Buya Hamka I (2023): Tamparan Keras untuk Islam Oportunis, Transnasional, dan Mereka yang Merenggut Kemerdekaan


Kebijakan.co.id Liputan Film

Adi Fauzanto-27/04/23 (15.30 WIB)-#18 Menit

Read in English Language Version

Film Buya Hamka digarap dengan serius dengan modal dana yang tidak sedikit. Bukan tanpa celah, beberapa terdapat di dalamnya, sangat disayangkan untuk film yang mulai digarap tahun 2014 ini.

Selain itu, pesan yang disampaikan seharusnya menampar realitas muslim, mulai dari poligami, organisasi Islam transnasional, hingga merebut kemerdekaan.

***

Cuplikan Buya Hamka Vol I, II, dan III

Kebijakan.co.id — Ibarat sebuah dahaga dari film Islam yang bertajuk cinta-cintaan melulu. Tentang perempuan cantik, tentang perkawinan, perceraian, dan tetek bengek menyek-menyek masalah percintaan dibalut dengan islami dengan cerita yang absrud (tidak jelas) dan jelek. Praktis film Islam ‘tanpa gimik cinta-cintaan’ terakhir — sekaligus film biopik — yaitu Guru Bangsa: Tjokroaminoto (2015)

Film Buya Hamka Vol. I (2023) hadir sebagai fatamorgana film Islam jauh dari hal itu. Walaupun dalam cuplikan (trailer) di awal film terkesan seperti ‘cinta monyet’, dengan menggambarkan istrinya, Sitti Raham (diperankan Laudya Cynthia Bella) sebagai tokoh hayati dalam Roman (Novel) Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (1938), tetapi itu bukan dari cinta menyek-menyek ala film Islam karbitan, itu bagian dari kerja-kerja Hamka (yang diperankan oleh Vino Giovanni Bastian) sebagai sastrawan yang wajar saja perlu membutuhkan inspirasi dalam menulis.

Jadi jangan harap mendapatkan unsur ‘cinta monyet’ dalam film ini. Membayangkan nonton bersama dengan pasangan  — pacar ataupun istri — berharap yang muncul seperti film Ajari Aku Islam (2019), atau yang paling melegenda ialah Ayat-Ayat Cinta (2008)  — dan mungkin karena film itu juga, film bucin (butuh cinta) ala Islam menjadi pasar tersendiri — bahkan film biopik islami lainnya seperti Sang Kiai (2013) juga turut mengikuti unsur ‘cinta monyet’ (cinta anak muda) sebagai penggalan cerita dari tokoh utama.

Tanpa semua itu, film Buya Hamka Vol. I (2023) tetap memikat, karena cerita yang kuat –mungkin karena tokoh Buya Hamka diangkat dari kisah nyata yang juga sangat romantis.

Film ini bukan tanpa cinta, secara definitif ia hadir dalam bentuk yang lain, dengan gaya yang berbeda. Ia hadir, dalam bentuk pengalaman nyata, tentang sebuah cinta terhadap keluarganya, agamanya, pekerjaannya, negaranya yang tidak sempit, tetapi tetap megah, modern, dan yang pasti tidak alay.

Jika dapat merasakan kehadiran unsur cinta tersebut, beruntung. Sebab, jika tidak, maka kalianlah yang mungkin ditampar oleh film ini terlebih dahulu oleh pemikiran Buya Hamka pada zaman itu. Yang jelas tertampar ialah:

Pertama, Islam Oportunis, yang selalu memanfaatkan agama untuk keuntungan material (kekayaan) dan hawa nafsunya atas nama ayat-ayat suci dan simbol-simbol agama. Bentuk cinta yang tulus melampaui kekayaan –memang cukup sulit di dunia kapitalis seperti sekarang — tetapi bukan tidak mungkin.

Bentuk kecintaan ini, ialah belajar bagaimana bersyukur atas apa yang telah dimiliki, termasuk menyangi keluarga yang ada — dengan tidak berpoligami. Tidak menjual ceramahnya dengan tarif — seperti kebanyakan Ustadz jaman ini. Atau menjual simbol-simbol Islam untuk bisnisnya, hanya untuk mengincar ceruk pasar Islam.

Yang Kedua ialah, Islam Transnasional. Yang selalu berikrar dan bersolusi cepat dan tepat atas semua permasalahan komunitas masyarakatnya dengan satu sistem pemerintahan, alih-alih berangkat dari bawah solusi yang kecil seperti budaya komunitasnya, ujuk-ujuk menuju solusi pasti nan absurd juga imajinatif, terlebih ide yang sudah busuk. 

