Kebijakan.co.id – Liputan Konstruktif
Adi Fauzanto-2 Agustus 2022 (14.00 WIB)-#16 Paragraf

Ada hal mendasar yang membedakan antara karya jurnalistik yang baik dan sebaliknya. Ialah verifikasi. Verifikasi bukan hanya untuk keberimbangan, tetapi juga keutuhan. Ada begitu banyak perspektif, tugas jurnalis adalah menampung dan membingkainya.
***
Tanggerang, Kebijakan.co.id – Era-digital, di mana data (informasi) bisa disebarkan hanya melalui gawai. Di balik kemudahan tersebut, ada yang memanfaatkannya untuk menyebarkan hal yang tidak sesuai, atau hal yang dianggap benar untuk kelompok atau pemahamannya. Ntah, kelompok politik, ekonomi, bahkan agama dan aliran-alirannya.
Kelompok-kelompok ini menciptakan polarisasi yang tinggi di masyarakat akibat informasi di dunia digital yang dikelola oleh mesin teknologi kecerdasan buatan (Artificial Intellegence), menyebabkan informasi yang diterima hanya di sekitar itu-itu saja atau orang yang diikutinya di media sosial.
Algoritma –instruksi bahasa komputasi– untuk menjalankan kecerdasaran buatan di media sosial ini, menurut Wenselaus Manggut (Ketua Umum AMSI 2010-2017), hanya menyuguhkan konten atau artikel untuk pembaca sesuai selera mereka -dilihat dari kebiasaan, pencarian, hobi, kesukaan, pekerjaan, dan aktivitas lainnya di media sosial tersebut. Misalnya, mereka tertarik membaca isu terorisme, maka yang keluar akan topik teroris melulu.
Di sinilah mengapa penting sebuah jurnalisme –yang berkualitas—di mana prinsip dasarnya ialah verifikasi. Yang bisa menangkap semua arah. Tanpa hal itu, jurnalisme hanya akan menjadi corong satu arah. Dan tidak bisa diuji kebenarannya, baik dua sisi, tiga sisi, ataupun banyak sisi lainnya.
Selain peran jurnalis, keterlibatan publik juga memainkan peran. Publik yang memiliki daya kritis yang tajam mampu memilah-memilih informasi yang sekiranya benar dan tidak, yang utuh dan tidak utuh, yang berkualitas atau yang tidak berkualitas.
Publik yang kritis harus didukung dengan, “Faktor literasi masyarakat dan juga interaksi lingkungan antara yang berbeda,” memainkan peran penting menurut Ratna Ariyanti dari Cek Fakta.com dalam Data & Computational Journalism Conference-Indonesia (DCJ-CI) hari ke-2 (28/7/2022). Keduanya berperan penting untuk membangun keutuhan informasi yang diterima, daya kritis, dan mampu menerima informasi atau perspektif dari yang berbeda.

Lagi-lagi faktor literasi masyarakat memainkan peran penting. Tetapi apa mungkin tingkat literasi tinggi di masyarakat masih terjadi adanya penebaran berita bohong. “Ada kemungkinan, yang terjadi di Amerika Serikat misalnya,” tambah Ratna. Faktor literasi masyarakat salah satunya ditentukan oleh Pendidikan, “Akan tetapi pendidikan saja tidak cukup, pendidikan yang seperti apa dulu?” sambung Ratna, “Jika yang tidak terdidik tidak memiliki rasa empati rasa kemanusiaan, ya susah.”

Selain faktor literasi masyarakat, adanya peristiwa juga dimanfaatkan penebar informasi bohong kepada publik –yang memiliki tingkat literasi rendah atau kelompok-kelompok yang hanya meyakini benar dalam satu cara pandang.
Misalnya, peristiwa Covid-19 yang meyakini teori konspirasi dan cenderung anti-sains –dalam hal ini ilmuwan virus— serta menggangap ada campur tangan politik penyebab dari virus tersebut tanpa ada verifikasi atau bukti yang mendukung, dan diyakini kelompoknya sehingga membuat cara pandang yang aneh.
Masalah tersebut berkelindan di tengah arus informasi yang cepat mengancam keutuhan masyarakat, apalagi nyawa manusia.
Jurnalis, publik yang kritis, dan kelompok peduli lainnya akhirnya banyak mendirikan wadah, untuk memberikan penjelasan terhadap informasi yang tidak utuh, atau bohong ini. Di antaranya CekFakta.com, Mafindo (Masyarakat Anti Fitnah Indonesia), termasuk Kementerian Informasi dan Informatika yang cukup rajin melabeli informasi bohong.
Seperti yang dikatakan Dedi Rianto dalam jurnal penelitiannya (2017), pencegahan dapat dilakukan dengan meningkatkan literasi masyarakat melalui pemerintah, tokoh masyarakat, dan komunitas.
Kedepan jika tahapan-tahapan tidak dijalankan –mulai dari verifikasi lapangan, verifikasi pihak-pihak terlibat, data-data yang ada, keterlibatan ahli, dan mencari bukti yang mendukung—hanya akan menjadi bumerang bagi kebebasan informasi. Khususnya bagi pemerintah –yang memiliki otoritas—yang terjadi adalah dominasi informasi, pembagian yang benar dan mana yang salah.
Apalagi yang mencap sama sekali tidak menunjukan transparansi tahapan atas pembuktian yang terjadi atau ditutup-tutupi lalu melabeli informasi bohong. Terlebih mereka diduga terlibat dalam informasi atau berita tersebut.
Dan, tentu tidak bisa mereka-mereka ‘hanya menjadi tukang sapu atas informasi bohong’. Harus juga ada yang mengedukasi agar tidak ada ‘sampah berserakan’ yaitu dengan peningkatan daya literasi dan berpikir kritis berdasarkan bukti. Atau setidaknya jangan fanatik terhadap satu orang, satu golongan, dan satu pemahaman.
Baca Serial Liputan Konstruktif "Jurnalisme Data, Cara Baru Ungkapkan Fakta Melalui Cerita" Lainnya: • Jurnalisme Data, Cara Baru Ungkapkan Fakta Melalui Cerita • Olah Data, Olah Rupa, dan Olah Kata untuk Asa Jurnalisme • Di Sekitar Berita Bohong


Diterbitkan: Selasa, 2 Agustus 2022 Pukul: 14.00 WIB Jurnalis: Adi Fauzanto
Daftar Bacaan: • Dedi Rianto. 2017. Perilaku Pengguna dan Informasi Hoax di Media Sosial. Jurnal Manajemen dan Kewirausahaan Vol. 5 No. 1 • Wenselaus Manggut. 2019. Meretas Kembali Jalan Jurnalisme di Era Digital. Jurnal Dewan Pers Edisi 20
