KTH ALAS Trawas: Ide Besar Mengelola Perhutanan Sosial dengan Wisata Edukasi Ekologi dan Agroforestri


Kebijakan.co.idLiputan Konstruktif

Adi Fauzanto-14 Mar 2023 (16.00 WIB)-#36 Paragraf

Melihat rekam jejak konflik antara Perhutani (Badan Usaha Milik Negara) dan masyarakat di Penanggungan, akhirnya berkesudahan setelah Forum Rakyat Trawas (Foras) mengajukan Perhutanan Sosial (PS) yang nantinya dikelola oleh Foras dengan nama KTH (Kelompok Tani Hutan) ALAS (Aman, Lestari, Adil, Sejahtera) Trawas.

Dalam rencana dan pengembangannya, KTH ALAS Trawas akan dibangun dengan menyatukan antara Komunitas Pertanian Organik Brenjonk dan Kelompok Wanita Tani Desa Penanggungan, selain itu juga menyatukan ide antara wisata edukasi ekologi dan agroforestri yang berkelanjutan.

Ide besar tersebut tidak bisa terwujud, jika inisiatif gerakan masyarakat dan program perhutanan sosial tidak dijalankan.

Tim Kolaborasi —Kebijakan.co.id, Idenera.com, KabarTrenggalek.com— turun mengobservasi langsung di Desa Penanggungan, Mojokerto. Mengamati KTH ALAS Trawas dan Kampung Organik Brenjonk. Bertemu dengan Inisiator Kampung Brenjonk, Inisiator KTH ALAS Trawas, Anggota Kelompok Wanita Tani, dan Masyarakat Desa Penanggungan.

***

Mojokerto, Kebijakan.co.id – Setelah mendapatkan legalitas akan pengelolaan hutan secara agroforestri. Tantangannya untuk KTH ALAS (Aman, Lestari, Adil, Sejahtera) ialah, bagaimana mengelolanya agar bisa bermanfaat untuk masyarakat desa.

Seperti yang diungkapkan Ani Adiwinata, Peneliti CIFOR (Center for International Forestry Research), tantangan utama dari Perhutanan Sosial ialah pada tingkat lapangan, yang pada paradigma (cara berpikir) dan kerja konkret yang ada.

Senada dengan itu, Presiden Republik Indonesia dalam pidatonya di Blora, “Tolong betul-betul tanahnya dibuat produktif, jangan diterlantarkan, nanti bisa dicabut,” ucap Joko Widodo (10/03/2023).

Akan tetapi, kembali lagi kepada inisiatif masyarakat seperti yang dilakukan KTH ALAS yang sudah ada jauh sebelum Program Perhutanan Sosial hadir, berbentuk Foras (Forum Rakyat Trawas).

Jokowi sedang membagikan sertifikat Perhutanan Sosial (Dokumen KLHK)

Dua Pondasi Utama: Ide Agroforestri dan Brenjonk

Karena memang KTH ALAS memiliki embrio Foras yang sudah memiliki gerakan awal, akan dibawa kemana hutan yang nantinya akan dikelola oleh masyarakat –walaupun waktu itu secara diam-diam. Arahnya yaitu akan dibawa untuk menanam pohon-pohon agroforestri.

Selain karena melindungi ekologi lingkungan hutan tersebut, juga bermanfaat untuk ekonomi masyarakat. “Salah satu kegiatan di ALAS itu, kan ijinnya kayu, tapi bukan kayu (untuk ditebang) tapi agroforesti buah-buahan,” ucap Slamet –tokoh yang menginisiasi Foras dan KTH ALAS— kepada Tim Kolaborasi (10/03/2023) –jurnalis Kebijakan.co.id, Idenera.com, KabarTrenggalek.com.

Dalam hal peningkatan ekonomi, penelitian di salah satu kecataman Kab. Kulon Progo, Yogyakarta yang dilakukan Suroso (Penyuluh Kehutanan dan Perkebunan Yogyakarta) berjudul Optimalisasi Lahan dengan Pola Agroforestry memberikan kesimpulan bahwa dampak ekonomi terhadap adanya Agroforestri:

Pertama, adanya diversifikasi hasil yaitu hasil non kayu memberi keuntungan berupa pendapatan untuk memenuhi kebutuhan jangka pendek (mingguan, bulanan, tahunan);

Kedua, peningkatan nilai per satuan luas; Ketiga, memberi kontribusi dalam penyediaan tenaga kerja bagi masyarakat.

