KTH ALAS Trawas: Ide Besar Mengelola Perhutanan Sosial dengan Wisata Edukasi Ekologi dan Agroforestri


Kebijakan.co.idLiputan Konstruktif

Adi Fauzanto-14 Mar 2023 (16.00 WIB)-#36 Paragraf

Melihat rekam jejak konflik antara Perhutani (Badan Usaha Milik Negara) dan masyarakat di Penanggungan, akhirnya berkesudahan setelah Forum Rakyat Trawas (Foras) mengajukan Perhutanan Sosial (PS) yang nantinya dikelola oleh Foras dengan nama KTH (Kelompok Tani Hutan) ALAS (Aman, Lestari, Adil, Sejahtera) Trawas.

Dalam rencana dan pengembangannya, KTH ALAS Trawas akan dibangun dengan menyatukan antara Komunitas Pertanian Organik Brenjonk dan Kelompok Wanita Tani Desa Penanggungan, selain itu juga menyatukan ide antara wisata edukasi ekologi dan agroforestri yang berkelanjutan.

Ide besar tersebut tidak bisa terwujud, jika inisiatif gerakan masyarakat dan program perhutanan sosial tidak dijalankan.

Tim Kolaborasi —Kebijakan.co.id, Idenera.com, KabarTrenggalek.com— turun mengobservasi langsung di Desa Penanggungan, Mojokerto. Mengamati KTH ALAS Trawas dan Kampung Organik Brenjonk. Bertemu dengan Inisiator Kampung Brenjonk, Inisiator KTH ALAS Trawas, Anggota Kelompok Wanita Tani, dan Masyarakat Desa Penanggungan.

***

Mojokerto, Kebijakan.co.id – Setelah mendapatkan legalitas akan pengelolaan hutan secara agroforestri. Tantangannya untuk KTH ALAS (Aman, Lestari, Adil, Sejahtera) ialah, bagaimana mengelolanya agar bisa bermanfaat untuk masyarakat desa.

Seperti yang diungkapkan Ani Adiwinata, Peneliti CIFOR (Center for International Forestry Research), tantangan utama dari Perhutanan Sosial ialah pada tingkat lapangan, yang pada paradigma (cara berpikir) dan kerja konkret yang ada.

Senada dengan itu, Presiden Republik Indonesia dalam pidatonya di Blora, “Tolong betul-betul tanahnya dibuat produktif, jangan diterlantarkan, nanti bisa dicabut,” ucap Joko Widodo (10/03/2023).

Akan tetapi, kembali lagi kepada inisiatif masyarakat seperti yang dilakukan KTH ALAS yang sudah ada jauh sebelum Program Perhutanan Sosial hadir, berbentuk Foras (Forum Rakyat Trawas).

Jokowi sedang membagikan sertifikat Perhutanan Sosial (Dokumen KLHK)

Dua Pondasi Utama: Ide Agroforestri dan Brenjonk

Karena memang KTH ALAS memiliki embrio Foras yang sudah memiliki gerakan awal, akan dibawa kemana hutan yang nantinya akan dikelola oleh masyarakat –walaupun waktu itu secara diam-diam. Arahnya yaitu akan dibawa untuk menanam pohon-pohon agroforestri.

Selain karena melindungi ekologi lingkungan hutan tersebut, juga bermanfaat untuk ekonomi masyarakat. “Salah satu kegiatan di ALAS itu, kan ijinnya kayu, tapi bukan kayu (untuk ditebang) tapi agroforesti buah-buahan,” ucap Slamet –tokoh yang menginisiasi Foras dan KTH ALAS— kepada Tim Kolaborasi (10/03/2023) –jurnalis Kebijakan.co.id, Idenera.com, KabarTrenggalek.com.

Dalam hal peningkatan ekonomi, penelitian di salah satu kecataman Kab. Kulon Progo, Yogyakarta yang dilakukan Suroso (Penyuluh Kehutanan dan Perkebunan Yogyakarta) berjudul Optimalisasi Lahan dengan Pola Agroforestry memberikan kesimpulan bahwa dampak ekonomi terhadap adanya Agroforestri:

Pertama, adanya diversifikasi hasil yaitu hasil non kayu memberi keuntungan berupa pendapatan untuk memenuhi kebutuhan jangka pendek (mingguan, bulanan, tahunan);

Kedua, peningkatan nilai per satuan luas; Ketiga, memberi kontribusi dalam penyediaan tenaga kerja bagi masyarakat.

Agroforestri sendiri secara kata dalam bahasa inggris berarti agroforestry, yang terdiri dari agro berarti pertanian dan forestry yang berarti kehutanan.

Sedangkan menurut ICRAF (International Centre for Research in Agroforestry) dalam Buku Pengantar Agroforestri (2003) mengartikan agroforestri sebagai sistem pengelolaan sumber daya alam yang dinamis secara ekologi dengan penanaman pepohonan di lahan pertanian atau padang penggembalaan untuk memperoleh berbagai produk secara berkelanjutan sehingga dapat meningkatkan keuntungan sosial, ekonomi, dan lingkungan bagi semua pengguna lahan.

***

Selain gambaran awal akan dibawa kemana hutan tersebut. Masyarakat Desa Penanggungan, khususnya Dusun Penanggungan, juga suduh cukup berpengalaman bagaimana mengelola organisasi masyarakat dengan adanya Komunitas Petani Organik Brenjonk, yang memang, dikelola dengan baik oleh masyarakat itu sendiri.

Komunitas Petani Organik Brenjonk berdiri ini tidak lama setelah hadirnya Foras pada tahun 2000. Menurut Yuli Astuti, salah satu masyarakat sekitar yang tinggal di dekat Kantor Komunitas Petani Brenjonk, sekitar tahun 2004, embrio pertanian ini muncul, yaitu mulai dibagikannya Mini Greenhouse beserta bibitnya kepada warga.

Sedangkan menurut Rini Sudarti, salah satu pengurus Komunitas Pertanian Brenjok dan KWT (Kelompok Wanita Tani), mulai dirintis tahun 2007 dan efektif bisnisnya di tahun 2008. Sampai saat ini anggota Komunitas Petani Organik Brenjonk berjumlah 104 KK (Kartu Keluarga).

Menurut Slamet, dia menghitung produk pertanian organik, “Tak hitung produk organik Brenjonk, totalnya 140 ton sing metu (yang keluar), padahal hanya diproduksi kecil-kecil skala rumah selama 14 tahun (tahun 2008).”

