Perumahan Syariah di Kota Depok, Surga di Rumah atau Neraka Keberagaman


Kebijakan.co.idLiputan Konstruktif

Adi Fauzanto-18 Nov 2022 (18.00 WIB)-#85 Paragraf
Perumahan Syariah di Kota Depok

Fenomena perumahan syariah meruak ke pasar baru-baru ini. Terhitung semenjak kebangkitan ‘Islam Politik’ dan menjalar ke berbagai aspek, mini market syariah, hingga perumahan syariah.

Fenomena ini, ditangkap baik oleh pengusaha yang berhasil melihat pasar masyarakat islam yang gandrung akan merek syariah.

Beberapa menunjukan dampak pendek yang buruk, ketidaktepatan atau terjerat penipuan hanya karena ingin mendapatkan rumah bermerek syariah.

Dampak panjang, pengelompokan ini berpotensi menciptakan segregasi, terlebih jika ada situasi yang dapat memicunya, misal politik identititas. 

Dalam perspektif Islam, Al-Quran tidak pernah mengajarkan harus bertetangga muslim atau membuat kawasan khusus Muslim.

Dalam perspektif kebangsaan, sejarah mencatat hampir semua agama terlibat dalam kemerdekaan bangsa Indonesia, dan oleh karenanya bangsa ini didasarkan atas keberagaman.

Menarik dibahas, khususnya di Kota Depok, kota yang menurut Setara Institute tingkat tolerannya rendah, juga terjadi. Terlebih di bawah rezim penguasa yang merupakan ‘Partai Islam’ yaitu PKS.

***

Depok – Kebijakan.co.id“Berlayar ke Depok di waktu pagi hari” adalah petikan lagu Jason Ranti, kota satelit Jakarta sekaligus juga bersemayamnya universitas terbaik di Indonesia, tidak menjadikan kota ini ‘terbuka’ secara pemikiran. Sebab, di depan kantor kelurahan Tugu terpampang spanduk ‘perumahan khusus muslim’.

Secara terbuka Kebijakan.co.id (2/11/2022) menghubungi salah satu pengembang perumahan tersebut, dan memulai pertanyaan sederhana, “Apakah perumahan grand mutiara sawarga, adalah perumahan syariah hanya untuk muslim?” Setelah itu, “Mohon maaf, jika ada yang beli merupakan non-muslim apakah bisa?”

“Iya, betul perumahan khusus muslim,” jawab marketing pengembang perumahan tersebut, “Maaf kalau proyek yang ini tidak bisa (untuk non-muslim),” tambahnya. Dan berlanjut ditawari perumahan lainnya yang tidak khusus muslim atau perumahan pada umumnya. Memang otak bulus mengincar yang gandrung akan islami.

Bukan tidak mungkin ke depan, ada ‘perumahan khusus katolik’ ‘perumahan khusus hindu’ ‘perumahan khusus buddha’ bahkan ada ‘perumahan khusus muhammadiyah’ dan ‘perumahan khusus NU’.

Adalah perumahan syariah, yang secara ajaran agama dan kebangsaan benar-benar melenceng. Hal ini tercipta karena cita-cita hidup dalam lingkungan islam atau islami yang berangkat dari ide besar sebuah negara Islam. Uniknya, karena pengusaha pengembang perumahan ‘memanfaatkan’ pasar tersebut.

Kota Depok dan Indeks Kota Toleran

Kota Depok memang tidak jauh-jauh dari kata intoleransi. Menurut Setara Institute melalui risetnya berjudul Indeks Kota Toleran menempatkan Kota Depok sebagai kota dengan tingkat skor toleransi 10 terendah dari 94 kota atau kabupaten sejak tahun 2015.

Jika melihat indikator penilaiannya tersebut, berdasarkan: (1) Rencana Pembangunan (10%); Kebijakan Diskriminatif (20%); (2) Peristiwa Intoleransi (20%); (3) Dinamika Masyarakat Sipil (10%); (4) Pernyataan Publik Pemerintahan Kota (10%); (5) Tindakan Nyata Pemerintah Kota (15%); (6) Heterogenitas Agama (5%); (7) Inklusi Sosial Keagamaan (10%).

Indikator penilaian tersebut diambil berdasarkan (1) Regulasi Pemerintah Kota; (2) Tindakan Pemerintah; (3) Regulasi Sosial; (4) Demografi Agama. Data-data tersebut dikumpulkan menggunakan 3 metode: (1) Triangulasi Sumber; (2) Kuesioner Pemerintah Kota; (3) Pertemuan Ahli untuk mengkonfirmasi Data yang telah dikumpulkan sebelumnya.

