Kebijakan.co.id – Liputan Investigatif
Adi Fauzanto-27 April 2022 (13.19 WIB)-#97 Paragraf

5 April 2022, hujan mengguyur Kota Bekasi. Durasinya tidak lama, tepatnya dari siang menuju sore hari. Akan tetapi hujannya cukup deras. Parahnya, hampir seluruh Kota Bekasi terdampak banjir –memang sudah dari dahulu seperti ini. Seakan, hujan membuktikan buruknya tata kota di Bekasi, salah satunya. Lainnya, kemacetan dan panas, juga seakan membuktikannya. Dari peristiwa ini, Kebijakan.co.id hadir.
***
Bekasi, Kebijakan.co.id — Mengenderai kuda besi di Jalan Raya Kodau menuju Jalan Raya Jatikramat mengarah Pondok Gede, perlu berhati-hati, apalagi jika memakai pakaian serba putih –sekiranya memakai pakaian coklat ala ASN (Aparatur Sipil Negara) mungkin tidak terlalu mengapa.
Sebabnya, jalan tersebut tergenang atau becek di sekitaran tersebut. Baik kondisi terik matahari dan sudah tentu ketika hujan –disertai dengan banjir.
Jika melihat kolam atau aquarium ikan yang tidak dikuras, maka kondisinya akan berlumut, karena terendam air secara terus-menerus tanpa dibersihkan. Kondisi tersebut sama dengan jalan tadi. Warnanya sudah menghijau, ntah sudah berapa lama air menggenang di sana (dibaca: kronis atau kondisi sakit menahun).
Becek abadi, itulah kata yang tepat. Terlebih selokan air di sekitar tidak berfungsi (kondisi: becek satu).
Kondisi nya tidak jauh berbeda dengan di tikungan arah Jalan Raya Kodau menuju Jalan Raya Jatikramat –tidak jauh dari becek abadi yang dibahas sebelumnya.
Beberapa waktu, ketika air limpahan selokan yang tidak tertampung, menjalar menuju badan jalan –baik itu kondisi terik ataupun lainnya. Pengendara –khususnya kuda besi– harus menengah untuk menghindari genangan tersebut (kondisi: becek dua).
Ridzwan (24), seorang mahasiswa pascasarjana yang juga memiliki hobi bermotor bertempat tinggal di Caman, merasa risih ketika melewati jalan tersebut.
Pertama, dikarenakan cipratan becek tersebut yang mengarah ke badan diri sendiri atau motor yang berada di sekitarnya. Kedua, air yang menggenang tersebut kotor dan bau. Akan Tetapi mau bagaimana lagi, jalan tersebut merupakan jalan utama, “Itukan termasuk jalan utama, penyambung Jatiasih-Pondok Gede.”
Selain itu, terdapat NR (salah satu informan yang tidak ingin disebutkan namanya), yang setiap harinya mengendarai motor untuk berangkat menuju kantornya, menjelaskan kekesalannya, “tidak ada hujan, tetapi basah terus.” Terlebih harus melewati banjir yang cukup tinggi di sepanjang Jalan Raya Kodau, ketika hujan.
Ironinya, kedua becek tersebut tidak jauh dari salah satu rumah petinggi atau DPP (Dewan Pimpinan Pusat) Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), yang 2019 lalu mencalonkan diri pada DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) Provinsi Jawa Barat daerah pemilihan 8 Kota Bekasi dan Kota Depok sekaligus tim pemenangan Prabowo-Sandi, Athea Sarastiani.

Dalam DPP Partai tersebut, menjabat sebagai Kepala Departemen Promosi dan Pemasaran Wisata –di bawah Wakil Ketua Edhy Prabowo (50), yang merupakan eks-menteri kelautan dan perikanan, terdakwa kasus korupsi benih lobster tahun 2020.
Kembali, bahkan genangan yang kedua berada tepat di depan rumah tersebut, posisinya tepat berada dalam posisi tusuk sate di antara pertigaan Jalan Raya Kodau dan Jalan Raya Jatikramat.