Bentuk kecintaan ini dilambangkan tentu terhadap masyarakat, adat, dan bangsa yang ia perjuangkan, mulai dari melawan penjajah 2 sekaligus serta harus dituduh pembangkang (di volume II). Bentuk lain dari masyarakat, adat, dan bangsa yang Buya Hamka perjuangkan adalah gambaran keinginan tersendiri dan jelas berbeda-beda, beragam, dan mempunyai ‘ciri’ tersendiri.

Terakhir ialah yang Ketiga, Atas Nama Islam yang merenggut Kemerdekaan. Mereka yang atas Islam, merenggut kemerdekaan yang lainnya, juga tertampar dengan film ini. Kemerdekaan yang bentuknya bisa bermacam-macam, mulai dari kemerdekaan beribadah, berpendapat, berpolitik, hingga menentukan nasib sendiri. Mereka yang direnggut juga berangkat dari cinta, cinta atas Tuhannya, cinta akan pilihannya, dan cinta akan bangsanya.

Selain pembahasan ketiga ini, terdapat juga pembahasan mengenai teknis film tersebut, mulai dari ketiadaan musik, kurang naturalnya set lokasi dan properti, hingga naskah.

Islam Oportunis

Ada banyak adegan dari Film Buya Hamka Vol. I (2023) yang menggambarkan ketulusan untuk menyebarkan agama Islam tanpa perlu memanfaatkannya — baik untuk material atau keuntungan lainnya — atau bersikap oportunis. Dalam salah satu adegan di cuplikan (menit 1:02) digambarkan Buya Hamka menolak berlaku adil untuk poligami kepada seorang perempuan muda, “Astagfirullah!,” ucap pemeran Buya Hamka.

Tentu jika melihat kedaan saat ini, film ini juga tidak menjadi tontonan, dan tuntunan, tapi juga menampar mereka-mereka yang berpoligami apalagi dengan mengatasnamakan Agama Islam dan segala omong kosongnya, apalagi poligaminya juga tidak mengikuti Nabi Muhammad yaitu dengan menikahi janda tua yang suaminya telah meninggal, akan tetapi dengan menikah dengan yang lebih muda dan bukan janda.

Seperti yang pernah diliput oleh Narasi TV dengan tajuk Menguak Sisi Lain Mentoring Poligami Berbayar (2021). Di mana praktik poligami seenak jidat (seenak hati), tanpa aturan, dan kaidah. Boro-boro (jangankan) mengikuti contoh Nabi Muhammad.

Adegan film Buya Hamka (2023)pun, menjungkir balikan praktik yang sebelumnya diliput Narasi TV. Naskahnya cukup lengkap untuk memberi penjelasan secara ayat disertai konteks tambahan. Penjelasan terkait ayat poligami di An-Nisa ditambah konteks tambahan dalam hal ini tafsir dari seorang Hamka –bahwa keinginan poligami atas kemauan bapaknya dari anak perempuan tersebut. 

Meme Poligami
Meme @sor_awak

Dalam tulisan Hamim Ilyas bertajuk Poligami dalam Perspektif Islam Berkemajuan (2021) menjabarkan ada yang perlu dipahami dari poligami harus melihat sisi historisnya (atau asal usul turunnya ayat). Ada berbagai syarat regulasi turunan dari hal tersebut. 

Pertama, pembatasan jumlah istri —melihat kondisi sebelum Islam yang tidak ada batasan dan tanpa aturan. Kedua, syarat darurat sosial — yang pada saat itu pasukan Islam banyak yang gugur dalam perang sehinga menimbulkan anak-anak yang tidak memiliki ayah. Ketiga, syarat tidak sewenang-wenang — yang hanya berdasarkan nafsu duniawi. Keempat, syarat adil — inilah yang paling berat.

Saya teringat penelitian Remotivi bertajuk Perempuan Tanpa Otonomi (2014) tentang perempuan dalam sinetron Islam di kala bulan ramadhan dengan sampel Anak-anak Manusia (RCTI), Para Pencari Tuhan (SCTV), dan Hanya Tuhanlah yang Tahu (Trans TV). 

Dari ketiga sinetron ini, yang memang digarap secara serius memperhatikan nilai-nilai Islam hingga kepada dialog dan konteks yang ada, ialah jatuh kepada sinetron Para Pencari Tuhan (2014).

***

Selain adegan tawaran untuk poligami, ada beberapa adegan menolak dibayar dalam kegiatan dakwahnya — tidak saya sebutkan secara detail untuk mencegah pembocoran.

