Fenomena perumahan syariah meruak ke pasar baru-baru ini. Terhitung semenjak kebangkitan ‘Islam Politik’ dan menjalar ke berbagai aspek, mini market syariah, hingga perumahan syariah.
Fenomena ini, ditangkap baik oleh pengusaha yang berhasil melihat pasar masyarakat islam yang gandrung akan merek syariah.
Beberapa menunjukan dampak pendek yang buruk, ketidaktepatan atau terjerat penipuan hanya karena ingin mendapatkan rumah bermerek syariah.
Dampak panjang, pengelompokan ini berpotensi menciptakan segregasi, terlebih jika ada situasi yang dapat memicunya, misal politik identititas.
Dalam perspektif Islam, Al-Quran tidak pernah mengajarkan harus bertetangga muslim atau membuat kawasan khusus Muslim.
Dalam perspektif kebangsaan, sejarah mencatat hampir semua agama terlibat dalam kemerdekaan bangsa Indonesia, dan oleh karenanya bangsa ini didasarkan atas keberagaman.
Menarik dibahas, khususnya di Kota Depok, kota yang menurut Setara Institute tingkat tolerannya rendah, juga terjadi. Terlebih di bawah rezim penguasa yang merupakan ‘Partai Islam’ yaitu PKS.
Serial Liputan Konstruktif ini merupakan Program Fellowship Jurnalistik untuk Keberagaman dan Toleransi oleh Yayasan Satu Keadilan dan Search for Common Ground
Fenomena perumahan syariah meruak ke pasar baru-baru ini. Terhitung semenjak kebangkitan ‘Islam Politik’ dan menjalar ke berbagai aspek, mini market syariah, hingga perumahan syariah.
Fenomena ini, ditangkap baik oleh pengusaha yang berhasil melihat pasar masyarakat islam yang gandrung akan merek syariah.
Beberapa menunjukan dampak pendek yang buruk, ketidaktepatan atau terjerat penipuan hanya karena ingin mendapatkan rumah bermerek syariah.
Dampak panjang, pengelompokan ini berpotensi menciptakan segregasi, terlebih jika ada situasi yang dapat memicunya, misal politik identititas.
Dalam perspektif Islam, Al-Quran tidak pernah mengajarkan harus bertetangga muslim atau membuat kawasan khusus Muslim.
Dalam perspektif kebangsaan, sejarah mencatat hampir semua agama terlibat dalam kemerdekaan bangsa Indonesia, dan oleh karenanya bangsa ini didasarkan atas keberagaman.
Menarik dibahas, khususnya di Kota Depok, kota yang menurut Setara Institute tingkat tolerannya rendah, juga terjadi. Terlebih di bawah rezim penguasa yang merupakan ‘Partai Islam’ yaitu PKS.
Aerial Liputan Konstruktif ini merupakan Program Fellowship Jurnalistik untuk Keberagaman dan Toleransi oleh Yayasan Satu Keadilan dan Search for Common Ground
Fenomena perumahan syariah meruak ke pasar baru-baru ini. Terhitung semenjak kebangkitan ‘Islam Politik’ dan menjalar ke berbagai aspek, mini market syariah, hingga perumahan syariah.
Fenomena ini, ditangkap baik oleh pengusaha yang berhasil melihat pasar masyarakat islam yang gandrung akan merek syariah.
Beberapa menunjukan dampak pendek yang buruk, ketidaktepatan atau terjerat penipuan hanya karena ingin mendapatkan rumah bermerek syariah.
Dampak panjang, pengelompokan ini berpotensi menciptakan segregasi, terlebih jika ada situasi yang dapat memicunya, misal politik identititas.
Dalam perspektif Islam, Al-Quran tidak pernah mengajarkan harus bertetangga muslim atau membuat kawasan khusus Muslim.
Dalam perspektif kebangsaan, sejarah mencatat hampir semua agama terlibat dalam kemerdekaan bangsa Indonesia, dan oleh karenanya bangsa ini didasarkan atas keberagaman.
Menarik dibahas, khususnya di Kota Depok, kota yang menurut Setara Institute tingkat tolerannya rendah, juga terjadi. Terlebih di bawah rezim penguasa yang merupakan ‘Partai Islam’ yaitu PKS.
***
“Membahas fenomena perumahan syariah di Kota Depok, kalau di penelitian itu yang saya baca itu bahkan sudah ada dari 2009 di Kota Depok. Nah, menurut Bang Ade sendiri terkait perumahan syariah itu bagaimana Bang?“
Ya, ada 2 interpretasi ya. Pertama, terkait dengan proses jual belinya, ada yang mengklaim developer syariah, kemudian juga karena transaksinya menyesuaikan dengan hukum-hukum syariah, ada yang cash bertahap misalnya, dia juali-beli dengan developernya langsung, artinya harganya disepakati di awal misalnya 1 Miliar 10x cicil atau 20x cicil misalnya. Atau juga yang menggunakan metode bank (syariah) bisa jual beli menggunakan murabahah jadi ketika ada term waktu 20 tahun, dari 1 miliar bisa menjadi 2 miliar, itu juga ada penyesuaian dengan ketentuan-ketentuan syariah, makanya dia mengklaim developer itu developer syariah.
Nah (jenis) developer yang ke dua memang dia bikin kawasan. Kawasan yang memang diperuntukan untuk muslim dengan nuansa-nuansa religi, yang memang ternyata pasarnya ada gitu dan cukup banyak, makanya para pengusaha developer inikan ya namanya dagang gitukan, demand (permintaan)nya tinggi, makanya dia create gitu, semacam kampung muslim, di situ diharapkan nanti keluarga yang memang pingin anaknya atau anggota keluarganya tumbuh dalam suasana yang religi, dari mulai pendidikan, kegiatan bermain, proses bersosialisasi itu pingin yang eksklusif makanya di create lah perumahan tersebut, jadi kalau saya lihat ya karena ada permintaan di pasar aja, kalau nggak ada nggak laku juga itu. Seperti itu sih Mas.
“Tadi sih saya sempat menduga (berhipotesa) by (oleh) pasar, karena ada permintaan, selanjutnya ada bisnis juga mengambil keuntungan dari situ, nah saya coba tanya ke dinas (perumahan kota Depok) apakah ada ketentuan khusus mengenai perumahan syariah, tadi tanya nggak ada, izinnya pada umumnya aja.
Sebenarnya saya rencana bertemu dengan MUI Kota Depok, tapi dia berhalangan ada kegiatan lain, saya juga mau bertanya apakah ada ketentuan khusus mengenai perumahan syariah ini, kayaknya nggak ada, karena sertifikasi halalpun sekarang sudah diambil pemerintahkan.
Nah kalau menurut Bang Ade itu, ceruk pasarnya ini sekiranya berpotensi akan banyak terus, dan ini berpotensi menimbulkan pengelempokan, kalau kata peneliti Maarif (Institute) itu kita kan harus saling bertentangga dengan non-muslim dan sebagainya itu, apakah menimbulkan potensi (meniadakan) bertentangga dengan non-muslim, berbagi, dan sebagainya?”
Kalau itu waktu yang akan menjawab, mungkin prediksi-prediksi para peneliti terkait dengan fenomena sosial yang ada saat ini diprediksi ke depannya akan seperti itu, kaya gitukan. Kalau misalnya ada perubahan eksklusif, masyarakat eksklusif, yang ketika nanti bergabung di kelompok yang lebih besar dengan ada yang berbeda, itu dikhawatirkan akan ada interaksi yang tidak harmonis, karena terlalu eksklusif.
Sebatas prediksi, mungkin-mungkin saja kalau ada kekhawatiran seperti itu, kalau memang di dalamnya kondisinya tidak mengajarkan tata cara perilaku dengan yang berbeda keyakinan, gitukan, atau salah asuh, dalam komunitas tersebut, bisa saja begitu.
Atau bisa saja juga ketika di dalamnya ada pengajaran yang moderat, yang istilahnya bagaimana berlaku dengan sesama mahluk tuhan, berkasih sayang, saling tolong menolong, saling bantu, antar kawasan misalnya itu juga bisa terjadi, jadi kemungkinannya bisa apa saja.
Cuman memang kan ini, apakah ini potret idaman di suatu kawasan kota, gitu kan, atau potret di suatu kawasan bangsa dengan kita tidak ada intervensi negara terkait dengan fenomena bisnis seperti ini.
“Inikan bisnis.”
Kalau saya lihat ini fenomena bisnis Mas, artinya begini (misalkan) saya punya kawasan privat (sendiri) kan swasta ini tanah dia, saya hanya akan menjual kepada yang muslim. Saya belum melihat negara ini bisa intervensi, kalau jual-belikan sesuai yang diinginkan ke duabelah pihak, (prinsip) ridho atau keleraan, kalau yang satu tidak mau menjual nggak bisa maksa, saya lihat juga memang keterbatasan tangan dari pemerintah nih gimana ngaturnya, karena kalau dari perizinan kan gaada sekarang dalam arti dia sama semua, inikan bahasa di pasar.
Kalau misalnya pemerintah juga, mensyaratkan tidak boleh mengkhususkan pada satu agama tertentu di satu pemukiman, cantolan hukumnya apa? gitukan, dia (aturan hukum) kan kalau di perda aturan perundang-undangan di atasnya mana, aturan pemerintah kah, nah ini juga kalau misalnya ada boleh kasih tau saya juga cantolan hukumnya dari para peneliti itu ya.
Peneliti itu kan lebih dalam hal terkait konstitusi, peraturan perundang-undangan di bawah dan undang-undang dasar, TAP MPR, atau peraturan pemerintah atau undang-undang, itu silakan saja, kalau misalkan ada yang bisa diadopsi diperaturan daerah atau peraturan wali kota, pasti akan adopsi gitu sama pemerintah daerah.
“Sebenarnya, memang peneliti Maarif belum sampe mengarah ke sana, dia cuma bilang gapapa tapi ini berpotensi, jika ada fenomena tertentu ini akan berpotensi untuk (terjadi konflik), jadi awalnya tidak apa-apa. Maksudnya kalau dalam sejarah seperti Geger Pecinan, dulu kan komunitas etnis Tionghoa sama Belanda, awalnya tidak apa-apa, ketika ada konflik tertentu itu menimbulkan kerusuhan di sana dan itu sangat berbahaya untuk keberagaman dan untuk etnisnya sendiri, nanti jadi mudah dikontrol.”
“Nah selanjutnya, mungkin dari PKS sendiri atau dari Bang Ade sendiri akankah ada kebijakan publik yang sekiranya mengatur atau membatasi atau mendukung atau meregulasi terkait hal perumahan syariah?”
Kita sih, kalau mendorong kebijakan publik yang dalam bentuk peraturan daerah tentu harus ada ‘tadi’ (merujuk pembahasan sebelumnya) cantolan peraturan perundang-undang di atasnya, yang mungkin itu baru bisa kita dorong ya.
Nah kalau saat ini saya lihat karena ini memang sudah banyak yang jalan juga (perumahan syariah), semacam edaran dari wali kota berarti ya, artinya tetap harus ada jembatan lah ya, yang menjembantani atau saluran komunikasi antara komunitas yang berbeda di kota Depok, jadi kalau misalnya di komplek yang (berkonsep) konvensional kan sudah terjadikan, mereka kan sudah bertentangga, tapi untuk yang cluster (syariah) memang harus ada jembantan dari RT RW Kelurahan agar ada semacam dialog, kalau dialog kan resmi banget, mungkin ada kegiatan yang bisa –istilahnya juga bukan mencairkan, mungkin juga gabeku-beku juga ya—ada bahan pengajaran gitu ya kepada masyarakat, edukasi bahwa ada saudara-saudara kita yang berbeda keyakinan yang juga punya hak tetangga. Karena dalam muslim juga kan, ada hak tetangga baik dia muslim ataupun non-muslim, karena di Madinah sendiri plural sebenarnya, waktu Nabi datang ke sana kan banyak agama, ada Yahudi, ada Nasrani juga.
“Selama dia (non-muslim) tidak menggangu”
Kan bikin perjanjian tuh, antar kabilah, antar suku, antar agama, gitukan, untuk saling menolong ketika ada (serangan) dari luar, saling menghormati, atau apa gitukan. Cuman kalau waktu itu ada sejarahnya pengusiran kaum Yahudi dari Madinah, itu ada alasan juga, karena ada perjanjian yang dilanggar dari pihak Yahudi terhadap pihak Muslim, makanya dengan kekuatan yang ada, ada pengusiran.
Nah ya di waktu itukan juga kan ternyata komponen (dan) keadaan yang plural itu dijembatani dengan tadi (yaitu) perjanjian, itukan bentuk formal dari satu diskusi atau satu kesepakatankan yang dituangkan dalam bentuk perjanjian, walaupun kalau sekarang di kita ada RT ada RW yang mengelola kondisi itu.