Untuk mengkonfirmasi ironi becek di sekitaran rumah Athea Sarastiani, redaksi Kebijakan.co.id sudah menghubungi melalui facebook dan instagram pribadi –media sosial yang aktif digunakan- dan surat resmi. Namun belum kunjung mendapat balasan –tentu juga tanggapan.
Untuk mencari dan mengkonfirmasi kebenaran –setidaknya benar rumah Athea berada di daerah tersebut. Jurnalis Kebijakan.co.id mendapatkan informasi dari mantan tim pemenangan Prabowo-Sandi, yang juga satu tim dengan Athea Sarastiani.
Becek yang Berbeda
Menelurusi rumah anggota dewan yang jurnalis Kebijakan.co.id melewati sepanjang jalan dari Jatiasih hingga menuju Jatiwaringin –melalui jalan pintas. Dapat terlihat pola yang sama, tetapi dengan kondisi becek yang berbeda.
Misalnya di jalan menuju Puri Gading dari Jalan Raya pintas Wibawa Mukti, terdapat kerusakan jalan yang sudah kronis –menahun- tentu dengan air tergenang -di beberapa waktu.
Berada tepat sebelum –dan juga di depan- rumah Anggota Dewan DPRD Provinsi Jawa Barat dari Partai Gerindra, Syahrir (50) –terpilih di daerah pemilihan 9 Kabupaten Bekasi.

Jalan tersebut, akhir-akhir ini diperbaiki, tetapi hanya sebatas penyemenan, itu pun tidak solid –kokoh dan utuh- berpotensi untuk rusak kembali.
Untuk mencari dan mengkonfirmasi kebenaran rumah tersebut, benar merupakan rumah Syahrir. Jurnalis Kebijakan.co.id mencocokan data laman DPRD Provinsi Jawa Barat dengan mengkonfirmasi kebenaran tersebut melalui bengkel kendaraan bermotor di sekitar rumah tersebut.
***
Selain itu, di jalan tembusan menuju Antilope Jatiwaringin, tepatnya di Jalan Angkatan Laut (AL) –menuju komplek AL. Terdapat salah satu rumah dewan, tepat di antara dua kelokan kanan-kiri -jika masuk melalui Jalan Raya Jatikramat lalu belok di Masjid Jami Nurul Huda.
Rumah tersebut, merupakan rumah Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) –daerah pemilihan Jawa Barat 6 Kota Bekasi dan Depok-, Mahfudz Abdurrahman (64), yang juga menjabat sebagai Bendahara Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PKS. Jika melihat kondisi sebelumnya, tidak jauh dari rumah dewan terdapat pola nya sama, tetapi kondisi ‘becek’ nya berbeda.
Tidak jauh dari situ –sebelum rumah dewan. Kondisi selokan kanan-kiri sama sekali tidak jalan airnya, menggenang, hitam pekat, penuh dengan endapan kotoran, dan kronis –menahun serta berbahaya untuk kesehatan masyarakat sekitar.
Parahnya daerah tersebut merupakan dataran tinggi menuju komplek AL yang merupakan dataran rendah, sehingga ketika hujan datang, komplek AL sudah bisa dipastikan banjir cukup parah.

Bimo (24) salah satu warga yang tinggal di komplek AL, menjelaskan bahwa kompleknya memang berada di dataran yang lebih rendah. Selain itu, “selokan yang harusnya mengalir ke luar komplek, justru malah ke rumah saya.”
Sebab lainnya, ialah kebiasaan buruk masyarakat di sekitaran daerah tersebut masih banyak membuang sampah di sembarang tempat, khususnya di selokan.
Selain Rumah Mahfudz Abdrrahman, di sekitar selokan mampet tersebut –tepatnya sebelum, jika melaju dari arah Jalan Raya Jatikramat- terdapat rumah yang seringkali menjadi juru bicara PKS di media massa, yaitu Mardani Ali Sera (54). Yang saat ini, Mardani menjadi anggota DPR RI Daerah Pemilihan DKI Jakarta 1 –Jakarta Timur-, sekaligus menjabat sebagai Ketua DPP PKS Bidang Teknologi, Industri, dan Lingkungan Hidup.
