Kebijakan.co.id – Liputan Mendalam
Adi Fauzanto-25 April 2023 (18.00 WIB)-#12 Menit
Read in English Language Version

Baca tulisan liputan sebelumnya Film Dokumenter: Publikasi, Promosi, dan Pendanaan
Beberapa film dokumenter yang direkomendasikan oleh Kebijakan.co.id untuk ditonton.
***
Jakarta, Kebijakan.co.id — Dari beberapa film dokumenter yang Kebijakan.co.id tonton, dilihat dari kualitas penceritaan, filmografi, permasalahan, dan karakter (persona) yang kuat beberapa di antaranya dibahas secara singkat dalam bingkai cerita, sinema, dan persona.
Senyap / The Look of Silence (2015) karya Joshua Oppenheimer.
Dengan mengangkat cerita sejarah di balik peristiwa tahun 1965 di Indonesia yaitu pembantaian mereka yang dituduh komunis, tanpa diadili, dengan melibatkan negara, preman (freeman), dan komunitas agama. Dokumenter ini dibalut dengan perjalanan pencarian akan hal yang sangat pribadi, pencarian pembunuh sang Kakak.

Dari sisi sinematografi, pengambilan gambar sangat reflektif dengan alunan nada piano yang menyedihkan, dengan latar gambar yang menyeramkan menggambarkan keadaan ketika itu, dengan nada warna yang sedikit gelap.
Dari sisi karakter (pesona), film ini sangat otentik. Perjalanan subjek atas masalah pribadi yang penasaran dengan apa yang terjadi di masa lalu terhadap sang Kakak, membawanya ke beberapa tempat dan orang, mewawancarinya, bertanya tentang apa yang sebenarnya terjadi.
All That Breathes (2022) karya Shaunak Sen
Kedua, cerita dari India tentang bagaimana kedua orang, adik-kakak, yang membuat tempat konservasi untuk burung-burung karnivora seperti elang. Kegiatannya mengambil burung-burung yang sakit, lalu disembuhkan dengan cara operasi, lalu dirawat yang nantinya dilepasliarkan ketika sembuh.

Tidak hanya tentang konservasi, tetapi bagaimana menggambarkan keseimbangan alam, utamanya udara tempat semua mahluk hidup membutuhkan ruang hidup, dari tempat tinggal, bernapas, hingga cuaca. Dengan penceritaan sederhana akan tetapi begitu kuat, menjadikannya mendalam dan sangat reflektif. Disertai bumbu-bumbu masalah toleransi di India.
Secara sinematografi, pengambilan gambar yang sangat menawan, dengan latar gambar langit, burung, dan kota di India yang benar-benar menghipnotis penonton — walaupun sederhana seperti gambar burung, akan tetapi begitu menghipnotis. Selain itu, penempatan potongan video per video juga sangat tepat dalam film, itu juga yang menjadikan penonton terhipnotis. Seakan begitu sangat dekat berada di dalam film.
Dari sisi karakter, sang kakak dan adik ini begitu sangat kuat pendiriannya, walaupun pada awalnya kegiatan konservasi ini tidak menghasilkan — mereka mempunyai bengkel untuk mencari tambahan — akan tetapi mereka mencari sebuah makna bahwa burung — elang khususnya — mengajarkan mereka tentang kehidupan dan membuat mereka menjadi hidup.
The Elephant Whisperers (2022) karya Kartiki Gonsalves
Yang ketiga film dari India, sepasang suami-istri yang bekerja sebagai perawat gajah di salah satu taman nasional di India, mendapatkan tugas merawat gajah kecil yatim-piatu. Tidak semua perawat di sana bisa karena sulitnya merawat gajah kecil yatim-piatu, dengan kasih sayang yang begitu tulus merawatnya, mereka berhasil membesarkannya, hingga mendapatkan tugas kembali untuk merawat gajah kecil yatim-piatu lainnya.