Jadi kalau di PKS sih, balik lagi kita menghimbau, misalnya dalam cluster atau antar cluster di satu komplek juga banyak yang (keyakinannya berbeda), kita harapkan tetap ada komunikasi, tetap ada kegiatan bersama, apakah itu gotong royong, atau peringatan hari kemerdekaan, dan lain-lain itu bisa menjebantani komunikasi yang mungkin belum terjadi.
“Balik lagi mungkin ke pasar, nah ini apakah –tadikan kebijakan umumnya untuk masyarakat—nah ini untuk perusahaan (atau) pengembangan yang memanfaatkan ceruk itu, apakah ada nanti ada sertifikasi, maksudnya ada pembatasan di sana, tidak menggunakan perumahan syariah semata-mata untuk bisnis, kaya misalkan yang makanan, (seperti) gitu ada sertifikasi halal, apakah ada, seperti itu.”
Kalo sertifikasi halal, memangkan ada Undang-Undangnya, jadi karena umat Islam mendorong adanya penjaminan produk halal, maka pemerintah diwajibkan menjamin makanan halal untuk umat Islam. Makanya ada sertifikasi halal itu. Nah, kalau tempat tinggal memang belum –setau saya—belum ada peraturan perundangan yang mengatur, di mana harus tinggal, terus siapa saja yang tinggal di tempat itu, gitu, jadi masih diserahkan ke pasar intinya, gitukan.
Sebagaimana banyak juga produk-produk yang dikonsumsi (atau) dipakai, apakah itu baju, apakah itu hiburan, itukan juga masih juga diserahkan ke pasar, mana yang suka, gitukan, orang memproduksi rok mini, itukan silakan, atau baju transparant silakan, tanktop silakan, gitukan, tinggal usernya aja, belinya, makenya sesuai tempat, gitu.
“Jadi memang belum ada sertifikasi atau belum ada pengaturan terkait perumahan syariah itu ya.”
Nggak ada, memang nggak diatur. Tidak ada aturan yang menganjurkan, tidak ada aturan yang juga melarang. Karena itu secara normatif, izin mendirikan bangunan, izin perumahan, pemanfaatan ruang, itu umum aja. Ketika kita menambahkan tadi, tidak boleh ada aturan agama, salah lagi, karena pemerintah daerah, nggak boleh ngatur agama, agama diatur sama pemerintah pusat, gitukan.
“Iya sih Bang, sebenarnya pembahasannya sesederhana bisnis aja, bisnis pengembang dan ada ceruk pasarnya. Dan sementara ini pemerintah, belum punya regulasi, ataupun MUI sebagai pemegang otoritas agama (Islam) yang melakukan sertifikasi belum ada, DPRD pun menyuarakkan adanya komunikasi antara warga dan sebagainya.”
Ya, jadi, pemerintah kota dalam hal ini lebih kepada bagaimana membuka ruang-ruang tadi, membuka ruang komunikasi antara warga.
Selain itu juga ke lembaga pendidikan, apakah itu tingkat TK, SD, SMP, SMA, itu juga harus diberikan pemahaman terkait dengan ada ‘umat yang berbeda keyakinan dengan kamu’. Terus terkait sikap terhadap yang berbeda keyakinan, kaya gimana. Kemudian kita tinggal di negara yang plural, apa yang disepakati terkait pluralitas itu di Indonesia, kemudian bagaimana negara juga menjamin kemerdekaan pemeluk agama untuk beribadah, nah gitukan perlu di evaluasi. Jadi tidak ada yang ekstrim kanan di satu agama apapun, tidak ada pengajaran itu, jadi secara berkala lembaga-lembaga pendidikan juga diundang sama Dinas Pendidikan, kan Dinas Pendidikan Kota juga menangani PAUD, SD, SMP ya tanggungjawabnya, nah itu baik yang umum maupun dari agama, apakah (itu dari) madrasah, nah itu juga kan dapat insentif juga dari Pemkot (Pemerintah Kota), nah, ketika dapat insentif (dari) Pemkot (Pemerintah Kota) juga bisa memanggil lembaga-lembaga yang bersangkutan untuk diadakan pencerahan tadi terkait pluralitas, kebhinekaan, itu yang kita harapkan tidak terjadi ekstrim kanan di lembaga-lembaga pendidikan tersebut.
Cuman, kalau menanamkan keyakinan kuat terhadap satu agama, saya rasa memang harus dari kecil agar anak-anak punya pondasi dan terbiasa untuk beribadah tidak atas dasar disuruh sama orangtua, tetapi memang kesadaran sendiri karena keyakinan dia kepada Allah kepada Tuhan, itu yang harus dibangun kan, mungkin pinginnya seperti itu, keluarga-keluarga yang membeli perumahan di kawasan syariah, pinginnya anaknya tumbuh dalam lingkungan yang baik.
“Kemarin coba hubungin satu pengembang (perumahan syariah), memang pada intinya sama saja seperti perumahan umum, ada masjid juga, ada lapangan juga, ya apa bedanya? Ya apa ya paling cuma tetangga (yang berbeda), itukan bisa dibangun dengan kesepakatan tidak boleh memelihara anjing karena berisik atau tidak mengenakan pengeras suara yang terlalu keras itu kan bisa diatur, maksudnya tidak perlu diatur oleh pengembangnya (terkait perumahan syariah), istilahnya pengembangnya nih punya kerajaan sendiri di satu komplek itu.”
Ya, pada akhirnya nantikan akan diserahkan ke masyarakat ketika sudah selesai sudah beli, udah nyicil ke bank masing-masing gitu, dia akan mencari titik baru, dia tidak akan mengelola kawasan itu terus menerus, pasti akan diserahkan ke masyarakat apakah itu jadi RT baru, atau RW baru akan diserahkan ke masyarakat.
“Terkahir ini mungkin Bang, pesan terakhir terhadap fenomena perumahan syariah ini, di Kota Depok khususnya”
Artinya kalau terkait bagaimana pengembang itu mensosialisasikan transaksi syariah yang menjamin si Pembeli itu terbebas dari riba, gitukan, karena ada muamallah yang harus dia kerjakan, dia tidak punya cash misalnya, dikasih jalan yaitu misalnya transaksi cara syariah dengan murabahah misalnya. Itu, kita mendukung 100 persen, nah karena ini edukasi ke publik dan masyarakat bisa terbebas dari riba sesuai yang sudah diatur oleh Dewan Syariah Nasional-kan. Tiap bank syariah kan punya ketentuan.
Nah, samakan seperti tumbuhnya Bank Syariah juga, karena kekhawatiran ataupun ada aturan di agama Islamnya yang melarang riba, makanya tumbuh Bank Syariah, sampe sekarang kan jalan, ada bank syariah, ada asuransi syariah, gitukan. Terhadap kawasan syariah memang dalam Islam pun tidak diatur harus membuat satu kawasan khusus muslim, ngga ada, karena dari sejarahnya juga kan, Nabi tinggal di Madinah itu plural, makannya karena belum ada juga cantolan Undang-Undang atau peraturan perundang-undangan yang bisa melarang ini kita hanya bisa (memberikan saran) kepada pengembang, masyarakat yang tinggal di sana kita sarankan tetap menjalin hubungan yang harmonis dengan yang berbeda keyakinan, tetap merasa kita dalam satu negara yang dihuni oleh banyak warga yang berbeda keyakinan dan tetap saling menghargai, menghormati, dan menjaga persatuan dan kesatuan sebagai basis (dan) modal sosial yang penting buat bangsa agar tidak bercerai berai karena masalah tadi berbeda keyakinan tadi.
Fenomena perumahan syariah meruak ke pasar baru-baru ini. Terhitung semenjak kebangkitan ‘Islam Politik’ dan menjalar ke berbagai aspek, mini market syariah, hingga perumahan syariah.
Fenomena ini, ditangkap baik oleh pengusaha yang berhasil melihat pasar masyarakat islam yang gandrung akan merek syariah.
Beberapa menunjukan dampak pendek yang buruk, ketidaktepatan atau terjerat penipuan hanya karena ingin mendapatkan rumah bermerek syariah.
Dampak panjang, pengelompokan ini berpotensi menciptakan segregasi, terlebih jika ada situasi yang dapat memicunya, misal politik identititas.
Dalam perspektif Islam, Al-Quran tidak pernah mengajarkan harus bertetangga muslim atau membuat kawasan khusus Muslim.
Dalam perspektif kebangsaan, sejarah mencatat hampir semua agama terlibat dalam kemerdekaan bangsa Indonesia, dan oleh karenanya bangsa ini didasarkan atas keberagaman.
Menarik dibahas, khususnya di Kota Depok, kota yang menurut Setara Institute tingkat tolerannya rendah, juga terjadi. Terlebih di bawah rezim penguasa yang merupakan ‘Partai Islam’ yaitu PKS.
***
“Saya ingin mencari data perumahan syariah di Kota Depok, melalui Dinas Perumahan. Saya sudah melihat dari data web dinas Perumahan, Si Rumkim dan pengecekan melalui Google (open source) lalu dicocokan, nah saya mau tahu data langsungnya dari Dinas Perumahan (Kota Depok).”
Jadi Dinas Perumahan Kota Depok lebih mengarah ke buat peraturan dan kebijakan perumahan, tupoksi (tugas) nya lebih kesitu, jadi kita minta data juga ke (Dinas) PTSP (Pelayanan Terpadu Satu Pintu) lantai 1, nanti selanjutnya Masnya ke sana aja, karena mereka kan yang mengeluarkan izin, pasti mereka adalah ini datanya.
Sebenarnya yang saya mau tanyai malah gini, kriteria perumahan yang dianggap syariah itu apa? makanya saya baca ini kan. Kalau di kita setau saya di PTSP tidak ada pembedaan, perumahan umum (dan perumahan lainnya). Ya tentunya kalau rumah tinggil izin, lebih dari 5 kapling itu udah dianggap perumahan, tanpa ada pembedaan syariah (dan) non syariah, begitu kalau di Depok ya.
“Untuk mulanya ibu tau ga kira-kira ini munculnya tahun berapa?”
Saya tidak tahu, karena memang tidak ada pembedaan, ini Masnya mengangkat perumahan syariah ya, kriteria perumahan yang masuk syariah apa? begitu aja, dari Mas nya apa? yang menandakan kalau itu Rumah Syariah. Apakah dari nama doang, pasti dari nama doang.
“Hipotesa saya hanya mengincar pasar saja. Makanya saya mencari konfirmasi (ke Dinas) apakah ada kriteria khusus.”
Kalau di Depok tidak ada.
“Jadi hanya label saja ya?”
Kalau setahu saya, kayanya hanya label deh Mas. Kaya perumahan Mutiara Darrusalam, mungkin kalau secara nama, ‘oh perumahan Islami nih’ tetapi ngga tau islami atau ngganya ya. Kan masyarakat juga lebih tau ya untuk pemasaran rumah seperti itu.
“Kalau Dinas Perumahan sendiri membuat kebijakan terkait perumahan-perumahan syariah?”
Kalau kita, di kita kan aturan Perda (Peraturan Daerah Provinsi) RP3KP (Rencana Pembangunan Pengembangan Perumahan dan Kawasan Pemukiman), kita membuat aturan dari aturan RP3KP itu, kaya kajian, insentif-insentif perumahan, nanti tahun depan pemanfaatan rumah secara terbatas. Jadi untuk data perumahan kita juga dapat dari PTSP.
“Untuk tata kelola, dan tata perumahan lainnya termasuk PTSP itu?”
Iya, yang membikin izin PTSP, ya semualah, izin dari awal ya, dari izin pemanfaatan ruang sampai terbitnya IMB.
“Termasuk juga izin lingkungannya? Kan ada Amdal.”
Kalo Amdal beda, dia di Dinas Terkait. Kalo ke banjir dia ke Dinas PUPR (Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat). Terkait rekayasa lalu lintas ke Dishub (Dinas Perhubungan Kota Depok).
“Jadi tidak satu pintu ya?”
Jadi begini, mereka ngurus dulu ke Dinas (masalah) teknis, pas saat pengesehaan site plan (atau pengajuan), udah dilampirkan dokumen itu atas nama siteplannya.
Makanya kalau Masnya ini (perumahan syariah) ciri-ciri ini, nggak ada aturan menyebutkan kalau perumahan syariah apa, saya baru denger.