Agroforestri sendiri secara kata dalam bahasa inggris berarti agroforestry, yang terdiri dari agro berarti pertanian dan forestry yang berarti kehutanan.

Sedangkan menurut ICRAF (International Centre for Research in Agroforestry) dalam Buku Pengantar Agroforestri (2003) mengartikan agroforestri sebagai sistem pengelolaan sumber daya alam yang dinamis secara ekologi dengan penanaman pepohonan di lahan pertanian atau padang penggembalaan untuk memperoleh berbagai produk secara berkelanjutan sehingga dapat meningkatkan keuntungan sosial, ekonomi, dan lingkungan bagi semua pengguna lahan.

***

Selain gambaran awal akan dibawa kemana hutan tersebut. Masyarakat Desa Penanggungan, khususnya Dusun Penanggungan, juga suduh cukup berpengalaman bagaimana mengelola organisasi masyarakat dengan adanya Komunitas Petani Organik Brenjonk, yang memang, dikelola dengan baik oleh masyarakat itu sendiri.

Komunitas Petani Organik Brenjonk berdiri ini tidak lama setelah hadirnya Foras pada tahun 2000. Menurut Yuli Astuti, salah satu masyarakat sekitar yang tinggal di dekat Kantor Komunitas Petani Brenjonk, sekitar tahun 2004, embrio pertanian ini muncul, yaitu mulai dibagikannya Mini Greenhouse beserta bibitnya kepada warga.

Sedangkan menurut Rini Sudarti, salah satu pengurus Komunitas Pertanian Brenjok dan KWT (Kelompok Wanita Tani), mulai dirintis tahun 2007 dan efektif bisnisnya di tahun 2008. Sampai saat ini anggota Komunitas Petani Organik Brenjonk berjumlah 104 KK (Kartu Keluarga).

Menurut Slamet, dia menghitung produk pertanian organik, “Tak hitung produk organik Brenjonk, totalnya 140 ton sing metu (yang keluar), padahal hanya diproduksi kecil-kecil skala rumah selama 14 tahun (tahun 2008).”

Selain menjual produk pertanian, Komunitas Petani Organik Brenjok juga menyiapkan jasa lingkungan, seperti pelatihan atau penelitian terkait pertanian organik untuk peneliti (dosen), petani, dan universitas (mahasiswa), “Ada juga KKN (Kuliah Kerja Nyata),” ucap Slamet, selain itu disewakan juga penginapan di rumah-rumah warga.

Dengan adanya Komunitas Petani Organik Brenjonk, yang juga anggota merupakan anggota KTH ALAS, “Pengurusnya Brenjonk ya pengurusnya KTH, karena gabisa dipisahkan, karena satu area,” ucap Slamet yang juga inisiator Komunitas Pertanian Organik Brenjonk, merupakan sumber daya yang tidak terbentuk dalam satu dua hari ataupun dengan modal uang sekalipun.

Perlu bertahun-tahun membangun dan menjalankan Komunitas Pertanian Brenjonk. Menurut Winda Nurul dalam penelitiannya yang melihat peran Komunitas Petani Organik Brenjonk, bermanfaat dalam:

Pertama, promosi mengenai Pertanian Organik; Kedua, menjalin kemitraan dengan petani dengan mengatur struktur organisasi dengan petani;

Ketiga, melakukan penggerakan budidaya tanaman organik; Keempat, melakukan pembinaan dan pelatihan pada teknik budidaya tanaman organik;

Kelima, melakukan monitoring dan pendampingan lanjutan untuk mengoptimalkan pemberdayaan masyarakat dengan budidaya tanaman organik.

Dua hal tersebutlah yang menjadi pondasi utama, yaitu Foras dengan Agroforestrinya dan Komunitas Petani Brenjonk mengapa KTH ALAS memiliki persiapan yang matang dan organisasi masyarakat yang kuat.

