Terancamnya kesehatan warga di pinggiran kali yang menggunakan air tercemar, ditambah Pemerintah yang tidak tegas, dan perusahaan nakal ada di baliknya.
Terancamnya kesehatan warga di pinggiran kali yang menggunakan air tercemar, ditambah Pemerintah yang tidak tegas, dan perusahaan nakal ada di baliknya.
***
Bekasi, Kebijakan.co.id — Sore hari itu (12/09/2023) setelah bertemu dengan Andre, Petugas Operator Bendungan Kali Lemahabang, Jurnalis Kebijakan.co.id menyaksikan secara langsung, anak kecil mengusap wajah mukanya dengan air Kali Lemahabang yang hitam dan berbau tidak sedap, terlebih beberapa meter di depannya terdapat tumpukan sampah yang menumpuk terhalang jaring.
Terkait dengan anak-anak ini, juga dikonfirmasi oleh Pengawas Operator Bendungan di Kabupaten Bekasi –termasuk di dalamnya Kali Lemahabang— di bawah Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bekasi, Sahrudin kepada Kebijakan.co.id (15/09/2023), yang mengaku kasihan dengan kondisi anak-anak di sekitar, “Kami (pengelola bendungan) juga riskan (kasihan), apalagi ada anak-anak yang mandi, dengan kondisi air yang seperti ini.”
Selain itu juga dikonfirmasi oleh Peneliti Pusat Riset Lingkungan dan Teknologi Bersih, BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional), Ikbal (Dr. Ir. M.Eng) kepada Kebijakan.co.id (11/09/2023), yang menjelaskan bahaya ikan atau binatang lainnya yang dikonsumsi dari sungai yang tercemar oleh masyarakat sekitar, “Terutama (kepada) anak kecil, yang daya tahan tubuhnya masih kurang, termasuk ibu hamil, ibu menyusui, (mungkin) ibunya tahan (terhadap polutan) tapi anaknya tidak, karena polutan itu bisa tersimpan air susu.”
Selain anak kecil yang mengusap wajahnya dengan air yang tercemar, Jurnalis Kebijakan.co.id juga menyaksikan secara langsung air kali tersebut digunakan untuk menyuci pakaian dan mencuci alat makan yang umumnya dilakukan ibu-ibu.
Mereka adalah bagian dari masyarakat rentan, yang tinggal di desa-desa terdampak tercemarnya Kali Lemahabang. Jika dilihat secara geografis, Kali Lemahabang melintasi setidaknya 4 desa terdampak. Di antaranya, Desa Karangraharja, Desa Waluya, dan Desa Karangrahayu, ketiga desa ini termasuk dalam Kecamatan Cikarang Utara.
Sedangkan 1 desa lainnya berada di utara desa sebelumnya yang juga terdampak yaitu Desa Sukakarya, yang berada di Kecamatan Sukakarya.
Tentu, ini dihitung dari masyarakat yang paling rentan terdampak, yaitu anak. Belum lagi orang tua (ibu dan bapak), termasuk lanjut usia, dan dewasa.
Terancam Kesehatan Masyarakat
Tercemarnya air yang buruk, berpotensi menimbulkan masalah kesehatan. Dilansir dari HelloSehat.com yang telah ditinjau Mikhael Yosia (dr. BMedSci, PGCert, DTM&H) beberapa penyakit yang diakibatkan dari air yang tercemar di antaranya: Diare, Demam Berdarah, Tifus, Kolera, Hepatitis A, Disentri, dan Infeksi Mata.
Beberapa pernyakit tersebut dikonfirmasi oleh Diah Satyani Saminarsih, Direktur Eksekutif CISDI (Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives) –sebuah lembaga riset yang berfokus pada pembangunan sektor kesehatan dan sistem kesehatan— kepada Kebijakan.co.id (11/09/2023).
Diah mengatakan, “Masyarakat yang terpapar air sungai tercemar bisa mengalami gatal-gatal, kolera, diare, skabies, tipes, demam, hingga hepatitis A.” Itu secara jangka pendek, secara jangka panjang menurutnya, “dapat memicu kerusakan sistem saraf, kanker, infeksi berulang pada anak dapat menghambat pertumbuhan anak dan berkontribusi pada stunting.”
Dari beberapa penjelasan tersebut, terkonfirmasi melalui Profil Kesehatan Kabupaten Bekasi Dinas Kesehatan Kabupaten Bekasi pada tahun 2018 hingga 2022, yang menunjukan penyakit paling banyak diderita masyarakat Kabupaten Bekasi, dipengaruhi oleh lingkungan hidup yang buruk, di antaranya: Infeksi Pernafasan Atas Akut (ISPA), Diare, dan Penyakit Kulit.
Dalam Profil Kesehatan Kabupaten Bekasi juga tercatat bahwa penyakit diare didominasi oleh kasus yang menimpa balita dibandingkan semua umur. Data tersebut menunjukan bahwa balita merupakan individu paling rentan terdampak diare akibat lingkungan yang buruk.
Hal tersebut tentu ada sangkut pautnya dengan tercemarnya air yang digunakan masyarakat sehari-hari.
Hal tersebut dikonfirmasi oleh Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Bekasi, Alamsyah saat ditemui Kebijakan.co.id (11/09/2023), ketika ditanya terkait pencemaran limbah di Kali Lemahabang, ia sudah mengantisipasi peristiwa ini terkait dengan kebutuhan air masyarakat, “Ini kekeringan (secara umum tidak terjadi hujan) bagaimana penyakit yang bisa muncul kalo masyarakat mengkonsumsi air yang tidak sehat,”
Alamsyah mengatakan dalam hal ini Dinas Kesehatan melakukan, “Minggu yang lalu, di hari kamis, kami mengumpulkan petugas survei kesehatan dan petugas ISPA-Diare terkait dengan bagaimana edukasi sosialiasi terkait kekeringan, terkait dengan konsumsi air yang tidak layak,” ucap kepala dinas yang juga sebagai dokter tersebut.
Secara umum, diare sendiri secara pengertian dikutip dari Hellosehat yang ditinjau Andreas Wilson (dr.), ialah gangguan pencernaan yang ditandai dengan buang air besar encer tiga kali atau lebih dalam sehari akibat keracunan makanan, infeksi virus, atau pencernaan yang sensitif.
Salah satu penyebabnya menurut Halodoc yang ditinjau oleh Rizal Fadli (dr.), Infeksi Escherichia Coli (E.Coli) atau Salmonella akibat makanan atau minuman yang tidak steril atau telah terkontaminasi.
Beberapa wabah E.Coli juga berkaitan dengan ketersediaan air yang terkontaminasi. Selain itu penyebab lainnya, terjadi di masyarakat yang tidak memiliki sanitasi air dan makanan memadai.
Beberapa faktor yang memperparah ialah terkait usia, bahwa anak kecil dan lanjut usia beresiko tinggi terkena penyakit akibat E.Coli.
Untuk menghindar dari bakteri E.Coli yang menyebabkan diare ini, masyarakat perlu mencuci tangan hingga bersih dengan menggunakan air bersih sebelum memasak, menyajikan, atau mengonsumsi makanan.
Selain itu masyarakat perlu memperhatikan alat masak dan alat makan, dengan menghindari alat yang kotor dengan mengupayakan memakai peralatan masak dan peralatan makan yang bersih. Lalu, dianjurkan masyarakat sering mencuci tangan terutama setelah berada di lingkungan publik yang kotor dan setelah keluar dari toilet.
Hal tersebut juga dikonfirmasi oleh Profil Kesehatan Kabupaten Bekasi, gejala diare sering terjadi pada anak-anak, terutama di daerah dengan sanitasi dan kebersihan yang buruk.
***
Penyakit diare tersebut diperparah dengan data Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) Tahun 2022 di desa-desa terdampak Kali Lemahabang.
Data tersebut menunjukan masih terdapat keluarga yang memiliki sanitasi yang buruk sebanyak 1419 keluarga. Ditambah masih terdapat kondisi pembuangan akhir masyarakat secara sembarangan, baik yang tertutup berjumlah 483 keluarga, dan yang terbuka 2117 keluarga.
Dalam hal ini diperlukan lagi jumlah tenaga lingkungan atau sanitarian kepada desa-desa terdampak. Kabar baiknya, jumlah sanitarian Kabupaten Bekasi secara keseluruhan meningkat dari tahun 2018 hingga tahun 2022.
Fasilitas dan Program Kesehatan
Dari jumlah kasus diare yang meningkat dari tahun ke tahun tersebut, juga perlu dilihat akses terhadap fasilitas kesehatan di sekitar desa terdampak.
Mulai dari puskesmas, klinik, bidan (kesehatan umum). Kebijakan.co.id mencari tahu akses masyarakat di desa terdampak terhadap jumlah fasilitas kesehatan dengan menggunakan data terbuka Google Maps.
Kebijakan.co.id menemukan ketimpangan akses yang terjadi di antara satu dengan lainnya, perlu diperhatikan pemerintah dan pihak-pihak pemerhati kesehatan. Dalam hal ini secara umum, Profil Kesehatan Kabupaten Bekasi juga memiliki data terkait fasilitas kesehatan di lingkup Kabupaten Bekasi.
***
Dari akses terhadap fasilitas kesehatan tersebut, selanjutnya diperlukan program khusus terkait dengan kebutuhan kesehatan masyarakat.
Menurut Diah Satyani Saminarsih, Direktur Eksekutif CISDI kepada Kebijakan.co.id (11/09/2023), mengatakan, “Puskesmas semestinya giat melakukan penyuluhan dan atau memberikan edukasi kepada masyarakat.” Selain itu menurutnya, “puskesmas juga rutin melakukan pemantauan dan pemeriksaan kualitas air bersih di wilayah kerjanya, serta bekerja sama dengan masyarakat mengkampanyekan pentingnya kesehatan lingkungan.”
Pemerintah dalam hal ini melalui Dinas Kesehatan, menurut Alamsyah kepada Kebijakan.co.id (11/09/2023) saat ditemui langsung menjelaskan, “Ini secara struktur ya, bahwa intervensi yang dilakukan Dinas Kesehatan itu (terhadap masalah lingkungan hidup).”
Di antaranya, pertama, sosialisasi dan edukasi terkait dengan kondisi air yang tidak sehat ketika terjadi kondisi kekeringan, “itu rutin dilakukan Puskesmas, di setiap minggon (rapat mingguan desa) desa maupun rapat mingguan kecamatan,” jelas Alamsyah. Lalu, mengumpulkan petugas kesehatan lingkungan untuk melakukan edukasi ke masyarakat.
Kedua, bekerjasama dan berkoordinasi antar lembaga pemerintah daerah dan lintas sektor yang lain untuk mengajak agar masyarakat menjaga lingkungan. Ketiga, mengadakan puskesmas keliling, untuk memeriksa kesehatan masyarakat secara langsung.
Namun dari ketiga hal tersebut Dinas Kesehatan menurut Alamsyah, hanya berfokus kepada individu baik pencegahan untuk tidak menggunakan air yang tercemar maupun tindakan kesehatan terhadap individu. Tidak sampai kepada limbahnya, “berbeda kewenangan (dengan DLH), akan tetapi tetap satu atap saling berkoordinasi,” ucap Alamsyah.
Kantor Dinas Kesehatan Bekasi (Adi/Kebijakan.co.id)
Dalam hal ini perusahaan atau industri yang membuang limbah ke Kali Lemahabang juga perlu bertanggung jawab terhadap kesehatan masyarakat. Menurut Diah Satyani Saminarsih, Direktur Eksekutif CISDI kepada Kebijakan.co.id (11/09/2023), “Sektor swasta dapat membantu dalam melakukan skrining kesehatan.”
Hal tersebut juga bisa dilakukan dalam menghitung kerugian warga akibat dari limbah yang ditimbulkan dengan biaya ke berobat ke rumah sakit, klinik, dan puskesmas. Seperti yang dilakukan WALHI Jawa Barat untuk menghitung valuasi ekonomi kerugian yang dialami masyarakat karena pencemaran limbah di anak Sungai Citarum, Sungai Cikijing.
“Kalau kami (WALHI Jawa Barat) sendiri pernah menghitung valuasi ekonomi dari pencemaran limbah industri (di Sungai Cikijing),” kata Meiki, Direktur Eksekutif WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) Jawa Barat kepada Kebijakan.co.id (6/09/2023) .
Pendidikan Kesehatan Lingkungan
Langkah preventif lainnya yang dilakukan ialah dengan melakukan pendidikan lingkungan kepada masyarakat, khususnya kepada anak-anak.
Menurut Diah Satyani Saminarsih, Direktur Eksekutif CISDI kepada Kebijakan.co.id (11/09/2023), “Sebagai edukasi kepada masyarakat, pemerintah bisa mencoba menambahkan kurikulum Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH) sebagai pelajaran wajib sejak usia dini.”
Hal tersebut juga disetujui oleh Ghina Afifah, Pemerhati sekaligus Praktisi Pendidikan Lingkungan yang juga bergiat di Kader Hijau Muhammadiyah Komite Malang Raya, Ia menjelaskan kepada Kebijakan.co.id (07/09/2023), “Bisa dimasukan ke kurikulum mata pelajaran wajib.”
Ghina Afifah (KHM Komite Malang Raya)
Ia mencontohkan dengan kondisi pendidikan di luar negeri, “Kalau di luar negeri (Australia), materi tentang lingkungan sudah masuk ke mata pelajaran geografi bahkan dari TK melalui praktek sederhana sehari-hari. Kalau untuk SD, salah satu yang dipelajari adalah tentang jejak karbon.”
Jika dilihat kembali ke Indonesia, menurut Ghina, “mungkin kalau mau dimasukan ke kurikulum (Indonesia) butuh waktu lama, jadi bisa dimulai lewat ekskul rutin setiap pekan.”
Selain itu tantangannya dari tenaga pendidik, menurut Ghina, “Mulai menyediakan fasilitas yang memudahkan murid untuk menerapkan aktivitas peduli lingkungan (seperti menyediakan galon isi ulang, tempat pemilahan sampah, kantin bebas kantong plastik, dll).”
Dalam hal ini Kebijakan.co.id, mendata sekolah-sekolah di sekitar Desa terdampak pencemaran Kali Lemahabang menggunakan Google Maps. Kebijakan.co.id juga sudah memohonkan surat wawancara kepada salah satu sekolah di bantaran Kali Lemahabang, namun sampai saat ini surat tersebut belum mendapatkan respon (12/09/2023).
Dalam hal ini Dinas Kesehatan, juga sudah melakukan intervensi kepada kesehatan di sekolah, Alamsyah mengatakan, “Termasuk, ketika di sekolah, (Dinas Kesehatan) melakukan penjaringan di sekolah (melalui Puskesmas) maupun kunjungan UKS (Unit Kesehatan Siswa) dan itu terintegrasi pekerjaannya,” Selain itu, “Di Sekolah itu ada kader kesehatan, ada itu dokter kecil, ada tenaga UKS siswa.”
Selain di dalam kurikulum sekolah, perlu juga pendidikan lingkungan ditanamkan di dalam keluarga atau luar sekolah, menurut Ghina Afifah kepada Kebijakan.co.id (07/09/2023), terkait hal ini, “yang pertama sebetulnya anak-anak harus dipahamkan terkait efek buruk dari lingkungan yang tercemar. (Sehingga menimbulkan pertanyaan) apa yang akan terjadi kedepannya, siapa yang terdampak.”
Selain itu menurut Ghina, “Mereka juga harus dipahamkan, apa yang menyebabkan lingkungan mereka tercemar. Sehingga mereka bisa memulai kegiatan mitigasi.”
Dengan pendidikan seperti itu menimbulkan kesadaran dan budaya bersih sejak dini, yang nantinya berefek jangka panjang, baik itu di masyarakat, pemerintah, maupun perusahaan industri.
“Kesehatan merupakan aspek penting kehidupan, mereka harus menjadi tanggung jawab seluruh pihak. Tidak terkecuali Pemerintah yang memiliki kewenangan besar untuk memelihara kesehatan warganya dari penyakit yang ditimbulkan limbah perusahaan.”
Terancamnya kesehatan warga di pinggiran kali yang menggunakan air tercemar, ditambah Pemerintah yang tidak tegas, dan perusahaan nakal ada di baliknya.
***
Bekasi, Kebijakan.co.id – Suram. Ialah kata pertama yang pantas menggambarkan kondisi Kali Lemahabang (biasa disebut juga Cilemahabang) di Kabupaten Bekasi. Bertahun-tahun –terhitung sejak 2016— hingga saat ini (16/09/2023) sejauh pengamatan Jurnalis Kebijakan.co.id.
Masyarakat dibiarkan hidup berdampingan dengan limbah yang bau nan hitam pekat di salah satu kali –yang juga menjadi sumber kehidupan akan kebutuhan air— di daerah industri terbesar se-Asean. Perusahaan dan khususnya Pemerintah terkesan lepas tangan membiarkan limbah tersebut ada.
Sore hari (4/9/2023) dengan menggunakan sepeda motor, Jurnalis Kebijakan.co.id menyusuri jalan untuk pertama kalinya menuju Kali Lemahabang, dengan pemandangan yang timpang antara Grand Cikarang City –sebuah perumahan elite beserta jajaran ruko mewah— dan penduduk di sepanjang Kali Lemahabang, tampak seperti cuplikan film Parasite (2019) dengan kondisi yang persis berdampingan di Desa Karangraharja.
Bertemu dengan pemancing –yang memancing di air yang tercemar—, pemuda yang sedang mencuci sepeda motornya memanfaatkan air kali yang tercemar, beberapa masyarakat yang membersihkan diri menggunakan air yang tercemar, terlebih anak-anak yang berlarian di sepanjang jalan pinggir Kali Lemahabang. Pertanyaan yang muncul di benak pertama kali, mulai dari kapan Kali ini tercemar?
Bendung Kali Lemahabang (Adi/Kebijakan.co.id)
Mulai Tercemar
Jurnalis Kebijakan.co.id meilipir untuk membeli makan di sebuah warung, yang tampak airnya untuk mencuci piring, air tanah tersebut bercampur dengan limbah, walau masih terlihat bening. “Ini parahnya sudah 2 tahun terakhir,” cerita Ibu pemilik warung tersebut kepada Kebijakan.co.id (4/9/2023), “dulu sih pernah bersih, kalau itempun tidak lama, mulai parah pas covid-covid itu.” Ibu itu merupakan salah satu warga Desa Karangraharja yang tinggal di bantaran Kali Lemahabang.
Terkait dengan Kali yang sempat bersih, diceritakan juga oleh warga Desa Waluya, Rosiadi, yang sebelumnya juga tinggal di Desa Karangraharja selama 10 tahun.
Ia bercerita sembari melihat motor lalu lalang di samping Bendungan Kali Lemahabang. “Waktu dulu begini (tercemar), sempet didemo,” akhirnya, “sempat bersih pas waktu almarhum (Bupati Kabupaten Bekasi, Eka Supria Atmaja) masih hidup tuh, bersih itu, sampe ada seminggu, sampe bersih bener, nah setelah meninggal (di tahun 2021) (lalu) ganti (kepemimpinan), begini lagi (tercemar sampe sekarang),” cerita Rosiadi kepada Kebijakan.co.id (9/9/2023).
Jika dilihat lagi secara spasial, dari Google Earth mencatat Februari 2019 tidak tercemar dan berwarna coklat dan 2021 mulai menghitam (hijau kehitaman).
Dari keterangan Rosiadi dan keterbatasan Google Earth belum secara jelas menceritakan dan menampilkan awal mula tercemar. Untuk mencari tahu mulai dari kapan, Kebijakan.co.id mewawancarai Pengelola Bendungan Kali Lemahabang di bawah Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bekasi, “Ini sejak saya dipindahkan ke sini (Bendungan Kali Lemahabang), tahun 2018,” Kata Andre, petugas Operator Kali Lemahabang kepada Kebijakan.co.id (12/09/2023).
Sampai-sampai dia bingung, “Kok bisa seperti ini ya?” kata Andre sambil menceritakan kondisi penempatan operator bendungan sebelumnya yang lebih jernih di Bendungan Walahar, Karawang.
Kekagetan ini juga datang dari atasannya yaitu Sahrudin, Pengawas Operator Bendungan di Kabupaten Bekasi –termasuk di dalamnya Kali Lemahabang— di bawah Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bekasi. Ia menyampaikan kekagetan tersebut kepada Kebijakan.co.id saat pertama kali berkunjung ke Kali Lemahabang setahun yang lalu, “waduh kok Kali hitam begini dibuat mandi, apa tidak gatel?” Sebelumnya Sahrudin ditugaskan di induk pengelola Kalimalang, yang tidak tercemar parah seperti Kali Lemahabang.
Selain kekagetan, Andre juga mengkonfirmasi terkait dengan kondisi tercemarnya Kali Lemahabang, yang sempat bersih, “Waktu itu sempat bersih selama dua minggu sampai seminggu, abis itu balik lagi, yang pas hujan, jadi bau lagi,” dan kondisi parah akhir-akhir ini, “Hanya baru akhir-akhir tahun ini kondisinya terjadi pencemaran yang lama, sebelumnya hanya beberapa kali (waktu),” ucapnya kepada Kebijakan.co.id.
Terkait limbah turun bersamaan dengan hujan, hal tersebut juga dikonfirmasi oleh warga sekitar, Siti dilansir dari Antara (14/6/2023), “Jadi baunya itu pas musim hujan. Jadi kalau hujan, sepertinya limbahnya dibuang.”