“Sebenarnya tujuan besarnya, menurut Maarif Insitute berpotensi menciptakan pengelompokan etnis atau agama tertentu. Nah itu yang menciptakan potensi konflik. Tidak ada komunikasi, misalkan kita punya tetangga non-Islam, setidaknya kita mengerti cara kehidupan dia dan dia juga mengerti kita. Jadi kalau (perumahan) satu etnis, satu kelompok, satu agama itu, berpotensi (menciptakan konflik), tetapi tidak mesti selalu, tapi berpotensi itu.”
Jadi kalau gitu, harus ngontrol di penjualan (dan) marketingnya dong Mas.
“Iya itu makanya.”
Jadi kalau di sini itu, setau saya ya nggak ada (pembedaan). Mungkin dari nama doang kali ya. Untuk masuk ke dalamnya bukan ranahnya.
“Ngga ada pengecekan khusus?”
Iya, nggak ada.
“Benar-benar dikasih pengembang aja gitu ya?”
Iya, kan kita nggak (melakukan pengecekan) ini. Setelah izin mereka jadi, udah mereka jualan.
“Hipotesa saya sih seperti itu. Jadi pengembang ya memanfaatkan masyarakat di Kota Depok atau masyarakat Indonesia pada umumnya, karena nggak hanya terjadi di Kota Depok, tapi di beberapa kota lainnya. Di Bekasi paling banyak.”
Banyak perumahan seperti itu? Berarti mereka mengelompokkan diri.
“Ya, jadi istilahnya kalau dulu itu ada Geger Pecinan. Itu Belanda menciptakan satu kelompok (satu daerah) untuk etnis Cina (atau Tionghoa), nah itu kan sebenarnya gapapa buat pengelompokan. Tapi nanti berpotensi (konflik seperti Geger Pecinan).”
Negatif imbasnya ya.
“Mungkin sekarang gapapa (perumahan Syariah).”
Ya, beberapa tahun ke depan.
“Ya, hipotesa saya awalnya ini dimanfaatin sama pengembang, ya istilahnya buat laku, namanya juga pebisnis. Kemarin juga saya izin melakukan wawancara dengan pengembang, tetapi ditolak juga sama pengembang. Karena pengembang juga punya 2 pilihan, punya (perumahan) konvensional dan (perumahan) syariah. Tetapi ya kaya gitu, tetap saja tujuannya hanya laku, tetapi tidak melihat ke depannya atau potensi-potensi yang kemungkinan bisa terjadi.
Iya kalau di Depok, misal nih, Mas nya punya tanah 1000 meter mau bikin perumahan, kalau 1000 (meter) kan lebih dari 5 kapling ya, langsung ngajuin aja perumahan, boleh. Jadi kita ngga ada kriteria khusus, gitu.
Makanya saran saya Masnya perlu ke PTSP. Tapi saya rasa sama, tapi coba Masnya nyoba dulu aja. Terus Masnya dari aplikasi si Rumkim, berapa perumahan (yang syariah).
“Ada sekitar 10% sih (perkiraan dari keseluruhan). Jadi setiap kecamatan ada satu-satu dikumpulin. Pertama, yang crosscheck tadi (melalui open source Google) ada 10 atau berapa (dari keseluruhan Kota Depok) lalu dicocokan dengan si Rumkim, sisanya yang menggunakan nama-nama syariah itu (dari Si Rumkim).”
Jarang sih, paling. Apa Mas nama perumahannya (perumahan syariah) yang (ditemui) Mas?
“Yang tadi, yang Darrusalam itu, sisanya ada di laptop sih.”
Setau saya, yang islami itu aja.
“Dan beberapa pernah saya ke lapangan yang terbaru itu di depannya kelurahan Cimanggis.”
Apa namanya coba?
“Namanya Grand Mutiara Sawarga”
Emang itu islami?
“Iya ya, di banner (spanduk) nya, tulisannya begitu khusus (untuk) muslim, terus saya crosscheck di WA (Whatsapp).”
Tapi itu udah dibangun?
“Lagi on proses (tahap pembangunan), jadi emang marketingnya lagi jalan.”
Kalau itu berarti Masnya, coba ke marketing nanya-nanya, ceritanya mau beli rumah.
“Iya, betul”
Terus konsep mereka?
“Ya, tetap hipotesa saya, tidak ada perbedaan khusus, ya mungkin hanya mengincar segmen pasar masyarakat muslim, tapikan saya ingin menggali apakah ini ada kriteria khusus dari dinas, dari MUI, kalau misalnya makanan (halal) itu dia ada sertifikasinya, yang sekarang sudah dipindah ke Kementerian Agama. Tapi apakah, perumahan syariah ini ada? Harus ada masjidnya, harus ada apanya.”
Kalau kita secara umum sih, kalo perumahan itu harus maksimal 60 persen efektif kaplingnya dari luas tanah, dia harus menyediakan 5 persen untuk taman, 5 persen fasos (fasilitas sosial), sisanya untuk sarana jalan misalnya, RTH (Ruang Terbuka Hijau) menyesuaikan RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah). Jadi ngga secara persis mengatur perumahan syariah.
Masnya ke sana (ke PTSP) cari pembanding. Kan kita aturannya sama, kalau di bawah Perwal (Peraturan Walikota) Site Plan, kita juga sama. Kalau udah izin ya udah, mereka (pengembang) bangun, nanti paling dari bidang pengawasan di bawah crosscheck lagi turun ke bawah bener ngga dia udah dibangun sesuai site plan.
“Tapi untuk perumahan syariah ini kira-kira akan tumbuh terus?”
Kurang tahu ya, karena kalau di Depok nggak melihat perumahan syariah, mereka (pengembang) asalkan udah sesuai ketentuan aturan tata ruang, (dan) izin (dari) dinas-dinas terkait.
*(26/11/2022) Ada perbaikan nama dari Meta menjadi Meti dari Dinas Perumahan Kota Depok
Fenomena perumahan syariah meruak ke pasar baru-baru ini. Terhitung semenjak kebangkitan ‘Islam Politik’ dan menjalar ke berbagai aspek, mini market syariah, hingga perumahan syariah.
Fenomena ini, ditangkap baik oleh pengusaha yang berhasil melihat pasar masyarakat islam yang gandrung akan merek syariah.
Beberapa menunjukan dampak pendek yang buruk, ketidaktepatan atau terjerat penipuan hanya karena ingin mendapatkan rumah bermerek syariah.
Dampak panjang, pengelompokan ini berpotensi menciptakan segregasi, terlebih jika ada situasi yang dapat memicunya, misal politik identititas.
Dalam perspektif Islam, Al-Quran tidak pernah mengajarkan harus bertetangga muslim atau membuat kawasan khusus Muslim.
Dalam perspektif kebangsaan, sejarah mencatat hampir semua agama terlibat dalam kemerdekaan bangsa Indonesia, dan oleh karenanya bangsa ini didasarkan atas keberagaman.
Menarik dibahas, khususnya di Kota Depok, kota yang menurut Setara Institute tingkat tolerannya rendah, juga terjadi. Terlebih di bawah rezim penguasa yang merupakan ‘Partai Islam’ yaitu PKS.
***
“Saya sedang membahas tentang Perumahan Syariah di Kota Depok, berangkat dari Riset Setara Insitute. Saya ingin tahu pendapat dari FKUB Kota Depok, sebagai salah satu pihak yang menjaga kerukunan di Kota Depok?”
Pengurus FKUB setidaknya mempunyai wawasan kebangsaan yang tinggi. Kedua, mengenai toleransi dan kerukunan. Sekarangkan ketuanya Habib Muchsin Ahmad Alatas, sudah dua periode itu 2012 sampe 2017 (lalu) 2017 sampe 2022, sebelumnya alm. Pak Rustadi. Kita mulai dari pertama (FKUB) dari Forum Kota itu, kita ambil (sepakati) secara proporsional, kita ambil dari jumlah penduduk penganut agama, ternyata Islam terbanyak, kemudian kedua Kristen, ketiga Hindu, kemudian Katolik. Jadi Islam itu dulu dapet 11 (orang pengurus) perwakilan, kemudian Kristen Protestan dapat 2 (orang pengurus), KWI, dan lain-lain dapat 1-1, totalnya 17 orang, itu ketentuan dalam PBR No. 9 dan No. 8 bahwa tingkat daerah totalnya 17. Provinsi 21 (orang).
Tergantung wilayahnya mana, kalau di Sulawesi, Kota mana? Kota Tomohon, mayoritas Kristen, kemudian Katolik, kemudian Hindu, Islam sedikit di sana itu. Saya kan pernah ke Minahasa Utara, saya waktu itu berada di salah satu pantai, Islam hanya satu kampung (di sana), jadi mereka tidak bisa terwakili (dalam FKUB Kota tersebut).
“Tetapi mereka dapat struktural FKUB di sana?”
Tidak dapat
“Persyaratan minimalnya apa kalau boleh tau Pak?”
Ada jumlah tertentu, dia cuman satu kampung (merujuk kampung Muslim di Minahasa Utara) satu masjid aja. Nah kalau Hindu banyak di sana. Budha juga sedikit, Budha gadapet juga (perwakilan di FKUB) di Tomohon itu, Minahasa Utara.
“Kasusnya (contoh) mungkin sama di Bali, ketika Hindu yang banyak”
Hindu mayoritas, kemudian ada Islam, Kristen, Katolik, semua sedikit-sedikit. Nah itu kalau kita bicara komposisi.
Di Depok ini, sebelum kita ke arah Syariah ya (perumahan syariah). Di Depok, jumlah Islamnya banyak dengan jumlah penduduk 2,3 juta. Cuma untuk kalau civil society artinya kerukunan umat, terpelihara. Jadi dikatakan Depok kota Intoleran sama Setara Institute, itu memang bukan menyangkut civil society (kerukunan umat).
Nah ini saya mau mengadakan seminar itu, karena Wali Kota bilang kerukunan (umat) sama toleransi itu beda. Justru kerukunan itu sejajar dengan toleransi, toleransi sejajar dengan kerukunan, itu setara (kerukunan dan toleransi) itu.
Nah yang dimaksud dengan surveinya Setara Institute itu, kalau menurut saya government regulation dan government wisdom yaitu kebijakan pemerintah dan aturan pemerintah.
“Yang dianalisis memang data pemerintah, bukan keadaan situasi (masyarakat)”
Bukan, kebijakan dan regulasi di Kota Depok ini intoleran. Kasih contoh, rumah ibadah di segel, Ahmadiyah itu. Padahal Ahmadiyah itu berpegang pada SKB 3 Menteri yang diterbitkan pada tahun 2008, itu sudah selesai. Mereka tidak boleh menyebarkan agamanya, kita tidak boleh mempersekusi mereka. Kalau mereka menyebarkan, urusannya hukum, kalau kita (mempersekusinya) hukum, itu selesai. Nah ini masjidnya di Segel, jadikan itu termasuk kebijaksanaan (kebijakan publik) yang intoleran.
“Dari atas ya Pak?”
Dari Pemerintah Kota. Kedua, terjadi diskriminasi masalah pendidikan agama, itu di SMA Negeri 2 (Kota Depok). Itu agama islam dapat ruangan di Kelas, agama nasrani di lorong. Belakang ini (peristiwa baru-baru ini). Itukan intoleran jadi, ya gak? Ah itu apapun alasannya tidak bisa dibiarkan. Karena semua ini bapaknya wali kota sama wakil wali kota, bagaimana eksekutif dan legislatif.
*Menunjukan video rapat pembahasan terkait guru agama non-muslim di DPRD Kota Depok*
“Berarti ini kebijakan dari daerahnya (pemerintah daerah) ya?”
Ini kebijakan dari pemangku jabatan, itu siapa? kepala sekolahnya. Kepala sekolahnya siapa yang bertanggung jawab? Disdik (Dinas Pendidikan Kota Depok). Dinas pendidikan siapa yang bertanggung jawab? Wali Kota. Kenapa terjadi kaya begini? Kalau terjadi masalah, jangan jadi pembiaran, ya gak? Jadi ini dengan kata lain pasrah, nggak ada inisiatif namanya. Nggak boleh, dia (Pemerintah Kota) harus berinsiatif, kenapa kok kelompok ini sampai ga bisa dapat ruangan (dan guru), kalau SMA itu aturan Jawa Barat (Pemerintah Provinsi), tapi dia (Pemerintah Kota) harus berusaha, nggak boleh (kaya gitu).
“Tetapi sebenarnya ini semacam (fenomena) gunung es sih Pak, kebetulan saya SMA di Jakarta, dan memang (ada) kesulitan untuk menggunakan ruangan-ruangan bagi agama Kristen (dan lainnya).”
Jadi selain ruangan itu, (ketiadaan) guru. Kalau guru pendidikan Islam ada gurunya. Jadi dia (guru agama Kristen) harus yang belajar Kristologi (bukan guru yang belajar jurusan di luar jurusan agama).
