Film Dokumenter: Publikasi, Promosi, dan Pendanaan


Kebijakan.co.idLiputan Mendalam

Adi Fauzanto-25 April 2023 (18.00 WIB)-#12 Menit

Read in English Language Version

Baca tulisan liputan sebelumnya Film Dokumenter: Sejarah, Kegunaan, Jenis, dan Tahap Pembuatan

Dalam membuat film dokumenter penting sekiranya memahami pendanaan, promosi, dan publikasi film dokumenter. Lalu, bagaimana Film Dokumenter di publikasikan dan dipromosikan? Dan bagaimana Film Dokumenter bisa mendapatkan sumber pendanaan?

***

Jakarta, Kebijakan.co.idPublikasi Film Dokumenter. Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mempublikasikan film dokumenter, ibarat ‘banyak jalan menuju Roma’, ada beberapa pilihan dari yang perlu modal lebih hingga minim modal.

Pertama, melalui Bioskop, cara paling konvensional namun sudah teruji adalah dengan menayangkannya di bioskop-bioskop yang ada. Cara ini dilakukan mulai dari premier (penayangan pertama) hingga penayangan terakhir, akan tetapi ada biaya yang harus ditekan jika menggunakan metode ini. Namun cara ini dihitung mahal, karena harus menyewa studio bioskop, jika penontonnya banyak alhasil dapat diganti, jika sebaliknya maka harus menombok.

Selain cara bioskop konvensional, ada pula bioskop online seperti Netflix, HBO, Bioskop Online, dan lainnya yang memang sengajar dihadirkan sebagai jawaban atas ‘malas’ dan ‘mahal’nya bioskop konvensional. Akan tetapi, biaya yang harus dibayar ialah pembajakan yang efeknya film tersebut akan tersebar di Internet secara gratis pula.

Sumber: Cinemapoetika.com

Kedua, melalui Nonton Bareng. Cara nonton bareng atau biasa disebut dengan nobar ini, biasa dilakukan oleh WatchDoc seperti pada Ekspedisi Indonesia Biru dan beberapa komunitas film lokal di daerah-daerah. Dengan jaringannya di beberapa daerah, WatchDoc melakukan penawaran untuk melakukan nonton bareng dengan komunitasnya.

Nobar seperti ini, juga efektif dengan distribusi ‘dari mulut ke mulut’ yang lebih tepat sasaran. Metode ‘mulut ke mulut’ ini membuat branding WatchDoc di akar rumput semakin kuat dan meluas.

Menurut Ahsan Andrian yang merupakan praktisi pembuat film dalam tulisannya di Cinemapoetica.com, menjelaskan bahwa untuk membuat nonton bareng harus ada tiga faktor yang persiapkan secara benar hingga tak menggangu nonton bareng tersebut.

Pertama, kualitas materi film, di mana memperhatikan besaran ukuran file, hingga kualitas suara. Yang kedua, ialah kualitas tempat pemutaran, apakah di ruangan atau tempat terbuka, seperti apa pintu masuk dan keluarnya, posisi alat pemutarnya.

Dan yang ketiga, ialah kualitas alat pemutar, seperti laptop yang memang sudah dipersiapkan untuk tidak muncul notifikasi, pemutarnya yang tidak bermasalah, hingga layarnya yang harus disesuaikan.

Ketiga, melalui Festival Film. Salah satu menggaet penonton, khususnya secara internasional, terlebih mendapatkan prestasi atas film ialah dengan mengikutkan film tersebut kepada festival film.

Menurut Fanny Chotimah dalam wawancaranya dengan In-Docs, mengatakan, “Festival film menjadi bagian penting dalam distribusi (penyaluran)… untuk menemukan penontonnya secara internasional.”

Fanny Chotimah dalam Wawancaranya dengan In-Docs

Menurut Fanny tipsnya ialah, “Agar bisa tembus festival, kita (harus) rajin-rajin daftar.” Jikapun ditolak, “Sudah biasa. Jadi kalau ditolak ya bikin lagi.”

Tips lainnya datang dari Wregas Bhanuteja sutradara yang memenangi 4 piala citra –non dokumenter. Menurutnya dalam wawancara dengan Studio Antelope, untuk bisa masuk Festival Film khususnya yang internasional ialah, “Berkaryalah dengan hati Mu.”

Keempat, melalui Youtube. Selain itu, cara lainnya yang paling terakhir ialah dengan menguploadnya ke youtube yang bisa diakses semua orang.

Promosi Film Dokumenter

Promosi menjadi penting, sebab sayang seribu sayang jika film dokumenter sudah bagus namun yang menonton sangat sedikit, sehingga salah satu tujuan keberdampakan dari film atau dampak memberi tahu kepada publik dalam isi film tidak maksimal. Ada beberapa cara membuat promosi film dokumenter.

Pertama, melalui Media Sosial. Di tengah informasi beracun dan gak jelas bersliweran di media sosial, informasi dari film dokumenter tentu menjadi fatamorgana. Kecuali memang masyarakatnya dengan kualitas rendah, sehingga informasi mengenai film berkualitas, tidak menjadi makanan utama otak, akan tetapi informasi gak jelas dan beracun.

Strategi media sosial, bisa menggunakan dengan membuat akun tersendiri dengan judul film, dengan membahas seluk beluk atau di balik pembuatan film, cuplikan (trailer) dan sebagainya, sebagai informasi pengail untuk menonton film dokumenter utama.

Atau dengan menggunakan pemengaruh (influencer) yang benar-benar pemengaruh. Biasanya dijalankan oleh satu orang yang mempromosikan film dokumenter. Atau dengan kerjasama dengan akun media sosial yang suka membahas atau mereviu film, itu akan berpengaruh karena ceruk penontonnya jelas yang suka nonton film.

Kedua, melalui Pers atau Media Massa. Selanjutnya dengan Pers Rilis, dengan bantuan media massa. Di mana membuat konfrensi pers dengan mengundang jurnalis-jurnalis yang suka membahas atau mengulas film. Cara ini cukup efektif untuk orang-orang yang ingin benar-benar tahu isi film tersebut, karena terkadang media sosial terkenal racunnya jadi tidak ingin dibaca oleh yang benar-benar ingin menonton.

Selain itu Pers juga membantu untuk mengulas nilai-nilai dalam film tersebut, yang sangat bermanfaat untuk pengail penonton film dokumenter utama. Hal tersebut, bergantung kepada film dokumenternya, jika baik maka ulasannya baik, jika sebaliknya, ya terima saja. Karena jurnalis yang jujur akan mengulas apa adanya.

Ketiga, melalui Penghargaan. Promosi selanjutnya yaitu dengan penghargaan. Penghargaan bukan hanya untuk membuktikan film tersebut bagus atau tidak, akan tetapi juga sebagai ajang promosi bahwa film tersebut masuk ke dalam nominasi, daftar panjang, daftar pendek, hinga memenangkan penghargaan tersebut.

Hal tersebut tentu menjadi pengail yang sangat sulit dilakukan film lain, karena tentu tidak semua film dokumenter mendapatkan kesempatan itu. Dan penonton setidaknya ‘sudah’ terjamin akan menonton film yang bagus, walaupun terkadang selera penonton berbeda-beda.

Jokowi Menghadiri Festival Film Indonesia Tahun 2021
Jokowi menghadiri Festival Film Indonesia 2021 (Kris/Sekretariat Presiden RI)

Keempat, melalui Kontroversi. Film juga bisa dikenal masyarakat dengan tema atau topik yang kontroversial diangkat, seperti pengungkapkan sejarah atau pengungkapan kejahatan yang besar. Hal tersebut menjadi nilai tambah untuk dikenal masyarakat, dengan tujuan masyarakat menjadi penasaran.

Kelima, melalui Masyarakat (Komunitas). Selain itu, film dokumenter juga bisa dipromosikan kepada dan oleh masyarakat. Cara ‘dari mulut ke mulut’ adalah cara yang paling efektif untuk mempromosikan suatu barang, walaupun lambat, tapi inilah cara yang pasti.

