Syafii Maarif, Muslim Progresif, dan Hal yang Senang-Sedih di Salihara


Kebijakan.co.idLiputan Pendek

Adi Fauzanto-6 Juli 2022 (20.00 WIB)-#43 Paragraf
Syafii Maarif, Muslim Progresif, dan Hal yang Senang-Sedih di Salihara

***

Jakarta, Kebijakan.co.id — Suasana mendung menjelang ashar di Selatan Jakarta, 5 Juli 2022, di tempat yang dulu sempat ‘digrebek’ oleh organisasi yang mengatasnamakan Islam lalu menolak salah satu diskusi, serpihan cerita di tahun-tahun kelam akan kondisi konservatisme agama –dan sepertinya berlanjut hingga sekarang.

Tepatnya di Salihara Art Center, di salah satu ruangan yang memang dikhususkan untuk panggung dengan tribun disisi-sisinya. “Tempatnya sangat indah.” Begitu ucapan hampir seluruh pembicara yang ada.

Agenda kuliah untuk mengenang Syafi’i Maarif yang berpulang 40 hari lalu, diisi oleh Amin Abdullah, yang merupakan anggota Dewan Pengarah BPIP (Badan Pembinaan Ideologi Pancasila) yang baru dilantik.

Kuliah yang renyah hampir seperti stand up comedy namun tetap bernas ini, dibuka oleh Direktur Maarif Institute, Abdul Rahim Gazali. Menurutnya acara pada awalnya ditunjukan untuk merayakan ulang tahun Syafi’i Maarif ke 87 di bulan Mei. Namun keadaan berkata lain. Lanjutnya, “Mudah-mudahan (acara ini) di tahun depan kita bisa melaksanakan hal serupa.”

Setelah sambutan Direktur Maarif Institute, dilanjutkan Ade Armando sebagai penggagas PIS (Pergerakan Indonesia untuk Semua) –yang merupakan penyelenggara bekerjasama dengan Maarif Institute dan BPIP-, yang dikenal cukup kritis terhadap Islam yang konservatif, memberikan gambaran tentang Syafi’i Maarif sebagai sosok yang komplit.

“Dia (Syafi’i Maarif) adalah pendukung Pak Jokowi, tentu saja, pendukung pemerintah, pada saat yang sama dia juga seorang kritikus terhadap pemerintah, tidak dengan cara menyakitkan, tetapi tetap tajam.”

Tidak perlu dipertanyakan lagi kekritisan Syafi’i Maarif, menurut Saya –Jurnalis Kebijakan.co.id- sejauh yang saya baca artikel terkait anti-korupsi. Hampir tidak ada yang berani menulis dengan judul menohok seperti yang ditulis Syafi’i Maarif, berjudul Republik Sapi Perah (2021) di Harian Kompas.

Judul yang luar biasa menggambarkan kondisi negara ini, di saat hanya segelintir orang yang menikmati hasil perahan sumber daya alam di Indonesia, layaknya sapi yang terus diperah.

“Tidak ada yang menandingi Buya ketika berbicara (dan menulis), karena (gaya) bahasanya bahasa Minang, tepat dan kena,” menurut Amin Abdullah, sambil tertawa melihat audiens yang rata-rata penulis, namun tidak seberani Syafi’i Maarif.

Tetapi tidak hanya tajam dalam kata-kata juga tulisan. Jika tidak dipraktikan dalam kehidupan sehari-hari maka akan omong kosong. Seperti yang selalu di katakan Syafi’i Maarif, “Jangan memuja-memuja Pancasila, tetapi menghkhianatinya dalam praktik kehidupan sehari-hari.

Di akhir sambutan Ade Armando, saat turun dari panggung, ada hal terlupa dan cukup jenaka yang membuat kondisi ruangan tertawa, “Saya lupa satu hal, dia (Syafi’i Maarif) orang Sumatra Barat.” Sontak tertawa kondisi ruangan Salihara. Yang memang terkenal Sumatra Barat akan ‘syari’at Islam’ yang kaku. Dan ditegaskan di kuliah Amin Abdullah, “Ini Sumatra Barat, tapi jenis lain.”  

Selanjutnya sambutan oleh Goenawan Mohamad, membuka sambutanya sebagai pengelola Salihara. Sosok pendiri Tempo ini mengaku, tidak mengenal begitu dekat dan kenal benar dengan Mas Syafi’i Maarif –sebutan Goenawan Mohamad untuk Syafi’i Maarif- juga tidak pernah duduk berdua untuk bertukar pikiran atau sekedar sanda gurau. Hanya satu waktu dia ingat, ketika Syafi’i Maarif berpapasan dengan tulisannya terkait Al-Ghazali.