***

Dari riset tersebut setidaknya tidak benar. Maka Kebijakan.co.id menemukan fakta dan cerita-cerita yang mendukung hal tersebut di lapangan, di antaranya: (1) Sedikitnya sekolah negeri dibandingkan sekolah berbasis Islam Terpadu; (2) Ditambah tidak adanya guru agama untuk agama selain Islam; (3) Peristiwa diskriminasi terhadap kelompok minoritas agama, Ahmadiyah; (4) dan tak lupa, Perumahan Syariah yang menjamur.

Selain itu, Konde.co juga merangkumnya pada tahun 2022 dengan judul 5 Fakta Tentang Depok Kota Paling Tidak Toleran Versi Setara Institute. Pertama, Rancangan Peraturan Daerah Kota Religius. Kedua, Diskriminasi dua siswi berjilbab ditolak magang di hotel. Ketiga, Pemerintah kota larang perayaan valentine. Keempat, Penyegelan Masjid Ahmadiyah. Terakhir yang kelima, Perumahan khusus muslim.

Data Perumahan Syariah di Kota Depok

Membahas perumahan syariah atau perumahan khusus muslim, baiknya dimulai dari data. Berapa jumlahnya di Kota Depok? Menurut data yang dihimpun dari open source (sumber terbuka) berasal dari Google dan aplikasi Google Maps, hal tersebut didapatkan dari klaim perumahan syariah dalam informasinya, perumahan khusus muslim dalam keterangan tertulisnya atau promosinya.

Kebijakan.co.id melakukan pemeriksaan ulang terhadap kecamatan Cimanggis secara langsung, ditemukan beberapa perumahan yang sedang dibangun, adapula yang sudah dibangun dan ditempati, dan beberapa perumahan yang tidak terdeteksi namun sedang dalam pembangunan dan melakukan promosi.  

Selain itu, Jurnalis Kebijakan.co.id mendapatkan data dari SiRumkim sebuah data terbuka yang disediakan oleh Dinas Perumahan Pemerintahan Kota Depok, yang menurut Meti salah satu petinggi dalam Dinas tersebut saat ditemui Kebijakan.co.id (7/11/2022), “Tidak pernah di perbaharui.” Dan data tersebut berasal dari dinas lain, “Jadi kita minta data juga ke (Dinas) PTSP (Pelayanan Terpadu Satu Pintu)…., karena mereka kan yang mengeluarkan izin, pasti mereka adalah ini datanya.”    

Pengolahan data SiRumkim pertama-pertama Jurnalis Kebijakan.co.id mencari irisan dari data terbuka yang didapat sebelumnya dari open source (data terbuka) berasal dari Google dan Google Maps. Setelah itu mencari nama yang bernuansa syariah atau islami di SiRumkim tersebut, lalu dilakukan crosscheck (pengecekan kembali) melalui Google, dengan tujuan memastikan benar-benar perumahan tersebut perumahan syariah dan khusus muslim secara klaim ataupun keterangan tertulis.

Selain itu kami juga mendapatkan informasi dari penelitian-penelitian sebelumnya, jika tanda-tanda tidak dapat dipastikan atau tidak ada maka Jurnalis Kebijakan.co.id akan mencoretnya.

***

Kemunculan perumahan syariah di Kota Depok ini, tercatat dalam penelitian Siti Chaerani berjudul Fenomena Perkembangan Perumahan Muslim (Studi Kasus: Cinere Insani Residence dan Griya Insani Kukusan, Depok) pada tahun 2009.

Yang berkesimpulan, (1) Tidak ada masjid di dalam perumahan syariah tersebut, dan (2) Memberikan pernyataan perumahan khusus orang Islam bukan perumahan syariah atau islami. Sebabnya, islami atau syariah hanya menjadi daya tarik atau promosi kepada pembeli.

Secara arsitektur juga di dikritik oleh Siti bahwa penempatan ku’bah dan nuansa-nuansa simbol Islam tidak ada hubungannya dengan tingkat keislaman seseorang atau kualitas islam itu sendiri.

Lalu disambut dengan tulisan Aidan Raditya Prawira berujudul Menggugat Perumahan Beridentitas Islami (2021) di Alif.id, yang juga berkuliah di perencanaan wilayah dan kota Universitas Gadjah Mada di Yogya.

Tulisan yang apik ini membahas bagaimana perumahan syariah saat ini dibangun dengan hal-hal yang justru tidak menekankan nilai-nilai Islam, seperti membangun pagar yang tinggi, memisahkan jurang antara ‘si kaya’ yang tinggal perumahan Islami dengan rumah mewah dan tetangga yang kontras dengan keadaan rumah-rumah syariah tersebut. Jelas menjauh dari nilai Islam yang menekankan ikatan sosial dan persaudaraan dengan tetangga di sekitarnya.   