Kesan baik dari portofolio sebelumnya atau film dokumenter yang sedang ditayangkan adalah kunci utama dari cara ‘mulut ke mulut’. Hampir sulit dibantah jika keduanya tidak memiliki kualitas.

Lainnya dengan cara masyarakat juga, membuat promo langsung turun ke masyarakat, dengan diskusi atau dengan mengadakan pertemuan-pertemuan, tentu ini tidak mudah, sebab masyarakat belum tentu mau mengikuti jika film dokumenternya tidak menarik.

Keenam, melalui Pendidikan (Sekolah, Kampus). Cara lainnya bekerjasama dengan lembaga pendidikan seperti sekolah dan kampus. Kerjasama tersebut dengan membuat promosi, atau memberikan akses untuk menonton film dokumenter, yang nantinya filmnya akan diulas dan dijadikan pembelajaran atau materi pelajaran. Sehingga dari lembaga pendidikan, akan menyebar terkait nilai atau cerita yang dibawa film dokumenter tersebut. Terlebih, jika menjadi inspirasi untuk tugas-tugas pelajar atau mahasiswanya.

Pendanaan Film Dokumenter

Pembuatan film dokumenter tidaklah mudah dan juga tidaklah murah. Perlu pendanaan awal untuk mempersiapkan film dokumenter, mulai dari alat, akomodasi, hingga sumber daya manusia, dan lainnya. Beberapa cara dilakukan oleh pembuat film dokumenter untuk mencari dana awal dan dana untuk keberlanjutan pembuatan film dokumenter selanjutnya.

Pertama, mencari dana melalui donor. Seperti yang dilakukan oleh Fanny Chotimah dengan karyanya You & 1 (2020) yang mendapatkan pengahargaan FFI tahun 2020 dalam kategori Film Dokumenter Panjang terbaik.

Film You & I mendapatkan donor (grant) dari DMZ Doc Fund pada tahun 2017, selanjutnya pada tahun 2018 juga mendapatkan donor dari Forum Pendanaan Akatara yang diselenggarakan oleh Badan Ekonomi Kreatif.

Selain dari donor -yang biasa mengajukan proposal- bisa juga melalui pitching forum atau pertemuan untuk mempresentasikan ide. Forum ini banyak dihadiri oleh industri film seperti rumah produksi, hingga media besar selain itu juga datang para pendonor baik dari lembaga independen maupun dari pemerintahan dalam dan luar negeri. Film You & I (2020) dalam hal ini mengikuti Pitching Forum Doc by The Sea.

Menurut Fanny dalam hal pendonoran dia menyarankan, “tipsnya rajin-rajin ke lembaga funding dan sering mengikuti pitching forum.” Selain itu, dalam hal mengikuti pitching forum menurut Fanny ialah, “membagi waktu yang tepat (untuk durasi film secara detail) dan juga mempresentasikan informasi (tentang ide, produksi, dsb terkait film) yang tepat pula.”

Serta mengkomunikasikan untuk, “bisa meyakinkan pihak-pihak yang berkepentingan akan relevansi dan urgensi dari project kita.”

Menurut Shalahuddin Siregar, seorang pembuat film salah satunya Negeri di Bawah Kabut (2011) & Pesantren (2019) menuturkan dalam tulisannya di Cinemapoetica.com, untuk menembus pasar internasional –baik itu penghargaan atau donor– dibutuhkan tiga elemen ini:

Pertama, kualitas produser yang mempunyai kemampuan bercerita dan topik atau tema yang baik. Kedua, cerita film yang tidak generik atau umum-umum saja. Ketiga, pengalaman dalam melakukan kerjasama internasional.

Untuk mengikuti forum pendanaan (pitching forum) internasional misalnya, Shalahuddin menyarankan harus mengenal karakter forum pendanaan, “TokyoDocs, misalnya, cenderung dekat dengan dokumenter untuk televisi, sementara IDFA Forum cenderung memilih dokumenter kreatif.”

Tips dari Shalahuddin lainnya untuk mengikuti forum pendanaan, “Pembuat film seringkali pitching dari satu forum ke forum yang lain untuk mencukupi jumlah dana yang dibutuhkan.” Tujuannya ialah, “dengan mendapatkan dana dari beberapa stasiun televisi dari negara yang berbeda, dengan mekanisme co-production (urun dana produksi).”

Selain tips di atas, tips lainnya yang lebih teknis datang dari Jason Iskandar pendiri Studio Antelope, menurutnya ada beberapa hal yang perlu dipersiapkan dalam proses pendanaan. Pertama, menjaga sikap dan komunikasi rencana film, “usahakan tidak terbata-bata.”. Kedua, berpakaian rapih.

Ketiga, menyiapkan presentasi kreatif atau creative deck. Dalam presentasi ini, coba jelaskan dengan sekomunikatif mungkin, siapa diri dan tim kalian, apa saja yang telah dikerjakan dan apa dampaknya, jelaskan film secara singkat dalam satu kalimat (masalah dan karakter) atau premis film, ceritakan alur film secara detail siapa saja yang diwawancara dan babak-babak dalam film, serta film statement atau pesan apa yang mau disampaikan dalam film dokumenter ini, “tentang visi-misi film tersebut.”.

Selanjutnya bisa tampilkan referensi karya yang menginspirasi film dokumenter tersebut, bisa berupa film sebelumnya, jurnal ilmiah, buku, lukisan, musik, fotografi, atau apapun yang menggambarkan dunia yang sekiranya ingin diwujudkan, “tujuannya untuk calon investor atau yang memberikan dana bisa menerka-nerka.”

Selain itu, desain grafis dari presentasi juga perlu diperhatikan agar menarik, seperti memperhatikan warna selaras, jenis font, dan gambar-gambar pendukung yang mewakili ‘jiwa’ film tersebut.

Keempat, menjabarkan kebutuhan dana atau budget, mulai dari development (pengembangan awal), pra-produksi, produksi, pasca produksi, distribusi, hingga promosi.

Kedua, melalui pendanaan tabungan Tabungan Pribadi. Salah satu contoh yang menggunakan tabungan pribadi, ialah yang dilakukan Dandhy Laksono ketika membuat film dokumenter Sexy Killer, sebagai salah satu film serial Ekspedisi Indonesia Biru.

Dalam wawancaranya dengan In-Docs mengatakan, “Saya menggunakan tabungan (pribadi) dan WatchDoc (perusahaan rintisan Dandhy) juga menggunakan tabungan (selama 5 tahun ke belakang).” Diketahui bahwa WatchDoc merupakan perusahaan rumah produksi video komersial untuk stasiun televisi dan lembaga-lembaga, dari selisih keuntungan rumah produksi tersebutlah ditabung untuk membiayai pembuatan film.

Dandhy Laksono dalam Wawancaranya dengan In-Docs

Menggunakan dana pribadi juga disampaikan oleh Mahatma Putra (Direktur Anatman Pictures) dalam kegiatan di @america. Menurutnya, dianalogikan, hari minggu videoin perkawinan, seninnya meliput yang kita inginkan.

Artinya, minggu bekerja untuk komersial seperti videografer sebuah kegiatan, seninnya bekerja sesuai dengan visi yang diinginkan. Hal yang seperti, yang bisa membuat karya kita menjadi bebas, tanpa diintervensi oleh pendonor, atau pihak-pihak lainnya. Salah satu hasilnya ialah Film Atas Nama Daun (2022), film yang menjelaskan sisi lain dari Ganja, yang masuk nominasi Festival Film Indonesia 2022 kategori Film Dokumenter Panjang.

Ketiga, mencari dana melalui Kerjasama. Kerjasama bisa dilakukan seperti yang dilakukan oleh WatchDoc dengan Kolaborasinya dengan berbagai pembuat film, periset, atau aktivis masyarakat di lapangan yang terdampak langsung. Beberapa film yang bekerjasama dengan pemerintahan, akan tetapi ide ini menyebabkan topik yang diangkat ‘harus selaras dengan pemerintah’.

Kerjasama juga bisa dilakukan dengan pihak Stasiun Televisi atau Rumah Produksi yang ikut urun dana sebagian dalam pembuatan film atau membeli lisensi film kita untuk ditampilkan di bioskop dan penayangan lainnya.

