Kebijakan.co.id – Liputan Mendalam
Fayza Rasya-8 Des 2022 (18.00 WIB)-#80 Paragraf

Kekerasan seksual terhadap perempuan tercatat baik oleh Komnas Perempuan dari tahun 2001 hingga 2021, ada banyak faktor penyebabnya, mulai dari stigma, peminggiran, hingga sterotipe terhadap perempuan yang menyebabkan kekerasan. Hal tersebut, dilanggengkan oleh budaya, pendidikan, dan laku sehari-hari, terlebih melalui kebijakan publik yang diskriminatif.
Tak terkecuali praktik-praktik dalam Islam, sebagai otoritas agama mayoritas juga turut andil dalam memelihara simbol terhadap perempuan yang menciptakan ketidakadilan. KUPI (Kongres Ulama Perempuan Islam) hadir dalam membahas isu aktual tersebut.
***
Tanggerang, Kebijakan.co.id – Cukup sulit untuk perempuan hidup di negara Indonesia dengan kultur budaya dan praktik agama yang tidak adil terhadap perempuan. Realita masih banyaknya stigma, diskriminasi, pendidikan yang tidak inklusif yang membentuk pola pikir, hingga kepada kekerasan seksual terhadap perempuan.
Ditilik dari akarnya, adanya simbol terhadap perempuan yang berada di nomor dua setelah laki-laki. Lalu budaya masyarakat yang melanggengkan itu, berdampak kepada sektor ekonomi –dalam hal pekerjaan—dalam hal politik –tentang kepemimpinan perempuan— dan sektor-sektor lainnya. Ditambah adanya kebijakan publik yang diskriminatif yang terus dilanggengkan oleh kekuasaan.
Upaya untuk menghapus itu, datang dari KUPI (Kongres Ulama Perempuan Indonesia) ke-2 yang diselenggarakan pada 24-26 November 2022 di Jepara. Hadir dengan gagasan besar Peran Ulama Perempuan untuk Peradaban yang Berkeadilan. Menghasilkan rumusan fatwa untuk pemberdayaan perempuan dari isu-isu aktual dan realita kondisi perempuan yang ada.

Realitas Perempuan di Indonesia
Ana Abdillah, Direktur Eksekutif Women’s Crisis Center (WCC) Jombang, menjelaskan pada saat perempuan tersebut diatur-atur oleh masyarakat tanpa diimbangi dengan kesadaran akan hak yang seimbang. Realitanya, perempuan tidak bisa dan dipersulit untuk memperjuangkan haknya. Contohnya saat perempuan menjadi korban kekerasan seksual. Bukan dukungan yang didapat, tetapi stigma dan perlakuan buruk.
“Jika terus dibudidayakan, maka yang terjadi adalah masyarakat akan menormalisasi perilaku kekerasan seksual yang berdampak pada perempuan —tidak mengedukasi laki-laki sebagai pelakunya. Hal yang selanjutnya harus dijawab adalah bagaimana permasalahan kekerasan seksual bisa dimitigasi (dicegah) sesuai kebijakan dan melalui mekanisme,” tuturnya kepada jurnalis Kebijakan.co.id, Selasa (6/12).
Tidak hanya itu, hal yang perlu diperhatikan selanjutnya adalah bagaimana respons dan menekan perempuan untuk tidak melanjutkan proses hukum. Aturan atau kebijakan yang belum sepenuhnya hadir atau belum implementatif, serta struktur hukum yang belum berhasil dalam membangun mekanisme tersebut.
“Sesungguhnya penyebab fenomena tersebut masih terjadi adalah karena masyarakat, aparat penegak hukum, dan penyedia layanan masih belum mengidentifikasi aspek kerentanan yang dihadapi oleh perempuan. Budaya dan substansi hukum yang belum signifikan,” ujarnya pada Selasa (6/12).
“Penyebab fenomena (kekerasan seksual) tersebut masih terjadi adalah karena masyarakat, aparat penegak hukum, dan penyedia layanan masih belum mengidentifikasi aspek kerentanan yang dihadapi oleh perempuan.
Ana Abdillah
Senada dengan itu semangat pemberdayaan perempuan, menurut Muhammad Hasbi dalam jurnalnya berjudul Kekerasan Perempuan dalam Wacana Pemikiran Agama dan Sosiologi (2015) mengatakan, jika ditelaah lebih mendalam tidak ada satupun teks, baik Alquran atau Hadist yang memberi peluang untuk melakukan perempuan sesuka hati.
