pencerah (2010) setali dua temali dengan melekatnya kepada Cak Nun yang mempopulerkannya kembali. Lalu lagu Ungu dengan judul Bila Tiba (2013), saya tidak sengaja mendengarnya lalu saya teringat kepada suatu film, ternyata film Sang Kiai (2013).

Lagu atau musik dalam film menjadi sangat penting, dalam jurnal penelitian yang ditulis oleh Hery Supiarza berjudul Fungsi Musik di Dalam Film : Pertemuan Seni Visual dan Aural (2022), dia menyimpulkan bahwa peran musik memiliki peran penting dalam sebuah film. 

Pertama, mengintegrasikan (menyatukan) dunia bawah sadar penonton dengan melihat gambar. Kedua, mempengaruhi penonton dalam konteks ekspresi. Ketiga, memberikan pengetahuan perilaku penonton akibat dari mendengarkan musik. Kesimpulan yang menurut saya ada benarnya.

Meme Musik Rumi
Meme Musik Jalaludin Rumi (Sumber Gambar: @knowledgethatyouneed)

Secara teknis hampir tidak mungkin film yang menghabiskan 70 miliar ini melewatkan musik. Apa karena musik haram? Padahal menurut Fatwa MUI tertanggal 3 Desember 1983, dalam pertimbangannya musik (dan karya seni lainnya) boleh-boleh saja asal tidak melanggar dan bertentangan dengan ajaran Islam itu sendiri. 

Islam yang Merenggut Kemerdekaan

Dalam film juga terdapat adegan bahwa Hamka menolak secara konfrontatif — dalam cuplikan terbesit dalam (menit 1:18) —  dengan pihak penjajah Jepang terhadap cara mereka membatasi kegiatan-kegiatan muslim seperti beribadah, kemerdekaan pers, dan bahkan membunuh ulamanya.

Film ini menjadi tamparan keras sekali untuk mereka khususnya umat Muslim yang masih mencoba membatasi umat agama lain beribadah, kalian tidak kurangnya dari seorang penjajah layaknya Jepang kala itu. 

Bogor dan Cilegon adalah saksi bisu atas semua masalah yang terjadi saat ini. Yang telah diliput oleh BBC Indonesia dan Tirto.id dengan judul Gereja Yasmin Bogor: Kasus produk hukum intoleran ‘akan selesai’ tahun ini (2019) dan Tak Ada Gereja di Cilegon: Diskriminasi di Balik Topeng Pluralisme (2022). Atau kejadian baru-baru ini pelarangan ibadah Natal di Cilebut, Bogor.

Gereja Terbakar di Chile (AP Photo/Esteban Felix)

***

Merenggut kemerdekaan juga tak bisa lepas dari nasib penentuan sendiri, yang juga tergambar banyak di film ini, salah satunya menit 1:12, “Nasib kita, kitalah yang menentukan.” Mulai dari ketika awal penjajahan Jepang, hinggga masuknya Belanda saat agresi militer (secara singkat dalam Volume I).

Hal itu juga ditampilkan dengan semangat Hamka untuk mengagitasi masyarakatnya untuk memperjuangkan kemerdekaan. Dalam film Buya Hamka (2023) juga terdapat adegan yang menjabarkan mengapa penjajah ‘berkunjung’ ke negeri kita, tidak lain tidak bukan, mengeruk kekayaan.

Tetapi pertanyaan apakah Indonesia sudah mampu menjalani itu? Apakah di Indonesia sudah memfasilitasi untuk masyarakatnya untuk menentukan nasib sendiri? Apakah Indonesia bukan penjajah? Dengan mengirim bala tentara dengan segudang senjata, untuk melindungi pengerukan kekayaan-kekayaan di bumi milik masyarakat yang tinggal di sana?

Agaknya sedikit retroris, tetapi kenyataannya memang begitu. Kita belum sanggup menerima kenyataan, bahwa kita juga mengeruk kekayaan untuk elite-elite di Jakarta, dan meminggirkan masyaraka lokal yang tinggal di sekitarnya. 

Penelitian terbaru Kontras misalnya bertajuk Ekonomi-Politik Penempatan Militer di Papua (2021), dengan jelas menjabarkan bahwa ada elite tentara yang memang sengaja di tempatkan di Papua untuk melindungi entitas bisnis pertambangan. Lalu dari film ini kita membayangkan bagaimana jika terdapat tokoh agama dari Papua yang berani vokal seperti vokalnya Buya Hamka memperjuangkan Indonesia?

Ejawantah Kehidupan dan Pemikiran Buya Hamka

Membahas ketiga topik sebelumnya, tidak bisa dijauhkan dari tokoh sentral Buya Hamka. Pengejawantahan kehidupannya dalam film Buya Hamka Vol. 1 (2023) benar-benar kurang untuk orang awam yang asumsinya belum sama sekali membaca biografi sejarah Hamka  — karena mungkin masih volume pertama.

