Kebijakan.co.id – Liputan Konstruktif
Adi Fauzanto-13 Mar 2023 (15.00 WIB)-#16 Menit

Melihat rekam jejak konflik antara Perhutani (Badan Usaha Milik Negara) dan masyarakat di Penanggungan, akhirnya berkesudahan setelah Forum Rakyat Trawas (Foras) mengajukan Perhutanan Sosial (PS) yang nantinya dikelola oleh Foras dengan nama KTH (Kelompok Tani Hutan) ALAS (Aman, Lestari, Adil, Sejahtera) Trawas.
Dalam rencana dan pengembangannya, KTH ALAS Trawas akan dibangun dengan menyatukan antara Komunitas Pertanian Organik Brenjonk dan Kelompok Wanita Tani Desa Penanggungan, selain itu juga menyatukan ide antara wisata edukasi ekologi dan agroforestri yang berkelanjutan.
Ide besar tersebut tidak bisa terwujud, jika inisiatif gerakan masyarakat dan program perhutanan sosial tidak dijalankan.
Tim Kolaborasi —Kebijakan.co.id, Idenera.com, KabarTrenggalek.com— turun mengobservasi langsung di Desa Penanggungan, Mojokerto. Mengamati KTH ALAS Trawas dan Kampung Organik Brenjonk. Bertemu dengan Inisiator Kampung Brenjonk, Inisiator KTH ALAS Trawas, Anggota Kelompok Wanita Tani, dan Masyarakat Desa Penanggungan.
***
Mojokerto, Kebijakan.co.id – Siang itu (10/3/2022), suara dan ekspresi keceriaan masyarakat terdengar jelas di jalan-jalan Dusun Ngembes, Desa Penanggungan, Mojokerto. Kebahagiaan tersebut terpancar karena sedekah bumi. Perayaan yang diadakan setahun sekali sebelum bulan Ramadahan, atau bulan syakban, spesialnya pada tahun ini merupakan yang pertama dalam 3 tahun terakhir, karena ditidiakan oleh pandemi.
Sedekah bumi di kaki Gunung Penanggungan itu merupakan sebuah bentuk rasa syukur dan bentuk penghormatan terhadap leluhur. Walaupun hasil buminya yang terlihat sudah berganti, bukan lagi hasil pertanian atau perkebunan akan tetapi produk-produk olahan dibungkus plastik. Akan tetapi, guyub warga desa tidak bisa disangkal lagi, antara satu dusun dengan dusun lain saling berinteraksi.
Dalam kegiatan sedekah bumi itu, Tim Kolaborasi –Jurnalis Kebijakan.co.id, Idenera.com, KabarTrenggalek.com— diajak oleh Cak Met –sebutan akrab dari Slamet— yang merupakan inisiator Komunitas Petani Organik dan Kampung Organik Brenjonk.
Sebab Tim Kolaborasi diperkenalkan dan diajak ke Dusun Ngembes, karena merupakan salah satu dusun di Desa Penanggungan –lainnya di Dusun Penanggungan, Dusun Sendang, Dusun Kemendung. Keempat dusun tersebut, nantinya terlibat dalam pengembangan KTH (Kelompok Tani Hutan) ALAS (Aman, Lestari, Adil, Sejahtera) Trawas.

Sejarah Foras dan Selisih dengan Perhutani
KTH ALAS, ada cerita di balik nama dan mula-mula tidak seperti ini, butuh usaha panjang dari masyarakat untuk mengelolanya. Tahun 1999 menjadi bukti, bahwa terdapat penebangan besar-besaran terhadap hutan yang dikelola Perhutani (Perusahaan Umum Perhutanan Negara) kala itu.
“Penebangan secara sistematis ya, dan terorganisir. Ya waktu itu, masyarakat petani yang disalahkan, kalau riil (secara kenyataan itu) mereka buruh tebang. Di belakangnya tuh (ternyata) ada pihak-pihak besar yang ingin kayu itu,” buka Slamet yang pernah menempuh pendidikan di PPLH (Pusat Penelitian Lingkungan Hidup) selama 4 tahun itu menceritakan kondisi kala itu.