Kampung Organik Brenjonk
Gapura Kampung Brenjonk (Adi/Kebijakan.co.id)

Pengembangan Wisata Edukasi Ekologi dan Agroforestri

Dalam rencananya, KTH ALAS akan menyiapkan dua sektor utama, yaitu wisata edukasi ekologi dan agroforestri. Nantinya keduanya akan menciptakan satu kesatuan yang saling menghubungkan satu dengan lainnya.

Hal itu digambarkan oleh Slamet, “wedusnya makan rumput daun-daunan pohon, nele’, lalu disimpan, dikasih untuk mupuk jeruk, duren. Kambingnya beranak-pinak, anaknya dijual, ekonomi petani terangkat. Hutan tetap subur dan utuh, daunnya tumbuh terus, lahan tetap subur.”

Seluruhnya, sudah disiapkan dalam Rencana Kerja Usaha (RKU) untuk periode 10 tahun yang dikirim kepada KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) dan Rencana Kerja Tahunan (RKT).

Rencana Pengembangan KTH ALAS Trawas (Dokumen KTH ALAS)

Pertama, penanaman agroforestri. Rencananya KTH ALAS menyiapkan 30.000 bibit kopi siap tanam, selain itu menyiapkan lahan seluas 45 hektare untuk merica. 10 hektare untuk tanaman pohon. Pohon-pohon tersebut di antaranya, pohon petai, pohon kluwek, pohon alpukat, pohon kemiri, pohon durian, pohon nangka, pohon matoa, dan pohon buah-buahan lainnya.

Bukan tanpa dampak, agroforestri memberikan beberapa catatan yang perlu dicegah dampaknya. Penelitian Konservasi DAS (Daerah Aliran Sungai) UGM, menyimpulkan agroforestri yang kurang optimal menyebabkan pendangkalan sungai akibat erosi, penurunan kualitas air, serta yang paling besar adalah terjadinya longsor. Diperlukan pemahaman mengenai faktor-faktor terjadinya sedimen untuk keberlanjutan fungsi dari lahan untuk kehidupan sehari-hari.

Selain itu tantangannya, menurut CIFOR (Center for International Forestry Research) dalam penelitiannya, menekankan agar agroforestri berhasil, petani perlu belajar pohon mana yang cocok untuk jenis lahan mereka dan bagaimana mengelola pohon-pohon itu, selain itu bagaimana memasarkan produk-produk agroforestri.

Kedua, wisata edukasi ekologi. KTH ALAS menyiapkan 7,7 Hektare untuk wisata edukasi ekologi ini. Menurut Slamet, nantinya dalam KTH ALAS terdapat beberapa kegiatan, “Itu kegiatannya kita ada workshop, ada pelatihan, misalnya analisa vegetasi, analisa pengamatan burung, biotilik pengamatan sungai, itu akan kita lakukan.” Selain itu ada ternak kambing, yang dapat dipelajari.

Kegiatan edukasinya nanti untuk semua level untuk belajar tentang hutan, mulai dari, “Kampus, kelompok tani, instansi, pemerintah.” Selain itu, dipersiapkan juga di tengah hutan nanti akan terdapat tempat camping dan makanan organik.

Konsep desa wisata juga bukan tanpa dampak. Beberapa hal yang perlu dimitigasi ialah terkait keselarasan lingkungan dengan konsep wisata yang nantinya dibangun, agar tidak terjadi pencemaran atau kerusakan lingkungan hidup. Selain itu, dampak sosial-budaya yang dapat terjadi, karena perbedaan antara wisatawan nantinya dengan penduduk sekitar.

Jika ditarik lagi, kegiatan multiusaha kehutanan, menurut Hermudananto (Dosen Kehutanan UGM) dalam kolomnya di The Conversation (07/10/2022) menekankan, “kunci keberhasilan implementasi Multiusaha Kehutanan harus memperhatikan beberapa hal, antara lain, kesesuaian tipologi hutan dan karakteristik dari biografis, biofisik, sosial, ekonomi, dan budaya dari suatu kawasan hutan.”