Adegan pertama disuguhkan ketika Buya Hamka di penjara lalu melompat ke masa lalu ketika menjadi pengurus Muhammadiyah di Makassar, lalu menjadi pemimpin redaksi di suatu koran di Medan, tanpa mengetahui sebab-sebabnya. Khususnya mengapa dia menjadi seorang pengurus Muhammadiyah Makassar? Mengapa dia punya latar belakang dan menjadi jurnalis? Mengapa dia menjadi pujangga?

Dan mungkin ini strategi bisnis, untuk menciptakan penasaran dan menonton ulang sebelum menonton volume berikutnya. Tapi apakah berhasil?

Akan tetapi secara budaya, Film Buya Hamka Vol. 1 (2023) benar-benar mengejawantahkan secara detail, mulai dari penggunaan bahasa minang, bahasa makassar, hingga logat jepang yang dibuat mendekati, hingga pakaian-pakaiannya. Walaupun ada beberapa sedikit kesalahan kecil seperti anak Buya Hamka ketika kecil atau staff media koran yang tidak fasih bahasa minang — terasa sekali dibuat-buat.

Untuk pengejawantahan pemikirannya juga benar-benar tersampaikan dengan baik, dari sisi keterbukaan terhadap budaya ala Buya Hamka, sisi kemodernan Islam ala Buya Hamka, sisi sufistik (hidup yang tidak mengejar duniawi saja) ala Buya Hamka. Tapi bersifat setengah jadi –alias setengah-setengah, tidak menyeluruh.

Ibarat ada benda untuk dilihat, pilihannya ada melihat keliling secara keseluruhan atau melihat pada satu sisi. Jika melihat secara keseluruhan, tentu kehilangan detail pada sisi. Jika melihat hanya detail satu sisi, tentu akan kehilangan penjelasan singkat sisi lainnya. Buya Hamka Vol. I (2023) memilih ‘jika’ yang pertama. Kebolongan dalam setiap sisi itu yang akan menjadi tanggungan penonton untuk mengenal sosok Hamka.

Film ini layak ditonton jika dibandingkan film setan lainnya —saat penayangan di Bioskop — , umumnya kehidupan ‘setan’ lebih laku dijual daripada ‘malaikat’ itu sendiri. Padahal film setan selama ini — terdekat sebelumnya dengan penonton terbanyak — tak jauh berbeda dengan sifat topiknya yaitu menipu, banyak yang absurd alias film jelek, tak jarang tak layak tonton.

Tapi jangan harap film Buya Hamka (2023) menjadi penyaing penonton film Setan dengan jumlah penonton terbanyak itu, jika masyarakat kita masih kurang kualitas manusianya yang masih suka dunia klenik dan hal-hal yang mistis tanpa penjelasan yang masuk akal, percayalah.