“Jadi ya bukan guru lain (spesialisasi ilmu pengetahuan diluar agama), kebetulan (agamanya) Kristen dijadiin guru agama Kristen”
Itu masih lumayan masih ada. Kalau tidak ada. Di sini ini (Kota Depok) ada relawan dari penyuluh-penyuluh agama Protestan itu dari gereja-gereja (perkumpulan gereja), itu disuruh, mereka dapet (gaji) dari gereja. Itu harusnya diambil digaji oleh sekolah, lalu digajilah sesuai UMR.
“Ya setara guru honorer Ya”
Iya, harusnya gitu. Gimana kita mau bangun wilayah yang namanya syariah? Sedangkan apa yang dipraktikin melenceng dari syariah. Islam menghargai agama lain juga. Iya ga? Iya kan? Memfasilitasi (beribadan agama lain).
Saya aja kemarin masuk gereja, “wah udah jadi Katolik” (gambaran orang yang menuduh kepadanya) inikan kurang ajar. Saya itu sering ke gereja-gereja di Kota Depok.
Harusnya mereka itu menyadari (bicara kepada yang menuduh). Kenapa saya begitu? Saya itu menjaga kerukunan umat, walaupun purnabakti kita habis (secara periode seharusnya sudah selesai). Tapikan jiwa kita perasaan kita, mereka itu (agama lain) punya hak konstitusi yang sama sebagai anak bangsa, walaupun keyakinan aqidahnya beda, saya tidak mengurus itu, marilah kita berjalan bersama-sama.
Saya tahun 2018, di Depok itu ngadakan pawai budaya lintas agama, wah gede Mas, kebetulan pas ulang tahun kementerian agama.
*terputus*
“Tadi, sampai memfasilitasi setiap warga Kota Depok untuk beribadah, untuk berkeyakinan”
Ya, kan kita ini jati diri bangsa Indonesia itu bangsa yang beragama, yang dituangkan sila pertama Pancasila. Menjunjung tinggi nilai-nilai agama. Ini kadang-kadang orang keliru lagi, kalau saya ngafal Pancasila berarti mundur lagi ke jaman 70an, jaman Pak Harto itu, kalau sekarang gak paham, bodoh.
Padahal kami sosialisasi mengenai kerukunan warga Kota Depok, dari sekolah, seluruh 63 kelurahan, dan 11 kecamatan kita adakan (sosialisasi). Dikelurahan kita suruh panggil RT/RW, dikecamatan kita suruh (panggil) lurah-lurah, LPM-LPM (Lembaga Pemberdayaan Masyarakat) itu. Lah, kalau lurahnya, nggak sampai 1 tahun (atau) 6 bulan diganti, ini bingung lagi. Kami itu ada biaya tersendiri buat adakan itu. Karena terus terang, pejabat dari tingkat kelurahan hingga (pemerintahan daerah) depok ini dikondisikan berbuat jahat, bener. Jadi bagaimana saya bisa mengkritik Kota Depok, diserang saya, yang nyerang bukannya..
*menunjukan foto chat kepada Wakil Wali Kota Depok tentang kondisi anak-anak kecil yang tidak sekolah di Kota Depok kemudian mengemis di jalan dan warung-warung, serta mempertanyakan Kartu Depok Sejahtera *
“Ada masalah baru juga Pak, saya baru baca itu di Kota Depok, sekolah negerinya nya termasuk sedikit”
Kalau saya bukan masalah sedikit, sekolahan itu seharusnya di ngga bayar, dan mereka itu tanggung jawab negara lah, kan ada kartunya KDS, Kartu Depok Sejahtera itu, ke mana? Itu 150 Miliar. Balik-balik ke kelompoknya pejabat-pejabat itu.
‘Jangan nyirnyirin pemerintah’ (mencontohkan gaya bicara orang), gimana? Walikotanya banyak pencitraan. Apalagi kalau walikota lewat (naik mobil) ngeng ngong ngeng ngong. Saya pernah di sini (menunjuk di jalan depan Cafe Zayn) tak parkir motor tengah jalan (untuk menghalangi), saya bilang ‘Minggir, ini macet jalan’. Inikan gendeng. Mau ke mana (menunjuk ke Wali)? Paling cuma mau dolan (main) ke pendukung-pendukungnya.
Majelis Ulama (MUI Kota Depok) udah dikuasain, sekarang AD/ART nya MUI itu hanya sampai tingkat kecamatan. AD/ART MUI Pusat nggak ada sampai tingkat kelurahan (MUI Kota Depok sampai tingkat kelurahan). Yang ngatur ini bukan ketua MUI-nya, walikota nya yang ngatur. Ini udah ngga bener semua ini. Nah di MUI ini, ada orang dari MUI yang juga dari struktural partai masuk, cari kendaraan partailah, jadi duduk (anggota) dewan (DPRD Kota Depok). Rusak negara ini Mas. MUI dapat dari APBD (Kota Depok) tahun ini 1,5 Miliar, PGI nggak dikasih, semua organisasi (keagamaan) lainnya nggak dikasih, itu setiap tahun 1,5 Miliar. Inikan sebagai mata pencaharian.
“Kalau yang saya tahu dulu MUI itu dapat dananya dari sertifikat halal itu”
Lepas dari itu Mas, MUI ini lembaga agama, bukan untuk nyari duit.
“Sebenarnya fungsinya untuk Dakwah”
Iya.
“Jadi sebenarnya perumahan syariah ini, saya kurang tahu kemunculan awalnya (di Kota Depok), kalau di Bekasi itu 2017-2018 sebelum-sebelumnya saya belum pernah melihat, fenomena ini kan termasuk baru, nah menurut Bapak bagaimana perumahan syariah ini?”
Perumahan syariah ya, Di depok ini ada satu perumahan yang selain orang Islam ga boleh, depannya telaga Golf yang ada masjidnya itu. Itu kalau bukan agama Islam gaboleh tinggal. Itu benar yang punya arab. Pertama kali dia bangun masjid (lalu perumahan). Cuma yang saya sayangkan lingkungannya kurang mendukung. Kalau mau bangun lingkungan syari, wilayahnya harus benar-benar syari juga. Contoh, mau bangun perumahan di Jombang, ah itu mendukung, ada sekolahnya (pesantren). Kalau yang ini ngga mendukung, hanya rumahnya saja.
Kalau kita bicara satu komplek syariah, itu harus bener-bener semuanya, bukan merek aja, tetapi di situ ada madrasah (sekolah), tempat ibadah, nah itu harus syari, ganti itu Indomaret jangan di situ, yang bener syari itu Padang Sumatera Barat, nggak ada Indomaret sama Alfamaret, adanya kaya gitu tapi punyanya orang Padang, orang Islam. Pernah Matahari (Departemen Store) hanya buka 2 bulan di sana, jadi orangnya bagus, apa yang ada di Matahari di depan jual juga, barang sama harganya beda, jadi pada beli di situ, di dalam orang hanya lihat saja.
Kalau di Depok ini ya dibangun perumahan syariah hanya merek saja. Kecuali kalau dia bangun perumahan syariah dilengkapi masjid, kemudian ada pendidikan mulai dari PAUD ada Madrasah.
“Jadi ditargetin hanya sebagai banyak yang beli ya?”
Iya. Arahnya ke ekonomi. Jadi (seharusnya) itu nanti ada ekonomi syariah, ada di sini, jangan koperasi 212 ya, itu udah nggak jalan tuh. Di sini ada koperasi bakti karya.
Fenomena perumahan syariah meruak ke pasar baru-baru ini. Terhitung semenjak kebangkitan ‘Islam Politik’ dan menjalar ke berbagai aspek, mini market syariah, hingga perumahan syariah.
Fenomena ini, ditangkap baik oleh pengusaha yang berhasil melihat pasar masyarakat islam yang gandrung akan merek syariah.
Beberapa menunjukan dampak pendek yang buruk, ketidaktepatan atau terjerat penipuan hanya karena ingin mendapatkan rumah bermerek syariah.
Dampak panjang, pengelompokan ini berpotensi menciptakan segregasi, terlebih jika ada situasi yang dapat memicunya, misal politik identititas.
Dalam perspektif Islam, Al-Quran tidak pernah mengajarkan harus bertetangga muslim atau membuat kawasan khusus Muslim.
Dalam perspektif kebangsaan, sejarah mencatat hampir semua agama terlibat dalam kemerdekaan bangsa Indonesia, dan oleh karenanya bangsa ini didasarkan atas keberagaman.
Menarik dibahas, khususnya di Kota Depok, kota yang menurut Setara Institute tingkat tolerannya rendah, juga terjadi. Terlebih di bawah rezim penguasa yang merupakan ‘Partai Islam’ yaitu PKS.
***
“Awal pembahasan (wawancara) ini, saya membaca riset Setara Institute kalau Kota Depok dalam 5 tahun terakhir mendapatkan Indeks Kota Toleran dengan tingkat toleransi terendah, nah di 2021 Setara Institute menempatkan kota Depok urutan terbawah, dan itu memang konsisten sejak 5 tahun terakhir, menurut Bro Icuk itu sikap PSI terhadap kondisi tersebut atau keadaan Kota Depok?”
Kebetulan gua juga muslim Bro, buat temen-temen yang di agama lain ada sedikit kesenjangan di situ ya (di Kota Depok), dalam arti ya kalau untuk beribadah mungkin belum seekstrim melarang peribadahan ya, tapi kalau misalnya ditanya, contoh ya disaat gua temuin temen-temen kampus di daerah Beji –daerah-daerah yang deket kampus—ditanya mengenai agama mereka apa saat mau ngekos, kalau mereka non-muslim ‘jangan lah begitu’ kurang diterima, mungkin itu menjadi salah satu faktor pendorong (intoleransi).
Mungkin kalau orang bilang, “saya warga depok, karena rumah saya disini, saya tidak merasa itu ada” ya, karena itu rumah elu, tetapi pada saat elu jadi pendatang ada orang baru, elu mau ngontrak, nah itu (agama) jadi salah satu pertimbangan yang punya rumah (pemilik kontrakan), nggak mau nerima, misalkan gua punya kontrakan nih, itu ada yang begitu, kita gabisa terima kawan-kawan batak, kawan-kawan nasrani, orang timur, itu masih terasa dan itu ada, nggak bisa dibilang nggak.
Bahkan kemarin ada salah satu orang flores meninggal RT (rukun tetangga) tidak mau menerima dia sebagai warga, jadi langsung pencatatan sipil nya langsung ke pemerintah Kota, dukcapil nya Pemkot, diterima, tetapi RT/RW tidak menjembatani sebagai pelayan masyarakat paling depan dan itu disampaikan oleh bapak dan ibu RT yang notabene adalah seorang muslim, gua bisa pertanggungjawabkan itu.
“Sebenarnya itu hampir di semua kampus negeri sih (swasta juga termasuk), dulu saya di Malang, di (Universitas) Brawijaya, pasti ada pemisahan, khususnya perempuan paling terasa, paling kelihatan lah ciri fisiknya, harus berkerudung dan sebagainya.”
“Nah dari hasil riset Setara Institute itu gamungkin semua dibahas detailnya –pasti ada banyak—saya mengambil salah satu objek yaitu perumahan syariah, nah kebetulan jika di Bekasi itu tingkat perumahan syariah itu tinggi –menurut data paling tertinggi— tapi kalau di Bekasi tidak objektif (karena merupakan tempat tinggal), jadi saya mengambil Kota Depok sebagai objeknya, saya kemarin sudah melihat data di Google (open source atau data terbuka) dan datang langsung di beberapa kecamatan, ada yang sedikit (dan) ada yang banyak, di Cimanggis –di sekitar UI– ada 5 atau 6, itu yang tercatat di Google dan tercatat di Dinas (Dinas Perumahan Kota Depok), belum lagi dengan nama-nama Islami (yang tidak tercatat di Google atau Dinas) nah itu banyak juga. Menurut PSI atau Bro Icuk sebagai partai politik, sebagai (yang) mewakili aspirasi rakyat (yang mendapatkan satu kursi DPRD Kota Depok), bagaimana tentang kondisi perumahan syariah tersebut?”
Sebenarnya kasusnya ada 2 tadi: ada penamaannya, ada yang memang betul-betul di wilayah syariah. Sebenarnya ada gap (perbedaan) nih bro, antara pengertian yang dimaksud temen-temen developer (pengembang) sama syariahnya yang ada temen-temen di non-Islam, itu ada gap di situ.