Selain menjual produk pertanian, Komunitas Petani Organik Brenjok juga menyiapkan jasa lingkungan, seperti pelatihan atau penelitian terkait pertanian organik untuk peneliti (dosen), petani, dan universitas (mahasiswa), “Ada juga KKN (Kuliah Kerja Nyata),” ucap Slamet, selain itu disewakan juga penginapan di rumah-rumah warga.

Dengan adanya Komunitas Petani Organik Brenjonk, yang juga anggota merupakan anggota KTH ALAS, “Pengurusnya Brenjonk ya pengurusnya KTH, karena gabisa dipisahkan, karena satu area,” ucap Slamet yang juga inisiator Komunitas Pertanian Organik Brenjonk, merupakan sumber daya yang tidak terbentuk dalam satu dua hari ataupun dengan modal uang sekalipun.

Perlu bertahun-tahun membangun dan menjalankan Komunitas Pertanian Brenjonk. Menurut Winda Nurul dalam penelitiannya yang melihat peran Komunitas Petani Organik Brenjonk, bermanfaat dalam:

Pertama, promosi mengenai Pertanian Organik; Kedua, menjalin kemitraan dengan petani dengan mengatur struktur organisasi dengan petani;

Ketiga, melakukan penggerakan budidaya tanaman organik; Keempat, melakukan pembinaan dan pelatihan pada teknik budidaya tanaman organik;

Kelima, melakukan monitoring dan pendampingan lanjutan untuk mengoptimalkan pemberdayaan masyarakat dengan budidaya tanaman organik.

Dua hal tersebutlah yang menjadi pondasi utama, yaitu Foras dengan Agroforestrinya dan Komunitas Petani Brenjonk mengapa KTH ALAS memiliki persiapan yang matang dan organisasi masyarakat yang kuat.

Kampung Organik Brenjonk
Gapura Kampung Brenjonk (Adi/Kebijakan.co.id)

Pengembangan Wisata Edukasi Ekologi dan Agroforestri

Dalam rencananya, KTH ALAS akan menyiapkan dua sektor utama, yaitu wisata edukasi ekologi dan agroforestri. Nantinya keduanya akan menciptakan satu kesatuan yang saling menghubungkan satu dengan lainnya.

Hal itu digambarkan oleh Slamet, “wedusnya makan rumput daun-daunan pohon, nele’, lalu disimpan, dikasih untuk mupuk jeruk, duren. Kambingnya beranak-pinak, anaknya dijual, ekonomi petani terangkat. Hutan tetap subur dan utuh, daunnya tumbuh terus, lahan tetap subur.”

Seluruhnya, sudah disiapkan dalam Rencana Kerja Usaha (RKU) untuk periode 10 tahun yang dikirim kepada KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) dan Rencana Kerja Tahunan (RKT).

Rencana Pengembangan KTH ALAS Trawas (Dokumen KTH ALAS)

Pertama, penanaman agroforestri. Rencananya KTH ALAS menyiapkan 30.000 bibit kopi siap tanam, selain itu menyiapkan lahan seluas 45 hektare untuk merica. 10 hektare untuk tanaman pohon. Pohon-pohon tersebut di antaranya, pohon petai, pohon kluwek, pohon alpukat, pohon kemiri, pohon durian, pohon nangka, pohon matoa, dan pohon buah-buahan lainnya.

Bukan tanpa dampak, agroforestri memberikan beberapa catatan yang perlu dicegah dampaknya. Penelitian Konservasi DAS (Daerah Aliran Sungai) UGM, menyimpulkan agroforestri yang kurang optimal menyebabkan pendangkalan sungai akibat erosi, penurunan kualitas air, serta yang paling besar adalah terjadinya longsor. Diperlukan pemahaman mengenai faktor-faktor terjadinya sedimen untuk keberlanjutan fungsi dari lahan untuk kehidupan sehari-hari.

Selain itu tantangannya, menurut CIFOR (Center for International Forestry Research) dalam penelitiannya, menekankan agar agroforestri berhasil, petani perlu belajar pohon mana yang cocok untuk jenis lahan mereka dan bagaimana mengelola pohon-pohon itu, selain itu bagaimana memasarkan produk-produk agroforestri.

Kedua, wisata edukasi ekologi. KTH ALAS menyiapkan 7,7 Hektare untuk wisata edukasi ekologi ini. Menurut Slamet, nantinya dalam KTH ALAS terdapat beberapa kegiatan, “Itu kegiatannya kita ada workshop, ada pelatihan, misalnya analisa vegetasi, analisa pengamatan burung, biotilik pengamatan sungai, itu akan kita lakukan.” Selain itu ada ternak kambing, yang dapat dipelajari.

Kegiatan edukasinya nanti untuk semua level untuk belajar tentang hutan, mulai dari, “Kampus, kelompok tani, instansi, pemerintah.” Selain itu, dipersiapkan juga di tengah hutan nanti akan terdapat tempat camping dan makanan organik.

Konsep desa wisata juga bukan tanpa dampak. Beberapa hal yang perlu dimitigasi ialah terkait keselarasan lingkungan dengan konsep wisata yang nantinya dibangun, agar tidak terjadi pencemaran atau kerusakan lingkungan hidup. Selain itu, dampak sosial-budaya yang dapat terjadi, karena perbedaan antara wisatawan nantinya dengan penduduk sekitar.

Jika ditarik lagi, kegiatan multiusaha kehutanan, menurut Hermudananto (Dosen Kehutanan UGM) dalam kolomnya di The Conversation (07/10/2022) menekankan, “kunci keberhasilan implementasi Multiusaha Kehutanan harus memperhatikan beberapa hal, antara lain, kesesuaian tipologi hutan dan karakteristik dari biografis, biofisik, sosial, ekonomi, dan budaya dari suatu kawasan hutan.”

Selain itu, “Penyusunan rencana pengelolaan hutan juga harus tepat dalam menentukan jenis komoditas unggul untuk kebutuhan produksi.”

KTH ALAS Trawas
Pembangunan tempat pendaftaran KTH ALAS Trawas (Adi/Kebijakan.co.id)

4 Langkah Kunci: Penguatan Organisasi, Kelestariaan Lingkungan, Pencarian Dana, dan Kampanye

Untuk mewujudkan wisata edukasi ekologi dan agroforestri tadi. Diperlukan usaha agar KTH tetap beroperasi baik dari sisi organisasi, pemasukannya, dan utamanya lingkungan. Menurut Slamet, “Kita kan udah (membuat) rencana strategis itu, ada 4 output. Pertama itu, penguatan kapasitas organisasi. Kedua, kelestarian lingkungan. Ketiga, kegiatan fundraising (mencari dana). Keempat itu, kampanye.”