SutradaraFajar Bustomi
ProduserFrederica, H.B. Naveen, Chand Parwez Servia, Dallas Sinaga, dan Dewi Soemartojo
PenulisAlim Sudio dan Cassandra Massardi
Pemeran UtamaVino G. Bastian dan Laudya Cynthia Bella
Penata musikPurwacaraka
SinematograferIpung Rachmat Syaiful
PenyuntingRyan Purwoko
Pemilihan PemeranGilang Numerouno dan Nova Sarjono
Perusahaan
produksi
Falcon Pictures, Kharisma Star Vision Plus, Majelis Ulama Indonesia
Tanggal rilis19 April 2023 (Indonesia)
Durasi106 menit
Buya Hamka
Buya Hamka, Soekarno, dan Oei Tjeng Hien di Konsul Muhammadiyah Bengkulu (dokumen sejarah)
Adi Fauzanto
Diterbitkan: Kamis, 27 April 2023
Pukul: 15.30 WIB
Jurnalis: Adi Fauzanto
Daftar Bacaan:
• Roy Thaniago & Yovantra Arief. 2014. Perempuan Tanpa Otonomi. Penelitian RemotiviNarasi TV. 2021. Menguak Sisi Lain Mentoring Poligami Berbayar. Youtube, 16 NovemberDandhy Laksono & Ucok Suparta. 2019. Sexy Killer. WatchDocAdi Fauzanto. 2022. Perumahan Syariah di Kota Depok, Surga di Rumah atau Neraka Keberagaman. Kebijakan.co.id, 18 NovemberHery Supiarza. 2022. Fungsi Musik di Dalam Film : Pertemuan Seni Visual dan Aural. Jurnal Cinematology, Vol. 2 No.1Baitul Maal Hidayatullah. Mengupas Tuntas Besaran Tarif Penceramah di Indonesia! Berapa Kira-Kira Estimasinya?Haris Prabowo. 2022. Tak Ada Gereja di Cilegon: Diskriminasi di Balik Topeng Pluralisme. Tirto.id, 18 JuliBBC News Indonesia. 2019. Gereja Yasmin Bogor: Kasus produk hukum intoleran 'akan selesai' tahun ini. BBC News Indonesia, 14 Agustus.Fitria Chusna Farisa. 2022. Jejak Kasus Terorisme Munarman: Divonis 3 Tahun Penjara, Diperberat Jadi 4 Tahun. Kompas.com, 28 JuliOde Rakhman (dkk.). 2021. Ekonomi-Politik Penempatan Militer di Papua. Penelitian Kontras, AgustusTempo.co. 2022. Pelarangan Ibadah Natal di Cilebut, Pemerintah Dinilai Gagal Lindungi Hak Masyarakat. 28 DesemberBudi Setyarso. 2011. Seri Buku Tempo: Tjokroaminoto Guru Para Pendiri Bangsa. Jakarta: Penerbit Kepustakaan Populer Gramedia.STEKOM. Daftar Film Indonesia Terlaris Sepanjang MasaGarin Nugroho. 2015. Guru Bangsa: Tjokroaminoto. Film Produksi PicklockHanung Bramantyo. 2008. Ayat-Ayat Cinta. Film Produksi MD PicturesDeni Pusung. 2019. Ajari Aku Islam. Film Produksi RA PicturesHanung Bramantyo. 2010. Sang Pencerah. Film Produksi MVP PlusRako Prijanto. 2013. Sang Kiai. Film Produksi Rapi FilmsSunil Soraya. 2013. Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Film Produksi Soraya Intercine FilmsHamka. 1990. Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Jakarta: Penerbit Bulan-BintangUngu. 2013. Bila Tiba, Album Ruang Hati. Musik Produksi Suria RecordsSunan Kalijaga. Abad ke-16. Lir-IlirFatwa MUI. 1983. Nyanyian dengan Menggunakan Ayat-Ayat Suci Al-Quran. Narasi TV. 2023. Belajar dari Buya Hamka. Talkshow Mata NajwaMustafa Luthfi Al-Manfaluthi (penerj: Nursangadah). 2019.  Madjdulin (terjm: Magdalene: Di Bawah Pohon Tilla). Yogyakarta: Penerbit Spektrum Nusantara.H.B. Jassin. 1967. Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei I. Jakarta: Penerbit Gunung Agung.Muhidin M. Dahlan. 2011. Aku Mendakwa Hamka Plagiat. Yogyakarta: Penerbit Scripta Manent.Hamim Ilyas. 2021. Poligami dalam Perspektif Islam Berkemajuan. Suara Aisyiyah, 23 NovemberHamka. 2015. Tasawuf Modern. Jakarta: Penerbit RepublikaHamka. 1984. Falsafah Hidup. Jakarta: Penerbit PanjimasRejat Hidayat. 2016. Di Balik Situs Berita Hoax Cerita di Balik Situs Postmetro dan Seword. Tirto.id, 16 Desember
Liputan Mendalam

Film Dokumenter: Cerita, Sinema, dan Persona


Kebijakan.co.idLiputan Mendalam

Adi Fauzanto-25 April 2023 (18.00 WIB)-#3 Artikel

Read in English Language Version

Mengenal film dokumenter mulai dari sejarah, kegunaannya, jenis, hingga tahap pembuatannya. Selain itu, dalam membuat film dokumenter penting sekiranya memahami pendanaan, promosi, dan publikasi film dokumenter. Untuk mengenalnya lebih dalam, perlu sekiranya menonton beberapa film rekomendasi.

***

Baca Serial Liputannya Di Sini

Rekomendasi Film Dokumenter: Cerita, Sinema, dan Persona


Kebijakan.co.idLiputan Mendalam

Adi Fauzanto-25 April 2023 (18.00 WIB)-#12 Menit

Read in English Language Version

Baca tulisan liputan sebelumnya Film Dokumenter: Publikasi, Promosi, dan Pendanaan

Beberapa film dokumenter yang direkomendasikan oleh Kebijakan.co.id untuk ditonton.

***

Jakarta, Kebijakan.co.id — Dari beberapa film dokumenter yang Kebijakan.co.id tonton, dilihat dari kualitas penceritaan, filmografi, permasalahan, dan karakter (persona) yang kuat beberapa di antaranya dibahas secara singkat dalam bingkai cerita, sinema, dan persona.

Senyap / The Look of Silence (2015) karya Joshua Oppenheimer.

Dengan mengangkat cerita sejarah di balik peristiwa tahun 1965 di Indonesia yaitu pembantaian mereka yang dituduh komunis, tanpa diadili, dengan melibatkan negara, preman (freeman), dan komunitas agama. Dokumenter ini dibalut dengan perjalanan pencarian akan hal yang sangat pribadi, pencarian pembunuh sang Kakak.

Poster Film Senyap

Dari sisi sinematografi, pengambilan gambar sangat reflektif dengan alunan nada piano yang menyedihkan, dengan latar gambar yang menyeramkan menggambarkan keadaan ketika itu, dengan nada warna yang sedikit gelap.

Dari sisi karakter (pesona), film ini sangat otentik. Perjalanan subjek atas masalah pribadi yang penasaran dengan apa yang terjadi di masa lalu terhadap sang Kakak, membawanya ke beberapa tempat dan orang, mewawancarinya, bertanya tentang apa yang sebenarnya terjadi.