Terlebih perumahan syariah tersebut, seakan-akan dipaksakan dengan ornamen timur tengah dan pengabaian hal-hal yang seharusnya diperhatikan, seperti membuat sumur resapan, menghiasi tanaman-tanaman yang produktif, desain rumah yang rendah karbon dan ventilasi udara yang baik untuk mengurangi pengurangan Air Conditioner yang mencegah pemanasan global. Hal-hal tersebut tentu lebih Islami ketimbang ‘gimmick’ timur tengah, pagar yang tinggi, dan nama-nama syariah.

Hal tersebut sejalan dengan prinsip ‘La dharar wa la dhirar’ (diriwayatkan oleh Ahmad dan Ibnu Majah yang menjadi prinsip pembangunan ketika peradaban Islam di awal). Prinsip tersebut berarti jangan memberikan kemudharatan bagi diri sendiri dan jangan membawa kemudharatan bagi orang lain.

Aidan menjelaskan kemudharatan diartikan juga sebagai jangan menyakiti, membahayakan, mencelakai, mempersulit, atau membuat kerusakan baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain.

Hal tersebut penting, karena dalam konsep pembangunan perumahan harus memperhatikan kenyamanan dan keamanan tetangga –dalam konsep kebangsaan—, memperhatikan lingkungan sekitar, dan tidak hanya memikirkan diri sendiri. Lebih luas lagi memperhatikan lingkungan hidup yang harus bisa dinikmati bersama –seperti air yang bersih, udara yang bersih, ruang terbuka hijau, sumur resapan, saluran air yang baik, dan sebagainya.

Dari apa yang dijelaskan oleh Aidan ditemukan juga oleh Kebijakan.co.id di lapangan,perumahan syariah memiliki karakteristik perumahan yang tertutup, dijaga ketat oleh satpam yang hanya memiliki satu pintu, tidak ada masjid, dan selebihnya persis seperti perumahan pada umumnya.   

***

Selain itu, kemunculan perumahan syariah di Yogyakarta yang diliput secara berseri oleh BBC Indonesia, salah satu judul yaitu Perumahan dan Permukian Syariah: Ancaman bagi Toleransi dan Budaya Lokal? (2019) mentitik fokuskan kemunculan perumahan islami di Yogyakarta yang berpotensi bahkan sudah menggerus kebudayaan masyarakat setempat yang sekiranya positif dan tidak menimbulkan kerugian –khususnya untuk pendatang yang bermukim di perumahan syariah.

Hal tersebutpun diungkapkan juga oleh Loepianto (82), Sekertaris FKUB (Forum Kerukunan Umat Beragama) Kota Depok saat ditemui oleh Kebijakan.co.id (3/11/2022), terdapat satu perumahan –bukan perumahan syariah— akan tetapi  ditinggali secara bertahap oleh yang diduga beraliran wahabi –sebuah aliran Islam yang memiliki pemahaman kaku secara syariat. Menurutnya hal tersebut mengganggu budaya masyarakat yang sudah terbentuk, seperti Yasinan dan sebagainya, dan ‘menguasai’ masjid di sekitar daerah tersebut.  

Loepianto (Sekertaris FKUB Kota Depok)
Loepianto (Sekertaris FKUB Kota Depok) Sumber: WartaAhmadiyah.org

Cita-Cita Hidup Islami dan Bayang-Bayang Surga

Menurut Ade Supriatna, DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) Kota Depok Fraksi PKS (Partai Keadilan Sejahtera) saat ditemui Kebijakan.co.id (7/11/2022), masyarakat yang tinggal di sana mengharapkan sesuatu lingkungan syariah, kondusif untuk tumbuh kembang keluarga kecilnya, “Di situ diharapkan nanti keluarga yang memang pingin anaknya atau anggota keluarganya tumbuh dalam suasana yang religi, dari mulai pendidikan, kegiatan bermain, proses bersosialisasi itu pingin yang eksklusif (Islami).”

Dalam hal pendidikan di lingkungan misalnya, Ade Supriatna menambahkan, “Menanamkan keyakinan kuat terhadap satu agama, saya rasa memang harus dari kecil agar anak-anak punya pondasi dan terbiasa untuk beribadah tidak atas dasar disuruh sama orangtua, tetapi memang kesadaran sendiri karena keyakinan dia kepada Allah kepada Tuhan, itu yang harus dibangun kan, mungkin pinginnya seperti itu.”