Pertama, penguatan kapasitas organisasi dan sumber daya manusianya. “Bagaimana temen-temen paham berorganisasi, paham soal buat perencanaan, implementasi dan monitoring,” buka Slamet menjelaskan manajerial organisasi yang terlihat sudah berpengalaman.

“Termasuk latihan bikin proposal, latihan (teknik) lobby, latihan buat laporan keuangan. (Memang) ribet dan besar, tapi nggak ada gajinya, tapi ya resiko kerja-kerja sosial,” tutup Slamet sambil tertawa.

Selain itu penguatan terhadap manusianya, juga diadakan pelatihan edukasi. “Ya itu edukasi, eduakasi ini yang kita pelajari, karena itu tidak gampang,” menurut Slamet yang berbicara terkait edukasi wisata memerlukan pemahaman terkait objek wisatanya.

Kampung Organik Brenjonk
Rini sedang memegang hasil pertanian organik Brenjonk (Adi/Kebijakan.co.id)

Menurut Rini, pengurus Komunitas Petani Organik Brenjonk yang juga KTH ALAS, mengatakan bahwa KWT nantinya juga dilibatkan, “Jadi Kelompok Wanita Tani ini, sebagian ada yang masih muda nah itu sebagian ada yang ikut KTH ALAS,” jelas Rini kepada Tim Kolaborasi (11/03/2023).

Tambahnya, pelatihan edukasi untuk wisata tidak mudah, karena harus mengetahui apa yang harus dijelaskan, “Kemarin kan ada pelatihan itu edukasi, (seperti) pengamatan sungai, (observasi) burung. Jadi kita diajarin gak cuma pengamatan sungai aja, yang ada di sungai itu apa aja, itu termasuk sungai tercemar atau setengah tercemar. Jadi kita bisa tau. Nah nantinya sebagai tour guidenya.”

Kedua, menjaga dan merawat kelestarian lingkungan. “Kita aksi terus, setiap musim hujan turun, itu kita (sudah bersiap) bikin gerakan untuk menanam, alhamdullilah sudah tertanam semua,” ucap Slamet sambil menunjuk salah satu bibit yang ditanam, “tahun 2020 kita dipercaya buat KBR (Kebun Bibit Rakyat) targetnya 35.000 pohon, terealisasi 46.000 bibit, itu contohnya (pohon) matoa.”

Ketiga, pencarian dana. Menurut Slamet, dirinya tidak mengandalkan funding (donor pendanaan) sepenuhnya, akan tetapi mengintegrasikan antara jasa lingkungan wisata dan hasil agroforestri, “itu sudah kita praktikan di Brenjonk itu,” tutup Slamet.

Akan tetapi, “funding tetep kita ambil kalo ada, funding kan gak selalu ada ya.” Salah satunya Dana Nusantara yang diinisiasi oleh WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia), AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara), dan KPA (Konsorsium Pembaharuan Agraria), “kita minta dana dari Dana Nusantara itu dalam rangka supaya kita menjaga ALAS ini semakin bagus,” tutup Slamet.

Sejauh ini, sudah terdapat bantuan dari program KLHK yaitu Bantuan Pengembangan Perhutanan Sosial Nusantara (BangPeSoNa) itu untuk tanaman 50 persen dan ternak kambing 50 persen, selain itu program bantuan KBR (Kebun Bibit Rakyat).

Selain bantuan Slamet juga menyiapkan beberapa pendanaan yang berasal dari, “workshop, ada pelatihan, misalnya analisa vegetasi, analisa pengamatan burung, biotilik, itu sudah kita lakukan, dalam rangka supaya kita paham soal ekologi.” Selain itu di dalamnya terdapat, “Di dalamnya kita membuat kuliner organik dalam rumah edukasi.”

Salah satu targetnya ialah universitas, “Besok rencananya kita mau ketemu dengan Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya, dari yang kehutanan (agroforestri), kita ajak untuk Program Merdeka Belajar di sini” ucap Slamet.

Keempat, terakhir ialah kampanye. “Kita baru sedikit diliput media,” ucap Slamet, “kemarin ada Thoriq, dari Times Indonesia.” Akan tetapi ke depannya KTH ALAS akan memanfaatkan sosial media untuk memberitahu kepada masyarakat luas.

Selain kampanye program, KTH ALAS juga melakukan kampanye advokasi, “kemarin (09/03/23) kita baru audiensi dengan bupati (Mojokerto).” Audiensi tersebut berkaitan dengan percepatan Izin Hutan Kemasyarakatan (HKM) yang dikeluarkan oleh KLHK, termasuk KTH ALAS Trawas yang mengajukan izin tersebut.

Izin Hutan Kemasyarakatan tersebut, ditunjukan untuk pengelolaan hutan secara mandiri atau sepenuhnya oleh masyarakat, bukan bentuk kemitraan dengan Perhutani (Perusahaan Umum Perhutanan Negara) –seperti yang terjadi saat ini.

KTH ALAS Trawas
Slamet sedang menunjukan bibit yang baru saja ditanam (Adi/Kebijakan.co.id)
Baca Serial Liputan Konstruktif "KTH ALAS Trawas: Menggagas dan Mengemas Perhutanan Sosial untuk Lingkungan Berkelanjutan" Lainnya:
•	KTH ALAS Trawas: Dari Forum Rakyat Trawas hingga Was-Was dengan PerhutaniKTH ALAS Trawas: Ide Besar Mengelola Perhutanan Sosial dengan Wisata Edukasi Ekologi dan Agroforestri

Serial Liputan Konstruktif ini merupakan Liputan Kolaborasi antara Idenera.com dan KabarTrenggalek.com dalam Program Wilayah Kelola Rakyat (WKR) didukung Dana Nusantara yang diinisasi oleh WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia), KPA (Konsorsium Pembaharuan Agraria), dan AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara).
Adi Fauzanto
Diterbitkan: Selasa, 14 Maret 2023
Pukul: 16.00 WIB
Jurnalis: Adi Fauzanto
Editor: Fayza Rasya
Daftar Bacaan:
• Kurniatun Hairiah. 2003. Pengantar Agroforestri. Penerbit ICRAFWALHI Jatim dan AP2SI. 2021. Wilayah Kelola Rakyat: Suara Petani Hutan dan Masa Depan Perhutanan Sosial yang Berkeadilan. Buletin, 30 JuniSuroso. Optimalisasi Lahan dengan Pola Agroforestry. Dinas Kehutanan Provinsi YogyakartaNabhan Aiqani. 2020. Menilik Arah Masa Depan Perhutanan Sosial di Indonesia. Opini Mongabay, 24 AgustusPers Rilis KLHK. 2023. Presiden Joko Widodo Serahkan SK Perhutanan Sosial Di Blora. 13 MaretWinda Nurul Khasanah. 2019. Peran komunitas organik Brenjonk dalam memberdayakan masyarakat Desa Penanggungan Trawas Mojokerto. Skripsi UMKonservasi DAS UGM. Agroforestri, Alternatif Solusi Pertanian BerkelanjutanRahman (dkk.) 2017. Facilitating smallholder tree farming in fragmented tropical landscapes: Challenges and potentials for sustainable land management. Journal of Environmental Management Vol. 198 No. 1, CIFOR
Liputan Mendalam