Dia menduga, ada pihak-pihak yang mendapatkan keuntungan dari pembalakan tersebut. “Awalnya itu ambil (pohon) jati kan paling mahal, yang kedua, setelah tadi habis, (pohon) mahoni. (pohon) Mahoni abis, (pohon) pinus. Terakhir akarnya,” lanjut cerita Slamet kepada Tim Kolaborasi. Slamet menghitung pembalakan tersebut seluas 300 hektare atau sekitar 300 lapangan bola.
Untuk mencari luas keseluruhan luas Perhutani di Penanggungan. Kebijakan.co.id mencari data terbuka terkait Perhutani. Wilayah hutan yang sekarang dikelola KTH ALAS, masuk ke dalam wilayah Perum Perhutani Resort Pemangkuan Hutan (RPH) Trawas, sedangkan RPH Trawas di bawah Kesatuan Pemangku Hutan (KPH) Pasuruan.
Dalam Data Perhutani KPH Pasuruan, Bagian Hutan (BH) Penangunggan masuk ke dalam perusahaan pinus yang memiliki luas Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) 3.513,50 Hektare atau sekitar 3500 lapangan bola.
Untuk melihat data pembalakan hutan secara nasional pada tahun itu (tahun 1999). Menurut buku Analisa Konflik Sektor Kehutanan di Indonesia 1997 – 2003 yang dikeluarkan Center for International Forestry Research (CIFOR). Temuan berdasarkan kasus pembalakan dari tahun 1997 sampai dengan tahun 1999 di sektor kehutanan di seluruh Indonesia cenderung meningkat cukup tajam.
Jumlah konflik meningkat hampir 4 kali lipat pada tahun 1999, dibandingkan dengan tahun 1997. Pada tahun 2000, jumlah konflik melonjak drastis sampai 153 kejadian. Angka ini mengalami penurunan kembali pada tahun 2001 dan 2002.
Atas keprihatinan tersebut, ditambah pada waktu itu Slamet merupakan anggota WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) sebuah organisasi non-pemerintah yang diinisiasi oleh beberapa organisasi yang fokus pada lingkungan hidup, “Saya waktu itu aktif di Walhi, sedikit prihatin karena, dampak dari itu debit air turun. Terus hama meledak, karena tikus yang biasa ke situ udah nggak kerasan (betah) lagi, akhirnya ke sawah. Pokoknya gak enak lah.”
Akhirnya Slamet dan masyarakat Desa Penanggunan, Kecamatan Trawas pada tahun 2000, membentuk Foras (Forum Rakyat Trawas), “Kita punya gerakan kita namakan Foras, Forum Rakyat Trawas.” Sederhana keinginan masyarakat Trawas, “yang dikerjakan (yaitu) tolak (pohon) mahoni, jati, sama pinus, (untuk) diganti tanaman (pohon) buah-buahan agroforestri.”
Pada awalnya, “Singkat cerita, terjadi ketidaksepemahan antara Foras dan Perhutani. Foras mengingingkan hutan yang digunduli sebelumnya (hutan produksi) itu ditanami bibit kayu dan sebagainya, akan tetapi tidak perlu ditebang,” cerita Slamet kepada Yasir (30/06/2021) salah anggota Walhi Jawa Timur.
Alasannya sederhana agar tidak gundul hutannya. Akan tetapi Perhutani tetap ingin membibit kayu dan menebang di kemudian hari. “Kami jalan sendiri-sendiri aja. Itu lebih baik,” cerita Slamet kepada Yasir (30/06/2021).
Sedangkan, untuk membuktikan bahwa Perhutani benar menanam pohon yang disebutkan, dan sebaliknya tidak menanam pohon agroforestri. Kebijakan.co.id menelusuri data persemaian tahun 2012-2016 Perum Perhutani KPH Pasuruan, terbukti tidak ada tanaman agroforestri. Tercatat hanya pohon pinus (897.113 bibit), mahoni (471.972), kayu putih (4.354.265), sengon (91.902), dan damar (8796) yang disemai bibitnya.
