Korupsi dan Budaya Feodalisme

Tulisan ini ditunjukan sebagai bentuk amicus curriae atau sahabat peradilan untuk Saiful Mahdi, lebih tepatnya menurut saya menjadi sahabat pengetahuan atau amicus scientia atas artikel kolom Feodalisme dan Kebebasan Akademik (2021) di Tempo, dimana tulisannya membedah watak feodal manusia indonesia -khususnya dunia kampus- yang tidak berubah dari analisis seorang Tan Malaka dengan kultur mistik pra-Indonesia, Pramodya Ananta Toer dengan inlander atau manusia kolonial, hingga kepada Manusia Indonesia-nya Mochtar Lubis. Akan tetapi saya lebih menyoroti dan membedah dari fenomena korupsi kekuasaan, tentu ada unsur ‘feodal’ dalam produksi pengetahuan kekuasaan itu sendiri.

Dimulai dari melihat kegagalan pemberantasan korupsi akhir-akhir ini, terutama melalui pendekatan hukum yang normatif-positivistik dengan segala peraturan yang digagas oleh Hans Kelsen dengan teori hukum murninya. Kemudian pendekatan tersebut dibajak oleh kepentingan politik, memang sifat pendekatan normatif-positivistik ala Hans Kelsen menampikan politik sejak kelahirannya, absurd. Terlebih ketika pendekatan hukum normatif-positivistik dijadikan satu-satunya pendekatan untuk memberantas korupsi.

Menjengkelkan memang, terlebih tiga institusi dalam Trias Politica ala Montesquieu, sudah tidak bisa diandalkan, mulai dari DPR yang membentuk Undang-Undang dengan serampangan, pemerintah yang hanya menghimbau seperti halnya ceramah-ceramah di Rumah Ibadah yang tidak menolong apapun, atau lembaga peradilan yang busuk akibat adanya mafia, baik jaksa hingga hakim. Atau yang lebih modern menambahkan lembaga independen negara dalam Trias Politica, bentuknya seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU), juga sudah dibajak semenjak wajah pimpinan nya terbukti bersengkokol dengan politik praktis.

Namun ada pendekatan selain normatif-positivistik Hans Kelsen, dengan menempatkan sosio-legal sebagai cara pandang hukum, salah satunya menempatkan pendekatan sejarah (historical) untuk memandang hukum. Dalam hal ini sosio-legal menempatkan ilmu pengetahuan diluar hukum untuk menganalisis fenomena hukum, dapat berupa ilmu pengetahuan sosial, ekonomi, sejarah ataupun budaya. Dalam kaitannya dengan pendekatan sejarah sendiri menempatkan sebab-akibat terjadinya hukum dilihat dari fakta material (terlihat) perkembangan masyarakat membentuk suatu hukum, baik yang berupa catatan seorang filsuf yang dijadikan pedoman dalam pembentukan hukum atau fenomena sosial yang membentuk hukum di masyarakat.

Dari hal tersebut kita dapat melihat produk atau kebijakan hukum yang membentuk watak manusia feodal dari kekuasaan yang koruptif. Untuk melacak kata feodal sendiri mencatat sejarah masyarakat berkembang dari bentuk masyarakat komunal agraris, hingga kepada kerajaan-kerajaan yang bersifat feodal, hingga kepada masyarakat demokratis dan ekonomi industri berbasis kapital –yang didalamnya masih membawa dan membentuk kekuasaan berwatak feodal (Dede, 2019). Perkembangan masyarakat –juga kekuasaannya- menghasilkan produk hukum dalam masyarakat –untuk mengatur, membatasi, melindungi. Dalam hal ini tentu jika watak feodal yang bersumber dari asal usul masyarakat dan kekuasaan, akan menghasilkan juga produk kebijakan hukum yang berwatak feodalistik –baik pengaturan hingga kedalam penegakan.

Aspek Sejarah dan Budaya Hukum

Dalam artikel Carl Joachim (1969) yang membahas hukum dan sejarah, menempatkan kajian sejarah hukum dilihat dari kajian teori politik dan moral yang berkembang pada saat itu yang tentu dituliskan oleh filsuf atau ahli hukum, baik itu kebenaran –dalam arti sejarah yang sebenarnya- ataupun sekedar analisis atas fenomena yang dituliskan, yang nantinya dijadikan sumber produk hukum.  

