Jurnalisme Konstruktif: Narasi Keberagaman, Mencari Titik Temu di Antara Semua yang Berkonflik tanpa Kekerasan


Kebijakan.co.idLiputan Mendalam

Adi Fauzanto -31 Agustus 2022 (18.00 WIB)-#41 Paragraf
Jurnalisme Konstruktif: Narasi Keberagaman, Mencari Titik Temu di Antara Semua Pihak yang Berkonflik tanpa Kekerasan

Setiap pertemuan dan percakapan menghasilkan sebuah empati. Pertemuan atau percakapan bisa dihasilkan dari karya jurnalistik yang baik, yang bisa berbicara di antara pihak yang sedang berjauhan.

Sebaliknya, karya jurnalistik bisa juga menjadi bumerang, jika yang dihadirkan tanpa memikirkan empati antara pihak-pihak yang sedang berjauhan. Kekerasan bisa saja terjadi akibat pertemuan dan percakapan yang dituliskan dalam karya jurnalistik tanpa empati, hadir.

***

Bogor, Kebijakan.co.id — Keberagaman mulai terancam, salah satu sebabnya akibat informasi yang diterima hanya dari lingkaran atau circle itu-itu saja. Tidak ada penerimaan informasi dari lingkaran yang berbeda. Dampaknya ialah terpola masyarakat dengan lingkaran informasi yang sama.

Ketika pola masyarakat tersebut menjadi kelompok, dan saling bertemu dengan lingkaran informasi yang berbeda, dampak lainnya muncul yaitu konfrontasi, jika di dunia online maka akan terjadi ujaran kebencian, jika didunia nyata bukan tidak mungkin akan muncul kekerasan fisik antara lingkaran informasi satu dengan lingkaran informasi lainnya.

Informasi tersebut muncul dari berbagai hal, mulut adalah cara paling pertama proses informasi. Semakin berkembangnya teknologi informasi, cerita atau informasi hadir di media internet. Dan umumnya melalui berita atau kabar terbaru, bisa juga melalui pendapat-pendapat orang di internet.     

Menciptakan echo chamber -atau ruang gema- yang didukung dengan algoritma aplikasi media sosial, akibat apa yang pengguna ingin lalu memunculkan filter bubble -atau gelembung hasil pencarian- di sekitar apa yang ingin pengguna cari, sekiranya begitu menurut Bahrul Wijaksana, praktisi komunikasi yang juga Direktur Search for Common Ground (SFCG) Indonesia dalam Pelatihan Jurnalisme untuk Toleransi dan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Hotel Aston Sentul Bogor(28/08/2022).

Bahrul Wijaksana
Bahrul Wijaksana sedang berbicara dalam kegiatan (Dokumen Ditjen Permasyarakatan,19/09/2018)

Tak jarang, kecanggihan filter bubble akibat algoritma media sosial ini, dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang sengaja memecah belah. Devie Rahmwati dalam jurnal penelitiannya Risiko Polarisasi Algoritma Media Sosial: Kajian Terhadap Kerentanan Sosial dan Ketahanan Bangsa bahwa Facebook –dalam hal ini sebagai media sosial- sengaja menempatkan algoritma ‘pergaulan sosial yang selektif’ dalam mesin penyedia informasinya untuk para penggunannya menggunakan data besar yang diolah komputer.

Sehingga titik temu di antara masyarakat –khususnya di dunia digital- rasa-rasanya menjadi sulit. Yang terparah ialah menjurus kepada bias informasi –informasi yang tidak utuh-, lalu hoaks (informasi bohong), menjadi tindakan kekerasan fisik dan verbal, hingga terjerumus terorisme dengan alasan mempercayai informasi ajaran tertentu.

Dalam hal terorisme misalnya, hal itu diakui oleh mantan napi terorisme, Mukhtar Khairi (mantan narapidana terorisme dan pegiat deradikalisasi) dalam diskusi virtual Alinea berjudul Mencegah Radikalisme (7/4/2021), yang mengatakan terorisme saat ini merebak di media sosial mengincar anak muda (milenial), seperti yang dilakukan ZA di Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia, 31 Maret 2021, dengan karakteristik lone wolf atau sendirian tanpa ada ikatan organisasi.