Jika dilihat dari data tersebut, maka Perhutani mengarahkan kepada Hutan Tanam Industri (HTI). Hasil penelitian CIFOR terkait HTI memberikan analisis bahwa, kontribusi masyarakat seharusnya difasilitasi lebih dini dalam tahap perencanaan, yang diterapkan pada:
Pertama, terhadap klaim lahan; Kedua, pada organisasi buruh; Ketiga, pada distribusi spasial hutan tanaman dalam meninggalkan area yang bernilai lokal; Keempat, pada opsi berbagi lahan.

Bukti Nyata untuk Menjaga Hutan
“Dulu itu ya Bupati (Mojokerto) sampai datang, ya tapi hanya lip service (kata-kata manis), hanya setuju-setuju saja. Tapi ya akhirnya Perhutani tetap membuat bibit mahoni,” cerita Slamet menggambarkan kondisi kala itu. “Nah, saya membuat bibit agroforestri, jadi sama-sama bikinnya,” ceritanya dengan semangat kepada Tim Kolaborasi.

“Jadi kita nanem (pohon buah) petai, nanem (pohon) kluwek, nanem (pohon) alpukat. Nah, mereka (Perhutani) nanem (pohon) mahoni. Alhamdullilah sekarang (pohon) kluweknya sudah berbuah, (pohon) kemirinya berbuah, (pohon) duren-duren juga berbuah, (pohon) nangka udah berbuah,” lanjut Slamet.
Pohon yang ditanam Foras dan Perhutani tumbuh bersama, “(pohon) mahoninya juga tetep besar,” tutup Slamet (10/3/2022) hari itu menceritakan sejarah Foras dan Perhutani kepada Tim Kolaborasi.
Esok harinya (11/03/2022) Tim Kolaborasi diajak langsung menuju lokasi KTH ALAS Trawas, lokasi nya berselebahan dengan Desa Ngembes yang diadakan sedekah bumi hari sebelumnya. Jalannya tidak sulit, jalannya juga bagus, terdapat sungai, dan hutan yang tidak padat vegetasinya, namun masih tertutup.
Slamet bersama Syukur –yang juga salah satu anggota Foras kala itu– mengantarkan kami ke bagian yang nantinya akan dikelola untuk edukasi observasi atau pengamatan. Sambil menceritakan sejarahnya, “Ini (pohon) kemirinya kita tanam tahun 2002,” tepat 20 tahun sebelumnya ucap Slamet sambil menunjuk batang pohon yang mencapai 2 kali lipat tubuh orang dewasa.
Di lain pohon yang ukurannya 4x lebih besar tubuh manusia, “usianya 20 tahun,” cerita Slamet sambil menunjuk kondisi di sekitar, “dulu ini gundul semua 300 hektare. Ya kira-kira sepanjang (jalan hutan tersebut) 6 kilometer gundul total, se akar-akarnya itu nte’ (habis).”
“Faktanya di sini aman (hutannya setelah penggundulan),” tegas Slamet sambil menunjukan hutan sekitar yang tidak terjadi kegundulan setelah peristiwa 1999 itu. “Siapa yang merusak? bukan rakyat,” ucap Slamet sambil tertawa, justru menurutnya pihak-pihak tertentu yang merujuk Perhutani.
Dalam penelitian di salah satu kecataman Kab. Kulon Progo, Yogyakarta yang dilakukan Suroso (Penyuluh Kehutanan dan Perkebunan Yogyakarta) berjudul Optimalisasi Lahan dengan Pola Agroforestry. Memberikan kesimpulan bahwa dampak ekologi atau lingkungan terhadap adanya Agroforestri:
Pertama, penutupan lahan yang semakin luas yang efektif mencegah bencana alam; Kedua, siklus hara alami terjamin dengan tersedianya seresah yang cukup;
Ketiga, membantu sistem perakaran dalam menahan air sehingga proses hidrologi dapat berjalan normal;
Keempat, menghasilkan O2 dan mengikat CO2 sehingga pencemaran udara terkendali; Kelima, berkontribusi dalam pelestarian alam.

Konflik dengan Perhutani
Pun, setelah diberikan Surat Keputusan (SK) Perhutanan Sosial, Slamet menduga Perhutani tidak senang dengan hal tersebut, “Perhutani pasca ijin KULIN KK (Pengakuan dan Perlindungan Kemitraan Kehutanan) ini dia itu memang, gak ikhlas gitu, akhirnya naro orang di situ untuk (menciptakan) buat konflik di situ, dan saya tau itu preman ditaro situ, bikin warung di ALAS itu, modalnya sampe ratusan juta.”