All That Breathes (2022) karya Shaunak Sen

Kedua, cerita dari India tentang bagaimana kedua orang, adik-kakak, yang membuat tempat konservasi untuk burung-burung karnivora seperti elang. Kegiatannya mengambil burung-burung yang sakit, lalu disembuhkan dengan cara operasi, lalu dirawat yang nantinya dilepasliarkan ketika sembuh.

Film All That Breathes Poster

Tidak hanya tentang konservasi, tetapi bagaimana menggambarkan keseimbangan alam, utamanya udara tempat semua mahluk hidup membutuhkan ruang hidup, dari tempat tinggal, bernapas, hingga cuaca. Dengan penceritaan sederhana akan tetapi begitu kuat, menjadikannya mendalam dan sangat reflektif. Disertai bumbu-bumbu masalah toleransi di India.

Secara sinematografi, pengambilan gambar yang sangat menawan, dengan latar gambar langit, burung, dan kota di India yang benar-benar menghipnotis penonton — walaupun sederhana seperti gambar burung, akan tetapi begitu menghipnotis. Selain itu, penempatan potongan video per video juga sangat tepat dalam film, itu juga yang menjadikan penonton terhipnotis. Seakan begitu sangat dekat berada di dalam film.

Dari sisi karakter, sang kakak dan adik ini begitu sangat kuat pendiriannya, walaupun pada awalnya kegiatan konservasi ini tidak menghasilkan — mereka mempunyai bengkel untuk mencari tambahan — akan tetapi mereka mencari sebuah makna bahwa burung — elang khususnya — mengajarkan mereka tentang kehidupan dan membuat mereka menjadi hidup.

The Elephant Whisperers (2022) karya Kartiki Gonsalves

Yang ketiga film dari India, sepasang suami-istri yang bekerja sebagai perawat gajah di salah satu taman nasional di India, mendapatkan tugas merawat gajah kecil yatim-piatu. Tidak semua perawat di sana bisa karena sulitnya merawat gajah kecil yatim-piatu, dengan kasih sayang yang begitu tulus merawatnya, mereka berhasil membesarkannya, hingga mendapatkan tugas kembali untuk merawat gajah kecil yatim-piatu lainnya.

The Elephant Whisperes

Di India (mungkin seluruh dunia), merekalah yang pertama yang berhasil merawat anak gajah yatim-piatu hingga besar, umumnya gajah dirawat oleh perawat ketika dia sudah besar, jadi tidak sulit untuk merawat, memberi makan, mengajarkan cara hidup, dan hal-hal lainnya.

Cerita sederhana tetapi begitu menyentuh, tentang merawat mahluk hidup dan binatang, disuguhkan dengan sinematografi alam yang begitu menawan ditambah alunan suara tenang yang enak didengar menjadikan film ini begitu komplit, walaupun ceritanya sederhana akan tetapi begitu dalam untuk konservasi.

Secara karakter, pasangan suami istri begitu personal merawat gajah kecil yatim piatu, karena mereka baru saja kehilangan anaknya sebelum merawat gajah kecil itu, mereka menggangap merawat gajah kecil tersebut, seperti merawat anaknya yang telah meninggal. Karena ketulusan inilah mereka berhasil dan yang menjadi pertama merawat gajah kecil yatim piatu.

My Octopus Teacher (2020) karya Craig Foster

Film selanjutnya ialah My Octopus Teacher. Sebuah film yang menggambarkan kehidupan dan segala seluk beluk tentang gurita kecil, dibalut dengan penceritaan yang apik begitu menarik dari subjek utama pemeran utama — yaitu orang yang bertemu dengan gurita kecil tersebut.

My Octopus Teacher

Segala bentuk kekaguman atas binatang pintar tersebut disampaikan oleh Sang Narator, menghabiskan 1 tahun penuh dengannya, mulai dari cara mendekati (berkenalan), ‘bermusuhan’, berburu, diburu, perkawinan, hingga kematian.

Secara cerita sebenarnya sangat sederhana, akan tetapi balutan bercerita secara mendalam yang begitu menarik, ditambah sinematografi yang apik. Mengambil gambar detail tentang kehidupan hutan bawah laut selama 1 tahun, memang harus dikerjakan oleh kameramen berpengalaman dan penyelam yang berpengalaman.

Dari sisi karakter Sang Narator, begitu sangat dekat personal, dia mendapatkan dirinya galau (ntah karena apa penyebabnya), lalu bertemu dengan hewan yang begitu ‘canggih’ Sang Gurita, mengobati kegalauannya dengan berteman, sekaligus belajar darinya, mencari seluk beluk kehidupannya.

Sang Narator lalu mengambil satu pelajaran yang didapat dari siklus pendek Sang Gurita Kecil, ia belajar bagaimana menyangai kehidupan, mulai dari keluarga hingga alam — yang dalam hal ini laut.