Selain itu penjelasan dalam buku Islam, Agama Ramah Perempuan (2004) karya KH. Husein Muhammad, menurutnya dalam teks Alquran maupun hadist terdapat sejumlah pernyataan yang memberikan kepada kaum perempuan tempat yang sejajar dengan kaum laki-laki dan memberikan hak-hak kepada kaum perempuan untuk berperan dan terlibat dalam perjuangan-perjuangan sosial politik bersama laki-laki.
Selain itu, Husein Muhammad juga mengatakan dalam bukunya, “Alquran mengecam keras praktik-praktik perendahan-perendahan dan tindak kekerasan terhadap perempuan.”
“Alquran mengecam keras praktik-praktik perendahan-perendahan dan tindak kekerasan terhadap perempuan.”
KH. Husein Muhammad
Fenomena ini dapat dijelaskan dengan ketidakadilan gender terhadap perempuan. Menurut Ratna Dewi dalam jurnalnya berjudul Kedudukan Perempuan dalam Islam dan Problematika Ketidakadilan Gender (2020), ketidakadilan gender terhadap perempuan dibagi menjadi empat hal.
Pertama, adanya marginalisasi atau peminggiran terhadap perempuan. Kedua, adanya subordinasi atau menomorduakan terhadap perempuan. Ketiga, adanya sterotipe atau kesan tertentu baik fisik atau perilaku terhadap perempuan. Keempat, adanya kekerasan –baik secara verbal maupun fisik— yang terjadi terhadap perempuan.
Menurut Andy Yentriyani, Ketua Komnas Perempuan, dalam Konfrensi Pers dalam KUPI II di PP Pesantren Hasyim Asy’ari Bangsri (25/11/2022) mengatakan bahwa akar dari kekerasan terhadap ialah diskriminasi berbasis gender, di mana menempatkan perempuan sebagai mahluk kelas dua –setelah laki-laki. “Oleh karena itu, dalam upaya penghapusan kekerasan, penting, untuk mengkampanyekan kesetaraan yang substantif,” tutupnya.
Ketidakadilan gender ini lebih banyak menciptakan kekerasan terhadap perempuan, tak jarang terjadinya kekerasan seksual. Menurut Catatan Tahunan Komnas Perempuan yang mengumpulkan data dari organisasi yang melayani pendampingan, mencatat angka kekerasan seksual dari tahun 2001 hingga 2021.
Tahun 2001 sebesar 3.168 korban perempuan; 2002 sebesar 5.173; 2003 sebesar 5.934; 2004 sebesar 13.968; 2005 sebesar 20.931; 2006 sebesar 22.512; 2007 sebesar 25.522; 2008 sebesar 54.425; 2009 sebesar 143.586; 2010 sebesar 105.103; 2011 sebesar 119.107; 2012 sebesar 216.516; 2013 sebesar 279.688; 2014 sebesar 293.220; 2015 sebesar 321.752; 2016 sebesar 259.150; 2017 sebesar 348.446; 2018 sebesar 406.178; 2019 sebesar 431.471; 2020 sebesar 299.911; 2021 sebesar 338.506.
Terjadi peningkatan cukup signifikan dari tahun ke tahun, sebabnya ialah banyaknya lembaga perlindungan perempuan yang tumbuh di beberapa daerah, di satu sisi kemungkinan besar juga ada banyak perempuan yang mendapatkan kekerasan namun terkendala lembaga perlindungan di daerah. Layaknya ‘fenomena gunung es’, terdapat banyak kasus yang tidak tercatat dan terungkap.
Kemungkinan besar juga ada banyak perempuan yang mendapatkan kekerasan namun terkendala lembaga perlindungan di daerah. Layaknya ‘fenomena gunung es’, terdapat banyak kasus yang tidak tercatat dan terungkap.
Catatan Tahunan Komnas Perempuan
WCC Jombang dalam hal ini melakukan penanganan kasus dari pengalaman korban, lalu diidentifikasi untuk dicari akar permasalahannya berdasarkan aturan hukum. Namun, tidak semua aspek hukum tersebut membersamai kebutuhan dan akses korban. Pendampingan psikologis juga dilakukan dalam pembimbingan, pelaporan, dan dialog dalam penanganan dan proses hukum.