GM –sapaan Goenawan Mohamad- berkilah bahwa telaah dirinya atas Al-Ghazali hanya berdasar sumber kedua bukan dari teks aslinya seperti Kitab Ihya Ulumuddin, “Tidak sebanding apa yang dilakukan oleh Ulil Abshar Abdalla dalam Pengajian Ihya Ulumuddin, Ulil menguasai bahasa arab klasik maupun kontemporer. Disusul dengan celetukan, “Sedang bahasa arab saya terbatas bismillahirrahmanirrahim,” sontak tawa seluruh isi ruangan Salihara.

Memang biasa GM bercanda –yang akan berbeda dalam setiap tulisannya di Catatan Pinggir yang reflektif dan penuh dengan pertanyaan-pertanyaan menggugah dan rujukan yang luas.     

Akan tetapi kondisi itu tak berunjung lama. Tiba-tiba kondisi hening, GM tanpa kata-kata diam sejenak. Sebelumnya dia mendengar tindak tanduk akan sosok Mas Syafii Maarif, begitu zuhud dan melakukan ‘puasa abadi’ begitu kata GM. Kedua jarinya sontak menuju hidung dan mulutnya, terseguk. “Ia (Syafi’i Maarif) minta dimakamkan di pemakaman Muhammadiyah yang bersahaja. Meskipun dia berhak untuk dimakamkan di Taman Makam Pahlawan.”

Ia (Syafi’i Maarif) minta dimakamkan di pemakaman Muhammadiyah yang bersahaja. Meskipun dia berhak untuk dimakamkan di Taman Makam Pahlawan.

Goenawan Moahamad

Sosok penulis sekaligus mantan jurnalis Tempo yang telah menulis 4 juta kata –menurut Rizal Malaranggeng– mulai dari puisi, esai, dan novel ini, tidak sanggup melanjutkan kata-katanya dengan kondisi yang begitu haru.

Mungkin momen ini jarang sekali terlihat ketika GM menangis, berbeda ketika dia membela Tempo sebuah media yang dibangunnya dibredel oleh rezim Soeharto. Atau membela Komunitas Salihara yang sedang asik berdiskusi lalu dibubarkan Polisi atas permintaan masyarakat yang mengatas namakan Islam yang dengan kasar menolak proses olah pikir bersama.

“Sudah sulit akan meneruskan setelah mendengar Mas Goenawan tadi itu, sudah runtuh saya.” Kata Amin Abdullah di awal kuliahnya.

Goenawan Mohamad ketika sambutan sebagai pengurus Salihara Art Space
Goenawan Mohamad ketika sambutan sebagai pengurus Salihara Art Space (Ketika Goenawan Mohamad menangis/Adi/Kebijakan.co.id)

Layaknya Mohamad Hatta yang menolak dimakamkan di Taman Makam Pahlawan (TMP), “Saya ingin dekat dengan rakyat.” Begitu kata anaknya di acara Mata Najwa yang juga tercatat dalam buku biografi Mohamad Hatta.

Sama dengan Syafi’i Maarif, “Saya nanti kalau di situ jauh dari rakyat,” cerita Amin Abdullah tentang perkataan Syafi’i Maarif yang menolak di makamkan di TMP. Ada banyak kesamaan kedua tokoh Minang ini, antara Hatta dan Syafi’i Maarif.

Atau cerita Mohamad Hatta tentang menolak jabatan komisaris dan hidup dari menulis dan mengajar. Persis seperti cerita Zen RS di Tirto.Id yang menceritakan gurunya –Buya Syafii- di Universitas Negeri Yogyakarta, dengan ceritanya mengambil honorarium dari menulis, adalah sebuah kenikmatan seorang penulis kata Syafi’i Maarif, yang seharusnya bisa saja ia menjadi komisaris di salah satu BUMN dengan jabatan mentereng dan relasinya yang luas kala itu.

Sambutan dilanjutkan dengan Rikard Bagun dari BPIP. Dia yang merupakan mantan wartawan Kompas mengaku sering diajak berdiskusi dengan Syafii Maarif oleh Jakob Oetama di Palmerah, Kantor Kompas.

Dia menceritakan bahwa Pendiri Kompas ini sangat kagum dengan Syafi’i Maarif, “Wah, mestinya pemimpin kita (Negara Indonesia) seperti ini, sayang yah, dia ini pikirannya mencerahkan dan keteladannya luar biasa,” ucapnya setelah setiap selesai diskusi dengan Syafi’i Maarif selesai kepada Rikard Bagun.