Selain Siti, dikonfirmasi juga oleh warga lainnya, Adih, dilansir dari Tribun Bekasi (4/10/2021), “Beberapa hari lalu kan hujan pas malam, nah mulai dari situ besok paginya sudah berbusa.”
Pola yang terjadi selain hujan, ialah ketika malam hari. Salah seorang warga Desa Karangasih, Dien mengatakan yang dilansir dari Tribun Bekasi (4/10/2021), “Itu malam (hari) saya liat sendiri, awalnya ya bersih warna hijau, terus airnya surut, lama-lama air warna hitam datang kecampur.”
Pola tersebut dikonfirmasi oleh Peneliti Pusat Riset Lingkungan dan Teknologi Bersih, BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional), Ikbal (Dr. Ir. M.Eng), yang juga ahli dalam teknologi pengolahan air limbah anaerobik, ia menjelaskan kepada Kebijakan.co.id ketika ditemui di Puspiptek, Serpong (11/09/2023). Ia menjelaskan bahwasannya sungai mulai tercemar ketika hujan turun dan pada saat malam hari, “malam dia (industri nakal) buang (limbah), atau lagi hujan (limbah) di gelontorkan,” ceritanya terkait industri yang nakal saat membuang limbah.
Dari hal tersebut belum menjawab kapan pertama kali Kali Lemahabang mulai tercemar?
Pantauan Kebijakan.co.id terhadap pemberitaan yang ada, tercatat berita pertama tercemarnya Kali Lemahabang ialah pada bulan Januari, tahun 2017. Menurut Suwanda Halim, dikutip dari Antara (5/1/2017), selaku Supervisor Sungai dan Irigasi PJT II Lemahabang, mengatakan, “Bau menyengat dan warna hitam pada air itu, diketahui terjadi dalam beberapa bulan terakhir.” Berarti Kali Lemahabang tercatat tercemar sejak dari tahun 2016.
Untuk benar-benar memastikan sejak kapan tercemarnya, dugaan besar tersebut terdapat dalam data Dinas Lingkungan Kabupaten Bekasi. Kebijakan.co.id dalam hal ini sudah mengirim surat permohonan wawancara tertanggal 5 September 2023 untuk memverifikasi hal tersebut.
Apakah air di sungai berwarna yang tidak wajar (selain berwarna bening)?
Apakah air di sungai berbau (berbau tidak sedap)?
Apakah pernah melihat ikan-ikan atau binatang air lainnya mati dalam jumlah besar di sungai tersebut?
Apakah terjadi penurunan produksi hasil alam (seperti padi) atau penurunan hasil panen perikanan di wilayah sekitar sungai?
Apakah ada peningkatan keluhan kesehatan oleh masyarakat di sekitar sungai?
Sejak 2016, tercatat pencemaran limbah berwarna hitam pekat dan berbau tidak sedap, sama seperti saat Jurnalis Kebijakan.co.id berkunjung pertama kali ke Kali Lemahabang (4/9/2023).
“Ini kalau pegang tangan (dicelupin ke dalam Kali Lemahabang) itu baunya nggak ilang-ilang, sama kaya tangan dicelupin ke lumpur, harus dibilas dulu pake air bersih, kalau orang sini udah biasa,” cerita Rosiadi (9/9/2023) terkait kondisi airnya, sedangkan kondisi baunya, “Kalo orang-orang baru (pendatang), kecium bau banget, kalau kita (masyarakat) mah udah biasa di sini.”
Kondisi Anak Kali Lemahabang (Adi/Kebijakan.co.id)
Terkait kondisi air yang seperti ini, menurut Peneliti BRIN, Ikbal, menjelaskan kepada Kebijakan.co.id (11/09/2023), “Untuk mengenal sungai tersebut tercemar sangat sangat mudah sekali dikenali dari warna airnya, yaitu hitam, butek (keruh), berbusa, dan berbau, sudah bisa dipastikan sungai tersebut tercemar, tanpa perlu kita melihat polutan dan tanpa perlu pengujian.”
Hal tersebut juga dikonfirmasi oleh Peneliti ECOTON (Ecological Observation and Wetland Conservation), yang juga pelaku Ekspedisi Sungai Nusantara, Amiruddin Mutaqqin (S.T., M.Si.) yang menjelaskan kepada Kebijakan.co.id (7/9/2023), bahwa secara kasat mata, “air yang di duga mengalami pencemaran akan terlihat perubahan warna menjadi (hitam, merah, putih atau coklat).” Sedangkan untuk bau yang tidak sedap, “menjadi indikator sungai sedang mengalami pencemaran, karena mikroorganisme pengurai di air tidak mampu menetralisir beban pencemaran yang masuk ke dalam sungai.”
Secara kasat mata, terbukti bahwa Kali Lemahabang tercemar. Akan tetapi perlu adanya uji laboratorium untuk membuktikan bahwa Kali Lemahabang tercemar limbah. Di tahun 2019, Perum Jasa Tirta (PJT) II Lemahabang, Suwandi Halim, mengirimkan contoh air Kali Lemahabang kepada Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (BPLH) Kabupaten Bekasi untuk diuji di laboratorium, “Hasil uji lab positif tercemar,” ucap Suwandi dilansir dari Saluran8.com (2/1/2019).
Di tahun 2017 dilansirAntara (5/1/2017), Suwandi Halim juga pernah melakukan uji lab terhadap contoh air Kali Lemahabang di Laboratorium Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (BPLH) Kabupaten Bekasi, dari contoh air yang diuji terbukti mengandung logam, pewarna, dan juga bahan kimia.
Penyebab Tercemar
Setelah mengetahui bahwa sungai tersebut tercemar, lalu apa yang menyebabkan Kali Lemahabang tercemar limbah?
Dari beberapa keterangan narasumber, keseluruhannya hanya bersifat dugaan. Dugaan Andre, Operator Bendungan Kalilemahabang (12/09/2023), yang sudah bekerja di sana selama 5 tahun berjalan, ialah limbah tekstil. Hal tersebut juga diduga oleh Peneliti ECOTON, Amiruddin Mutaqqin (7/9/2023), yang melihat potongan video yang Kebijakan.co.id kirimkan, yaitu limbah tekstil (pakaian), ditambah limbah pabrik kertas.
Selain limbah tekstil, menurut dugaan warga sekitar, menurut Itas dilansir dari Antara(14/6/2023), menduga ini berasal dari limbah oli, “bau menyengat, sering juga bau oli.”
Menurut dugaan Peneliti BRIN, Pusat Riset Lingkungan dan Teknologi Bersih, Ikbal (11/09/2023), yang melihat potongan video yang Kebijakan.co.id tunjukan, dengan melihat secara kasat mata, bahwa itu merupakan limbah organik padat (bahan yang dapat terurai) yang mengendap di dasar sungai, seperti sisa makanan industri, sisa pakaian industri –bukan logam, besi, atau sejenisnya— yang melebihi baku matu mikroorganisme di kali tersebut karena terjadi terus menerus.
Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi / Puspiptek, Serpong (Adi/Kebijakan.co.id)
Limbah organik yang mengendap di dasar sungai tersebut, lalu mengalami proses anaerob (penguraian karena tidak mendapatkan oksigen dari matahari yang tertutup hitam pekat warna sungai), dari proses tersebut, “sehingga menghasilkan gas-gas yang mengeluarkan bau, berupa senyawa asam organik berbentuk gelembung-gelembung,” ucap lulusan doktoral di negeri matahari terbit tersebut.
Hal tersebut juga dikonfirmasi oleh Peneliti ECOTON, Amiruddin Mutaqqin (7/9/2023), bahwa, “jumlah beban pencemaran jauh lebih besar dari pada mikroorganisme pengurai di dalam sungai.”
Apapun itu, yang pasti ini dihasilkan dari industri. Dugaan tersebut tentu sangat beralasan jika merujuk kepada data Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat, jumlah pertumbuhan industri besar hingga sedang di Kabupaten Bekasi meningkat dari tahun ke tahun antara 2003 hingga 2014. Di tahun 2003 tercatat terdapat industri besar hingga sedang berjumlah 740 naik signifikan di tahun 2014 sebanyak 1143 industri besar menengah hingga sedang.
Hal tersebut tentu mendukung klaim bahwa Cikarang merupakan kawasan industri terbesar se-Asean. Data lainnya yang mendukung tersebut, data kawasan industri yang dipublikasi oleh Kementerian Perindustrian, yang mencatat total kawasan industri di Kabupaten Bekasi sebesar 7000 Hektare.
Data tersebut diperkuat oleh keterangan Pengawas Operator Bendungan di Kabupaten Bekasi, Sahrudin, ia menyampaikan kepada Kebijakan.co.id, bahwa “pas saya survei ke sana (hulu Kali Lemahabang), dari hulunya (daerah industri Jababeka dan sekitarnya) saja sudah hitam, ditambah sekarang musim kemarau panjang.”
Akan tetapi Sahrudin juga mengatakan, hal tersebut disebabkan karena jumlah debit air berkurang, “dari hulu biasanya 2 kubik (2000 liter per detik) dari hulu, sekarang cuma 400 liter (per detik), tidak seimbang dengan pembuangan masyarakat (dan industri), makanya sudah hitam dari hulu,” jelas pria yang baru 1 tahun dipindahkan sebagai Pengawas Operator Bendungan di Kabupaten Bekasi kepada Kebijakan.co.id.
Hal tersebut diperparah beban Kali Lemahabang, yang menurut Andre, petugas Operator Bendungan Kali Lemahabang kepada Kebijakan.co.id, “hampir seluruh industri di (Kabupaten) Bekasi, masuknya (limbah) ke Kali Lemahabang (Cikarang).”
Ditambah keterangan oleh Penjabat (PJ) Bupati Bekasi, Dani Ramdan, “Yang berizin (hanya) ada 13 perusahaan (saja di seluruh Kabupaten Bekasi), lainnya tidak. Maka dari itu, hasil yang berizin ini harus ada uji laboratoriumnya, karena dia harus ada IPAL (Instalasi Pengelolaan Air Limbah)-nya,” kata Dani saat dikonfirmasi, yang dilansir Tribun Bekasi (2/10/2021).
Hal tersebut dikatakan berdasar kepada rapat koordinasi yang dilakukan jajaran Gakkumdu (Penegakan Hukum Terpadu), yang terdiri dari unsur Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bekasi, Kejaksaan Negeri Kabupaten Bekasi, dan Polresta Bekasi. Dari rapat koordinasi tersebut, tercatat hanya 13 perusahaan saja yang mengantongi izin membuang limbah ke sungai.
Mengatasi Kali Tercemar ala Pemerintah
Dari penjelasan sebelumnya tercatat dari sejak tahun 2017, 6 tahun berjalan hingga saat ini, limbah di Kali Lemahabang belum kunjung ditangani secara serius oleh Pemerintah, terlebih kesadaran para Perusahaan. Yang dibuktikan dengan masih hitamnya Kali Lemahabang hingga saat ini (16/09/2023).
Menurut Meiki Wemly Paendong, Direktur Eksekutif WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) Jawa Barat, mengatakan kepada Kebijakan.co.id (6/09/2023) bahwa, “Pencemaran ini, patut diduga atau besar kemungkinan tidak ada sistem pengendalian, pengawasan (limbah tercemar) yang dilakukan oleh Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bekasi.”
Wawancara Kebijakan.co.id dengan WALHI Jawa Barat (Adi/Kebijakan.co.id)
Terkait dengan tidak adanya sistem pengawasan Pemerintah Kabupaten Bekasi, hal tersebut dibantah oleh Pengawas Operator Bendungan Kali Lemahabang, Sahrudin saat Kebijakan.co.id konfirmasi, “Banyak sekali upaya-upaya kami (Operator Bendungan) dengan (Dinas) LH (Lingkungan Hidup), terkait air item begini mengadakan rapat yang dimpimpin oleh Dinas LH Kabupaten (Bekasi), mengumpulkan industri-industri yang ada di hulu (Kali Lemahabang).”
Namun setelah ditanya lebih lanjut oleh Kebijakan.co.id terkait industri apa saja yang terlibat di dalamnya, Sahrudin tidak mengetahui lebih detail.
Selain itu menurut Sahrudin, pengelola bendungan Kali Lemahabang bersama Dinas Lingkungan Hidup berupaya untuk mengatasi limbah padat dari masyarakat, berupa sampah, yaitu dengan melakukan pasang jaring di setiap RT di setiap Desa, “untuk mengantisipasi sampah tersebut mengalir ke belakang (hilir Kali Lemahabang).”
Segala upaya telah dilakukan, seperti sosialisasi kepada warga-warga dan memberikan karung untuk tempat sampah, “yang setiap hari Jumat, diangkut secara khusus oleh Dinas Lingkungan Hidup.” Hal tersebut tentu solusi individual –atau bergantung kepada individu atau masyrakat perorangan.
Hal tersebut juga dikonfirmasi oleh Sekretaris Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Bekasi saat ditemui oleh Kebijakan.co.id, yang bekerjasama dengan Dinas Lingkungan Hidup, BPBD (Badan Penanggulangan Bencana Daerah), Kecamatan, Desa, dan pihak-pihak lainnya, untuk mengangkat sampah Kali Lemahabang, “Waktu malam kita ngangkat sampah, sekitar 2 bulan yang lalu, sampah kan numpuk tuh kita angkut.”
Namun, solusi individual di masyarakat atau pengangkatan sampah oleh Dinas Lingkungan Hidup bukan solusi jangka panjang dan terstruktur –mulai dari perusahaan, hingga kepada masyarakat.
Usaha-usaha penegakan hukumpun sudah dilakukan, mulai dari memberikan sanksi, “Kami akan berikan sanksi tegas sesuai dengan peraturan perundang-undangan karena ini merupakan pelanggaran pidana lingkungan,” kata Penjabat Bupati Bekasi, Dani Ramdan dilansir dari Independensi.com, (7/9/2021).
Lalu membentuk Tim Penegakan Hukum Terpadu atau Gakkumdu, menurut Kepala Seksi Penegakan Hukum Lingkungan, Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bekasi, David, “Sedang disusun keanggotaannya, ada penyidik pegawai negeri sipil, kepolisian, hingga kejaksaan. Kami segera turun, sidak ke lapangan,” ungkap David dilansir dari WestJavaToday.com, (8/9/2021).
Lalu ingin mengumumkan nama-nama perusahaan nakal yang membuang limbah ke Kali Cilemahabang. “Bila terbukti dan dalam beberapakali teguran tidak menggubris maka akan kita umumkan,” ucap Penjabat Bupati Bekasi, Dani Ramdan dilansir dari Pikiran Rakyat, (10/9/2021).
Hingga meninjau langsung atau sidak ke lapangan, “Kami telah menurunkan tim dari bidang penegakan hukum, namun sangat disayangkan saat sampai ke lokasi itu debit air sedang tinggi, arus deras. Dugaan limbah oli yang mencemari drainase tidak bisa ditemukan,” ucap Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bekasi, Syafri Doni Sirait dilansir dari Antara, (14/6/2023)
Akan tetapi tampaknya hasilnya tidak ada perubahan. Baik dari sanksi yang tegas, hasil pembentukan Gakkumdu, mengumumkan nama-nama perusahaan pencemar limbah, hingga meninjau langsung ke lapangan.
Solusi Lain: Laporan Berkala, IPAL, dan Class Action
Selain solusi ala Pemerintah yang cenderung individual dan ingin menegakan peraturan tersebut tidak berhasil.
Dari ketidakberhasilan tersebut, ada beberapa saran di antaranya, menurut Meiki, Direktur Eksekutif WALHI Jawa Barat kepada Kebijakan.co.id (6/9/2023), dalam hal ini memberikan sebuah solusi yang memang sudah diatur, menurutnya, “Dicek ulang daftar nama industri yang limbah buang cair ke Kali Lemahabang.”
Setelah dicek ulang, cek laporannya, “ada laporan juga, industri ini seharusnya juga harus melaporkan upaya pengelolaan lingkungan dan pemantauan lingkungan.”
Dari laporan tersebut apakah dikelola limbah cairnya, “termasuk upaya mereka (industri) dalam mengelola limbah cairnya,” selain itu, “apakah perusahaan ini rutin memberikan laporan? … itu harus memberikan per 6 bulan (semester), ada yang per 3 bulan yang diberikan kepada Dinas Lingkungan Hidup.” Laporan tersebut menunjukan apakah limbah sudah dikelola atau belum, “dengan melakukan pengecekan atau pembuktian langsung di lapangan.”
Hal tersebut juga dikonfirmasi oleh Peneliti BRIN, Ikbal mengatakan kepada Kebijakan.co.id, “Dalam aturan perusahaan itu selain itu pengelolaan (limbah) ada juga pelaporan berkala, yang 3 bulan sekali, seminggu sekali, dan melakukan analisa air limbah itu sebulan sekali lalu dilaporkan 3 bulan sekali ke DLH,” lalu dari situ DLH bisa melakukan pengecekan, “ada ga yang melanggar (laporan tersebut)? sekali dua kali bisa sanksi teguran atau administrasi. Bahkan bisa juga menutup karena (DLH) memiliki kewenangan,” ujar Ikbal yang juga Komisi Penilai Amdal DKI Jakarta untuk limbah cair.
Menurut Meiki, Direktur Eksekutif WALHI kepada Kebijakan.co.id (6/9/2023), dokumen laporan itu seharusnya secara serta merta dibuka untuk masyarakat agar bisa dilihat di halaman resmi DLH, “kan dampaknya ke publik (masyarakat).” Sebab, “tanpa diminta harusnya sudah disajikan di website.” Tidak hanya pemerintah, dalam hal ini perusahaan juga, “itu perusahaan-perusahaanpun juga harus menunjukannya pada publik.”
Kebijakan.co.id berusaha mencari dokumen laporan terkait pengelolaan limbah, yang ditemukan dalam Open Data Kabupaten Bekasi hanya ditemukan statistik jumlah pelaporan pengawasan yang dilakukan Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bekasi berjumlah 69 laporan. Selain Open Data Kabupaten Bekasi yang terintegrasi, Dinas Lingkungan Hidup tidak memiliki halaman resmi untuk informasi publik lainnya.
Selain mencari dokumen Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bekasi, Kebijakan.co.id berusaha mencari dokumen laporan terkait pengelolaan limbah yang terdapat dalam Kawasan Industri Jababeka, yang dikelola oleh PT Kawasan Industri Jababeka Tbk dan Kawasan Industri LIPPO Cikarang yang dikelola oleh PT Lippo Cikarang Tbk. Dua kawasan industri tersebut, merupakan yang terbesar di Kabupaten Bekasi mencapai total luas 3.239,97 Hektare.
Kedua kawasan tersebut, secara berkala memberikan informasi publik secara menahun. Akan tetapi, tidak semua laporan menunjukan limbah yang dikeluarkan, tercatat baru pada tahun 2019 yang menunjukan laporan terkait pembuangan limbah secara statistik.
Laporan berkala tersebut, juga perlu didukung oleh teknologi monitoring. Menurut Peneliti BRIN, Ikbal kepada Kebijakan.co.id, perlu memang ada teknologi yang melaporkan kondisi sungai secara berkala melalui digital online, seperti laporan berkala pada kondisi polutan di udara.
“Misalnya, ada industri yang kita curigai, yang nakal, di tempat pembuang (limbah) itu kita kasih sensor, dipantau itu, termonitor.” Lalu bisa dilihat melalui waktu tertentu, “oh tanggal (jam tertentu) segini kok melonjak, anda (perusahaan) tanggal segini kok (buang limbah) dari data saya, jadi gak bisa ngelak (berkelit).”
Jadi menurut Ikbal, bisa sesuai antara pengaduan masyarakat terkait limbah yang dibuang ketika hujan atau malam hari atau kondisi tertentu, dengan data sensor pemerintah yang melaporkan secara berkala kondisi limbah di sungai.
***
Itu adalah langkah pertama yang bisa dilakukan. Langkah keduanya ialah memperbaiki IPAL perusahaan industri yang membuang limbah ke dalam Kali Lemahabang.
Menurut Peneliti ECOTON, Amiruddin Mutaqqin kepada Kebijakan.co.id, terkait teknologi IPAL mengatakan bahwa, “Teknologinya harus bagus dan didesign yang benar sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik limbah yang di hasilkan oleh industri.”
Jika itu tidak bisa dilakukan, yaitu dengan membuat alternatif, “Membuat IPAL komunal,” akan tetapi ada dampaknya, “akan membuat tiap perusahaan industri menjadi tidak bertanggung jawab terhadap limbahnya masing-masing,” serta lepas tanggung jawab dalam pengelolaan, “biayanya IPAL komunal menjadi tanggung jawab siapa?”
Terkait dengan teknologi yang sesuai dengan karakteristik limbah, menurut Ikbal, Peneliti BRIN kepada Kebijakan.co.id, “Sistem IPAL-nya harus disesuaikan dengan karakteristik limbah cair yang dikeluarkan dari industri.”
Misalnya, “limbah organik itu harus disusun IPAL-nya dengan proses biologi yang alamiah akan mengurai limbah tersebut.” Diperlukan perlakuan khusus, “itu harus dirawat seperti makhluk hidup pada umumnya, (perlu) harus ada divisi khusus.”
Selain itu, “ada limbah anorganik, itu harus diolah dengan proses kimia-fisika dengan proses pengendapan, penyaringan, dan penguapan.” Pada intinya terkait limbah anorganik, “air limbah tersebut harus dipisahkan dari material anorganik seperti besi, logam, dan sebagainya agar tidak tercampur ketika dibuang ke sungai.”