Adegan dalam film tersebut juga diberikan penjelasan konteks yang cukup mendalam tentang bagaimana kehidupan Buya Hamka yang sulit di awal kemerdekaan. Pada akhirnya karena melihat kondisi sulit keluarganya, bayaran tersebut harus ditukarkan dengan karya novelnya, sebagai sebuah tanda pertukaran jual-beli — tidak ujuk-ujuk menerima bayaran dakwah tersebut.

Benar-benar jelas 180 derajat dengan kebanyakan ustadz-ustadz yang mata duitan, saat ini, jika melihat tarif yang dibocorkan. Benar atau tidaknya tarif ini, yang pasti ditambah harta melimpah ruah dari bisnis menjual agama. Belum lagi bisnisnya yang membawa unsur atau simbol Islami, mulai dari yang terkecil makanan, pakaian.

Bahkan hingga industri besar sekaliber penambangan batu bara juga perlu dicap halal sesuai apa yang diungkapkan film dokumenter investigatif Sexy Killer (2019) di mana Wakil Presiden saat ini juga ikut terlibat yang kala itu sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga sebagai komisaris besar perusahaan Bank Syariah  — dan satu yang pasti industri halal ini menghasilkan cukup banyak pemasukan.

Dalam hal ini saya pernah melakukan liputan mendalam terkait Perumahan Syariah di Kota Depok, Surga di Rumah atau Neraka Keberagaman (2022). Yang jelas-jelas benar itu tidak ada aturan dalam Al-Quran untuk membuat komplek perumahan atau perkampungan muslim. Mengada-ada. Terlebih memperlebar jarak antara komunitas muslim dengan komunitas masyarakat lainnya yang bukan muslim. Membuat muslim menjadi eksklusif.

Terlebih dalam situasi bangkitnya Islam Populis — setelah keadaan politik pemilihan umum 2014 dan 2019 — , pengusaha-pengusaha berusaha mengincar ceruk pasar pembeli mereka, untuk apa? untuk mencari keuntungan yang pasti. Layaknya menjual lampion kepada komunitas china atau agama Tionghoa, pasti hanya mereka yang beli.

Aksi 212
Aksi 212 (Antara Foto/Sigid Kurniawan)

***

Bicara tentang rumah. Film Buya Hamka Vol. I (2023) juga menggarap secara serius hingga detail kepada rumah — oleh karena itu dana yang dikeluarkan cukup besar — akan tetapi gambaran rumah dalam film Buya Hamka juga terasa hambar — walaupun sudah disesuaikan dengan kondisinya kala itu. 

Mengapa? terasa sekali ini rumah baru selesai dibangun, bersih, warna cat juga masih cerah. Tidak seperti dalam film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (2014) yang memang mengambil rumah Minangkabau asli dengan adegan yang ikonik ketika Hayati melihat Zainnudin untuk pertama kalinya, lebih nyata. Atau setidaknya terlihat kotor sedikit, agar tidak benar-benar terlihat selesai dibuat.

Hayati sedang melihat keluar jendela rumahnya

Mengapa dibuat kotor sedikit? Sebab jika tidak, seperti terlihat sketsa program televisi lawak, Bajaj Bajuri misalnya, yang rumahnya tersusun rapih, bersih, dan tanpa noda. Cara ini sudah seharusnya dibaharui jika di sebuah film dengan modal besar, untuk mendekati kenyataan –bukankah itu esensi film. Bukan plek-ketiplek baru selesai dibangun dipakai syuting.

Atau mungkin juga pengharapan penulis membayangkan menonton Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (2014) karena masih terbayang indahnya Batipuh dengan pengambilan gambar alam dan kearifan lokal Minang yang sangat tepat, yang meninggalkan bekas bahwa inilah film dengan latar belakang Minang terbaik. Nampaknya Buya Hamka (2023) –yang juga mengambil latar Minang– tidak mampu mengubah posisi itu, sekalipun lebih mahal biaya produksinya.

Tangkapan sketsa program televisi Bajaj Bajuri
Tangkapan gambar sketsa program televisi Bajaj Bajuri

***

Selain bicara rumah, pada pembahasan ini juga sedikit banyak bicara tentang liputan jurnalistik, mulai dari Poligami oleh Narasi TV, Perumahan Syariah oleh Kebijakan.co.id, hingga Sexy Killer oleh WatchDoc, saya sangat suka sekali ketika film ini banyak memasukan adegan Hamka sedang menulis, baik untuk membuat tulisan untuk di koran, novelnya, maupun buku-bukunya, hampir di seluruh adegan hampir ada. 

