HUT AJI Ke-28 di Antara Ancaman Digital dan Kekuasaan Oligarki


Kebijakan.co.idLiputan Advokatif

Adi Fauzanto-8 Agustus 2022 (06.00 WIB)-#2 Artikel
HUT AJI Ke-28

AJI lahir dari kecelakaan sejarah atas buruknya kekuasaan memandang kebebasan Pers di Indonesia. Kini, AJI terus hadir sebagai wadah untuk melindungi jurnalis-jurnalis yang tidak mau disetir kekuasaan, tujuannya menjaga keberkualitasan demokrasi dan kebebasan berpendapat. Bukan tanpa tantangan, hingga kini ancaman masih sama, ditambah lanskap baru yaitu ranah digital.

Selain itu, AJI juga mengapresiasi beberapa kerja-kerja jurnalis dengan Udin Award -diambil dari Wartawan Udin yang merupakan korban dari kuasa atas liputan-liputannya yang menggangu kekuasaan-, Tasrif Award -diambil dari penggagas adanya kode etik jurnalistik-, dan SK Trimurti Award.

***

Baca Serial Liputannya Di Sini

Udin Award 2022: Untuk Jurnalis di Pulau Surga yang Jatuh ke Bumi, Papua   


Kebijakan.co.idLiputan Advokatif

Adi Fauzanto-9 Agustus 2022 (06.00 WIB)-#35 Paragraf
Cover Victor Mambor

Wartawan bernas atau berkualitas itu bernama Udin. Ia harus kehilangan nyawa akibat liputan-liputannya yang menggangu kekuasaan. Hingga kini, otak dan pembunuh nya belum juga ketemu. AJI mengabadikan namanya menjadi penghargaan Udin Award. Di tahun 2022, penghargaan itu jatuh kepada Victor Mambor, jurnalis Papua yang harus bekerja di tengah ancaman dan buruknya demokrasi.

***

Wartawan Berani itu Bernama Udin

Jakarta, Kebijakan.co.id — Di selasar rumah di Bantul, Yogyakarta, Udin harus menghadapi amarah kuasa telak ke tubuhnya, melalui kekerasan nyawanya hilang. Tak lain dan tak bukan, karena karya jurnalistiknya yang mengganggu kekuasaan.

Bukan apa-apa, kekuasaan kita alergi dengan hal-hal seperti ini, apalagi era sebelum reformasi. Alih-alih memperbaiki atau intropreksi atas kuasanya, mengambil jalan kekerasan adalah sebuah pilihan. Mengorbankan nyawa manusia atas hasrat kuasa, adalah kisah lama pemimpin-pemimpin ‘berjiwa binatang’ berbentuk manusia sejak zaman pra-sejarah yang diwarisi hingga saat ini.

Tahun 1996 adalah saksinya. Fuad Muhammad Syafruddin alias Udin bekerja untuk koran harian Bernas yang memiliki kantor di Yogyakarta. Sebelum kejadian, Udin fokus meliput Bupati Bantul, Yogyakarta, Sri Roso Sudarmo –yang berlatarbelakang militer dan dekat dengan kekuasaan Soeharto– dengan topik-topik yang sensitif, seperti KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme).

Proyek Jalan 2 KM, Hanya Digarap 1,2 KM” adalah liputan terakhirnya untuk publik melalui Bernas dan untuk kehidupannya. 21.30 WIB (Waktu Indonesia Barat), 13 Agustus 1996, setelah menerima tamu dan menyelesaikan tulisannya di Kantor Bernas, ia pulang ke kontrakannya di Bantul dengan motornya.

Setelah pulang ke rumah, bertemu dengan istrinya, Marsiyem. Tak lama setelah istirahat, tamu berketuk pintu di pukul 22.40 WIB. Mungkin mereka ingin membeli roll film untuk usaha Marsiyem atau sekedar teman suaminya, pikir Marsiyem.

Marsiyem pun menerima tamu tersebut di pintu depan dan tamu tersebut ingin bertemu suaminya karena motornya mogok di sebelah utara dan membawa selongsong besi, yang dia pikir adalah wajar  temannya meminta bantuan untuk motor yang mogok dengan membawa selongsong besi.

