Jurnalisme Data, Cara Baru Ungkapkan Fakta Melalui Cerita


Kebijakan.co.idLiputan Konstruktif

Adi Fauzanto-30 Juli 2022 (18.00 WIB)-#41 Paragraf
Jurnalisme Data, Cara Baru Ungkapkan Fakta Melalui Cerita

Dalam berbagai cara jurnalis mampu mengabadikan cerita, kata menjadi senjata utama, akan tetapi dalam dunia serba ada melalui digital, data menjadi sebuah narasumber tersendiri untuk sebuah cerita yang utuh. Perlu kiranya belajar bagaimana mendapatkan, mengolah, dan menyajikan data sebagai sebuah berita.

Maka, diadakan Data & Computational Journalism Conference Indonesia (DCJ-CI) 2022 yang diadakan Universitas Multimedia Nusantara bekerjasama dengan Kedutaan Besar Amerika Serikat di Indonesia.

***

Tanggerang, Kebijakan.co.id — Hari itu (28/07/2022) sumuk luar biasa di Jakarta, selain rutinitas yang macet di Selatan Jakarta, juga harus menerima fakta bahwa tujuan yang saya –jurnalis Kebijakan.co.id— tuju, jauh luar biasa.

Saya agak ragu menggunakan KRL (Commuter Line), sebab dari stasiun terakhir jauh bukan main ke tempat lokasi yang saya tuju. Selain harus membayar ojek nantinya –cukup mahal melihat dari aplikasinya. Maka saya putuskan menggunakan kendaraan pribadi, motor.

Lokasi yang saya tuju ialah Kabupaten Tanggerang. Benar saja, menurut beberapa informasi, jalan menuju lokasi kondisinya tidak jauh berbeda dengan Kota Bekasi –tempat markas Kebijakan.co.id berada–, tata kotanya berantakan.

Akan tetapi, ketika saya memasuki lokasi yang saya tuju suasana berubah drastis, gedung dan ruko-ruko megah –tentu dengan jalan yang luas- menghiasi pinggir jalan. Lokasi yang dituju adalah Universitas Multimedia Nusantara (UMN), yang didirikan tahun 2005 atas inisiatif Jakob Oetama, pendiri Kompas Gramedia Grup, yang juga seorang guru –ketimbang mengaku sebagai wartawan atau pebisnis ulung.

Menariknya sumuk di Jakarta atau di Tanggerang tidak terlalu berasa di dalam gedung D (Gedung PK. Ojong) UMN, awalnya saya berpikir apa karena cukup kosong atau kondisi cuacanya sedang mendung, ternyata gedung tersebut memang didesain sangat terbuka, angin yang masuk bisa langsung ke luar, maka suasana cukup adem, karena sirkulasi udara yang baik.

Terlihat dari gedung yang didesain bolong-bolong, tentu bukan karena ambles, tetapi untuk ke luar-masuk angin, tampak dari luar seperti gedung Perpustakaan Universitas Indonesia atau seperti rumah teletabies.

Tampak Luar Gedung UMN (Dokumen Summarecon Serpong)
Tampak Luar Gedung UMN (Dokumen Summarecon Serpong)

Tak hanya di gedung, akan tetapi juga di tempat parkirannya (basement) hingga mushola yang berada di sana, tanpa pendingin ruangan ataupun kipas angin, hanya memperhatikan sirkulasi udara yang baik, cukup sejuk tidak membuat badan berkeringat.

Tak ayal, jika gedung tersebut diganjar penghargaan Energy Efficient Building kategori Tropical Building pada ASEAN Energy Award tahun 2019 yang dipajang di pelantaran gedungnya.  

Namun, terlihat masih ada lampu-lampu yang menyala walaupun siang hari di tengah sorotan sinar matahari, sama seperti gedung-gedung tinggi lainnya di kota-kota besar, yang seharusnya bisa dikurangi kegunaannya. “Jangankan gedung-gedung tinggi di kota besar, ini aja laptop sama hp (gawai) masih charger sambil dinyalain, sampe penuh lupa dicabut,” dalam hati saya.           