Melambangkan bahwa Hamka bukan jurnalis, penulis, novelis (pujangga), atau ilmuwan Islam yang ecek-ecek, gambaran tentang menulis di malam hari ditemani kopi, lalu ketika hari meninggal anaknya untuk tetap menerbitkan koran, dan belajar lagi kepada Ayahnya untuk menulis Tasawuf Modern (1939) juga memperjelas bahwa selain bukan ecek-ecek tetapi juga profesional. 

Secara kualitas tulisan, sebagai pembaca buku Hamka Falsafah Hidup (2015), benar-benar tulisannya membuat pembaca milenial — termasuk saya sendiri — pusing bukan main, sebab bahasanya yang puitis dan bernada melayu, mendayu-dayu, hampir tidak ada penggalan kalimat pendek — seperti yang terjadi saat ini — perlu dibaca 2x untuk memahaminya. 

Akan tetapi juga terdapat pertentangan atau polemik, khususnya kritik terhadap Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck yang dituduhkan plagiat dari salah satu Novel Sous les Tilleuls (1832) karya Jean-Baptiste Alphonse Karr yang diterjemahkan oleh Mustafa Luthfi Al-Manfaluthi ke dalam bahasa Arab berjudul Madjdulin (Magdalene: Di Bawah Pohon Tilla).

Dengan pembahasan kritik yang detail hingga kepada kalimat per kalimat, paragraf per paragraf, cerita per cerita oleh Abdullah Said Patmadji pada tahun 1962. Dilanjutan perbandingan dengan gambaran teks detail oleh Pramoedya Ananta Toer.

Namun, dibela oleh H.B. Jassin dalam tulisannya Apakah “Tenggelamnya Kapal Van der Wijck” Plagiat? (1967) yang mendudukan arti dari plagiat.

Pada Hamka ada pengaruh Al-Manfaluthi. Ada garis-garis persamaan tema, plot, dan buah pikiran, tapi jelas bahwa Hamka menimba dari sumber pengalaman hidup dan inspirasinya sendiri.” 

“Anasir pengalaman sendiri dan pengungkapan sendiri demikian kuat, hingga tak dapat orang bicara tentang jiplakan, kecuali kalau tiap hasil pengaruh mau dianggap jiplakan. Maka adalah terlalu gegabah untuk menuduh Hamka plagiat seperti meneriaki tukang copet di Senen.” Simpul H.B. Jassin.

Meme Hayati
Meme Hayati Lelah

Genderang perang sastra — dan dibumbui dengan aliran politik era pemerintahan demokrasi terpimpin- ini diulas secara lengkap dalam buku bertajuk Aku Mendakwa Hamka Plagiat: Skandal Sastra Indonesia 1962–1964 (2011).

Menarik jika ‘suasana’ ini dimasukan dalam film Buya Hamka (2023) Vol. I, II, III akan menjadi lebih kaya dalam sorotannya sebagai penulis sekaliber, namun sepertinya tidak ada — jika melihat cuplikan — , mungkin cakupan polemik sastra kurang menjual, ketimbang polemiknya dengan Soekarno.

Mungkin juga karena tuduhan terhadap Hamka yang sangat serius dikerjakan dan dibuktikan dengan detail, membuat posisinya dalam hal ini sangat lemah. Dibandingkan dengan tuduhan Soekarno, bahwa Hamka sebagai penghianat — yang jelas sebagai tuduhan politik.

Atau penulis naskah Buya Hamka (2023) beserta pihak-pihak yang terlibat tidak mengetahui keberadaan polemik sastra ini. Ah, yang ini kemungkinan kecil terjadi, terlebih jajaran pembuat film ini sekaliber dua produksi film besar di Indonesia, diisi orang-orang dengan yang tidak sembarangan.

Di balik plagiat atau tidak, terinspirasi oleh suatu karya atau tidak, itulah kekayaan dari kualitas sastra Indonesia, yang sulit ditemukan saat ini. 

Apalagi jika melihat kondisi penulis dan jurnalis sekaliber jadi, khususnya saat ini yang berafiliasi dengan komunitas Islam Populis saat ini macam Gelora.co yang hanya salin tempel tulisan, alih-alih menggambarkan teladan dan profesional media dan jurnalis yang berafiliasi dengan komunitas Islam Populis, malah sebaliknya, memuakkan.

Agenda ini memang disengaja dibantu oleh partai-partai yang berafiliasi dengan Islam Populis seperti yang diliput Tirto.id bertajuk Di Balik Situs Berita Hoax Cerita di Balik Situs Postmetro dan Seword (2019).