Selain itu, “Penyusunan rencana pengelolaan hutan juga harus tepat dalam menentukan jenis komoditas unggul untuk kebutuhan produksi.”

KTH ALAS Trawas
Pembangunan tempat pendaftaran KTH ALAS Trawas (Adi/Kebijakan.co.id)

4 Langkah Kunci: Penguatan Organisasi, Kelestariaan Lingkungan, Pencarian Dana, dan Kampanye

Untuk mewujudkan wisata edukasi ekologi dan agroforestri tadi. Diperlukan usaha agar KTH tetap beroperasi baik dari sisi organisasi, pemasukannya, dan utamanya lingkungan. Menurut Slamet, “Kita kan udah (membuat) rencana strategis itu, ada 4 output. Pertama itu, penguatan kapasitas organisasi. Kedua, kelestarian lingkungan. Ketiga, kegiatan fundraising (mencari dana). Keempat itu, kampanye.”

Pertama, penguatan kapasitas organisasi dan sumber daya manusianya. “Bagaimana temen-temen paham berorganisasi, paham soal buat perencanaan, implementasi dan monitoring,” buka Slamet menjelaskan manajerial organisasi yang terlihat sudah berpengalaman.

“Termasuk latihan bikin proposal, latihan (teknik) lobby, latihan buat laporan keuangan. (Memang) ribet dan besar, tapi nggak ada gajinya, tapi ya resiko kerja-kerja sosial,” tutup Slamet sambil tertawa.

Selain itu penguatan terhadap manusianya, juga diadakan pelatihan edukasi. “Ya itu edukasi, eduakasi ini yang kita pelajari, karena itu tidak gampang,” menurut Slamet yang berbicara terkait edukasi wisata memerlukan pemahaman terkait objek wisatanya.

Kampung Organik Brenjonk
Rini sedang memegang hasil pertanian organik Brenjonk (Adi/Kebijakan.co.id)

Menurut Rini, pengurus Komunitas Petani Organik Brenjonk yang juga KTH ALAS, mengatakan bahwa KWT nantinya juga dilibatkan, “Jadi Kelompok Wanita Tani ini, sebagian ada yang masih muda nah itu sebagian ada yang ikut KTH ALAS,” jelas Rini kepada Tim Kolaborasi (11/03/2023).

Tambahnya, pelatihan edukasi untuk wisata tidak mudah, karena harus mengetahui apa yang harus dijelaskan, “Kemarin kan ada pelatihan itu edukasi, (seperti) pengamatan sungai, (observasi) burung. Jadi kita diajarin gak cuma pengamatan sungai aja, yang ada di sungai itu apa aja, itu termasuk sungai tercemar atau setengah tercemar. Jadi kita bisa tau. Nah nantinya sebagai tour guidenya.”

Kedua, menjaga dan merawat kelestarian lingkungan. “Kita aksi terus, setiap musim hujan turun, itu kita (sudah bersiap) bikin gerakan untuk menanam, alhamdullilah sudah tertanam semua,” ucap Slamet sambil menunjuk salah satu bibit yang ditanam, “tahun 2020 kita dipercaya buat KBR (Kebun Bibit Rakyat) targetnya 35.000 pohon, terealisasi 46.000 bibit, itu contohnya (pohon) matoa.”

Ketiga, pencarian dana. Menurut Slamet, dirinya tidak mengandalkan funding (donor pendanaan) sepenuhnya, akan tetapi mengintegrasikan antara jasa lingkungan wisata dan hasil agroforestri, “itu sudah kita praktikan di Brenjonk itu,” tutup Slamet.

Akan tetapi, “funding tetep kita ambil kalo ada, funding kan gak selalu ada ya.” Salah satunya Dana Nusantara yang diinisiasi oleh WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia), AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara), dan KPA (Konsorsium Pembaharuan Agraria), “kita minta dana dari Dana Nusantara itu dalam rangka supaya kita menjaga ALAS ini semakin bagus,” tutup Slamet.

Sejauh ini, sudah terdapat bantuan dari program KLHK yaitu Bantuan Pengembangan Perhutanan Sosial Nusantara (BangPeSoNa) itu untuk tanaman 50 persen dan ternak kambing 50 persen, selain itu program bantuan KBR (Kebun Bibit Rakyat).