Ade Supriatna (DPRD Kota Depok Fraksi PKS)
Ade Supriatna (DPRD Kota Depok Fraksi PKS) Sumber: RadarDepok.com

Oleh karenanya, “Keluarga-keluarga (tadi) yang membeli perumahan di kawasan syariah, pinginnya anaknya tumbuh dalam lingkungan yang baik.” 

Namun menurut Loepianto, ironinya perumahan syariah hanya membangun ‘rumah saja’ bukan lingkungan yang syariah.

“Kalau mau bangun lingkungan syari, wilayahnya harus benar-benar syari juga. Contoh, mau bangun perumahan di Jombang, ah itu mendukung, ada sekolahnya (pesantren). Kalau yang ini ngga mendukung, hanya rumahnya saja. Kalau kita bicara satu komplek syariah, itu harus bener-bener semuanya, bukan merek aja, tetapi di situ ada madrasah (sekolah), tempat ibadah.”

Hal tersebut disetujui oleh Meti, dari Dinas Perumahan Kota Depok, “Pasti dari nama doang.”, Dia juga menambahkan, “Kalau setahu saya, kayanya hanya label (merek) deh Mas. Kaya perumahan Mutiara Darrusalam, mungkin kalau secara nama, ‘oh perumahan Islami nih’ tetapi nggak tau islami atau ngganya ya.”

***

Selain itu, cita-cita tentang kehidupan islami menurut Abdul Rohim, Direktur Maarif Institute saat ditemui Kebijakan.co.id (31/10/2022), berangkat dari kegagalan cita-cita politik Islam, “Nah kepentingan politik berkaitan dengan aspirasi ‘Islam’ dalam tanda petik, yang dimaknai secara sempit. Karena Islam yang sebenarnya tidak mengenal adanya segregasi-segregasi (pemisahan) seperti itu.”

Abdul Rohim Ghozali (Direktur Eksekutif Maarif Institute)
Abdul Rohim Ghazali (Direktur Eksekutif Maarif Institute) Sumber: Media Indonesia

Nah kepentingan politik berkaitan dengan aspirasi ‘Islam’ dalam tanda petik, yang dimaknai secara sempit. Karena Islam yang sebenarnya tidak mengenal adanya segregasi-segregasi (pemisahan) seperti itu.”

Abdul Rohim Ghazali

Kegagala aspirasi politik Islam, menurut Buya Syafii, yang diceritakan oleh Abdul Rohim, ialah tentang, “Trauma kegagalan Islam Politik, kan dulu ada aspirasi untuk mendirikan negara Islam.”

Hal tersebut menghasilkan banyak dampak dikotomi (atau pembedaan) antara yang Islami dan tidak, “Nah dikotomi yang terjadi di Indonesia antara Islam dan Umum kemudian berimplikasi kebanyak hal, awalnyakan bermula dari pendidikan, dalam kehidupan sehari-hari kita akhirnya dihadapkan pada 2 dikotomi itu. Nah itu sebenarnya yang mencoba dilawan oleh Buya (Ahmad Syafii).”

Dikotomi (pembedaan) ini sebenarnya juga tidak baik berlaku di seluruh agama, jika saja seorang muslim yang ingin tinggal di daerah non-muslim, hal itu digambarkan oleh Bro Icuk (35), Wakil Ketua DPC (Dewan Pimpinan Cabang) PSI (Partai Solidaritas Indonesia) Kota Depok saat ditemui Kebijakan.co.id (2/11/2022).

“Mungkin kalau orang bilang, ‘saya warga depok, karena rumah saya disini, saya tidak merasa itu ada,’ ya, karena itu rumah elu, tetapi pada saat elu jadi pendatang ada orang baru, elu mau ngontrak, nah itu (agama) jadi salah satu pertimbangan yang punya rumah (pemilik kontrakan), nggak mau nerima”

Hal kecil dicontohkan oleh Bro Icuk dalam tingkat yang paling ekstrim, adalah ketika, “Kemarin ada salah satu orang flores meninggal (yang merupakan mahasiswa), (kemudian) RT (rukun tetangga) tidak mau menerima dia sebagai warga, jadi langsung pencatatan sipil nya langsung ke pemerintah Kota, dukcapil nya Pemkot, diterima, tetapi RT/RW tidak menjembatani sebagai pelayan masyarakat paling depan dan itu disampaikan oleh bapak dan ibu RT yang notabene adalah seorang muslim.”

Icuk Pramana Putra (Wakil Ketua DPC PSI Kota Depok)
Icuk Pramana Putra (Wakil Ketua DPC PSI Kota Depok) Sumber: JabarEkspres.com

***

Ketika cita-cita dan impian memiliki rumah dengan lingkungan yang islami untuk keluarga terpikirkan, dari situ juga pengusaha-pengusaha mencoba memanfaatkan pasar dengan membangun perumahan syariah.