Hamka sedang Menulis
Hamka sedang Menulis

Islam Transnasional

Selanjutnya yang tertampar ialah Islam Transnasional, Islam yang menghamba akan solusi pasti cepat tepat akurat yaitu Khilafah atas semua negara-negara. Dalam adegan di film Buya Hamka Vol. I (2023) banyak sekali adegan yang menggambarkan nasionalisme salah satunya di cuplikan ialah ketika menolak kedatangan penjajah pada menit 1:12 dan menit 1:57, “Nasib kita, kitalah yang menentukan.” dan “Kita tunjukan siapa orang Minang sebenarnya.”

Sebagai pembaca biografi H.O.S Tjokroaminoto dalam buku Seri Tempo: Guru Para Pendiri Bangsa (2011), saya tahu betul bahwa kader (murid) Tjokro sudah pasti mewarisi cinta tanah air yang berawal dari gagasan Sosialisme Islam, yang pada saat itu dibawa oleh Hamka ke Minang. 

Sang Ratu Adil (sebutan untuk Tjokro kala itu) itu tak hanya berpengaruh terhadap tokoh politisi baik kanan — yang nantinya menjadi masyumi—, kiri — yang nantinya menjadi PKI —, maupun nasionalis — yang nantinya menjadi PNI — , tetapi juga kepada budayawan sekaligus ulama salah satunya Buya Hamka (walaupun natinya terafiliasi dengan Masyumi), memang benar-benar guru bangsa.

Dokumen Sejarah
H.O.S Tjokroaminoto (Dokumen Sejarah)

Menonton film Buya Hamka Vol. I (2023) sudah seperti suasana menjelang kemerdekaan, hampir setengah diisi doktrin cinta tanah air, tetapi tidak mengapa, sudah cukup jarang yang menghubungkan antara nasionalisme dan Islam dalam taraf yang patriotik, sebab habis sudah setelah Sang Pencerah (2010) dan Sang Kiai (2013)  — yang notabene ulama yang melahirkan organisasi sebagai anti-tesis ulama Islam Transnasional dan pelopor Indonesia juga— , film ulama yang benar-benar serius membangun masyarakat bangsanya, bukan ujuk-ujuk kampanye tentang Khilafah.

Bicara tentang Khilafah, baru sekali tokoh pergerakan sekaligus pengacara Front Pembela Islam (FPI) — yang juga mantan ketua YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia) — , Munarman ditangkap dan dihukum 4 tahun karena diduga menyaksikan baiat (pengakuan) kepada Hizbut Tahrir (HT) di Makassar. Walau masih diperdebatkan tetang status organisasi HT Indonesia (HTI) yang seharusnya dalam pembubarannya diadili — tidak ujuk-ujuk dibubarkan. 

Akan tetapi konsep HT sendiri masih tidak jelas, seperti apa sistem pemerintahannya? bagaimana konsepnya? mengapa negara-negara yang mayoritas Islam justru melarangnya? Hal itu abstrak perjuangannya, jika dibandingkan ulama yang tumbuh dari masyarakat, untuk melindungi tanah air tempat dia tinggal, sesederhana itu.

***

Namun secara film jika dibandingkan dengan film biopik dua ulama lainnya, masih lebih menarik Sang Pencerah (2010) dan Sang Kiai (2013), secara cerita, nilai, dan maksud lebih utuh disampaikan — walau kualitas produksi film dibawah Buya Hamka Vol. I(2023) — mungkin juga karena hanya volume pertama yang baru ditampilkan. 

Akan tetapi, itu menjadi kelemahan. Praktis, serba setengah-setengah, mau disorot dari sisi sastrawannya seorang Buya Hamka tetapi juga tidak menyeluruh, mau disorot perjuangannya juga tidak menyeluruh, mau disorot sosok keulamaannya juga tidak menyeluruh, alhasil penonton dipaksa menunggu untuk klimaksnya yang nanti akan ditayangkan.

Alhasil, film pertama belum benar-benar ‘wah’ dan akan berpikir kedua kalinya untuk menonton yang berikutnya — jika ada film yang lebih baik secara kualitas perfilman. Jika nanti Vol. II sepenayangan dengan film setan, jelas tidak perlu berpikir dua kali.