Kedua rumah tersebut berdekatan dengan Yayasan Iqro’, yang menjadi basis kultural PKS –selain Yayasan Darul Hikmah di Jalan Raya Wibawa Mukti.
Jika saja dana aspirasi dari kedua Anggota DPR RI digunakan untuk perbaikan selokan –walau seharusnya eksekutif. Katakanlah, dana aspirasi 100 juta –walau kemungkinan atau dipastikan lebih dari angka tersebut- dikalikan 2 orang.
Maka masyarakat disekitar rumahnya, tidak perlu melihat comberan yang mampet di selokan yang kecil. Itu lebih baik. Dari pada masyarakat harus menikmati spanduk-spanduk partai dengan wajah anggota DPR RI. Lalu setelah melihat bawah, terdapat selokan mampet.
Untuk mengkonfirmasi selokan yang macet di sekitaran rumah Mahfudz Abdurrahman dan Mardani Ali Sera, jurnalis Kebijakan.co.id sudah menghubungi melalui instagram pribadi juga melalui surat resmi dan elektronik. Namun tidak kunjung mendapat balasan.
Untuk mencari dan mengkonfirmasi benar rumah kedua anggota DPR tersebut. Jurnalis Kebijakan.co.id mengetahui dari warga sekitar untuk rumah Mahfudz Abdurrahman dan mengetahui melalui laman berita yang ada untuk rumah Mardani Ali Sera, yang diketahui juga warga sering melihatnya di sekitar Jatibening.
***
Selokan macet ini, bukan menjadi isu strategis yang harus diselesaikan pemerintahan Kota Bekasi dalam dokumen Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Revisi RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) tahun 2011-2031 yang dibuat pada tahun 2017 dan sebelumnya disahkan melalui Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Bekasi.

Walaupun bukan isu strategis, ada 4 rencana cara menanggulanginya dalam dokumen tersebut. Kebijakannya yang diambil.
Pertama, membangun, meningkatkan, dan mengembalikan fungsi situ-situ sebagai daerah penampungan air; Kedua, menjaga fungsi lindung dengan ketat sesuai dengan arahan pemanfaatan yang berhubungan dengan tata air;
Ketiga, mengembangkan dan menata sistem jaringan drainase primer, sekunder, dan tersier yang terintegrasi antar bagian wilayah perkotaan di seluruh wilayah Kota Bekasi; Keempat, pembangunan folder sebagai tempat penampung air.
Akan tetapi, dalam dokumen tersebut, tidak jelas apa yang dimaksud dengan drainase primer, sekunder, tersier, dan beberapa istilah lainnya yang tidak dijelaskan –terkesan tidak dipersiapkan dengan matang.
Dalam dokumen tersebut, dijelaskan rencana untuk menjalankan 4 kebijakan di atas, bernama Rencana Pengembangan Sistem Jaringan Drainase. Pertama, normalisasi kali bekasi; Kedua, penerapan konsep ekodrain –tidak jelas apa yang dimaksud ekodrain dalam dokumen tersebut- dengan mengembalikan fungsi situ (penampung air);
Selanjutnya, ketiga, menata ulang struktur hirarki drainase; Keempat, mengoptimalkan dan merehabilitasi fungsi saluran; Kelima, pembangunan sistem tampungan air di sepanjang saluran air;
Keenam, pembuatan atau peninggian tanggul banjir; Ketujuh, pembuatan sumur resapan di setiap kawasan penduduk; Kedelapan, pengendalian dan penertiban bangunan di sempadan sungai; Kesembilan, mempertahankan fungsi kawasan resapan.
Akan tetapi langkah rencana tersebut, hampir tidak berjalan, dengan melihat keadaan yang terjadi -baik saat ini atau tahun-tahun sebelumnya.