Udin pun bergegas ke luar setelah diberitahu Marsiyem. Tak lama, Marsiyem tidak mendengar suara percakapan apapun. Firasat buruk membawanya ke luar rumah, dalam perjalanan menuju depan rumah, ia mendengar suara barang jatuh ‘gedebuk’ di selasar rumahnya. Benar saja, Udin sang wartawan Bernas yang memiliki liputan-liputan bernas harus terkapar di selasar rumahnya.

Kepala Udin yang selama ini ia gunakan untuk berpikir dan menulis tulisan-tulisan bernas, harus dioperasi akibat luka yang cukup parah dan pendarahan yang hebat akibat pukulan selongsong besi. Namun operasi tersebut tidak cukup membantu, tanggal 16 Agustus pukul 16.58 WIB wartawan pemberani harus meninggal setelah berjuang di masa kritisnya selama 3 hari.

Hingga kini, pelaku dan otak dari pembunuhan tak kunjung terungkap. Kasus di persidangan pun direkayasa sedemikian rupa dan bukti-bukti kunci harus dilenyapkan. Diduga pelaku dan otak dari pembunuhan di sekitar kekuasaan Bupati Bantul Sri Roso Sudarmo.       

Wartawan Udin
Fuad Muhammad Syarifuddin sedang meliput untuk harian Bernas Yogyakarta (Dokumen Bernas)

Hantaman untuk Wartawan

Atas segala hal dari apa yang dia lakukan untuk dunia jurnalistik –yang tentu menampilkan wajah bagaimana seharusnya jurnalisme bekerja. AJI (Aliansi Jurnalis Independen) mengabadikan namanya menjadi salah satu penghargaan Udin Award.

Tujuannya ialah mendorong kebebasan Pers dan kebebasan berekspresi di Indonesia dengan memberikan penghargaan kepada wartawan atau jurnalis (individu atau kelompok) yang memiliki dedikasi kepada dunia jurnalistik, serta menjadi korban kekerasan fisik atau psikis dampak dari liputan jurnalistiknya.

Terbaru misalnya, jurnalis CNN dilarang meliput rumah Ferdy Sambo atas kasus penembakan brigadir Joshua dan laman web Tempo.co diretas setelah memberitakan kasus tersebut. Pelarangan liputan dan serangan digital adalah 2 dari laku kekerasan yang terjadi. Lainnya, ada (1) kekerasan seksual, (2) pelecehan, (3) pelarangan pemberitaan, (3) perampasan/perusakan alat jurnalis, (4) penyandraan/penculikan, (5) teror/intimidasi, (6) penahanan, (7) tuntutan hukum, (8) kekerasan fisik, dan (9) terakhir paling parah ialah pembunuhan.  

Data AJI terbaru misalnya, di tahun 2022 sementara ini terdapat 27 kasus kekerasan terhadap jurnalis. Dari tahun 2006 jumlah kasusnya turun naik hingga 2021, namun yang tertinggi ialah ketika tahun pertama Covid-19, tercatat sebanyak 84 kasus. Menurut Divisi Advokasi AJI, “pemberitaannya yang memuat semangat kontrol sosial terhadap pemerintah dalam menangani pandemi.” 

Selain itu di tahun 2021 sendiri terdapat 43 kasus; tahun 2019, 58 kasus; tahun 2018, 64; tahun 2017, 66; tahun 2016, 81; tahun 2015, 42; tahun 2014, 40; tahun 2013, 40; tahun 2012, 56; tahun 2011, 45; tahun 2010, 51; tahun 2009, 38; tahun 2008, 58; tahun 2007, 75; catatan terakhir tahun 2006, 54 kasus. Tercatat total terdapat 922 kasus kekerasan terhadap jurnalis.

Pesebaran wilayah pun cukup beragam, seluruh provinsi di Indonesia tercatat terdapat kasus. Namun dari 5 yang tertinggi ialah DKI Jakarta dengan 123 kasus; lainnya ada Jawa Timur dengan 90 kasus; Sumatera Utara, 67 kasus; Sulawesi Selatan, 58 kasus; Papua, 45 kasus.

Dari data yang tercatat, bentuk kekerasan yang paling banyak ialah, kekerasan fisik terdapat 267 kasus; pelarangan liputan 92 kasus; ancaman/teror 77 kasus; perusakan alat/data hasil liputan 56 kasus; dan serangan sebanyak 32 kasus. Dengan pelaku yang tercatat 61 kasus disebabkan oleh kepolisian dan 60 kasus oleh massa (masyarakat banyak).     