Mukhtar Khairi
Mukhtar Khairi sedang berbicara di podium (Dokumen AIDA)

Ditambah juga, menurut Agung Sukoco dan Syauqillah dalam jurnal penelitiannya Media, Globalisasi, dan Ancaman Terorisme mengatakan kemajuan teknologi juga dimanfaatkan oleh kelompok teroris untuk propaganda, perekrutan, pelatihan, komunikasi, hingga rencana target aksi teroris.   

Narasi-narasi tersebut disampaikan dengan menyentuh sifat dasar manusia, yaitu ketakutan dan rasa bersalah atas kondisi tertentu serta janji-janji ‘indah’ yang diberikan surga, bidadari, dan beberapa hal yang menarik setelah aksi teroris tersebut.

Jurnalisme Konstruktif

Dari cara informasi bekerja, akan begitu berdampak hingga kepada kehidupan banyak orang. Begitulah pentingnya sebuah informasi. Termasuk juga, jurnalisme yang memproduksi atau menghasilkan informasi sebagai sebuah karya yang disampaikan kepada publik untuk menjalankan fungsinya mengedukasi publik atau melakukan kontrol sosial.

Jurnalisme yang memiliki kode etik seharusnya menjadi pemimpin narasi publik di media sosial sekaligus juga kehidupan nyata. Jurnalisme memiliki kode etik yang penting dalam memberikan informasi, yaitu verifikasi atau pengujian informasi dan cover both-side atau mengakomodir dua sisi bahkan all both-side atau mengakomodir semua sisi. Itu yang seharusnya. Tapi juga banyak karya jurnalistik yang ancur lebur.

Karya jurnalistik juga sejatinya mencatat informasi terbaru atau berita dan isu yang berkaitan dengan konflik atau masalah publik. Maka dari itu jurnalisme selalu relevan dengan masyarakat. Karya jurnalistik yang mencatat informasi yang tidak utuh atau menuliskan isu konflik yang berat sebelah atau tidak cover both-side berpotensi menyebabkan konflik di masyarakat.

Tetapi jika jurnalistik mencatat informasi yang utuh dan menuliskan isu konflik secara berimbang dan mendengarkan semua pihak, maka konflik yang diciptakan bersifat membangun masyarakat.

Misalnya, dalam konflik di Ambon yang melibatkan Islam dan Kristen. Menurut Eriyanto dalam Suara Kaltim, ada peran pers yang besar dalam meningkatkan eskalasi kekerasan. Pemberitaan yang tidak berimbang muncul di koran-koran lokal, di antara Suara Maluku yang memberitakan kekerasan oleh Islam, pun sebaliknya Ambon Ekspress. Jelang beberapa tahun dari tahun 1999, masyarakat Ambon jenuh dengan konflik, dan beberapa inisiasi untuk meredakan berita terkait konflik.

Yang menarik ialah, adanya peran Dahlan Iskan –sebagai pemilik grup Jawa Pos- yang menginisasi Ambon Ekspress didirikan untuk menyuarakkan korban dari Islam. Alih-alih memerintahkan Suara Maluku untuk memberitakan perdamaian atau konflik secara utuh. Kelitnya, “Wartawan Islam tidak bisa masuk wilayah Kristen (begitu sebaliknya). Kalau bisa saya tutup, saya akan menutup. Tetapi itu tidak bisa menyelesaikan persoalan.”

Pasca perusuhan Ambon
Pasca konflik di Ambon (AFP Press/2000)

Kisah konflik Ambon yang eskalasinya dibantu oleh masing-masing media yang bertikai diceritakan juga oleh Alex Junaidi selaku Direktur Sejuk (Serikat Jurnalis untuk Keberagaman) dalam Pelatihan Jurnalisme untuk Toleransi dan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (28/08/2022). Dia juga menambahkan, masalahnya pemberitaan yang tidak berimbang atau tanpa verifikasi itu menghasilkan kebencian atau permusuhan lalu menciptakan kekerasan.     