***
Sedangkan dalam dokumen RDTR (Rencana Detail Tata Ruang) Kota Bekasi 2015-2035 yang disahkan melalui Peraturan Daerah Nomor 05 Tahun 2016. Memberikan penjelasan rencana untuk selokan (drainase) macet ini.

Pertama, membangun Sistem Drainase Berwawasan Lingkungan (SDBL). Tidak jelas apa yang dimaksud SDBL dalam dokumen itu. Turunan dari SDBL sendiri ialah membangun jaringan primer, dengan drainase tertutup diarahkan ke jalan utama. Jaringan sekunder, dengan drainase tertutup. Jaringan tersier, dengan drainase terbuka pada jalan-jalan lokal.
Kedua, ialah membangun drainase untuk jalan-jalan atau kawasan yang belum memiliki drainase. Ketiga, melakukan pemelirahaan jaringan yang ada, dengan perbaikan saluran yang rusak dan penggalian endapan lumpur atau tanah. Keempat, pembangunan sistem drainase metropolitan –untuk kawasan Kota.
Kali Ini Kemacetan
Ada sebabnya jurnalis Kebijakan.co.id melewati jalan pintas melalui Puri Gading dari Jalan Raya Wibawa Mukti. Sebab jika terus melaju di jalan Raya Wibawa Mukti –baik itu satu atau dua-, kemacetan begitu parah.
Penyebabnya ada banyak, luas jalan yang hanya bisa menampung satu mobil –dua jika berlawanan arah-, banyaknya pengkolan di mana tempat bertemunya keluar masuk kendaraan dari kantung-kantung perumahan warga, terlebih volume kendaraannya yang tinggi –ditambah truk besar yang seliweran karena banyaknya gudang pabrik atau jasa ekspedisi besar di sana.
Hampir 1 dekade, tidak ada penambahan luas jalan. Sedangkan perumahan warga –serta kendaraan pribadinya- dan industri ekspedisi dengan truk besar terus bertambah –yang mengincar dekat dengan pintu jalan Tax on Location (TOL) di Komsen. Ditambah merupakan jalan alternatif, dari Cibubur menuju jalan TOL atau menuju Kota Bekasi.
Bahkan, dalam dokumen Revisi RTRW Kota Bekasi tahun 2011-2031, menunjukan bahwa Jalan Raya Wibawa Mukti direncanakan menjadi kawasan perdagangan –sepadan dengan Jalan Raya Jatiwaringin yang dilebarkan menjadi 2 jalur dalam satu arah, walau tetap macet.
Dibenarkan juga, dalam dokumen RDTR Kota Bekasi tahun Kota Bekasi 2015-2035, bahwa Jalan Wibawa Mukti, menjadi kawasan perdagangan dan jasa zona kecamatan.
Pun, dalam dokumen RDTR Kota Bekasi tahun Kota Bekasi 2015-2035, Jalan Raya Wibawa Mukti 2, direncanakan ada peningkatan fungsi dan kapasitas jaringan jalan kolektor primer dan kolektor sekunder –lagi-lagi tidak dijelaskan sebelumnya, apa yang dimaksud kolektor primer dan kolektor sekunder.
Jika kita lihat lagi dan peka sedikit dengan Jalan Raya Wibawa Mukti, di antara panjang jalan tersebut –yang memang strategis karena di akhir ada TOL dalam Kota Jakarta atau TOL menuju Cikampek.
Terdapat beberapa rumah dewan, pertama, rumah Anggota Dewan DPRD Provinsi Jawa Barat dari PKS –daerah pemilihan 8 Kota Bekasi dan Kota Depok-, sekaligus juga Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Kota Bekasi PKS, Heri Koswara (51), yang juga merupakan daerah dengan basis kultural partai tersebut di sekitaran Yayasan Perguruan Islam Darul Hikmah -yang lebih dikenal dengan Yapidh.