Seaspiracy (2021) karya Ali Tabrizi

Film selanjutnya masih tentang binatang dan lautan. Berkisah tentang seseorang yang dari kecil menyukai wahana hiburan lumba-lumba, dari situ dia menelusuri bagaimana bisa lumba-lumba itu bisa terdapat di sana, yang mengantar dia kepada negara dengan penangkapan lumba-lumba terbesar yaitu Jepang.

Seaspiracy Film Poster

Jepang menjadi pintu masuk untuk menelusuri dunia gelap ‘ekonomi’ laut. Mulai dari penangkapan hiu, paus, dan lumba-lumba untuk menguntungkan ‘ekonomi’ dari ikan tuna dan beberapa ikan lainnya yang merupakan rantai makanan dari binatang puncak rantai makanan seperti hiu, lumba-lumba, dan paus.

Praktik-praktik ini, disertai dengan praktik pengambilan ikan seperti pukat harimau yang merusak terumbu karang, dan beberapa pengakapan yang sia-sia seperti sirip hiu.

Ditambah menelusuri ‘aktivis lingkungan’ yang tidak bersuara dari pengangkapan besar-besaran, akan tetapi malah membicarakan tentang dampak plastik terhadap laut. Setelah ditelusuri lagi, ternyata pendonornya merupakan perusahaan penangkapan ikan. Dan menurut temuan, bahwa dampak plastik terhadap kotornya laut, tidak seberapa dibandingkan dengan dampak sampah pukat atau jaring dari pengambilan ikan secara besar-besaran.

Ditambah praktik ini, juga melibatkan perbudakan modern salah satunya terhadap pekerja Indonesia, dan beberapa dampak kemisikan di Afrika akibat ketiadaan ikan akibat pengangkapan besar-besaran.

Selain itu tercemarnya laut juga karena praktik medomestifikasi ikan di dalam jaring, mengakibatkan kotoran bercampur dengan kehidupan air di sekitar. Hal tersebut menyebabkan kualitas daging ikan yang tidak sehat.

Secara sinematografi, dengan pendekatan ‘jurnalisme investigatif’ yang sangat asik, dan penggambilan gambar dan latar tentang ikan dan lautan, menyajikan pemandangan biru yang apik. Disertai musik yang menegangkan untuk bagian tertentu dan nada alami khas lautan.

Secara karakter sang aktor utama jelas sangat kuat untuk mencari tahu di balik bisnis lautan ini, membuat film memiliki karakter yang kuat. Selain itu karakter juga memiliki keberanian untuk menyelundup hingga praktik-praktik yang dilakukan oleh aktor ekonomi lautan hingga sangat dekat. Tak jarang berusuan dengan pihak berwenang yang melindungi. Juga berkonfrontasi dengan aktor tertuduh di balik ekonomi lautan ini.

The Game Changers (2018) karya Louie Psihoyos

Dari beberapa film yang ada, inilah yang saya sukai. Menceritakan bagaimana kebangkitan seorang atlet MMA dan pelatih tentara USA yang cedera. Dari cedera tersebut, dia menyelidiki bagaimana agar cedera bisa cepat pulih, belajar bagaimana fisiologis tulang dan tubuh manusia.

The Game Changers

Dari situ dia menjelajah hingga belajar tentang Gladiator yang merupakan petarung pada abad pertengahan awal yang diketauhi merupakan memakan makanan berbasis sayuran dan kacang-kacangan (tumbuhan). Dari situ dia mempelajari atlet yang menggunakan metode makanan sejenis, mulai dari pelari, petarung, football, sepakbola, perenang, pesepeda, hingga pengangkat berat.

Selain itu juga menyelediki dampak kesehatan terhadap pemakan daging, terhadap darah tinggi dan lainnya. Hingga penyebab-penyebab dari industri daging yang merusak lingkungan, seperti pembukaan lahan.

Dari sisi sinematografi menghubungan antara bercerita secara personal, wawancara yang khas, disertai dengan sinematografi ala olahraga di setiap cabangnya. Ditambah gambaran tentang sains dan animasi yang berhubungan dengan kesehatan dan fisiologis tubuh.

Dalam penggambaran karakter, aktor utama begitu kuat untuk mencari tahu mempercepat kesembuhannya dari cedera, hingga merubah gaya hidup untuk kembali pulih. Menekankan bahwa dirinya serius terhadap gaya hidup pola makan berbasis tumbuhan. Ditambah ayahnya mengedap penyakit jantung akibat pola makan daging sedari kecil.

Stranger at The Gate (2022) karya Joshua Seftel

Film yang menceritakan tentang seorang veterang perang tentara marinir Amerika yang berperang di Afganistan melawan pemberontak muslim bersama Uni Soviet di tahun 1990. Setelah beberapa kasus, khususnya peristiwa 2001 di WTC memicu trauma atas muslim, hal ini disebabkan oleh pengalamannya berperang di Afganistan yang bisa disebut PTSD (gangguan pasca trauma).

Stranger at The Gate Film Poster

Hal ini menyebabkan dia merencanakan untuk mengebom muslim center di kotanya, akan tetapi setelah masuk dan melihat, tentara ini merasakan damainya muslim menyambut mereka. Akhirnya luluh untuk melakukan pemboman.