Islam dan Ajaran Perumahan Khusus Muslim

Islam sebagai agama yang mengatur melalui hukumnya, atau bisa dikatakan syariat, ‘yang diambil’ katanya secara semena-mena oleh pengembang perumahan syariah. Menurut Abdul Rohim, hal tersebut, “Mengatasnamakan Islam, itu bertolak belakang dengan prinsip-prinsip Islam sendiri.”

Karena pada dasarnya perintah Al-Quran tambah Abdul Rohim, “Perintah di Al-Quran untuk mengenal satu sama lain itu umum, tidak hanya kepada muslim atau sesama islam saja.”

Terkhusus kepada tetangga misalnya, Islam mengajarkan, “Perintah kita untuk berbuat baik kepada tetangga itu berlaku umum, tidak hanya kepada yang spesifik saja seperti kepada muslim saja, tidak ada itu.” Tambah Abdul Rohim.

“Bahkan, ketika memasak masakan itu diperintahkan oleh Nabi (Muhammad) memperbanyak kuahnya, supaya kamu (yang memasak) bisa berbagi kepada tetangga.”

“Nabi mengatakan juga, tidak beriman seseorang yang kekenyangan, tetapi tetangganya kelaparan. Dan itu tidak ada spesifik tetangganya muslim, non-muslim, bahkan orang yang tidak percaya Tuhan.” Tutup Abdul Rohim.

Dalam sejarahnya pun, ketika itu Nabi hidup berdampingan dengan agama lain, oleh karena itu kawasan khusus syariah tidak relevan menurut Ade Supriatna, “Kawasan syariah memang dalam Islam pun tidak diatur harus membuat satu kawasan khusus muslim, nggak ada, karena dari sejarahnya juga kan, Nabi tinggal di Madinah itu plural.”    

“Kawasan syariah memang dalam Islam pun tidak diatur harus membuat satu kawasan khusus muslim, nggak ada, karena dari sejarahnya juga kan, Nabi tinggal di Madinah itu plural.”

Ade Supriatna

Selain itu, “Karena dalam Islam juga kan, ada hak tetangga baik dia muslim ataupun non-muslim, karena di Madinah sendiri plural sebenarnya, waktu Nabi datang ke sana kan banyak agama, ada Yahudi, ada Nasrani juga.” Tambahnya.

Hal tersebut menjadi kebingungan, ketika ada perumahan syariah lalu bertentangan dengan syariah itu sendiri, menurut Loepienato, “Gimana kita mau bangun wilayah yang namanya syariah? Sedangkan apa yang dipraktikin melenceng dari syariah. Islam (harus) menghargai agama lain juga. Iya ga? Iya kan?”

“Gimana kita mau bangun wilayah yang namanya syariah? Sedangkan apa yang dipraktikin melenceng dari syariah. Islam (harus) menghargai agama lain juga.

Loepianto

Dalam hal menjalin hubungan yang baik dengan siapapun –terkhusus tetangga–, bahkan dengan musuhnya, dicontohkan Buya Ahmad Syafii Maarif, dalam cerita Abdul Rohim.

“Buya memesankan untuk membuka diri, untuk berhubungan dengan siapapun, bahkan dia (Buya) dalam hidupnya tidak pernah merasa canggung, tidak punya hambatan psikologis bergaul dengan siapapun, bahkan kepada orang yang secara pemikiran Buya tolak, seperti Abu Bakar Ba’asir, dia temani dan dia kunjungi.”

Potensi dan Mencegah Segregasi

Salah satu ancaman dari perumahan syariah ialah segregasi (pemisahan) di Masyarakat. Pemisahan ini tercipta karena lingkungan interaksi yang berbeda, mulai dari tetangga rumah. Ancaman tersebut bersifat potensi (akan terjadi) jika terjadi pemicunya, salah satunya peristiwa politik dan peristiwa lainnya yang menyangkut identitas keagamaan.

Menurut Abdul Rohim, mengatakan, “Ketika terjadi gesekan politik, apalagi politik itu dengan menggunakan isu agama, maka potensi gesekan akan mudah mencuat di permukaan. Seperti yang terjadi saat Pilkada DKI 2017.”

Akan tetapi potensi-potensi tersebut bisa menyebabkan dua kemungkinan menurut Ade Supriatna, “Kalau memang di dalamnya (di perumahan syariah) kondisinya tidak mengajarkan tata cara perilaku dengan yang berbeda keyakinan,” atau, “Salah asuh, dalam komunitas tersebut, bisa saja begitu (menciptakan eksklusifitas)”.  