Tidak hanya sampai di situ, di persidangan WCC Jombang memastikan korban mendapatkan akses trauma healing melalui kegiatan semacam support group—mencegah agar tidak terjadinya pengulangan dengan pelaku yang berbeda—penguatan kepada kepada korban untuk bersikap positif dan asertif untuk menghadapi permasalahan yang dialami.
Penyedia layanan pemerintah dan aparat penegak hukum menginisiatifkan untuk tidak melanjutkan proses hukum—dampak kekerasan seksual berbanding lurus dengan angka perkawinan anak di Pengadilan Agama Jombang. Di 2019—2022, terdapat kenaikan sebesar 300 persen.
Dalam lingkup pengaduan kasus yang diterima WCC Jombang dalam lingkup agama, mereka sudah mendampinginya sejak lama dari 2017. Ana mengungkapkan, kendala yang kerap dihadapi adalah ketika pelaku merupakan tokoh agama yang mempunyai pengaruh cukup besar dalam masyarakat.
Tidak hanya terjadi di institusi keagamaan, tetapi juga terjadi di persekutuan doa teman Kristen. Sasaran empuknya adalah mereka yang baru saja bertransformasi dalam agamanya. Terdapat dua pesantren yang ditangani oleh mereka, di Kecamatan Ngoro dengan pelaku seorang kiai dan Ploso dengan pelaku seorang anak kiai.
Pesantren Kecamatan Ngoro yang santri menjadi korban mencapai tujuh orang—dengan modus menyampaikan doktrin keagamaan bahwa vagina barang mulia dan dan hanya bisa dimasukkan oleh orang mulia saja. Pesantren Kecamatan Ploso, pelaku menyampaikan bahwa ia seorang mursyid, menggantikan bapaknya sebagai penerus pesantren.
Proses penanganan kasusnya juga berbeda dan terhambat bukan karena ketidakbecusan aparat penegak hukum atau kejaksaan atau pengadilan, tetapi ketidakberanian untuk mengungkapkan fakta di atas asas keadilan—aspek non-yuridis menarasikan, mengeluarkan korban dari pesantren, berlindung atas nama baik pesantren yang besar dan terkenal.
WCC Jombang memberikan pelayanan kesehatan reproduksi, bantuan hukum gratis, pendamping psikologis dengan bermitra dengan lembaga perlindungan saksi ketika korban membutuhkan kehadiran negara dalam perlindungannya.
WCC Jombang juga berharap di Kabupaten Jombang dan seluruh wilayah di Indonesia untuk lebih peka membangun infrastruktur dan sumber daya manusia terhadap permasalahan perempuan dan anak. Untuk konteks pesantren, diharapkan iklim lebih eksklusif, responsif, serta mengedepankan korban untuk bisa survive, kuat, support system, dan tiada penekanan.
***
Jika kekerasan seksual terjadi pada diri kita, adik, teman, saudara, keluarga, bahkan ibu sendiri, yang harus dilakukan menurut ICJR (Institute or Criminal Justice Reform).
Pertama, utamakan keselamatan korban, menjaga kerahasiaan korban, kuatkan dan berdayakan korban;
Kedua, bila terjadi luka bawalah ke klinik atau dokter untuk dilakukan rekam medik sebelum melapor ke polisi untuk dijadikan bukti;
Ketiga, mencari bantuan psikolog untuk melakukan konseling dan pemulihan psikis;
Keempat, konsultasi melalui lembaga bantuan hukum atau lembaga lainnya yang dapat dipercaya apabila ingin melapor kepada polisi;
Kelima, diskusi dengan keluarga korban atau langsung melapor ke polisi disertai dengan bukti yang kuat.
Perempuan, Pekerjaan, dan Ancaman Diskriminasi
Selain itu, realita lainnya selain ancaman kekerasan seksual, terdapat adanya ancaman diskriminasi dalam lingkup lingkungan kerja. Menurut Koordinator Pusat Studi Gender dan Anak UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Iin Kandedes, “Ada beberapa tantangan yang dihadapi perempuan, yakni marjinalisasi dalam bidang ekoonomi. Contohnya perempuan mendapatkan pekerjaan kurang bagus dari segi gaji, jaminan kerja, atau status pekerjaan. Subordinasi anggapan perempuan makhluk lemah, tidak mampu memimpin, serta menggunakan banyak perasaan,” jawabnya kepada Kebijakan.co.id pada Rabu (7/12).