Dalam setiap eskalasi konflik akan ada selalu media yang membuatnya menjadi besar. Istilahnya ‘digoreng media’. Bukan tanpa alasan, media massa memerlukan konflik untuk dikisahkan. Yang parah ialah konflik dijadikan semata-mata dijadikan lahan bisnis, alih-alih turut serta memperbaiki konflik tersebut.

Misalnya, ‘konflik’ Pemilihan Presiden 2019, di mana Jokowi-Ma’ruf dengan Metro Group dan Prabowo-Sandi dengan TV ONE. Secara kepemilikan jelas keduanya berada dalam kelompok Jokowi-Ma’ruf, di mana Aburidzal Bakrie jelas terafiliasi dengan Partai Golongan Karya (Golkar) yang merupakan koalisi Jokowi-Ma’ruf.

Akan tetapi media adalah bisnis dan TV ONE jelas mengincar ceruk dengan mengabarkan apa yang dilakukan Prabowo-Sandi dengan target ceruk pemilihnya. Tentu membatasi informasi atau kebebasan berpendapat, bukan suatu hal baik. Hanya yang disayangkan dari eskalasi ini menghasilkan suatu kekerasan dalam aksi 22 Mei 2019.

Tak diragukan, “Konflik adalah bisnis.” Mengutip Eriyanto dari yang diambil dari The First Casualty: A History of War, Correspondent, and Propaganda karya Phillip Knightley.  

Tapi konflik merupakan konsekuensi dari keberagaman, tanpa media massa atau pers pun, konflik dipastikan ada, karena keberagaman manusia.

Dari situlah tugas media, sebagai wadah. Konflik dari keberagaman tersebut diarahkan menjadi wadah pertemuan saling mengerti mengapa konflik bisa terjadi.

Ibarat kepala suku dalam cerita dongeng sejarah yang mengumpulkan rakyat-rakyatnya yang berkonflik lalu menceritakan apa yang terjadi, lalu kepala suku tersebut berusaha mendengar semua pihak, dan berusaha memberikan petuah untuk menyelesaikan konflik yang ada, yang diarahkan kepada perbaikan. Petuah tersebut disebar luaskan kepada masyarakat lainnya yang berkonflik.

Dan tentu dari cerita-cerita tersebut perlu diverifikasi agar tidak ada kebohongan, dalam konteks jurnalistik.

Infografis Jurnalisme Konstruktif

Membangun Empati

Selain prinsip all both-side (mendengar semua pihak) yang dipegang jurnalisme -ketimbang influencer (pendengung) atau akun-akun bodong yang sok menghasilkan analisa-  yang membantu menguraikan konflik secara utuh dan mengarahkannya kepada perbaikan konflik.

Prinsip tersebut juga membangun empati. Selama pembaca atau penonton atau pendengar tidak pernah membaca atau menonton atau mendengar keterangan informasi dari pihak yang bersebrangan maka akan sulit terjadi ke luar dari echo chamber atau ruang gema yang hanya menarasikan dari lingkungan sekitar itu-itu saja dan dia-dia lagi.

Alih-alih sulit mengetahui atau mencari informasi diluar ruang gema mereka, jurnalisme bisa menjadi alat untuk melalukannya –dan memang tugasnya untuk verifikasi.    

Tanpa informasi atau cerita dari ruang gema lingkungan sekitar, akan sulit berempati kepada ruang gema lainnya, begitu pun sebaliknya. Konflik akan terus terjadi tanpa arah perbaikan yang berusaha menemukan titik temu, karena ketidakhadiran media yang berkualitas.

Hermiyani dalam jurnal penelitiannya, menjelaskan jurnalisme empati ialah jurnalisme yang mengajak pembaca untuk merasakan apa yang dirasakan oleh subjek pemberitaan, yang mengutamakan human interest atau kemanusiaan.

Selain membangun empati, media yang berkualitas juga memperhatikan framing atau pembingkaian. Redaksi juga perlu melihat konflik tersebut struktural (yang memiliki kuasa dengan yang tidak) atau konflik horizontal (konflik antara pihak yang sama kedudukannya).