FilmAlurLokasiMusikAktingPesan
Sang Pencerah (2010)Maju (dari kecil hingga dewasa) menyorot perubahan budaya di kauman Yogyakarta: Jelas fokusnyaLatar Yogyakarta 1920an: sangat mendekati karena kondisinya tidak berbeda jauh dengan sekarangTerdapat lagu Lir-IlirTidak diragukanPerubahan budaya masyarakat
Sang Kiai (2013)Maju (ketika usia tua) menyorot perjuangan penjajahan jepang: Jelas fokusnyaLatar Jombang (Jawa Timur) 1940an: mengambil latar belakang kota tua di tempat lainnyaTerdapat lagu Bila Mati-Ungu (Namun tidak cocok)Tidak diragukanPerjuangan masyarakat untuk kemerdekaan
Buya Hamka I (2023)Maju (Dewasa) menyorot perjuangan penjajahan jepang: 50:50 (setengah) dengan kehidupan pribadi Buya Hamka sebagai suami, sebagai senulisLatar Makassar, Medan, Padang 1940an: membuat properti sendiri yang mendekati (mirip namun terlihat sekali tidak pas)Tidak ada lagu identitasTidak diragukanPerjuangan masyarakat untuk kemerdekaan? Edukasi poligami? Pencerdasan masyarakat melalui Pers?

***

Terlebih film ini juga tidak disertai lagu sebagai tanda bahwa film ini pernah ada. Ibarat kata, Ah, saya mendengar lagu ini teringat film Buya Hamka, itu tidak ada. 

Nyanyian Lir-Ilir (Abad Ke-16) — artinya bangunlah dalam bahasa Jawa — yang ditembangkan oleh Sunan Kalijaga, melekat sekali ke dalam Sang Pencerah (2010) setali dua temali dengan melekatnya kepada Cak Nun yang mempopulerkannya kembali. Lalu lagu Ungu dengan judul Bila Tiba (2013), saya tidak sengaja mendengarnya lalu saya teringat kepada suatu film, ternyata film Sang Kiai (2013).

Lagu atau musik dalam film menjadi sangat penting, dalam jurnal penelitian yang ditulis oleh Hery Supiarza berjudul Fungsi Musik di Dalam Film : Pertemuan Seni Visual dan Aural (2022), dia menyimpulkan bahwa peran musik memiliki peran penting dalam sebuah film. 

Pertama, mengintegrasikan (menyatukan) dunia bawah sadar penonton dengan melihat gambar. Kedua, mempengaruhi penonton dalam konteks ekspresi. Ketiga, memberikan pengetahuan perilaku penonton akibat dari mendengarkan musik. Kesimpulan yang menurut saya ada benarnya.

Meme Musik Rumi
Meme Musik Jalaludin Rumi (Sumber Gambar: @knowledgethatyouneed)

Secara teknis hampir tidak mungkin film yang menghabiskan 70 miliar ini melewatkan musik. Apa karena musik haram? Padahal menurut Fatwa MUI tertanggal 3 Desember 1983, dalam pertimbangannya musik (dan karya seni lainnya) boleh-boleh saja asal tidak melanggar dan bertentangan dengan ajaran Islam itu sendiri. 

Islam yang Merenggut Kemerdekaan

Dalam film juga terdapat adegan bahwa Hamka menolak secara konfrontatif — dalam cuplikan terbesit dalam (menit 1:18) —  dengan pihak penjajah Jepang terhadap cara mereka membatasi kegiatan-kegiatan muslim seperti beribadah, kemerdekaan pers, dan bahkan membunuh ulamanya.

Film ini menjadi tamparan keras sekali untuk mereka khususnya umat Muslim yang masih mencoba membatasi umat agama lain beribadah, kalian tidak kurangnya dari seorang penjajah layaknya Jepang kala itu. 

Bogor dan Cilegon adalah saksi bisu atas semua masalah yang terjadi saat ini. Yang telah diliput oleh BBC Indonesia dan Tirto.id dengan judul Gereja Yasmin Bogor: Kasus produk hukum intoleran ‘akan selesai’ tahun ini (2019) dan Tak Ada Gereja di Cilegon: Diskriminasi di Balik Topeng Pluralisme (2022). Atau kejadian baru-baru ini pelarangan ibadah Natal di Cilebut, Bogor.

Gereja Terbakar di Chile (AP Photo/Esteban Felix)

***

Merenggut kemerdekaan juga tak bisa lepas dari nasib penentuan sendiri, yang juga tergambar banyak di film ini, salah satunya menit 1:12, “Nasib kita, kitalah yang menentukan.” Mulai dari ketika awal penjajahan Jepang, hinggga masuknya Belanda saat agresi militer (secara singkat dalam Volume I).

Hal itu juga ditampilkan dengan semangat Hamka untuk mengagitasi masyarakatnya untuk memperjuangkan kemerdekaan. Dalam film Buya Hamka (2023) juga terdapat adegan yang menjabarkan mengapa penjajah ‘berkunjung’ ke negeri kita, tidak lain tidak bukan, mengeruk kekayaan.