Dari berbagai data yang ada, sudah sepatutnya pemerintah tidak hanya hadir dalam tataran ‘tanggapan normatif’ tetapi benar-benar mempunyai proyeksi kebijakan yang jelas terhadap kebebasan Pers berdasarkan data yang ada. Misal, mendidik para Polisi bagaimana menghadapi media, khususnya mereka-mereka yang hanya memakerkan kekuatan otot, ketimbang otak.

Seperti kesimpulan dari jurnal penelitian Fathurahman dan Bilal, dari bentuk 4 teori Pers di antaranya Pers Otoritarian, Pers Libertarian, Pers Totalitarian, dan terakhir, “bentuk Pers di Indonesia adalah bentuk Social Responsibility Theory atau aliran Pers Tanggung Jawab Sosial, di mana Pers memberikan informasi yang aktual, mengedukasi, dan bertanggung jawab kepada audiens. Salah satunya dengan meliput aksi demonstrasi.” Namun, terdapat gangguan bahkan hingga kekerasan oleh kepolisian yang menghambat penyebaran informasi secara luas.  

Dengan begitu perkataan Jokowi dalam Hari Pers Nasional tahun 2022, benar-benar terwujud, “Kritik, masukan, dukungan dari insan pers sangat penting. Mengingat, mengingatkan jika ada yang kurang, yang perlu diperbaiki, mendorong yang masih lamban dan apresiasi yang sudah berjalan baik.” Dan bukan sekedar ‘masuk kuping kanan dan ke luar kuping kiri’ untuk para pembuat kebijakan, baik di daerah ataupun pusat.

Jokowi Hari Pers Nasional 2022
Jokowi ketika peringatan Hari Pers Nasional 2022 (Dokumen Jokowi)

Udin Award 2022 untuk Victor Mambor

Perkataan Jokowi tentu bisa terwujud, jika saja Udin Award bisa dihapus dengan syarat kekerasan jurnalis juga berkurang bahkan nihil kasus, dan Pers bisa menjalankan tugas sebagaimana fungsinya.

Bicara Udin Award yang dimulai sejak tahun 1997, penghargaan pertamanya untuk Kelompok Jurnalis Investigasi Kasus Udin, disebut juga Tim Kijang Putih –karena mobil yang digunakan merupakan merek Kijang berwarna putih yang dipinjamkan oleh Bernas untuk tim tersebut.

Dan terakhir tahun 2021, diraih oleh Nurhadi, wartawan Tempo, yang di’karungi’ oleh ajudan Komisaris Besar Polisi Achmad Yani.

Ketika itu Nurhadi ingin mengkonfirmasi atau mendapatkan tanggapan dari Angin Prayitno Aji –yang merupakan Direktur Pemeriksaan dan Penagihan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan– yang terkena kasus dugaan suap pajak, yang kebetulan sedang mengadakan acara pernikahan dengan besannya Achmad Yani. Karena Nurhadi masuk bukan dari keluarga Angin Prayitno atau Achmad Yani, ketika ketahuan Nurhadi langsung dikarungi.

Rencananya Nurhadi akan door stop atau bertanya langsung dengan menjegat narasumber (Angin Prayitno) di tempat.  

Di tahun yang sama, 2021, Angin Prayitno Aji diputus bersalah oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan atas kasus suap 15 Miliar, suap tersebut untuk merekayasa hasil perhitungan pajak dari wajib pajak PT Gunung Madu Plantations (GMP), PT Bank PAN Indonesia (Panin) Tbk, PT Jhonlin Baratama untuk tahun pajak 2016.

Tercatat beberapa individu dan lembaga mendapatkan penghargaan Udin Award. Tahun 2020 terdapat Majalah Tempo, yang dikriminalisasi atas liputan investigasi Swasembada Gula: Cara Amran dan Isam; tahun 2019, Tim IndonesiaLeaks, yang menginvestigasi buku merah KPK; tahun 2018, Heyder Affan dari BBC Indonesia yang meliput Campak dan Gizi Buruk di Papua serta Majalah Tempo yang digugat dan persekusi akibat liputan tentang FPI (Front Pembela Islam);