Di India (mungkin seluruh dunia), merekalah yang pertama yang berhasil merawat anak gajah yatim-piatu hingga besar, umumnya gajah dirawat oleh perawat ketika dia sudah besar, jadi tidak sulit untuk merawat, memberi makan, mengajarkan cara hidup, dan hal-hal lainnya.
Cerita sederhana tetapi begitu menyentuh, tentang merawat mahluk hidup dan binatang, disuguhkan dengan sinematografi alam yang begitu menawan ditambah alunan suara tenang yang enak didengar menjadikan film ini begitu komplit, walaupun ceritanya sederhana akan tetapi begitu dalam untuk konservasi.
Secara karakter, pasangan suami istri begitu personal merawat gajah kecil yatim piatu, karena mereka baru saja kehilangan anaknya sebelum merawat gajah kecil itu, mereka menggangap merawat gajah kecil tersebut, seperti merawat anaknya yang telah meninggal. Karena ketulusan inilah mereka berhasil dan yang menjadi pertama merawat gajah kecil yatim piatu.
My Octopus Teacher (2020) karya Craig Foster
Film selanjutnya ialah My Octopus Teacher. Sebuah film yang menggambarkan kehidupan dan segala seluk beluk tentang gurita kecil, dibalut dengan penceritaan yang apik begitu menarik dari subjek utama pemeran utama — yaitu orang yang bertemu dengan gurita kecil tersebut.

Segala bentuk kekaguman atas binatang pintar tersebut disampaikan oleh Sang Narator, menghabiskan 1 tahun penuh dengannya, mulai dari cara mendekati (berkenalan), ‘bermusuhan’, berburu, diburu, perkawinan, hingga kematian.
Secara cerita sebenarnya sangat sederhana, akan tetapi balutan bercerita secara mendalam yang begitu menarik, ditambah sinematografi yang apik. Mengambil gambar detail tentang kehidupan hutan bawah laut selama 1 tahun, memang harus dikerjakan oleh kameramen berpengalaman dan penyelam yang berpengalaman.
Dari sisi karakter Sang Narator, begitu sangat dekat personal, dia mendapatkan dirinya galau (ntah karena apa penyebabnya), lalu bertemu dengan hewan yang begitu ‘canggih’ Sang Gurita, mengobati kegalauannya dengan berteman, sekaligus belajar darinya, mencari seluk beluk kehidupannya.
Sang Narator lalu mengambil satu pelajaran yang didapat dari siklus pendek Sang Gurita Kecil, ia belajar bagaimana menyangai kehidupan, mulai dari keluarga hingga alam — yang dalam hal ini laut.
Seaspiracy (2021) karya Ali Tabrizi
Film selanjutnya masih tentang binatang dan lautan. Berkisah tentang seseorang yang dari kecil menyukai wahana hiburan lumba-lumba, dari situ dia menelusuri bagaimana bisa lumba-lumba itu bisa terdapat di sana, yang mengantar dia kepada negara dengan penangkapan lumba-lumba terbesar yaitu Jepang.

Jepang menjadi pintu masuk untuk menelusuri dunia gelap ‘ekonomi’ laut. Mulai dari penangkapan hiu, paus, dan lumba-lumba untuk menguntungkan ‘ekonomi’ dari ikan tuna dan beberapa ikan lainnya yang merupakan rantai makanan dari binatang puncak rantai makanan seperti hiu, lumba-lumba, dan paus.
Praktik-praktik ini, disertai dengan praktik pengambilan ikan seperti pukat harimau yang merusak terumbu karang, dan beberapa pengakapan yang sia-sia seperti sirip hiu.
Ditambah menelusuri ‘aktivis lingkungan’ yang tidak bersuara dari pengangkapan besar-besaran, akan tetapi malah membicarakan tentang dampak plastik terhadap laut. Setelah ditelusuri lagi, ternyata pendonornya merupakan perusahaan penangkapan ikan. Dan menurut temuan, bahwa dampak plastik terhadap kotornya laut, tidak seberapa dibandingkan dengan dampak sampah pukat atau jaring dari pengambilan ikan secara besar-besaran.
Ditambah praktik ini, juga melibatkan perbudakan modern salah satunya terhadap pekerja Indonesia, dan beberapa dampak kemisikan di Afrika akibat ketiadaan ikan akibat pengangkapan besar-besaran.
Selain itu tercemarnya laut juga karena praktik medomestifikasi ikan di dalam jaring, mengakibatkan kotoran bercampur dengan kehidupan air di sekitar. Hal tersebut menyebabkan kualitas daging ikan yang tidak sehat.
Secara sinematografi, dengan pendekatan ‘jurnalisme investigatif’ yang sangat asik, dan penggambilan gambar dan latar tentang ikan dan lautan, menyajikan pemandangan biru yang apik. Disertai musik yang menegangkan untuk bagian tertentu dan nada alami khas lautan.
Secara karakter sang aktor utama jelas sangat kuat untuk mencari tahu di balik bisnis lautan ini, membuat film memiliki karakter yang kuat. Selain itu karakter juga memiliki keberanian untuk menyelundup hingga praktik-praktik yang dilakukan oleh aktor ekonomi lautan hingga sangat dekat. Tak jarang berusuan dengan pihak berwenang yang melindungi. Juga berkonfrontasi dengan aktor tertuduh di balik ekonomi lautan ini.
The Game Changers (2018) karya Louie Psihoyos
Dari beberapa film yang ada, inilah yang saya sukai. Menceritakan bagaimana kebangkitan seorang atlet MMA dan pelatih tentara USA yang cedera. Dari cedera tersebut, dia menyelidiki bagaimana agar cedera bisa cepat pulih, belajar bagaimana fisiologis tulang dan tubuh manusia.