Bahkan, “Dia (pemilik warung) cerita sama saya, awalnya 30 juta itu setelah itu bangun terus di situ, di pasca ijin. Saya tau itu untuk buat konflik,” ucap Slamet kepada Tim Kolaborasi (11/03/2023).
Menurut Wahyu Eka Setyawan, Direktur WALHI Jawa Timur mengatakan dalam kolomnya (30/06/2021), “Di bawah kelola Perhutani selama berpuluh-puluh tahun, telah terjadi konflik beragam antara masyarakat sekitar hutan dengan Perhutani. Hal tersebut didasarkan pada ketimpangan pengelolaan, yang berimbas pada tidak sejahteranya masyarakat hutan.”
Wahyu mencontohkan terkait pembagian hasil panen pohon yang tidak adil berdasarkan pengakuan masyarakat, “sebesar 25% untuk warga dan 65% untuk perhutani,” tulis Wahyu meski menurut masyarakat bahwa Perhutani memberikan bibit akan tetapi yang menanam dan merawat hingga besar tetap masyarakat. Selain itu juga, masalah persoalan sewa lahan.
Untuk mengkonfirmasi kebenaran tersebut kepada Perhutani KPH Pasuruan, Kebijakan.co.id telah berusaha mengirimkan surat permohonan wawancara beserta beberapa pertanyaan melalui email resmi KPH Pasuruan pada 13/03/2023. Namun hingga tulisan ini terbit, belum respons dari KPH Pasuruan.
Setelah adanya PS, skema pembagian tersebut menurut Slamet dilansir dalam Times Indonesia (14/01/2022), “secara eksplisit sudah diatur di SK KLHK. Untuk kayu kita KTH ALAS dapat 70, persen Perhutani 30 persen. Untuk non kayu KTH ALAS dapat 80 persen, Perhutani 20 persen. Untuk tanaman istilahnya buah-buahan dan seterusnya itu 90 persen. Untuk jasa lingkungan itu 90 persen.”
Ditilik secara teoritis, konflik tersebut termasuk dalam konflik vertikal, menurut Maftuh dalam bukunya Pendidikan Resolusi Konflik (2008) ialah pertentangan antara dua pihak yang memiliki kedudukan sosial yang berbeda. Jelas berbeda, yang satu Negara melalui BUMN-nya Perhutani dan satunya masyarakat desa.
Terkait dengan hal tersebut sudah seharusnya perhutanan dikembalikan kepada warga untuk dikelola baik secara ekologis maupun ekonomis yang berkelanjutan, “Masyarakat harus menjadi unsur utama dalam upaya mengembalikan fungsi hutan seperti semula, yaitu sebagai pelindung dari sisi ekologi maupun ekonomi,” kata Samedi, Direktur Program Tropical Forest Conservation Action-Sumatera pada Webinar Perbaiki dan Pulihkan Hutan: Jalan Menuju Masyarakat Desa Hutan Sejahtera (18/03/2021).
Di satu sisi, KPH Pasuruan dalam dokumennya mengklaim melakukan pengelolaan terhadap perekonomian desa dengan cara:
Pertama, membantu pembentukan dan melakukan kerja sama dengan LMDH (Lembaga Masyarakat Desa Hutan); Kedua, pemberian dana sharing; Ketiga, pemberian akses pemanfaatan lahan;
Keempat, pemberian bantuan berupa pinjaman bunga lunak PKBL (Program Kemitraan dan Bina Lingkungan); Kelima, peningkatan kapasitas MDH (Masyarakat Desa Hutan).

Awal Mula KTH
Konflik dan sembunyi-bunyi untuk mengelola hutan oleh Foras di bawah Perhutani tersebut akhirnya secara sah resmi dikelola oleh Foras yang berganti nama menjadi KTH ALAS.
“Ini harus saya formalkan, karena memang harus formal, ngajukan ke KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) semua harus formal, sehingga teman-teman sudah punya akses legal kan. Jadi ada perlindungan, ada legalitas,” cerita Slamet kepada Tim Kolaborasi (10/03/2023).