Tahun 2013, Didik Herwanto (Riau Pos), Fakhri Robianto (Riau TV), Rian Anggoro (Antara) yang meliput kecelakaan Hawk 200; tahun 2011, Ridwan Salamun (Sun TV) yang meninggal setelah meliput perkelahian di Maluku; tahun 2010, Budi Laksono (eks-Suara Pembaruan) yang kehilangan pekerjaan setelah membentuk serikat pekerja; tahun 2009, Jupriadi Asmaradhana (Koordinator Koalisi Jurnalis Tolak Kriminalisasi Pers Makassar) yang menentang pernyataan Kapolda mempidanakan jurnalis yang dinilai salah; tahun 2008, Metta Dharmasaputra (Tempo) yang menginvestigasi penggelapan pajak Asian Agri;

Tahun 2004, Tim Media untuk Pembebasan Fery Santoro di Aceh yang berjasa karena berani mengambil resiko untuk membebaskan Fery Santoro (RCTI) dari GAM (Gerakan Aceh Merdeka); tahun 2003, Ersa Siregar dan Fery Santoro (RCTI) yang ditawan GAM menyebabkan Ersa Siregar meninggal dunia; tahun 2001, Jurnalis Harian Serambi Indonesia, Aceh; tahun 2000, Agus Mulyawan (Asia Press Jepang) yang meninggal karena konflik di Timor-Timor; tahun 1998, Bambang Bujono dan Margionol (Majalah D&R).

Infografis Victor Mambor

Di tahun 2022, Udin Award diberikan kepada Victor Mambor, salah satu pendiri Jubi sebuah portal berita di Jayapura, Papua, yang berdiri dari tahun 2007. Jubi menjadi jurubicara masyarakat Papua di tengah dominasi informasi Jakarta yang tidak selalu berimbang, yang juga memiliki angka yang buruk untuk kebebasan Pers dan demokrasi di antara wilayah Indonesia lainnya. Tak ayal, Mantan Ketua AJI Papua (2010-2016) ini konsisten mengangkat isu pelanggaran HAM di Papua dan Papua Barat.   

Karenanya, ancaman dan teror sudah menjadi makanan sehari-hari untuk jurnalis yang meliput daerah perang, menurut Bambang Muryanto dari AJI, salah satu Juri Udin Award 2022. Mulai dari teror digital seperti hilangnya akun Twitter setelah menyebarkan kekerasan yang dilakukan militer kepada sipil. Hingga teror fisik kepada mobilnya di tahun 2021 yang dirusak dan dicoret-coret.  

Sebelumnya Victor Mambor mendapatkan penghargaan dari kerja-kerja jurnalistik baik nasional maupun internasional. Di tahun 2021, Victor Mambor yang merupakan salah satu produser video liputan investigasi “Selling Out West Papua” yang disiarkan AlJazeera, mendapatkan penghargaan Wincott Award for Video Journalism of The Year 2021.

Di tahun 2020, liputan investigasi wamena –yang merupakan kolaborasi dari Tirto.id, Jakarta Post, dan Jubi—meraih penghargaan Tasrif Award yang diberikan AJI dan Gold Award yang diberikan Indonesia Print Media Award (IPMA). Di tahun 2015, ia mendapatkan penghargaan Pejuang Kebebasan Pers dari International Federation of Journalists (IFJ) bersama dengan Gao Yu (Jurnalis Tiongkok) dan Andrea Nicodemo (Jurnalis Eritrea).

Penghargaan tidak terlalu penting, jika Pulau Papua tidak kunjung mendapatkan kebebasan Pers dan kebebasan berpendapat, sekaligus tidak ada intimidasi dan teror.

“Kita mau orang-orang di luar Papua ini, melihat Papua bukan cuma ‘Papua Merdeka’ atau ‘NKRI Harga Mati’, tidak. Kita punya persoalan banyak sekali dan ini harus dibuka. Harus diuraikan, baru kita bisa bagikan (perlihatkan). Dicarikan solusinya. Kalau tidak (dibuka), tidak akan bisa.” Potongan kata Victor Mambor dalam satu wawancaranya dengan Voice of America (VoA) Indonesia.

Victor Mambor
Victor Mambor sedang berjalan mengenakan kaos “OTT 65”

Dari data Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik, Papua dan Papua Barat dalam 5 tahun terakhir dari 2020 hingga 2015, mencatatkan skor konsisten posisi 4 paling bawah di antara 34 provinsi lainnya di Indonesia.