KTH Alas Trawas: Dari Forum Rakyat Trawas hingga Was-Was dengan Perhutani


Kebijakan.co.idLiputan Konstruktif

Adi Fauzanto-13 Mar 2023 (15.00 WIB)-#16 Menit
KTH ALAS Trawas

Melihat rekam jejak konflik antara Perhutani (Badan Usaha Milik Negara) dan masyarakat di Penanggungan, akhirnya berkesudahan setelah Forum Rakyat Trawas (Foras) mengajukan Perhutanan Sosial (PS) yang nantinya dikelola oleh Foras dengan nama KTH (Kelompok Tani Hutan) ALAS (Aman, Lestari, Adil, Sejahtera) Trawas.

Dalam rencana dan pengembangannya, KTH ALAS Trawas akan dibangun dengan menyatukan antara Komunitas Pertanian Organik Brenjonk dan Kelompok Wanita Tani Desa Penanggungan, selain itu juga menyatukan ide antara wisata edukasi ekologi dan agroforestri yang berkelanjutan.

Ide besar tersebut tidak bisa terwujud, jika inisiatif gerakan masyarakat dan program perhutanan sosial tidak dijalankan.

Tim Kolaborasi —Kebijakan.co.id, Idenera.com, KabarTrenggalek.com— turun mengobservasi langsung di Desa Penanggungan, Mojokerto. Mengamati KTH ALAS Trawas dan Kampung Organik Brenjonk. Bertemu dengan Inisiator Kampung Brenjonk, Inisiator KTH ALAS Trawas, Anggota Kelompok Wanita Tani, dan Masyarakat Desa Penanggungan.

***

Mojokerto, Kebijakan.co.id – Siang itu (10/3/2022), suara dan ekspresi keceriaan masyarakat terdengar jelas di jalan-jalan Dusun Ngembes, Desa Penanggungan, Mojokerto. Kebahagiaan tersebut terpancar karena sedekah bumi. Perayaan yang diadakan setahun sekali sebelum bulan Ramadahan, atau bulan syakban, spesialnya pada tahun ini merupakan yang pertama dalam 3 tahun terakhir, karena ditidiakan oleh pandemi.

Sedekah bumi di kaki Gunung Penanggungan itu merupakan sebuah bentuk rasa syukur dan bentuk penghormatan terhadap leluhur. Walaupun hasil buminya yang terlihat sudah berganti, bukan lagi hasil pertanian atau perkebunan akan tetapi produk-produk olahan dibungkus plastik. Akan tetapi, guyub warga desa tidak bisa disangkal lagi, antara satu dusun dengan dusun lain saling berinteraksi.

Dalam kegiatan sedekah bumi itu, Tim Kolaborasi –Jurnalis Kebijakan.co.id, Idenera.com, KabarTrenggalek.com— diajak oleh Cak Met –sebutan akrab dari Slamet— yang merupakan inisiator Komunitas Petani Organik dan Kampung Organik Brenjonk.

Sebab Tim Kolaborasi diperkenalkan dan diajak ke Dusun Ngembes, karena merupakan salah satu dusun di Desa Penanggungan –lainnya di Dusun Penanggungan, Dusun Sendang, Dusun Kemendung. Keempat dusun tersebut, nantinya terlibat dalam pengembangan KTH (Kelompok Tani Hutan) ALAS (Aman, Lestari, Adil, Sejahtera) Trawas.

Desa Penanggungan
Sedekah Bumi di Dusun Ngembes Desa Penanggungan (Adi/Kebijakan.co.id)

Sejarah Foras dan Selisih dengan Perhutani

KTH ALAS, ada cerita di balik nama dan mula-mula tidak seperti ini, butuh usaha panjang dari masyarakat untuk mengelolanya. Tahun 1999 menjadi bukti, bahwa terdapat penebangan besar-besaran terhadap hutan yang dikelola Perhutani (Perusahaan Umum Perhutanan Negara) kala itu.

“Penebangan secara sistematis ya, dan terorganisir. Ya waktu itu, masyarakat petani yang disalahkan, kalau riil (secara kenyataan itu) mereka buruh tebang. Di belakangnya tuh (ternyata) ada pihak-pihak besar yang ingin kayu itu,” buka Slamet yang pernah menempuh pendidikan di PPLH (Pusat Penelitian Lingkungan Hidup) selama 4 tahun itu menceritakan kondisi kala itu.

Dia menduga, ada pihak-pihak yang mendapatkan keuntungan dari pembalakan tersebut. “Awalnya itu ambil (pohon) jati kan paling mahal, yang kedua, setelah tadi habis, (pohon) mahoni. (pohon) Mahoni abis, (pohon) pinus. Terakhir akarnya,” lanjut cerita Slamet kepada Tim Kolaborasi. Slamet menghitung pembalakan tersebut seluas 300 hektare atau sekitar 300 lapangan bola.

Untuk mencari luas keseluruhan luas Perhutani di Penanggungan. Kebijakan.co.id mencari data terbuka terkait Perhutani. Wilayah hutan yang sekarang dikelola KTH ALAS, masuk ke dalam wilayah Perum Perhutani Resort Pemangkuan Hutan (RPH) Trawas, sedangkan RPH Trawas di bawah Kesatuan Pemangku Hutan (KPH) Pasuruan.

Dalam Data Perhutani KPH Pasuruan, Bagian Hutan (BH) Penangunggan masuk ke dalam perusahaan pinus yang memiliki luas Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) 3.513,50 Hektare atau sekitar 3500 lapangan bola.

Untuk melihat data pembalakan hutan secara nasional pada tahun itu (tahun 1999). Menurut buku Analisa Konflik Sektor Kehutanan di Indonesia 1997 – 2003 yang dikeluarkan Center for International Forestry Research (CIFOR). Temuan berdasarkan kasus pembalakan dari tahun 1997 sampai dengan tahun 1999 di sektor kehutanan di seluruh Indonesia cenderung meningkat cukup tajam.