***
Program tersebut ialah Perhutanan Sosial (PS). Dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Nomor 83 Tahun 2016 mengartikan:
“Perhutanan Sosial ialah sistem pengelolaan hutan lestari yang dilaksanakan dalam kawasan hutan negara atau hutan hak/hutan adat yang dilaksanakan oleh masyarakat setempat atau masyarakat hukum adat sebagai pelaku utama untuk meningkatkan kesejahteraannya, keseimbangan lingkungan dan dinamika sosial budaya dalam bentuk Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, Hutan Tanaman Rakyat, Hutan Rakyat, Hutan Adat dan Kemitraan Kehutanan.”
Program PS ini menurut Nabhan Aiqani (Komunitas Konservasi Indonesia Warsi) dalam kolomnya di Mongabay (24/08/2020) mengatakan, “skema (perhutanan sosial) ini pun sekaligus menjadi upaya akhir untuk menutup peluang bagi pihak lain yang ingin menangguk untung dari ketidaktahuan masyarakat terkait pengelolaan kawasan.”
Hal tersebut disetujui juga oleh Usep Setiawan (Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden Republik Indonesia) dalam kolomnya di Kompas (19/02/2023), “Terjaganya kualitas lingkungan dan terhindarnya hutan dari tindakan pembalakan liar yang merugikan ekonomi negara dan merusak kualitas lingkungan. Meningkatnya kesadaran warga penerima akses perhutanan sosial terhadap kewajiban melestarikan hutan dan mitigasi perubahan iklim.”
Catatan kritis terkait Perhutanan Sosial datang dari KPA (Konsorsium Pembaruan Agraria), dalam catatan tahun 2017 tersebut, “Bisa jadi salah satu model dari Reforma Agraria adalah Perhutanan Sosial.”
Akan tetapi, “penting menjadi peringatan bersama, bahwa ada banyak model dan implementasi perhutanan sosial sejak masa lalu hingga saat ini justru bertentangan dengan tujuan dan prisip dasar reforma agraria itu sendiri.” Contohnya, ialah mewajibkan tanaman komoditas tertentu, bagi hasil yang tidak adil, legitimasi monopoli atas hutan.
Selain itu, “PS tentu lah bukan reforma agraria jika diberikan kepada masyarakat karena pemerintah (melalui BUMN-nya) enggan mengakui kesalahan masa lalu bahwa penetapan kawasan hutan telah menjarah tanah-tanah masyarakat.”
***
Berkat PS ini, “Akhirnya ada PS (Perhutanan Sosial) itu kita mendaftar (tahun 2017), syaratnya harus KTH itu,” cerita Slamet. “Saya tampung Foras dengan LPMD (Lembaga Pembedayaan Masyarakat Desa), LMDH (Lembaga Masyarakat Desa Hutan), Kelompok Wanita Tani (KWT) yang ada. Jadilah KTH (Kelompok Tani Hutan).”
Secara legal keluar di tahun 2018 oleh Menteri KLHK, Surat Keputusan (SK) Menteri keluar tahun 2018 dengan luasan lahan 114 Hektare. Termaktub dalam Surat Keputusan Perhutanan-Sosial/Sertifikat-TORA/SHM:SK.6973/MENLHK-PSKL/PKPS/PSL.0/8/2019. Awalnya dipetakan sebesar 222 Hektare, namun yang disahkan hanya 114 Hektare.
Menurut KPA dalam Catatan Akhir Tahunnya di 2017, permasalahan mendasar pada pengelolaan lahan (hutan) kepada masyarakat ialah kecilnya kepentingan masyarakat dalam keputusan terkait kehutanan, salah satunya penentuan dan penetapan tata batas seperti di atas.
Namun, Slamet tidak ambil pusing dengan penentuan batas tersebut. Selain status, nama perlu ditetapkan, “Kita namakan ALAS, (yang disingkat) Aman, Lestari, Adil, dan Sejahtera.” Menurutnya kepada Yasir, “Cita-cita kami, KTH ALAS ialah bagaimana menciptakan kesejahteraan di lingkungan masyarakat Desa Penanggungan, Trawas,” tujuan besarnya. Tujuan sederhananya, “Harapannya tidak muluk-muluk. Orang-orang yang terlibat dan mau bekerja mereboisasi hutan yang telah digunduli itu.”