Kedua, “bisa juga ketika di dalamnya ada pengajaran yang moderat, yang istilahnya bagaimana berlaku dengan sesama mahluk tuhan, berkasih sayang, saling tolong menolong, saling bantu, antar kawasan misalnya.”

Segregasi (pemisahan) juga bisa dicegah jika tidak ada pemicu tadi, menurut Abdul Rohim, “mungkin kalau tidak ada pemicunya, potensi itu akan menjadi ‘angin lalu’ atau ‘api dalam sekam’,” akan tetapi, “‘api dalam sekam’ kalau tidak ditiup angin maka tidak akan berbahaya, kalau tertiup angin dia akan menyala, dan kalau kena hujan bisa mati.” Ungkapnya melalui kiasan.

“Artinya potensi itu bisa hilang pada saat muncul kebijakan politik yang bisa menumbuhkan kebersamaan, bisa mengikis segregasi antar berbagai kelompok beragama.”

Kebijakan politik bisa dibangun dari RT, RW, Kelurahan, melalui kegiatan warga misalnya, menurut Ade Supriatna, “Untuk yang cluster (syariah) memang harus ada jembantan dari RT RW Kelurahan agar ada semacam dialog, kalau dialog kan resmi banget, mungkin ada kegiatan yang bisa –istilahnya juga bukan mencairkan, mungkin juga gabeku-beku juga ya—ada bahan pengajaran gitu ya kepada masyarakat, edukasi bahwa ada saudara-saudara kita yang berbeda keyakinan yang juga punya hak tetangga.”

Selain kegiatan bisa juga sosialisasi melalui kelurahan dan kecamatan, seperti yang dilakukan FKUB Kota Depok, “Kami sosialisasi mengenai kerukunan warga Kota Depok, dari sekolah, seluruh 63 kelurahan, dan 11 kecamatan kita adakan (sosialisasi). Di kelurahan kita suruh panggil RT/RW, di kecamatan kita suruh (panggil) lurah-lurah, LPM-LPM (Lembaga Pemberdayaan Masyarakat) itu.” Ungkap Loepianto.

Akan tetapi masalahnya, “Kalau lurahnya, nggak sampai 1 tahun (atau) 6 bulan diganti, ini bingung lagi. Kami itu ada biaya tersendiri buat adakan itu.” 

Secara garis besar, hal tersebut digambarkan oleh Bro Icuk, “Semakin kita mengkotak-kotakan (dan) mengclusterkan perumahan syariah dan akhirnya nggak ketemu tuh irisan-irisan, ‘oh ternyata temen gua ada yang nasrani’ ‘temen gua ada yang beda dari gua’ dan itu akan membentuk terus karakter manusianya secara tidak langsung, yang dikhawatirkan adalah itukan.”

“Semakin kita mengkotak-kotakan (dan) mengclusterkan perumahan syariah dan akhirnya nggak ketemu tuh irisan-irisan, ‘oh ternyata temen gua ada yang nasrani’ ‘temen gua ada yang beda dari gua’ dan itu akan membentuk terus karakter manusianya secara tidak langsung

Icuk Pramana Putra

Pencegahan Segregasi dari Pendidikan

Kebijakan politik lainnya selain kegiatan dan sosialisasi kepada warga, bisa dimulai dari pendidikan yang inklusif dari dini misalnya, menurut Ade Supriatna, “Lembaga pendidikan, apakah itu tingkat TK, SD, SMP, SMA, itu juga harus diberikan pemahaman terkait dengan ada ‘umat yang berbeda keyakinan dengan kamu’.”

“Jadi tidak ada yang ekstrim kanan di satu agama apapun, tidak ada pengajaran itu (ekstrim), jadi secara berkala lembaga-lembaga pendidikan juga diundang sama Dinas Pendidikan (Kota Depok),”

Sebabnya, “Ketika dapat insentif (dari) Pemkot (Pemerintah Kota), (Dinas Pendidikan) juga bisa memanggil lembaga-lembaga yang bersangkutan untuk diadakan pencerahan tadi terkait pluralitas, kebhinekaan, itu yang kita harapkan tidak terjadi ekstrim kanan di lembaga-lembaga pendidikan tersebut.”

Selain itu setidaknya di setiap sekolah ada guru agama –baik itu kristen, hingga agama lainnya–, menurut Bro Icuk, ”Semua agama, minimal ada satu guru agama di satu sekolah, kita nggak usah ngomongin yang sangat minoritas, guru agama kristen saja sudah dibilang sangat minim di Kota Depok.”

Hal itu didukung oleh Loepianto, “(ketiadaan) Guru. Kalau guru pendidikan Islam ada gurunya. Jadi dia (guru agama Kristen) harus yang belajar Kristologi (bukan guru yang belajar jurusan di luar jurusan agama).”