Jadi ini yang terdekat perumahan syariah ini, tidak mengakomodir temen-temen non-Islam, walaupun juga ada temen yang menjalankan usaha yang sama “nggak kok kita terima (non-Islam), tapi ada konsekuensi yang harus ditanggung, karena nuansanya Islami banget nih, kalian nanti gaenak pake celana pendek ke luar rumah” hal-hal seperti itulah yang ditakuti sama masyarakat, mereka berpikir “dibandingkan saya beli rumah di (perumahan) syariah, mendingan saya (beli rumah) di konvesional aja” gitu sih, kalo (menurut) gue ada gap di situ aja yang bikin orang-orang agak takut lah gitu, karena mungkin kata syariah sendiri seberapa syariah mereka menjalankan prinsip-prinsip Islam di komplek tersebut.
“Nah masuk ke pertanyaan selanjutnya Bang Icuk, jadikan ada pasar dan ada developer sebagai pebisnis, nah pebisnis ini memanfaatkan ceruk pasar yang sudah terbentuk mungkin –fenomena perumahan syariah—pasca Pilkada DKI 2017, ini belum lama, maksudnya dalam 5 tahun terakhir ini baru muncul. Pun bagi pebisnis melihatnya sebagai ceruk pasar itu (sah saja). Sebenarnya bagaimana pasar ini membentuk pebisnis menciptakan perumahan syariah? Itu bagaimana menurut Bang Icuk”
Jadi gini Bro menurut gua, pasar ini kan terbentuk dari pola hidup masyarakat, nah saat ini pola hidup masyarakat ada polarisasi di situ kan, agak sedikit gimana ya, kalau bilang disalahkan dari jalur hukum juga tidak salah, tetapi secara etika kita bernegara, etika bisnis, ini kayak menunggangi (dan) menggunakan kesempatan polarisasi yang dampaknya akan buruk kepada kehidupan berbangsa, tapi terus dijalankan oleh temen-temen pebisnis dan bahkan dilanggengkan juga –bukan pembiaran mungkin- pemberian restu dari pemangku kebijakan, karena memang kebetulan kalau di Depok ada kebutuhan-kebutuhan juga untuk mengakomodir temen-temen yang maunya hidup lebih ‘syariah’lah menurut mereka kurang lebihnya lah.
Jadinya ya pasar (dan) pengusaha harusnya lebih aware, dalam artianih jadi pengusaha jangan terlalu pragmatis untuk mendapatkan keuntungan secepat-cepatnya dan sebesar-besarnya dari fenomena yang terjadi, harusnya juga lebih arif lah, ini balik lagi ke personal masing-masing, tapi kan kalau bisa minimal pemerintah juga memberikan salah satu solusi juga, mungkin apa yang dilakukan pak Harto jaman dulu, pernah kan, nggak ada nama-nama arab (dan) nama-nama cina, penyeragaman-penyeragaman itu mungkin ada plus-minusnya kita harus akui, yang baru terasa (pada) saat ini, bahwa kalau ternyata kalau kita (Indonesia) terlihat sekali lebih ‘hijau’ (Islam) saat ini, yang mungkin selama ini (terutama dulu) ditekan juga oleh pemerintah orde baru, dan akhirnya muncul pebisnis-pebisnis yang memanfaatkan (pasar), berkembanglah itu. Nggak ada salahnya (bagi pebisnis).
“Dan ternyata laku”
Lebih (merasakan) kaya gimana (temen-temen) yang non-muslim, sebenarnya lebih kaya gitu sih.
“Kebetulan kemarin sempat mewawancarai Mas Abdul Rohim dari Maarif Institute, sebenarnya ini tidak mengapa (pebisnis dan fenomena perumahan syariah) berpotensi menciptakan segregasi. Nah dari situ, Islam pun mengajarkan mengasihi tetangga tanpa pengecualian.”
“Nah pertanyaan selanjutnya ini, mungkin ini ada sangkut pautnya dengan target atau ceruk pemilih (politik) yang dirawat oleh partai politik, apakah itu mungkin atau tidak? Sebenarnya saya ingin bertanya kepada DPD PKS (Kota Depok). Atau (murni) diciptakan oleh pasar yang tadi, baik oleh budaya, oleh pola masyarakat. Tetapi ada kemungkinan diciptakan juga (untuk) merawat segmen pemilih (politik).”
Itu mungkin ada kecenderungan seperti itu, tetapi kalau biologisnya (secara natural alamiah) adalah –gua percaya sih—kalau orang Indonesia ya, lu pure orang Indonesia dalam artian lu mencintai negara ini dengan segala keberagamannya, mau agama lu apapun, nggak akan seekstrim itu, saat elu menerima atau melihat sesuatu yang tidak sama seperti lu. Yang tercipta saat ini adalah –anak muda jaman sekarang bilangnya— ‘mainnya kurang jauh’ punya lingkup pertemanan yang sedikit, akhirnya merasakan bahwa, ‘cara hidup yang gua jalanin nih paling bener’ gitukan permasalahannya kan.
Semakin kita mengkotak-kotakan (dan) mengclusterkan perumahan syariah dan akhirnya nggak ketemu tuh irisan-irisan, ‘oh ternyata temen gua ada yang nasrani’ ‘temen gua ada yang beda gua’ dan itu akan membentuk terus karakter manusianya secara tidak langsung, yang dikhawatirkan adalah itukan. Tidak memiliki interaksi antara satu agama dengan agama lain –dengan etnis lain juga—akhirnya membahayakan untuk kesatuan bangsa sendiri sebenarnya, kalau mau balik jauh (sebagai bangsa) gitu.
Tetapi memang kalau yang kita rasain ya –mungkin kalau mahasiswa (atau pelajar) yang sekolah di negeri—punya temen kristen, punya temen papua, punya temen kulitnya item, (temen) ada yang cina, ada segala macam, pasti terbiasa, akhirnya perbedaan, pluralisme. Tetapi kalau dari SD-SMP-SMA sudah di tempat yang kurang keberagamannya, akhirnya juga pasti lebih ekstrim saat menerima doktrin yang ekstrim dan berpotensi ekstrim.
“Ke depannya, pasti PSI (Kota Depok) punya program-program untuk meningkatkan toleransi di Kota Depok ini –yang menurut Setara Institute tingkat toleransinya paling rendah—apa PSI punya program tersendiri atau pragmatis mengikuti penguasa (Partai PKS) –kayaknya tidak.”
Kalau untuk PSI sebenarnya bukannya tidak mau (atau) tidak ada program, tetapi kami ingin menjalankan posisi PSI saat ini baru 1 kursi dan kurang kuat lah kalau untuk menjalankan program-program politik –yang jelas sangat akan bertentangan dengan temen-temen yang lain— karena kami ini berpikiran semua agama, minimal ada satu guru agama di satu sekolah, kita nggak usah ngomongin yang sangat minoritas, guru agama kristen saja sudah dibilang sangat minim di Kota Depok, itu satu (hal) ya.
Dalam artian, belum lagi kontras saat kita akan mengenal suatu agama (keyakinan atau aliran) baru itu kan pasti akan sangat kontroversial sekali. Misalnya, anak-anak muslim ini diajarkan (dikenalkan) agama baru, walaupun sifatnya mengenal, nah itu juga harus di paksa (untuk dikenalkan) ada, walaupun nggak populer bro, pasti kalau gua ngomong gini ke media (publik) ‘wah PSI maunya agama semua di ajarkan’ (sebagai contoh tanggapan publik) nggak diajarkan, dikenalkan aja, ‘bahwa kita ini (agama tertentu yang berbeda) begini loh’ ‘kita (agama tertentu yang berbeda) begini loh’ (menggambarkan pengenalan agama yang berbeda) bukan berarti lu harus mengikuti agamanya, lu harus dapet nilai, nggak harus ikut ibadahnya, saling mengenalkan aja, kalau saling mengenal lebih enak.
Ini salah satunya Bro, kalau misalnya larinya ke dunia pendidikan, ini emang larinya di bawa ke dunia pendidikan bro, SD dan SMP negeri di Kota Depok jumlahnya kurang, belum (lagi) SMA. SMA itu tingkatnya (dan) jumlahnya ditentukan dari pemerintah provinsi dan kewenangannya pemerintah provinsi. Sementara kalau pemerintah provinsi, kalau tidak disediakan lahan dari pemerintah kota (Depok) mau di taro di mana (sekolahnya), akhirnya masalah yang timbul adalah –tadi yang tadi, kalau tadi perumahan, adanya perumahan (syariah)— kalau ini sebenarnya di sektor pendidikan, (misalnya) SDIT-SDIT (SMPIT dan SMAIT atau Islam Terpadu).
Yang ini kami juga gatau ya, kami mendengar kabar di luar-luar (yang merupakan) temen-temen yang pengamat, (bilang) “kok dari tahun ke tahun bukan SMA Negeri yang naik jumlahnya, ataupun Madrasah Ibtidaiyah (MI), ataupun sekolah-sekolah Islam lain yang dalam naungan pemerintah bertambah”, tetapi jumlah SDIT-SDIT yang swasta bertambah, yang kita ngga tahu itu Yayasan siapa? Itu punyanya siapa? Tetapi kalau di Depok sangat signifikan perkembangannya, dan izinannya langsung keluar dengan cepat, tidak seperti kalau kita mendirikan gereja puluhan tahun aja lama banget izinnya bro, tetapi kalau mendirikan SDIT dengan waktu (dan) tempo yang singkat bahkan kurang dari setahun udah berdiri bangunannya, langsung ada izin, gurunya sudah ada, pasarnya menerima dengan baik –kita gaada masalah sama pasarnya.
Yang kita masalahi kenapa SMA negeri susah dibangun di Kota Depok, itu jalan keujung sana (mengarah ke Depok Baru) masih banyak tanah kosong bro, segitu banyaknya tanah tapi ga ada yang dibuat sekolah negeri, kok bisa? Sementara kayanya sulit banget (izinnya), apalagi kalau negeri, (misalnya) Beji belakang UI (Universitas Negeri) gaada sama sekali sekolah negeri, jadi kalau untuk zonasi selesai mereka. Gaada pilihan lain, (harus) swasta. Pilihan swasta adalah swasta konvensional atau sekolah-sekolah Islam, ya gitulah jadinya makin terus berjauhan yang non-muslim tadi.
“Di bekasi sendiri, (sekolah) yang berbasis IT (Islam Terpadu) mempunyai afiliasi tertentu dengan anggota partai, soalnya saya sekolah di sana waktu SD, jadi memang keliatan sekali, di depan sekolah saja ada spanduk-spanduk (partai politik tertentu). Tetapi itu di kampuspun memang sudah terkenal, apalagi dengan organisasi pergerakannya, kaya gitu. Biasanya dari SMAIT lebih gampang ditarik (direkrut) jadi organisasi tertentu.”
“Nah, tadi program PSI yang terkait dengan dunia pendidikan, tetapi untuk secara budaya, gerakan-gerakan tertentu (tentang toleransi), apakah ada?”
Karna kalau gua pikir fokus kami tuh, lebih ke pendidikan bro. Karena tadi ya, yang gua bilang: budaya, pendekatan ke masyarakat, (dan) segala macem, jatuhnya juga pendidikan. Gua bisa ngomong mengenai toleransi ke temen-temen nasrani dan muslim yang memang mau mendengarkan, karena ada forumnya. Sementara forum paling besar bertemu orang, setiap hari lo ketemu itu di kelas, lu ketemu setiap hari di kelas. Kalau gua pikir seminar, setahun udah bagus 6x, beberapa kali ganti temanya, tetapi apa itu berpengaruh? Nggak. Yang berpengaruh itu di sekolah bro, karena apa? seminarnya setiap hari di kelas, iya gak? Lu ketemu orang setiap hari di sekolah.
“Instansinya ya”
Instansinya memang di situ, nah nanti mereka-mereka ini yang melanjutkan perjuangan dong, merumuskan Indonesia seperti apa, menentukan Indonesia ke depan. Kalau mereka yang sudah terbiasa bertemu temennya ada yang batak, temennya ada yang ambon, temennya dari timur.
Tapi pasti (ada) pada saat “orang-orang kristen pasti jahat” (membayangkan perkataan seperti itu) itu ada guru yang ngomong gitu, kita gak bisa pungkiri, pasti ada yang ngomong guru begini-begini, itu ada sekali-dua kali keceplosan ngomong yang gak harusnya diomongin mengenai perbedaan.
***
(terpotong)
“Instansi, pendidikan, PSI mengincari (program) di sana”
Karena kalau partai politik tentu kebijakan politik yang diambil. Kalau cuman penyuluhan-penyuluhan, bukan kebijakan politik, event itumah. Kebijakan politik yang bisa diterapkan dan diatur oleh negara di dunia pendidikan bro, dan itu tugas negara juga bro, bahwa semua warga negara (harus) terdidik –dalam artian terdidik dalam budi pekerti dan segala macamkan.