Jumlah konflik meningkat hampir 4 kali lipat pada tahun 1999, dibandingkan dengan tahun 1997. Pada tahun 2000, jumlah konflik melonjak drastis sampai 153 kejadian. Angka ini mengalami penurunan kembali pada tahun 2001 dan 2002.

Atas keprihatinan tersebut, ditambah pada waktu itu Slamet merupakan anggota WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) sebuah organisasi non-pemerintah yang diinisiasi oleh beberapa organisasi yang fokus pada lingkungan hidup, “Saya waktu itu aktif di Walhi, sedikit prihatin karena, dampak dari itu debit air turun. Terus hama meledak, karena tikus yang biasa ke situ udah nggak kerasan (betah) lagi, akhirnya ke sawah. Pokoknya gak enak lah.”

Akhirnya Slamet dan masyarakat Desa Penanggunan, Kecamatan Trawas pada tahun 2000, membentuk Foras (Forum Rakyat Trawas), “Kita punya gerakan kita namakan Foras, Forum Rakyat Trawas.” Sederhana keinginan masyarakat Trawas, “yang dikerjakan (yaitu) tolak (pohon) mahoni, jati, sama pinus, (untuk) diganti tanaman (pohon) buah-buahan agroforestri.”

Pada awalnya, “Singkat cerita, terjadi ketidaksepemahan antara Foras dan Perhutani. Foras mengingingkan hutan yang digunduli sebelumnya (hutan produksi) itu ditanami bibit kayu dan sebagainya, akan tetapi tidak perlu ditebang,” cerita Slamet kepada Yasir (30/06/2021) salah anggota Walhi Jawa Timur.

 Alasannya sederhana agar tidak gundul hutannya. Akan tetapi Perhutani tetap ingin membibit kayu dan menebang di kemudian hari. “Kami jalan sendiri-sendiri aja. Itu lebih baik,” cerita Slamet kepada Yasir (30/06/2021).

Sedangkan, untuk membuktikan bahwa Perhutani benar menanam pohon yang disebutkan, dan sebaliknya tidak menanam pohon agroforestri. Kebijakan.co.id menelusuri data persemaian tahun 2012-2016 Perum Perhutani KPH Pasuruan, terbukti tidak ada tanaman agroforestri. Tercatat hanya pohon pinus (897.113 bibit), mahoni (471.972), kayu putih (4.354.265), sengon (91.902), dan damar (8796) yang disemai bibitnya.

Jika dilihat dari data tersebut, maka Perhutani mengarahkan kepada Hutan Tanam Industri (HTI). Hasil penelitian CIFOR terkait HTI memberikan analisis bahwa, kontribusi masyarakat seharusnya difasilitasi lebih dini dalam tahap perencanaan, yang diterapkan pada:

Pertama, terhadap klaim lahan; Kedua, pada organisasi buruh; Ketiga, pada distribusi spasial hutan tanaman dalam meninggalkan area yang bernilai lokal; Keempat, pada opsi berbagi lahan.

Cak Slamet dan Syukur sedang berdiri di depan pohon yang ditanamnya 20 tahun lalu (Adi/Kebijakan.co.id)

Bukti Nyata untuk Menjaga Hutan

“Dulu itu ya Bupati (Mojokerto) sampai datang, ya tapi hanya lip service (kata-kata manis), hanya setuju-setuju saja. Tapi ya akhirnya Perhutani tetap membuat bibit mahoni,” cerita Slamet menggambarkan kondisi kala itu. “Nah, saya membuat bibit agroforestri, jadi sama-sama bikinnya,” ceritanya dengan semangat kepada Tim Kolaborasi.

Dokumentasi
Bupati Restui Warga Selamatkan Hutan (Dokumentasi Slamet)

“Jadi kita nanem (pohon buah) petai, nanem (pohon) kluwek, nanem (pohon) alpukat. Nah, mereka (Perhutani) nanem (pohon) mahoni. Alhamdullilah sekarang (pohon) kluweknya sudah berbuah, (pohon) kemirinya berbuah, (pohon) duren-duren juga berbuah, (pohon) nangka udah berbuah,” lanjut Slamet.

Pohon yang ditanam Foras dan Perhutani tumbuh bersama, “(pohon) mahoninya juga tetep besar,” tutup Slamet (10/3/2022) hari itu menceritakan sejarah Foras dan Perhutani kepada Tim Kolaborasi.

Esok harinya (11/03/2022) Tim Kolaborasi diajak langsung menuju lokasi KTH ALAS Trawas, lokasi nya berselebahan dengan Desa Ngembes yang diadakan sedekah bumi hari sebelumnya. Jalannya tidak sulit, jalannya juga bagus, terdapat sungai, dan hutan yang tidak padat vegetasinya, namun masih tertutup.

Slamet bersama Syukur –yang juga salah satu anggota Foras kala itu– mengantarkan kami ke bagian yang nantinya akan dikelola untuk edukasi observasi atau pengamatan. Sambil menceritakan sejarahnya, “Ini (pohon) kemirinya kita tanam tahun 2002,” tepat 20 tahun sebelumnya ucap Slamet sambil menunjuk batang pohon yang mencapai 2 kali lipat tubuh orang dewasa.

Di lain pohon yang ukurannya 4x lebih besar tubuh manusia, “usianya 20 tahun,” cerita Slamet sambil menunjuk kondisi di sekitar, “dulu ini gundul semua 300 hektare. Ya kira-kira sepanjang (jalan hutan tersebut) 6 kilometer gundul total, se akar-akarnya itu nte’ (habis).”

“Faktanya di sini aman (hutannya setelah penggundulan),” tegas Slamet sambil menunjukan hutan sekitar yang tidak terjadi kegundulan setelah peristiwa 1999 itu. “Siapa yang merusak? bukan rakyat,” ucap Slamet sambil tertawa, justru menurutnya pihak-pihak tertentu yang merujuk Perhutani.

Dalam penelitian di salah satu kecataman Kab. Kulon Progo, Yogyakarta yang dilakukan Suroso (Penyuluh Kehutanan dan Perkebunan Yogyakarta) berjudul Optimalisasi Lahan dengan Pola Agroforestry. Memberikan kesimpulan bahwa dampak ekologi atau lingkungan terhadap adanya Agroforestri:

Pertama, penutupan lahan yang semakin luas yang efektif mencegah bencana alam; Kedua, siklus hara alami terjamin dengan tersedianya seresah yang cukup;

Ketiga, membantu sistem perakaran dalam menahan air sehingga proses hidrologi dapat berjalan normal;

Keempat, menghasilkan O2 dan mengikat CO2 sehingga pencemaran udara terkendali; Kelima, berkontribusi dalam pelestarian alam.