Tetapi pertanyaan apakah Indonesia sudah mampu menjalani itu? Apakah di Indonesia sudah memfasilitasi untuk masyarakatnya untuk menentukan nasib sendiri? Apakah Indonesia bukan penjajah? Dengan mengirim bala tentara dengan segudang senjata, untuk melindungi pengerukan kekayaan-kekayaan di bumi milik masyarakat yang tinggal di sana?

Agaknya sedikit retroris, tetapi kenyataannya memang begitu. Kita belum sanggup menerima kenyataan, bahwa kita juga mengeruk kekayaan untuk elite-elite di Jakarta, dan meminggirkan masyaraka lokal yang tinggal di sekitarnya. 

Penelitian terbaru Kontras misalnya bertajuk Ekonomi-Politik Penempatan Militer di Papua (2021), dengan jelas menjabarkan bahwa ada elite tentara yang memang sengaja di tempatkan di Papua untuk melindungi entitas bisnis pertambangan. Lalu dari film ini kita membayangkan bagaimana jika terdapat tokoh agama dari Papua yang berani vokal seperti vokalnya Buya Hamka memperjuangkan Indonesia?

Ejawantah Kehidupan dan Pemikiran Buya Hamka

Membahas ketiga topik sebelumnya, tidak bisa dijauhkan dari tokoh sentral Buya Hamka. Pengejawantahan kehidupannya dalam film Buya Hamka Vol. 1 (2023) benar-benar kurang untuk orang awam yang asumsinya belum sama sekali membaca biografi sejarah Hamka  — karena mungkin masih volume pertama.

Adegan pertama disuguhkan ketika Buya Hamka di penjara lalu melompat ke masa lalu ketika menjadi pengurus Muhammadiyah di Makassar, lalu menjadi pemimpin redaksi di suatu koran di Medan, tanpa mengetahui sebab-sebabnya. Khususnya mengapa dia menjadi seorang pengurus Muhammadiyah Makassar? Mengapa dia punya latar belakang dan menjadi jurnalis? Mengapa dia menjadi pujangga?

Dan mungkin ini strategi bisnis, untuk menciptakan penasaran dan menonton ulang sebelum menonton volume berikutnya. Tapi apakah berhasil?

Akan tetapi secara budaya, Film Buya Hamka Vol. 1 (2023) benar-benar mengejawantahkan secara detail, mulai dari penggunaan bahasa minang, bahasa makassar, hingga logat jepang yang dibuat mendekati, hingga pakaian-pakaiannya. Walaupun ada beberapa sedikit kesalahan kecil seperti anak Buya Hamka ketika kecil atau staff media koran yang tidak fasih bahasa minang — terasa sekali dibuat-buat.

Untuk pengejawantahan pemikirannya juga benar-benar tersampaikan dengan baik, dari sisi keterbukaan terhadap budaya ala Buya Hamka, sisi kemodernan Islam ala Buya Hamka, sisi sufistik (hidup yang tidak mengejar duniawi saja) ala Buya Hamka. Tapi bersifat setengah jadi –alias setengah-setengah, tidak menyeluruh.

Ibarat ada benda untuk dilihat, pilihannya ada melihat keliling secara keseluruhan atau melihat pada satu sisi. Jika melihat secara keseluruhan, tentu kehilangan detail pada sisi. Jika melihat hanya detail satu sisi, tentu akan kehilangan penjelasan singkat sisi lainnya. Buya Hamka Vol. I (2023) memilih ‘jika’ yang pertama. Kebolongan dalam setiap sisi itu yang akan menjadi tanggungan penonton untuk mengenal sosok Hamka.

Film ini layak ditonton jika dibandingkan film setan lainnya —saat penayangan di Bioskop — , umumnya kehidupan ‘setan’ lebih laku dijual daripada ‘malaikat’ itu sendiri. Padahal film setan selama ini — terdekat sebelumnya dengan penonton terbanyak — tak jauh berbeda dengan sifat topiknya yaitu menipu, banyak yang absurd alias film jelek, tak jarang tak layak tonton.

Tapi jangan harap film Buya Hamka (2023) menjadi penyaing penonton film Setan dengan jumlah penonton terbanyak itu, jika masyarakat kita masih kurang kualitas manusianya yang masih suka dunia klenik dan hal-hal yang mistis tanpa penjelasan yang masuk akal, percayalah.