Untuk mengkonfirmasi berkaitan dengan Jalan Raya Wibawa Mukti yang berada di daerah rumah Heri Koswara, sudah dilakukan dengan menghubungi website pribadi, email sahabat Heri Koswara, dan instagram pribadi beserta surat resminya. Namun tidak kunjung mendapatkan balasan.
Dalam mencari dan mengkonfirmasi kebenaran –setidaknya benar rumah Heri Koswara. Jurnalis Kebijakan.co.id mencocokan data di internet dengan lingkungan sekitar rumahnya berada di lingkungan Yapidh –yang juga Jurnalis Kebijakan.co.id merupakan alumni dari sekolah tersebut.
Selain itu ada Anggota Dewan DPRD Kota Bekasi Partai Amanat Nasional (PAN) –daerah pemilihan 4 Jatiasih dan Jatisampurna-, Aminah.
Terlebih di Jalan Wibawa Mukti, terdapat kelurahan, di mana lurahnya menjadi tangan kanan Eks-Wali Kota Bekasi, Rahmat Effendi (58) –yang juga merupakan ayah dari Ketua DPD Partai Golongan Karya (Golkar), Ade Puspitasari (37)-, yaitu kelurahan Jatisari, lurahnya ialah Mulyadi –di mana keduanya terjerat Operasi Tangkap Tangan (OTT) Korupsi tahun 2022 awal dan ditetapkan tersangka korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sekaligus ditetapkan tersangka pencucian uang dari korupsi tersebut.
***
Masalah kemacetan bukan hanya di Kota Jakarta –sebagai kota utama- yang harus diselesaikan, dalam lingkup objek jalan yang lebih kecil, misalkan Jalan Raya Wibawa Mukti –sebagai salah satu jalan penyangga kota utama-, perlu di perhatikan. Sebab, kemacetan merupakan isu strategis di Kota Bekasi dalam dokumen Revisi RTRW Kota Bekasi tahun 2011-2031.
Dalam dokumen RDTR Kota Bekasi tahun Kota Bekasi 2015-2035, Pemerintah Kota menjadikan kemacetan isu yang harus diselesaikan dalam jangka menengah –ntah apa yang dimaksud dengan jangka menengah- dan mendorong adanya insentif untuk pemcehan masalah.
Selanjutnya Banjir
Jika pola tersebut hanya jurnalis Kebijakan.co.id lihat ketika berkendara dengan kuda besi dari Jatiasih menuju Jatiwaringin –melalui jalan pintas Puri Gading, Jalan Raya Kodau, lalu Komplek AL. Tetapi apakah hal tersebut sama dengan rumah anggota dewan lain di luar daerah Jatiasih menuju Jatiwaringin.
Di daerah Jatibening, sudah menjadi rahasia umum jika komplek IKIP (Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan) –yang umumnya dikenal sebagai komplek dosen IKIP-, Jatibening menjadi langganan banjir ketika hujan datang –baik hujan kecil atau hujan besar.
Di beberapa waktu, Jatibening 1 dan Jatibening 2 juga merasakan hal serupa, yaitu banjir. “Yang saya tau, daerah di Jatibening memang lokasi daerahnya rendah,” menurut Catovil (24), salah seorang warga di komplek tersebut. Jatibening sendiri, merupakan jalan terusan dari Antilope –yang berhimpitan dengan Komplek AL-, yang sebelumnya juga dibahas mengenai banjir di daerah tersebut.
Kabar terakhir, di kutip dari Liputan6.com berujudul Titik Banjir di Kota Bekasi Bertambah Menjadi 17 pada 6 April 2022, terjadi banjir di Komplek IKIP dengan ketinggian 125 centimeter (cm).
Ketinggian tersebut, merupakan yang tertinggi diantara 16 daerah lainnya di Kota Bekasi. “Ada beberapa genangan di Kota Bekasi, terutama di Perumahan Dosen IKIP, paling tinggi, hampir satu meter,” menurut keterangan Kepala Seksie Rehabilitasi dan Rekonstruksi BPBD Kota Bekasi, Idham Kholid.