Dari situ dia menjelajah hingga belajar tentang Gladiator yang merupakan petarung pada abad pertengahan awal yang diketauhi merupakan memakan makanan berbasis sayuran dan kacang-kacangan (tumbuhan). Dari situ dia mempelajari atlet yang menggunakan metode makanan sejenis, mulai dari pelari, petarung, football, sepakbola, perenang, pesepeda, hingga pengangkat berat.
Selain itu juga menyelediki dampak kesehatan terhadap pemakan daging, terhadap darah tinggi dan lainnya. Hingga penyebab-penyebab dari industri daging yang merusak lingkungan, seperti pembukaan lahan.
Dari sisi sinematografi menghubungan antara bercerita secara personal, wawancara yang khas, disertai dengan sinematografi ala olahraga di setiap cabangnya. Ditambah gambaran tentang sains dan animasi yang berhubungan dengan kesehatan dan fisiologis tubuh.
Dalam penggambaran karakter, aktor utama begitu kuat untuk mencari tahu mempercepat kesembuhannya dari cedera, hingga merubah gaya hidup untuk kembali pulih. Menekankan bahwa dirinya serius terhadap gaya hidup pola makan berbasis tumbuhan. Ditambah ayahnya mengedap penyakit jantung akibat pola makan daging sedari kecil.
Stranger at The Gate (2022) karya Joshua Seftel
Film yang menceritakan tentang seorang veterang perang tentara marinir Amerika yang berperang di Afganistan melawan pemberontak muslim bersama Uni Soviet di tahun 1990. Setelah beberapa kasus, khususnya peristiwa 2001 di WTC memicu trauma atas muslim, hal ini disebabkan oleh pengalamannya berperang di Afganistan yang bisa disebut PTSD (gangguan pasca trauma).

Hal ini menyebabkan dia merencanakan untuk mengebom muslim center di kotanya, akan tetapi setelah masuk dan melihat, tentara ini merasakan damainya muslim menyambut mereka. Akhirnya luluh untuk melakukan pemboman.
Secara sinematografi, mayoritas penggambaran wawancara tatap muka yang begitu orisinil dan menawan. Selain itu latar pengambilan yang begitu eksestik menggambarkan kondisi kota yang sepi. Dan beberapa gambaran masa lalu sang tentara yang begitu bahagia dengan anak dan istrinya, sebelum menderita PTSD. Betul-betul menggambarkan sebuah cerita yang utuh, dengan jatuh bangunnya sebuah manusia dengan PTSD-nya.
Sang tentara dan beberapa orang disekitarnya (utamanya anak) karakter yang sangat kuat. Sang keluarga yakin ayahnya adalah orang baik, dan mereka bersama menghadapi penyakit PTSD tersebut. Selain penggambaran komunitas muslim yang damai dengan kegiatan-kegiatannya dan sejarahnya yang juga menjadi korban akibat perang.
Sexy Killers (2019) karya Dandhy Laksono
Film dokumenter yang meliput penjuru daerah di Indonesia, khususnya yang terdampak PLTU, mulai dari kesehatan, ekonomi, masyarakat, politik, dan tentunya lingkungan.
Selain itu juga meliput proses dari hulu hingga hilir juga tak luput diliput, mulai dari penambangan batubara, distribusi batubara, hingga proses pembangkitan listriknya, menjadikan film ini komprehensif pembahasannya. Dua orang jurnalis memang sengaja berkeleling Indonesia untuk melihat langsung daerah-daerah yang terdampak PLTU. Mulai dari Jawa, Bali, Kalimantan, hingga Sulawesi.