SutradaraFajar Bustomi
ProduserFrederica, H.B. Naveen, Chand Parwez Servia, Dallas Sinaga, dan Dewi Soemartojo
PenulisAlim Sudio dan Cassandra Massardi
Pemeran UtamaVino G. Bastian dan Laudya Cynthia Bella
Penata musikPurwacaraka
SinematograferIpung Rachmat Syaiful
PenyuntingRyan Purwoko
Pemilihan PemeranGilang Numerouno dan Nova Sarjono
Perusahaan
produksi
Falcon Pictures, Kharisma Star Vision Plus, Majelis Ulama Indonesia
Tanggal rilis19 April 2023 (Indonesia)
Durasi106 menit
Buya Hamka
Buya Hamka, Soekarno, dan Oei Tjeng Hien di Konsul Muhammadiyah Bengkulu (dokumen sejarah)
Adi Fauzanto
Diterbitkan: Kamis, 27 April 2023
Pukul: 15.30 WIB
Jurnalis: Adi Fauzanto
Daftar Bacaan:
• Roy Thaniago & Yovantra Arief. 2014. Perempuan Tanpa Otonomi. Penelitian RemotiviNarasi TV. 2021. Menguak Sisi Lain Mentoring Poligami Berbayar. Youtube, 16 NovemberDandhy Laksono & Ucok Suparta. 2019. Sexy Killer. WatchDocAdi Fauzanto. 2022. Perumahan Syariah di Kota Depok, Surga di Rumah atau Neraka Keberagaman. Kebijakan.co.id, 18 NovemberHery Supiarza. 2022. Fungsi Musik di Dalam Film : Pertemuan Seni Visual dan Aural. Jurnal Cinematology, Vol. 2 No.1Baitul Maal Hidayatullah. Mengupas Tuntas Besaran Tarif Penceramah di Indonesia! Berapa Kira-Kira Estimasinya?Haris Prabowo. 2022. Tak Ada Gereja di Cilegon: Diskriminasi di Balik Topeng Pluralisme. Tirto.id, 18 JuliBBC News Indonesia. 2019. Gereja Yasmin Bogor: Kasus produk hukum intoleran 'akan selesai' tahun ini. BBC News Indonesia, 14 Agustus.Fitria Chusna Farisa. 2022. Jejak Kasus Terorisme Munarman: Divonis 3 Tahun Penjara, Diperberat Jadi 4 Tahun. Kompas.com, 28 JuliOde Rakhman (dkk.). 2021. Ekonomi-Politik Penempatan Militer di Papua. Penelitian Kontras, AgustusTempo.co. 2022. Pelarangan Ibadah Natal di Cilebut, Pemerintah Dinilai Gagal Lindungi Hak Masyarakat. 28 DesemberBudi Setyarso. 2011. Seri Buku Tempo: Tjokroaminoto Guru Para Pendiri Bangsa. Jakarta: Penerbit Kepustakaan Populer Gramedia.STEKOM. Daftar Film Indonesia Terlaris Sepanjang MasaGarin Nugroho. 2015. Guru Bangsa: Tjokroaminoto. Film Produksi PicklockHanung Bramantyo. 2008. Ayat-Ayat Cinta. Film Produksi MD PicturesDeni Pusung. 2019. Ajari Aku Islam. Film Produksi RA PicturesHanung Bramantyo. 2010. Sang Pencerah. Film Produksi MVP PlusRako Prijanto. 2013. Sang Kiai. Film Produksi Rapi FilmsSunil Soraya. 2013. Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Film Produksi Soraya Intercine FilmsHamka. 1990. Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Jakarta: Penerbit Bulan-BintangUngu. 2013. Bila Tiba, Album Ruang Hati. Musik Produksi Suria RecordsSunan Kalijaga. Abad ke-16. Lir-IlirFatwa MUI. 1983. Nyanyian dengan Menggunakan Ayat-Ayat Suci Al-Quran. Narasi TV. 2023. Belajar dari Buya Hamka. Talkshow Mata NajwaMustafa Luthfi Al-Manfaluthi (penerj: Nursangadah). 2019.  Madjdulin (terjm: Magdalene: Di Bawah Pohon Tilla). Yogyakarta: Penerbit Spektrum Nusantara.H.B. Jassin. 1967. Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei I. Jakarta: Penerbit Gunung Agung.Muhidin M. Dahlan. 2011. Aku Mendakwa Hamka Plagiat. Yogyakarta: Penerbit Scripta Manent.Hamim Ilyas. 2021. Poligami dalam Perspektif Islam Berkemajuan. Suara Aisyiyah, 23 NovemberHamka. 2015. Tasawuf Modern. Jakarta: Penerbit RepublikaHamka. 1984. Falsafah Hidup. Jakarta: Penerbit PanjimasRejat Hidayat. 2016. Di Balik Situs Berita Hoax Cerita di Balik Situs Postmetro dan Seword. Tirto.id, 16 Desember
Liputan Mendalam
Berlangganan
Notify of
guest
0 Komentar
Inline Feedbacks
Lihat Semua Komentar