Selain teknologi yang sesuai dengan karakteristik limbah, perlu dilihat juga kapasitas pengolah limbah tersebut, “Kapasitas IPAL, air limbahnya berapa yang dikeluarkan harus disesuaikan dengan kapasitas perancangan, harus juga dipersiapkan (jika terjadi) pertumbuhan industri tersebut, jangan sampai limbahnya bertambah akan tetapi kapasitas IPAL-nya tidak ditambah.”
Terkait dengan kedua hal tersebut, “Banyak teknologi dari konsultan yang ditawarkan akan tetapi tidak cocok dengan limbah industri, itu harus hati-hati dengan pemilihan IPAL, banyak yang gagal dibangun dengan biaya tinggi.”
Terkait dengan biaya tinggi, Direktur Eksekutif WALHI, Meiki kepada Kebijakan.co.id, dalam hal ini memiliki informasi terkait pengalaman di salah satu perusahaan yang tidak boleh lagi membuang limbahnya ke sungai di salah satu anak Sungai Citarum, yaitu Sungai Cikijing. “Secara teknis jadi limbahnya diangkut, mereka (perusahaan) menyewa pihak ketiga untuk mengangkut.”
Akan tetapi karena biayanya lebih mahal, “mereka membandingkan lebih murah mengaktifkan IPAL mereka daripada menggunakan pihak ketiga untuk membuang limbah.” Akhirnya perusahaan tersebut, “mengajukan izin kembali, mengurus kembali, harus mengikuti peraturan teknis yang diberikan oleh Kabupaten Sumedang.”
Pada intinya, semua pihak termasuk perusahaan harus memiliki komitmen, seperti apa yang disampaikan oleh Ikbal, Peneliti BRIN kepada Kebijakan.co.id, “Harus ada komitmen, semua air (limbah) yang masuk ke sungai itu harus diolah sampe memenuhi baku mutu (ambang batas pencemaran).”
Perusahaan dalam hal ini, menurut Ikbal, “perusahaan harus memiliki kesadaran bahwa usahanya tidak boleh menggangu orang, jangan sampe gara-gara saya mereka sakit.” cerita dia membandingkan dengan kondisi tempat studi doktoralnya di Jepang. “Jadi mereka (perusahaan di Jepang) tanpa dikontrol Pemerintah, mereka sudah malu kalau ketahuan (membuang limbah), malu berbuat salah.”
***
Langkah ketiga yang bisa dilakukan ialah dengan menggugat Pemerintah yang abai karena tidak mengeluarkan tindakan atau kebijakan apapun terkait pencemaran limbah, dan menggugat Perusahaan industri yang mengeluarkan limbah melebihi baku mutu yang menyebabkan tercemarnya sungai.
Itu juga bisa dikatakan sebagai class action atau gugatan dari masyarakat.
Dalam hal ini WALHI memiliki pengalaman untuk menggugat 3 perusahaan yang tidak mengolah limbah cairnya, menurut Meiki kepada Kebijakan.co.id (6/9/2023), “Di tahun 2015, WALHI berkoalisi dengan kawan-kawan organisasi lingkungan yang lain dengan organisasi advokasi hukum bersama dengan kelompok masyarakat yang terdampak itu menggugat ijin pembuangan limbah cair 3 perusahaan.”
Menurut Meiki, “Dari investigasi kami, mereka (3 perusahaan) membuang limbah cair tanpa diolah ke Sungai Cikijing (anak sungai Citarum).” Selain investigasi untuk melihat limbah cair yang dibuang tanpa diolah, WALHI juga menghitung valuasi (total) kerugian yang di alami masyarakat.
“Kalau kami (WALHI Jawa Barat) sendiri pernah menghitung valuasi ekonomi dari pencemaran limbah industri (di Sungai Cikijing).”
Mulai dari menghitung kerugian di sektor pertanian, sektor perkebunan, sektor pertenakan, sektor perikanan, sektor kebutuhan air, sektor kesehatan masyarakat, dengan total kerugian Rp. 3.339.695.473.968 atau sekitar 3 triliun (kurs pada tahun 2015). Dengan valuasi biaya pemulihan lahan atau remediasi mencapai Rp. 8.045.421.090.700 atau 8 triliun (kurs pada tahun 2015).
Selain data WALHI, lainnya dari Tim Peneliti Universitas Padjajaran, mengutip Mongabay, juga membuat laporan valuasi ekonomi dampak pencemaran di kawasan industri yang mencapai Rp. 11.385 triliun.
Dari riset penghitungan kerugian masyarakat tersebut, tentu perlu diawali dengan kesadaran akan pentingnya lingkungan terlebih dahulu di masyarakat. Dengan begitu kondisi suram di awal bisa diatasi.
Kondisi Kali Lemahabang Berbusa (Adi/Kebijakan.co.id)
“Pengolahan Limbah Harus Dipandang Sebagai ‘Produk’ Yang Dihasilkan oleh Perusahaan, Begitu Juga Sama Ketatnya dengan Pengawasan ‘Produk’ oleh Pemerintah, dan Agar Masyarakat Tidak Dirugikan.”
Mengenal film dokumenter mulai dari sejarah, kegunaannya, jenis, hingga tahap pembuatannya. Selain itu, dalam membuat film dokumenter penting sekiranya memahami pendanaan, promosi, dan publikasi film dokumenter. Untuk mengenalnya lebih dalam, perlu sekiranya menonton beberapa film rekomendasi.
Dalam membuat film dokumenter penting sekiranya memahami pendanaan, promosi, dan publikasi film dokumenter. Lalu, bagaimana Film Dokumenter di publikasikan dan dipromosikan? Dan bagaimana Film Dokumenter bisa mendapatkan sumber pendanaan?
***
Jakarta, Kebijakan.co.id — PublikasiFilm Dokumenter. Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mempublikasikan film dokumenter, ibarat ‘banyak jalan menuju Roma’, ada beberapa pilihan dari yang perlu modal lebih hingga minim modal.
Pertama, melalui Bioskop, cara paling konvensional namun sudah teruji adalah dengan menayangkannya di bioskop-bioskop yang ada. Cara ini dilakukan mulai dari premier (penayangan pertama) hingga penayangan terakhir, akan tetapi ada biaya yang harus ditekan jika menggunakan metode ini. Namun cara ini dihitung mahal, karena harus menyewa studio bioskop, jika penontonnya banyak alhasil dapat diganti, jika sebaliknya maka harus menombok.
Selain cara bioskop konvensional, ada pula bioskop online seperti Netflix, HBO, Bioskop Online, dan lainnya yang memang sengajar dihadirkan sebagai jawaban atas ‘malas’ dan ‘mahal’nya bioskop konvensional. Akan tetapi, biaya yang harus dibayar ialah pembajakan yang efeknya film tersebut akan tersebar di Internet secara gratis pula.
Kedua, melalui Nonton Bareng. Cara nonton bareng atau biasa disebut dengan nobar ini, biasa dilakukan oleh WatchDoc seperti pada Ekspedisi Indonesia Biru dan beberapa komunitas film lokal di daerah-daerah. Dengan jaringannya di beberapa daerah, WatchDoc melakukan penawaran untuk melakukan nonton bareng dengan komunitasnya.
Nobar seperti ini, juga efektif dengan distribusi ‘dari mulut ke mulut’ yang lebih tepat sasaran. Metode ‘mulut ke mulut’ ini membuat branding WatchDoc di akar rumput semakin kuat dan meluas.
Menurut Ahsan Andrian yang merupakan praktisi pembuat film dalam tulisannya di Cinemapoetica.com, menjelaskan bahwa untuk membuat nonton bareng harus ada tiga faktor yang persiapkan secara benar hingga tak menggangu nonton bareng tersebut.
Pertama, kualitas materi film, di mana memperhatikan besaran ukuran file, hingga kualitas suara. Yang kedua, ialah kualitas tempat pemutaran, apakah di ruangan atau tempat terbuka, seperti apa pintu masuk dan keluarnya, posisi alat pemutarnya.
Dan yang ketiga, ialah kualitas alat pemutar, seperti laptop yang memang sudah dipersiapkan untuk tidak muncul notifikasi, pemutarnya yang tidak bermasalah, hingga layarnya yang harus disesuaikan.
Ketiga, melalui Festival Film. Salah satu menggaet penonton, khususnya secara internasional, terlebih mendapatkan prestasi atas film ialah dengan mengikutkan film tersebut kepada festival film.
Menurut Fanny Chotimah dalam wawancaranya dengan In-Docs, mengatakan, “Festival film menjadi bagian penting dalam distribusi (penyaluran)… untuk menemukan penontonnya secara internasional.”
Fanny Chotimah dalam Wawancaranya dengan In-Docs
Menurut Fanny tipsnya ialah, “Agar bisa tembus festival, kita (harus) rajin-rajin daftar.” Jikapun ditolak, “Sudah biasa. Jadi kalau ditolak ya bikin lagi.”
Tips lainnya datang dari Wregas Bhanuteja sutradara yang memenangi 4 piala citra –non dokumenter. Menurutnya dalam wawancara dengan Studio Antelope, untuk bisa masuk Festival Film khususnya yang internasional ialah, “Berkaryalah dengan hati Mu.”
Keempat, melalui Youtube. Selain itu, cara lainnya yang paling terakhir ialah dengan menguploadnya ke youtube yang bisa diakses semua orang.
Promosi Film Dokumenter
Promosi menjadi penting, sebab sayang seribu sayang jika film dokumenter sudah bagus namun yang menonton sangat sedikit, sehingga salah satu tujuan keberdampakan dari film atau dampak memberi tahu kepada publik dalam isi film tidak maksimal. Ada beberapa cara membuat promosi film dokumenter.
Pertama, melalui Media Sosial. Di tengah informasi beracun dan gak jelas bersliweran di media sosial, informasi dari film dokumenter tentu menjadi fatamorgana. Kecuali memang masyarakatnya dengan kualitas rendah, sehingga informasi mengenai film berkualitas, tidak menjadi makanan utama otak, akan tetapi informasi gak jelas dan beracun.
Strategi media sosial, bisa menggunakan dengan membuat akun tersendiri dengan judul film, dengan membahas seluk beluk atau di balik pembuatan film, cuplikan (trailer) dan sebagainya, sebagai informasi pengail untuk menonton film dokumenter utama.
Atau dengan menggunakan pemengaruh (influencer) yang benar-benar pemengaruh. Biasanya dijalankan oleh satu orang yang mempromosikan film dokumenter. Atau dengan kerjasama dengan akun media sosial yang suka membahas atau mereviu film, itu akan berpengaruh karena ceruk penontonnya jelas yang suka nonton film.
Kedua, melalui Pers atau Media Massa. Selanjutnya dengan Pers Rilis, dengan bantuan media massa. Di mana membuat konfrensi pers dengan mengundang jurnalis-jurnalis yang suka membahas atau mengulas film. Cara ini cukup efektif untuk orang-orang yang ingin benar-benar tahu isi film tersebut, karena terkadang media sosial terkenal racunnya jadi tidak ingin dibaca oleh yang benar-benar ingin menonton.
Selain itu Pers juga membantu untuk mengulas nilai-nilai dalam film tersebut, yang sangat bermanfaat untuk pengail penonton film dokumenter utama. Hal tersebut, bergantung kepada film dokumenternya, jika baik maka ulasannya baik, jika sebaliknya, ya terima saja. Karena jurnalis yang jujur akan mengulas apa adanya.
Ketiga, melalui Penghargaan. Promosi selanjutnya yaitu dengan penghargaan. Penghargaan bukan hanya untuk membuktikan film tersebut bagus atau tidak, akan tetapi juga sebagai ajang promosi bahwa film tersebut masuk ke dalam nominasi, daftar panjang, daftar pendek, hinga memenangkan penghargaan tersebut.
Hal tersebut tentu menjadi pengail yang sangat sulit dilakukan film lain, karena tentu tidak semua film dokumenter mendapatkan kesempatan itu. Dan penonton setidaknya ‘sudah’ terjamin akan menonton film yang bagus, walaupun terkadang selera penonton berbeda-beda.
Keempat, melalui Kontroversi. Film juga bisa dikenal masyarakat dengan tema atau topik yang kontroversial diangkat, seperti pengungkapkan sejarah atau pengungkapan kejahatan yang besar. Hal tersebut menjadi nilai tambah untuk dikenal masyarakat, dengan tujuan masyarakat menjadi penasaran.
Kelima, melalui Masyarakat (Komunitas). Selain itu, film dokumenter juga bisa dipromosikan kepada dan oleh masyarakat. Cara ‘dari mulut ke mulut’ adalah cara yang paling efektif untuk mempromosikan suatu barang, walaupun lambat, tapi inilah cara yang pasti.
Kesan baik dari portofolio sebelumnya atau film dokumenter yang sedang ditayangkan adalah kunci utama dari cara ‘mulut ke mulut’. Hampir sulit dibantah jika keduanya tidak memiliki kualitas.
Lainnya dengan cara masyarakat juga, membuat promo langsung turun ke masyarakat, dengan diskusi atau dengan mengadakan pertemuan-pertemuan, tentu ini tidak mudah, sebab masyarakat belum tentu mau mengikuti jika film dokumenternya tidak menarik.
Keenam, melalui Pendidikan (Sekolah, Kampus). Cara lainnya bekerjasama dengan lembaga pendidikan seperti sekolah dan kampus. Kerjasama tersebut dengan membuat promosi, atau memberikan akses untuk menonton film dokumenter, yang nantinya filmnya akan diulas dan dijadikan pembelajaran atau materi pelajaran. Sehingga dari lembaga pendidikan, akan menyebar terkait nilai atau cerita yang dibawa film dokumenter tersebut. Terlebih, jika menjadi inspirasi untuk tugas-tugas pelajar atau mahasiswanya.
Pendanaan Film Dokumenter
Pembuatan film dokumenter tidaklah mudah dan juga tidaklah murah. Perlu pendanaan awal untuk mempersiapkan film dokumenter, mulai dari alat, akomodasi, hingga sumber daya manusia, dan lainnya. Beberapa cara dilakukan oleh pembuat film dokumenter untuk mencari dana awal dan dana untuk keberlanjutan pembuatan film dokumenter selanjutnya.
Pertama, mencari dana melalui donor. Seperti yang dilakukan oleh Fanny Chotimah dengan karyanya You & 1 (2020)yang mendapatkan pengahargaan FFI tahun 2020 dalam kategori Film Dokumenter Panjang terbaik.
Film You & I mendapatkan donor (grant) dari DMZ Doc Fund pada tahun 2017, selanjutnya pada tahun 2018 juga mendapatkan donor dari Forum Pendanaan Akatara yang diselenggarakan oleh Badan Ekonomi Kreatif.
Selain dari donor -yang biasa mengajukan proposal- bisa juga melalui pitching forum atau pertemuan untuk mempresentasikan ide. Forum ini banyak dihadiri oleh industri film seperti rumah produksi, hingga media besar selain itu juga datang para pendonor baik dari lembaga independen maupun dari pemerintahan dalam dan luar negeri. Film You & I (2020) dalam hal ini mengikuti Pitching Forum Doc by The Sea.
Menurut Fanny dalam hal pendonoran dia menyarankan, “tipsnya rajin-rajin ke lembaga funding dan sering mengikuti pitching forum.” Selain itu, dalam hal mengikuti pitching forum menurut Fanny ialah, “membagi waktu yang tepat (untuk durasi film secara detail) dan juga mempresentasikan informasi (tentang ide, produksi, dsb terkait film) yang tepat pula.”
Serta mengkomunikasikan untuk, “bisa meyakinkan pihak-pihak yang berkepentingan akan relevansi dan urgensi dari project kita.”
Menurut Shalahuddin Siregar, seorang pembuat film salah satunya Negeri di Bawah Kabut (2011) & Pesantren (2019) menuturkan dalam tulisannya di Cinemapoetica.com, untuk menembus pasar internasional –baik itu penghargaan atau donor– dibutuhkan tiga elemen ini:
Pertama, kualitas produser yang mempunyai kemampuan bercerita dan topik atau tema yang baik. Kedua, cerita film yang tidak generik atau umum-umum saja. Ketiga, pengalaman dalam melakukan kerjasama internasional.
Untuk mengikuti forum pendanaan (pitching forum) internasional misalnya, Shalahuddin menyarankan harus mengenal karakter forum pendanaan, “TokyoDocs, misalnya, cenderung dekat dengan dokumenter untuk televisi, sementara IDFA Forum cenderung memilih dokumenter kreatif.”
Tips dari Shalahuddin lainnya untuk mengikuti forum pendanaan, “Pembuat film seringkali pitching dari satu forum ke forum yang lain untuk mencukupi jumlah dana yang dibutuhkan.” Tujuannya ialah, “dengan mendapatkan dana dari beberapa stasiun televisi dari negara yang berbeda, dengan mekanisme co-production (urun dana produksi).”
Selain tips di atas, tips lainnya yang lebih teknis datang dari Jason Iskandar pendiri Studio Antelope, menurutnya ada beberapa hal yang perlu dipersiapkan dalam proses pendanaan. Pertama, menjaga sikap dan komunikasi rencana film, “usahakan tidak terbata-bata.”. Kedua, berpakaian rapih.
Ketiga, menyiapkan presentasi kreatif atau creative deck. Dalam presentasi ini, coba jelaskan dengan sekomunikatif mungkin, siapa diri dan tim kalian, apa saja yang telah dikerjakan dan apa dampaknya, jelaskan film secara singkat dalam satu kalimat (masalah dan karakter) atau premis film, ceritakan alur film secara detail siapa saja yang diwawancara dan babak-babak dalam film, serta film statement atau pesan apa yang mau disampaikan dalam film dokumenter ini, “tentang visi-misi film tersebut.”.
Selanjutnya bisa tampilkan referensi karya yang menginspirasi film dokumenter tersebut, bisa berupa film sebelumnya, jurnal ilmiah, buku, lukisan, musik, fotografi, atau apapun yang menggambarkan dunia yang sekiranya ingin diwujudkan, “tujuannya untuk calon investor atau yang memberikan dana bisa menerka-nerka.”
Selain itu, desain grafis dari presentasi juga perlu diperhatikan agar menarik, seperti memperhatikan warna selaras, jenis font, dan gambar-gambar pendukung yang mewakili ‘jiwa’ film tersebut.
Keempat, menjabarkan kebutuhan dana atau budget, mulai dari development (pengembangan awal), pra-produksi, produksi, pasca produksi, distribusi, hingga promosi.
Kedua, melalui pendanaan tabungan Tabungan Pribadi. Salah satu contoh yang menggunakan tabungan pribadi, ialah yang dilakukan Dandhy Laksono ketika membuat film dokumenter Sexy Killer, sebagai salah satu film serial Ekspedisi Indonesia Biru.
Dalam wawancaranya dengan In-Docs mengatakan, “Saya menggunakan tabungan (pribadi) dan WatchDoc (perusahaan rintisan Dandhy) juga menggunakan tabungan (selama 5 tahun ke belakang).” Diketahui bahwa WatchDoc merupakan perusahaan rumah produksi video komersial untuk stasiun televisi dan lembaga-lembaga, dari selisih keuntungan rumah produksi tersebutlah ditabung untuk membiayai pembuatan film.
Dandhy Laksono dalam Wawancaranya dengan In-Docs
Menggunakan dana pribadi juga disampaikan oleh Mahatma Putra (Direktur Anatman Pictures) dalam kegiatan di @america. Menurutnya, dianalogikan, hari minggu videoin perkawinan, seninnya meliput yang kita inginkan.
Artinya, minggu bekerja untuk komersial seperti videografer sebuah kegiatan, seninnya bekerja sesuai dengan visi yang diinginkan. Hal yang seperti, yang bisa membuat karya kita menjadi bebas, tanpa diintervensi oleh pendonor, atau pihak-pihak lainnya. Salah satu hasilnya ialah Film Atas Nama Daun (2022), film yang menjelaskan sisi lain dari Ganja, yang masuk nominasi Festival Film Indonesia 2022 kategori Film Dokumenter Panjang.
Ketiga, mencari dana melalui Kerjasama. Kerjasama bisa dilakukan seperti yang dilakukan oleh WatchDoc dengan Kolaborasinya dengan berbagai pembuat film, periset, atau aktivis masyarakat di lapangan yang terdampak langsung. Beberapa film yang bekerjasama dengan pemerintahan, akan tetapi ide ini menyebabkan topik yang diangkat ‘harus selaras dengan pemerintah’.
Kerjasama juga bisa dilakukan dengan pihak Stasiun Televisi atau Rumah Produksi yang ikut urun dana sebagian dalam pembuatan film atau membeli lisensi film kita untuk ditampilkan di bioskop dan penayangan lainnya.
Tips kerjasama dengan TV atau Rumah Produksi, menurut Shalahuddin Siregar dalam tulisannya, “Sebelum mengirim proposal kepada mereka, wajib hukumnya untuk mengetahui program apa yang mereka pegang dan film seperti apa yang mereka cari. Jangan mengirim proposal secara sporadis (asal-asalan) kepada mereka.”
Keempat, mencari dana melalui Kompetisi dan Penghargaan. Selain itu, mengikuti kompetisi dan penghargaan festival film dokumenter juga merupakan salah satu untuk mendapatkan pemasukan dan tentu penghargaan.