Secara sinematografi, mayoritas penggambaran wawancara tatap muka yang begitu orisinil dan menawan. Selain itu latar pengambilan yang begitu eksestik menggambarkan kondisi kota yang sepi. Dan beberapa gambaran masa lalu sang tentara yang begitu bahagia dengan anak dan istrinya, sebelum menderita PTSD. Betul-betul menggambarkan sebuah cerita yang utuh, dengan jatuh bangunnya sebuah manusia dengan PTSD-nya.

Sang tentara dan beberapa orang disekitarnya (utamanya anak) karakter yang sangat kuat. Sang keluarga yakin ayahnya adalah orang baik, dan mereka bersama menghadapi penyakit PTSD tersebut. Selain penggambaran komunitas muslim yang damai dengan kegiatan-kegiatannya dan sejarahnya yang juga menjadi korban akibat perang.

Sexy Killers (2019) karya Dandhy Laksono

Film dokumenter yang meliput penjuru daerah di Indonesia, khususnya yang terdampak PLTU, mulai dari kesehatan, ekonomi, masyarakat, politik, dan tentunya lingkungan.

Selain itu juga meliput proses dari hulu hingga hilir juga tak luput diliput, mulai dari penambangan batubara, distribusi batubara, hingga proses pembangkitan listriknya, menjadikan film ini komprehensif pembahasannya. Dua orang jurnalis memang sengaja berkeleling Indonesia untuk melihat langsung daerah-daerah yang terdampak PLTU. Mulai dari Jawa, Bali, Kalimantan, hingga Sulawesi.

Sexy Killer Film Poster

Secara sinematografi film ini begitu menawan, menggunakan alat rekam yang terbaru pada masanya, seperti Go Pro, Drone, dan Kamera dengan resolusi tinggi menghasilkan gambar dan latar gambar yang menawan.

Belum lagi soal suara atau lagu yang memang khusus diproduksi untuk film dokumenter ini, yang sangat tepat menggambarkan kondisi yang terjadi di lapangan. Dengan bantuan animasi dan grafis yang menunjang memberikan informasi tambahan yang penting. Dengan alur cerita yang naik-turun agar tidak membosankan, membuat dokumenter ini begitu sempurna.

Secara karakter dua jurnalis ini cukup kuat dalam hal ekonomi-politik (yang memang sebagai tugas jurnalis mengawasi kekuasaan), dengan bingkai ekonomi-politik inilah yang menjadikan film dokumenter ini berbeda dengan film dokumenter lingkungan lainnya — yang umumnya hanya menyatakan dampak. Tentu ini membutuhkan skill khusus seperti jurnalisme investigasi, yang juga 2 jurnalis ini ahli dalam hal tersebut.

Fire of Love (2022) karya Sara Dosa

Film dokumenter yang terakhir, ialah film yang menceritakan kisah perjalanan dua orang peneliti vulkanologi yang menjelajah dari gunung berapi ke gunung berapi. Meneliti dari batuan hingga seluk-beluk gunung berapi. Film dokumenter diambil dari berkas-berkas yang disimpan, keduanya meninggal dalam letusan gunung berapi di Jepang.

Tidak hanya soal gunung berapi, kisah ini juga perjalanan kisah seorang yang saling mecintai hingga akhir hayat yang berdedikasi untuk ilmu pengetahuan.

Fire of Love Poster Film

Indahnya pemandangan gunung tidak perlu dihiraukan lagi dalam kualitas sinematografi walaupun dokumen-dokumen dari tahun di bawah 2000-an. Dengan narator yang ulung dengan suara yang indah menjelaskan begitu detail perjalanan dua sejoli yang jatuh cinta akan api. Benar-benar menghipnotis semua penonton akan kegigihan, jatuh cinta, dan cerita-cerita di baliknya.

Karakter dua sejoli ini benar-benar menunjunkan keteguhan akan hal yang diminatinya, meneliti hingga harus ‘mengorbankan nyawa’. Dua sejoli ini benar-benar menginspirasi apa yang harusnya dilakukan oleh seorang ilmuwan.

***

Dari beberapa film yang Kebijakan.co.id tuliskan di atas, bisa disimpulkan bahwa benang merah, film tersebut dikatakan bagus ialah pertama dari kualitas penceritaan, kualitas penggambaran sinematografinya, hingga karakter yang kuat. Mereka harus disamakan, dalam arti tidak boleh timpang antara satu dengan lainnya.


Kebenaran membutuhkan wadah. Kejujuran membutuhkan suara. Kenyataan membutuhkan kamera. Film Dokumenter hadir untuk ketiganya.