Tips kerjasama dengan TV atau Rumah Produksi, menurut Shalahuddin Siregar dalam tulisannya, “Sebelum mengirim proposal kepada mereka, wajib hukumnya untuk mengetahui program apa yang mereka pegang dan film seperti apa yang mereka cari. Jangan mengirim proposal secara sporadis (asal-asalan) kepada mereka.”

Keempat, mencari dana melalui Kompetisi dan Penghargaan. Selain itu, mengikuti kompetisi dan penghargaan festival film dokumenter juga merupakan salah satu untuk mendapatkan pemasukan dan tentu penghargaan.

Seperti pada kompetisi pada umumnya, mereka akan menyeleksi, jadi tetap pembuat film harus memiliki modal awal untuk membaut film. Hal tersebut yang membuatnya sangat sulit, dan memang harus benar-benar karya terbaik yang harus disiapkan. Serta harus rajin-rajin mengikuti kompetisi dan penghargaan, jika gagal, mencoba kembali.

Beberapa daftar penghargaan film dokumenter yang ada di Indonesia yang bisa diikuti untuk film dokumenter. Pertama, Festival Film Indonesia. Kedua, Festival Film Dokumenter Jogjakarta. Ketiga, Festival Film Dokumenter Solo. Keempat, Festival Film Internasional Bali Balinale. Kelima, Festival Film Malang. Keenam, Indonesia Raja. Ketujuh, Minikino Festival. Kedepalan, Begadang (salah satu sub penghargaan Minikino). Kedelapan, X-Press Indonesia. Kesembilan, Festival Film Lampung. Kesepuluh, Tebas Award. Kesebelas, Festival Film Papua. Terkahir, Festival Film Puskat.

Selain itu ada beberapa juga yang mungkin tidak tercatat. Misalnya kompetisi videografi yang memuat unsur film dokumenter, atau beberapa lomba di universitas.

Kelima, mencari dana melalui Iklan Langsung. Untuk iklan rasanya sangat sulit, karena hampir sulit membedakan antara film yang dibuat-buat dengan film dokumenter yang memang nyata adanya. Sebab, iklan biasanya mengharuskan film menarasikan produk yang diiklankan.

Akan tetapi, jika pihak pengiklan menyerahkan seluruh proses produksi tanpa ada titipan untuk menarasikan suatu produk, hal itu boleh saja dilakukan. Akan menjadi nilai tambah, jika mendukung produk tersebut.

Misal, tentang masalah pendidikan yang coba dinarasikan didukung oleh Kementerian Pendidikan atau perusahaan penyedia jasa pendidikan. Akan tetapi, yang perlu ditekankan ialah pada independensi pembuat film.


Kebenaran membutuhkan wadah. Kejujuran membutuhkan suara. Kenyataan membutuhkan kamera. Film Dokumenter hadir untuk ketiganya.

Redaksi Kebijakan.co.id

Baca Serial Liputan Mendalam "Film Dokumenter: Cerita, Sinema, dan Persona" Lainnya:
•Film Dokumenter: Sejarah, Kegunaan, Jenis, dan Tahap PembuatanFilm Dokumenter: Publikasi, Promosi, dan PendanaanRekomendasi Film Dokumenter: Cerita, Sinema, dan Persona

Serial Liputan Mendalam ini dikerjakan independen oleh Kebijakan.co.id, untuk mendukung Liputan Mendalam ini tetap terus dikerjakan oleh Kebijakan.co.id, ayo dukung Kebijakan.co.id di sini.
Adi Fauzanto
Diterbitkan: Selasa, 25 April 2023
Pukul: 18.00 WIB
Jurnalis: Adi Fauzanto
Daftar Bacaan:
• Ahsan Adrian. 2013. Mari Memutar Film!. Cinemapoetica.com, 25 DesemberShalahuddin Siregar. 2015. Rupa-Rupa Pendanaan Dokumenter. Cinemapoetica.com, 1 SeptemberIn-Docs Indonesia. 2020. Cerita Fanny Chotimah di Balik Layar YOU & I. Youtube.com, 15 NovemberIn-Docs Indonesia. 2020. Cerita Dandhy Laksono di Balik Layar SEXY KILLERS. Youtube.com, 16 NovemberStudio Antelope. 2019. Tips Lolos Pitching Film. Youtube.com, 14 Mei
Liputan Mendalam

Akal Bulus Pengembang Perumahan Syariah di Kota Depok


Kebijakan.co.idLiputan Konstruktif

Adi Fauzanto-18 Nov 2022 (18.00 WIB)-#54 Paragraf
Perumahan Syariah di Kota Depok

Fenomena perumahan syariah meruak ke pasar baru-baru ini. Terhitung semenjak kebangkitan ‘Islam Politik’ dan menjalar ke berbagai aspek, mini market syariah, hingga perumahan syariah.

Fenomena ini, ditangkap baik oleh pengusaha yang berhasil melihat pasar masyarakat islam yang gandrung akan merek syariah.

Beberapa menunjukan dampak pendek yang buruk, ketidaktepatan atau terjerat penipuan hanya karena ingin mendapatkan rumah bermerek syariah.

Dampak panjang, pengelompokan ini berpotensi menciptakan segregasi, terlebih jika ada situasi yang dapat memicunya, misal politik identititas. 

Dalam perspektif Islam, Al-Quran tidak pernah mengajarkan harus bertetangga muslim atau membuat kawasan khusus Muslim.

Dalam perspektif kebangsaan, sejarah mencatat hampir semua agama terlibat dalam kemerdekaan bangsa Indonesia, dan oleh karenanya bangsa ini didasarkan atas keberagaman.

Menarik dibahas, khususnya di Kota Depok, kota yang menurut Setara Institute tingkat tolerannya rendah, juga terjadi. Terlebih di bawah rezim penguasa yang merupakan ‘Partai Islam’ yaitu PKS.

***

Perumahan Syariah dan Cara Bayar Syariah

Depok, Kebijakan.co.id — Berbeda antara perumahan syariah atau islami dengan cara pembayaran atau metode syariah, seperti murabahah atau pembayaran langsung. Menurut Ade Supriatna, DPRD Kota Depok Fraksi PKS (Partai Keadilan Sejahtera) saat ditemui oleh Kebijakan.co.id (7/11/2022), perumahan ‘syariah’ dalam hal ini dibedakan menjadi 2.

“Pertama, terkait dengan proses jual belinya, ada yang mengklaim developer syariah, kemudian juga karena transaksinya menyesuaikan dengan hukum-hukum syariah.”

Lalu yang kedua, “Nah (jenis) developer yang ke dua memang dia bikin kawasan. Kawasan yang memang diperuntukan untuk muslim dengan nuansa-nuansa religi.”

Hal tersebut menurut Ade Supriatna, mengikut pasar permintaan yang mengingkan lingkungan islami, “Yang memang ternyata pasarnya ada gitu dan cukup banyak, makanya para pengusaha developer inikan ya namanya dagang gitukan, demand (permintaan)nya tinggi, makanya dia create gitu.”

Ade Supriatna (DPRD Kota Depok Fraksi PKS)
Ade Supriatna (DPRD Kota Depok Fraksi PKS) Sumber: RadarDepok.com

Memanfaatkan Ceruk Pasar Islami

Pasar atau ceruk islami dimanfaatkan oleh pengembang perumahan islami untuk meraih pembeli rumah dari ceruk pasar islami tadi. Walaupun secara ajaran Islam maupun etika kebangsaan, bertentangan. Selain itu, secara nilai-nilai Islam juga tidak memenuhi, di antaranya tidak ada masjid, hanya memperkaya simbol-simbol, dan cenderung sama dengan perumahan pada umumnya.

Menurut Abdul Rohim, Direktur Maarif Institute saat ditemui Kebijakan.co.id (31/10/2022), “Ya memang itu berlaku hukum pasar. Pasar itukan pragmatis ya, sesuai dengan demand kebutuhan masyarakat, ya.”