Iin melihat seharusnya perempuan saling mendukung dan memberikan kesempatan untuk memimpin di semua tingkat pengambilan keputusan dalam kehidupan keluarga, politik, ekonomi, dan publik sesuai posisi sosialnya. Selain itu, menghentikan segala bentuk diskriminasi, kekerasan, pelecehan dan eksploitasi seksual kepada perempuan.
Terkait wanita bekerja dalam perspektif Islam menurut Ratna Dewi dalam jurnalnya berjudul Kedudukan Perempuan dalam Islam dan Problematika Ketidakadilan Gender (2020) dalam kesimpulannya menyatakan Islam tidak pernah melarang perempuan untuk bekerja, sebab tidak ada ayat dalam Alquran yang melarangnya.
Menurut data BPS (Badan Pusat Statistik) melalui Survei angkatan Kerja Nasional (Sakernas), tenaga kerja formal perempuan tercatat tahun 2015 sebesar 37,78 persen; lalu di tahun 2016 sebesar 38,16 persen; di tahun 2017 sebesar 38,63 persen; di tahun 2018 sebesar 38,10 persen; tahun 2019 sebesar 39,19 persen; tahun 2020 sebesar 34,65 persen; tahun 2021 sebesar 36,20 persen.
Sedangkan menurut data BPS melalui Indikator Pekerjaan Layak di Indonesia tahun 2021, sebanyak 39,52 persen atau 51,79 juta penduduk produktif yang bekerja dari usia 15 tahun ke atas adalah perempuan.
Dari 51,79 juta perempuan yang bekerja di usia produktif, 28,6 persen merupakan pekerja yang menjadi tenaga usaha penjualan. Lainnya, 24,38 persen menjadi petani, nelayan, dan pekebun. 20,51 persen merupakan tenaga produksi, operator alat angkutan, serta pekerja kasar. Sisanya, 10,48 persen merupakan tenaga professional, 8,65 persen menjadi tenaga usaha jasa, 6,56% merupakan tenaga kerja di sektor pemerintahan atau tata usaha. 0,7 persen merupakan tenaga pemimpi, sisanya 0,12 persen ada di jenis pekerjaan lainnya.
Otoritas dan Simbol Islam dalam Ketidakadilan
Salah satu penyebab dari adanya stigma dan diskriminasi terhadap perempuan misalnya, dapat terjadi karena otoritas dan pelanggengan simbol dalam agama yang tidak adil terhadap perempuan.
Otoritas dan simbol Islam terhadap perempuan misalnya dalam hal cara berpakaian. Komisioner dan Sekretaris Jenderal (Sekjen) Komnas Perempuan sekaligus dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, Alimatul Qibtiyah memandang bahwa menilai akhlak perempuan dari cara berpakaian tidaklah sesuai.
“Jikalau seandainya akhlak perempuan dinilai dari jilbabnya, bagaimana jika kita bandingkan dengan laki-laki? Apakah hanya dengan memakai baju koko dan peci juga? Hal tersebut dirasa kurang tepat,” tutur Alim kepada Kebijakan.co.id dalam keterangan tertulisnya pada Senin (5/12/2022).
Sedangkan menurut Direktur Eksekutif Women’s Crisis Center (WCC) Jombang, Ana Abdillah mengemukakan bahwa perbuatan baik tidak harus dituntutkan kepada perempuan, tetapi harus juga kepada laki-laki. Tubuh dan cara berpakaian perempuan lebih banyak diatur oleh masyarakat ketimbang tubuh laki-laki.
“Apa yang dikenakan tidak mencerminkan ketakwaan seseorang. Kita saleh secara berpakaian, tetapi tidak selalu mengekspresikannya secara sufiah juga. Hal ini bergantung pada cara menghargai sesama individu,” papar Ana kepada jurnalis Kebijakan.co.id melalui keterangan suaranya pada Selasa (6/12).
Senada dengan itu, menurut Nana Nadiya Mahardika, Sekertaris Bidang Immawati Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Malang Raya, menyoroti fenomena saat seseorang melakukan kesalahan, tetapi yang disoroti adalah pakaian atau identitas yang digunakan. Menurutnya, perbuatan salah bisa terjadi kepada siapa saja, baik sengaja maupun tidak—kejadian yang berulang karena dampak dari konstruksi sosial.