Dua titik lainnya merupakan daerah yang menjadi pembahasan sebelumnya, Komplek Antilope -atau Komplek AL- dengan ketinggian 50-80 cm dan Jatibening Permai dengan ketinggian 80 cm.
Pun, dalam dokumen dokumen Revisi RTRW Kota Bekasi tahun 2011-2031, menunjukan dalam peta rawan banjir di Kota Bekasi, Jatibening salah satunya, termasuk Jatikramat –Antilope, Komplek AL, dan Komplek IKIP yang dibahas sebelumnya.
Begitu juga dalam dokumen RDTR Kota Bekasi tahun Kota Bekasi 2015-2035, Kelurahan Jatibening, baik itu baru dan lama. Ditetapkan menjadi kawasan rawan bencana banjir.
Ironisnya, di ujung jalan Jatibening, tepatnya di Perumahan Jatibening Tol –di mana pertemuan antara Caman dan Jatibening, sebelum keluar menuju TOL dalam Kota atau Jalan Raya Kalimalang- terdapat rumah anggota DPR RI, Sukur H Nababan (54) dari Partai Demokrasi Perjuangan Indonesia (PDIP) daerah pemilihan Jawa Barat VI Kota Bekasi dan Kota Depok.
Sekaligus juga menjadi DPP PDIP, Ketua Bidang Keanggotaan dan Organisasi, di bawahi langsung Megawati Soekarnoputri (75) sebagai Ketua Umum DPP PDIP, yang juga menjadi atasan secara struktur Partai Politik dari Joko Widodo (61), Presiden Republik Indonesia dan Plt. Walikota Bekasi –pengganti Rahmat Effendi- Tri Adhianto, yang juga merupakan ketua DPC PDIP Kota Bekasi.
Untuk mengkonfirmasi banjir parah di Jatibening yang merupakan daerah rumah Sukur H Nababan, redaksi Kebijakan.co.id sudah menghubungi melalui instagram pribadi dan mengirim surat resmi. Namun belum kunjung mendapat balasan –tentu juga tanggapan.
Dalam mencari dan mengkonfirmasi kebenaran rumah Sukur H Nababan, kami mencari alamat di laman resmi DPR RI. Lalu mendatangi klaster (kantung perumahan kecil) tepat sebelum pintu TOL di Jatibening.
***
Banjir menjadi momok bagi setiap Kota –yang didalamnya dominan terdiri dari struktur bangunan dan jalan aspal. Dalam dokumen Revisi RTRW Kota Bekasi tahun 2011-2031, banjir merupakan salah satu isu strategis yang harus diselesaikan di Kota Bekasi.
Menurut dokumen tersebut, penyebab banjir di antaranya terdapat tiga. Pertama, luapan dari sungai akibat debit berlebihan; Kedua, alih fungsi lahan sehingga daerah resapan berkurang; Ketiga, curah hujan yang tinggi dengan kapasistas selokan tidak memadai.
Sederhana, jika terdapat analisa bahwa daerah tersebut rendah dan berpotensi banjir, terlebih kondisi di lapangan berdekatan dengan aliran sungai, atau selokan di daerah yang lebih tinggi tidak layak.
Maka, proyeksi perumahan dalam daerah tersebut, harus dikurangi atau dibatasi. Sehingga, kerugian bisa dikurangi, dari pemerintah sendiri –seperti harus membangun tanggul atau pemulihan berulang-ulang- serta masyarakat itu sendiri –seperti kerugian nyawa, misalnya.
Terutama di daerah dengan kemiringan lereng yang cukup parah. Misalnya, dalam dokumen Revisi RTRW Kota Bekasi tahun 2011-2031, salah satunya di Jatiasih terdapat kelurahan Jatirasa, Jatimekar, Jatikramat.
Akan tetapi, terbantahkan dengan pesatnya pertumbuhan kantung-kantung perumahan yang tidak teratur, terutama di daerah yang rawan banjir.