Seperti pada kompetisi pada umumnya, mereka akan menyeleksi, jadi tetap pembuat film harus memiliki modal awal untuk membaut film. Hal tersebut yang membuatnya sangat sulit, dan memang harus benar-benar karya terbaik yang harus disiapkan. Serta harus rajin-rajin mengikuti kompetisi dan penghargaan, jika gagal, mencoba kembali.
Beberapa daftar penghargaan film dokumenter yang ada di Indonesia yang bisa diikuti untuk film dokumenter. Pertama, Festival Film Indonesia. Kedua, Festival Film Dokumenter Jogjakarta. Ketiga, Festival Film Dokumenter Solo. Keempat, Festival Film Internasional Bali Balinale. Kelima, Festival Film Malang. Keenam, Indonesia Raja. Ketujuh, Minikino Festival. Kedepalan, Begadang (salah satu sub penghargaan Minikino). Kedelapan, X-Press Indonesia. Kesembilan, Festival Film Lampung. Kesepuluh, Tebas Award. Kesebelas, Festival Film Papua. Terkahir, Festival Film Puskat.
Selain itu ada beberapa juga yang mungkin tidak tercatat. Misalnya kompetisi videografi yang memuat unsur film dokumenter, atau beberapa lomba di universitas.
Kelima, mencari dana melalui Iklan Langsung. Untuk iklan rasanya sangat sulit, karena hampir sulit membedakan antara film yang dibuat-buat dengan film dokumenter yang memang nyata adanya. Sebab, iklan biasanya mengharuskan film menarasikan produk yang diiklankan.
Akan tetapi, jika pihak pengiklan menyerahkan seluruh proses produksi tanpa ada titipan untuk menarasikan suatu produk, hal itu boleh saja dilakukan. Akan menjadi nilai tambah, jika mendukung produk tersebut.
Misal, tentang masalah pendidikan yang coba dinarasikan didukung oleh Kementerian Pendidikan atau perusahaan penyedia jasa pendidikan. Akan tetapi, yang perlu ditekankan ialah pada independensi pembuat film.
Kebenaran membutuhkan wadah. Kejujuran membutuhkan suara. Kenyataan membutuhkan kamera. Film Dokumenter hadir untuk ketiganya.
Mengenal film dokumenter mulai dari sejarah, kegunaannya, jenis, hingga tahap pembuatannya.
***
Jakarta, Kebijakan.co.id — Sentuhan kumpulan gambar yang apik, suara narasi yang baik, suara latar yang menarik, ditambah cerita yang utuh dan narasumber yang mempuni, adalah gambaran film dokumenter yang enak dilihat.
Untuk mempelejarinya tentu tidak semudah membalikkan tangan, ada begitu tahapan dan pembelajaran yang perlu dilakukan. Ada berbagai teknik, metode, dan sentuhan-sentuhan magis — mengarah kreativitas dan keindahan — untuk membuat sebuah film dokumenter.
Secara definisi, film dokumenter bisa dikatakan, “Mendokumentasikan cerita peristiwa yang pernah terjadi, baik yang sudah lampau atau sedang terjadi (faktual), melalui wawancara dengan pihak-pihak yang terlibat langsung, hingga gambaran kondisi yang terjadi melalui visual.”
Tulisan ini akan membahas segala hal yang berkaitan dengan film dokumenter, mulai dari awal hingga akhir. Akan tetapi penekanannya ada pada kekayaan cerita, kebagusan sinema, dan persona atau ciri khas narasumber
Mengumpulkan beberapa sumber informasi, mulai dari video yang terpeceraya, buku, jurnal penelitian, dan beberapa catatan-catatan lainnya yang tercecer. Tujuannya untuk memperkaya informasi untuk bahan belajar membuat film dokumenter.
Pembahasan film dokumenter di tulisan ini, mulai dari sejarah, kegunaan, tahap-tahap pembuatan, jenis-jenisnya, publikasi, promosi, pencarian dana, beberapa contoh film dokumenter yang menarik, hingga detail-detail lainnya yang membuat catatan ini semakin komprehensif.
Sejarah Film Dokumenter
Dalam perkembangan sejarah film dokumenter, menurut DocsOnline dalam lamannya menyatakan bahwa sejarah film dokumenter dimulai dari akhir 1990, tepatnya 1896 dengan judul film A Train Arrives at Ciotat Station karya Auguste Lumiere.
Film sederhana yang menampilkan sebuah kereta datang, yang dalam film seolah-seolah kereta tersebut datang dan menabrak penotnon, menciptakan efek psikologis nyata.
Namun, film tersebut masih belum dikatakan lengkap karena hanya memberikan gambaran satu peristiwa kedatangan kereta. Adalah lengkap karya yang dibuat oleh Robert Flaherty dengan judul Nanook of the North (1922), yang mengisahkan kehidupan suku pemburu di Eskimo.
Dikatakan lengkap karena dalam film tersebut mengandung unsur footage (gambar panjang), aktualitas, latar gambar pemandangan menjadi satu keutuhan dengan cerita menjadi sebuah film.
Setelah itu, perkembangan film dokumenter berkembang sesuai dengan zamannya, mulai dari kondisi perang dunia hingga kepada munculnya digitalisasi dengan penyedia video sesuai dengan keinginan (video on demand). Hal tersebut, membuat film dokumenter berkembangan sesuai dengan teknologi dan kebutuhan manusia.
Kegunaan Film Dokumenter
Menurut Eric Sasono, salah satu pengkaji Film Dokumenter di Indonesia, mengatakan dalam catatannya Ekonomi Kreatif dan Film Dokumenter (2016), “Film dokumenter punya peran dalam menciptakan ‘publicness’ atau membuat yang tersembunyi jadi bersifat terbuka.”
Terbuka di sini menurutnya, “dibicarakan sebagai bagian dari keterlibatan politik yang diharapkan bisa mempengaruhi kebijakan sosial, politik dan budaya, atau setidaknya mengubah kepedulian orang banyak terhadap suatu persoalan.”
Selain mengungkapkan hal yang tersembunyi, pada dasarnya menurut Eric Sasono, “Film dokumenter seperti halnya bidang seni dan kebudayaan lain, merupakan bagian dari upaya pembentukan opini, pertukaran gagasan dan eksplorasi estetika sendiri.”
Sedangkan menurut Anastasya Lavenia dalam esainya Dokumenter sebagai Medium Advokasi (2021), tidak hanya berhenti pada pembentukan opini dan esetika, lebih tegas Film Dokumenter juga bisa menjadi media perlawanan dan pembelaan atau advokasi.
“Pembuat dokumenter bisa memilih ‘kebenaran’ seperti apa yang ingin mereka hadirkan ke dalam filmnya. Meski tidak ujug-ujug mengubah dunia, pembuat dokumenter harus memiliki kesadaran bahwa karyanya memiliki kekuatan untuk membentuk persepsi audiens mengenai realita.”
Tegasnya, “upaya-upaya pengarusutamaan film dokumenter yang memantik percakapan dan mendorong perubahan harus selalu diupayakan.”
Sebab menurut Anastasya, mengutip dari Irwanto (2021), “Sejarah produksi dokumenter Indonesia dimonopoli pemerintah dari masa kolonial hingga orde baru dan baru menemukan kebebasan untuk berkembang setelah reformasi (Irawanto, 2012).”
Jelas sudah, dokumenter sejatinya menyampaikan yang ada dengan estetika (keindahan visual) tanpa dibuat-buat. Dalam menyampaikan yang ada tersebut tentu perlu kacamata, jika menggunakan kacamata masyarakat, sampaikanlah yang berkaitan dengan masyarakat dengan segala tetek-bengeknya sosial, politik, ekonomi, dan lainnya. Jika hanya menggunakan kacamata alam, tentu lihat semua yang ada berkaitan dengan alam, termasuk kerusakan yang ada.
Selain untuk media advokasi, lainnya Film Dokumenter juga dapat dijadikan media pembelajaran dan dokumentasi sejarah juga budaya.
Untuk media pembelajaran, menurut Riri Rikarno dalam jurnalnya berjudul Film Dokumenter Sebagai Sumber Belajar Siswa (2015) menyimpulkan bahwa siswa dapat belajar dari Film Dokumenter, yang menekankan pada manfaat kognitif (tentang nalar atas penjelasan di film dokumenter), manfaat psikomotorik (kemampuan bertindak atas pelajaran atau pengalaman tertentu atas yang terjadi di film dokumenter), dan manfaat afektif (yang berhubungan dengan perasaan dan emosi atas rasa atas seni yang terjadi di film).
Sedangkan untuk media dokumentasi sejarah juga budaya. Untuk sejarah, film dokumenter bisa saja menjadi bahan ilmu sejarah, asalkan tetap berdasarkan disiplin seperti fakta, cerita, dokumen, dan realita. Seperti kesimpulan yang dibuat oleh Aan Ratmanto dalam jurnalnya berjudul Beyond The Historiography: Film Dokumenter Sejarah Sebagai Alternatif Historiografi di Indonesia (2018), “Film, khususnya film dokumenter, dipandang sebagai media baru yang sesuai dengan karakteristik sejarah karena sama-sama menghadirkan realitas kehidupan nyata.”
Selain sejarah, film dokumenter juga bisa untuk budaya atau tradisi. Film Dokumenter bisa menjadi dokumentasi atas budaya untuk diwariskan kepada generasi penerus. Seperti kesimpulan menurut Citra Dewi Utami dalam jurnalnya berjudul Film Dokumenter Sebagai Media Pelestari Tradisi (2010), “Film dokumenter merupakan salah satu genre media audio visual yang digunakan untuk memediasi kembali pelestarian tradisi yang pada hakekatnya menjadi warisan besar.”
Pendidikan, sejarah, dan budaya sudah menjadi hal yang perlu dipertimbangkan dalam pembuatan film dokumenter, sebab ini menjadi dokumen penting yang menggambarkan keadaan yang nyata. Dokumen penting ini nantinya bisa dijadikan bahan pembelajaran dan juga warisan yang diturunkan. Oleh karenanya perlu untuk mempersiapkan dengan sungguh dalam pembuatan film dokumenter.
Tahap-Tahap Pembuatan Film Dokumenter
Dalam tahap pembuatan film dokumenter, menurut Wahyu Utami Wati dengan karya filmnya The Unseen World (2017) yang memenangi Festival Film Indonesia kategori Film Dokumenter pendek terbaik, memberikan 3 tahapan dalam pembuatan film dokumenter.
Pertama, tahap Pra-Produksi. Dalam tahap Pra-Produksi, diperlukan pengembangan terhadap 3 hal.
Hal yang pertama ialah pengembangan ide. Menurut Utami dalam penjelasannya, “Ide Pembuatan Cerita Dokumenter bukan dari hal yang imajinatif, tetapi dari fakta (realita)”, dari keadaan yang nyata tersebut, ide dikembangkan menjadi gagasan, gagasan tersebut menurut Utami, “kita perlu menguji gagasan tersebut dengan mengajukan beberapa pertanyaan.”
Pertanyaan pertama, apakah saya memiliki pengetahuan yang besar tentang gagasan tersebut?
Pertanyaan kedua, apakah saya memiliki ikatan emosional yang besar terhadap gagasan itu dibandingkan dengan hal lain?
Pertanyaan ketiga, apakah saya memiliki opini terhadap gagasan itu? mampukah saya berpihak? kepada siapa saya berpihak?
Pertanyaan keempat, apakah saya memiliki dorongan kuat untuk mempelajarinya?
Ide tersebut harus disesuaikan dengan ketiga hal ini. Pertama, Film dokumenter jenis apa yang akan dibuat. Kedua, bagaimana gambaran kemasan film dokumenternya. Ketiga, kepada siapa target penontonnya. Ketiga hal tersebut harus sinkron dengan ide yang akan dikembangkan.
Pengembangan yang kedua adalah melakukan riset awal. Menurut Wahyu Utami Wati, dalam melakukan riset ada beberapa pertanyaan yang perlu dijawab.
Pertanyaan pertama, seberapa besar pengetahuan kita terhadap persoalan-persoalan yang ingin dijadikan film?
Pertanyaan kedua, seberapa jauh pengetahuan kita terhadap tindakan-tindakan subjek dalam persoalan yang ingin diangkat?
Pertanyaan ketiga, apa hubungan subjek yang ingin diangkat dengan tokoh lain yang terlibat?
Pertanyaan keempat, bagaimana subjek yang ingin diangkat menghadapi persoalan tersebut? apa saja yang dia lakukan?
Selain itu, menurut Yuda Kurniawan yang memenangi Festival Film Indonesia tahun 2020 dalam kategori film dokumenter terbaik dengan karya Nyanyian Akar Rumput (2020).
Menurut Yuda dalam satu wawancarannya oleh Siasat Cinema, salah satu hal yang dipertanyakan sebelum membuat film ialah. Pertama, ketertarikan terhadap isu dan subjek. Kedua, Memiliki kegelisahan terhadap isu dan subjek.
Sedangkan menurut Search for Common Ground ada beberapa yang perlu dipersiapkan di awal ialah pesan utama apa yang ingin disampaikan.
Pengembangan yang ketiga ialah Pembuatan Langkah-Langkah (treatment). Di dalam pembuatan treatment susunan adegan yang akan divisualkan dilengkapi dengan alur cerita yang jelas. Seperti, penemapatan narasi, penempatan wawancara, unsur audio sudah ditempatkan dengan baik. Semua hal tersebut sudah harus disusun.
Kegunaan Treatment dipakai sutradara untuk acuan pengambilan gambar. Dalam tahap ini sutradara membuat shot list, daftar apa saja yang ingin diambil gambarnya secara rinci melalui dua pembagian video dan audio. Setelah itu, skenario (narasi) dibuat setelah pengambilan gambar dalam bentuk editing script (Video-Audio).
Tak kalah penting, ialah menyusun metode perekaman, baik itu merekam langsung atau rekonstruksi peristiwa. Selain itu dengan apa cara pengambilan gambar, apa dengan pengambilan gambar dekat, menengah, atau jauh.
Selain itu persiapan untuk wawancara, mulai dari cara pendekatan kepada subjek, hingga daftar pertanyaan, dan sekiranya apa saja kegiatan yang akan diikuti subjek tersebut.
Dan jika diperlukan ialah turun ke lapangan untuk melakukan survei, baik dari pengambilan gambar, lokasi wawancara, hingga hal-hal teknis lainnya selama produksi.
Hal teknis lainnya yang perlu dipersiapkan untuk menunjang treatment menurut Search for Common Ground ialah: pertama, tantangan apa yang sekiranya akan dihadapi selama proses produksi? siapkan plan A, plan B, plan C. Kedua, menulis pertimbangan teknis saat syuting, seperti akomodasi, administrasi, kendaraan, penginapan, perijinan, kondisi cuaca, dan lain-lain.
Kedua, Tahap Produksi (Proses pengambilan gambar). Dalam tahap produksi, ada dua tahap besar yang dilakukan yaitu wawancara dan pengambilan gambar sesuai daftar yang dipersiapkan atau shot list.
Hal pertama yang dilakukan ialah proses wawancara terhadap subjek. Proses wawancara tidak terbatas hanya tanya jawab, akan tetapi observasi kegiatan-kegiatan subjek dan keadaan kondisi di sekitar.
Selain itu, yang dipertimbangkan dalam pelaksanaan wawancara ialah lokasi atau setting tempat wawancara diambil menjadi penting untuk kita perhitungkan. Dengan mempertimbangkan kualitas cahaya dan tidak bising dengan suara-suara yang kemungkinan menggangu.
Hal Kedua yang dilakukan ialah juru kamera membuat dan melaksanakan shot list, dipersiapkan dan dilaksanakan detik per detik selama waktu yang ingin difilmkan sesuai dengan rencana yang telah ditulis. Dalam hal ini tidak hanya daftar gambar, juga daftar suara yang sekiranya bisa diambil.
Perlu diingat, pembuat film juga jangan terlalu terpaku dengan rencana, dia perlu mengambil kesempatan untuk mengambil gambar sesuai dengan ide yang sekiranya berguna. Hal tersebut untuk memperkaya film nantinya, dan jika bisa menjadi ide cerita tersendiri.
Dari sisi teknis, kamera yang perlu dipersiapkan setidaknya untuk mengambil gambar jarak dekat (close up) biasanya wawancara, medium shot (jarak menengah), dan jarak jauh (wide shot).
Ketiga, Pasca Produksi. Dalam tahap pasca produksi, agenda yang terlibat ialah tentu mengedit kumpulan video tersebut menjadi suatu film, menambahkan narasi cerita, hingga menyatukan suara, hingga menjadi satu kesatuan yang indah.
Hal pertama yang dilakukan adalah editing. Ialah tugas editor, mengedit video sesuai dengan editing script atau alur film sesuai dengan rencana di awal atau dengan kesepakatan pembuat film dilapangan yang mengetahui kondisi cerita subjek paling dekat.
Beberapa yang perlu dipertimbangkan. Ialah, menghitung detail durasi sesuai dengan target apakah film dokumenter panjang (1 jam lebih) atau pendek (30 menit kurang).
Hal kedua yang dilakukan ialah, pembuatan dan perekaman narasi oleh narator. Narasi dibuat setelah sekiranya sudah di tetapkan alur cerita yang disepakati, dari situlah narasi dibuat sesuai kebutuhan cerita. Hal lainnya yang dipersiapkan adalah juga memasukan riset dan grafis yang menunjang narasi sehingga mudah dicerna oleh penonton.
Hal ketiga yang perlu dilakukan ialah, menempatkan dan mengatur musik agar sesuai dengan visual. Hal tersebut dibutuhkan untuk membuat film menjadi lebih menarik selain dialog dari wawancara subjek atau narasi oleh narator. Kebutuhan musik juga harus disesuaikan dengan film dokumenter yang dibuat.
Hal lainnya ialah pembuatan kredit film di akhir, seperti pihak-pihak yang terlibat hingga keterangan-keterangan lainnya yang perlu dicantumkan.
Jenis-Jenis Film Dokumenter
Dari beberapa film dokumenter yang ada, beberapa pembagiannya jelas terlihat.
Pertama, film dokumenter investigatif. Jenis film dokumenter ini isi ceritanya mengungkapkan sesuatu yang tersenyembunyi dengan pendekatan latar gambar (kerusakan lingkungan, pembunuhan, dan lainnya) sebagai bukti akan adanya kecurangan.
Ditambah dengan karakter umumnya sebagai orang pertama atau orang ketiga serba tahu yang mencari bukti, baik itu gambar langsung, pengakuan, wawancara, dan lainnya yang mendapatkan gambar.
Umumnya kerja-kerja jurnalistik yang dilakukan oleh jurnalis, karena merupakan keahlian dalam mengungkapkan kejahatan, tetapi bukan tidak mungkin dikerjakan oleh selain jurnalis, khususnya orang yang ingin mengungkapkan sesuatu yang menurutnya penting.
Contoh dari film dokumenter investigatif ini seperti film Collective (2020) karya Alexander Nanau, yang berkisah tentang kondisi pelayanan kesehatan di Romania yang buruk, dibuktikan dengan korban kebakaran di Cafe Collevtive yang bukannya sembuh justru meninggal. Selain itu ada Citizenfour (2014) karya Laura Poitras, yang berkisah tentang penyadapan oleh pihak keamanan USA yang dibocorkan oleh satu orang yang mengaku Citizenfour kepada jurnalis The Guardian.
Kedua, Film Dokumenter Penjelasan (Expository). Film ini menjelaskan sesuatu cerita yang kompleks kedalam film, dengan sebuah cerita. Kelemahannya memang, tidak semua terungkap dan terjelaskan, akan tetapi mendapatkan gambaran secara utuh. Biasanya akan dibagi ke dalam beberapa bab untuk beberapa topik penjelasan.
Contoh dari film dokumenter penjelasan ini seperti Atas Nama Daun (2022)karya Mahatma Putra, yang menjelaskan sisi positif dari ganja, mulai dari membahas kesehatan, efeknya pada korban, legalisasi pengaturan, hingga lainnya.
Ketiga, Film Dokumenter Observasional (Direct Cinema). Film jenis ini menjelaskan satu peristiwa, atau satu kejadian, atau satu subjek secara detail dan mendalam, mulai dari kesehariannya, kegiatannya apa, dan apa saja yang dilakukan. Hal tersebut membuat film ini akan terasa membosankan, akan tetapi jika dibalut dengan tangkapan gambar sinematografi yang baik dan disusun atas alur penceritaan yang tersusun menjadi sangat menarik.
Contoh dari film dokumenter penjelasan ini All That Breathes (2022) yang akan dijelaskan lebih lanjut pada akhir tulisan ini, karena memang salah satu favorit.
Keempat, Film Dokumenter Sejarah atau Perjalanan. Film jenis ini menjelaskan rangkaian peristiwa yang panjang, dan memang tidak mudah, harus benar-benar dipersiapkan sejak dari awal untuk mendokumentasikannya.
Contoh dari film ini ialah Fire of Love (2022) yang mendokumentasikan perjalanan dua sejoli vulkanologi mengunjungi beberapa gunung berapi, dibuatkan film dokumenter dari file-file yang mereka rekam bertahun-bertahun jauh setelah dua sejoli ini meninggal. Penjelasan lanjutannya akan ada di bawah karena merupakan film dokumenter favorit.
Selain itu ada beberapa pendekatan menurut Wahyu Utami Wati, ada Issue Driven (pendekatan berdasarkan isu) dan Character Driven (pendekatan berdasarkan subjek tokoh).
Kebenaran membutuhkan wadah. Kejujuran membutuhkan suara. Kenyataan membutuhkan kamera. Film Dokumenter hadir untuk ketiganya.