Di balik kunjungan saya ke gedung kampus ramah lingkungan tersebut, saya tidak sedang mengaudit kelayakan gedung, sebab bukan kewenangan saya juga. Atau sekedar melihat mahasiswa-mahasiswi yang sedang berkumpul sembari mengerjakan tugas atau sekedar berkumpul mempersiapkan kegiatan yang ada. Saya ke sana untuk belajar tentang apa yang disebut dengan jurnalisme data di Data & Computational Journalism Conference Indonesia (DCJ-CI) 2022.

Kegiatan ini dimulai dua hari sebelumnya (27/07/2022) agenda diskusi membahas kurikulum jurnalisme data, saya mengikutinya secara daring (dalam jaringan). Di hari itu, saya belajar bagaimana susah payahnya tim liputan data Harian Kompas yang diwakilkan Puteri Rosalina, dalam mengolah data, “layaknya tugas akhir,” menurutnya. Prosesnya mulai dari proposal liputan, pencarian data, hingga pengujian. Alih-alih membuat berita dengan 5-6 paragraf dengan judul yang bombastis.

Dari hal itu, saya berpikir, “Mereka ini layak disebut profesor, toh setiap minggu harus menyajikan laporan yang sekelas tugas akhir S2 atau S3, atau bahkan lebih bagus dan berguna, ketimbang tugas akhir yang diselesaikan karena tuntutan gelar apalagi dikerjakan orang lain.”

Dan yang lebih mengkhawatirkan lagi –seperti yang saya duga sebelumnya–, jumlah pembaca yang sedikit, “Kita harus mencari cara juga agar banyak yang baca.” Tim jurnalisme data Harian Kompas harus menganalogikan data dengan sesuatu yang dapat dibayangkan atau visualisasi oleh banyak orang, misal liputan data timbunan sampah makanan yang dihitung tinggi dan diameternya melebih Monumen Nasional atau mencari topik-topik yang sedang hangat di Twitter. Walaupun agak sulit, karena data yang dicari belum tentu mudah.

Dari data Alexa.com –sebuah situs yang dikelola Amazon untuk mengetahui lalu lintas laman web dan sekarang sudah ditutup- tahun 2021 akhir, laman berita yang banyak diakses dari 1 hingga 5 merupakan Okezone.com (54), Pikiran-Rakyat.com (77), Tribunnews.com (76), Kompas.com (126), Detik.com (139). Walaupun yang banyak diakses juga dari grup Kompas yang sama dengan Harian Kompas, namun berbeda bendera.

Paradoks memang, seperti yang dikatakan Andreas Harsono dalam wawancaranya di Tirto.id, antara Kompas.com (atau bahkan Tribunnews.com) dan Harian Kompas.

Akan tetapi setelah saya telusuri, Kompas.com dan Detik.com sudah ada liputan mendalam sebagai jawaban atas kekecewaan masyarakat yaitu JEO Kompas.com dan DetikX

Memang dari data tersebut berbicara, yang berkualitas memang sedikit juga kuantitas pembacanya juga menggambarkan kualitas pembacanya –ntah saya harus bangga atau tidak juga senang sekaligus sedih secara bersamaan.

Di balik liputan yang baik ada perjuangan untuk mendapatkannya, seperti pembicara selanjutnya adalah Leoni Alvionita, peserta yang lolos pelatihan DCJ-CI tahun 2021 dan mahasiswa UMN angkatan 2017 yang menceritakan perihal tugas akhirnya berbentuk proyek jurnalistik yang berkualitas, disajikan dengan cerita, juga data, dan dapat dibaca melalui sebuah laman yaitu UnfreeJournalist.com.

Sebuah proyek luar biasa, yang patut diacungi jempol, bukan hanya karna karyanya yang berkualitas, tetapi mengangkat isu yang tidak mudah dikerjakan, yaitu kebebasan pers, terlebih menyinggung hal yang tabu di Indonesia, yaitu soal Papua.

Jurnalisme Data ini ternyata merupakan program studi baru yang diajarkan secara khusus di Jurusan Jurnalistik, Universitas Multimedia Nusantara. Objek yang sudah muncul lama, lalu diteorisasikan oleh ilmu pengetahuan merupakan suatu hal yang wajar bagi setiap fenomena.

Jurnalisme data memang sudah ada jauh sebelum kata tersebut muncul. “Dan memang sudah hakikat jurnalis harus berpegang pada fakta (dalam hal ini data),” menurut salah satu narasumber dalam konfrensi tersebut. Hanya saja digaungkan kembali ketika kemudahan mencari data semenjak era-digital ada.

