Kebijakan Inklusif Bank Indonesia di Kala Krisis


Kebijakan.co.idLiputan Konstruktif

Adi Fauzanto-15 Mei 2022 (13.55 WIB)-#37 Paragraf

Pandemi Covid-19 sudah berjalan 2 tahun lebih, setelah secara resmi diumumkan WHO (World Health Organization) pada 11 Maret 2020. Segala sektor terdampak, berusaha bangkit, khususnya ekonomi masyarakat. Negara hadir dengan berbagai kebijakan, utamanya berkaitan dengan ekonomi, dengan cakupan para pelaksana ekonomi, mulai dari swasta atau korporasi hingga UMKM (Usaha Mikro Kecil Menengah).

Untuk mengatasi krisis ekonomi, Program Pemulihan Ekonomi (PEN) dirancang dan dijalankan oleh para pemangku kepentingan. Mulai dari Presiden hingga Dinas-Dinas di daerah hingga kepada Pemerintahan Desa. Dirasakan oleh berbagai pihak, khususnya masyarakat dan sektor UMKM.

Tidak terkecuali, kebijakan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia, sebagai bank sentral yang bertanggungjawab secara luas kepentingan keuangan Negara.

Baik itu stabilitas nilai rupiah, stabilitas sistem keuangan, stabilitas serta pertumbuhan ekonomi secara makro (luas), meningkatkan akses ke dalam pasar keuangan, mengembangkan ekonomi keuangan syariah, hingga yang terbarukan turut andil dalam mengembangkan ekonomi keuangan digital atau pembayaran non-fisik.

“Dan tentu mengatasi dampak negatif dari Covid-19,” papar Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo (63) dalam video yang diunggah Bank Indonesia.

Stabilitas menjadi kunci dalam krisis ekonomi. Kebijakan yang inklusif –yang menyentuh berbagai pihak khususnya ekonomi skala kecil- menjadi pegangan untuk membantu pulihnya ekonomi masyarakat.

***

Gubernur Bank Indonesia
Dokumen Bank Indonesia

Jakarta, Kebijakan.co.id — Pasca krisis moneter tahun 1998 dan finansial global tahun 2007-2008, membuka tabir buruknya pengaturan serta pengawasan secara khusus kepada lembaga keuangan. Reformasi kelembagaan setelah krisis tersebut, menghasilkan beberapa lembaga, di antaranya OJK (Otoritas Jasa Keuangan).

Untuk mencegah terjadi nya bank-bank bermasalah, yang tercermin dari krisis tahun 1998. Atau kehati-kehatian bank atau lembaga keuangan lainnya dalam menghadapi krisis karena inflasi atau faktor krisis global ekonomi, yang tercemin dari krisis tahun 2007. 

Melahirkan OJK dengan tujuan mulia. Dengan membagi tugas dengan Bank Indonesia (BI), yang sebelumnya menjalankan pengaturan juga pengawasan terhadap seluruh aspek ekonomi makro hingga mikro –keuangan, perbankan, dan lainnya. Lahirnya OJK diperuntukan membawahi aspek ekonomi mikro –dari sinilah dikenal dengan namanya mikroprudensial.

Mikroprudensial sendiri diartikan sebagai fungsi OJK dalam membuat kebijakan –baik itu peraturan, dan pengawasan- untuk mencegah dan menghadapi krisis ekonomi –atau setidak-tidaknya mengurangi dampak resiko- yang terjadi dalam lingkup mikro, seperti lembaga perbankan, lembaga keuangan, pasar modal, hingga asuransi.     

Tentu dengan lahirnya OJK dengan lingkup mikroprudensialnya, BI fokus dengan aspek ekonomi makro atau lingkup ekonomi secara luas –dikenal juga dengan makroprudensial.

Tidak lagi mengatur dan mengawasi sektor lembaga keuangan –semisal perbankan dan pasar modal-akan tetapi lebih banyak menjaga –memantau sekaligus mencegah dari krisis- stabilitas nilai rupiah dengan kebijakan moneternya, stabilitas sistem keuangan, stabilitas pertumbuhan ekonomi, dan mengatur sekaligus mengawasi, serta mengembangkan sistem pembayaran –di mana sudah masuk era digital, ketika uang fisik tidak lagi menjadi nomor satu untuk sistem pembayaran.

Sedangkan fungsinya dalam makroprudensial, tercemin untuk membuat kebijakan –baik peraturan atau pengawasan- untuk mencegah dan bersiap –atau setidak-tidaknya mengurangi dampak resiko- jika terjadinya krisis ekonomi skala makro, baik dalam negeri atau luar negeri –ekonomi kawasan atau ekonomi satu negara- seperti krisis moneter, krisis finansial, hingga inflasi global.  

Dalam Buku Mengupas Kebijakan Makroprudensial yang diterbitkan Bank Indonesia (2016), diartikan sebagai kebijakan yang bertujuan untuk membatasi resiko dan biaya dari krisis sistemik. Definisi lainnya dari IMF (International Monetary Fund) yaitu kebijakan yang bertujuan memelihara stabilitas keuangan melalui pembatasan resiko sistemik.