“Lingkungan kita terbiasa mengaitkan suatu kejadian dengan identitas yang digunakan, sehingga kerap kali beberapa orang salah kaprah dalam mengkritisi suatu kejadian. Hasilnya adalah bukan bicara akar masalah, namun mencari-cari permasalahan lain,” jelas Nana kepada jurnalis Kebijakan.co.id melalui keterangan tertulisnya pada Rabu (7/12).
Selanjutnya Alim menganggap masih banyaknya fenomena akhlak perempuan dinilai dari cara berpakaian karena keragaman penafsiran yang ada di masyarakat. Tidak hanya itu, tokoh agama di lingkungan sekitar juga berpengaruh dengan memberikan satu jawaban. Dari sinilah, masyarakat menganggapnya menjadi suatu kebenaran tunggal.
“Orang yang memengaruhi atau dakwah yang diikuti tidak menjelaskan keragaman penafsiran. Ada yang menjawab memakai jilbab itu wajib dan ada juga yang tidak. Begitu pula dengan cara menutup aurat. Sayangnya, masyarakat atau tokoh agama hanya menggunakan mayoritas penafsiran sebagai standar kebenaran,” jelasnya pada Senin (5/12/2022).
Selain itu, Alim juga berpikir bahwa bukan persoalan agama yang menjadi perempuan mendapat ketidakadilan, tetapi penafsiran dan pemahaman akan kontekstual agama—tidak menimbulkan substansi asbabul wurud dan asbabun nuzul-nya. Perlunya perhatian terhadap penafsiran yang berpihak pada kesetaraan laki-laki dan perempuan.
“Perempuan harus mempunyai critical thinking dan otonomi terhadap dirinya dan juga kemampuan memilih-memilah penafsiran agama yang ramah perempuan—mengembalikan nilai kesetaraan dan keadilan kepada Al dan Hadis bahwa laki-laki dan perempuan diciptakan dari zat, status, hak, dan kewajiban yang sama,” tuturnya pada Senin (5/12/2022).
“Perempuan harus mempunyai critical thinking dan otonomi terhadap dirinya dan juga kemampuan memilih-memilah penafsiran agama yang ramah perempuan—mengembalikan nilai kesetaraan dan keadilan kepada Alquran dan Hadis bahwa laki-laki dan perempuan diciptakan dari zat, status, hak, dan kewajiban yang sama.”
Alimatul Qibtiyah
Untuk menghadapi dan menangani fenomena perempuan yang dituntut lebih dari simbolis agamanya adalah dengan menyampaikan keberagaman dan tidak menjadi penafsiran mayoritas sebagai ukuran kebenaran.
Simbol agama sendiri menurut Husein Wahab dalam jurnalnya berjudul Simbol-Simbol Agama (2011) terbentuk atas beberapa sistem: kognitif (berkaitan dengan akal atau proses belajar), moral (berkaitan dengan norma-norma), konstiutif (berkaitan dengan kepercayaan), dan ekspresif (berkaitan dengan penyembahan). Hal tersebut dimungkinkan untuk mempertahankan pola ajaran keagamaan.
Lanjut Alim, “Perempuan muslimah mempunyai banyak pengalaman dalam hidupnya yang ditentukan saat dibesarkan oleh keluarga dan lembaga pendidikannya. Jika itu adalah bentuk pengekspresian keberagaman diri, tidak mengambil hak orang lain, tidak bertentangan dengan konstitusi, serta tidak membawa kemaslahatan maka tidak masalah,” ujarnya pada Senin (5/12/2022).
Alim melanjutkan, agama itu diturunkan untuk kemaslahatan, hanya saja pertanyaannya agama yang ditafsirkan atau dipahami oleh siapa dan bagaimana—sebab konteks agama itu tidak bisa diubah, tetapi penafsirannya bisa berubah.
Dalam Komnas Perempuan, Alim menjelaskan bahwa mereka bekerja sesuai mandat dan berfokus pada implementasi dan pemenuhan hak-hak perempuan—didasari pada keberagaman dan pengalaman. Komnas Perempuan melakukan penelitian dan kajian terhadap peraturan daerah yang diskriminatif—mendiskriminasikan kelompok minoritas yang beda.