Papua misalnya, di tahun 2020 skornya 64.54 (urutan 33); tahun 2019, 65.25 (32); tahun 2018, 62.20 (33); tahun 2017, 61.34 (34); tahun 2016, 61.02 (31); tahun 2015, 57.55 (34). Sedangkan Papua Barat lebih buruk konsisten urutan 2 terakhir, di tahun 2020 skornya 61.76 (urutan 34); tahun 2019, 57.62 (34); tahun 2018, 58.29 (34); tahun 2017, 62.76 (33); tahun 2016, 60.35 (33); tahun 2015, 59.97 (33).

Dari data tersebut, kitorang –dialek Papua arti kita—semua berharap semoga surga yang jatuh ke bumi benar-benar jatuh di wilayah yang su tepat, dan bukan hanya sekedar nama indah saja toh.      

Baca Serial Liputan Advokatif "HUT AJI Ke-28 di Antara Ancaman Digital dan Kekuasaan Oligarki" Lainnya:
•	HUT AJI Ke-28 di Antara Ancaman Digital dan Kekuasaan OligarkiUdin Award 2022: Untuk Jurnalis di Pulau Surga yang Jatuh ke Bumi, Papua 
Jurnalis Adi Fauzanto
Diterbitkan: Selasa, 9 Agustus 2022
Pukul: 06.00 WIB
Jurnalis: Adi Fauzanto
Daftar Bacaan:  
• Data Badan Pusat Statistik. Indeks Demokrasi Indonesia Menurut Provinsi 2020-2015Leoni Alvionita Susanto. 2022. Berani Bicara, Kuatkan Sabuk Pengaman. UnfreeJournalist.comFaisal Irfani. 2021. Kematian Wartawan Udin yang Kasusnya Tak Pernah Terungkap Tuntas. Tirto.IdHeru Prasetya, dkk. 2014. Film Dokumenter Wartawan Udin (The Years of Blur). YoutubeDivisi Advokasi Aliansi Jurnalisme Independen (AJI)Fathurahman Saleh dan Bilal Sukarno. 2021. Kekerasan Terhadap Jurnalis oleh Oknum Aparat Kepolisian Saat Meliput Aksi Demonstrasi di Jakarta Tahun 2019-2020. Jurnal Populika Vol. 9 No. 2Pidato Presiden RI Hari Pers Nasional Tahun 2022AJI. 2022. Victor Mambor Pemenang Udin Award 2022Egi Adyatama. 2021. Begini Kronologi Penganiyaan terhadap Wartawan Tempo Saat Liputan di Surabaya. Tempo.coWincott. 2021. Al Jazeera is ‘standout winner’ of video journalism prize for Selling out West Papua.AJI. 2021. HUT AJI: Mengawal Jurnalisme di Masa Pandemi Jubi.co.id. 2020.  Liputan kolaborasi Jubi tentang Amuk Massa di Wamena Menangkan Tasrif Award 2020Institute Federation of Journalist. 2015. WPFD- Case of Viktor MamborVoA Indonesia. 2020. Victor Mambor, Pendiri JUBI: "Negara Mempermalukan Orang Papua, Kelewatan". Youtube
Liputan Mendalam

HUT AJI Ke-28 di Antara Ancaman Digital dan Kekuasaan Oligarki


Kebijakan.co.idLiputan Advokatif

Adi Fauzanto-8 Agustus 2022 (06.00 WIB)-#23 Paragraf
HUT AJI Ke-28

AJI lahir dari kecelakaan sejarah atas buruknya kekuasaan memandang kebebasan Pers di Indonesia. Kini, AJI terus hadir sebagai wadah untuk melindungi jurnalis-jurnalis yang tidak mau disetir kekuasaan, tujuannya menjaga keberkualitasan demokrasi dan kebebasan berpendapat. Bukan tanpa tantangan, hingga kini ancaman masih sama, ditambah lanskap baru yaitu ranah digital.

***

Jakarta, Kebijakan.co.id — 28 tahun lalu, ketika rezim otoritarian Soeharto merasuk juga mengontrol Pers melalui pembredelan dan pencabutan izin usaha serta penerbitan, yang tertuju kepada Tempo, Detik, dan Editor, karena liputan-liputan mereka dirasa menganggu Soeharto.

Tempo kala itu –kenang Goenawan Mohamad sebagai pendiri Tempo dalam esainya di Qureta–, diizinkan kembali terbit jika memenuhi syarat kepatuhan kepada Soeharto –baik melalui kedudukan kepemilikan dan tentu isi karya jurnalistiknya nanti.

Saat ini, pola yang sama terjadi dengan lanskap wilayah yang berbeda, yaitu digital. Yaitu halaman web Tempo kembali diretas tanggal 7 Agustus 2022.