Dengan pembagian tugas yang dirasa tepat, jika melihat perkembangan lembaga keuangan selain perbankan, merebaknya lembaga asuransi –juga asuransi digital-, hingga kepada lembaga pembiayaan yang merebak di era digital saat ini -disebut juga financial tehcnology. Bahkan munculnya bank digital –dibaca digital banking.

KRIS dan Sistem Pembayaran Inklusif

Tentu dalam perkembangan era digital, Bank Indonesia juga turut serta berperan sesuai dengan fungsinya yaitu makro atau secara luas. Salah satunya pembayaran digital.

Alat pembayaran digital yang berlaku secara nasional QRIS (Quick Response Indonesian Standard) -dibaca KRIS- adalah salah satu hasil dari kinerja Bank Indonesia terkait sistem pembayaran yang inklusif, yang efektif difungsikan 1 Januari 2020.    

Ntah, secara kebetulan, difungsikannya KRIS seiring muncul dengan adanya bencana nasional Covid-19. Yang mengharuskan pembatasan kontak fisik langsung, termasuk pembayaran menggunakan uang fisik yang ikut dibatasi.

Jika melihat krisis terdahulu –baik itu krisis tahun 1998 dan tahun 2007- akan menghasilkan inovasi terbaru, baik itu pengaturan atau lahirnya peraturan, lahirnya lembaga seperti OJK, hingga kepada etika –sebuah pedoman nilai atau sikap- lembaga keuangan seperti keterbukaan dan demokratis –untuk diawasi langsung oleh masyarakat. Sedangkan KRIS adalah inovasi sebelum krisis, seakan dapat memprediksi sesuatu.

Krisis tahun 2020 adalah krisis kesehatan dan ekonomi. Berbeda dengan krisis tahun 1998 dan tahun 2007-2008, di mana sektor ritel –penjualan secara langsung- kebutuhan masyarakat tidak terdampak parah, hanya perusahaan dan industri besar yang terdampak parah.

Akan tetapi, pada krisis tahun 2020 sektor ritel kebutuhan masyarakat, juga ikut terdampak parah, karena pembatasan fisik. Hulu hingga hilir.

Pedagang sektor kecil -dibaca ultra mikro- bingung, jika diperbolehkan berjualan dengan protokol kesehatan akan tetapi tidak boleh bersentuhan secara fisik –baik komunikasi dan alat pembayarannya. Maka dari itu, hampir seluruh pedagang kecil, terbantu dengan adanya sistem pembayaran KRIS tersebut.

Hal tersebut, salah satu gambaran dari adanya kebijakan Bank Indonesia yang inklusif -menyentuh seluruh pihak- termasuk UMKM, yang memiliki peran signifikan dalam perekonomian Indonesia.

UMKM dan Pembiayaan Inklusif

Terlebih secara khusus Bank Indonesia, mengeluarkan aturan terkait Makroprudensial atau kehati-hatian dalam menghadapi krisis untuk sektor UMKM –termasuk perorangan berpenghasilan rendah dan pembiayaan rumah sederhana- melalui Rasio Pembiayaan Inklusif Makroprudensial (RPIM) oleh bank –baik konvensional atau syariah- yang tidak bermasalah atau tidak dalam pengawasan OJK.

Melalui Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 16/13/PBI/2021. Yang efektif berjalan 31 Agustus 2021. Disempurnakan melalui PBI No. 24/3/PBI/2022. Efektif berlaku 22 Februari 2022

Di mana BI mewajibkan pemenuhan RPIM –rasio porsi pendanaan inklusif oleh bank- yang dijalankan oleh bank disertai dengan pertanggungjawaban dan sanksi jika tidak menjalani pemenuhan tersebut.

Pemenuhan RPIM, dilakukan bank dengan cara memberikan kredit atau pembiayaan langsung, melalui rantai pasok, melalui jasa keuangan, melalui badan usaha, atau jika tidak, bank dapat melakukan pembelian Surat Berharga Pembiayaan Inklusif (SBPI). 

Pemenuhan RPIM, dilakukan secara periodik tahunan. Dilakukan setiap periode akhir Desember, dimulai dari Desember 2022. Untuk target pemenuhan RPIM, disesuaikan dengan keahlian dan model bisnis bank itu sendiri melalui Rencana Bisnis Bank (RBB).

Target pemenuhan tersebut, diharuskan meningkat dari periode tahun sebelumnya. Dengan angka maksimal pemenuhan target mencapai 30 persen.

Untuk mengetahui pemenuhan tersebut BI mendapatkan laporan dari LBUT (Laporan Bank Umum Terintegrasi) yang disetorkan oleh setiap bank atau menyampaikan secara langsung untuk periode Desember 2022.

Yang nantinya akan dipublikasikan oleh Bank Indonesia melalui kanalnya terkait pemenuhan RPIM tersebut kepada publik, baik pemenuhan RPIM oleh bank yang berdiri sendiri atau RPIM secara keseluruhan oleh lembaga perbankan.