“Adanya kewajiban menggunakan jilbab pada instansi negeri—yang pasti di dalamnya tidak semua beragama Islam. Kami (Komnas Perempuan) melakukan advokasi kepada lembaga terkait untuk mencabut kewajiban dan memberikan advokasi kepada kelompok minoritas sebagai upaya untuk menghindari diskriminasi dan kekerasan,” bebernya pada Senin (5/12/2022).
Komnas Perempuan juga berharap hak-hak perempuan sebagai manusia terpenuhi dengan beragam pengalaman yang ada—laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama, termasuk dalam mengekspresikan bagaimana ia berpakaian dan agama.
Adanya pemaksaan secara otoritas dan simbol untuk perempuan menyebabkan perempuan terbelenggu akan simbol dan otoritas keagamaan. KUPI hadir sebagai bentuk untuk menghadirkan pandangan keagamaan yang setara antara perempuan dan laki-laki.
Akan tetapi menurut Koordinator Pusat Studi Gender dan Anak UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Iin Kandedes merasa senang dengan tren positif di kalangan perempuan Indonesia untuk sadar menutup aurat—yang bukan hanya sekadar menaati perintah dan simbol agama, tetapi sudah menjadi suatu kebutuhan.
“Jika kita melihat di mal, bahkan karya perancang busana sudah membuat tren fashion muslimah yang harganya tidak murah. Ibarat sepasang sepatu yang dipakai hanya sebelah, pasti kurang nyaman. Begitu pula dengan hijab, saat keluar rumah pasti terasa janggal,” jawab Iin kepada jurnalis Kebijakan.co.id melalui keterangan tertulisnya pada Rabu (7/12/2022).
Iin menambahkan, fenomena berhijab dan menggunakan pakaian tertutup untuk menghindari terjadinya berbagai tindakan kejahatan perempuan, seperti pelecehan seksual karena terpicu penampakan aurat. Terlebih lagi sesuai dengan ajaran Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia.
Iin menjelaskan bahwa fenomena perempuan mendapatkan ketidakadilan dari simbol agamanya berkaitan dengan aspek sejarah masuknya Islam di Indonesia. Dengan berbagai kepercayaan yang beragam, salah satunya kasta Sudra dalam Hindu yang tidak memiliki hak dan kesempatan yang sama dengan kasta lain—paling banyak mengalami diskriminasi.
“Apalagi kalangan perempuannya yang pasrah dengan kondisi ketidakadilan maupun ketidaksetaraan yang dialaminya. Lalu, Islam datang membawa kesetaraan yang tidak ada perbedaan di mata Allah swt. kecuali ketakwaannya. Tiada perbedaan derajat antara bangsawan dan rakyat jelata—diskriminasi laki-laki dan perempuan,” paparnya, Rabu (7/12/2022).
“Islam datang membawa kesetaraan yang tidak ada perbedaan di mata Allah swt. kecuali ketakwaannya. Tiada perbedaan derajat antara bangsawan dan rakyat jelata—diskriminasi laki-laki dan perempuan.”
Iin Kandedes
Ia melanjutkan, pada awal masuknya Islam dengan sukarela dan tanpa paksaan, mereka pun berbondong-bondong menjadi mualaf. Hal tersebut juga terjadi saat ini, tiada paksaan bagi Muslimah Indonesia untuk mengenakan hijab dan busana syarinya—pemaksaan semata-mata karena pemahaman keagamaan, nyaman, dan aman.
Negara juga menjamin kebebasan menjalankan perintah agamanya sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Selain itu, kebebasan beragama dan menjalankan ajarannya termasuk dalam Hak Asasi Manusia (HAM).
“Kita harus menghormati keputusan seseorang yang ingin menggunakan hijab dan berbusana muslimah. Jadi, jangan pernah mengusik hak tersebut jika tidak ingin dicap sebagai orang yang melanggar HAM dan UUD 1945,” tegasnya pada Rabu (7/12/2022).
Iin juga menekankan bahwa bukan agama yang menjadi masalah ketidakadilan perempuan. Salah satu pokok ajaran Islam adalah mengakui persamaan antar manusia, baik laki-laki dan perempuan, suku, bangsa, atau keturunan.