“Mereka (pengembang perumahan) melihat adanya demand (permintaan) pasar. Jadi kalau permintaan pasar itu tidak ada, pebisnis perumahan tidak mungkin kan membangun itu (perumahan syariah).”  

Abdul Rohim Ghozali (Direktur Eksekutif Maarif Institute)
Abdul Rohim Ghozali (Direktur Eksekutif Maarif Institute) Sumber: Media Indonesia

Abdul Rohim menyamakan dengan munculnya Bank-Bank Syariah –yang sebenarnya juga berasal dari Bank Konvensional yang merupakan Bank berdasarkan Riba—, “Sama dengan ketika muncul gerakan anti riba, maka Bank Syariah itu menjadi lahan bisnis dan bukan hanya mereka yang muslim, katakanlah semua Bank Konvesional karena ada tuntutan dari pasar maka membuka cabang syariahnya. Mungkin juga cluster-cluster (perumahan) syariah seperti itu.”

Abdul Rohim di akhir menekankan untuk mengedepankan etika, khususnya kepada pengusaha –yang utamanya muslim–, “Mestinya, bisnis itu kan tidak liberal dalam pengertian ‘bebas tanpa nilai’ hanya semata-mata berorientasi kepentingan keuntungan materil. Kalau mereka memegang etik, sebagai seorang muslim, maka etika yang dikembangkan etika yang diajarkan oleh Al-Quran dan Hadist, harus baik kepada tetangga.”

Ia menambahkan, “Dan jangan lupa Nabi dalam sejarahnya sebagai pedagang, yang memperdagangkan kekayaan istrinya Khadijah, ketika dia berdagang tidak pernah segregatif.”

“Jangan lupa Nabi dalam sejarahnya sebagai pedagang, yang memperdagangkan kekayaan istrinya Khadijah, ketika dia berdagang tidak pernah segregatif.”

Abdul Rohim Ghazali

Senada dengan Abdul Rohim, menurut Bro Icuk (35), Wakil Ketua DPC (Dewan Pimpinan Cabang) PSI (Partai Solidaritas Indonesia) Kota Depok saat ditemui Kebijakan.co.id (2/11/2022), menekankan, “Jadinya ya pasar (dan) pengusaha harusnya lebih aware.”

Yang dimaksud ialah, “Dalam artianih jadi pengusaha jangan terlalu pragmatis untuk mendapatkan keuntungan secepat-cepatnya dan sebesar-besarnya dari fenomena yang terjadi.”

Bro Icuk menyarankan pengusaha pengembang perumahan syariah, “Harusnya (pengusaha) juga lebih arif.”

Bro Icuk juga tidak menyalahkan para pengembang perumahan Islami yang pragmatis, “Kalau bilang disalahkan dari jalur hukum juga tidak salah, tetapi secara etika kita bernegara, etika bisnis, ini kayak menunggangi (dan) menggunakan kesempatan polarisasi yang dampaknya akan buruk kepada kehidupan berbangsa, tapi terus dijalankan oleh temen-temen pebisnis.”

Icuk Pramana Putra (Wakil Ketua DPC PSI Kota Depok)
Icuk Pramana Putra (Wakil Ketua DPC PSI Kota Depok) Sumber: JabarEkspres.com

Secara prinsip, etika bisnis dalam Islam menurut Sri Nawatmi dalam jurnalnya Etika Bisnis dalam Perspektif Islam terbagi menjadi 5: (1) Kesatuan, (2) Keseimbangan, (3) Kebebasan Berkehendak, (4) Tanggungjawab, (5) Kebenaran.

Dalam prinsip kesatuan misalnya. Menurut Sri, bisnis dalam Islam melihat keterpaduan atau kesatuan dalam hal ekonomi, sosial, budaya, dan agama. Misalnya tidak diskriminatif kepada seluruh pihak, tidak melanggar hukum agama, dan meninggalkan perbuatan yang tidak beretika.

Menjual Merek Islam

Pragmatisme itu lahir salah satunya dengan menjual merek Islam sebagai cap bahwa perumahan mereka merupakan perumahan syariah. Menurut Loepieanto (82), FKUB Kota Depok, yang sudah tinggal di Depok dari tahun 1992 saat ditemui Kebijakan.co.id (3/11/2022), mengatakan,Kalau di Depok ini ya dibangun perumahan syariah hanya merek saja.”

Selain itu juga menurut Ade Supriatna, melihat, “Kalau saya lihat ini fenomena bisnis Mas, artinya begini (misalkan) saya punya kawasan privat (sendiri) kan swasta ini tanah dia, saya hanya akan menjual kepada yang muslim.”

Sederhana ketika melihat jual-beli barang atau jasa pada umumnya, “Saya belum melihat negara ini bisa intervensi, kalau jual-belikan sesuai yang diinginkan ke duabelah pihak, (prinsip) ridho atau keleraan, kalau yang satu tidak mau menjual nggak bisa maksa, saya lihat juga memang keterbatasan tangan dari pemerintah nih gimana ngaturnya, karena kalau dari perizinan kan gaada sekarang dalam arti dia sama semua, inikan bahasa di pasar.”

Mendukung ungkapan Ade Supriatna bahwasannya negara belum bisa intervensi, dari sisi perizinan, sebenarnya tidak dibedakan antara perumahan syariah ataupun perumahan pada umumnya.

Jadi benar-benar pengembang perumahan syariah memanfaatkan Islam sebagai bahan jualannya. Menurut Meti, Dinas Perumahan Kota Depok saat ditemui Kebijakan.co.id (7/11/2022), “Kalau setahu saya, kayanya hanya label deh Mas. Kaya perumahan Mutiara Darrusalam, mungkin kalau secara nama, ‘oh perumahan Islami nih’ tetapi ngga tau islami atau ngganya ya.”

Loepianto (Sekertaris FKUB Kota Depok)
Loepianto (Sekertaris FKUB Kota Depok) Sumber: WartaAhmadiyah.org

Tidak ada Izin Khusus

Terkait izin tadi, Meti menjelaskan secara detail tahap-tahap perizinan pembangunan perumahan, lalu kebingungan ketika melihat munculnya perumahan syariah. Meti, “Sebenarnya yang saya mau tanyai malah gini, kriteria perumahan yang dianggap syariah itu apa? makanya saya baca ini kan. Kalau di kita setau saya di PTSP tidak ada pembedaan, perumahan umum (dan perumahan lainnya).”

Meti menekankan, “Ya tentunya kalau rumah tinggil izin, lebih dari 5 kapling itu udah dianggap perumahan, tanpa ada pembedaan syariah (dan) non syariah, begitu kalau di Depok ya.”

Lainnya Meti menduga bahwa perumahan syariah hanya berdasarkan nama saja, “Jadi kalau di sini itu, setau saya ya nggak ada (pembedaan). Mungkin dari nama doang kali ya. Untuk masuk ke dalamnya bukan ranahnya.”

Hal tersebut, didukung oleh pernyataan Supandi Syahrul (Ketua Dewan Pengurus Daerah Real Estat Indonesia Jawa Timur Komisariat Madura) dalam kolomnya Mangsa dan Modus Penipuan Properti Syariah di Detik.com, “Hingga saat ini, belum ada satu pun perusahaan real estate yang dinyatakan terdaftar sebagai developer atau pengembang syariah oleh MUI. Jadi, mereka menyebut dirinya developer syariah hanya akal bulus saja untuk mengelabui konsumen.”

Menurut Supandi, karena memang tidak ada perusahaan berbentuk syariah. Kecuali perusahaan mereka menyatakan penuh dalam AD/ART menggunakan metode pembayaran syariah dan diawasi oleh Dewan Pengawas Syariah layaknya Bank Syariah atau Asuransi Syariah.

Selain itu juga tidak adanya peraturan yang membatasi perumahan syariah ini, menurut Ade Supriatna, “Nah, kalau tempat tinggal memang belum –setau saya—belum ada peraturan perundangan yang mengatur, di mana harus tinggal, terus siapa saja yang tinggal di tempat itu, gitu, jadi masih diserahkan ke pasar intinya, gitukan.”