KTH ALAS
ALAS: Aman, Lestari, Adil, Sejahtera (Adi/Kebijakan.co.id)

Konflik dengan Perhutani

Pun, setelah diberikan Surat Keputusan (SK) Perhutanan Sosial, Slamet menduga Perhutani tidak senang dengan hal tersebut, “Perhutani pasca ijin KULIN KK (Pengakuan dan Perlindungan Kemitraan Kehutanan) ini dia itu memang, gak ikhlas gitu, akhirnya naro orang di situ untuk (menciptakan) buat konflik di situ, dan saya tau itu preman ditaro situ, bikin warung di ALAS itu, modalnya sampe ratusan juta.”

Bahkan, “Dia (pemilik warung) cerita sama saya, awalnya 30 juta itu setelah itu bangun terus di situ, di pasca ijin. Saya tau itu untuk buat konflik,” ucap Slamet kepada Tim Kolaborasi (11/03/2023).

Menurut Wahyu Eka Setyawan, Direktur WALHI Jawa Timur mengatakan dalam kolomnya (30/06/2021), “Di bawah kelola Perhutani selama berpuluh-puluh tahun, telah terjadi konflik beragam antara masyarakat sekitar hutan dengan Perhutani. Hal tersebut didasarkan pada ketimpangan pengelolaan, yang berimbas pada tidak sejahteranya masyarakat hutan.”

Wahyu mencontohkan terkait pembagian hasil panen pohon yang tidak adil berdasarkan pengakuan masyarakat, “sebesar 25% untuk warga dan 65% untuk perhutani,” tulis Wahyu meski menurut masyarakat bahwa Perhutani memberikan bibit akan tetapi yang menanam dan merawat hingga besar tetap masyarakat. Selain itu juga, masalah persoalan sewa lahan.  

Untuk mengkonfirmasi kebenaran tersebut kepada Perhutani KPH Pasuruan, Kebijakan.co.id telah berusaha mengirimkan surat permohonan wawancara beserta beberapa pertanyaan melalui email resmi KPH Pasuruan pada 13/03/2023. Namun hingga tulisan ini terbit, belum respons dari KPH Pasuruan.

Setelah adanya PS, skema pembagian tersebut menurut Slamet dilansir dalam Times Indonesia (14/01/2022), “secara eksplisit sudah diatur di SK KLHK. Untuk kayu kita KTH ALAS dapat 70, persen Perhutani 30 persen. Untuk non kayu KTH ALAS dapat 80 persen, Perhutani 20 persen. Untuk tanaman istilahnya buah-buahan dan seterusnya itu 90 persen. Untuk jasa lingkungan itu 90 persen.”

Ditilik secara teoritis, konflik tersebut termasuk dalam konflik vertikal, menurut Maftuh dalam bukunya Pendidikan Resolusi Konflik (2008) ialah pertentangan antara dua pihak yang memiliki kedudukan sosial yang berbeda. Jelas berbeda, yang satu Negara melalui BUMN-nya Perhutani dan satunya masyarakat desa.

Terkait dengan hal tersebut sudah seharusnya perhutanan dikembalikan kepada warga untuk dikelola baik secara ekologis maupun ekonomis yang berkelanjutan, “Masyarakat harus menjadi unsur utama dalam upaya mengembalikan fungsi hutan seperti semula, yaitu sebagai pelindung dari sisi ekologi maupun ekonomi,” kata Samedi, Direktur Program Tropical Forest Conservation Action-Sumatera pada Webinar Perbaiki dan Pulihkan Hutan: Jalan Menuju Masyarakat Desa Hutan Sejahtera (18/03/2021).

Di satu sisi, KPH Pasuruan dalam dokumennya mengklaim melakukan pengelolaan terhadap perekonomian desa dengan cara:

Pertama, membantu pembentukan dan melakukan kerja sama dengan LMDH (Lembaga Masyarakat Desa Hutan); Kedua, pemberian dana sharing; Ketiga, pemberian akses pemanfaatan lahan;

Keempat, pemberian bantuan berupa pinjaman bunga lunak PKBL (Program Kemitraan dan Bina Lingkungan); Kelima, peningkatan kapasitas MDH (Masyarakat Desa Hutan).

KTH ALAS
Cak Slamet dan Syukur berfoto di depan pohon yang ditanamnya 20 tahun lalu memegang plank legalitas pengelolaan KTH ALAS Trawas (Adi/Kebijakan.co.id)

Awal Mula KTH

Konflik dan sembunyi-bunyi untuk mengelola hutan oleh Foras di bawah Perhutani tersebut akhirnya secara sah resmi dikelola oleh Foras yang berganti nama menjadi KTH ALAS.

“Ini harus saya formalkan, karena memang harus formal, ngajukan ke KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) semua harus formal, sehingga teman-teman sudah punya akses legal kan. Jadi ada perlindungan, ada legalitas,” cerita Slamet kepada Tim Kolaborasi (10/03/2023).  

***

Program tersebut ialah Perhutanan Sosial (PS). Dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Nomor 83 Tahun 2016 mengartikan:

“Perhutanan Sosial ialah sistem pengelolaan hutan lestari yang dilaksanakan dalam kawasan hutan negara atau hutan hak/hutan adat yang dilaksanakan oleh masyarakat setempat atau masyarakat hukum adat sebagai pelaku utama untuk meningkatkan kesejahteraannya, keseimbangan lingkungan dan dinamika sosial budaya dalam bentuk Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, Hutan Tanaman Rakyat, Hutan Rakyat, Hutan Adat dan Kemitraan Kehutanan.”

Program PS ini menurut Nabhan Aiqani (Komunitas Konservasi Indonesia Warsi) dalam kolomnya di Mongabay (24/08/2020) mengatakan, “skema (perhutanan sosial) ini pun sekaligus menjadi upaya akhir untuk menutup peluang bagi pihak lain yang ingin menangguk untung dari ketidaktahuan masyarakat terkait pengelolaan kawasan.”

Hal tersebut disetujui juga oleh Usep Setiawan (Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden Republik Indonesia) dalam kolomnya di Kompas (19/02/2023), “Terjaganya kualitas lingkungan dan terhindarnya hutan dari tindakan pembalakan liar yang merugikan ekonomi negara dan merusak kualitas lingkungan. Meningkatnya kesadaran warga penerima akses perhutanan sosial terhadap kewajiban melestarikan hutan dan mitigasi perubahan iklim.”