Tanpa mengetahui hal tersebut, sulit konflik struktural mendapatkan perhatian lebih, dan memang biasanya peta permasalahannya sulit, dibandingkan konflik horizontal yang mudah ditulis dan banyak yang memperhatikan karena umumnya berdekatan dengan masyarakat.    

Mengetahui siapa yang berkuasa dan siapa yang ditekan atas kuasa pihak lain. Siapa yang memiliki modal lebih dan siapa yang ditekan atas modal lebih tersebut. Siapa yang memiliki jumlah yang banyak dan siapa yang ditekan atas jumlah yang sedikit tersebut. Siapa yang berkuasa dan siapa yang dibungkam atas kuasa tersebut.

Selain itu, media juga mampu memilah mana konsumsi publik yang bisa dibaca oleh masyarakat banyak, dan mana konsumsi privat, yang tidak boleh dibaca oleh masyarakat banyak.  

Daya Literasi

Akan tetapi masalahnya, apakah mau masyarakat membaca narasi dari kelompok yang berbeda pandangan darinya? Kita memang harus belajar untuk ke luar dari echo chamber, lalu berbicara dengan kelompok berbeda, tidak hanya berbicara hal-hal yang sama kepada itu-itu saja, menurut Bahrul Wijaksana, Direktur SFCG Indonesia.

Yang jadi masalah lainnya, apakah masyarakat mampu membaca atau memahami masalah yang ada? Jika melihat tingkat literasi Indonesia yang buruk. Berkaca dari data riset Program for International Student Assessment (PISA) yang dipublikasi oleh Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) tahun 2018, tingkat literasi mendapatkan skor 371 di urutan 10 terakhir; sedangkan skor indikator matematika 379, juga sama di urutan 10 terakhir; dan skor indikator sains 396 di urutan 10 terakhir juga.   

Jauh panggang dari api bicara jurnalisme konstruktif, tetapi dari pembaca tidak mau berinisiatif untuk simpati –minimal dengan membaca narasi yang berbeda- akan cukup sulit terjadi perbaikan atas konflik yang terjadi, apapun jenisnya. Boro-boro mau bersimpati, mau membaca saja sudah bagus! Jelas lebih mudah menerima bulat-bulat informasi.

Dengan literasi –membaca, menulis, terutama memahami- masyarakat yang baik, meningkat pula daya kritis ketika menerima informasi, menurun pula menelan informasi dari satu pihak secara bulat utuh. Selain itu juga membangun rasa empati kemanusiaan.

Dengan begini, pekerjaan rumahnya menjadi dua. Pertama membangun narasi konstruktif dari setiap konflik di masyarakat dan perbaikan tingkat literasi yang menuntut pemahaman masyarakat.     

Dua pekerjaan rumah itu, bisa dikerjakan setelahnya. Setidaknya masyarakat Indonesia harus paham dulu mengapa sebuah informasi yang berkualitas dan menyeluruh itu penting.

Jurnalis Adi Fauzanto
Diterbitkan: Rabu, 31 Agustus 2022
Pukul: 18.00 WIB
Jurnalis: Adi Fauzanto
Daftar Bacaan:  
• Eriyanto. 2002. Koran, Bisnis, dan Perang. Suara Kaltim Alinea Forum. 2021. Mencegah Deradikalisasi. YoutubeDevie Rahmawati. 2018. Resiko Polarisasi Algoritma Media Sosial: Kajian terhadap Kerentanan Sosial dan Ketahanan Bangsa. Jurnal Kajian Lemhanas RI, Vol. 33 Agung Sukoco dan Muhamad Syauqillah. 2021. Media, Globalisasi, dan Ancaman Terorisme. Jurnal Studi Terorisme, Vol. 3 No.2Hermiyani. 2014. Jurnalisme Empati dalam Pemberitaan Media Online Detikcom Mengenai Kasus Pembunuhan Ade Sara Periode Maret-April 2014. Jurnal Fisip AtmajayaOECD. 2018. Proggame for International Student Assesment.
Liputan Mendalam
Berlangganan
Notify of
guest
0 Komentar
Inline Feedbacks
Lihat Semua Komentar