Karena tidak aturan yang mengaturnya, Ade Supriatna hanya memberikan saran kepada pengembang, “Karena belum ada juga cantolan Undang-Undang atau peraturan perundang-undangan yang bisa melarang ini kita hanya bisa (memberikan saran) kepada pengembang.”

Penyebabnya hanya memberikan saran, “Kita sih, kalau mendorong kebijakan publik yang dalam bentuk peraturan daerah tentu harus ada ‘tadi’ (merujuk pembahasan sebelumnya) cantolan peraturan perundang-undang di atasnya, yang mungkin itu baru bisa kita dorong ya.”

Gedung Pemerintah Kota Depok
Gedung Pemerintah Kota Depok

Kasus-Kasus Perumahan Syariah

Selain itu, urgensi perlunya ada intervensi negara terhadap perumahan syariah, adalah karena banyaknya korban yang sudah berjatuhan. Dari 5 kasus –yang kemungkinan jumlahnya melebihi ini— di antaranya PT Indo Tata Graha (2022); PT Wepro Citra Sentosa (2019); PT Fimadani Graha Mandiri (2021); PT ARM Cipta Mulia (2019); PT Cahaya Mentari Pratama (2020).

No.PengembangKorbanKerugianModus Utama
1.PT Indo Tata Graha805 MiliarMengatasnamakan Agama
2.PT Wepro Citra Sentosa  368040 MiliarHarga Murah dan Tanpa BI Checking
3.PT Fimadani Graha Mandiri155 MiliarTidak ada SOP dan perjanjian tidak di depan Notaris
4.PT ARM Cipta Mulia27023 MiliarTanpa BI Checking
5.PT Cahaya Mentari Pratama32 Orang3,4 MiliarTanah Fiktif
Sumber

Dari ke 5 kasus tersebut, total korban mencapai 4137 orang, dengan kerugian kurang lebih 76,4 Miliar Miliar. Kemungkinan besar masih ada banyak kasus yang belum dimasukan.

Dengan modus di antaranya: Pertama, Jelas mengatasnamakan Agama yaitu Islam; Kedua, Menggunakan simbol-simbol Agama yaitu Islam; Ketiga, Tanpa Riba (Tanpa Bunga Kredit); Keempat, Tanpa Bank Indonesia Checking; Kelima, Tanpa Sita; Keenam, Tanpa Denda; Ketujuh, Tanpa Uang Muka atau DP; Kedelapan, Perjanjian tidak di depan notaris; Kesembilan, Harganya murah atau tidak wajar; Kesepuluh, Kemudahan administrasi.

Dari kasus-kasus dan modus-modus tersebut, setidaknya calon konsumen –khususnya yang masih menginginkan cita-cita tinggal di lingkungan syariah— harus mempelajari modus tersebut.

Menurut Legowo Kusumonegoro (Presiden Direktur, PT Manulife Aset Manajemen Indonesia)  dalam acara Standard Chartered Academy for Media dilansir dari Republika.co.id, mengatakan calon pembeli atau investor harus memiliki sikap, “Sikap 80 persen tidak percaya, 10 persen takut, dan 5 persen siap ditipu.”

“Sikap 80 persen tidak percaya, 10 persen takut, dan 5 persen siap ditipu.”

Legowo Kusumonegoro

***

Sikap ketidakpercayaan, takut, dan siap ditipu tersebut harus disertai dengan:

Pertama, memastikan izin dan legalitas berupa Surat Keputusan Kementerian Hukum dan HAM (SK Kemenkumham) serta Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) atau Nomor Induk Berusaha (NIB), lalu melakukan verifikasi dokumen-dokumen tersebut, atau memastikan nama perusahaan pengembang tidak pernah bermasalah atas penipuan atau tindak pidana lainnya.

Kedua, surat kepemilikan tanah dan bangunan fisiknya, berupa akta notaris dan akta jual-beli dengan pemilik tanah sebelumnya, lalu melakukan verifikasi atas akta notaris atau jual-beli tersebut, dengan mendatangi notaris atau melakukan verifikasi kepada pemilik tanah sebelumnya.

Ketiga, melihat Izin Mendirikan Bangunan (IMB) yang dikeluarkan instansi resmi pemerintah daerah, yang dilakukan dengan bertanya legalitas dokumen IMB tersebut kepada Dinas Perumahan terkait.

Keempat, mencatat detail proses pembangunan dan dokumen-dokumen pembangunannya, seperti siapa penyedia jasa dan alat konstruksinya. Hal tersebut agar dapat dipastikan kepada jasa kontraktor nantinya, baik orang-orangnya dan kantornya.   

Kelima, melakukan pengecekan terhadap bank yang bekerjasama dengan pengembang tersebut berupa Perjanjian Kerjasama dengan Perbankan (PKS), baik cara pembayaran konvesional dengan bank-bank konvensional atau cara pembayaran syariah dengan bank-bank syariah seperti murabahah.

Keenam, untuk yang tidak menggunakan lembaga ketiga –dalam hal ini percaya terhadap adanya Riba– pastikan dalam setiap pembayaran sepeserpun, harus disertai bukti dan diperjanjikan di depan Notaris atau diatas materai dengan identitas lengkap. Hal tersebut dimaksudkan untuk keamanan. Jika tidak berani, maka patut dicurigai. Hal tersebut memang bertujuan –untuk pengembang licik—untuk menghindari Perbankan Syariah, lalu pengawasnya yaitu Otoritas Jasa Keuangan, dan izin-izin terkait di Dinas, seperti IMB, dan sebagainya.

Calon-Calon Korban Penipuan Rumah Syariah

Menurut Supandi Syahrul (Ketua DPD REI Jawa Timur Komisariat Madura) mengatakan dalam kolomnya Mangsa dan Modus Penipuan Properti Syariah di Detik.com, menurutnya korban penipuan tidak hanya calon pembeli (masyarakat umum) tetapi juga kepada:

Pertama, pemilik tanah. Pemilik tanah atau lahan biasanya petani atau pekebun yang biasanya tidak paham betul bisnis perumahan –apalagi bisnis perumahan syariah yang menabrak banyak aturan. Pemilik lahan tersebut diimingi-imingi lahan tersebut akan dibeli dan digunakan untuk perumahan. Hal tersebut ditunjukan untuk memastikan kepada calon pembeli kepastian lahan untuk dibangun perumahan. 

Kedua, pemilik modal. Umumnya pengembang perumahan syariah tidak memiliki modal awal yang cukup, untuk memenuhinya maka mereka mengajak kerjasama kepada pemilik modal. Dana tersebut tidaklah sedikit, biasanya digunakan untuk dana awal pembebasan lahan, pembangunan kantor, biaya karyawan, dan pemasaran.

Target pemilik modal tersebut –untuk pengembang yang nakal—mengincar para pemilik modal yang tidak mengerti betul bisnis perumahan syariah beserta hukum-hukum bisnis syariah. Tentu dengan iming-iming bagi hasil keuntungan yang besar dan janji surga.

***

Untuk mencegah terjadinya korban yang berjatuhan –terlebih segregasi–, baiknya semua pihak pengusaha, pembeli, pembuat aturan, dan masyarakat pada umumnya mempelajari dulu  konsep berusaha dan konsep hidup islami dengan seksama dan mendalam, agar kasus dan terlebih ‘ujung hidung’ perumahan khusus muslim tidak terlihat lagi.