Catatan kritis terkait Perhutanan Sosial datang dari KPA (Konsorsium Pembaruan Agraria), dalam catatan tahun 2017 tersebut, “Bisa jadi salah satu model dari Reforma Agraria adalah Perhutanan Sosial.”

Akan tetapi, “penting menjadi peringatan bersama, bahwa ada banyak model dan implementasi perhutanan sosial sejak masa lalu hingga saat ini justru bertentangan dengan tujuan dan prisip dasar reforma agraria itu sendiri.” Contohnya, ialah mewajibkan tanaman komoditas tertentu, bagi hasil yang tidak adil, legitimasi monopoli atas hutan.

Selain itu, “PS tentu lah bukan reforma agraria jika diberikan kepada masyarakat karena pemerintah (melalui BUMN-nya) enggan mengakui kesalahan masa lalu bahwa penetapan kawasan hutan telah menjarah tanah-tanah masyarakat.”

***

Berkat PS ini, “Akhirnya ada PS (Perhutanan Sosial) itu kita mendaftar (tahun 2017), syaratnya harus KTH itu,” cerita Slamet. “Saya tampung Foras dengan LPMD (Lembaga Pembedayaan Masyarakat Desa), LMDH (Lembaga Masyarakat Desa Hutan), Kelompok Wanita Tani (KWT) yang ada. Jadilah KTH (Kelompok Tani Hutan).”   

Secara legal keluar di tahun 2018 oleh Menteri KLHK, Surat Keputusan (SK) Menteri keluar tahun 2018 dengan luasan lahan 114 Hektare. Termaktub dalam Surat Keputusan Perhutanan-Sosial/Sertifikat-TORA/SHM:SK.6973/MENLHK-PSKL/PKPS/PSL.0/8/2019. Awalnya dipetakan sebesar 222 Hektare, namun yang disahkan hanya 114 Hektare.

Menurut KPA dalam Catatan Akhir Tahunnya di 2017, permasalahan mendasar pada pengelolaan lahan (hutan) kepada masyarakat ialah kecilnya kepentingan masyarakat dalam keputusan terkait kehutanan, salah satunya penentuan dan penetapan tata batas seperti di atas.

Namun, Slamet tidak ambil pusing dengan penentuan batas tersebut. Selain status, nama perlu ditetapkan, “Kita namakan ALAS, (yang disingkat) Aman, Lestari, Adil, dan Sejahtera.” Menurutnya kepada Yasir, “Cita-cita kami, KTH ALAS ialah bagaimana menciptakan kesejahteraan di lingkungan masyarakat Desa Penanggungan, Trawas,” tujuan besarnya. Tujuan sederhananya, “Harapannya tidak muluk-muluk. Orang-orang yang terlibat dan mau bekerja mereboisasi hutan yang telah digunduli itu.”

“Hutan itu dapat menopang keberlangsungan hidup di lingkungan keluarganya sendiri,” ucap Slamet kepada Yasir. Sementara ini, anggotanya mencapai 313 Kartu Keluarga (KK). Nantinya 313 KK ini yang mengelola, merawat, dan merasakan hasil dari hutan yang dikelolanya sendiri. Baik itu hasil dari produk agroforestri, jasa, hingga manfaat ekologi, juga manfaat sosial masyarakat.

Sampai tahun 2020, “Kita dipercaya buat KBR (Kebun Bibit Rakyat) targetnya 35.000 pohon, terealisasi 46.000 bibit, itu contohnya (pohon) matoa,” cerita Slamet kepada Tim Kolaborasi. Dan target selanjutnya ialah tahun 2023, “kami mengajukan Hutan Kemasyarakatan (HKM) kepada KLHK.”

Sampai dengan di sahkannya KTH ALAS mendapatkan haknya atas pengelolaan hutan. Menurut Fanny Tri Jambore, WALHI Nasional dalam tulisannya mengatakan, “bahwa Perhutanan Sosial bukanlah tujuan utama dari perjuangan wilayah yang dikelola oleh masyarakat, tetapi hanya salah satu strategi untuk mendapatkan akses.”

Tambahnya, “Karena untuk menuju kelola hutan secara mandiri oleh masyarakat dibutuhkan perjuangan yang panjang, yakni dengan menyiapkan organisasi masyarakat yang kuat dengan kesadaran politik yang mumpuni.”

Foras ‘Duduki’ 500 Hektare Hutan (Dokumentasi Slamet)
Baca Serial Liputan Konstruktif "KTH ALAS Trawas: Menggagas dan Mengemas Perhutanan Sosial untuk Lingkungan Berkelanjutan" Lainnya:
•	KTH ALAS Trawas: Dari Forum Rakyat Trawas hingga Was-Was dengan PerhutaniKTH ALAS Trawas: Ide Besar Mengelola Perhutanan Sosial dengan Wisata Edukasi Ekologi dan Agroforestri

Serial Liputan Konstruktif ini merupakan Liputan Kolaborasi antara Idenera.com dan KabarTrenggalek.com dalam Program Wilayah Kelola Rakyat (WKR) didukung Dana Nusantara yang diinisasi oleh WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia), KPA (Konsorsium Pembaharuan Agraria), dan AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara).
Adi Fauzanto
Diterbitkan: Senin, 13 Maret 2023
Pukul: 15.00 WIB
Jurnalis: Adi Fauzanto
Editor: Fayza Rasya
Daftar Bacaan:
• WALHI Jatim dan AP2SI. 2021. Wilayah Kelola Rakyat: Suara Petani Hutan dan Masa Depan Perhutanan Sosial yang Berkeadilan. Buletin, 30 JuniYahya Cahya Wulan (dkk.). 2004. Analisa Konflik Sektor Kehutanan di Indonesia 1997 – 2003. CIFORSuroso. Optimalisasi Lahan dengan Pola Agroforestry. Dinas Kehutanan Provinsi YogyakartaBunyamin Maftuh. 2008. Pendidikan Resolusi Konflik. UPI Press: BandungNopri Ismi. 2021. Potret Perhutanan Sosial Indonesia Hari Ini. Berita Mongabay, 22 MaretNabhan Aiqani. 2020. Menilik Arah Masa Depan Perhutanan Sosial di Indonesia. Opini Mongabay, 24 AgustusUsep Setiawan. 2023. Perhutanan Sosial di Tahun Politik. Opini Kompas, 19 FebruariKPA. 2017. CATAHU 2017: Reforma Agraria di Bawah Bayangan Investasi (Gaung Besar Di Pinggiran Jalan).Thaoqid Nur Hidayat. 2022. KTH Alas Trawas Tanam 46 Ribu Pohon di Lokasi Hutan Produksi Penanggungan. Times Indonesia, 14 JanuariProfil KPH PasuruanRomain Pirard (dkk.). 2016. Dampak Hutan Tanaman Industri di Indonesia: Analisis Persepsi Masyarakat Desa di Sumatera, Jawa dan Kalimantan. CIFOR 
Liputan Mendalam