Pendidikan dan Edukasi untuk Kesetaraan
Untuk mengakhiri praktik otoritas dan simbol agama yang menyebabkan perempuan di nomor duakan, Nana Nadiya mengemukakan bahwa lingkungan keluarga dan akses pendidikan sangat membawa pengaruh. Akses sekolah juga tidak cukup, perlunya akses terhadap pemenuhan informasi dan materi lain yang juga dibutuhkan murid sekolah. Pakaian tidak mencerminkan akhlak dan paham bahwa perempuan juga bisa berpendapat dan menjadi pemimpin kelas atau upacara.
“Saya seorang pengajar di taman pendidikan Alquran (TPQ) di Malang. Beberapa murid perempuan sekolah dasar (SD) yang saya ajarkan sering bercerita bahwa mereka sering merasa malu untuk berpendapat, malu saat berolahraga karena laki-laki lebih jago, dan terheran mengapa selalu laki-laki menjadi pemimpin upacara,” ceritanya pada Rabu (7/12/2022).
Nana juga memberikan langkah yang dapat dilakukan untuk memperbaiki pola pikir masyarakat terhadap fenomena ketidakadilan yang dialami perempuan dalam simbolis agamanya dengan menanamkan ilmu bersosial oleh orang tua dan guru sejak dini—pengajaran ilmu tersebut bukan berdasarkan kebiasaan dan konstruksi sosial turun-temurun
“Selanjutnya meramaikan media sosial dengan konten edukatif, terutama hal yang masih dianggap tabu oleh masyarakat. Dengan upaya menyebar dan mencari ilmu pengetahuan tambahan melalui berbagai media, kelompok muda bisa menyebarkan lebih luas ilmu dan edukasi kepada lingkungan keluarganya,” harapnya di akhir wawancara pada Rabu (7/12/2022).
Nana menyampaikan bahwa Kementerian Pendidikan, Budaya, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) sudah memasukkan materi pendidikan seksual ke dalam kurikulum. Menurutnya tidak berjalan efektif dikarenakan tidak disediakannya waktu khusus untuk guru menjelaskan kepada muridnya di sekolah.
***
Selain itu, menurut Iin Kandedes, perlunya edukasi dan mendukung serta memberikan kesempatan yang sama untuk memberdayakan perempuan dalam menempuh pendidikan. Islam juga menjaga kaum perempuan dari segala yang menodai kehormatan, menjatuhkan wibawa, atau merendahkan martabatnya.
“Bagai mutiara yang mahal harganya, Islam menempatkan perempuan sebagai makhluk mulia yang harus dijaga. Semua syariat telah ditetapkan Allah swt. untuk menjaga dan memuliakan perempuan—sekaligus menjadi tatanan kehidupan lebih baik dan bersih dari berbagai perilaku menyimpang,” imbuhnya pada Rabu (7/12/2022).
Di akhir wawancara, Iin berpesan kepada muslimah untuk menuntut ilmu setinggi-tingginya karena Allah swt. akan mengangkat derajat orang yang menuntut ilmu—berpeluang untuk mendapat kesempatan yang lebih luas dan sama dalam berbagai bidang kehidupan, juga berdaya secara ekonomi untuk mengantisipasi ketidakadilan dan diskriminasi perempuan.
Komitmen dan Peran KUPI dalam Perubahan Kebijakan Publik

Adanya masalah aktual yang terjadi khususnya kepada perempuan, mulai dari simbolisasi agama, diskriminasi, hingga kekerasan seksual. Sejalan dengan tujuan utama kongres KUPI II ini, yaitu merumuskan sikap dan pandangan keagamaan ulama perempuan Indonesia tentang isu-isu aktual dengan menggunakan paradigma –cara berpikir—dan metode yang diadopsi KUPI, salah satunya berkaitan dengan kekerasan terhadap perempuan.
Adapun rekomendasi hasil KUPI II di Jepara, salah satunya membahas bagaimana, “korban dalam kasus kekerasan seksual dan perkosaan acap kali tersudut, terstigma, dan terdiskriminasi oleh narasi patriarki atau kuasa laki-laki.”
Salah dua misalnya yang dibahas dalam KUPI II ini ialah, (1) perlindungan perempuan dari bahaya pemaksaan perkawinan, (2) perlindungan jiwa perempuan dari bahaya kehamilan akibat pemerkosaan, dan (3) perlindungan perempuan dari bahaya tindak pemotongan dan pelukaan genetalia perempuan.