Hal tersebut diartikan hukum tidak hanya sekedar dari produk logika silogisme oleh pembentuk hukum, tetapi dia membawa suatu nilai dari perkembangan sejarah manusia sebelumnya, bisa juga yurispudensi mengutamakan kajian sejarah hukum. Misalnya dalam hal ini, bahwa pembentukan Undang-Undang Dasar awal kemerdekaan bukan hanya sebuah produk logika pendiri republik, Soekarno, Hatta, dkk, tetapi membawa suatu nilai dari adanya semangat anti-kolonialisme dan segala bentuk pengalaman atas penindasan untuk memulai suatu bangsa.

Juga untuk mengetahui dan mengambil sebuah kajian sejarah hukum, tidak lantas mengambil produk hukum –seperti putusan hingga kepada undang-undang atau dogma- yang lalu, tetapi mengambil kondisi sosial, ekonomi, dan ciri sejarah lainya dibalik produk hukum tersebut. Misal dalam proses Amandemen UUD pasca reformasi, tidak lantas kita mengambil pasal per pasal untuk diperlajari, tetapi lebih dalam lagi kepada kondisi sosial, ekonomi, politik dibaliknya yang merupakan bentuk anti-tesa kondisi pemerintahan otoritarian yang memanfaatkan hukum dengan segala permasalahannya.

Dalam hal membahas sejarah munculnya feodal, sejarah perkembangan masyarakat dan kekuasaan sepanjang perkembangan manusia, mengalami kondisi dimana kerajaan menjadi sumber kekuasaan atas masyarakat. Dikarenakan penguasaan modal berupa wilayah, yang diakibatkan dari adanya bentuk penururan hak milik yang ditimbulkan dari bentuk untuk mengamankan dari benturan komunitas masyarakat agraria, yang terjadi sebelumnya. Era dimana disebut dengan munculnya bentuk feodalisme.

Di Indonesia, jika tidak memahami anti-tesa dari pemikiran hukum era feodal –era abad pertengahan dan watak ekonomi yang sentralistik kerajaan- yaitu dengan lahirnya revolusi prancis –beserta produk hukumnya. Terlebih jika unsur budaya masyarakat berwatak feodal yang disebabkan hukum  bersumber dari sistem politik kerajaan dari era pra-Indonesia seperti kerajaan hindu-budha, hingga kepada kerajaan islam. Maka sudah tentu watak budaya dan produk yang bercorak feodal susah dihilangkan.

Watak feodal ini secara mendalam dibahas oleh Peter Carey dalam bukunya Korupsi dalam Silang Sejarah Indonesia dari Daendels hingga Reformasi (2017). Carey mencatat akar dari korupsi di Indonesia –baik sebelum dan setelah merdeka- merupakan kesinambungan sejarah dalam periodesasi kerajaan-kerajaan yang bersifat feodal, lalu intervensi kolonialisme VOC dengan raja-raja lokal dan investor atau tuan tanah asing, yang kesemuanya bersifat patrimonialisme atau ke-bapak-an menghasilkan era-kegelapan. 

Selain itu di Indonesia jika dicermati, walaupun legitimasi adanya produk atau substansi hukum yang umumnya ada di Indonesia bersumber dan mengambil ide besar dari lahirnya revolusi Perancis yang mempengaruhi Belanda pada saat itu –yang juga keduanya sebagai penjajah pra-Indonesia. Akan tetapi jika budaya hukum nya masih berlandaskan budaya masyarakat dan kekuasaan feodal –belanda setelah penjajahan prancis- akan terjadi kontradiktif.