*(26/11/2022): Ada perbaikan nama dari Meta menjadi Meti dari Dinas Perumahan Kota Depok dan tambahan keterangan waktu saat ditemui Kebijakan.co.id

Baca Serial Liputan Konstruktif "Perumahan Syariah di Kota Depok, Surga di Rumah atau Neraka Keberagaman" Lainnya:
•	Perumahan Syariah di Kota Depok, Surga di Rumah atau Neraka KeberagamanAkal Bulus Pengembang Perumahan Syariah di Kota DepokWawancara Mendalam tentang Perumahan Syariah di Kota Depok

Serial Liputan Konstruktif ini merupakan Program Fellowship Jurnalistik untuk Keberagaman dan Toleransi oleh Yayasan Satu Keadilan dan Search for Common Ground
Jurnalis Adi Fauzanto
Diterbitkan: Jumat, 18 November 2022
Pukul: 18.00 WIB
Jurnalis: Adi Fauzanto
Daftar Bacaan:  
• Supandi Syahrul. 2020. Mangsa dan Modus Penipuan Properti Syariah. Detik.com, 14 FebruariNashih. 2020. Masyarakat Diminta Tak Asal Tergiur Rumah Berkedok Syariah. Republika, 18 FebruariSri Nawatmi. 2010. Etika Bisnis dalam Perspektif Islam. Jurnal Fokus Ekonomi, Vol. 9 No. 1
Liputan Mendalam

Cerita Merintis Usaha


Kebijakan.co.idLiputan Konstruktif

Adi Fauzanto-20 Juni 2022 (16.37 WIB)-#2 Artikel
Cerita Merintis Usaha

***

Bekasi, Kebijakan.co.id — Cerita tentang mula-mula sebuah usaha diciptakan, membangun ide, menentukan target pasar, hingga menemukan kepercayaan baik sebagai brand atau merek juga kepercayaan terhadap konsumen. Dengan cerita-cerita yang tersedia, para perintis usaha baik yang sedang atau ingin membangun bisa belajar dari kisah tersebut.

***

Baca Liputannya Di Sini

Belajar Merintis Bisnis dari Saudagar Padang: Mulai dari Keresahan, Membangun Kepercayaan, hingga Personal Branding


Kebijakan.co.idCerita di Balik Liputan

Adi Fauzanto-1 April 2022 (13.41 WIB)-#24 Paragraf
Belajar Merintis Bisnis dari Saudagar Padang

***

Jakarta, Kebijakan.co.id — Menjelang setengah malam, tepatnya pukul sembilan malam hingga pukul sebelas. Ditemani semangkuk mie ayam dan es teh, saya bertemu dengan teman lama. Sederhana, sebuah janji saya untuk belajar dari seseorang yang memang sudah lama sekali menekuni bisnis, Cato namanya.

Dia membrand dirinya sendiri sedari dulu, sebagai Padang. Bukan bermaksud rasis menyinggung asal mula kampung halaman, tetapi dari situlah dia bangga atas kampung halaman. Bukan karena ingin merendahkan kampung halaman lain, tetapi ada karakteristik yang dibawanya, yaitu seorang pedagang atau businessman.

Tanda itu muncul ketika sering menawarkan sesuatu untuk dijual, ‘pelit’ untuk mengeluarkan uang untuk hal-hal yang tidak berguna, hingga karakter pedagang lainnya, mudah bergaul misalnya. Tanda itu disadari oleh Cato, dan dijadikan sebagai trademark atau tanda resmi atas dirinya.

Meneruskan brandnya sebagai saudagar (dibaca: pedagang) Padang. Cato meneruskan bisnis Ayah nya yaitu menjual Batu Alam. Jika kita melintasi Jalan Pulomas menuju Cawang di Jakarta, maka akan berjejer di pinggir jalan toko batu alam, salah satunya Si Kumbang Batu Alam. Selain itu, beberapa bisnis kecil lainnya seperti jasa pencucian sepatu.

Malam itu, dimulai ketika saya ingin bertanya kepada Cato mengenai branding dan seluk-beluknya. Kebetulan saya yang sedang merintis satu usaha media –juga think tank atau lembaga pemikir nantinya. Berteman dengan perintis usaha, seperti Cato misalnya, atau Rizky Sultan -yang sudah diceritakan melalui artikel Bertemu dengan Agensi Perusahaan (2021)– dapat dijadikan sebagai sahabat sekaligus mentor.    

Sederhananya percakapan panjang malam itu, berkaitan dengan merintis bisnis, sekaligus juga belajar menemukan diri kita sendiri. Pertama, mencari keresahan diri kita sendiri atau orang lain, untuk nantinya dijadikan model bisnis. Kedua, belajar membangun kepercayaan terhadap diri kita atas orang lain. Ketiga, menemukan brand atau tanda tersendiri atas diri kita sendiri.

Infografis Belajar Merintis Bisnis dari Saudagar Padang
Infografis/Belajar Merintis Bisnis dari Saudagar Padang

Menemukan Keresahan

Mula-mula Cato dengan sifat lucu dan jengkelinnya, membawa arah pembicaraan mulai dari politik, hingga kepada peristiwa-peristiwa terbaru.

Di tengah pembicaraan saya pun bertanya, “Gimana Cat? Untuk membangun sebuah branding.” Memang tujuan saya di malam itu, ingin belajar banyak dengan Cato yang sudah berbisnis sedari bangku SMP.

Tunggu Di. Sebelum memulai bisnis, lu udah tau belum keresahan lu?” Cato memulainya dengan berkata seperti itu. “Misal nih, waktu buka bisnis cuci sepatu, gua ngeliat orang lain termasuk gua sendiri males nyuci sepatu kalo lagi kotor.” –kebetulan Cato hobi dengan sepatu-sepatu bagus, dan tentu original.   

Tentu dalam model bisnis, di mana pemenuhan kebutuhan primer sudah terpenuhi, diperlukan model bisnis yang memiliki nilai tambah –nilai yang menjadi pembeda juga bermanfaat lebih untuk konsumen. Ide nilai tambah tersebut muncul salah satunya melalui keresahan pribadi. Tidak perlu ide besar, aktivitas sehari-hari juga dapat diwujudkan.

Seperti Nadiem Makarim pendiri Gojek. Wawancara dengannya tahun 2011, yang diabadikan oleh Pusat Data Tempo dalam Buku Nadiem Makarim: Pengagas Transportasi Online Indonesia (2019), menceritakan bahwa mobil dan supir pribadinya kurang efesien, tidak mampu menembus macetnya kota Jakarta.

Dari keresahan pribadi, dia juga banyak bertanya tentang keresahan tukang ojek. Di mana dalam sehari, hanya bisa mengangkut 4-5 penumpang, sebagian besar waktu dihabiskan untuk menunggu penumpang. Membantu adalah prinsip utama yang diajarkan Nono Anwar Makarim, sang ayah, yang juga aktivis era 65 dan pengacara. Terlebih menurutnya dapat memberikan sumbangsih untuk masyarakat Indonesia.

Catovil Almando
Sumber: Catovil Almando

Belajar Membangun Kepercayaan

Dari keresahan tadilah, dia masuk ke tahap yang lebih penting, ialah membangun kepercayaan. Setiap bisnis ialah membangun kepercayaan. Suatu produk atau nilai tukar sekalipun, tanpa kepercayaan di antara dua pihak, tidak akan terjadi pertukaran atau tidak akan terjadi transaksi.

Kepercayaan tidak mudah untuk dibuat. Cato memberikan permisalan pada dirinya, “Nah Lu kan tau Di, Gua udah mulai bisnis dari SMP, lanjut kuliah bisnis, dan sering upload di IG tentang Si Kumbang Batu Alam, itu emang sengaja buat branding.” Kepercayaan terhadap produk yang dijual atau jasa yang ditawarkan tidak muncul satu atau dua hari. “Jadi seengganya, itu membangun kepercayaan, kalo Gue serius untuk dagang ini dengan customer.” Tambah Cato.

Sebuah kepercayaan begitu abstrak –tidak dapat diwujudkan dalam bentuk fisik- tetapi begitu penting perannya dalam bisnis. Dalam Jurnal Penelitian berjudul Proses Pembentukan Kepercayaan Konsumen, oleh Reza dan Angels (2007). Kepercayaan diartikan sebagai sebuah objek intangible atau tidak berwujud yang bisa ditransfer atau dikirim oleh trustor (pemberi kepercayaan) kepada trustee (penerima kepercayaan).

Dalam proses pengiriman tersebut, terdapat kewajiban yang diberikan oleh penerima kepercayaan kepada pemberi kepercayaan atas hak-nya. Kewajiban tersebut mengandung tindakan -perusahaan jasa- atau sebuah barang –perusahaan produk- yang berpotensi menimbulkan resiko sebagai jasa atau kerusakan sebagai barang.