Beberapa film dokumenter yang direkomendasikan oleh Kebijakan.co.id untuk ditonton.
***
Jakarta, Kebijakan.co.id — Dari beberapa film dokumenter yang Kebijakan.co.id tonton, dilihat dari kualitas penceritaan, filmografi, permasalahan, dan karakter (persona) yang kuat beberapa di antaranya dibahas secara singkat dalam bingkai cerita, sinema, dan persona.
Dengan mengangkat cerita sejarah di balik peristiwa tahun 1965 di Indonesia yaitu pembantaian mereka yang dituduh komunis, tanpa diadili, dengan melibatkan negara, preman (freeman), dan komunitas agama. Dokumenter ini dibalut dengan perjalanan pencarian akan hal yang sangat pribadi, pencarian pembunuh sang Kakak.
Dari sisi sinematografi, pengambilan gambar sangat reflektif dengan alunan nada piano yang menyedihkan, dengan latar gambar yang menyeramkan menggambarkan keadaan ketika itu, dengan nada warna yang sedikit gelap.
Dari sisi karakter (pesona), film ini sangat otentik. Perjalanan subjek atas masalah pribadi yang penasaran dengan apa yang terjadi di masa lalu terhadap sang Kakak, membawanya ke beberapa tempat dan orang, mewawancarinya, bertanya tentang apa yang sebenarnya terjadi.
Kedua, cerita dari India tentang bagaimana kedua orang, adik-kakak, yang membuat tempat konservasi untuk burung-burung karnivora seperti elang. Kegiatannya mengambil burung-burung yang sakit, lalu disembuhkan dengan cara operasi, lalu dirawat yang nantinya dilepasliarkan ketika sembuh.
Tidak hanya tentang konservasi, tetapi bagaimana menggambarkan keseimbangan alam, utamanya udara tempat semua mahluk hidup membutuhkan ruang hidup, dari tempat tinggal, bernapas, hingga cuaca. Dengan penceritaan sederhana akan tetapi begitu kuat, menjadikannya mendalam dan sangat reflektif. Disertai bumbu-bumbu masalah toleransi di India.
Secara sinematografi, pengambilan gambar yang sangat menawan, dengan latar gambar langit, burung, dan kota di India yang benar-benar menghipnotis penonton — walaupun sederhana seperti gambar burung, akan tetapi begitu menghipnotis. Selain itu, penempatan potongan video per video juga sangat tepat dalam film, itu juga yang menjadikan penonton terhipnotis. Seakan begitu sangat dekat berada di dalam film.
Dari sisi karakter, sang kakak dan adik ini begitu sangat kuat pendiriannya, walaupun pada awalnya kegiatan konservasi ini tidak menghasilkan — mereka mempunyai bengkel untuk mencari tambahan — akan tetapi mereka mencari sebuah makna bahwa burung — elang khususnya — mengajarkan mereka tentang kehidupan dan membuat mereka menjadi hidup.
Yang ketiga film dari India, sepasang suami-istri yang bekerja sebagai perawat gajah di salah satu taman nasional di India, mendapatkan tugas merawat gajah kecil yatim-piatu. Tidak semua perawat di sana bisa karena sulitnya merawat gajah kecil yatim-piatu, dengan kasih sayang yang begitu tulus merawatnya, mereka berhasil membesarkannya, hingga mendapatkan tugas kembali untuk merawat gajah kecil yatim-piatu lainnya.
Di India (mungkin seluruh dunia), merekalah yang pertama yang berhasil merawat anak gajah yatim-piatu hingga besar, umumnya gajah dirawat oleh perawat ketika dia sudah besar, jadi tidak sulit untuk merawat, memberi makan, mengajarkan cara hidup, dan hal-hal lainnya.
Cerita sederhana tetapi begitu menyentuh, tentang merawat mahluk hidup dan binatang, disuguhkan dengan sinematografi alam yang begitu menawan ditambah alunan suara tenang yang enak didengar menjadikan film ini begitu komplit, walaupun ceritanya sederhana akan tetapi begitu dalam untuk konservasi.
Secara karakter, pasangan suami istri begitu personal merawat gajah kecil yatim piatu, karena mereka baru saja kehilangan anaknya sebelum merawat gajah kecil itu, mereka menggangap merawat gajah kecil tersebut, seperti merawat anaknya yang telah meninggal. Karena ketulusan inilah mereka berhasil dan yang menjadi pertama merawat gajah kecil yatim piatu.
Film selanjutnya ialah My Octopus Teacher. Sebuah film yang menggambarkan kehidupan dan segala seluk beluk tentang gurita kecil, dibalut dengan penceritaan yang apik begitu menarik dari subjek utama pemeran utama — yaitu orang yang bertemu dengan gurita kecil tersebut.
Segala bentuk kekaguman atas binatang pintar tersebut disampaikan oleh Sang Narator, menghabiskan 1 tahun penuh dengannya, mulai dari cara mendekati (berkenalan), ‘bermusuhan’, berburu, diburu, perkawinan, hingga kematian.
Secara cerita sebenarnya sangat sederhana, akan tetapi balutan bercerita secara mendalam yang begitu menarik, ditambah sinematografi yang apik. Mengambil gambar detail tentang kehidupan hutan bawah laut selama 1 tahun, memang harus dikerjakan oleh kameramen berpengalaman dan penyelam yang berpengalaman.
Dari sisi karakter Sang Narator, begitu sangat dekat personal, dia mendapatkan dirinya galau (ntah karena apa penyebabnya), lalu bertemu dengan hewan yang begitu ‘canggih’ Sang Gurita, mengobati kegalauannya dengan berteman, sekaligus belajar darinya, mencari seluk beluk kehidupannya.
Sang Narator lalu mengambil satu pelajaran yang didapat dari siklus pendek Sang Gurita Kecil, ia belajar bagaimana menyangai kehidupan, mulai dari keluarga hingga alam — yang dalam hal ini laut.
Film selanjutnya masih tentang binatang dan lautan. Berkisah tentang seseorang yang dari kecil menyukai wahana hiburan lumba-lumba, dari situ dia menelusuri bagaimana bisa lumba-lumba itu bisa terdapat di sana, yang mengantar dia kepada negara dengan penangkapan lumba-lumba terbesar yaitu Jepang.
Jepang menjadi pintu masuk untuk menelusuri dunia gelap ‘ekonomi’ laut. Mulai dari penangkapan hiu, paus, dan lumba-lumba untuk menguntungkan ‘ekonomi’ dari ikan tuna dan beberapa ikan lainnya yang merupakan rantai makanan dari binatang puncak rantai makanan seperti hiu, lumba-lumba, dan paus.
Praktik-praktik ini, disertai dengan praktik pengambilan ikan seperti pukat harimau yang merusak terumbu karang, dan beberapa pengakapan yang sia-sia seperti sirip hiu.
Ditambah menelusuri ‘aktivis lingkungan’ yang tidak bersuara dari pengangkapan besar-besaran, akan tetapi malah membicarakan tentang dampak plastik terhadap laut. Setelah ditelusuri lagi, ternyata pendonornya merupakan perusahaan penangkapan ikan. Dan menurut temuan, bahwa dampak plastik terhadap kotornya laut, tidak seberapa dibandingkan dengan dampak sampah pukat atau jaring dari pengambilan ikan secara besar-besaran.
Ditambah praktik ini, juga melibatkan perbudakan modern salah satunya terhadap pekerja Indonesia, dan beberapa dampak kemisikan di Afrika akibat ketiadaan ikan akibat pengangkapan besar-besaran.
Selain itu tercemarnya laut juga karena praktik medomestifikasi ikan di dalam jaring, mengakibatkan kotoran bercampur dengan kehidupan air di sekitar. Hal tersebut menyebabkan kualitas daging ikan yang tidak sehat.
Secara sinematografi, dengan pendekatan ‘jurnalisme investigatif’ yang sangat asik, dan penggambilan gambar dan latar tentang ikan dan lautan, menyajikan pemandangan biru yang apik. Disertai musik yang menegangkan untuk bagian tertentu dan nada alami khas lautan.
Secara karakter sang aktor utama jelas sangat kuat untuk mencari tahu di balik bisnis lautan ini, membuat film memiliki karakter yang kuat. Selain itu karakter juga memiliki keberanian untuk menyelundup hingga praktik-praktik yang dilakukan oleh aktor ekonomi lautan hingga sangat dekat. Tak jarang berusuan dengan pihak berwenang yang melindungi. Juga berkonfrontasi dengan aktor tertuduh di balik ekonomi lautan ini.
Dari beberapa film yang ada, inilah yang saya sukai. Menceritakan bagaimana kebangkitan seorang atlet MMA dan pelatih tentara USA yang cedera. Dari cedera tersebut, dia menyelidiki bagaimana agar cedera bisa cepat pulih, belajar bagaimana fisiologis tulang dan tubuh manusia.
Dari situ dia menjelajah hingga belajar tentang Gladiator yang merupakan petarung pada abad pertengahan awal yang diketauhi merupakan memakan makanan berbasis sayuran dan kacang-kacangan (tumbuhan). Dari situ dia mempelajari atlet yang menggunakan metode makanan sejenis, mulai dari pelari, petarung, football, sepakbola, perenang, pesepeda, hingga pengangkat berat.
Selain itu juga menyelediki dampak kesehatan terhadap pemakan daging, terhadap darah tinggi dan lainnya. Hingga penyebab-penyebab dari industri daging yang merusak lingkungan, seperti pembukaan lahan.
Dari sisi sinematografi menghubungan antara bercerita secara personal, wawancara yang khas, disertai dengan sinematografi ala olahraga di setiap cabangnya. Ditambah gambaran tentang sains dan animasi yang berhubungan dengan kesehatan dan fisiologis tubuh.
Dalam penggambaran karakter, aktor utama begitu kuat untuk mencari tahu mempercepat kesembuhannya dari cedera, hingga merubah gaya hidup untuk kembali pulih. Menekankan bahwa dirinya serius terhadap gaya hidup pola makan berbasis tumbuhan. Ditambah ayahnya mengedap penyakit jantung akibat pola makan daging sedari kecil.
Film yang menceritakan tentang seorang veterang perang tentara marinir Amerika yang berperang di Afganistan melawan pemberontak muslim bersama Uni Soviet di tahun 1990. Setelah beberapa kasus, khususnya peristiwa 2001 di WTC memicu trauma atas muslim, hal ini disebabkan oleh pengalamannya berperang di Afganistan yang bisa disebut PTSD (gangguan pasca trauma).
Hal ini menyebabkan dia merencanakan untuk mengebom muslim center di kotanya, akan tetapi setelah masuk dan melihat, tentara ini merasakan damainya muslim menyambut mereka. Akhirnya luluh untuk melakukan pemboman.
Secara sinematografi, mayoritas penggambaran wawancara tatap muka yang begitu orisinil dan menawan. Selain itu latar pengambilan yang begitu eksestik menggambarkan kondisi kota yang sepi. Dan beberapa gambaran masa lalu sang tentara yang begitu bahagia dengan anak dan istrinya, sebelum menderita PTSD. Betul-betul menggambarkan sebuah cerita yang utuh, dengan jatuh bangunnya sebuah manusia dengan PTSD-nya.
Sang tentara dan beberapa orang disekitarnya (utamanya anak) karakter yang sangat kuat. Sang keluarga yakin ayahnya adalah orang baik, dan mereka bersama menghadapi penyakit PTSD tersebut. Selain penggambaran komunitas muslim yang damai dengan kegiatan-kegiatannya dan sejarahnya yang juga menjadi korban akibat perang.
Film dokumenter yang meliput penjuru daerah di Indonesia, khususnya yang terdampak PLTU, mulai dari kesehatan, ekonomi, masyarakat, politik, dan tentunya lingkungan.
Selain itu juga meliput proses dari hulu hingga hilir juga tak luput diliput, mulai dari penambangan batubara, distribusi batubara, hingga proses pembangkitan listriknya, menjadikan film ini komprehensif pembahasannya. Dua orang jurnalis memang sengaja berkeleling Indonesia untuk melihat langsung daerah-daerah yang terdampak PLTU. Mulai dari Jawa, Bali, Kalimantan, hingga Sulawesi.
Secara sinematografi film ini begitu menawan, menggunakan alat rekam yang terbaru pada masanya, seperti Go Pro, Drone, dan Kamera dengan resolusi tinggi menghasilkan gambar dan latar gambar yang menawan.
Belum lagi soal suara atau lagu yang memang khusus diproduksi untuk film dokumenter ini, yang sangat tepat menggambarkan kondisi yang terjadi di lapangan. Dengan bantuan animasi dan grafis yang menunjang memberikan informasi tambahan yang penting. Dengan alur cerita yang naik-turun agar tidak membosankan, membuat dokumenter ini begitu sempurna.
Secara karakter dua jurnalis ini cukup kuat dalam hal ekonomi-politik (yang memang sebagai tugas jurnalis mengawasi kekuasaan), dengan bingkai ekonomi-politik inilah yang menjadikan film dokumenter ini berbeda dengan film dokumenter lingkungan lainnya — yang umumnya hanya menyatakan dampak. Tentu ini membutuhkan skill khusus seperti jurnalisme investigasi, yang juga 2 jurnalis ini ahli dalam hal tersebut.
Film dokumenter yang terakhir, ialah film yang menceritakan kisah perjalanan dua orang peneliti vulkanologi yang menjelajah dari gunung berapi ke gunung berapi. Meneliti dari batuan hingga seluk-beluk gunung berapi. Film dokumenter diambil dari berkas-berkas yang disimpan, keduanya meninggal dalam letusan gunung berapi di Jepang.
Tidak hanya soal gunung berapi, kisah ini juga perjalanan kisah seorang yang saling mecintai hingga akhir hayat yang berdedikasi untuk ilmu pengetahuan.
Indahnya pemandangan gunung tidak perlu dihiraukan lagi dalam kualitas sinematografi walaupun dokumen-dokumen dari tahun di bawah 2000-an. Dengan narator yang ulung dengan suara yang indah menjelaskan begitu detail perjalanan dua sejoli yang jatuh cinta akan api. Benar-benar menghipnotis semua penonton akan kegigihan, jatuh cinta, dan cerita-cerita di baliknya.
Karakter dua sejoli ini benar-benar menunjunkan keteguhan akan hal yang diminatinya, meneliti hingga harus ‘mengorbankan nyawa’. Dua sejoli ini benar-benar menginspirasi apa yang harusnya dilakukan oleh seorang ilmuwan.
***
Dari beberapa film yang Kebijakan.co.id tuliskan di atas, bisa disimpulkan bahwa benang merah, film tersebut dikatakan bagus ialah pertama dari kualitas penceritaan, kualitas penggambaran sinematografinya, hingga karakter yang kuat. Mereka harus disamakan, dalam arti tidak boleh timpang antara satu dengan lainnya.
Kebenaran membutuhkan wadah. Kejujuran membutuhkan suara. Kenyataan membutuhkan kamera. Film Dokumenter hadir untuk ketiganya.
Di antara banyak cara kita menjalani hidup, memperbaiki cara mengkonsumsi dan mengolah sampah ialah cara yang paling bijak menjaga lingkungan dari diri kita.
***
Tanggerang, Kebijakan.co.id — Salah satu konten kreator yang berfokus pada gaya hidup zero waste adalah Eka Rahmawati. Ia menceritakan pada awal Januari 2020, rumah yang ia tempati bersama keluarganya terendam banjir besar mencapai lutut orang dewasa.
Atas peristiwa itu, mereka mengalami kerugian jutaan rupiah untuk mengganti perabotan rumah yang rusak. Dari peristiwa itu juga, ia memulai gerakan diet plastik dimulai dari yang dihasilkan oleh dirinya.
“Awalnya saya mengecek sampah apa yang paling banyak saya hasilkan setiap hari. Ternyata sampah kapas, tisu, dan pembalut sekali pakai yang lumayan banyak daripada jenis sampah lain. Setelah itu, saya perlahan mulai mengganti ke produk guna ulang (reusable), yaitu cotton pad kain, sapu tangan, dan pembalut kain,” ujarnya melalui keterangan tertulis pada Jumat (10/2/2023).
Pada survei yang dilakukan oleh Putu Dharma Yusa mengenai konsumsi plastik sekali pakai pada 15—25 Juli 2022, produk perawatan diri hanya menghasilkan 2—3 pcs dalam sebulan dengan menggunakan kemasan produk paling besar (57.20 persen)—tergantung pada faktor pendapatan, harga, dan selera konsumen. Pemilihan ukuran besar dinilai lebih murah dan dan dipilih oleh pendapatan relatif tinggi. Perbaikan ekonomi dan taraf hidup masyarakat berpeluang mengurangi sampah plastik ukuran kecil.
Selain menghasilkan sampah yang lebih sedikit, Eka juga merasakan pengaruh dan dampak lain dari sisi pengeluaran—bisa lebih berhemat karena dapat mengontrol diri saat hendak membeli produk.
Eka mengaku, dulunya ia sering membeli 4—5 camilan. Sekarang ia cukup membeli 1—2 makanan berkemasan supaya tidak terlalu banyak kemasan sekali pakai yang terkumpul di rumahnya.
“Di zero waste juga terdapat konsep ‘belilah produk sesuai dengan kebutuhan bukan keinginan’. Jadi, saat mau beli barang lebih berpikir, ‘gue perlu banget enggak ini barang atau cuma sekadar pengin aja?’”, tanyanya kembali pada diri sendiri pada Jumat (10/2/2023).
Untuk menjaga lingkungan, Eka juga sudah mulai mengurangi membeli pakaian baru—benar-benar pakai yang sudah ia punya dan berusaha menghilangkan pikiran harus membeli baru untuk kondangan atau acara tertentu.
“Dalam lingkup keluarga, saya berusaha mengenalkan zero waste dengan berbagai tindakan yang melibatkan mereka dengan cara meminta orang tua untuk membantu memilah sampah, mengajak mereka untuk ikut serta menyetor sampah ke drop point waste management atau berbelanja ke toko curah zero waste membawa wadah serta tas belanja kain sendiri,” tuturnya pada Jumat (10/2/2023).
Berdasarkan data yang diambil oleh Putu Dharma Yusa mengenai survei konsumsi plastik sekali pakai pada 15—25 Juli 2022 dengan total 275 responden menyimpulkan, hanya sekitar 8.80 persen responden yang berbelanja kebutuhan sehari-hari di bulk store berkonsep zero waste. Dijelaskan lebih lanjut, hal tersebut dikarenakan jumlah toko yang berkonsep seperti itu masih relatif sedikit dan sulit dijangkau oleh mereka.
Orang tua Eka sempat kebingungan dengan kebiasaan barunya yang senang mengumpulkan sampah plastik sekali pakai—mereka sempat protes berkali-kali karena berpikir apa gunanya untuk dikumpulkan sampah kotor tersebut.
Eka pun perlahan menjelaskan bahwa sampah yang dikumpulkan sudah bersih dari residu dan dipastikan tidak menimbulkan efek negatif.
“Sampai saat ini, hanya saya yang baru menjalani zero waste di rumah. Saya percaya mereka (orang tua) tergerak melakukan perubahan yang lebih besar lagi jika kebiasaan saya dilihat. Saya juga perlahan menjelaskan dampak dari plastik sekali pakai untuk lingkungan,” jelasnya pada Jumat (10/2/2023).
Dari survei peduli dan aksi terhadap sampah pada 15—31 Januari 2021 oleh Putu Dharma Yusa dengan 231 responden menunjukkan, aksi yang dilakukan individu mendominasi sebesar 39.91 persen yang disusul lingkup keluarga sebesar 31.92 persen. Aksi pengelolaan skala individu dan rumah tangga menjadi faktor penting dalam pengurangan dan pengelolaan sampah.
Eka membiasakan membawa alat makan reusable dan tas kain saat bepergian ke luar. Saat keadaan mendesak diharuskan membeli produk sekali pakai atau mungkin alat makan yang ia bawa sudah terisi dengan yang lain, ia mau tidak mau menggunakan plastik sekali pakai. Ia akan mengumpulkan, mencuci, serta mengirimkannya ke bank sampah untuk didaur ulang.
Tindakan dan perilaku Eka sejalan dengan hasil survei ekosistem sampah melibatkan 259 responden oleh Putu Dharma Yusa pada 7—15 Februari 2022 yang mana menunjukkan angka 91.51 persen responden memiliki tas belanja guna lang dan 78.38 persen memiliki tempat makan dan minum. Tingginya angka kepemilikan tersebut mengindikasikan adanya kesadaran untuk mengurangi penggunaan plastik sekali pakai.
Sebagai konten kreator, Eka ingin membagikan proses menjalani gaya hidup zero waste yang tidak mudah. Ia pun masih belajar dan banyak kekurangan.
Eka juga berpesan, jalani dengan pelan—semuanya butuh proses dan tidak harus sempunra dan usahakan ada peningkatan. Harapannya, akan ada orang yang tergerak sedikit demi sedikit beralih.
“Saya juga enggak mau terlalu memaksakan harus sempurna karena takutnya terbebani dan jadinya malah balik lagi ke kebiasaan yang lama. Paling saya cuma menyarankan, tapi enggak pernah memaksa mereka untuk ikuti saya,” jawabnya saat ditanya pengontrolan sampah sekali pakai saat berkegiatan dengan orang lain pada Jumat (10/2/2023).