“Tetapi sejauh ini pendorongan kebijakan sekolah tadi (sekolah negeri dan guru pelajaran agama) sudah sampai mana?”
Kami itukan selama ini bekerja itu bareng sama fraksi PKB dan PSI, terus temen-temen Gerindra, temen-temen PDIP, nah mereka itu kemarin yang mendorong adalah menolak rancangan perda (peraturan daerah) religius, mungkin bro pernah denger. Walaupun di situ pada salah satu pasalnya ingin meningkatkan kesejahteraan guru agama, tetapi dalam kebijakan-kebijakan lain tidak memberikan solusi untuk temen-temen yang non-muslim untuk mendapatkan pendidikan secara layak dan seluas-luasnya, lingkupnya (peraturan daerah tersebut) terlalu sempit.
Nah kami mendorong jumlah sekolah –itu selalu diomongin dirapat-rapat—SMA,SMP,SD ditambah terus jumlahnya. Nanti terserahlah, mau masuk dan terkendala dana, nanti dicari solusi bareng-bareng. Gak mungkin pendanaan itu tidak ada. Kalau diliat-liat silpa –kelebihan—APBD 500-600 miliar, apalagi (ini) perkotaan. Pemkot mintanya 3,2 Triliun (dalam RAPBD) itu biasanya dilaksanakannya 2,8-2,9 Triliun, masih ada sisakan, masih ada gap di situ dong. Nah (ini terjadi) setiap tahun. Dan kita fokus penggunaan maksimal dari data gap nya tadi, untuk pembelian tanah, pembangunan gedung. Jadi nggak ada alasan sebenarnya untuk Pemkot Depok tidak memiliki tanah, tidak punya ruang untuk membangun sekolah baru. Nah itu aja. Atau (memang) menjaga kebijakan yang tadi lu bilang, menjaga ‘kerajaan-kerajaan’ kecil tadi (afiliasi Sekolah IT Islam Terpadu dengan partai politik), segmen-segmen (pilihan politik) tadi.
“Kebetulan kemarin bertemu dengan Mas Abdul Rohim dari Maarif Institute, dia juga bilang ya semuanya berawal dari pendidikan tadi. Pendidikan yang tidak inklusif, menciptakan percikan-percikan tadi. Kebetulan ada fenomena Pilkada DKI waktu itu, dan pengusaha yang pragmatis tadi. Akhirnya bertemu di sana (perumahan syariah)”
“Terakhir nih Bang, apa ada statement atau kata-kata untuk perumahan syariah di Kota Depok, sepatah dua kata.”
Gini, gua setuju pembangunan perumahan syariah, jika memang mengakomodir temen-temen dari non-muslim ataupun dari agama lain. Terus, aturan-aturan yang tidak berlaku secara umum (dan) secara nasional, harusnya juga tidak berlaku di perumahan syariah tersebut. Jangan sampai ada hukum baru, aturan baru, yang tidak harusnya mengikat, itu malah menjadikan ‘negara dalam negara’, ada aturan-aturan kecil yang harusnya tidak dijalankan. Jangan sampai ada peraturan-peraturan yang seharusnya didapatkan untuk temen-temen non-muslim.
Fenomena perumahan syariah meruak ke pasar baru-baru ini. Terhitung semenjak kebangkitan ‘Islam Politik’ dan menjalar ke berbagai aspek, mini market syariah, hingga perumahan syariah.
Fenomena ini, ditangkap baik oleh pengusaha yang berhasil melihat pasar masyarakat islam yang gandrung akan merek syariah.
Beberapa menunjukan dampak pendek yang buruk, ketidaktepatan atau terjerat penipuan hanya karena ingin mendapatkan rumah bermerek syariah.
Dampak panjang, pengelompokan ini berpotensi menciptakan segregasi, terlebih jika ada situasi yang dapat memicunya, misal politik identititas.
Dalam perspektif Islam, Al-Quran tidak pernah mengajarkan harus bertetangga muslim atau membuat kawasan khusus Muslim.
Dalam perspektif kebangsaan, sejarah mencatat hampir semua agama terlibat dalam kemerdekaan bangsa Indonesia, dan oleh karenanya bangsa ini didasarkan atas keberagaman.
Menarik dibahas, khususnya di Kota Depok, kota yang menurut Setara Institute tingkat tolerannya rendah, juga terjadi. Terlebih di bawah rezim penguasa yang merupakan ‘Partai Islam’ yaitu PKS.
***
“Bagaimana Mas Abdul Rohim menanggapi riset Setara Institute yang menunjukan bahwa Kota Depok merupakan kota dengan toleransi yang terendah? Kebetulan Maarif Institute juga pernah melakukan Penelitian tentang Indek Kota Islami tahun 2016. Dan melihat munculnya fenomena perumahan syariah?”
Penelitian Indeks Kota Islami mungkin udah tidak relevan lagi, sekarang dinamis banget ya, akan tetapi secara garis besar mungkin belum banyak berubah. Saya lupa, Depok itu masuk termasuk kota yang toleran atau intoleran (merujuk kepada Penelitian Maarif Institute tentang Indeks Kota Islami tahun 2016).
Tetapi memang kota yang pada umumnya dipimpin oleh partai tertentu yang mempunyai aspirasi politik keagamaan, punya kecenduruang –bukan intoleran atau belum tentu intoleran— menerapkan kebijakan pada aspek di wilayah otonomi daerah, seperti pendidikan, tata kota, dll, karena itu kebijakan pemerintahan daerah, termasuk di dalam pengaturan tata ruang.
Berkaitan dengan cluster-cluster syariah itu, kaitannya dengan kebijakan tata ruang. Jika dikaitkan dengan Buya (Ahmad Syafii Maarif), pemikiran Buya tidak ada yang lepas dari Al-Quran, dan Buya selalu menekankan Al-Quran tidak pernah mengajarkan kebencian pada siapapun, bahkan Tuhan (melalui firmannya) tidak ada sedikitpun penegasan menciptakan segregasi muslim dan non-muslim, bahkan terhadap pada mereka yang tidak mempercayai Tuhan tidak boleh mengajarkan (melakukan) pembecian, kecuali mereka yang memerangi kita (Islam).
Dan jika memerangi kita, tidak berkaitan dengan agama, karena kebencian tidak pandang agama, orang yang menebar kebencian harus kita lawan, apapun agamanya. Tetapi mereka yang tidak punya salah kepada kita, berlaku ketentuan umum jika kita membunuh mereka sama dengan membunuh seluruh umat manusia, kan ajaran di Al-Quran seperti itu.
Dan perintah di Al-Quran untuk mengenal satu sama lain itu umum, tidak hanya kepada muslim atau sesama islam saja. Dan perintah kita untuk berbuat baik kepada tetangga itu berlaku umum, tidak hanya kepada yang spesifik saja seperti kepada muslim saja, tidak ada. Bahkan, ketika memasak masakan itu diperintahkan oleh Nabi (Muhammad) memperbanyak kuahnya, supaya kamu (yang memasak) bisa berbagi kepada tetangga. Nabi mengatakan juga, tidak beriman seseorang yang kekenyangan, tetapi tetangganya kelaparan. Dan itu tidak ada spesifik tetangganya muslim, non-muslim, bahkan orang yang tidak percaya Tuhan.
Dan Buya memesankan untuk membuka diri, untuk berhubungan dengan siapapun, bahkan dia (Buya) dalam hidupnya tidak pernah merasa canggung, tidak punya hambatan psikologis bergaul dengan siapapun, bahkan kepada orang yang secara pemikiran Buya tolak, seperti Abu Bakar Ba’asir dia temani dan dia kunjungi.
“Melihat Fenomena Perumahan Syariah yang baru muncul akhir-akhir ini, di Kota Bekasi misalnya perumahan syariah muncul di tahun sekitar 2016-2017. Kemunculan ini mungkin juga disebabkan kondisi politik ketika itu (Pilkada DKI) atau faktor pebisnis yang memanfaatkan ceruk pasar muslim sebagai target bisnis?”
Ya memang itu berlaku hukum pasar. Pasar itukan pragmatis ya, sesuai dengan demand kebutuhan masyarakat, ya. Sama dengan ketika muncul gerakan anti riba, maka Bank Syariah itu menjadi lahan bisnis dan bukan hanya mereka yang muslim, katakanlah semua Bank Konvesional karena ada tuntutan dari pasar maka membuka cabang syariahnya. Mungkin juga cluster-cluster (perumahan) syariah seperti itu.
Akan tetapi, jika kita berambisi dalam melakukan riset atau apapun ya, memang semua orang bisa punya aspirasi, termasuk aspirasi politik dalam kehidupan sehari-hari, akan tetapi kalau aspirasi punya potensi untuk menumbuhkan segregasi di tengah masyarakat, kalau bisa sih kita (Maarif Institute) lawan.
Karena apalagi dengan mengatas namakan Islam itu bertolak belakang dengan prinsip-prinsip Islam sendiri, seperti yang saya sampaikan tadi, dalam Al-Quran tidak ada segregasi, tidak ada kebencian, tidak ada orang tidak mau bertetangga hanya karena berbeda agama. Yang harus kita lawan itu adalah kebencian, dan kebencian itu tidak pandang agama, orang yang benci kepada kita ya harus kita lawan, apapun agamanya.
Jadi dalam Al-Quran itu, ayat-ayat vital atau ayat-ayat perang itu, selalu diawali oleh perumushan dari pihak lawan, tidak ada perang itu di awali atau inisiatif dari umat islam, itu dalam Al-Quran ya.
Bahwa dalam sejarah itu banyak, kekhalifafan atau kesultanan secara ekspansif itu hal lain, dan itu banyak yang dikritik juga oleh Buya dalam buku-bukunya, soal bagaimana Islam itu di bawah kekuasaan para khalifah Islam yang membuat Islam tidak mencerminkan keanggunan, Buya menyebut itu, ‘daki-daki’ khilafah yang menjadi wajah yang menanggu keanggunan wajah Islam, antaranya karena khalifah melakukan ekspansi secara agresif apakah lawan itu melakukan penyerangan atau tidak, padahal dalam al-Quran itu tidak ada perintah seperti itu.
Cara berdakwah Nabi itu bukan dengan kekerasan, hanya dengan mengirimkan surat, kalau responnya baik dari surat itu, apakah lawan (raja-raja non-Muslim) mau mengikuti ajaranya dia atau tidak, kalau sambutannya baik, Nabi baik juga, seperti kasus raja Mesir ketika itu, raja Mesir mengirimkan hadiah kepada Nabi, respon Nabi juga baik akhirnya berhubungan baik.
Dan jangan lupa Nabi dalam sejarahnya sebagai pedagang, yang memperdagangkan kekayaan istrinya Khadijah, ketika dia berdagang tidak pernah segregatif.
“Malah menunjukan etika berkemajuan, ada juga kisah ketika pedagang lain melakukan hiburan-hiburan, dia berjalan duluan untuk kembali pulang”
Dan ketika Nabi hijrah ke Tha’if, itu kan dilempari batu dan segala macam, Malaikat yang menyertai Nabi, yang kasian kepada nabi, itu minta “gimana kalau kita balas saja”, Nabi gamau kamu (malaikat) membalas itu, karena kata Nabi mereka itu tidak tahu dan tidak paham, kalau mereka sudah paham mereka tidak akan melakukan seperti itu.
“Ini menarik mengenai etika bisnis, berarti untuk pengembang diperumahan-perumahan syariah ini sekiranya apa yang perlu dipahami lebih dalam dari Islam itu sendiri?”
Jadi kan gini, ya memang mestinya, bisnis itu kan tidak liberal dalam pengertian ‘bebas tanpa nilai’ hanya semata-mata berorientasi kepentingan keuntungan materil. Kalau mereka memegang etik, sebagai seorang muslim, maka etika yang dikembangkan etika yang diajarkan oleh Al-Quran dan Hadist, harus baik kepada tetangga. Kenapa? Kalau itu dibiarkan memberi ruang kepada segresasi
“Sebagai pemicunya (segregasi)”
Implikasinya apa nanti? sudah pasti mereka yang berpikir seperti itu, pada saat kelompok agama lain saat ingin membangun rumah ibadah, sudah pasti akan ditolak, dan itukan tidak baik. Karena secara etis tidak sejalan dengan nilai nilai yang diajarkan Al-Quran. Dalam konteks keindonesiaan yang terdiri dari berbagai bangsa, suku, agama, dll, yang sejak jaman dahulu kenapa kita ada? Kenapa kita merdeka? Karena semangat kebersamaan suku dan agama, ya sumpah pemuda (yang baru saja dirayakan). Kalau tidak ada itu, Indonesia akan terdiri dari kerajaan-kerajaan kecil, ntah didasarkan pada basis suku, ras, atau agama. Dulukan kerajaan kan itu basisnya (..menyebutkan contoh kerajaan..), karena kepentingan bersama kemudian mereka melebur menjadi Indonesia.