Di tanggal yang sama 28 tahun lalu, berkumpulah jurnalis dan kolumnis di Sinargalih, Bogor, membahas dan mendantatangani –dikenal sebagai Deklarasi Sirnagalih— (1) penolakan wadah tunggal untuk jurnalis, (2) penolakan pengaburan fungsi Pers, (3) penolakan pemaksaan informasi tunggal, (4) penolakan penyelewengan produk hukum, dan (5) penolakan pengekangan Pers setelah pembredelan Majalah Tempo, Detik, dan Editor atas liputan yang menggangu kekuasaan Soeharto tanggal 21 Juni 1994.

(6) Kumpulan jurnalis dan kolumnis ini juga mengumumkan berdirinya AJI (Aliansi Jurnalisme Independen).

28 tahun berlalu, rezim Soeharto tumbang, kebebasan Pers seperti keran yang dibuka tuasnya. Institusi Pers arus utama yang seharusnya mengawasi kekuasaan, justru dikuasai segelintir orang –yang juga memiliki peran dalam kekuasaan politik praktis— yang berafiliasi atau terhubung langsung dengan partai politik.

Fenomena ini dinamakan oligarki media yang diteliti oleh Ross Tapsel dan melahirkan sebuah buku berjudul Kuasa Media di Indonesia: Kaum Oligarki, Warga, dan Revolusi Digital (2019).

Oligarki sendiri menurut Jeffrey Winters diartikan sebagai sistem politik yang dijalankan oligark –-orang-orang yang memiliki modal lebih—untuk mengendalikan kekuasaan dengan tujuan mencari dan mempertahakan kekayaan melalui kekuasaan politik. Dalam hal ini melalui pemilihan umum, yang sangat membutuhkan Pers sebagai alat propaganda citra kampanye, alih-alih menjalankan fungsi jurnalistiknya.  

Dunia digital dan kekuasaan yang bersifat oligark menghasilkan represi (perlawanan) yang khas, melalui kuasa struktural berupa undang-undang atau kelembagaan, misalnya saja pasal-pasal karet (yang multitafsir) dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) –dihitung juga penegekannya yang tebang pilih– serta menggunakan cara-cara yang licik menggunakan teknologi, seperti peretasan.

Lainnya adalah keberpihakan liputan media-media yang dikuasai pemodal –yang juga condong kepada penguasa– yang melulu menjilat kekuasaan –bergantung apa yang dititipkan oleh pemilik media tersebut— di mana memanfaatkan ranah digital dengan publisitas karya jurnalistik yang amburadul, layaknya TV One News yang dimiliki Aburidzal Bakrie.

Fajar dan Romel dalam jurnal penelitiannya menukil Freedom House dan McQuail, yang menjelaskan kebebasan Pers dalam suatu negara bergantung kepada:

Pertama, Sejauh mana campur tangan politik negara terhadap Pers. Seperti pembredelan, intimidasi, sensor, dan pencabutan izin;

Kedua, Sarana konstitusional dan regulasi bagi perlindungan Pers dan kebebasan berpendapat. Penegakan Undang-Undang Pers, UU ITE, dan instrumen hukum terkait pers dan kebebasan berpendapat;

Ketiga, Independensi keputusan redaksional Pers dari kepentingan komersial atau pribadi individu. Celah intervensi pemilik modal atau titipan dari pendonor dan iklan.       

Infografis AJI (Aliansi Jurnalis Independen)

Oleh karenanya AJI memilih frasa ‘memperkuat solidaritas’ dalam tema besar, sesuai dengan perkataan Ika Ningtyas selaku Sekertaris Jendral AJI dalam pembukaan HUT (Hari Ulang Tahun) AJI Ke-28, “…mari memperkuat solidaritas…” sebagai respon menghadapi ancaman digital dan kekuasaan oligarki yang mengancam kebebasan Pers.

Dalam memperkuat solidaritas itu, “Kami (AJI) masih berjuang melawan impunitas atas kejahatan terhadap jurnalis, mengadvokasi pelemahan kesejahteraan jurnalis, dan terus berkomitmen untuk meningkatkan kapasitas jurnalis di Indonesia.”