Ilustri Gaya Hidup Sampah Tak Bersisa
Komunitas dan StartUp
CEO dari salah satu startup technology yang bergerak di penjemputan sampah daur ulang Octopus Indonesia, Moehammad Ichsan berdiri pada 2020 di Makassar, Sulawesi Selatan dengan tujuan mengurangi jumlah sampah yang berakhir di tempat pembuangan akhir (TPA) melalui platform teknologi.
“Octopus adalah sebuah ekosistem yang melibatkan semua pemangku kepentingan dalam ekonomi sirkular—pemerintah dan bank sampah diikutsertakan. Oleh karena itu, Octopus harus bertahap dan membutuhkan waktu (untuk tersedia di seluruh wilayah Indonesia),” terangnya melalui keterangan tertulis pada Kamis (16/2).
Ichsan menjelaskan cara Octopus Indonesia mengedukasikan zero waste kepada pengikut di media sosialnya dengan kesinambungan—memberikan rasa feel good. Proses pemilahan dimulai dari rumah tangga—melibatkan “pelestari” (relawan penjemput sampah pengguna dan bank sampah. Setelah itu, pemilahan akhir di fasilitas octopoint (tempat pengumpulan) di setiap kota.
Salah satu clean-tech startup yang menjembatani small enterprises ke factories, Rekosistem menawarkan manajemen sampah dengan koleksi sampah, pemilahan, dan treatment activities (recycle sampah dengan bantuan partner). Rekosistem menegaskan bahwa mereka bukan bank sampah, walaupun cara kerja terlihat serupa.
Sekretaris Jenderal World Cleanup Day (WCD) Indonesia, Septi menjelaskan WCD Indonesia memulai gerakan global bersih-bersih sampah yang dilaksanakan secara serentak di minggu ketiga September di setiap tahunnya sejak 2018. Tidak hanya itu, pelbagai kegiatan seperti kampanye, webinar, pelatihan, siaran langsung, dan aksi nyata terus digempurkan sebagai bentuk penyuaraan zero waste.
Dari survei peduli dan aksi terhadap sampah pada 15—31 Januari 2021 oleh Putu Dharma Yusa dengan 231 responden, sebesar 79.34 persen responden mendapatkan informasi dan rujukan mengenai budaya minim dan pengelolaan sampah dari media sosial yang mudah diakses—bagian dari gaya hidup masyarakat dan hadirnya platform bergerak di bidang pelestarian lingkungan.
“WCD Indonesia mengajak masyarakat Indonesia untuk lebih memerhatikan lingkungan, tidak hanya sampah—mengubah perilaku masyarakat dengan tindakan nyata dengan turun langsung ke sungai, jalan, gunung, laut, pantai, atau car free day (CFD) juga kunjungan ke sekolah dan desa,” bebernya pada Kamis (16/2).
Octopus Indonesia
Pengalaman
Sejak bangku sekolah dasar, saya sudah dibiasakan untuk memilah sampah sesuai jenisnya—kami juga didorong untuk mengumpulkan sampah plastik yang ada di rumah untuk disetorkan ke bank sampah yang dikelola sekolah. Bagi yang menyetor akan mendapat nilai tambahan untuk mata pelajaran Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH).
Kantin sekolah yang dalam penyajiannya tidak menggunakan kemasan sekali pakai menanamkan kebiasaan di dalam diri dan kehidupan saya. Sekolah dasar saya juga memiliki kegiatan kompos—hasil dedaunan yang kami sapu di setiap Sabtu pagi sebelum senam dikumpulkan dalam drum besar. Di sanalah kompos itu akan diproses dan pupuknya akan digunakan untuk pepohonan.
Kebiasaan tersebut terbawa hingga saat ini. Saya cenderung menolak plastik sekali pakai saat berada di luar. Jika saya harus terpaksa menggunakannya, sampah tersebut akan saya kumpulkan, bersihkan, dan setorkan ke bank sampah. Kegiatan ini saya lakukan tersembunyi dan diam-diam karena orang tua saya sangat menentang keras perbuatan tersebut.
Di rumah pun, hanya saya sendiri yang berusaha zero waste—menjadi minoritas dan tidak bisa berbuat bebas. Tidak jarang juga saya dicemooh “si paling lingkungan” oleh saudara sendiri, belum lagi orang tua yang menganggap saya mengoleksi dan menumpuk sampah kotor yang sangat meresahkan baginya. Mereka juga menganggap perbuatan saya sangat memakan tempat.
Saat masih berada di Pekanbaru yang merupakan daerah asal, saya menyetorkan sampah ke bank sampah di dekat rumah yang dikelola oleh warga sekitar. Itu pun baru dimulai pada pertengahan 2021. Ibu saya pun mencoba untuk memilah sampah dengan mengumpulkannya dalam karung goni. Namun, sampah tersebut tidak dibersihkan olehnya.
Melihat hal tersebut, saya pun mengambil kembali sampah tersebut dan membersihkannya serta mengeringkannya. Ibu saya terheran melihat perbuatan tersebut—ia berpikir mengapa harus dibersihkan, ‘kan bisa dikumpulkan saja. Saya pun menjelaskan bahwasanya sampah yang tidak dibersihkan bisa berpotensi busuk karena residu makanannya masih menempel.
Sebelum itu, saya belum bisa berbuat banyak dalam memilah sampah dikarenakan minimnya informasi serta penyuaraan tentang bank sampah di Pekanbaru. Padahal, dulunya Pekanbaru mendapatkan penghargaan Adipura selama tujuh tahun berturut-turut dari 2004. Sayangnya, penghargaan tersebut tidak diindahkan oleh wali kota selanjutnya.
Hanya saja, saya selalu mengusahakan diet plastik di mana pun dan kapan pun. Saya meletakkan tempat atau peralatan minum dan makan di dalam tas—tidak lupa juga tas belanja. Jadi, jika saya hendak memesan makan dan minum saat di luar, saya tinggal menyodorkan yang sudah disiapkan—mencegah bertambahnya plastik sekali pakai.
Saya pun merantau ke daerah Jabodetabek untuk menempuh pendidikan. Banyak fasilitas bank sampah yang tersebar di sini. Di daerah saya tempati, Dinas Lingkungan Hidup Tangerang Selatan menggencarkan bank sampah harus berdiri di setiap kelurahan. Hal itu disampaikan oleh salah satu penyuluh bank sampah di Kecamatan Pamulang.
Selain itu, banyaknya startup, lembaga swadaya masyarakat, komunitas, atau relawan lingkungan yang mendirikan bank sampah serta memfasilitasi penjemputannya sangat memudahkan saya untuk menegakkan gerakan memilah sampah ini. Hadirnya bulk store yang menjual produk yang bisa dibeli dengan wadah dan tempat sendiri secara curah menjadi “surga” bagi saya.
Dalam pemilahan sampah mandiri saat merantau, saya menyiasatinya dengan menata sampah tersebut dengan rapi di dalam satu kardus. Sampah tersebut harus dibersihkan dengan dicuci menggunakan sabun dan dan air agar tidak mengundang semut dan lalat. Setelah kering, sampah akan dilipat atau diremuk agar menjadi kecil agar menyisakan banyak ruang dan tidak memakan tempat.
Say memilih Rekosistem untuk menyetorkan sampah yang sudah dikumpulkan. Kardus yang sudah dikemas dengan baik agar tidak berceceran siap diantar. Sebelum menyetorkan sampah, saya harus melakukan pendataan di aplikasi untuk mendapatkan kode yang harus ditulis di kardus tersebut. Nantinya saya juga harus memilih drop point dan memfoto sampah tersebut.
Biasanya saya memilih untuk mengantarkannya menggunakan transportasi umum karena menghindari macet dan mengurangi risiko membawa barang menggunakan motor, sembari bersantai sejenak juga! Drop point yang saya ambil antara lain Stasiun MRT Blok M BCA atau Pantai Maju Jalasena.
Menuju ke sana, saya menggunakan Transjakarta koridor S21 Ciputat—Blok M turun di bus stop Taman Literasi Christina Martha Tiahahu dan lanjut berjalan sekitar 200 meter. Bisa juga melakukan transit di halte Cakra Selaras Wahana (CSW) untuk berpindah ke koridor 1 Blok M—Kota dan transit lagi di halte Monumen Nasional (Monas) untuk beralih ke koridor 1A Pantai Indah Kapuk (PIK)—Balai Kota. Sampah sudah bisa langsung diletakkan dalam tempat yang sudah disediakan.
Diterbitkan: Rabu, 15 Maret 2023
Pukul: 23.00 WIB
Jurnalis: Fayza Rasya
Editor: Adi Fauzanto
Berbagai cara mengatasi kemacetan di Kota yang dianggap ‘kota swasta’ dengan berbagai varian transportasi publik. Apakah upayanya membuahkan hasil? Jurnalis Kebijakan.co.id mencari tahu melalui pengamat, pegiat, pendatang, warga, data, peneliti, dan turun langsung menikmatinya.
***
Tangerang, Kebijakan.co.id — Penasaran dengan kota yang dianggap ‘kota swasta’ –yang dikendalikan oleh swasta— saya (jurnalis Kebijakan.co.id) ingin mencoba membuktikan apakah ini benar terjadi, khususnya pada transportasi publik, yang hangat dibicarakan awal tahun 2023 ini. Apakah Pemerintah Kota lepas tangan begitu saja –dan menyerahkan semuanya kepada swasta?
Sebelum saya membuktikan langsung, baiknya saya menelusuri orang-orang yang telah menggunakan transportasi publik di Kota Tangerang.
Kata Mereka: Pengamat, Pegiat, Pendatang, dan Peneliti
“Saya hanya pernah mendapatkan kendaraan yang terlalu penuh karena kurangnya armada, atau lamanya waktu tunggu antar armada,” Cerita Ari Subagyo (21), warga Kecamatan Kelapa Dua.
Menurutnya kualitas layanan transportasi umum Kota Tangerang mengalami penurunan kualitas, dilihat dari banyaknya armada yang tidak terawat dan pelayanan tidak sebaik saat baru diluncurkan.
Ia mengaku, sudah pernah mencoba Commuterline, Bus Tangerang Ayo disingkat Tayo, Bus Trans Tangerang, dan angkutan umum (angkot) konvensional. Hanya Angkot Si Benteng saja yang belum ia coba. Dari pengalaman menggunakan, pembayaran antar moda juga terpisah—masih dalam kisaran biaya terjangkau.
“Sisanya, cukup baik karena memang sangat membantu mobilitas terutama ke tempat-tempat di Kota Tangerang,” tutup ceritanya melalui keterangan tertulis pada Selasa (10/1/23) kepada saya.
Senada dengan cerita awal Ari tentang keluhan armada yang penuh. Hal tersebut juga pernah diteliti oleh Fakhruriza, Dwi, Linta pada tahun 2017.
Dalampenelitiannya itu mereka memberikan masukan untuk memperbaiki penataan ulang jumlah armada yang berpoperasi untuk mengoptimal fungsi angkot untuk masyarakat, khususnya pada jam-jam sibuk sehingga ketersediaan angkot oleh masyarakat menjadi seimbang dan tidak terjadi penumpukan.
Jika tidak ditata, maka penumpukan akan sering terjadi. Menurut cerita Ari juga, angkot konvensional dianggap salah satu penyebab kemacetan beberapa titik di Kota Tangerang.
Merespon itu, pemerintah melahirkan ide Angkot Si Benteng, pun belum terasa maksimal sebab trayek yang belum banyak dan bervariasi. Diklaim sebagai angkot modern karena mengumpan penumpang di plang khusus ini dinilai belum menjadi jawaban atas dunia permacetan ria di Kota Tangerang.
Selain itu, masalah lainnya dari Angkot Si Benteng, ialah pengemudinya yang tidak karuan dalam membawa kendaraan. Hal itu diakui oleh Wali Kota Tangerang Arief R Wismansyah mengungkapkan masih adanya keluhan masyarakat terkait pengemudi Angkot Si Benteng yang berkendara secara ugal – ugalan pada Senin (5/12/22).
Merespon itu, “Dishub (Dinas Perhubungan) saya minta nanti pasang stiker Call Center di belakang mobil dan di dalam mobil, kalau pengemudinya ugal – ugalan, berhenti sembarangan, tidak on time masyarakat bisa lapor,” pintanya.
Terkait keluhan masyarakat tersebut, Direktur PT TNG Edi Chandra mengaku telah menyediakan Call Center. Masyarakat bisa menghubungi di Nomor 021-5578-5679 atau melalui sosial media seperti Instagram di @tangerangnusantaraglobal.
Menurut salah satu penggiat mobilitas aktif dengan nama akun @tfjakarta, Adriansyah Yasin Sulaeman atau yang biasa disapa Adrian, mengacungi jempol kepada Pemkot Tangerang dengan adanya Trans Kota Tangerang dan feeder Si Benteng –mirip Mikrotrans di Jakarta– bisa menjadi jaringan transportasi umum yang baik—dibanding kota lain di Bodetabek hanya Tangerang yang mampu dan punya political will untuk membuat layanan transportasi umum tersebut berjalan hingga sekarang.
Hanya Tangerang yang mampu dan punya political will untuk membuat layanan transportasi umum tersebut berjalan hingga sekarang.
Adrian (Pegiat Transportasi Publik)
Selain itu Angkot Si Benteng juga bisa melakukan pembayaran melalui QRIS, suatu yang diapresiasi oleh Ari.
Sedangkan untuk Trans Kota Tangerang sendiri, menurut Ardrian, “Walaupun memang tidak bisa dibandingkan secara apple-to-apple dengan Transjakarta, sudah lumayan bisa menjadi opsi bagi warga Kota Tangerang yang dilayani oleh bus tersebut untuk dijadikan moda mobilitas harian mereka,” tautnya melalui keterangan tertulis.
Apresiasi lainnya datang dari salah satu pemerhati transportasi umum, Insan Ridho Chairuasni, ia mengapresiasi upaya dari pemerintah Kota Tangerang dalam layanan transportasi umum yang beragam. Menurutnya memang layanan integrasi secara pembayaran dan jadwal layanan harus dibenahi.
“Saya rasa layanan transportasi umum di Kota Tangerang sudah mengalami perbaikan, walaupun masih terbatas dari segi cakupan layanan. Upaya penambahan dan modifikasi rute sepertinya akan lebih memberi dampak positif bagi masyarakat Kota Tangerang,” jawabnya melalui keterangan tertulis pada Rabu (18/1/23) kepada saya.
Saya rasa layanan transportasi umum di Kota Tangerang sudah mengalami perbaikan, walaupun masih terbatas dari segi cakupan layanan.
Insan Ridho (Pengamat Transportasi Publik)
Selain itu, apresiasi lainnya datang dari salah satu perantau asal Pekanbaru bernama Wan Muhammad Arraffi (18), ia merasakan beragamnya transportasi umum, mulai dari bus, kereta, angkot, dan lainnya sangat terjangkau di kantongnya sebagai mahasiswa. Namun, “saya lebih memilih transportasi online jika keadaan mendesak dan memilih angkot jika tidak diburu waktu. Hanya saja, angkot tidak tepat waktu dan sering ngetem.” Hal tersebut juga harus menjadi catatan.
Apresiasi tersebut harus dilihat lagi secara data. Misalnya, data jumlah kendaraan di BPS (Badan Pusat Statistik) Provinsi Banten. Data tersebut menunjukan adanya peningkatan jumlah kendaraan bus cukup signifikan di tahun 2021. Dan adanya jumlah penurunan kendaraan pribadi, berupa motor. Serta kendaraan mobil, yang cenderung naik dan turun.
Keamanan dan Kenyamanan
Respon pemerintah terhadap keluhan Angkot Si Benteng yang dirasa ugal-ugalan tersebut, perlu diapresiasi. Sistem keamanan memang harus dijangkau sedekat mungkin dengan pengguna transportasi publik.
Dalam hal ini Aldhi, Imma, Deni melakukan penelitian dengan menggunakan metode perhitungan kemungkinan masyarakat berpindah dari transportasi pribadi ke transportasi massal Bus Trans Tangerang.
Untuk meningkatkan kualitas pelayanan transportasi publik di Kota Tangerang, menurut mereka, kemungkinan tersebut dapat terjadi jika beberapa hal diperbaiki, di antaranya:
(1) Atribut identitas kendaraan Bus (yang ditunjukan untuk mengidentifikasi Bus tersebut mencegah hal-hal yang tidak diinginkan);
(2) Menambahkan informasi dan tanda bahaya: lampu isyarat tanda bahaya, informasi gangguan keamanan yang masif yang berisikan nomor telepon atau call center;
(3) Akses informasi akses transportasi, seperti: informasi kedatangan bus, informasi umum trayek, informasi suara atau melalui perangkat elektronik;
(4) Faktor kebersihan, mulai dari kendaraan transportasi massal hingga haltenya;
(5) Terakhir ialah penambahan jumlah armada yang dihitung secara pasti antara kedatangan satu kendaraan dengan kendaraan lainnya.
Selain keamanan, hal yang perlu diperhatikan juga kenyamanan. Datang dari Bella dan Haryono melalui penelitiannya, mereka menekankan pada kebersihan halte dan kendaraan. Di kendaraan misalnya, masih banyak masyarakat yang membuang sampah sembarangan pada beberapa armada, hal ini perlu direspon dengan disediakannya tempat sampah.
Sedangkan di halte, masyarakat –khususnya anak muda—kerap kali mencoret-coret halte untuk ajang eksistensi, hal ini perlu direspon dengan disediakannya ruang publik untuk ekspresi untuk anak-anak muda. Lainnya, halte juga dijadikan mangkalnya ojek online, sehingga fungsi sebagai tempat tunggu transportasi publik menjadi terganggu, hal ini perlu direspon oleh perusahaan ojek online tersebut untuk mentertibkan ‘mitra’nya.
Sumber: Fayza Rasya
Integrasi Tangerang dan Jabodebek Sekitarnya
Sebagai perantau, Raffi merasa terbantu dengan transportasi umum di Jabodetabek, menurutnya, ”memiliki layanan cukup baik—petugas bersikap ramah dan suka membantu. Informasi mengenai jadwal dan rute dapat dipahami dengan mudah. Kebersihan dari segi armada, halte, atau stasiun juga terjaga dan nyaman digunakan,” ceritanya melalui keterangan tertulis pada Selasa (10/1/23) kepada saya.
Namun, menurut Raffi terdapat kendala di beberapa rute wilayah tertentu yang armada busnya cukup lama, sebab terbatas armadanya. Jadi untuk keadaan yang mendesak, transportasi umum sangat sulit jika kendala tersebut tidak diperbaiki, yaitu ketepatan waktu.
Bicara Integrasi di Jabodetabek, khususnya Jakarta-Tangerang, Ridho beranggapan dalam cuitannya di Twitter, bahwa koridor 13 Transjakarta rute Puri Beta—Tendean merupakan anugerah terindah yang dimiliki warga DKI Jakarta dan Kota Tangerang.
“Saya pikir ini memang koridor yang ideal untuk operasi BRT. Meskipun beberapa halte memang masih punya keterbatasan aksesibilitas penumpang, saya rasa koridor 13 punya karakteristik operasi yang baik, seperti headway yang terjaga dan jalur yang steril,” paparnya saat ditanya alasannya menuliskan cuitan tersebut pada Kamis (19/1/23) kepada saya.
Ridho juga merasakan Transjakarta koridor S11 dan T11 bisa membantu transportasi antarwilayah walaupun ini sesungguhnya perlu didorong oleh pemegang kebijakan terkait seperti BPTJ. Layanan seperti Transjabodebek dan JR Connexion seharusnya bisa menyokong lebih banyak wilayah dan rute untuk daerah sekitar Jakarta.
Sedangkan menurut Adrian, dia melihat dalam waktu sepuluh tahun terakhir, Kota Tangerang sebagai salah satu kota sub-urban Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi) telah melihat banyak perkembangan besar dalam hal pengembangan transportasi umum.
“Dimulai dari pembenahan layanan Commuterline ke Kota Tangerang, kemudian dengan adanya KA Bandara juga ke Bandara Soekarno-Hatta yang memberikan opsi akses yang lebih banyak untuk warga Kota Tangerang,” jabarnya melalui keterangan tertulis pada Jumat (20/1/23).
Selain itu menurut Adrian, PR (tugas rumah) Pemerintah Kota Tangerang ialah memaksimalkan akses yang sudah ada—mungkin bisa fokus di pengembangan integrasi di sekitar Terminal Poris Plawad ke Stasiun Batu Ceper yang kondisinya belum optimal.
“Akses dari Stasiun Commuterline lain seperti Poris juga bisa menjadi sorotan di mana Pemkot Tangerang bisa membuka layanan-layanan feeder baru dari Stasiun Poris ke Cipondoh atau daerah sekitarnya yang berpotensi menjadi moda pengumpan bagi banyak warga di sekitar daerah tersebut,” pikirnya melalui keterangan tertulis.
Adrian berpendapat lebih penting untuk tetap memaksimalkan layanan Trans Kota Tangerang yang sudah ada saat ini dan ke depannya untuk terus aktif memperlebar akses transportasi umum ini ke wilayah yang belum terjangkau serta membangun integrasi antar wilayah.
Jalur Transportasi Publik di Kota Tangerang (Sumber: Pemerintah Kota Tangerang)
Selain itu masalah lainnya diungkapkan salah satu akun yang menginformasikan seputar transportasi umum secara rutin, @jalurlima menerangkan bahwa kelemahan yang digarisbawahi dari transportasi umum di Kota Tangerang adalah jam operasi selain Commuterline dan sulitnya membangun transportasi umum antar wilayah.