Redaksi Kebijakan.co.id

Baca Serial Liputan Mendalam "Film Dokumenter: Cerita, Sinema, dan Persona" Lainnya:
•Film Dokumenter: Sejarah, Kegunaan, Jenis, dan Tahap PembuatanFilm Dokumenter: Publikasi, Promosi, dan PendanaanRekomendasi Film Dokumenter: Cerita, Sinema, dan Persona

Serial Liputan Mendalam ini dikerjakan independen oleh Kebijakan.co.id, untuk mendukung Liputan Mendalam ini tetap terus dikerjakan oleh Kebijakan.co.id, ayo dukung Kebijakan.co.id di sini.
Adi Fauzanto
Diterbitkan: Selasa, 25 April 2023
Pukul: 18.00 WIB
Jurnalis: Adi Fauzanto
Daftar Bacaan:
Liputan Mendalam

Film Mencuri Raden Saleh dan Penangkapan Pangeran Diponegoro


Kebijakan.co.idLiputan Mendalam

 Virta - 10 September 2022 (18.00 WIB)-#24 Paragraf

Sekilas Mencuri Raden Saleh

Depok, Kebijakan.co.id — Film yang disutradarai oleh Angga Dwimas Sasongko di bawah produksi Visinema Picture berdurasi 154 menit ini, mengambil konsep pencurian atau heist. Memadukan sejarah seni Indonesia, sisi gelap kekuasaan, dan aksi laga yang menegangkan dalam alur cerita maju.

Menceritakan seorang Pico (diperankan oleh Iqbaal Ramadhan) yang mempunyai seorang ayah (Dwi Sasono) yang sedang dipenjara akibat kasus perampokan di salah satu bank di Indonesia. Pico menginginkan ayahnya untuk ke luar dari penjara, namun ia harus membutuhkan uang sebesar 2 Miliar Rupiah.

Hal tersebut membuat Pico menggunakan segala cara untuk mendapatkan uang 2 M, salah satunya dengan mereplika lukisan Raden Saleh, yaitu Penangkapan Pangeran Diponegoro. Pico dibantu dengan teman-temannya Ucup (Angga Yunanda), Tuktuk (Ari Irham), dan Gofar (Umay Shahab) berhasil menyelesaikan lukisan tersebut.

Namun, ketika ingin menyerahkan lukisan tersebut, pihak pembeli lukisan itu (pihak kegita) menginginkan Pico untuk menukarkan lukisan tersebut dengan lukisan asli pada saat Pameran Nasional.

Kemudian, hal tersebut dipaksa Pico lakukan karena desakan yang mengancam keselamatan ayahnya. Dengan bantuan Sarah (Aghniny Haque) dan Fella (Rachel Amanda) kemudian ia menyanggupi penawaran tersebut. Tetapi pada hari penukaran hal-hal yang tidak sesuai rencana pun terjadi, yang membuat Tuktuk ditangkap polisi dan proses penukaran pun gagal, namun lukisan asli itu berhasil sampai di tangan pihak ketiga.

Hal ini membuat Pico gerah, lantaran selain ia gagal menukarkan, ia dan teman-temannya juga menjadi pihak pencarian Polisi. Tidak lama semenjak itu, tepat di hari ulang tahun pihak ketiga Pico dan teman-temannya berinisiatif untuk menukar kembali lukisan itu dan akhirnya berhasil.

Tentang Raden Saleh

Film Mencuri Raden Saleh, tidak bisa dilepaskan dari sosok Raden Saleh Syarif Bustaman alias Raden Saleh merupakan seorang keturunan bangsawan yang lahir pada Mei 1907 di Terboyo, Semarang, Jawa Tengah dan meninggal pada 23 April 1880 di Buitenzorg, Hindia Belanda. Ia lahir dari seorang ibu bernama Mas Adjeng Zarip Hoesen dan ayah bernama Sayyid Hoesen bin Alwi bin Awal bin Jahja.

Mengutip dari Galeri Nasional, awalnya bakat melukis Raden Saleh ditemukan oleh A.A.J Payen, seorang pelukis asal Belgia yang menetap di Jawa. Ia melanjutkan bakatnya dan berhasil menarik banyak penikmat karyanya.

Kemudian, semenjak saat itu ia dikenal sebagai seorang pelukis romantisme modern di Indonesia. Lukisannya yang terkenal yaitu lukisan ‘Penangkapan Pangeran Diponegoro.’ Tidak hanya itu, bakatnya diperkuat lagi oleh Prof. Reinward, seorang ahli seni lukis dan botani yang merupakan salah satu perancang Kebun Raya Bogor dan Gubernur Jenderal Van der Capellen.

Atas bantuan Gubernur Jenderal, Raden Saleh dikirim di Belanda untuk belajar melukis pada tahun 1930. Di sana, ia belajar untuk melukis sosok Cornelius Kruseman dan pada tahun 1840-an ia mendapat kesempatan untuk menggelar pameran lukisan pertamanya di Den Haag dan Amsterdam. Tidak hanya di Den Haag dan Amsterdam, ia juga sempat berkarya di Prancis pada tahun 1844 hingga 1851, kemudian ia kembali ke Hindia Belanda.