Sosok Jakob Oetama –pendiri Kompas bersama P.K Ojong- juga turut andil dalam misi penyebarluasan gagasan Syafi’i Maarif, cerita Amin Abdullah. Yaitu dengan ikut meminjamkan rumah di Tebet untuk kantor Maarif Institute, karena kasihan jika gagasan besar tidak ada wadah kantornya. Sebelum meninggal, Kompas ditahun 2018 akhirnya menghibahkan rumah tersebut untuk Maarif Institute.

Muslim Progresif

Amin Abdullah ketika kuliah umum di kegiatan Maarif Institute
Amin Abdullah ketika memberikan kuliah umum yang diadakan Maarif Institute(Kuliah Bernas Amin Abdullah/Adi/Kebijakan.co.id)

Di kuliah yang ditulis secara serius oleh Amin Abdullah yang juga Guru Besar UIN Yogya, dan menjamin kemendalaman materi, “Saya serius menulis ini, Ada 4-5 pekerjaan saya tunda semua, untuk menulis ini,” jamin Amin Abdullah. “Ini kalau tidak ditulis dengan bagus, sulit dipahami generasi Millenal, maka ke mana Indonesia kita?” tutup Amin Abdullah.

Ia beri judul Buya Ahmad Syafi’i Maarif, Muslim Progresif, Faithful Patriotisme, dan Pembela Pancasila.

Kuliah dibuka dengan celetukan-celetukan dari Amin Abdullah –bahkan hingga akhir- yang membuat suasana diruangan tetap hangat namun tetap mendapat masukan yang sangat penting akan sosok Syafi’i Maarif.

Di awal Amin menceritakan sosok Syafi’i Maarif, menurut Mustofa Bisri yang dikenal dengan sapaan Gus Mus, bahwa Syafi’i Maarif merupakan Wali Allah, “Wali itu yang tidak punya rasa takut dan tidak punya rasa gentar.”  

Syafi’i Maarif dengan segala pergumulan dan kegelisahan, dan terpotret dalam tindak tanduk Syafi’i Maarif. “Beliau bisa mengatur dalam satu tarikan nafas antara Keislaman atau Keagamaan, Keindonesiaan dalam arti kebangsaan, sekaligus Kemanusiaan Universal.”

Dia menggaris bawahi 3 hal. Pertama, Muslim Progresif. Kedua, Faithful Patriotism yang merupakan sanggahan atas muslim yang ‘Religius yang Demokrat’. Ketiga, ialah Pembela kemanusiaan.

Dimulai dari Muslim Progresif, “Buya itu gelisah sekali tentang 3 benturan peradaban.” Peradaban ilmu-ilmu agama abad pertengahan, “Fiqh, qalam, dan sebagainya.” Lalu peradaban modern, “Bagaimana (soal-soal) politik, sosial, budaya, ekonomi, kapitalisme. Lalu peradaban post-modern, ada Hak Asasi Manusia, Pluarisme, Hak Minoritas.”   

Di antara benturan 3 zaman, “Buya tidak memengerangi orang lain, tapi memerangi diri sendiri.” Dari benturan 3 zaman itu juga melahirkan banyak jenis Muslim, dari muslim konservatif garis keras, muslim liberal, “Nah yang ketiga ini, Muslim Progresif,” ucap Amin Abdullah. “Jangan diam! Suarakan!” mencontohkan perkataan Syafi’i Maarif sebagai ciri Muslim Progresif.

Amin Abdullah menyarankan membaca buku-buku tentang What is Progressive Muslim. Salah satunya, Omid Safi dengan judul bukunya Progressive Muslim on Justice, Gender, Pluralism. “Itu seharusnya buku wajib dalam pendidikan agama di tanah air.. saya bermimpi kalau di perguruan tinggi mestinya yang seperti ini,” Gelisah Amin Abdullah. “Inilah mengapa terjadi radikalisme di kampus-kampus karena pelajaran agamanya masih Low Order of Thinking (LOTS) bukan High Order of Thinking (HOTS) seperti Buya Syafi’i Maarif.”

Inilah mengapa terjadi radikalisme di kampus-kampus karena pelajaran agamanya masih Low Order of Thinking (LOTS) bukan High Order of Thinking (HOTS) seperti Buya Syafi’i Maarif.

Amin Abdullah

Seperti apa yang dikatakan oleh Muhammad Al-Fayyadl dalam artikel Apa Itu Islam Progresif? (2015). Islam Progresif berbeda dengan liberalisme Islam, tidak tertarik semata-mata pada ide-ide pembaharuan Islam, tetapi juga pada penerjemahanya dalam tindakan nyata, dan konsistensi tindakan dari tuntutan masyarakat atau masalah-masalah yang nyata yang dihadapi masyarakat.