“Hutan itu dapat menopang keberlangsungan hidup di lingkungan keluarganya sendiri,” ucap Slamet kepada Yasir. Sementara ini, anggotanya mencapai 313 Kartu Keluarga (KK). Nantinya 313 KK ini yang mengelola, merawat, dan merasakan hasil dari hutan yang dikelolanya sendiri. Baik itu hasil dari produk agroforestri, jasa, hingga manfaat ekologi, juga manfaat sosial masyarakat.
Sampai tahun 2020, “Kita dipercaya buat KBR (Kebun Bibit Rakyat) targetnya 35.000 pohon, terealisasi 46.000 bibit, itu contohnya (pohon) matoa,” cerita Slamet kepada Tim Kolaborasi. Dan target selanjutnya ialah tahun 2023, “kami mengajukan Hutan Kemasyarakatan (HKM) kepada KLHK.”
Sampai dengan di sahkannya KTH ALAS mendapatkan haknya atas pengelolaan hutan. Menurut Fanny Tri Jambore, WALHI Nasional dalam tulisannya mengatakan, “bahwa Perhutanan Sosial bukanlah tujuan utama dari perjuangan wilayah yang dikelola oleh masyarakat, tetapi hanya salah satu strategi untuk mendapatkan akses.”
Tambahnya, “Karena untuk menuju kelola hutan secara mandiri oleh masyarakat dibutuhkan perjuangan yang panjang, yakni dengan menyiapkan organisasi masyarakat yang kuat dengan kesadaran politik yang mumpuni.”

Baca Serial Liputan Konstruktif "KTH ALAS Trawas: Menggagas dan Mengemas Perhutanan Sosial untuk Lingkungan Berkelanjutan" Lainnya: • KTH ALAS Trawas: Dari Forum Rakyat Trawas hingga Was-Was dengan Perhutani • KTH ALAS Trawas: Ide Besar Mengelola Perhutanan Sosial dengan Wisata Edukasi Ekologi dan Agroforestri Serial Liputan Konstruktif ini merupakan Liputan Kolaborasi antara Idenera.com dan KabarTrenggalek.com dalam Program Wilayah Kelola Rakyat (WKR) didukung Dana Nusantara yang diinisasi oleh WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia), KPA (Konsorsium Pembaharuan Agraria), dan AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara).


Diterbitkan: Senin, 13 Maret 2023 Pukul: 15.00 WIB Jurnalis: Adi Fauzanto Editor: Fayza Rasya
Daftar Bacaan: • WALHI Jatim dan AP2SI. 2021. Wilayah Kelola Rakyat: Suara Petani Hutan dan Masa Depan Perhutanan Sosial yang Berkeadilan. Buletin, 30 Juni • Yahya Cahya Wulan (dkk.). 2004. Analisa Konflik Sektor Kehutanan di Indonesia 1997 – 2003. CIFOR • Suroso. Optimalisasi Lahan dengan Pola Agroforestry. Dinas Kehutanan Provinsi Yogyakarta • Bunyamin Maftuh. 2008. Pendidikan Resolusi Konflik. UPI Press: Bandung • Nopri Ismi. 2021. Potret Perhutanan Sosial Indonesia Hari Ini. Berita Mongabay, 22 Maret • Nabhan Aiqani. 2020. Menilik Arah Masa Depan Perhutanan Sosial di Indonesia. Opini Mongabay, 24 Agustus • Usep Setiawan. 2023. Perhutanan Sosial di Tahun Politik. Opini Kompas, 19 Februari • KPA. 2017. CATAHU 2017: Reforma Agraria di Bawah Bayangan Investasi (Gaung Besar Di Pinggiran Jalan). • Thaoqid Nur Hidayat. 2022. KTH Alas Trawas Tanam 46 Ribu Pohon di Lokasi Hutan Produksi Penanggungan. Times Indonesia, 14 Januari • Profil KPH Pasuruan • Romain Pirard (dkk.). 2016. Dampak Hutan Tanaman Industri di Indonesia: Analisis Persepsi Masyarakat Desa di Sumatera, Jawa dan Kalimantan. CIFOR