Budaya hukum sendiri telah dibahas dengan apik oleh Shidarta dalam artikel nya Budaya Hukum (2019), tetapi tidak menyentuh akar permasalahan, dimana masyarakat Indonesia yang memiliki watak feodal. Tetapi secara umum menurut Savigny, faktor budaya masyarakat sangat menentukan corak hukum suatu masyarakat, lebih dari itu suatu bangsa. Lebih luas lagi menempatkan budaya hukum kedalam sistem hukum yang dikenalkan oleh Lawrence (1998) yang didalamnya terdapat substansi hukum, struktur hukum, dan terkahir budaya hukum. Dimana budaya hukum menempatkan suasana pikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari, atau disalahgunakan.

Tetapi semua kajian budaya hukum tersebut, menurut saya belum menjawab akan terjadinya budaya feodal dalam masyarakat, sebab masyarakat dalam melakukan aktivitas kebudayaan sehari-harinya disebabkan karena adanya faktor diluar hukum positif. Pertama-tama, tentu budaya masyarakat tidak terjadi begitu saja, tetapi ada faktor sebab mengapa masyarakat membudayakan hal tersebut. Misal, budaya memberikan hadiah kepada atasan atau rekan, ada dua kemungkinan, karena kebaikan ingin memberikan suatu untuk sebuah eksistensi jika dia ‘ada’, tetapi juga ada kemungkinan untuk maksud mempengaruhi sesuatu. Artinya ada faktor eksternal dan internal dalam hal ini.

Bisa jadi kebudayaan feodal masyarakat Indonesia tumbuh karena faktor eksternal, misal dalam hal penguasaan sumber daya, sebab kenapa masyarakat terdapat watak feodal dikarenakan ada yang memerintah dan juga diperintah –tentu dengan kekuasaan yang terdapat hak kepemilikan. Adanya struktur dalam masyarakat yang menyebabkan ketidaksamaan kedudukan. Hal tersebut menyebabkan dua kemungkinan, akan adanya pembangkanan terhadap kebudayaan feodal itu sendiri, atau juga menjadi suatu nilai dimasyarakat. Misal, pemimpin harus dihormati, setelah sekian lama menjadi nilai, muncul budaya yang dipimpin harus selalu patuh atau ‘selalu menjilat’ pemimpin, kedepannya akan menjadi masalah jika tanpa bentuk merevisi kebiasaan yang telah menjadi budaya tersebut atau tetap dengan budaya ‘menjilat’ pemimpin walau terdapat permasalahan.

Selain itu juga ada faktor dorongan internal, misal faktor mengusai material atau menguasi kekuasaan politik, sehingga terjadi budaya serakah atau gila jabatan ingin dihormati. Keduanya tumbuh menjadi budaya feodal. Hal tersebut lebih jelas lagi dijelaskan oleh Nietzsche (Reza, 2019), dimana manusia memiliki kecendurangan untuk menguasi –atau hasrat untuk menguasi. Tentu dalam hal ini, mengakibatkan adanya yang dikuasi. Jika hasrat tersebut berlebihan maka akan menjadi ketimpangan baik secara material ataupun kekuasaan, inilah yang menjadi adanya bentuk watak feodal. 

Watak Feodal Individu dan Produk Hukum

Dari faktor yang mempengaruhi budaya feodal dari aspek kajian sejarah dan budaya hukum. Hal tersebut memberikan gambaran watak feodal dari invidu juga produk hukum yang dihasilkan kekuasaan. Pertama, jika mengamati karakter era feodal, dimana kekuasaan mengusasi sumber daya material dan menempatkan struktur yang menguasi dan dikuasai secara terorganisir. Menempatkan watak individu berpandangan terhadap struktural, dimana terdapat struktur lebih tinggi dan rendah.

Selain itu terdapatnya cara pandang dikuasai dan yang menguasai. Terdapat kepatuhan antara atasan dan bawahan. Hal tersebut jika berlebihan akan menjadi watak individu feodal yang menguasai akan mengeksploitasi. Dan watak individu yang dikuasasi akan menjadi tidak berdaya dengan segala ketidaktahuan maksud yang mengeksploitasinya. Terlebih kedua watak itu terpelihara dan keduanya sadar akan fenomena tersebut, dan memanfaatkan fenomena tersebut.

Jika terjadi, maka watak individu yang menguasasi akan menjadi semena-mena atau semaunya atau otoriter, dan watak yang dikuasi akan menjadi setia dengan implikasi apapun yang terjadi tetap dan terus menjilati yang menguasasinya.