“Padahal, banyak warga yang beraktivitas ke Tangerang Selatan dan Kabupaten Tangerang. Sebagai contoh Trans Tangerang tidak bisa menyentuh Tangerang Selatan,” tuturnya melalui keterangan tertulis pada Rabu (11/1/23).
Dan jika berkaca dari Jakarta, Ari juga sangat menyayangkan Kota Tangerang tidak memiliki ide integrasi transportasi layaknya JakLingko yang dimiliki DKI Jakarta yang juga menghubungkan daerah di sekitar ibukota, seperti Bekasi.
Menurut Ari, seharusnya melihat keadaan ekonomi Tangerang yang cukup tinggi, Tangerang Raya (Kabupaten, Kota, Tangsel) memiliki kendala, “Belum lagi masalah angkutan antar daerah (di Tangerang Raya).”
Sudah selayaknya Kota Tangerang memikirkan skenario terbaik penduduk menggunakan transportasi umum agar terpecahnya kemacetan,” pikirnya melalui keterangan tertulis pada Rabu (11/1/23).
Salah satunya melalui pembangunan Transit Oriented Development (TOD), “Melihat rute dan koridor yang disediakan, rasanya sulit menentukan lokasi yang bisa menjadi titik integrasi TOD,” pungkas Ari.
Terkait TOD sendiri, Adji Prama, Anisa, dan Lutfi pernah melakukan penelitian berkaitan dengan pembangunan TOD dalam satu kawasan di Kota Tangerang, dengan tujuan memberikan kenyamanan dan kemudahan untuk aktivitas lalu-lalang masyarakat.
Mereka menyimpulkan dalam penelitiannya, kondisi integrasi antarmoda di sekitar stasiun Tangerang masih kurang baik, walaupun lokasinya sudah dekat, namun aksesnya kurang baik, “berdasarkan perhitungan Jumlah Pengguna Commuter Line di stasiun Kota Tangerang dibandingkan dengan Jumlah Pengguna Kereta Kota Tangerang Tahun 2015.”
Transportasi publik harus didesain sebaik mungkin, agar dapat memberikan rasa aman, nyaman, mudah dan murah untuk dijangkau seluruh lapisan masyarakat
Amsal (Penulis Buku Transportasi Publik)
Dari masalah yang ada, Amsal mengatakan dalam bukunya, “Transportasi publik harus didesain sebaik mungkin, agar dapat memberikan rasa aman, nyaman, mudah dan murah untuk dijangkau seluruh lapisan masyarakat.” Sehingga keinginan masyarakat untuk berpindah dari transportasi pribadi ke publik, menjadi besar.
Melihat dari Dekat
Setelah lelah mendengarkan, membaca, dan meriset dari berbagai narasumber, saya turun ke lapangan untuk langsung mencobanya pada Rabu (18/1/23). Diawali menggunakan Commuterline dari Stasiun Sudimara yang berada di lin hijau (Serpong) dengan estimasi keberangkatan pukul 11.09 WIB.
Untuk mencapai lin coklat (Tangerang), saya harus transit terlebih dahulu di Stasiun Tanah Abang pada pukul 11.34 WIB dan berpindah ke peron dua menuju Stasiun Duri pada jadwal 11.37 WIB. Kisaran kurang lebih lima menit saya pun sampai dan langsung bergegas ke peron lima dan memulai perjalanan pada pukul 11.48 WIB.
Sekitar pukul 12.35 WIB, saya pun sampai di Stasiun Tanah Tinggi. Untuk melanjutkan perjalanan, saya menuju halte BRT yang tidak jauh dari pintu keluar—sekitar tiga menit berjalan kaki. Sepuluh menit kemudian, bus Trans Tangerang koridor T01 rute Terminal Poris Plawad pun muncul.
Saya berjumpa dengan sang sopir bernama Abdurrahman Saleh (46). Ia mengungkapkan bahwasanya Trans Tangerang sudah diluncurkan sejak 2015 dan setahun terakhir kembali diaktifkan karena pandemi Covid-19 yang mewabah tiga tahun belakangan.
“Seharusnya dilakukan dengan memindai QRIS, tetapi banyak penumpang yang memilih membayar tunai kepada saya. Nanti saya sendiri yang membayarnya melalui QRIS setelah berjalan satu keliling penuh,” ungkapnya saat ditanya sistem pembayaran Trans Tangerang ditemui langsung pada Rabu (18/1/23).
Ia melanjutkan bahwasanya Pemerintah Kota Tangerang menghabiskan dana sekitar Rp12,5 miliar untuk menggratiskan layanan Trans Tangerang selama tiga bulan, September—November. Hal ini dilakukan untuk memberikan kemudahan bagi masyarakat yang terkena dampak kenaikan BBM.
“Trans Tangerang ini dikelola oleh pihak ketiga. Oleh karena itu, pembayarannya melalui QRIS karena dianggap universal. Jika menggunakan Kartu Uang Elektronik (KUE), maka mereka mengurungkan niat. Target pengguna Trans Tangerang adalah masyarakat menengah ke bawah,” sambungnya saat ditemui langsung.
Dengan tarif yang murah dan terjangkau Rp2 ribu, Saleh berharap makin banyak warga Kota Tangerang yang mengandalkan berbagai armada transportasi umum yang disediakan Pemkot dan Dishub Tangerang dalam mobilitas sehari-hari.
Untuk mengitari satu rute penuh dengan interval setiap 15 menit, Trans Tangerang koridor T01 membutuhkan waktu tempuh sekitar satu jam—saya pun turun pada pukul 13.50 WIB untuk berlanjut menggunakan Transjakarta koridor T11 Poris Plawad—Bundaran Senayan pada pukul 14.00 WIB.
Koridor ini menggunakan ruas tol Tangerang—Jakarta untuk dalam lintasan jalurnya. Perjalanan memakan waktu sekitar satu jam 15 menit. Saya pun melakukan transit di Halte Gelora Bung Karno (GBK) untuk beralih ke Transjakarta koridor satu rute Blok M—Kota.
Dengan interval yang singkat setiap lima menit, berselang dua menit saya pun menuju Halte Cakra Selaras Wahana (CSW) pada pukul 16.37 WIB. Enam menit kemudian, Transjakarta koridor S21 rute Ciputat—CSW pun muncul dan saya mengakhiri turun lapangan pada pukul 17.45 WIB.
Bus Tayo Kota Tangerang (Sumber: Pemerintah Kota Tangerang)
Jika Jakarta (dan sekitarnya) diprediksi akan macet total. Dan, kita terus mengeluh tentang kemacetan. Sederhana, beralihlah ke transportasi publik. Pengambil kebijakan (pemerintah, perusahaan, legislatif) harus menyadari itu.
Semangat itu tumbuh dari rasa kepemilikan bersama, potret itulah yang menggerakkan masyarakat membangun PLTMH (pembangkit listrik bertenaga air berskala kecil) serta menjaga sumbernya, tirta (dibaca: air) dan hutan, dari sampah dan pembalakan. Betul memang, ide pengurangan emisi karbon datang jauh dari benua biru, akan tetapi, kalau masyarakatnya tidak mau –terlebih pemerintahnya–, akan menjadi hal yang sulit.
Dia harus tumbuh dan berkembang bersama masyarakatnya, lewat sumber-sumber pernghasilan, seperti perkebunan, wisata, pendidikan, hingga lapak-lapak yang bisa menjaga agar dapur rupah terus mengepul asapnya. Persis seperti pepatah ‘menyelam sambil meminum air’, sudah dapat energi bersih, masyarakatnya tergerak, ekonomi berjalan, alampun menjadi sehat.
***
Malang, Kebijakan.co.id – Jalan-jalan sore ditemani udara sejuk di perbatasan Malang Kota dan Kabupaten (12/12/22) sembari melihat sungai Brantas yang besar dan deras di akhir tahun, berdiri megah Stadium atau Dome Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) yang selesai didirikan 2005 ini. Kemegahan kampus ini tak hanya tampak pada fisiknya saja. Pun, begitu juga dengan prestasinya.
Tahun 2008 misalnya, UMM mendapatkan penghargaan Asean Energy Awards, sebabnya UMM memiliki swadaya energi sendiri melalui 2 PLTMH (Pembangkit Listrik Mikro Hidro), Sengkaling 1 yang dibangun tahun 2007 bersama Kementerian ESDM (Energi dan Sumber Daya Mineral) dan Sengkaling 2 yang dibangun tahun 2015.
Ditemani udara sore yang sejuk, sekitar jam 5, saya (Jurnalis Kebijakan.co.id) berjalan mendatangi kantor PLTMH Sengkaling 1 milik UMM ini yang tidak jauh dari Dome UMM, setidaknya mengecek apakah batang hidungnya terlihat atau tidak. Karena sore, tempat itu kosong melompong, dalam hati saya, “Sepertinya stafnya sudah pada pulang, besok pagi saya balik lagi.”
Paginya (13/12/2022), saya bertemu Adit, saya janjian untuk melakukan wawancara dengan pimpinan PLTMH UMM ke eseokan harinya.
Sembari kami berkenalan, saya bercerita tentang sore hari kemarin, “Iya, biasanya kita kerja dari pagi sampai sore jam 3, terkadang sampai malam kalau lagi trouble, kalau lagi hujan atau banyak sampah,” kata Adit (teknisi dan operator PLTMH UMM), pria berkulit sawo matang berseragam ala teknisi berwarna biru pada umumnya pada saat saya kunjungi di kantor (sekaligus workshop dan sarana pendidikan).
Kantor yang berlantai 2 tersebut, di lantai atas merupakan ruangan tamu di bagian depan sisi kiri gedung, dan tempat untuk staf di bagian kanan belakang gedung yang setengahnya dihilangkan untuk melihat kondisi di lantai dasar yang merupakan tempat generator mesin PLTMH Sengkaling 1 bekerja sekaligus tempat edukasi.
***
Diberkahi kondisi alam yang mendukung, melewati sungai Brantas dan kondisi topografi gunungan (tinggi ke rendah), membuat Kementerian ESDM melirik untuk menguji coba membangun PLTMH.
Pada awalnya proyek ini diinisiasi oleh Dosen UMM yang membuat studi kelayakan pada tahun 2000-2001 di daerah sengkaling tersebut, “Iya, ini awalnya hasil studi dosen, jadi UMM itu hanya tim pengkajinya (studi kelayakan), kita sediakan tempat dan lahan, dibangun dan diputuskan oleh ESDM,“ cerita Kepala Divisi PLTMH UMM saat ini, Machmud Effendy (14/12/2022), di mana kondisi topografi miringan dan mengalir air dari Sungai Brantas cukup besar, ditambah di atasnya terdapat bendungan.
Tahun 2008 selesai dibangun, PLTMH ini masih dikendalikan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian ESDM, namun selang beberapa tahun dikelola oleh UMM, tetapi masih dimiliki oleh ESDM. Hingga pada tahun 2020 diserahkan secara hibah kepada UMM secara kepemilikan oleh ESDM. “Iya, setelah 2020 sudah diserahkan kepada UMM, full milik UMM yang mengelola,” cerita Mahcmud kepada Saya.
Secara teknis, “awalnya PLTMH ini terhubung (interkoneksi) dengan PLN, namun karena arusnya (air sungai dikarenakan banjir atau kemarau) tidak stabil menyebabkan generator tidak siap, akhirnya ketika terhubung dengan PLN yang memiliki besaran yang stabil. Akhirnya generator kita yang rusak karena lebih besar dari PLN, dari hal itu tidak kerjasama (interkoneksi) dengan PLN lagi,” cerita Adit kepada Saya.
Setelah mengakhiri kerjasama dengan PLN, PLTMH UMM mengaliri swadaya untuk kegiatan perkuliahan UMM sendiri. Untuk diketahui PLTMH UMM saat ini mengaliri listrik kepada sebagain gedung UMM, tepatnya setengah GKB 4, lainnya mengaliri rusunawa (rusun mahasiswa), dan sebagian gedung perkantoran UMM.
Dan sampai saat ini, “UMM menjadi satu-satunya, bukan salah satunya, kampus yang memiliki PLTMH,” klaim Machmud kepada saya.
UMM menjadi satu-satunya, bukan salah satunya, kampus yang memiliki PLTMH.
Saya mencari tahu apa itu PLTMH? PLTMH sendiri menurut panduan singkat dari Kementerian ESDM, ialah, mengubah energi air yang terdapat pada air terjun menjadi daya yang berguna. Untuk mengalihkan aliran air, tinggi muka air sungai harus dinaikkan dengan penghalang (bendung). Aliran air diarahkan kepada bangunan penyadap dan saluran pembawa yang berada di sepanjang pinggang bukit.
Saluran pelimpah melindungi dari kerusakan akibat aliran air yang berlebihan. Lalu, diperlambat dan ditampung di bak penenang—air memasuki pipa pesat dan pertekanan yang mengalirkan air ke rumah pembangkit yang terdapat turbin.
Turbin sebagai pengubah tenaga di peralatan penggilingan atau pembangkit listrik berada. Kemudian, air dibuang kembali ke pipa atau saluran pembuangan jika menggunakan turbin aliran silang (pelton).
UMM dan Cita 1000 PLTMH di Indonesia
Saya diajak berkeliling melihat PLTMH Sengkaling 1, sambil melihat beberapa siswa SMK dan SMA yang hadir secara rombongan untuk belajar. “Iya selain untuk mengaliri listrik, di sini juga sarana edukasi,” cerita Adit, yang tampaknya kebingungan karena di hari itu banyak tamu yang datang.
Setidaknya saya melihat kurang lebih 5 sekolah SMK atau SMA sudah menunggu di luar untuk melihat dan belajar langsung terkait PLTMH.
Machmud bercerita PLTMH UMM dikunjungi sekolah-sekolah dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi, “bahkan tingkat S3 untuk penelitian,” satu minggu, “bisa 2 sampai 3 kali dikunjungi,” tambah Mahcmud.
Layaknya Ahmad Dahlan muda yang sedang mengajar dengan bangku dan meja ketika awal abad 1900-an dengan ‘mendobrak’ sistem kolot dan mulai menyelaraskan dengan modernisasi. Sama halnya ketika saya melihat Adit sedang menjelaskan PLTMH melalui TOA-nya kepada siswa yang duduk. Mengajarkan energi masa depan, energi yang bersih, dan yang tidak akan habis kecuali kita merusak sumbernya.
Ketika Adit menjelaskan kepada anak-anak SMA dan SMK, Machmud, Kepala Divisi PLTMH, yang nampaknya rela menemui saya di saat jam-jam kuliah Fakultas Teknik UMM.
Ketika Machmud mulai menceritakan sejarah pembangunan PLTMH. Di tengah pembicaraan, terdapat satu hal yang menarik, ialah UMM memiliki cita-cita membangun 1000 PLTMH, “Kita sudah punya titik-titik daerah mana saja di Indonesia yang cocok dibangun PLTMH,” UMM melakukan studi kelayakan atas daerah-daerah tersebut, atas ketinggian dan jumlah air.
Hanya saja menurutnya, “cumakan, tergantung kepada pemerintah dan swasta yang ikut andil dalam (pembangunan) PLTMH ini, kalau kita sih sudah siap sebenarnya.” Rencana ini termasuk di Kota Batu, yang merupakan kawasan dataran tinggi dibandingkan Kota Malang.
Terkait pemetaan titik-titik potensi, saya diceritakan oleh Direktur IBEKA (Inisiatif Bisnis dan Ekonomi Masyarakat), Sapto Nugroho (25/12/2022), bahwa pada tahun 2004 terdapat program yang diprakarsai Kedutaan Besar Jepang yang dilaksanakan oleh Kementerian Koperasi untuk mencatat data potensi sumber energi baru, termasuk air terjun di daerah kabupaten dan desa-desa. Lalu, Kementerian Koperasi meninjau langsung lokasi tersebut.
Senada dengan itu, Direktur WALHI Jawa Timur, Wahyu Eka Setiawan (26/12/2022) dalam pesan tertulisnya, dalam hal ini mendukung pemetaan sumber potensi energi terbarukan yang ramah terhadap ruang hidup seperti PLTMH dan berpotensi mendorong kemandirian desa.
Bukan omong kosong, UMM berhasil memfasilitasi dan membangun 2 PLTMH yang diinisiasi masyarakat, tepatnya PLTMH Sumber Maron yang selesai dibangun tahun 2012 dan PLTMH Broon Pring yang dibangun tahun 2019.
“Keduanya datang ke kami, terkendala teknisi dan dana, kami bantu,” UMM menyediakan tim ahli untuk mengkaji dan membuat studi kelayakan, sekaligus mencari dana, “Kita carikan CSR (Corporate Social Responsibility) dari BNI (untuk PLTMH Broon Pring) dan lembaga donor internasional (untuk PLTMH Sumber Maron).”
Di akhir, mahasiswa S3 yang juga dosen ini menjelaskan, “PLMTH UMM sebagai edukasi energi terbarukan untuk masa yang akan datang, apalagi pemerintah (dan negara-negara lainnya) punya target 2060 net zero emissions,” ungkapnya.
Senada dengan itu, Suwigyono, yang merupakan inisiator PLTMH Sengkaling 1, yang juga peneliti di bidang Perencanaan Jaringan Pipa Air Minum dan Bendungan Kecil dan Energi dan dosen UMM ini, dilansir dari Antara mengatakan, “Ketersediaan bahan bakar fosil, seperti minyak bumi dan lainnya semakin menipis. Sebagai antisipasi, salah satu teknologi yang bisa digunakan adalah mengembangkan teknologi Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH).”
Komitmen ini juga disampaikan oleh Pemerintah dalam siaran persnya, Kementerian Koordinator (Kemenko) Bidang Perekonomian (25/10/2022) memberikan pernyataan komitmen bahwa Indonesia pada tahu 2060 atau lebih cepat untuk mencapat net zero emissions. Sebuah kondisi di mana jumlah emisi karbon yang dilepaskan ke atmosfer (umumnya disebabkan energi fosil) tidak melebihi jumlah emisi yang mampu diserap oleh bumi.
“Hanya ada satu kunci untuk memastikan keberhasilan transisi energi, yaitu kerja sama dan kemitraan. Publik, swasta, dan BUMN harus memiliki andil dalam proyek ini,” tutup Airlangga, Menko Perekonomian.
Sebelum saya mengetahui di UMM terdapat PLTMH, saya melakukan riset energi baru terbarukan di Kota Batu, Kota Wisata yang sejuk dan indah ini, tampaknya belum tersentuh PLTMH, agaknya aneh karena kondisi geografis begitu mendukung, daerah pegunungan dengan air yang mengalir cukup deras.
Tahun 2021 direncakan pembangunan PLTMH yang diinisiasi oleh PT Pembangkitan Jawa Bali (PT PJB) bekerjasama dengan UMM, di tiga titik, Desa Torongrejo (jaringan irigasi kedang klutuk 1), Desa Sidomulyo (jaringan irigasi perambatan kanan), dan Kelurahan Temas (jaringan irigasi kedang klutuk 2).
Saya membaca berita yang dilansir Radar Malang (2/4/2021), proyek ini akan selesai pada tahun yang sama, “Insyallah, pada bulan Mei dan Juni selama satu bulan sudah selesai, sebelumnya Kota Batu belum punya sistem semacam itu.” Kata Kepala Bidang Sumber Daya Air dan Jaringan Irigasi Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Kota Batu kala itu, Suwoko.
Menurutnya (2/4/2021), PT PJB memiliki target pembangunan 10 ribu titik PLTMH. Di setiap titiknya membutuhkan 300 juta, jika target di kota Batu terdapat 3 titik, berarti PT PJB mengucurkan 900 juta untuk Kota Batu.
Namun, setahun setelahnya, rasa penasaran saya mengantarkan kepada gedung Balai Kota Batu yang megah berwarna putih tersebut, sebab sudah hampir setahun (setelah berita itu terbit) tidak ada perkembangan. Saya mencoba mengirimi surat kepada Bidang Sumber Daya Air Dinas PUPR (Pekerjaan Umum dan Penataan Kota) Batu (12/12/2022).
Satu hari setelahnya (13/12/2022), saya dihubungi melalui telepon, bahwa Kepala Bidang Sumber Daya Air yang baru menduduki jabatan tersebut, “tidak mengetahui kalau ada kerjasama dengan PT Pembangkitan Jawa Bali, tadi saya keliling (kantor dinasnya) untuk bertanya apakah ada kerjasama dengan ini (PT PJB) atau tidak.”
“Memang ada rencana pembangunan PLTMH di beberapa titik di Kota Batu bekerjasama dengan UMM, namun tidak ada kabar kelanjutannya.”
Kepala Dinas tersebut mengira bahwa PT PJB melihat kondisi air sungai Kota Batu tidak menentu, “terkadang musim kemarau kecil, kalau musim hujan (alirannya) besar.” Selain itu menurutnya, “Sektor energi itu sekarang di bawah kewenangan dinas provinsi, termasuk air ini.”
Sayapun mengkonfirmasi UMM sebagai pihak yang tercantum dari berita tersebut, “Iya, memang ada kerjasama program 1000 PLTMH di Indonesia,” Namun, “Secara resmi belum (bekerjasama),” menurut Machmud.
Artinya UMM dan PT PJB belum memiliki perjanjian khusus dalam kerjasama pembangunan PLTMH di Kota Batu, hanya konsultasi (studi kelayakan) dan, “belum ada bantuan berbentuk dana,” tutupnya.