Misal, melihat proyeksi pengembangan kawasan perumahan –dalam dokumen Revisi RTRW Kota Bekasi tahun 2011-2031-, di mana menempatkan daerah rawan banjir ke dalam rencana pengembangan permukiman kepadatan tinggi dan sedang.
Di antaranya daerah yang sudah dibahas sebelumnya, Pondok Gede –di dalamnya terdapat Antilope, Komplek AL, dan sebagian besar Jatibening.
***
Adapun Pemerintah Kota Bekasi –dalam RDTR 2011-2035-, dalam menangani banjir –di semua kawasan Kota Bekasi- memiliki rencana sebagai berikut. Pertama, normalisasi sungai; kedua, pembangunan polder –membendung air atau penampung air-; Ketiga, menerapkan sistem pompanisasi pada perumahan rawan banjir; Keempat, pembuatan sumur resapan;
Kelima, revitalisasi bantaran sungai; Keenam, pengembalian fungsi situ; Ketujuh, penetapan danau sebagai tampungan air; Kedelapan, pembuatan kolam penampung air pada pemukiman rumah; Kesembilan pengendalian dan penertiban bangunan pada Daerah Aliran Sungai (DAS).
Dana Aspirasi, Partai Politik, dan Keterwakilan Wakil Rakyat
Melihat pola yang sama di sekitaran rumah wakil rakyat. Tentu bukan untuk menuduh wakil rakyat tidak bekerja untuk daerah di sekitar rumahnya, kemudian mendelegasikannya kepada pengurus di daerah tersebut.
Begitu juga dengan Partai Politik, terlebih pengurus DPP Partai Politik yang lingkupnya nasional.
Juga tidak menuduh para wakil rakyat kekurangan fungsi organ secara fisik dalam melihat kerusakan yang terjadi, terlebih ketika berangkat menuju Gedung DPR di Senayan, atau Gedung DPRD Provinsi Jawa Barat di Bandung, atau Gedung DPRD Kota Bekasi. Atau pulang menuju rumahnya masing-masing bertemu keluarga –anak, istri atau suami, orangtua jika masih ada.
Akan tetapi sebuah paradoks, jika melintasi jalur ‘kerusakan’ tersebut sembari melihat spanduk wajah-wajah wakil rakyat atau pengurus DPP Partai Politik beserta jargon atau kata-kata untuk mendukungnya, sedangkan di sisi bersamaan terdapat banjir, macet yang panjang, atau jalan rusak.
Lebih baik jika spanduk warung makan yang menawarkan potongan harga untuk mengunjunginya atau stiker panggilan badut sulap yang lebih nyata dalam menghibur (opini red.).
***
Apalagi melihat bahwa dana aspirasi –yang dalam Undang-Undang No. 17 Tahun 2014 tentang MD3 disebut Dana Program Pembangunan Daerah Pemilihan- turun ke daerah pemilihannya mencapai ratusan juta atau bahkan lebih, sedangkan di sekitar rumahnya seperti yang tadi di jelaskan. Paradoks.
Tentang Dana Aspirasi. Artikel kolom yang ditulis Agus Rewanto berjudul Dana Aspirasi Rawan Dikorup DPR (2015) di Koran Jakarta, menjelaskan Pimpinan DPR mengklaim tujuan utama dana aspirasi untuk memperjuangkan pemerataan distribusi dana pembangunan Jawa dan Luar Jawa.
Menurutnya, sesungguhnya motivasi usulan dana aspirasi sebagai strategi baru korupsi berjamaah sistemik yang dirancang secara khusus oleh semua anggota DPR, yang ditunjukan untuk mengembalikan modal kampanye.

Dan bukan untuk pemerataan, khususnya di luar Jawa. Karena, daerah pemilihan lebih banyak di Jawa-Sumatera.
Menurut Agus juga, secara teori kenegaraan, DPR mencampuradukkan asas dan prinsip legislatif dan eksekutif dalam satu gerbong. Yaitu sama-sama mengelola uang negara.