Selain bantuan Slamet juga menyiapkan beberapa pendanaan yang berasal dari, “workshop, ada pelatihan, misalnya analisa vegetasi, analisa pengamatan burung, biotilik, itu sudah kita lakukan, dalam rangka supaya kita paham soal ekologi.” Selain itu di dalamnya terdapat, “Di dalamnya kita membuat kuliner organik dalam rumah edukasi.”

Salah satu targetnya ialah universitas, “Besok rencananya kita mau ketemu dengan Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya, dari yang kehutanan (agroforestri), kita ajak untuk Program Merdeka Belajar di sini” ucap Slamet.

Keempat, terakhir ialah kampanye. “Kita baru sedikit diliput media,” ucap Slamet, “kemarin ada Thoriq, dari Times Indonesia.” Akan tetapi ke depannya KTH ALAS akan memanfaatkan sosial media untuk memberitahu kepada masyarakat luas.

Selain kampanye program, KTH ALAS juga melakukan kampanye advokasi, “kemarin (09/03/23) kita baru audiensi dengan bupati (Mojokerto).” Audiensi tersebut berkaitan dengan percepatan Izin Hutan Kemasyarakatan (HKM) yang dikeluarkan oleh KLHK, termasuk KTH ALAS Trawas yang mengajukan izin tersebut.

Izin Hutan Kemasyarakatan tersebut, ditunjukan untuk pengelolaan hutan secara mandiri atau sepenuhnya oleh masyarakat, bukan bentuk kemitraan dengan Perhutani (Perusahaan Umum Perhutanan Negara) –seperti yang terjadi saat ini.

KTH ALAS Trawas
Slamet sedang menunjukan bibit yang baru saja ditanam (Adi/Kebijakan.co.id)
Baca Serial Liputan Konstruktif "KTH ALAS Trawas: Menggagas dan Mengemas Perhutanan Sosial untuk Lingkungan Berkelanjutan" Lainnya:
•	KTH ALAS Trawas: Dari Forum Rakyat Trawas hingga Was-Was dengan PerhutaniKTH ALAS Trawas: Ide Besar Mengelola Perhutanan Sosial dengan Wisata Edukasi Ekologi dan Agroforestri

Serial Liputan Konstruktif ini merupakan Liputan Kolaborasi antara Idenera.com dan KabarTrenggalek.com dalam Program Wilayah Kelola Rakyat (WKR) didukung Dana Nusantara yang diinisasi oleh WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia), KPA (Konsorsium Pembaharuan Agraria), dan AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara).
Adi Fauzanto
Diterbitkan: Selasa, 14 Maret 2023
Pukul: 16.00 WIB
Jurnalis: Adi Fauzanto
Editor: Fayza Rasya
Daftar Bacaan:
• Kurniatun Hairiah. 2003. Pengantar Agroforestri. Penerbit ICRAFWALHI Jatim dan AP2SI. 2021. Wilayah Kelola Rakyat: Suara Petani Hutan dan Masa Depan Perhutanan Sosial yang Berkeadilan. Buletin, 30 JuniSuroso. Optimalisasi Lahan dengan Pola Agroforestry. Dinas Kehutanan Provinsi YogyakartaNabhan Aiqani. 2020. Menilik Arah Masa Depan Perhutanan Sosial di Indonesia. Opini Mongabay, 24 AgustusPers Rilis KLHK. 2023. Presiden Joko Widodo Serahkan SK Perhutanan Sosial Di Blora. 13 MaretWinda Nurul Khasanah. 2019. Peran komunitas organik Brenjonk dalam memberdayakan masyarakat Desa Penanggungan Trawas Mojokerto. Skripsi UMKonservasi DAS UGM. Agroforestri, Alternatif Solusi Pertanian BerkelanjutanRahman (dkk.) 2017. Facilitating smallholder tree farming in fragmented tropical landscapes: Challenges and potentials for sustainable land management. Journal of Environmental Management Vol. 198 No. 1, CIFOR
Liputan Mendalam