“Fenomena ini tumbuh di daerah perkotaan, misal tumbuh Yogyakarta, Bekasi paling banyak secara data statistik, Depok, Jakarta –yang mungkin agak jarang karena rumah dan tanahnya mahal–, (secara umum) yang banyak ya di pinggiran Jakarta. Bagaimana ketika masyarakat perkotaan mengenal agama secara eksklusif, akan sangat berbahaya atau tidak? Dan bagaimana dampaknya ke depan?”
Dalam kondisi normal terlihat biasa saja, tetapi karena ada potensi (berbahaya atau membahayakan) maka potensi itu akan muncul jika ada pemicunya. Apa pemicunya? Permasalahan politik misalnya. Ketika terjadi ada gesekan politik, apalagi politik itu dengan menggunakan isu agama, maka potensi gesekan akan mudah mencuat di permukaan.
Seperti yang terjadi saat Pilkada DKI 2017, mungkin kalau tidak ada pemicunya, potensi itu akan menjadi ‘angin lalu’ atau ‘api dalam sekam’, ‘api dalam sekam’ kalau tidak ditiup angin maka tidak akan berbahaya, kalau tertiup angin dia akan menyala, dan kalau kena hujan bisa mati. Artinya potensi itu bisa hilang pada saat muncul kebijakan politik yang bisa menumbuhkan kebersamaan, bisa mengikis segregasi antar berbagai kelompok beragama.
“Mungkin ini yang terakhir, tadi Mas Rohim sempat membahas sejarah (Islam) panjang lebar, aku juga sempat mengikuti, ada faktor ketika Golden Age Islam ketika abad pertengahan, Islam membuka diri ke semua peradaban, misalkan dari Cina, India, Yunani, dan Romawi (yang berkuasa ketika itu) hasilnya begitu besar dampaknya, terbuka dan membuka diri untuk mempelajari hal lain, yang juga disinggung juga oleh Ahmet Kuru melalui Buku barunya (Islam, Otoritarianisme, dan Ketertinggalan). Ketika Islam membuka diri, syarat membangun peradaban dengan membuka diri dengan toleransi, dia harus menerima, tidak mungkin mengeksklusifkan diri. Bagaimana sejarah Islam yang sebenarnya sangat mahal dan harus dipelajari kembali?”
Saya bukan ahli dalam sejarah Islam, tetapi memang ada 2 wajah kekhalifan baik dari masa Ummayah maupun Abbasiyah, 2 wajahnya bagaimana? Ada wajah politik ekspansionis, tetapi juga ada khalifah-khalifah tertentu yang punya visi keilmuan, misalnya memerintahkan kepada ahli memberikan gagasan untuk melakuan penelitian, menerjemahkan buku-buku, dan lain-lain. Itu semuanya hancur pada saat penyeburan tentara Mongol ke Baghdad, buku-buku, khazanah keilmuan dibakar habis, sisa-sisanya itu yang ada di Turki Utsmani, awalnya mereka kelompok kecil yang mendirikan kerajaan di sana, dari yang minor (minoritas) sebenarnya, kalau peradaban besarnyakan ada di Baghdad, yang hancur.
“Sama di Cordova (Cordoba, Spanyol)”
Nah itukan hanya sebagian kecil saja (buku-buku, khazanah) yang terselamatkan, ntah karena dibawa. Itu perjalanan sejarah peradaban, tetapi memangkan sisi-sisi politiknya itukan jauh lebih kuat, kenapa? Karena dari sekian banyak khalifah (baik dari masa Ummayah dan Abasiyah) itukan hanya satu-dua yang punya visi keilmuan membangun peradaban.
“Salah satunya, Harun Al-Rasyid, dan ketika anaknya selesai ya sudah, selesai semua. Ketika peradaban berpindah, eropa membuka diri, menerjemahkan karya-karya Islam. Sebaliknya Islam mengalami ortodoksi (nilai-nilai Agama) kalau menurut Ahmet Kuru, ketika penelitian dan sebagainya mulai turun, akhirnya muncul eropa dengan Renaissance nya.”
“Tetapi yang bisa diambil untuk fenomena perumahan Syariah, mungkin ini awalnya dan tidak akan menyambung ke sana, tetapi ketika ada faktor kecil (lalu) melebar-melebar paham-paham eksklusif akan sulit membangun Indonesia, membangun Islam.”
Dalam konteks Indonesia sebenarnya saya kira Buya juga pernah menyinggung tentang trauma kegagalan Islam Politik, kan dulu ada aspirasi untuk mendirikan negara Islam dan aspirasi itu sempat muncul juga dalam sidang-sidang konstituante, itu dibahas dalam disertasinya Buya, (membahas) siapa yang punya aspirasi itu. Upaya untuk mencari jalan dari munculnya aspirasi itu, menjadikan Indonesia sebagai negara yang mempunyai kebijakan yang sedikit ambigu sebenarnya. Ambigunya bagaimana? Jadi satu sisi mengadopsi demokrasi, tetapi disisi lain ada aspek-aspek keagamaan yang juga menjadi bagian dari politik di Indonesia. Misalnya dengan munculnya Kementerian Agama, perundang-undangan menyangkut agama, dan implikasi yang paling nyata itu dalam dunia pendidikan, kita mengenal dikotomi sekolah agama dan sekolah umum, padahal sebenarnya semua ilmu itu sesuai dengan aspirasi (agama) dan sepanjang ilmu itu bermanfaat untuk kemanusiaan, jadi itu sesuai dengan semangat Al-Quran.
Jadi tidak ada (perbedaan) ini ilmu agama, ini ilmu umum. Semua ilmu ya sesuai dengan semangat keagamaan. Di situlah mengapa Buya tidak mendikotomikan (memisah) antara Islam dan Kemanusiaan. Kemanusiaan ya Islam, Islam ya Kemanusiaan. Semua ilmu pengetahuan, sepanjang itu bermanfaat untuk kemanusiaan, maka itu sebenarnya ya itu Islam juga.
Tadi ya yang disebut jaman “Renaissance” Islam itukan ketika para ilmuwan, misalkan Ibnu Sina dalam bidang kedokteran, Ibnu Rusyd, pokoknya ilmuwan-ilmuwan pada saat itukan karenai lmuwannya Muslim, (lalu) kita klaim sebagai peradaban Islam, padahal sebenarnya ya kalau dalam kategorisasi yang sekarang ini (termasuk) ilmu umum, makanya kategorisasi Islam itu tidak relevan sebenarnya Ahistoris kalau merujuk kepada masa kejayaan Islam.
Nah dikotomi yang terjadi di Indonesia antara Islam dan Umum kemudian berimplikasi kebanyak hal, awalnyakan bermula dari pendidikan, dalam kehidupan sehari-hari kita akhirnya dihadapkan pada 2 dikotomi itu. Nah itu sebenarnya yang mencoba dilawan oleh Buya, dikotomi-dikotomi semacam itu, makanya dia (Buya) ada tiga chandra: Keislaman, Kebangsaan atau Keindonesiaan, dan Kemanusiaan. Nah itu satu tarikan nafas, kalau saya sering bilang itu bukan pilihan ganda, ketika kita memilih satu, lalu mengabaikan yang lain, tidak seperti itu. Itukan secara tidak langsung Buya ingin mencoba menghilangkan dikotomi-dikotomi itu, karena sama sekali tidak produktif. Bahkan untuk kalangan tertentu bisa menimbulkan segregasi itu, padahal urusan kemanusiaan itu ya urusan Islam juga, misalnya, berbagi dengan tetangga, bagaimana memelihara lingkungan agar tetap bersih, kalau dalam bidang politik ya bagaimana membangun politik yang berkeadilan, yang bebas dari korupsi, itu kan ajaran Islam sebenarnya, tetapi dalam konteks keIndonesiaan itu dianggap dalam aspirasi umum dan sebenarnya itu aspirasi Islam banget.
Karena Al-Quran itu sangat menekankan kepada keadilan, kebersihan, integritas, kejujuran, dll.
“Kata terakhir dari Mas Abdul Rohim untuk fenomena perumahan syariah, jika ada”
Fenomena itu muncul karena ada kepentingan politik dan ekonomi, tentu saja. Nah kepentingan politik berkaitan dengan aspirasi ‘Islam’ dalam tanda petik, yang dimaknai secara sempit. Karena Islam yang sebenarnya tidak mengenal adanya segregasi-segregasi seperti itu. Islam itu menawarkan keadilan, menawarkan kebersamaan kepada semua orang, tidak terbatas pada (umat) Islam. Bahkan kata Buya, kepada mereka yang tidak percaya Tuhan, itu kita harus berbuat baik.
Nah yang berkaitan dengan ekonomi, mereka (pengembang perumahan) melihat adanya demand (permintaan) pasar. Jadi kalau permintaan pasar itu tidak ada, pebisnis perumahan tidak mungkin kan membangun itu (perumahan syariah).
Nah yang kedua, dalam konteks keIndonesiaan, sebenarnya fenomena ini harus kita ‘kalau kita tidak lawan’ setidaknya menjadi tantangan bagi kita untuk memberikan pemahaman yang lebih subtantif tentang Islam di Indonesia, (Islam) yang orisinil dalam pengertian Islam yang adil, toleran. Karena banyak juga orang yang mengartikan orisinil mengembalikan Islam ke abad 7, itu juga tidak benar.
Orisinalitas islam justru pada semangat kontekstualnya, karena ayat-ayat al-quran itu turun sesuai dengan konteks zamannya, artinya apa? artinya kita tidak bisa melepaskan ayat-ayat atau hadist itu dengan konteks zamannya. Kita tidak bisa menafsirkan sesuai dengan pada saat itu (abad ke-7) karena kehidupan kita (saat ini) sudah berbeda. Karena ada dua (hal): karena ada sesuatu yang Qot’i yang tidak bisa diubah kapanpun dan di manapun, dan itu ajaran. Ada yang kontekstual, bagaimana mengamalkan ajaran itu. Sebagai contoh misalnya, tentang ajaran Sholat, Sholat itu mutlak, wajib, di manapun kapanpun harus kita lakukan, tetapi bagaimana kita melaksanakan sholat itu kontekstual, kalau kita dalam perjalanan bisa kita jama’ bisa kita gabungkan antara waktu yang satu dengan yang lain.
Makanya saya pribadi dalam menafsirkan ayat-ayat tentang menutup aurat juga sama, menutup aurat itu betul ajaran Islam yang mutlak, tetapi bagaimana menutup aurat itu kontekstual, karena dalam ayatnya sendiri, dalam Al-Quran itu kan kontekstual juga, kita harus menutup aurat itu di hadapan siapa, boleh membuka aurat itu di hadapan mahram kita, anak, istri, sodara-sodara, ibu, bapak, itu kan boleh, artinya tidak mutlak dong. Kemudian kepada orang lain pun boleh, seperti apa? orang tua dan anak.
Adi Fauzanto-13 Desember 2021 (06.00 WIB)-#39 Paragraf
***
Kronologi Peristiwa Novia
Malang, Kebijakan.co.id — Peristiwa Novia –lengkapnya Novia Widyasari- menggamparkan publik. Setelah diceritakan oleh teman nya, di twitter oleh @Belawsz. Diketahui mengapa peristiwa tersebut bisa terjadi, bukan sekedar ditinggal Ayah Novia yang meninggal. Akan tetapi ada kekekerasan, terlebih terdapat keterlibatan polisi –sebagai pacarnya Novia yaitu Randy Bagus Hari Sasongko.
Diketahui dengan lengkap kronologinya. Dalam keterangan resmi Kepolisian Republik Indonesia, pada oktober 2019, mereka –Novia dan Pacarnya yang merupakan polisi- berkenalan di sebuah kegiatan nonton bareng di Kota Malang. November 2019, lalu mereka berpacaran. Setelah berkenalan juga berpacaran, mereka berdua melakukan hubungan intim di tahun 2020 hingga 2021, di tempat kost juga pengingapan.
Diketahui dari hubungan tersebut, tercatat sudah 2 kali melakukan aborsi. Pertama pada Maret 2020, kedua pada Agustus 2021. Yang pertama berusia mingguan, sedangkan kedua pada usia 4 bulan.
Untuk yang pertama, Novia di minta untuk meminum obat yang di tunjukan untuk mengugurkan janinnya di kosnya, di Malang. Obat tersebut merupakan postinor dan cykotec. Lalu, yang kedua, korban juga diminta mengugurkan kandungan oleh Randy, sang pacar.