Dalam hal ketiadaan guru kristen ini misalnya, tambah Loepianto, “Di sini ini (Kota Depok) ada relawan dari penyuluh-penyuluh agama Protestan itu dari gereja-gereja (perkumpulan gereja), itu disuruh, mereka dapet (gaji) dari gereja.” Seharusnya, “(mereka) diambil (dan) digaji oleh sekolah.” Bukan dari lembaga luar sekolah.

Tujuan besar setidaknya menimbulkan rasa saling menghargai, “Tetapi memang kalau yang kita rasain ya –mungkin kalau mahasiswa (atau pelajar) yang sekolah di negeri— punya temen kristen, punya temen papua, punya temen kulitnya item, (temen) ada yang cina, ada segala macam, pasti terbiasa, akhirnya perbedaan, pluralisme.”

Lebih jauh Bro Icuk, membayangkan jika mereka (pelajar atau mahasiswa) yang menjadi pemimpin atau pengambil kebijakan nanti saling menghargai, “Nah nanti mereka-mereka ini yang melanjutkan perjuangan dong, merumuskan Indonesia seperti apa, menentukan Indonesia ke depan. Kalau mereka yang sudah terbiasa bertemu temennya ada yang batak, temennya ada yang ambon, temennya dari timur.”  

Akan tetapi jika anak tersebut tidak biasa bertemu dengan keyakinan atau teman dari etnis yang berbeda, dari SD hingga SMA bahkan Kuliah, menurut Bro Icuk, “Tetapi kalau dari SD-SMP-SMA sudah di tempat yang kurang keberagamannya, akhirnya juga pasti lebih ekstrim saat menerima doktrin yang ekstrim dan berpotensi ekstrim.”

“Kalau dari SD-SMP-SMA sudah di tempat yang kurang keberagamannya, akhirnya juga pasti lebih ekstrim saat menerima doktrin yang ekstrim dan berpotensi ekstrim.”

Icuk Pramana Putra

***

Itu pun kalau ada sekolah negerinya yang bisa memfasilitasi pendidikan agama, masalah lainnya menurut Bro Icuk, PSI Kota Depok, “SD dan SMP Negeri di Kota Depok jumlahnya kurang, belum (lagi) SMA.”

“SMA itu tingkatnya (dan) jumlahnya ditentukan dari pemerintah provinsi dan kewenangannya pemerintah provinsi. Sementara kalau pemerintah provinsi, kalau tidak disediakan lahan dari pemerintah kota (Depok) mau di taro di mana (sekolahnya), akhirnya masalah yang timbul adalah –tadi yang tadi, kalau tadi perumahan, adanya perumahan (syariah)— kalau ini sebenarnya di sektor pendidikan, (misalnya) SDIT-SDIT (SMPIT dan SMAIT atau Islam Terpadu).” Tambah Bro Icuk.  

Masalahnya lagi, menurut Bro Icuk, “Kenapa SMA negeri susah dibangun di Kota Depok, itu jalan keujung sana (mengarah ke Depok Baru) masih banyak tanah kosong bro, segitu banyaknya tanah tapi ga ada yang dibuat sekolah negeri, kok bisa?”  

“Sementara kayanya sulit banget (izinnya), apalagi kalau negeri, (misalnya Kecamatan) Beji belakang UI (Universitas Indonesia) gaada sama sekali sekolah negeri, jadi kalau untuk zonasi selesai mereka. Gaada pilihan lain, (harus) swasta. Pilihan swasta adalah swasta konvensional atau sekolah-sekolah Islam, ya gitulah jadinya makin terus berjauhan yang non-muslim tadi.”

Di satu sisi, menurut Bro Icuk, “Jumlah SDIT-SDIT yang swasta bertambah, yang kita ngga tahu itu Yayasan siapa? Itu punyanya siapa? Tetapi kalau di Depok sangat signifikan perkembangannya, dan izinannya langsung keluar dengan cepat, tidak seperti kalau kita mendirikan gereja puluhan tahun aja lama banget izinnya bro, tetapi kalau mendirikan SDIT dengan waktu (dan) tempo yang singkat bahkan kurang dari setahun udah berdiri bangunannya, langsung ada izin, gurunya sudah ada, pasarnya menerima dengan baik –kita gaada masalah sama pasarnya.”

Infografis Perumahan Syariah di Kota Depok, Surga di Rumah atau Neraka Keberagaman

Keberlanjutan Bangsa dan Masyarakat Majemuk

Dampak besarnya ialah menciptakan masyarakat yang eksklusif, yang bertentangan secara fitrah sebagai manusia yang beragam, dan cita-cita bangsa yang majemuk ‘berbeda-berbeda namun tetap satu jua’.