Kepercayaan lah yang dapat mengurangi resiko dalam proses tindakan jasa atau perasaan negatif lainnya sebelum membeli produk, sehingga transaksi tersebut dapat terjadi di antara dua pihak. Kedepan kepercayaan tersebut dapat membentuk sebuah loyalitas, misalnya transaksi berulang atau media promosi word of mouth atau mulut ke mulut.  

Membangun Personal Branding

Di akhir pembicaraan serius mengenai bisnis, sambil menghabiskan sisa es teh mie ayam, Cato memulai pembicaraan mengenai personal branding. “Karena tadi, Di. Gua sering upload tentang Si Kumbang Batu Alam. Pas orang inget batu alam atau pengen beli, jadi inget gua atau Si Kumbang Batu Alam.

Awalnya saya percaya dengan cara personal branding. Namun, makin ke sini, personal branding memiliki persoalan, flexing atau menyombongkan sesuatu misalnya. Tetapi menurut Cato, “Kita nggak bisa menolak itu.

Branding dikenal umumnya di Indonesia sebagai merek. Akan tetapi lebih dari itu pengertiannya, branding merupakan suatu cara untuk menunjukan –baik memperkenalkan atau mempromosikan– suatu produk atau perusahaan, sehingga nantinya menimbulkan suatu tanda atau label yang baik sesuai dengan keinginan.

Tujuannya agar produk tersebut laku atau dikenal masyarakat dengan kesan yang baik. Kedepan tanda atau label tersebut menjadi sebuah janji untuk masyarakat, untuk menguji apakah sesuai dengan tanda atau label yang selama ini ditunjukan.

Branding terdahulu memang menggunakan metode dengan menunjukan satu produk atau perusahaan produk tersebut, tetapi cara tersebut berkembang, dengan personal branding misalnya, “Kita lebih mengenal Steve Jobs daripada Apple-nya itu sendiri.” Dan mungkin cara lain akan berkembang ke depan. “Bisnis terus berubah, Di. Bisnis sekarang belum tentu sama dengan besok-besok.

Dalam Buku Branding itu Dipraktekin yang ditulis oleh Tim Wesfix (2017), untuk mempraktekan personal branding ada beberapa hal yang perlu diingat. Pertama, bidang apa yang menjadi spesialisasi anda. Kedua, atribut apa yang sering melekat pada diri anda. Ketiga, hal apa yang dipercaya oleh orang-orang terkait anda.

Keempat, rencana semacam apa yang ingin Anda kerjakan dalam hidup ini. Kelima, bagaimana anda ingin menampilkan diri Anda –baik di kehidupan maya atau kehidupan nyata. Terakhir Buku ini mengutip pendiri Amazon, Jeff Bezos, “A brand for a company is like a reputation for a person. You earn reputation by trying to do hard things well.”Brand untuk sebuah perusahaan seperti reputasi seseorang. Kamu mendapatkan sebuah reputasi dengan mencoba melakukan hal-hal yang sulit dengan baik. 

Adi Fauzanto
Diterbitkan: 1 April 2021 
Pukul: 13.41 WIB 
Pencerita: Adi Fauzanto 
Daftar Bacaan:
• Tim Wesfix. 2017. Branding itu “Dipraktekin”. Penerbit Grasindo: Jakarta Reza Ashari dan Angela Saskia. 2007. Proses Pembentukan Kepercayaan Konsumen: Studi Kasus pada Sebuah Usaha Kecil Menengah Percetakan di Bandung. Jurnal Manajemen Teknologi, Vol. 6, No. 2.
• Pusat Data dan Analisa Tempo. 2019. Nadiem Makarim: Penggagas Transportasi Online Indonesia. Tempo Publishing: Jakarta

Bertemu dengan Agensi Perusahaan


Kebijakan.co.idCerita Di Balik Liputan

Adi Fauzanto-21 Oktober 2022 (09.04 WIB)-#27 Paragraf
Bertemu dengan Agensi Perusahaan

Di akhir dia bilang “Kenapa ngga, lu berjalan bersamaan, di satu sisi lu bawa kulkas dengan dorongan kulkas, artinya lu gaharus ninggalin core bisnis lu, tetapi disatu sisi lu juga harus ngeliat pasar, biar tetap sustain.”

Bertemu dengan Agensi Perusahaan

***

Jakarta,Kebijakan.co.id Hari itu, tepatnya tanggal 30 Agustus, saya inisiatif untuk melakukan vaksin dikeluarahan, tepatnya di kelurahan Jatisari, Kota Bekasi. Menariknya dari dunia yang semakin digital, proses vaksinasi di tempat tersebut, belum tersentuh dunia digital satu pun.

Mulai dari pendaftaran berbentuk tulisan, pemanggilan menggunakan suara petugas keamanan, hingga kepada rekapitulasi data diri menggunakan kertas. Hal yang aneh di kota sebesar Bekasi, yang notabene berdekatan dengan ibu kota Jakarta.

Dari situ pun, saya banyak menyentil petugas-petugas, “Pak, kenapa tidak menggunakan pendaftaran melalui google form atau apa gitu?” hingga “Bu, ini data nya tidak menggunakan komputer?”. Saya juga bingung, rata-rata petugas pendataannya pun merupakan Millenial, di sekitaran umur 30.

Mungkin penyebab terbesarnya jumlah yang divaksin rata-rata berumuran 40 ke atas, yang masih belum paham penggunaan digital. Lalu pertanyaan selanjutnya, bagaimana kondisi dipelosok-pelosok Indonesia? Jika di Bekasi saja masih seperti ini.

Hasilnya pun, sertifikat vaksin yang disyaratkan pemerintah untuk terbebas pergi ke tempat publik menggunakan aplikasi Peduli Lindungi, telat muncul hingga sebulan lebih. Di kemudian hari pun, cara melapor sertifikat yak tak kunjung muncul, harus datang melalui kantor kelurahan terlebih dahulu, lalu dicetak bukti bahwa telah vaksin, bukan dengan komputasi atau apapun yang bersifat digital.


Di hari itu juga, setelah vaksin. Saya lanjut istirahat dan membeli kopi di warung sembari membaca-membaca. Dengan ide saya yang baru pulang ke Bekasi untuk bertemu teman lama sewaktu SMA, namanya Rizky Sultan Naufal, yang kebetulan memang mahir dalam hal bisnis. Kebetulan juga, ide tersebut bertemu dengan ide mendirikan sebuah media berbasiskan riset berorientasi kebijakan publik.

Setelahnya saya mengulik contact yang tidak lama saya sentuh, dan memulai sebuah pembicaraan yang terlihat serius bergaya resmi kantoran. Dilanjutkan dengan bercandaan khas teman sebaya. Setelahnya saya mengajak janji bertemu.

Sebelumnya saya tidak mengetahui perkembangan terakhir teman saya, terakhir saya mengetahui dia membuka bisnis kedai makanan di Rawamangun dengan daging sebagai menu utamanya. Setelahnya saya coba mengujunginya berbekal peta di Google, alhasil tempatnya pun kosong, nampaknya sudah tidak ada. Setelah bertemu nanti, diberitahukan alasan mengapa bisnis makanan potensial tersebut tidak lagi berjalan.

Saya pun datang mengujungi alamat yang teman saya kirim, setelah sampai saya datang disebuah rumah. Anehnya, ternyata itu bukan hanya sebuah rumah, ternyata merupakan sebuah kantor rumah. Ternyata dia membuka sebuah bisnis agensi. Sampai pada saat saya masuk, saya belum sadar, hingga kepada rekan bisnisnya disatu ruangan menyapa saya.

Saya yang belum melacak bisnis apa yang dilakukan teman saya, mencoba berpikir cepat dengan segala pengetahuan saya tentang bisnis agensi. Bodohnya, bisnis agensi yang saya ketahui berbasis ekonomi ialah hanya agensi mengenai suatu produk.