Seharusnya DPR berfungsi mengawasi kinerja pemerintah atau eksekutif untuk memastikan pelaksanaan keuangan negara -melalui program atau kebijakan- yang bersumber dari APBN. Sedangkan pemerintah atau eksekutif melaksanakan program atau kebijakan melalui keuangan negara.
***
Seharusnya juga Partai Politik -dalam buku Pembaharuan Partai Politik di Indonesia (2020) karya Feri Amsari (42), dkk.- baik secara teoritis atau normatif sesungguhnya merupakan alat dalam mewujudkan harapan publik tersebut menjadi nyata.
Konsekuensinya, partai politik harus memiliki mekanisme yang baik dalam menampung harapan dan aspirasi publik serta menyusun strategi agar harapan tersebut menjadi kebijakan yang nyata untuk masyarakat.

Tentu dalam menyusun strategi menjadi kebijakan, diperlukan pengakuan secara resmi atau legitimasi dari pemilihan umum (pemilu) –sebagai pembuat kebijakan atau pengusul kebijakan yang resmi.
Sebab itulah mengapa diadakan pemilu untuk wakil rakyat –baik legislatif dalam pengawasan, pengundangan, perancangan, persetujuan, penganggaran, dsb. Serta eksekutif dalam menjalankan, melaksanakan, memutuskan, dsb.
Dan pemilihan umum saat ini –pasca reformasi-, juga diadakan secara desentralisasi di daerah-daerah, baik provinsi atau kota kabupaten –sesuai dengan prinsip pemerintahan Indonesia yaitu desentralisasi atau pembagian kekuasaan di daerah-daerah- yang menciptakan distrik atau daerah pemilihan sebagai wakil daerahnya –di luar bagaimana metode penghitungan kursi wakil rakyat, baik metode distrik atau proporsional.
Dengan menempatkan keterwakilan dalam daerah pemilihan atau distrik tersebut bertujuan untuk aktualisasi peran serta masyarakat dalam pemilu.
Menurut Ni’matul Huda (58) dalam Penataan Demokrasi & Pemilu di Indonesia Pasca Reformasi (2017), menjelaskan semangat pemilu pasca reformasi (Tahun 1999) ialah, semangat rakyat untuk menentukan siapa yang menjalankan dan mengawasi jalannya pemerintahan. Sekaligus juga rakyat yang melakukan pengawasan terhadap wakil-wakilnya.

Baca Serial Liputan Investigatif "Tata (Buruk) Kota Bekasi" Lainnya: • Rusak di Sekitaran Rumah Dewan dan Petinggi Partai • Bulevar (Tapi) Sempit di Tengah Banyak Hunian • Tidak Layak Transportasi Publik • Buruk Udara, Buruk pula RTH, dan Sakit juga Manusianya



Diterbitkan: 27 April 2022 Pukul : 13.19 WIB Jurnalis: Adi Fauzanto
Daftar Bacaan: • Ni’matul Huda. 2017. Penataan Demokrasi & Pemilu di Indonesia Pasca Reformasi. Penerbit Kencana: Jakarta • Feri Amsari. 2020. Pembaharuan Partai Politik di Indonesia. Penerbit Intrans: Malang • Agus Rewanto. 2015. Dana Aspirasi Rawan Dikorup DPR. Kolom Koran Jakarta • Kristian Erdianto. 2018. Rumah Politisi PKS Mardani Ali Sera Dilempar Bom Molotov. Kompas.com, 19 Juli. • Bam Sinulingga. 2022. Titik Banjir di Kota Bekasi Bertambah Menjadi 17, Tersebar di 7 Kecamatan. Liputan6.com, 06 April. • Peraturan Daerah Kota Bekasi Nomor 5 Tahun 2016 tentang Rencana Detail Tata Ruang Kota Bekasi 2015-2035 • Peraturan Daerah Kota Bekasi Nomor 13 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Bekasi • Dokumen Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Tahun 2017 tentang Revisi RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) Kota Bekasi tahun 2011-2031 • Halaman Resmi Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia • Halaman Resmi Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Jawa Barat • Google Maps • Google Earth