Dalam sejarah Islam sendiri, menurut Nurcholish Madjid dalam bukunya Islam: Doktrin dan Peradaban (1992), bahwa kemajemukan sudah dikenal Islam semenjak kedatangan nabi Muhammad, yang dikenal dengan Piagam Madinah –yang sangat dikagumi sarjana modern.

Piagam Mandinah menurut Nurcholish Madjid –dan beberapa sarjana– merupakan dokumen politik resmi pertama yang meletakkan prinsip kebebasan beragama dan berusaha (ekonomi). Yang secara garis besar memberikan jaminan kebebasan dan keamanan kaum Kristen (dan penganut agama dan kepercayaan lainnya) ketika itu, dan menjadi pelajaran penting untuk masyarakat modern berikutnya.

Selain itu, secara sederhana menurut Bro Icuk, “Tidak memiliki interaksi antara satu agama dengan agama lain –dengan etnis lain juga—akhirnya membahayakan untuk kesatuan bangsa sendiri sebenarnya, kalau mau balik jauh (sebagai bangsa).”

Secara umum, cita-cita kebangsaan yang majemuk disampaikan oleh Ade Supriatna, “Menjaga persatuan dan kesatuan sebagai basis (dan) modal sosial yang penting buat bangsa agar tidak bercerai berai karena masalah tadi berbeda keyakinan tadi.” 

Secara pribadi hal tersebut disampaikan oleh Loepianto, ketika dia sering mengunjungi gereja dikala waktu senja dan di akhir masa kepengurusan FKUB Kota Depok, “Saya aja kemarin masuk gereja, ‘wah udah jadi Katolik’ (gambaran orang yang menuduh kepadanya) inikan kurang ajar. Saya itu sering ke gereja-gereja di Kota Depok.”

Dia menambahkan dengan ekspresi yang begitu semangat layaknya pejuang, “Harusnya mereka itu menyadari (bicara kepada yang menuduh). Kenapa saya begitu? Saya itu menjaga kerukunan umat, walaupun purnabakti kita habis (secara periode seharusnya sudah selesai). Tapikan jiwa kita perasaan kita, mereka itu (agama lain) punya hak konstitusi yang sama sebagai anak bangsa, walaupun keyakinan aqidahnya beda, saya tidak mengurus itu, marilah kita berjalan bersama-sama.”

“Mereka itu (agama lain) punya hak konstitusi yang sama sebagai anak bangsa, walaupun keyakinan aqidahnya beda, saya tidak mengurus itu, marilah kita berjalan bersama-sama.”

Loepianto

*(26/11/2022): Ada perbaikan nama dari Meta menjadi Meti dari Dinas Perumahan Kota Depok dan tambahan keterangan waktu saat ditemui Kebijakan.co.id

Baca Serial Liputan Konstruktif "Perumahan Syariah di Kota Depok, Surga di Rumah atau Neraka Keberagaman" Lainnya:
•	Perumahan Syariah di Kota Depok, Surga di Rumah atau Neraka KeberagamanAkal Bulus Pengembang Perumahan Syariah di Kota DepokWawancara Mendalam tentang Perumahan Syariah di Kota Depok

Serial Liputan Konstruktif ini merupakan Program Fellowship Jurnalistik untuk Keberagaman dan Toleransi oleh Yayasan Satu Keadilan dan Search for Common Ground
Jurnalis Adi Fauzanto
Diterbitkan: Jumat, 18 November 2022
Pukul: 18.00 WIB
Jurnalis: Adi Fauzanto
Daftar Bacaan:  
• Ayomi Amindoni. 2019. Perumahan dan Permukian Syariah: Ancaman bagi Toleransi dan Budaya Lokal?. BBC Indonesia, 16 Agustus
Siti Chaerani. 2009. Fenomena Perkembangan Perumahan Muslim (Studi Kasus: Cinere Insani Residence dan Griya Insani Kukusan, Depok). Skripsi Universitas Indonesia Aidan Raditya Prawira. 2021. Menggugat Perumahan Beridentitas Islami. Alif.id, 16 FebruariNurul Nur Azizah. 2022. 5 Fakta Tentang Depok Kota Paling Tidak Toleran Versi Setara Institute. Konde.co, 10 AprilSiRumkim Kota DepokSetara Institute. Ringkasan Eksekutif Indeks Kota Toleran 2015-2021Nurcholish Madjid. 1992. Islam: Doktrin dan Peradaban. Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina 
Liputan Mendalam
Berlangganan
Notify of
guest
0 Komentar
Inline Feedbacks
Lihat Semua Komentar