Selain itu, bank diwajiban memenuhi Giro -simpanan nasabah- RPIM, jika tidak dapat memenuhi target RPIM dan pembiayaan kurang dari 30 persen RPIM. Kewajiban pemenuhan Giro RPIM dimulai sejak periode Desember 2024.

Serta menghentikan kewajiban Giro RPIM untuk bank yang tahun berikutnya mencapai target pemenuhan RPIM berdasar penetapan target tahun sebelumnya.

Jika tidak dapat melakukan pemenuhan RPIM dalam periode tertentu. Bank mendapatkan teguran tertulis oleh BI dimulai sejak periode Desember 2024 dan kewajiban pembayaran bagi bank yang tidak melakukan pemenuhan Giro RPIM, paling banyak 5 Miliar -hal tersebut dikecualikan bagi bank dengan kondisi tertentu sesuai rekomendasi OJK.

Sanksi terakhir, jika terlambat dalam memberikan laporan terkait pemenuhan RPIM oleh bank, baik kepada BI secara langsung atau LBUT.   

Meski terdapat kritik atas tumpang tindih kewenangan antara BI dan OJK, yang diutarakan Fathya Nirmala, peneliti CORE (Center of Reform on Economics). Yaitu dengan mengintervensi pelaksanaan -hingga sanksi- kepada bank dalam pemenuhan RPIM oleh Bank Indonesia. 

Akan tetapi dari hal tersebut, menunjukan adanya inklusifitas kebijakan yang menjaga stabilitas keuangan oleh Bank Indonesia –yang menyasar seluruh pihak tidak terkecuali UMKM yang terdampak pandemi dengan resiko yang besar dan berusaha untuk pulih kembali.

Apalagi jika melihat potensi pembiayaan ke sektor UMKM mencapai 1.605 Triliun Rupiah menurut catatan BI, yang disampaikan Ardhineus, analis senior di Bank Indonesia. 1065 Triliun tersebut, meliputi usaha mikro sebesar 331 Triliun, menengah 740 Triliun, dan usaha kecil 543 Triliun.

Baca Serial Liputan Konstruktif "Pemulihan Ekonomi 2022, UMKM, dan Kebijakan Inklusif Bank Indonesia" Lainnya:
•	Kisah Awal Pandemi dan Krisis EkonomiKebijakan Inklusif Bank Indonesia di Kala KrisisJurus Pemulihan Ekonomi ala Pemerintah
Diterbitkan: 15 Mei 2022
Pukul: 13.55 WIB
Jurnalis: Adi Fauzanto  
Daftar Bacaan:      
• Bank Indonesia. 2016. Mengupas Kebijakan Makroprudensial. 
• Ardhineus. 2022. Arah Kebijakan Makroprudensial. Kolom Harian Kompas, 12 Januari
• Fathya Nirmala. 2021. Menata Batas Kewenangan Makroprudensial. Kolom Detik.com, 29 Desember
• Pers Rilis Bank Indonesia. 2019. Bank Indonesia Terbitkan Ketentuan Pelaksanaan QRIS 
• Peraturan Bank Indonesia No. 23/13/PBI/2021
• Peraturan Bank Indonesia No. 24/3/PBI/2020 

Pemulihan Ekonomi 2022, UMKM, dan Kebijakan Inklusif Bank Indonesia


Kebijakan.co.idLiputan Konstruktif

Adi Fauzanto-15 Juli 2022 (13.49 WIB)-#3 Artikel

***

Jakarta, Kebijakan.co.id — Pandemi Covid-19 sudah berjalan 2 tahun lebih, setelah secara resmi diumumkan WHO (World Health Organization) pada 11 Maret 2020. Segala sektor terdampak, berusaha bangkit, khususnya ekonomi masyarakat. Negara hadir dengan berbagai kebijakan, utamanya berkaitan dengan ekonomi, dengan cakupan para pelaksana ekonomi, mulai dari swasta atau korporasi hingga UMKM (Usaha Mikro Kecil Menengah).

Untuk mengatasi krisis ekonomi, Program Pemulihan Ekonomi (PEN) dirancang dan dijalankan oleh para pemangku kepentingan. Mulai dari Presiden hingga Dinas-Dinas di daerah hingga kepada pemerintahan desa. Dirasakan oleh berbagai pihak, khususnya masyarakat dan sektor UMKM.

Tidak terkecuali, kebijakan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia, sebagai bank sentral yang bertanggungjawab secara luas kepentingan keuangan Negara.

Baik itu stabilitas nilai rupiah, stabilitas sistem keuangan, stabilitas serta pertumbuhan ekonomi secara makro (luas), meningkatkan akses ke dalam pasar keuangan, mengembangkan ekonomi keuangan syariah, hingga yang terbarukan turut andil dalam mengembangkan ekonomi keuangan digital atau pembayaran non-fisik.

Dan tentu mengatasi dampak negatif dari Covid-19,” papar Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo (63) dalam video yang diunggah Bank Indonesia.

Stabilitas menjadi kunci dalam krisis ekonomi. Kebijakan yang inklusif –yang menyentuh berbagai pihak khususnya ekonomi skala kecil- menjadi pegangan untuk membantu pulihnya ekonomi masyarakat.

***

Baca Serial Liputannya Di Sini