Senada dengan Sekertaris Jendral AJI, Ketua Dewan Pers, Ayzumardi Azra berpesan sebagaimana fungsi Dewan Pers, “Kedepan juga tantangan semakin berat,… tantangan dalam bentuk eksplosi digital yang menimbulkan represi, baik di dalam negeri maupun luar negeri, … dan juga sejarah panjang AJI menjadi mitra kritis pemerintah maupun juga masyarakat.” Ditambah, “Sekarang ini agak susah mencari lembaga atau pihak yang bersikap kritis kepada pemerintah, mengkoreksi apa yang perlu dikoreksi, juga kepada masyarakat.”

Di akhir, Ayzumardi Azra berpesan untuk memperkuat solidaritas, memperkuat barisan, dalam menjaga kebebasan pers sebagai salah satu pilar demokrasi. Ayzumardi mencerminkan dari kejadian terbaru, dari kondisi pelarangan liputan dalam mengungkap kasus di sekitar rumah dinas Ferdy Sambo oleh jurnalis CNN dan peretasan halaman web Tempo yang berdekatan dengan HUT AJI Ke-28.   

Jika dilihat data Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) yang dikeluarkan BPS (Badan Pusat Statistik), pada indikator ancaman atau penggunaan kekerasan oleh aparat pemerintah yang menghambat kebebasan berpendapat, skornya terus menurun dari tahun 2017 hingga 2020. Tahun 2020, di angka 58.82; tahun 2019, 65.69; tahun 2018, 70.22; tahun 2017, 68.87.

Di bawah tahun 2017, skornya turun naik, yang menempati skor terendah kedua dari bawah dibandingkan indikator lainnya. Tahun 2016, di angka 76.47; tahun 2015, 65.32; tahun 2014, 68.89; tahun 2013, 73.54; tahun 2012, 65.45; tahun 2011, 68.38; tahun 2010, 73.03; tahun 2009, 83.43.  

Tentu menjadi tantangan untuk pemerintah dalam menjaga dan meningkatkan kebebasan berpendapat, terlebih berkomitmen pada asas demokrasi pada sistem pemerintahannya yang diamanatkan konstitusi.

Dikutip dari Antara, Jaleswari Pramodhawardani, Deputi V Kantor Staf Presiden, mengatakan dan menanggapi Indeks Demokrasi tahun 2020 yang dikeluarkan The Economist, bahwa pemerintah berkomitmen kuat merawat dan menjaga demokrasi di Indonesia.  

Alih-alih mengharapkan pemerintah untuk menjaga kebebasan Pers dan berpendapat. AJI berusaha mendorong kebebasan dan keberkualitasan Pers –sekaligus juga mengenang beberapa tokoh Pers yang gugur di rezim Soeharto— dengan memberikan penghargaan kepada insan individu atau Pers yang berjasa. Karenanya juga, AJI mengumumkan penerima Udin Award 2022, Tasrif Award 2022, SK Trimurti Award 2022, Pers Mahasiswa dalam HUT AJI Ke-28.   

Baca Serial Liputan Advokatif "HUT AJI Ke-28 di Antara Ancaman Digital dan Kekuasaan Oligarki" Lainnya:
•	HUT AJI Ke-28 di Antara Ancaman Digital dan Kekuasaan OligarkiUdin Award 2022: Untuk Jurnalis di Pulau Surga yang Jatuh ke Bumi, Papua 
Jurnalis Adi Fauzanto
Diterbitkan: Senin, 8 Agustus 2022
Pukul: 06.00 WIB
Jurnalis: Adi Fauzanto
Daftar Bacaan:  
• Hari Ulang Tahun (HUT) Aliansi Jurnalisme Indonesia (AJI) Ke-28Jeffry Winters. 2011. Oligarki. Penerbit Gramedia: JakartaRoss Tapsel. 2019. Kuasa Media di Indonesia: Kaum Oligarki, Warga, dan Revolusi Digital. Penerbit Marjin Kiri: TanggerangSejarah Aliansi Jurnalisme IndependenGoenawan Mohamad. 2019. Tempo dan Sebuah Ultimatum. Qureta.comData Badan Pusat Statistik. Indeks Demokrasi Indonesia Tahun 2009-2020Fajar Shodiq dan Romel. 2021. Kemunduran Demokrasi dan Kebebasan di Asia Tenggara: Refleksi dari Enam Negara. Jurnal Penelitian Politik Vol. 18 No. 2Pudjo Rahayu. 2021. Meningkatkan Indeks Demokrasi Indonesia. Antara News
Liputan Mendalam