Dampaknya watak berpikir yang dikuasai dalam hal ini tidak merdeka. Sebab dibatasi untuk setia dan terutama tidak diberikan kesempatan untuk berpikir secara merdeka oleh yang menguasai. Karenanya tidak akan ada inovasi atau pembaharuan dari orang yang tidak mampu berpikir merdeka atau pikirannya terbatas. Terlebih informasi yang diberikan hanya itu-itu saja dan dibatasi taraf kualitas juga kuantitas informasi yang menyebabkan ketimpangan pengetahuan dengan yang menguasainya, jika yang menguasai menyimpan informasi dengan maksud untuk membatasi.

Untuk terus melanggengkan atau memelihara kultur feodal ini. Salah satu faktor yang melanggengkan adanya kultur tersebut, baik yang dikuasi dan menguasai, adanya produk hukum yang juga bersifat feodal untuk mengatur keduanya. Terlebih jika berkaca pada saat ini, produk hukum tersebut dilegitimasi oleh adanya teori hukum murni ala Hans Kelsen –yang sudah dibahas sebelumnya- dan beberapa penegak yang berwatak feodal.

Sehingga watak kesetaraan, semakin sulit ditemukan dalam produk hukum publik (pidana) atau produk hukum privat (perdata). Implikasi dari cara pandang tersebut ialah mengasilkan produk hukum yang tidak menjamin adanya pemenuhan hak dari pihak-pihak yang terlibat, utamanya jika pihak-pihak tersebut berwatak feodal baik yang dikuasai dan menguasai.

Dari watak individu yang feodal bertemu dengan produk hukum yang dihasilkan juga berwatak feodal maka terjadi bentuk-bentuk dimana sejarah dunia mencatatnya, diantaranya penindasan masif, perbudakan, pengkolonian suatu wilayah, kualitas manusia yang rendah, dan korupsi atau kualitas sejumlah aspek publik menurun.

Terakhir

Dalam kaitannya dengan dunia pendidikan yang diutarakan oleh Saiful Mahdi berkaitan dengan feodalisme, dampak kecilnya ialah tenaga pendidik dan yang menerima pengetahuan tidak mampu berpikir merdeka. Alih-alih dia mampu, tetapi dikarenakan kultur dan produk hukum yang mengatur nya berwatak feodal terhadap penguasa, maka tidak mampu. Yang menghasilkan dua kemungkinan, antara pembangakangan atau pembusukan yang oleh Aristoteles disebut juga korupsi.

Diterbitkan: 28 Oktober 2021
Jurnalis: Adi Fauzanto  
Daftar Bacaan:      
• Dede Mulyanto (kata pengantar). 2019. Transisi Dari Feodalisme ke Kapitalisme. Penerbit Indoprogress. 
• Hans Kelsen. Teori Hukum Murni, Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif. Penerbit Nusa Media: tahun
• Carl Joachim Friedrich. 2018. Filsafat Hukum Perspektif Historis. Penerbit Nusa Media: Bandung 
• Lawrence Friedman. 2001. Hukum Amerika, Sebuah Pengantar. Penerbit Tata Nusa: Jakarta
• Saiful Mahdi. 2021. Feodalisme dan Kebebasan Akademik. Kolom Tempo
• Anantawikrama dan Nengah. 2019. Sosiologi Korupsi, Kajian Multiperspektif, Integralistik, dan Pencegahannya. Penerbit Prenamedia: Jakarta 
• Reza Wattimena. 2012. Filsafat Anti Korupsi: Membedah Hasrat Kuasa, Pemburu Kenikmatan dan Sisi Hewani Manusia di Balik Korupsi. Penerbit Kanisius: Yogyakarta
• Peter Carey. 2017. Korupsi dalam Silang Sejarah Indonesia dari Daendels sampai Reformasi. Penerbit Komunitas Bambu: Jakarta  
• Herry Priyono. 2018. Korupsi Melacak Arti, Menyimak Implikasi. Penerbit Gramedia Pustaka Utama: Jakarta