Secara sinematografi film ini begitu menawan, menggunakan alat rekam yang terbaru pada masanya, seperti Go Pro, Drone, dan Kamera dengan resolusi tinggi menghasilkan gambar dan latar gambar yang menawan.
Belum lagi soal suara atau lagu yang memang khusus diproduksi untuk film dokumenter ini, yang sangat tepat menggambarkan kondisi yang terjadi di lapangan. Dengan bantuan animasi dan grafis yang menunjang memberikan informasi tambahan yang penting. Dengan alur cerita yang naik-turun agar tidak membosankan, membuat dokumenter ini begitu sempurna.
Secara karakter dua jurnalis ini cukup kuat dalam hal ekonomi-politik (yang memang sebagai tugas jurnalis mengawasi kekuasaan), dengan bingkai ekonomi-politik inilah yang menjadikan film dokumenter ini berbeda dengan film dokumenter lingkungan lainnya — yang umumnya hanya menyatakan dampak. Tentu ini membutuhkan skill khusus seperti jurnalisme investigasi, yang juga 2 jurnalis ini ahli dalam hal tersebut.
Fire of Love (2022) karya Sara Dosa
Film dokumenter yang terakhir, ialah film yang menceritakan kisah perjalanan dua orang peneliti vulkanologi yang menjelajah dari gunung berapi ke gunung berapi. Meneliti dari batuan hingga seluk-beluk gunung berapi. Film dokumenter diambil dari berkas-berkas yang disimpan, keduanya meninggal dalam letusan gunung berapi di Jepang.
Tidak hanya soal gunung berapi, kisah ini juga perjalanan kisah seorang yang saling mecintai hingga akhir hayat yang berdedikasi untuk ilmu pengetahuan.

Indahnya pemandangan gunung tidak perlu dihiraukan lagi dalam kualitas sinematografi walaupun dokumen-dokumen dari tahun di bawah 2000-an. Dengan narator yang ulung dengan suara yang indah menjelaskan begitu detail perjalanan dua sejoli yang jatuh cinta akan api. Benar-benar menghipnotis semua penonton akan kegigihan, jatuh cinta, dan cerita-cerita di baliknya.
Karakter dua sejoli ini benar-benar menunjunkan keteguhan akan hal yang diminatinya, meneliti hingga harus ‘mengorbankan nyawa’. Dua sejoli ini benar-benar menginspirasi apa yang harusnya dilakukan oleh seorang ilmuwan.
***
Dari beberapa film yang Kebijakan.co.id tuliskan di atas, bisa disimpulkan bahwa benang merah, film tersebut dikatakan bagus ialah pertama dari kualitas penceritaan, kualitas penggambaran sinematografinya, hingga karakter yang kuat. Mereka harus disamakan, dalam arti tidak boleh timpang antara satu dengan lainnya.
Kebenaran membutuhkan wadah. Kejujuran membutuhkan suara. Kenyataan membutuhkan kamera. Film Dokumenter hadir untuk ketiganya.
Redaksi Kebijakan.co.id
Baca Serial Liputan Mendalam "Film Dokumenter: Cerita, Sinema, dan Persona" Lainnya: •Film Dokumenter: Sejarah, Kegunaan, Jenis, dan Tahap Pembuatan •Film Dokumenter: Publikasi, Promosi, dan Pendanaan •Rekomendasi Film Dokumenter: Cerita, Sinema, dan Persona Serial Liputan Mendalam ini dikerjakan independen oleh Kebijakan.co.id, untuk mendukung Liputan Mendalam ini tetap terus dikerjakan oleh Kebijakan.co.id, ayo dukung Kebijakan.co.id di sini.


Diterbitkan: Selasa, 25 April 2023 Pukul: 18.00 WIB Jurnalis: Adi Fauzanto
Daftar Bacaan:
