Pesan Duka dari Semeru, Edukasi Mitigasi, dan Bencana di Sekitar Kita


Kebijakan.co.idLiputan Mendalam

Adi Fauzanto-16 Desember 2021 (06.00 WIB)-#27 Paragraf
Pesan Duka dari Semeru, Edukasi Mitigasi, dan Bencana di Sekitar Kita

***

Kronologi Erupsi Semeru

Jakarta, Kebijakan.co.id — Kabar duka dari Semeru. Sabtu, 4 Desember, terhitung pada jam siang menuju sore, sekitar pukul 15.00 WIB, Semeru mengeluarkan awan panas guguran yang berasal dari magma yang keluar membentuk tumpukan lava yang mendingin dan mengeras, tumpukan tersebut longsor disebabkan kondisi hujan. Sehingga membawa aliran material ke rumah-rumah warga di Kabupaten Lumajang.

Menurut BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana). Hingga pada saat ini (12/12/2021) korban tercatat berjumlah 46 manusia yang meninggal. 9 manusia masih hilang. Sedangkan yang mendapati luka, sebanyak 18 luka berat dan 11 luka ringan. Total warga yang mengungsi, sebanyak 9.118, 4.435 laki-laki dan 4.683 perempuan.

Ada kabar mengatakan dari warga, bahwa mereka tidak menerima peringatan dini –apalagi mitigasi. Sistem evakuasi juga tidak dapat berfungsi dengan baik, misal titik kumpul yang justru dipenuhi material awan panas. Susana gelap gulita disertai hujan debu vulkanik, dengan teriakan kepanikan warga terdampak, merupakan gambaran suasana ketika itu.

Akan tetapi menurut PVMBG (Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi), peringatan dini sudah diberikan informasi melalui grup Whatsapp kepada perangkat pemerintahan daerah, yaitu Kabupaten Lumajang. Peringatan tersebut, untuk mengosongkan beberapa daerah seperti Besuk Kobokan, Besuk Kembar, Besuk Bang, dan Besuk Sarat.

Hal tersebut dikonfirmasi oleh Perangkat Desa Sumberwuluh, peringatan tersebut disampaikan kepada para penambang pasir. Sedangkan Bupati Lumajang juga sudah memberikan peringatan kepada warga di sekitaran gunung Semeru.

Peristiwa erupsi gunung Semeru menjadi pelajaran, mulai dari komunikasi juga koordinasi, hingga kepada pencegahan-pencegahan lainnya.

Dibawah Puncak Mahameru Gunung Semeru
Dibawah Puncak Mahameru Gunung Semeru (Kholid Yahya/Kebijakan.co.id)

Memahami Bencana

Bencana erupsi Semeru, masuk kedalam jenis bencana alam. Tetapi apa sebenarnya bencana itu sendiri. Dalam buku Giri Wiarto, berujudul Tanggap Darurat Bencana Alam (2017), setidaknya ada 3 definisi resmi –dari WHO, Kementerian Kesehatan, juga Undang-Undang.

Secara Undang-Undang lebih jelas. Dalam Undang-Undang No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Diartikan sebagai peristiwa –juga rangkaiannya- yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.

Dari penjelasan tersebut. Kita mengetahui penyebabnya ada 3 yaitu alam, non-alam, faktor manusia. Dampaknya terdapat 4, korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.          

Selain penyebab, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi bencana alam. Pertama, aktor bahaya alam dan bahaya karena ulah manusia -diantaranya bahaya geologi, hidrometeorologi, biologi, teknologi, dan kualitas lingkungan.

Kedua, kerentanan yang tinggi dari masyarakat, infrastruktur dan elemen-elemen lainnya di wilayah potensi bencana. Ketiga, ialah kapasitas pengetahuan yang rendah dari berbagai pihak -institusi juga individu- di dalam masyarakat.

Penjelasan tersebut, menjadi titik berangkat bagaimana menyusun edukasi mitigasi kebencanaan, di semua daerah yang memiliki potensi bencana.

Infografis Pesan Duka dari Semeru, Edukasi Mitigasi, dan Bencana di Sekitar Kita

Edukasi Mitigasi

Selain peringatan dari pemerintah tentang bencana, seharusnya masyarakat diberikan informasi tersendiri jika tanda-tanda bencana mulai datang, dan harus apa ketika bencana tersebut datang, hal ini bisa dikatakan edukasi mitigasi.

Bertolak dari adanya beberapa kejanggalan komunikasi pada peringatan dini erupsi gunung Semeru, hal yang seharusnya dioptimalkan di awal ialah edukasi mitigasi. Ada atau tidaknya peringatan dini komunikasi ketika bencana, masyarakat sudah siap bila apapun terjadi.

Misal, sebelumnya sudah terdapat edukasi, jika terjadi peringatan terkait erupsi ditambah curah hujan tinggi. Maka radius aliran guguran material semakin jauh. Terbukti, radius longsoran guguran awan panas Semeru dibantu hujan deras, menerjang zona-zona perumahan warga –hal tersebut nantinya juga berhubungan dengan tata kota.

Dalam wawancara singkat dengan Rizky Anwar Hidayatullah (Relawan MDMC Muhammadiyah), selain mitigasi jangka pendek harus juga didukung juga dengan edukasi mitigasi bencana jangka panjang.