“Alih-alih mendapatkan bantuan hukum, korban justru semakin terpinggirkan dan dikucilkan di tengah beban psikologis yang dialami. Oleh karena itu, negara harus memprioritasan regulasi yang berpihak pada korban,” Lanjut salah satu rekomendasi KUPI II.
“UU TPKS adalah salah satu perantara untuk merubah cara berpikir kuno dan mulai membuka kesadaran untuk berpihak pada korban. Oleh karena itu, masyarakat sipil harus terlibat dalam memastikan tak ada lagi korban pemerkosaan dan kekrasan seksual yang terdiskriminasi,” Lanjut salah satu rekomendasi KUPI II.
Terkait UU TPKS misalnya, WCC Jombang juga berpesan kepada masyarakat sipil bersedia mendedikasikan dirinya untuk membantu semua perempuan dan kelompok rentan untuk tidak memulai konfrontasi Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual—mendukung Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) untuk basis intelektual mewujudkan masyarakat yang berkeadilan gender.
“Adapun jaringan KUPI harus gencar mengkaji nash-nash (naskah) berkaitan dengan kekerasan dan perkosaan dengan perspektif pengalaman perempuan. Karena tak jarang, marginalisasi (peminggiran) korban perkosaan justru dilegitimasi (di dukung) oleh narasi-narasi teks literaris yang tekstual.” Tutup point kedua rekomendasi KUPI II tersebut.
Dari kedelapan rekomendasi KUPI, sektor utamanya ada pada kebijakan pemerintah. KUPI dan Pemerintah harus membangun sinergi untuk membuat kebijakan publik atau regulasi yang berkeadilan gender.
Selain itu bukti sinergi KUPI dan Pemerintah, salah satunya ialah dorongan dari KUPI I di tahun 2017 yang bertempat di Cirebon, menurut Rosidin, Direktur Fahmina –salah satu pihak penyelenggara KUPI II- ialah, “KUPI I berhasil mendorong disahkannya Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) dan peningkatan usia perkawinan,” ucap Rosyidin saat konfrensi pers (24/11/2022).
Selanjutnya KUPI juga akan mendorong dan mengadvokasi disahkannya RUU (Rancangan Undang-Undang) Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) yang sudah ada di Prolegnas (Program Legislasi Nasional) sejak tahun 2004, namun tak kunjung disahkan. “Maka para ulama perempuan perlu merefleksikan sejumlah titik lemah dalam advokasi RUU PPRT,” ucap Rosidin.
Senada dengan itu, menurut Pera Sopariyanti, Direktur Rahima –salah satu penyelenggara KUPI II—mengatakan pekerja rumah tangga sangat rentan terhadap kekerasan seksual, oleh karenanya ulama perempuan bersepakat perlindungan terhadap pekerja rumah tangga adalah hal yang penting.
Perempuan harus berani lantang. Bersuara atas praktik yang lancang. Merubah budaya yang usang. Untuk masa depan perempuan yang lebih terang.
Catatan Redaksi Kebijakan.co.id


Diterbitkan: Kamis, 8 Desember 2022 Pukul: 18.00 WIB Jurnalis: Fayza Rasya Editor: Adi Fauzanto Grafis, Data, dan Referensi: Adi Fauzanto
Daftar Bacaan: • Husein Wahab. 2011. Simbol-Simbol Agama. Jurnal Substantia, Vol. 12 No. 1 • Ratna Dewi. 2020. Kedudukan Perempuan dalam Islam dan Problematika Ketidakadilan Gender. Noura: Jurnal Kajian Gender dan Anak, Vol. 4 No. 1 • KH. Husein Muhammad. 2021. Islam, Agama Ramah Perempuan. Penerbit IRCiSod: Yogyakarta • Muhammad Hasbi. 2015. Kekerasan Perempuan dalam Wacana Pemikiran Agama dan Sosiologi. Jurnal At-Tahrir, Vol. 15 No. 2 • Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2001-2021 • BPS. 2021. Indikator Pekerjaan Layak di Indonesia • BPS. Presentase Tenaga Kerja Formal menurut Jenis Kelamin 2016-2018 • ICJR. 2021. Apa Yang Harus Dilakukan Jika Mengalami Kekerasan Seksual?. Youtube