Penangkapan Pangeran Diponegoro
Penangkapan Pangeran Diponegoro (Karya Raden Saleh)

Sekilas Penangkapan Pangeran Diponegoro

Dari tangan kreatif Raden Saleh lah tergambar suasana penangkapan Pangeran Diponegoro oleh Pemerintah Hindia Belanda. Bendara Pangeran Harya Dipanegara atau biasa dikenal dengan Pangeran Diponegoro ditangkap oleh Belanda pada 28 Maret 1830. Belanda menangkap Pangeran Diponegoro dengan tujuan untuk memisahkannya dengan pengikut-pengikutnya.

Ia ditangkap di Magelang, Jawa Tengah dengan jebakan pertemuan berupa silaturahmi dan perundingan, dan bertepatan juga dengan hari Lebaran. Hal ini dilakukan secara licik agar Pangeran Diponegoro merasa tidak siap dan lengah, sehingga potensi untuk ditangkap lebih mudah.

Jebakan ini berhasil juga didukung dengan pada saat puasa, Belanda tidak melakukan gencatan senjata dalam bentuk apapun untuk mengganggu Pangeran Diponegoro dan Pasukannya yang sedang melaksanakan beribadah.

Hal ini juga didukung dengan jebakan yang telah dirancang secara detail termasuk kereta dan perlengkapan untuk membawa Diponegoro oleh Letnan Jenderal Hendrik Merkus de Kock. Pada saat hari penangkapan, Pangeran Diponegoro datang dengan pasukan yang seadanya tanpa persiapan lebih.

Strategi itulah yang membuat Diponegoro mudah untuk dijebak dan ditangkap. Keberhasilan inilah yang membuat Perang Jawa selama lima tahun berakhir. Perang Jawa inilah yang menyelaraskan gali, santri, jelata, dan ningrat dalam satu perjuangan. Tidak hanya itu, perang ini juga banyak menjatuhkan korban jiwa dan menghabiskan keuangan Belanda.

Mencuri Raden Saleh
Mencuri Raden Saleh (Karya Film Angga Dwimas Sasongko)

Menikmati Mencuri Raden Saleh

Film Mencuri Raden Saleh merupakan film aksi bernuansa sejarah yang dikemas menjadi film yang lebih mudah dipahami dan dimengerti. Film ini layak untuk dinikmati oleh masyarakat Indonesia, mengingat di dalam film tersebut tidak hanya hiburan saja yang disajikan, namun dari sisi nilai sejarah, seni, action semuanya terkandung di dalam film tersebut.

Terlebih kepada anak-anak muda dan generasi Z, secara tidak langsung film tersebut memberikan pencerdasan dari segi sejarah terutama bagian penculikan Pangeran Diponegoro, seni rupa dari lukisan Raden Saleh, hingga bagaimana rakus para penguasa di luar sana. Banyak nilai-nilai yang harus anak-anak muda ketahui, yang tidak semua orang dapat mengerti.  

Hal-hal yang dapat dipetik dari Film Mencuri Raden Saleh.

Pertama, Adanya bentuk perlawanan terhadap para elitis Perlawanan ini terlihat dari adanya dua sosok aktor dan satu buah objek yang dimainkan, yaitu pelukis, penguasa, dan lukisan. Bentuk perlawanan ini dapat kita lihat pada adegan kaum elitis mempergunakan kekuasaannya untuk menyiasati segala bentuk kepentingannya.

Hal ini dilakukan dengan melibatkan pihak ketiga sebagai penggerak para elitis untuk mencapai kepentingannya dengan memberikan penekanan secara emosional dan adanya upah uang dengan nominal yang besar. Dari film ini dapat kita lihat adanya bentuk perlawanan dari pihak ketiga kepada pihak elitis yang telah menggunakan mereka sebagai alat untuk mendapatkan tujuan mereka.

Kedua, Adanya pembelajaran sejarah kepada masyarakat Film Indonesia bergenre action dengan durasi 154 menit ini menyajikan bentuk film yang menegangkan dan pastinya membawa unsur nilai sejarah di dalamnya, terutama bagi kalangan anak muda dan generasi Z.

Utamanya, film ini membawa latar belakang cerita dan tokoh seni rupa terkemuka, yaitu Raden Saleh Syarif Bustaman yang menjadi salah satu nilai dari sejarah yang dibawa.

Ketiga, Memperlihatkan sudut pandang baru yaitu adanya penguasa memanfaatkan rakyat Film ini memperkenalkan kepada kita adanya sebuah pesan dan fakta dunia bahwasanya penguasa dapat menjadi aktor yang berbahaya bagi kita.

Apabila kita berkaca pada Film Mencuri Raden Saleh, di sini terlihat terdapat pihak ketiga yang dimanfaatkan oleh para elitis demi kepentingan mereka. Tidak selamanya pihak yang kita lihat sebagai kawan kita akan memperlakukan kita ideal seperti apa yang seharusnya.

Farahdila Virta Fauziah
Diterbitkan: Sabtu, 10 September 2022
Pukul: 18.00 WIB
Jurnalis: Farahdila Virta Fauziah
Editor: Adi Fauzanto
Daftar Bacaan:  
• Galeri Nasional Republik Indonesia
Liputan Mendalam