Islam progresif tidak semata-mata memikirkan penyegaran wacana dan pencerahan intelektual, tetapi juga pencerahan kondisi-kondisi kehidupan masyarakat. Islam progresif melakukan kritik terhadap konservatisme islam dan otokritik terhadap liberaisme islam yang cenderung mempercayai bahwa gagasan pembaharuan Islam sudah cukup, tanpa menjelaskan keterpurukan dan krisis yang dihadapi umat Muslim.

Islam progresif tidak semata-mata memikirkan penyegaran wacana dan pencerahan intelektual, tetapi juga pencerahan kondisi-kondisi kehidupan masyarakat.

Muhammad Al-Fayaddl

Akhir Kuliah

Diakhir acara, secara mendadak diberikan kesempatan untuk penanggap. Dari mantan Menteri Agama, Komisioner Komnas Perempuan, dan Wakil Menteri ATR/BPN.

Mantan Menteri Agama, Lukman Hakim, yang menceritakan bahwa ditunjuknya Amin Abdullah sebagai anggota Dewan Pengarah BPIP yang baru adalah rekomendasi dari Syafi’i Maarif di akhir tugas yang diembannya di BPIP.

Dilanjutkan dengan Prof. Alimatul Qibtiyah, yang juga sebagai Komisioner Komnas Perempuan. Dia menekankan, bahwa semua harus melanjutkan perjuangan Syafi’i Maarif, terutama untuk perempuan.

Dia menceritakan, Syafi’i Maarif memperhatikan dengan jelas bahwa Taliban membatasi pendidikan untuk perempuan. “Jangan diam, bicara!”. Selain itu dia mengajak untuk terus mengamalkan Al-Quran, “Al-Quran, harus punya kaki tangan untuk melihat realitas.” Di akhir dia mengucapkan terimakasih, setidaknya ada perwakilan perempuan untuk berbicara.  

Terakhir, Raja Juli Antoni, yang juga lama mendampingi Syafi’i Maarif ketika menjadi Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah di tahun 2000 awal.

Ia menceritakan kekagumannya atas Buya yang berprinsip berjarak dengan uang -dalam arti tidak bisa disuap. “Itu yang saya rasakan sekarang,” diceritakannya dalam kondisi baru dilantik menjadi Wakil Menteri Agraria Tata Ruang dan Badan Pertanahan. Sontak seisi ruangan tertawa. “Ngeri, ngeri, ngeri,” sambung Raja Juli Antoni. Menggambarkan kondisi suap-menyuap dalam pemerintahan.

Kondisi bahagia ini cepat berlalu, ketika Ia menceritakan kondisi sulitnya Buya ketika menemupuh pendidikan dan kondisi 2 anaknya yang meninggal, dan tidak membalaskan dendamnya ketika kesempatan begitu terbuka untuk Syafi’i Maarif dalam posisi yang bisa saja ia lakukan untuk bermewah-mewahan. Membuat suasana di ruangan kembali haru dari cerita kesederhanaan Syafi’i Maarif dan pikirannya yang luar biasa.

Yang memang diceritakan sebelumnya oleh Amin Abdullah setelah berbicara kepada istri Syafi’i Maarif, “Kita hanya mengenal Buya Syafi’i Maarif di 20 tahun terakhir ini.”

Sisa dari ketidaktahuan akan Syafi’i Maarif, dia harus berjuang dari kesusahan kondisi yang ada dan kemauannya menjawab segala pertanyaan di kepala nya dengan menempuh pendidikan di Amerika Serikat, lalu bertemu pemikir hebat sekaliber Fazlur Rahman.

Ini adalah jawaban atas keteguhan pendirian sikapnya, keberpihakannya terhadap yang lemah dan minoritas, serta pikirannya yang luar biasa mencerahkan.

e-paper
Adi Fauzanto
Diterbitkan: Senin, 6 Juli 2022
Pukul: 20.00 WIB
Jurnalis: Adi Fauzanto  
Daftar Bacaan:      
• Amin Abdullah. 2022. Buya Ahmad Syafi’i Maarif, Muslim Progresif, Faithful Patriotisme, dan Pembela Pancasila. Materi Seminar Syafii Maarif Memorial Lecture  Zen RS. 2016 Tulang Punggung Syafii Maarif. Tirto.Id Anom Wani Whicaksana. 2017. Mohamad Hatta, Hidup Jujur dan Sederhana untuk Indonesia. C-Klik Media: JakartaAhmad Syafii Maarif. 2021. Republik Sapi Perah. Kolom Kompas.idDiskusi Membicangkan Pembentuk Sejarah: Pilihan Tulisan Goenawan Mohamad. Penerbit Kompas Gramedia 
 Muhammad Al-Fayyadl. 2015. Apa Itu Islam Progresif?. Kolom Islam Bergerak