Pertama, sedari dini, anak-anak seharusnya sudah diajarkan di bangku-bangku sekolah dasar, menengah pertama, hingga mengenah atas -baik penjelasan atau praktik. Hal tersebut sudah masuk kurikulum, di semua daerah. Misal daerah padat penduduk, terdapat kurikulum pencegahan kebakaran. Daerah pantai, terdapat kurikulum pencegahan bencana alam tsunami.

Kurikulum tersebut bisa dikatakan, kurikulum kebencanaan berskala lokal. Tidak sama dengan pramuka, yang berorientasi survival. Kebencanaan lebih umum sekaligus praktikalnya –dan tentu bermanfaat. Sebagai negara tropis, yang di apit dua samudera dan dua benua, disertai pertemuan lempeng teknonik, dan merupakan jalur sabuk vulkanik gunung berapi, dengan potensi bencana yang besar, sudah seharusnya kurikulum itu ada, sebagai bentuk menjaga negara dan bangsa.  

Kedua, masih berhubungan dengan pendidikan, relawan kebencanaan dapat dimanfaatkan nantinya sebagai guru, sama seperti Pramuka dan pandu nya. Tetapi kita tidak bisa mengharapkan pemerintah turun tangan untuk semua edukasi mitigasi –juga ketika penanggulangan bencana. Keterlibatan relawan non-pemerintah (misal, Wanadri, MDMC, dsb.), perlu diberikan pendidikan juga, tujuannya memberikan kompetensi, untuk nantinya bisa setara pengetahuan nya dengan tim penanggulangan bencana pemerintah.

Ketiga dan keempat, tidak berhubungan dengan pendidikan, tetapi dengan tata kelola –tetapi masih berhubungan dengan mitigasi. Perbaikan tata kota menjadi hal ikhwal dalam mencegah terjadinya bencana –baik alam ataupun non-alam. Hal tersebut seharusnya sudah di pelajari ketika para arsitek, ahli tata kota, atau sarjana teknik lainnya belajar di perguruan tinggi.

Mustahil bila terus mengambil ilmu pengetahuan tata kota dari luar Indonesia, tetapi tidak melihat Indonesia sebagai wilayah yang mempunyai karakteristik tersendiri. Misal wilayah geografis yang berdampingan dengan gunung, juga lautan. Hal tersebut, berhubungan juga kepada yang Kelima, yaitu memberikan edukasi pengembang rumah, yang secara praktik berurusan langsung dengan tata kota.

Kedua aktor tersebut, nantinya harus bisa menguji potensi bencana di wilayahnya –sekaligus juga bisa mencegah bencana. Dan nantinya dapat memberikan solusi jika masih terdapat potensi tersebut. Hal tersebut datang dari berbagai macam disiplin ilmu –tidak hanya ilmu arsitektur semata, begitu juga dengan lainnya. Ia tidak boleh eksklusif.

Tingkat Individu

Dari hal edukasi mitigasi, menghasilkan pengetahuan tentang kebencanaan di tingkat individu. Misal dari pendidikan kebencanaan di sekolah, nantinya individu dapat mengetahui potensi bencana di sekitar dan dapat membuat gambaran jika terjadi bencana.

Mulai dari praktikal, invidu tersebut harus berbuat apa dan harus menyiapkan apa ketika terjadi bencana, hingga kepada pengetahuan keahlian dasar menghadapi bencana, misal kemampuan menyelamatkan diri, pertolongan pertama, hingga bertahan diri.

Pada tingkat komunitas atau masyarakat, individu yang didapuk menjadi tokoh masyarakat, atau pimpinan warga. Juga memiliki tanggungjawab mengedukasi, hingga kepada mengarahkan, berkoordinasi, jika terjadi bencana.

Pemanfaatan Teknologi

Selain dari sumber daya manusia nya, pemanfaat teknologi juga diperlukan. Bertolak dari bencana Semeru, terdapat kejanggalan komunikasi massa yang masih struktural. Hal tersebut, tentu bisa dicegah dengan adanya pemanfaatan teknologi.

Perbaikan komunikasi massa dalam peringatan dini, bisa menggunakan alarm, toa, atau radio dalam setiap rumah atau di setiap jalan-jalan yang terdapat kantong aktivitas atau rumah warga. Hal tersebut juga dapat didukung dengan imbauan atau informasi berbentuk poster baik dalam rumah, gedung, atau fasilitas publik lainnya.  

Tetapi lebih dari itu, prinsipnya pemerintah atau lembaga otoritas tidak boleh menolak akan adanya inovasi teknologi yang ditemukan untuk mencegah, mendeteksi, atau menanggulangi bencana.  

Adi Fauzanto
Diterbitkan: 16 Desember 2021 
Pukul: 06.00 WIB 
Jurnalis: Adi Fauzanto
Fotografer: Kholid Yahya
Daftar Bacaan:
• Giri Wiarto. 2017. Tanggap Darurat Bencana Alam. Penerbit Gosyen: Yogyakarta
Berlangganan
Notify of
guest
0 Komentar
Inline Feedbacks
Lihat Semua Komentar