Untuk menelusuri keterbengkalaian program bagus ini, saya mencoba mencoba menghubungi PT PJB dengan telefon dan surat resmi (13/12/2022), teleponnya terangkat namun hanya sampai customer service setelah disambungkan kepada yang berwenang, tertutup.
Sementara surat elektroniknya belum mendapat respon dan jawaban. Pun, informasi mengenai program bagus ini dari keterangan resmi melalui situs resminya tidak ada.
Selain mengkonfirmasi PT PJB, saya juga berusaha menghubungi Dinas ESDM (Energi dan Sumber Daya Mineral) Jawa Timur, yang berwenang dalam hal energi di Jawa Timur. Saya berangkat ke kota ‘panas’ arek suroboyo, dari Malang ke gedung sementara Dinas ESDM Jawa Timur di daerah Wonokromo.
Namun karena terkendala kesibukan beberapa atasan Dinas ESDM, wawancara tersebut diundur hingga akhirnya melalui aplikasi Zoom (28/12/22).
Menurut Oni Setiawan, Kepala Bidang Energi Dinas ESDM Jawa Timur, “Batasan-batasan terkait pengerjaannya, jika PLTM (Pembangkit Listrik Tenaga Mikro) di atas 1 MegaWatt (1000 KiloWatt) dibangun PT PJB (Pembangkitan Jawa Bali) itu kewenangan pemerintah pusat.” Terkait PLTMH yang besarannya 0-100 KiloWatt, “memang kewenangannya daerah, dikerjakan daerah,” ungkap Oni.
Program 10.000 PLTMH milik PT PJB ini merupakan proyek besar. Dan izinnya tentu dari pemerintah pusat yang didelegasikan kepada PT PJB (dalam hal ini PT PLN). Oni juga menekankan, “ketika mereka (PT PJB) membangun, tidak ada koordinasi dengan daerah, mereka melaksanakan itu ke lokasi masing-masing. Kewajiban itu dilaksanakan kepada DJK (Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan) PLN.”
Tentu bertabrakan dengan Pasal 8 Peraturan Menteri ESDM Republik Indonesia nomor 39 tahun 2017, Pengusulan kegiatan fisik pemanfaatan energi baru terbarukan dilaksanakan berdasarkan permohonan daerah provinsi kepada menteri melalui jenderal atau program nasional, kementerian, atau kerja sama antara kementerian dengan lembaga lainnya.
Di akhir, Oni menjelaskan, “Perlu ada perbaikan izin-izin (terkait) pengelolaan energi.” Perbaikan tersebut di antaranya, perincian kebijakan aturan dan perincian informasi terkait pengelolaan energi tersebut.
Selain menggali informasi dari Dinas ESDM Jawa Timur, saya berkesempatan bertemu salah satu konsultan pembiayaan energi baru terbarukan di Pelatihan Membangun Narasi Transisi Energi (30/1/2023), Josep Bely Utarja.
Kepada saya dia menjelaskan terkait gagalnya proyek PT PJB dalam pembangunan PLTMH di Kota Batu.
Hal tersebut, menurutnya bisa jadi karena jumlah proyeknya tidak terlalu besar. Untuk diketahui PT PJB yang dalam hal ini sahamnya dikuasai oleh PLN, memiliki 4 skema pembiayaan.
“Ada beberapa jalur, keterlibatan (PLN) pembiayaan (keuangan) di pembangkit (listrik).”
Jalur pertama, PLN menginisiasi tender (proyek pengadaan) sendiri. “Artinya, punyanya PLN sendiri.”
Jalur kedua, pembiayaan melalui swasta atau IPP (Independent Power Producer).
Jalur ketiga, pembiayaan untuk pengadaan di kawasan industri, yaitu Private Power Utility (perusahaan listrik swasta) untuk menyediakan (listrik) di kawasan tertentu.
Jalur keempat, pembiayaan atas operasi untuk digunakan sendiri, “duitnya sendiri, untuk sendiri juga.”
Jalur kelima, pembiayaan untuk skala kecil, bisa koperasi, bisa BUMDES, “lembaga-lembaga daerah bisa terlibat di sana, dan itu akan lebih cocok (untuk PLTMH yang dibangun oleh masyarakat sendiri).”
***
Terdapat satu hal yang bisa dipelajari dari gagalnya proyek PLTMH tersebu, meski dialiri air yang deras, jika inisiatif masyarakat tidak membangun dari bawah maka hal tersebut akanlah susah.
Terlebih ancaman kerusakan akibat pembangunan hotel, seperti yang terjadi di Mata Air Umbul Gemulo. Saya mencoba menghubungi WALHI Jawa Timur (26/12/2022) untuk mencoba memverifikasi kondisi mata air di Kota Batu, menurut Direktur WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) Jawa Timur, Wahyu Eka Setiawan, dalam keterangan tertulisnya mengatakan Kota Batu merupakan daerah yang potensial membangun kemandirian energi di sektor desa.
Namun, menurutnya, “Permasalahan tata ruang di Kota Batu, melalui RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) versi revisi, tidak memiliki kehendak untuk menyelematkan mata air di Kota Batu.” Sebab menurutnya masih memfasilitasi pembangunan fisik berupa hotel yang masif dan mengeksploitasi air itu sendiri.
WALHI mencatat, sejak 2011 hingga 2017 dari 111 mata air di Kota Batu tersisa hanya 53 mata air, “berkurang 50%,” menurut Direktur WALHI Jawa Timur tersebut. Kedepan juga WALHI akan melakukan pengecekan ulang terhadap mata air di Kota Batu.
Pun, dalam kajian terbarunya WALHI di Kota Batu tahun 2022, mencatat menyusutnya lahan hijau secara signifikan, pada tahun 2012 tercatat 6.034,62 hektare lahan terbuka dan turun pada tahun 2019 menjadi 5.279, hekatare. Sedangkan kawasan resapan dan tangkapan air di kawasan hutan primer menghilang 348 hekatare dalam 20 tahun terakhir.
Dalam kesimpulannya mengatakan pemerintah Kota Batu dalam melestarikan lingkungan hidup belum berhasil. Komitmen petinggi daerah dan ketaatan pada peraturan yang menjadi permasalahan. Menurut peneliti jurnal tersebut, upaya pelestarian justru tumbuh dari masyarakat.
Titik tengahnya, bisa menerapkan PLTMH yang juga dijadikan wisata, seperti di Broon Pring. Dilansir dari Mongabay, PLTMH Broon Pring selain mengairi sawah, juga memenuhi kebutuhan sehari-hari warga, termasuk kawasan wisata Broon Pring.
Untuk mencari informasi tambahan dari lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang energi, yang sudah berpengalaman yaitu IBEKA (Inisiatif Bisnis dan Ekonomi Kerakyatan) yang sudah berdiri dari tahun 1979, saya menghubungi dan khusus bertanya terkait potensi pembangunan PLTMH di Kota Batu (25/12/2022).
Menurut Sapto Nugroho, mendukung baik inisiasi pembangunan PLTMH di Kota Batu, “tidak masalah mau dibangun di dalam kota sekalipun, baik-baik saja,” akan tetapi tujuannya akhirnya bukan kepada pembangkit listriknya, akan tetapi tergeraknya ekonomi rakyat, dalam hal ini melalui PLTMH.
“Listrik bukan semata-semata kita membangun jaringan, tetapi juga sebagai alat untuk memberdayakan membangun desa,” tutup Sapto kepada saya.
Sapto Nugroho sedang menjelaskan Energi Baru Terbarukan (Adi/Kebijakan.co.id)
Energi dari Arek Jawa Timur untuk Energi Terbarukan
Berbeda jika berasal dari inisiatif masyarakat, seperti PLTMH Boon Pring yang dikelola oleh BUMDES Kertoraharjo dan PLTMH Sumber Maron yang dikelola oleh HIPPAM (Himpunan Pengguna Air Minum) Karangsuko yang bekerja sama dengan UMM. PLTMH ini berhasil dibangun.
“PLTMH Sumber Maron dan Boon Pring, itu awalnya (inisiatif) dari masyarakat,” cerita Machmud.
Sebabnya, sesaat proses liputan ini saya mencari data PLTMH di Jawa Timur menggunakan data terbuka yang berasal dari Google Maps dan Google, lalu diverifikasi berita, jurnal penelitian, dan dokumen-dokumen resmi lainnya.
Pencarian ini, nantinya mengidentifikasi ‘masih eksis’ atau tidak, lalu mencari besaran arus listrik, sejarah pembangunan, pengelola, dan kegunaan dari PLTMH tersebut.
Saya menemukan 20 PLTMH di Jawa Timur yang teridentifikasi.
Mayoritas dari PLTMH yang berhasil dan bertahan hingga saat ini diinisiasi dan dikelola sendiri oleh masyarakat. Tercatat hanya 1 PLTMH di Jawa Timur yang dikelola perusahaan dan 2 dikelola oleh universitas. PLTMH yang dikelola oleh perusahaan yaitu PLTMH Desa Taman Sari, yang dikelola oleh PT Akasa Eko Energi, sedangkan universitas dimiliki UMM.
Menurut Sapto Nugroho, Direktur IBEKA, jalan tengah jika dikelola perusahaan ialah, “berilah masyarakat saham di situ.” Sebab menurutnya, “Supaya hasil dari penjualan listrik dari sumber daya alam lokal itu bisa memberi masukan bagi orang lokal di mana pembangkit itu dibangun, tidak semua keuntungan mengalir ke kota saja.”
Sedangkan untuk pengelolaan oleh masyarakat ini umumnya berbentuk paguyuban atau perkempulan yang dibentuk khusus untuk mengelola PLTMH, lainnya dikelola oleh BUMDES (Badan Usaha Milik Desa).
Pun kegunaanya tidak jauh dari aktivitas warga, misalnya untuk pengolahan hasil perkebunan, persawahan, pariwisata lokal, hingga aktivitas warga sehari-hari.
Misalnya, saya mencatat PLTMH Gunung Sawur 1 dan 2 di Lumajang yang diinisiasi oleh Sucipto dan dikelola oleh masyarakat desa di sana dan kembali kepada kebutuhan warga juga. Selain itu ada, PLTMH Jamus 1, 2, dan 3 di Ngawi yang diinisiasi masyarakat dibantu dana dari LDII (Lembaga Dakwah Islam Indonesia) yang dikelola oleh masyarakat untuk keperluan pabrik dan perkebunan teh serta fasilitas warga desa di sana.
Dalam hal ini, Wahyu Eka, Direktur WALHI Jawa Timur mengatakan kepada saya (26/12/2022), sangat setuju kalau PLTMH dikelola mandiri oleh Desa, baik itu melalui koperasi atau unit khusus ekonomi desa.
Selain itu, “Keberadaan PLTMH di tengah masyarakat, mengharuskan (masyarakat) untuk menjaga ekosistemnya, karena jika debit menurun atau sumbernya kering maka mereka kehilang energi (listriknya).”
Persis seperti apa yang diceritakan oleh Zainudin (HIPPAM Karangsuko) pada PLTMH Sumber Maron yang dilansir dari Mongabay, bahwa pada tahun 2014 debit air sempat anjlok atau turun drastis, sebabnya pohon-pohon dan rimbunan bambu ditebangi untuk lahan parkir wisata. Setelah itu, ditanami kembali dengan pohon besar seperti beringin, randu, dan mahoni yang tetap harus dijaga.
Selain itu, juga bisa memberikan alasan mengapa masyarakat tidak boleh membuang sampah di sungai, sebab kendala PLTMH Sengkaling salah satunya yaitu sampah, “Masyarakat tidak disiplin membuang sampah, ya jadi kotor,” tutur Machmud kepada saya cerita kendala PLTMH Sengkaling. Dalam hal ini, menurut Wahyu, energi terbarukan harus sejalan dengan ketahanan ekologis.
Kondisi tersebut, didukung Penelitian baru-baru ini yang dilakukan Ecoton (Ecological Observation and Wetland Conservation) yang melakukan pengamatan mikroplastik di 68 sungai strategis di Indonesia, misalnya. Provinsi Jawa Timur, merupakan peringkat pertama tingkat tercemar mikroplastik (dari sampah plastik), yang di dalamnya terdapat Sungai Brantas.
Dalam kesimpulannya, menyatakan akses listrik yang dikelola sendiri dan murah ini, telah mendorong ekonomi masyarakat, keahlian masyarakat, pengetahuan, tumbuhnya lapangan kerja, kualitas pendidikan, serta aktivitas kolektif masyarakat, seperti pengajian dan rapat pada malam hari, serta yang terpenting ialah gotong royong menjaga lingkungan.
Dampak ini juga dilihat oleh IBEKA. Sapto Nugroho, menceritakan kepada saya, “beberapa, (listrik dari) PLTMH dialirkan kepada puskesmas dan sekolah-sekolah yang membutuhkan listrik untuk kesehatan dan belajar.”
Hal tersebut juga karena dikelola oleh koperasi yang memiliki manajemen dan pengelolaan yang baik, “itu juga perlu (manajemen),” cerita Sapto, yang nantinya hasil keuntungan bisa dialokasikan untuk perawatan generator sehingga berkelanjutan.
Selain manajemen operasional PLTMH. Hal lainnya yang perlu diperhatikan, ialah sumber daya manusia atau operatornya, sebab mereka, “Tiba-tiba mereka berhenti karena diterima kerja di tempat yang lebih menguntungkan,” Cerita Oni Setiawan menggambarkan PLTMH yang tidak berjalan di masyarakat.
Tujuan-tujuan permberdayaan yang seperti ini, yang memang menjadi tujuan dari IBEKA, ketimpangan antara kota dan desa bisa dikikis dengan pemberdayaan masyarakat dengan teknologi yang tepat guna, salah satunya melalui PLTMH. “Listrik dijadikan sebagai alat untuk menyejahterakan masyarakat,” cerita Sapto Nugroho kepada saya.
Hal tersebut diartikan tujuannya bukan membangun PLTMH, akan tetapi untuk membuat masyarakat sejahtera, dengan melakukan pemberdayaan masyarakat. “Khususnya prioritas kepada daerah 3T (Terdepan, terpencil, dan tertinggal),” ungkap Sapto.
Listrik bukan semata-semata kita membangun jaringan, tetapi juga sebagai alat untuk memberdayakan membangun desa.
Sapto Nugroho (Direktur Eksekutif IBEKA)
Sejalan dengan cita-cita IBEKA, pada Pasal 5 Peraturan Menteri ESDM Republik Indonesia nomor 39 tahun 2017, dijelaskan bahwa kegiatan fisik pemanfaatan energi baru bertujuan salah satunya untuk mendorong pertumbuhan dan pemerataan pembangunan infrastruktur keenergian di wilayah terpencil, tertinggal, perbatasan, kepulauan kecil dan terluar, pasca bencana, atau pasca konflik.
***
Selain inisiatif dari warga, inisiatif dari pemerintah juga ada. Salah satunya hadir melalui Dinas ESDM Jawa Timur yang mengajak seluruh lembaga daerah yang resmi bekerjasama, “Kita semua bekerjasama dengan semua steakholder di Jawa Timur, yaitu lembaga resmi,” cerita Oni Setiawan menunjukan komitmen Pemerintah Provinsi Jawa Timur untuk energi terbarukan.
“Mereka kita ajak untuk memberikan peran transisi energi terbarukan,” PLN melalui CSR-nya telah membangun PLTMH di Probolinggo. Kemudian, “Kita juga telah membangun PLTMH di Madiun.”
Sumber Air untuk Energi Baru di Jawa Timur
Transisi energi ini begitu penting. Saya memiliki pengalaman di tahun 2019 tinggal bersama masyarakat Celukan Bawang yang hidup berdampingan dengan PLTU (Pembangkit Listrik Tenaga Uap).
Kondisi udara di sana, sungguh sesak, ditambah tinggal di pesisir yang udaranya cukup panas. Terkadang terdengar dentuman dikala bongkar muat batu bara, menggangu telinga dan rasa takut warga, namun tidak untuk yang ‘menikmati’ di baliknya, seperti pengusaha batu bara, pengusaha PLTU, dan pemerintah cum pemilik batu bara.
Sudah sepatutnya mempersiapkan dari dini untuk transisi dari PLTU tersebut. Sebab menipisnya batu bara yang diprediksi akan habis 20-30 tahun lagi. Serta dampak di sekitarnya yaitu kerusakan hutan yang berakibat pemanasan global. Akibat pertambangan yang masif, tanpa penanaman kembali.
Sebagai salah satu provinsi terbesar di Indonesia, Jawa Timur sudah seharusnya memiliki komitmen transisi energi secara sungguh-sungguh.
Saya ditunjukan oleh Oni Setiawan bahwa Pemerintah Provinsi Jawa Timur mendapatkan penghargaan terbaik implementasi RUED (Rencana Umum Energi Daerah), selain itu juga, “Di Oktober kemarin, kita mendapatkan penghargaan terbaik implementasi transisi energi dari Dewan Energi Nasional,” cerita Oni Setiawan kepada saya. Tentu, menjadi kabar baik, akan tetapi tetapi harapan itu juga bisa muncul dari masyarakat.
Di Oktober (2022) kemarin, kita mendapatkan penghargaan terbaik implementasi transisi energi dari Dewan Energi Nasional
Oni Setiawan (Kepala Bidang Energi Dinas ESDM Jawa Timur)
Secercah harapan itu muncul, melalui aktivitas kecil sebuah generator yang bergerak dari air, yang dinamakan PLTMH. Sedikit dan kecil memang, tapi menurut Sapto Nugroho, “yang kecil-kecil seperti ini kalau dibangun pada akhirnya akan bisa mempunyai kontribusi yang bagus juga untuk jaringan (listrik) nasional.” Sebuah kalimat optimis, dari pria paruh baya yang sudah puluhan tahun bergelut mengabdi kepada masyarakat.
Titik-titik kecil itu saya telusuri, jika dihitung, untuk PLTMH (0-100 KiloWatt) sendiri di Jawa Timur terdapat 20 yang teridentifikasi dengan total KW-nya mencapai 552 KiloWatt.
Sedangkan PLTM (Pembangkit Listrik Tenaga Mikro atau lebih besar Watt-nya dibandingkan PLTMH yaitu 1000-3600 KiloWatt) di Jawa Timur terdapat 9, dengan total KW-nya mencapai 21.520 KiloWatt.
Sedangkan PLTA (Pembangkit Listrik Tenaga Air yang besar Watt-nya lebih besar yaitu 4.500-105.000 KiloWatt) di Jawa Timur terdapat 11, dengan total KW-nya mencapai 209.500 KiloWatt.
Saya mencatanya melalui data terbuka yang diambil dari berbagai sumber: berita, penelitian, google maps, dan keterangan-keterangan sumber praktisi.
Walaupun julmlah pembangkit listrik bertenaga air cukup banyak. Hal tersebut dikarenakan beberapa faktor. Pertama, faktor wilayah, karena masih pulau Jawa yang infrastrukturnya mudah dijangkau. Kedua, dibantu sumber daya manusianya, karena kualitas pendidikan dan literasi yang baik.
Hal tersebutlah yang membuat Sapto Nugroho, Direktur IBEKA, memberikan catatan, “Saya lebih setuju jika pembangunan PLTMH (atau energi alternatif skala kecil yang mudah diaplikasikan) diprioritaskan untuk daerah di luar Jawa, ke daerah yang belum terlistriki gitu lho,” tegas Sapto. “kalau kita melihatnya (pakai) asas pemerataan dan asas keadilan, saya melihatnya seperti itu.”
Catatan lainnya datang dari Wahyu, Direktur WALHI Jawa Timur terkait PLTA yang memakan banyak ruang dan membutuhkan bendungan.
Bahwa pembangunannya tidak boleh menabrak hak asasi manusia, yaitu menggusur tempat tinggal warga dan sumber mata pencaharian. “Semisal, di Nganjuk untuk pembangunan bendungan Semantok yang juga akan difungsikan sebagai PLTA memakan korban sekitar 400 warga di Desa Tritik dan Sambikerep,” ungkap Wahyu dalam keterangan tertulisnya.
Pelaksanaan EBT seharusnya tidak merampas hak orang, dijalankan secara demokratis dan berkelanjutan.
Wahyu Eka Setiawan (Direktur WALHI Jawa Timur)
Wahyu menyarankan pembangunan energi terbarukan tidak bertolak kepada prinsip ‘human well being’ yang menjadi pegangan dalam prinsip ekonomi hijau dan berkelanjutan (green and sustainability economic). Dan harus mendapatkan persetujuan dari masyarakat yang terdampak. “Pelaksanaan EBT seharusnya tidak merampas hak orang, dijalankan secara demokratis dan berkelanjutan,” tutup Wahyu.
Setelah meriset data pembangkit listrik tenaga air di Jawa Timur selesai, saya kembali merasakan dinginnya Malang di akhir tahun. Yang mungkin, dingin tersebut akan hilang jika kita tidak menjaga lingkungan. Bisa saja, Malang akan menjadi panas seperti Surabaya nantinya.
Air Sudah Seharusnya Dirawat. Sebab, Itu Merupakan Masa Depan Energi Kita. Tak Ada Pilihan Lain. Jika Tidak, Kita Akan Kualat.
Catatan Redaksi Kebijakan.co.id
*Artikel diperbarui tanggal 31 Januari 2023 setelah mendapatkan konfirmasi tambahan dari Konsultan Pembiayaan Energi Baru Terbarukan terkait gagalnya proyek pembangunan PLTMH di Kota Batu dalam kegiatan Pelatihan Membangun Narasi Transisi Energi.