Berbincang lama, ternyata dia bilang bisnis agensi manajemen perusahaan, yang mengurusi perkembangan bisnis perusahaan, mulai dari perencanaan hingga langkah-langkah apa yang harus dijalankan perusahaan tersebut.

Lalu seketika saya ingat dengan artikel-artikel Ma Isa Lombu –yang juga alumni jauh dengan pecinta alam dengan saya dan teman saya. Dia banyak menulis tentang artikel-artikel bisnis –khususnya Start-Up atau perusahaan rintisan.

Sebab Bang Akew –sebutan akrab untuk Ma Isa Lombu- mengambil pendidikan tinggi ekonomi, serta banyak berkecimpung dalam dunia Start-UP. Misal dulu banyak dikenal Selasar.com, di baliknya terdapat salah satu pendirinya yaitu Bang Akew. Lalu, pada tahun-tahun setelahnya ketika Bukalapak sedang hype, dibaliknya terdapat Bang Akew yang berposisi sebagai Public Policy & Goverment Relation. Sekarang ketika sedang menjamur nya financial technology, Bang Akew sedang membawahi unit syariah Link Aja.  

Kembali lagi, saat saya masuk ke dalam ruangan teman saya, sekilas kami bercanda dan berkenalan dengan rekannya. Kami membicarakan kenangan mendaki gunung, dilanjutkan berbicara salah satu staff magang di sana yang juga merupakan teman lama ketika di SMA, juga tempat nongkrong bisnis salah satu teman lama ketika di SMA.

Pembicaraan selanjutnya saya mulai, dengan membicarakan ide besar saya membangun sebuah media seperti Kompas dan Tempo, lalu mencampurkan model bisnisnya dengan sebuah lembaga think-tank yang berbasiskan riset seperti CSIS di Amerika, Ecological Institute di Jerman, atau Indonesia Corruption Watch di Indonesia.

Berdasarkan yang saya ketahui, bahwa ayah dari teman saya mendirikan perusahaan yang merupakan agensi digital, salah satunya di sebuah media besar, sebut saja Pikiran Rakyat berbasis di Jogja. Dengan segala pengalaman lamanya di perusahaan besar multinasional yaitu Yamaha, yang berposisi di hubungan publik.

Dari situ saya usahakan untuk mendapatkan ilmu tambahan mengenai model bisnis, walaupun tidak dari orangnya langsung, tetapi melalui anaknya. Anaknya pun juga berpengalaman dalam bisnis, dari SMA dia membuka foto studio, juga melanjutkan studi di bidang bisnis, tentu tidak perlu diuji kemahirannya.     

Bertemu dengan Agensi Perusahaan

Di perbincangan bergaya konsultasi bisnis tidak resmi tersebut, ketika saya sedang asyik menjelaskan ide saya, lalu diberhentikan oleh teman saya. “Ini itu ide besar lu Di.” Kata teman saya. “Kenyataannya bisnis media digital yang gratis, menjual berita-berita receh.” Lanjut teman saya. “Media dan ide lu kalau jalan nggak akan bertahan lama, nggak akan laku, nggak dibutuhkan pasar, orang Indonesia kebanyakan suka dengan hal-hal receh, yang nggak suka ide lu, apalagi dengan riset dan sebagainya.” Lanjut sebelum menutup pembicaraan dia.

“Kenyataannya bisnis media digital yang gratis, menjual berita-berita receh”

Rizky Sultan

Lu harus tau Di, di banyak media mainstream, artikel yang laku disana itu ada dua, pertama berita tentang Sinetron dan Berita ngambil Bansos. Jadi elu harus tau target pasar Indonesia itu, rata-rata menyukai itu. Standar dan ide lu terlalu tinggi, itu bisa aja dilakuin, tapi kalau kualitas pendidikan masyarakat juga baik. Tutup teman saya.

Tetapi saya dengan keras kepala terus bertahan dengan ide tersebut. Teman saya memaklumi, karena pada awalnya dia juga berpikir seperti itu. “Iya Di, itu wajar aja, tetapi elu juga harus liat pasar, bukan selalu tentang ide besar lu.” Lalu dia pun mengajukan analogi membawa kulkas beserta dorongan kulkas secara bersamaan. “Begini Di, elu bisa kaya gini” Lalu dia menggambar dikertas.

Jadi bisnis yang hanya melihat pasar itu, seperti mendorong dorongan kulkas tanpa kulkasnya, mudah” Dia melanjutkan gambar disampingnya, “Kalau lu dorong kulkas tanpa dorongan kulkas, itu susah, macet, kaya model bisnis media mix think-tank lu berat, karena pasar ga butuh lu”. Diakhir dia bilang “Kenapa ngga, lu berjalan bersamaan, di satu sisi lu bawa kulkas dengan dorongan kulkas, artinya lu gaharus ninggalin core bisnis lu, tetapi disatu sisi lu juga harus ngeliat pasar, biar tetap sustain.

“Jadi bisnis yang hanya melihat pasar itu, seperti mendorong dorongan kulkas tanpa kulkasnya, mudah”….”kenapa ngga, lu berjalan bersamaan, disatu sisi lu bawa kulkas dengan dorongan kulkas… lu gaharus ninggalin core bisnis lu…”

Rizky Sultan

Hal itu pun seakan menonjok kepala saya. Bahwa bisnis di satu sisi, perlu melihat pasar, di satu sisi juga tidak bisa ke luar dari ide atau nilai di awal. Sesaat setelahnya saya teringat ketika membaca artikel Bang Akew yaitu Beyond Hustler, Hacker, and Hipster (2020).

Dalam artikel tersebut, seorang founder Start-Up, yang juga sebagai entrepreneur (pengusaha) harus juga sebagai value creator (pembentuk nilai), di samping memiliki kemampuan melihat target market dengan product market fit atau skema uji coba produk.

Umumnya founder Start-Up harus memiliki kemampuan hustler (marketer), hacker (tech skill), serta hipster (art designer), akan tetapi harus melampui itu, yaitu dengan skill planning, organizing, actuating, juga evaluating. Seakan-akan diamini oleh Eric Ries dalam bukunya The Lean StartUp (2018), bahwa dalam Start-Up, waktu paling banyak dibahabiskan ialah untuk memperbaiki produk, pemasaran, dan operasional.

Di akhir pembicaraan pun dengan teman saya, kita berbincang sedikit dengan berbicara mengenai bisnis makanan dia yang tidak berjalan. “Iya Di, gua salah milih temen bisnis, ternyata orang banyak dengan nama besar belum tentu sejalan, jadi bisnis itu penting banget untuk milih-milih partner.” Saya pun ngangguk. “Setiap kepala harus sejalan tujuannya, walaupun ada yang berbeda pikirannya, tetapi tujuannya harus sama. Ada yang ngegas-ada juga yang ngerem, ada punya ide besar juga ada juga yang melihat keadaan, tetapi semuanya harus satu tujuan, jangan berpecah-pecah.”    

Teman saya nyeletuk seperti ini ketika kita mulai angkat kaki dari kursi, “Di, gua pernah ditanya sama temen gua, dia bilang gini, mana bisnis yang tahun lalu lu omongin.” Mencontohkan temannya berbicara. “Jadi mau ngomongin bisnis dan modelnya apapun, tetapi ga dijalanin percuma. Lu perlu mikirin sampe mateng tetapi jangan lupa jalan. Tetapi jangan juga lu jalanin tanpa mikirin. Itu fungsi nya nge-gas, nge-rem tadi.

Seperti metode Lean StartUp ala Eric Ries, buat-ukur-pelajari. Membuat adalah menciptakan serta menjalankan ide, mengukur adalah mendata serta melihat perkembangan, yang terkahir adalah mempelajari ialah untuk mengevaluasi yang kemudian memutuskan untuk melanjutkan atau berinovasi kembali.  

Adi Fauzanto
Diterbitkan: 21 Oktober 2021   
Pencerita: Adi Fauzanto
Daftar Bacaan:  
• Eric Ries. 2014. The Lean StartUp. Penerbit Bentang Pusataka: JakartaMa Isa Lombu. 2020. Beyond Hustler, Hacker, and Hipster. Blog Medium