Korban juga sempat melaporkan hal tersebut, kepada orang tua Randy. Mereka awalnya berjanji akan bertanggung jawab. Namun setelahnya, mengingkari janji untuk bertanggung jawab dan meminta untuk mengugurkan kandungan. Di karenakan kondisi Randy, masih merupakan siswa dari pendidikan kepolisian juga kakaknya belum menikah.
Setelah hal tersebut, Novia diminta meminum obat yang mengugurkan janin kembali. Ketika pulang ke Mojokerto, terjadi pendaharan. Sempat masuk dalam Rumah Sakit untuk opname.
Setelah beberapa informan yang merupakan teman Novia, menceritakan bahwa Novia dipaksa melakukan hubungan intim dengan Pacarnya. Kejadian bejat itu, terjadi di sebuah penginapan. Dengan memaksanakan obat tidur, sebelum akhirnya diperkosa.
Menurut informan lainnya, yang diduga merupakan teman Novia, menuturkan. Novia, sempat dibawa ke Rumah Sakit Jiwa (RSJ) untuk bertemu Psikiater karena stress juga depresi, setelah kehilangan janinnya. Novia sesaat pulang di rumahnya di Mojokerto, sempat ingin melakukan bunuh diri, lalu diketahui oleh Ibunya.
Hal itu juga diketahui dari akun media sosial Qoura Aulia Dinarmara –yang diduga dimiliki oleh Novia, karena kesamaan objek pembahasan yang sama persisnya-, memprotet keterangan kertas pasien RSJ juga percakapan dengan Ibunya.
Novia, pun sempat kehilangan Ayahnya 3 bulan sebelum peristiwa bunuh diri dilakukan. Menurut akun yang diduga merupakan Novia pada media sosial Qoura, Novia sempat meminta tolong kepada pamannya, dalam kasus ini. Lantas sang Paman, tidak memberikan bantuan sama sekali terkait kasusnya, terlebih malah menyudutkan Novia.
Novia juga diketahui sempat mendatangi juga berkonsultasi dengan sebuah LBH di kota Mojokerto. Dia datang sendirian, untuk menceritakan kejadian hubungannya dengan Randy. Akan tetapi menurut pengacara di LBH tersebut, berkas-berkas untuk dilaporkan kekurangan alat bukti berupa obat yang digunakan untuk menggugurkan janin.
Novia juga sempat melaporkan peristiwa ini ke Komnas Perempuan, pada bulan Agustus 2021. Lalu Komnas Perempuan merujuk Novia kepada Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak Mojokerto. Sempat berkonsultasi sekali dengan lembaga tersebut.
Jauh sebelum kasus di atas terjadi. Novia, juga sempat mengalami kasus pelecehan seksual di FIB UB, tahun 2017, tempat dia kuliah. Yang dilakukan oleh kakak tingkatnya, di jurusan yang sama. Kakak tingkatnya mendapatkan hukuman dari Universitas Brawijaya.
Pelajaran dari Novia
Dari runtutan peristiwa tersebut. Beberapa hal yang bisa dipelajari, yang tujuannya untuk mencegah terjadi Novia-Novia berikutnya kembali terjadi. Pertama jika diketahui bahwa ada niat jahat yang dilakukan pelaku untuk memaksa korban melakukan hubungan intim. Maka hal tersebut sudah masuk dalam ranah hubungan tidak sehat. Perlunya pendamping, baik itu teman atau lembaga tertentu atau bahkan orang tua juga keluarga.
Namun tidak semudah hal di atas. Pertama terdapat tekanan untuk mengugurkan, diartikan sebagai tekanan power atau kekuasaan untuk tidak memberitahukan kepada publik. Ditambah jika teman terdekat yang tidak mengetahui mekanisme atau harus apa yang dilakukan jika terjadi masalah seperti itu. Ditambah jika keluarga, justru tidak mengetahui korban sesungguhnya dari pemaksaan tersebut dan cenderung menyalahkan.
Lebih parah lagi, jika korban inisiatif sendiri untuk menghubungi pihak yang memiliki otoritas, justru absen dalam melindungi korban. Tetapi pada prinsip melaporkan pada lembaga yang memiliki otoritas adalah jalan terakhir, sebelum benar-benar ‘kuat’ untuk menghadapi pelaku.
Memahami Kekerasan Seksual
Untuk memahami kekerasan seksual, mula-mula kita harus mendefinisikan kedua kata tersebut. Hal tersebut pernah dibahas dalam Artikel yang ditulis oleh Ristina Yudhanti, berjudul “Upaya Penghapusan Kekerasan Seksual terhadap Perempuan” tahun 2019.
Pertama, kekerasan. Diartikan sebagai ‘the threat, attempt, or use physical force by one ore more persons the result in phisycal or non phisycal harm to one or more other persons’.
Di sisi lain, kejahatan kekerasan diartikan juga peristiwa di mana orang secara ilegal –tanpa persetujuan- dan secara sengaja melukai secara fisik atau mengancam untuk melakukan tindakan kekerasan kepada orang lain.
Sedangkan seksual –dan juga seks sebagai kata dasar dan seksualitas sebagai kata turunannya. Menurut Indonesia AIDS Coalition (IAC), seks diartikan sebagai penamaan untuk fungsi biologis, tanpa ada hubungan atau faktor lain yang melekat kepadanya, misal Penis dan Vagina.
Sedangkan seksual, diartikan sebagai aktifitas seks, melibatkan organ tubuh lain (diluar organ seks) baik fisik atau non-fisik. Terakhir seksualitas, diartikan sebagai aspek yang menyeluruh dalam manusia, mulai dari kaitannya dengan faktor biologis, sosial, politik, juga budaya. Yang faktor tersebut berpengaruh kepada fungsi organ seks juga aktifitas seks dalam individu dan masyarakat.
Jika di gabungkan, kekerasan seksual. Kekerasan yang dilakukan dengan melibatkan faktor gender –cara pandang masyarakat terhadap jenis kelamin- terhadap sekskualitas. Misal, jika korbannya perempuan. Diartikan sebagai kekerasan terhadap perempuan –sebagai aktivitas seksualitas.
Konferensi Perempuan sedunia ke-IV di Beijing tahun 1995, menjelaskan kekerasan terhadap perempuan, melibatkan motif kekerasan diakibatkan disrkiminasi terhadap perempuan sebagai kelompok yang lemah secara sosial. Atau karena memang mereka hanya sebagai perempuan –diartikan sebagai status.
Dalam hal ke-status-an tersebut. Berakibat, perempuan di tempatkan sebagai objek. Yang kata kerjanya merupakan kekerasan secara definitif tadi. Dan subjeknya ialah laki-laki pada umumnya, dengan tambahan keterangan subjek yaitu memiliki kuasa atau dominan.
Mencegah Novia Lainnya Terjadi
Tentu mencegah di sini bukan diartikan sebagai menutupi. Tetapi melampui itu, mencegah diartikan, ketika ada korban, hal apa saja yang harus dilakukan. Atau melebihi itu, ketika akan dilakukan tindakan kejahatan (kekerasan) hal apa yang seharusnya dilakukan. Atau lebih jauh lagi, memberikan pengetahuan untuk meminimalisir tindak kekerasan tersebut.
Hal-hal pencegahan ini didapat ketika selesai berdiskusi dengan Dwi Putri Ayu Wardani sebagai pemerhati gender dalam Bicara di Instagram Kebijakan.co.id.
Sumber: Dwi Putri Ayu Wardani
Pertama, yang dilakukan untuk mencegah Novia lainnya terjadi, ialah dengan menanamkan pengetahun terkait kekerasan seksual, secara kultural –melalui keluarga atau orang-orang terdekat- dapat memanfaatkan media-media seperti sosial media, atau organisasi. Terlebih jika secara institusi, misal membuat kurikulum, atau penyuluhan di tempat kerja, kampus, organisasi, atau bahkan tingkat RT juga RW, juga desa.
Satu hal yang perlu ditanamkan ialah pengetahuan terkait perspektif korban. Yang diartikan sebagai cara pandang untuk melihat kondisi korban terlebih dahulu, apa saja tindakan kekerasan yang diterimanya, lalu dipikirkan jika kondisi tersebut terjadi kepada kita. Hal tersebut dapat dilakukan jika kita mendengarkan apa yang disampaikan korban tanpa unsur intimidatif.
Kedua, masih ada kaitannya dengan nomor satu. Yaitu melindungi korban. Baik secara, psikologis, atau secara fisik atau juga dengan menempatkan dengan lingkungan yang aman. Misal, ketika korban menceritakan kepada publik atau terdapat media atau organisasi yang memberikan informasi kepada publik.
Maka pastikan nama korban tetap aman dari ancaman pencemaran atau tuduhan yang tidak-tidak. Selain itu juga, melindungi adanya kemungkinan penyerangan terhadap fisik oleh pelaku atau pihak-pihak lainnya yang berkaitan dengan pelaku. Atau intimidasi lainnya yang dapat menyerang psikologis korban. Hal tersebut dapat dilakukan dengan memberikan tempat yang aman, baik secara psikologis juga fisik. Perlindungan tersebut, dapat melibatkan Psikiater, Pendamping, juga Psikolog, atau pihak-pihak lainnya, misal kerabat dekat yang memahami kekerasan seksual tentunya.
Ketiga, berkaitan dengan perlindungan atau bantuan hukum. Ketika memberikan bantuan hukum jika terdapat korban yang melapor atau meminta bantuan, jangan gunakan logika hukum prosedural formalistik –yang hanya patuh terhadap Undang-Undang. Tetapi juga memahami kondisi korban. Bantuan hukum tidak dapat pasif, dalam artian membiarkan korban berusaha lebih untuk mencari bukti dan berusaha menggali ingatan lamanya secara paksa, misalnya.
Tetapi diperlukan keaktifan pemberi bantuan hukum. Sehingga meminimalisir korban terlibat dalam kondisi masa lalu yang dapat menggangu psikologis atau mencari bukti dari ingatan-ingatan yang tercatat dengan menggali secara konsultatif juga komunikatif.
Dalam menggali bukti tersebut, perlu pendekatan untuk memastikan pemberi bantuan hukum tersebut mengetahui bukti yang sesuai kekerasan seksual. Misal, pemberi bantuan hukum mengetahui harus apa ketika ada korban melapor, bukti visum segera diamankan, jika belum segera dilakukan, dan pastikan setelahnya aman dari hal-hal yang dapat mengubah hasil tersebut.
Pemberi bantuan hukum, juga mendampingi untuk mencari atau memperoleh bukti-bukti lainnya yang dapat mendukung, tentu dengan pendekatan yang tidak prosuderal –dalam arti digali secara persuasif dengan melihat kondisi korban.
Keempat, dan kelima, berkaitan dengan ke-instansi-an –tetapi berpegang pada perlindungan korban.
Keempat, yaitu mengajukan draft atau rancangan bagaimana mekanisme –standar operasional- ketika terjadi kekerasan seksual di suatu instansi –baik itu tempat kerja, sekolah, kampus, organisasi bahkan tingkat RT dan RW, hingga desa. Rancangan tersebut ditunjukan agar nantinya, korban tidak bingung harus menyampaikan informasi kepada siapa. Terlebih jika informasi tersebut disampaikan kepada teman dekat –terlebih teman dekatnya tidak mengetahui apa yang harus dilakukan- lalu teman dekat tersebut mengetahui apa yang harus dia lakukan.
Mulai dari mekanisme pihak yang dapat dipercaya menerima laporan, konsultasi dan perlindungan korban, pembentukan tim investigasi (yang dapat disamakan dengan pemberi bantuan hukum dalam mencari alat bukti) yang independen, hingga kepada sanksi hingga tindak lanjut di jalur hukum. Hal tersebut misalnya sudah diusulkan dalam Universitas Indonesia berbentuk buku saku SOP Penanganan Kekerasan Seksual.
Terakhir, yang kelima. Ialah kemauan politik (political will) dari setiap instansi. Kemauan politik merupakan langkah paling akhir juga sebagai simbol dalam mencegah juga memberantas kekerasan seksual. Tanpa adanya kemauan politik dari instansi maka akan sulit.
Kemauan politik di sini, dapat didorong dari struktur paling atas dan dorongan dari struktur paling bawah. Dari atas misalnya, pimpinan memiliki kewenangan untuk membuat kebijakan memberikan ruang aman, juga perlindungan jika terdapat adanya korban, dan pengungkapan jika terjadinya kekerasan. Dari bawah misalnya, para pihak yang terlibat dalam instansi tersebut, mendorongnya adanya hal-hal di atas untuk dilakukan oleh pembuat kebijakan tadi.