Akan tetapi ada yang perlu diperhatikan secara lebih, data yang dimaksud bukan hanya sekedar angka-angka, layaknya laporan BPS (Badan Pusat Statistik) di halaman web nya –yang penuh dengan angka statistik. Data yang dimaksud merupakan fakta yang dikumpulkan lalu diolah menjadi cerita, dengan kata ataupun visual nantinya, bisa juga berupa angka seperti BPS, tapi tidak sementah itu.

Data tersebut bukan juga data ‘resmi’ yang dikeluarkan pemerintah. Tetapi data yang dicari oleh jurnalis dari sumber terbuka (Open Source) untuk mengulik fenomena yang ada.

Adolfo Arranz, Editor Grafis Reuters, saat menyampaikan materi saat hari pertama DCJ-CI 2022 di Gedung D UMN
Adolfo Arranz, Editor Grafis Reuters, saat menyampaikan materi saat hari pertama DCJ-CI 2022 di Gedung D UMN(Adi/Kebijakan.co.id)

Seperti yang diungkapkan Adi Marsiela dari Aliansi Jurnalis Indonesia di hari pertama (28/07/2022), “Umumnya data yang dicari memang hanya untuk melengkapi liputan jurnalistik.” Ke depan menurut Adi, data digunakan untuk mencari suatu masalah atau celah yang perlu dicari kejelasannya untuk dijadikan liputan kepada publik.

“Maka dari itu kita butuh Big Data,” satu hal yang coba di inisiasi oleh Ronny Buol dari ZonaUtara.com untuk mengumpulkan data-data menjadi sebuah DataBooks atau BigData atau Data Besar khusus untuk Kota Manado. “Ini disambut baik oleh masyarakat yang ingin tahu (keadaan covid-19 ketika itu).”  

Cara lain ditempuh oleh Tim Investigasi Tempo yang disampaikan Agoeng Wijaya dihari terakhir DCJ-CI (30/07/2022), yang mencari data perusahaan sawit yang tidak membayar pajak dari jumlah hektar lahan yang dikelola di lapangan, lalu mencocokan melalui Dirjen Pajak. “Ada usaha untuk melobi agar data itu dibuka.” Setelah dibuka, ada beberapa keterangan lahan yang dikelola tidak sesuai dengan temuan, begitupun dengan pajak yang dibayarkan.

Penutupan Data & Computational Journalism Conference Indonesia 2022 di Hotel Ashley
Penutupan Data & Computational Journalism Conference Indonesia 2022 di hotel Ashley (Adi/Kebijakan.co.id)

“Kita (Tim Investigasi Tempo) mencocokan data temuan di lapangan dan data di balik lembaga yang berwenang. Jika tidak, maka apa bedanya kita dengan analis.” Sebuah cerita dari Agoeng yang menggambarkan bagaimana sebuah data didapatkan dan diverifikasi.

Memang merupakan fenomena umum terjadi, “Sebenarnya data tersebut sudah ada di dalam pemerintahan, akan tetapi tidak terdokumentasi dengan baik, misalnya Data kebakaran di Bandung yang disimpan rapih Dinas Pemadam Kebarakan Kota Bandung, tetapi tidak tersusun dengan rapih,” Kata Adi menggambarkan data di lembaga pemerintah yang menumpuk, maka sudah tugas jurnalis merapihkan dan mendokumentasikan, sekaligus mencari fakta lainnya yang dapat membantu warga, misalnya data hidran di pinggir jalan untuk saluran air yang rusak dan yang bisa digunakan.

“Pun data-data tersebut (dalam hal ini tentang Covid-19) dikumpulkan dari beberapa petugas kesehatan di kecamatan-kecamantan (dalam hal ini di Manado),” kata Ronny Doul yang mengumpulkan data resmi dari lembaga kesehatan di Kota Manado.

Akan tetapi ada juga yang tidak tepat, maka itu diperlukan verifikasi lapangan, misalnya, “Data pasien di Kota Surabaya yang meninggal karena Covid-19 di hari tertentu tidak ada, ternyata setelah diverifikasi di rumah sakit, ternyata ada.” Kata Eko Widianto dari TeraKota.id.  

Berkembangnya jurnalisme data di Indonesia perlu mendapatkan perhatian lebih, yang memang sudah terbukti membantu menghadapi wabah Covid-19.

Menurut Hartinah dalam penelitiannya (2018), tantangan jurnalisme data hadir dalam bentuk kemampuan dan banyaknya jurnalis yang menguasainya, juga pengerjaannya yang memakan waktu tidak sedikit dan cukup sulit –ketimbang berita bombastis. Tentu, Media harus berinvestasi lebih untuk keberlanjutan jurnalisme data. 

Maka, sudah sepatutnya, “Data menjadi narasumber tersendiri,” menurut pengajar jurnalistik UMN. Sama seperti narasumber berbentuk ahli, peneliti, praktisi, atau warga biasa. Dan tentu verifikasi atau pemeriksaan ulang menjadi pembeda antara ‘sekedar berita’ dan berita yang tidak mengada-ada.

Semoga dengan data menjadi narasumber liputan, pers yang bekerja sesuai etika jurnalistik menjadi seperti apa yang dikatakan oleh Azyumardi Azra, Ketua Dewan Pers yang baru, dalam sambutannya di kegiatan DCJ-CI 2022, “Menjadi pelopor, bukan pengekor.” Dan mencegah media atau jurnalisme abal-abal seperti yang dikatakan Perwakilan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) dalam sambutannya.      

Infografis DCJ-CI 2022

Setelah saya selesai dengan proses belajar ini, sudah sepatutnya saya percaya dengan fakta, bahwa jalan menuju Tanggerang tidak semudah yang saya kira –sama semrawut nya dengan Kota Bekasi.

Dan yang saya ingat masih tentang kekecewaan saya di awal menggunakan kendaraan pribadi. Alangkah hari itu menggunakan kendaraan umum. Sebab, jalannya cukup memutar-mutar untuk menuju ke tempat lokasi.

Setelah saya hitung-hitung jauh lebih mahal ongkos yang harus dikeluarkan, beserta nyasar dan minggir sana-sini untuk sekedar beli sesuatu untuk bertanya warga sekitar dan mengisi bensin yang habis untuk berputar-putar tanpa bantuan aplikasi map yang mati.

Dan fakta lainnya tentang panas –dan buruknya lingkungan– kota Jakarta dan sekitarnya, dengan kualitas udara pada hari itu menurut IQAir.com di angka 109 untuk Jakarta, 142 untuk Tanggerang Selatan, 135 untuk Kota Tanggerang, menandakan tidak sehat untuk kelompok sensitif.

Di balik itu, saya harus tetap bersyukur, sebab di balik susah payah tersebut ada ilmu yang saya bawa. Dan semoga berguna –kalau banyak yang baca.

Baca Serial Liputan Konstruktif "Jurnalisme Data, Cara Baru Ungkapkan Fakta Melalui Cerita" Lainnya:
•	Jurnalisme Data, Cara Baru Ungkapkan Fakta Melalui CeritaOlah Data, Olah Rupa, dan Olah Kata untuk Asa JurnalismeDi Sekitar Berita Bohong
Jurnalis Adi Fauzanto
Diterbitkan: Sabtu, 30 Juli 2022
Pukul: 18.00 WIB
Jurnalis: Adi Fauzanto
Daftar Bacaan:
•  Wan Ulfa Nur Zahra. 2017. Andreas Harsono: Jangan Ada Perbedaan Kualitas Jurnalisme, Apapun Mediumnya. Tirto.idLeoni Alvianto Susanto. 2022. Unfree Journalist. Unfreejournalist.comHartinah Sanusi. 2018. Jurnalisme Data: Transformasi dan Tantangan Era Digital. Jurnal Tabligh Vol. 19 No. 1 IQAir.comAdi Marsiela. 2020. Bandung Lautan Api: Seberapa Dekat Kita dengan Kebakaran?  Eko Widianto. 2021. Malang Kota Genangan. Terakota.id Tim Harian Kompas. 2022. Sampah Makanan Indonesia Mencapai 330 Triliun. Kompas.id
Berlangganan
Notify of
guest
0 Komentar
Inline Feedbacks
Lihat Semua Komentar