KTH ALAS Trawas: Menggagas dan Mengemas Perhutanan Sosial untuk Lingkungan Berkelanjutan


Kebijakan.co.idLiputan Konstruktif

Adi Fauzanto-13 Mar 2023 (15.00 WIB)-#2 Artikel
KTH ALAS Trawas

Melihat rekam jejak konflik antara Perhutani (Badan Usaha Milik Negara) dan masyarakat di Penanggungan, akhirnya berkesudahan setelah Forum Rakyat Trawas (Foras) mengajukan Perhutanan Sosial (PS) yang nantinya dikelola oleh Foras dengan nama KTH (Kelompok Tani Hutan) ALAS (Aman, Lestari, Adil, Sejahtera) Trawas.

Dalam rencana dan pengembangannya, KTH ALAS Trawas akan dibangun dengan menyatukan antara Komunitas Pertanian Organik Brenjonk dan Kelompok Wanita Tani Desa Penanggungan, selain itu juga menyatukan ide antara wisata edukasi ekologi dan agroforestri yang berkelanjutan.

Ide besar tersebut tidak bisa terwujud, jika inisiatif gerakan masyarakat dan program perhutanan sosial tidak dijalankan.

Tim Kolaborasi —Kebijakan.co.id, Idenera.com, KabarTrenggalek.com— turun mengobservasi langsung di Desa Penanggungan, Mojokerto. Mengamati KTH ALAS Trawas dan Kampung Organik Brenjonk. Bertemu dengan Inisiator Kampung Brenjonk, Inisiator KTH ALAS Trawas, Anggota Kelompok Wanita Tani, dan Masyarakat Desa Penanggungan.

Serial Liputan Konstruktif ini merupakan Liputan Kolaborasi antara Idenera.com dan KabarTrenggalek.com dalam Program Wilayah Kelola Rakyat (WKR) didukung Dana Nusantara yang diinisasi oleh WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia), KPA (Konsorsium Pembaharuan Agraria), dan AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara).

***

Baca Serial Liputannya Di Sini

Akal Bulus Pengembang Perumahan Syariah di Kota Depok


Kebijakan.co.idLiputan Konstruktif

Adi Fauzanto-18 Nov 2022 (18.00 WIB)-#54 Paragraf
Perumahan Syariah di Kota Depok

Fenomena perumahan syariah meruak ke pasar baru-baru ini. Terhitung semenjak kebangkitan ‘Islam Politik’ dan menjalar ke berbagai aspek, mini market syariah, hingga perumahan syariah.

Fenomena ini, ditangkap baik oleh pengusaha yang berhasil melihat pasar masyarakat islam yang gandrung akan merek syariah.

Beberapa menunjukan dampak pendek yang buruk, ketidaktepatan atau terjerat penipuan hanya karena ingin mendapatkan rumah bermerek syariah.

Dampak panjang, pengelompokan ini berpotensi menciptakan segregasi, terlebih jika ada situasi yang dapat memicunya, misal politik identititas. 

Dalam perspektif Islam, Al-Quran tidak pernah mengajarkan harus bertetangga muslim atau membuat kawasan khusus Muslim.

Dalam perspektif kebangsaan, sejarah mencatat hampir semua agama terlibat dalam kemerdekaan bangsa Indonesia, dan oleh karenanya bangsa ini didasarkan atas keberagaman.

Menarik dibahas, khususnya di Kota Depok, kota yang menurut Setara Institute tingkat tolerannya rendah, juga terjadi. Terlebih di bawah rezim penguasa yang merupakan ‘Partai Islam’ yaitu PKS.

***

Perumahan Syariah dan Cara Bayar Syariah

Depok, Kebijakan.co.id — Berbeda antara perumahan syariah atau islami dengan cara pembayaran atau metode syariah, seperti murabahah atau pembayaran langsung. Menurut Ade Supriatna, DPRD Kota Depok Fraksi PKS (Partai Keadilan Sejahtera) saat ditemui oleh Kebijakan.co.id (7/11/2022), perumahan ‘syariah’ dalam hal ini dibedakan menjadi 2.

“Pertama, terkait dengan proses jual belinya, ada yang mengklaim developer syariah, kemudian juga karena transaksinya menyesuaikan dengan hukum-hukum syariah.”

Lalu yang kedua, “Nah (jenis) developer yang ke dua memang dia bikin kawasan. Kawasan yang memang diperuntukan untuk muslim dengan nuansa-nuansa religi.”

Hal tersebut menurut Ade Supriatna, mengikut pasar permintaan yang mengingkan lingkungan islami, “Yang memang ternyata pasarnya ada gitu dan cukup banyak, makanya para pengusaha developer inikan ya namanya dagang gitukan, demand (permintaan)nya tinggi, makanya dia create gitu.”

Ade Supriatna (DPRD Kota Depok Fraksi PKS)
Ade Supriatna (DPRD Kota Depok Fraksi PKS) Sumber: RadarDepok.com

Memanfaatkan Ceruk Pasar Islami

Pasar atau ceruk islami dimanfaatkan oleh pengembang perumahan islami untuk meraih pembeli rumah dari ceruk pasar islami tadi. Walaupun secara ajaran Islam maupun etika kebangsaan, bertentangan. Selain itu, secara nilai-nilai Islam juga tidak memenuhi, di antaranya tidak ada masjid, hanya memperkaya simbol-simbol, dan cenderung sama dengan perumahan pada umumnya.

Menurut Abdul Rohim, Direktur Maarif Institute saat ditemui Kebijakan.co.id (31/10/2022), “Ya memang itu berlaku hukum pasar. Pasar itukan pragmatis ya, sesuai dengan demand kebutuhan masyarakat, ya.”

“Mereka (pengembang perumahan) melihat adanya demand (permintaan) pasar. Jadi kalau permintaan pasar itu tidak ada, pebisnis perumahan tidak mungkin kan membangun itu (perumahan syariah).”  

Abdul Rohim Ghozali (Direktur Eksekutif Maarif Institute)
Abdul Rohim Ghozali (Direktur Eksekutif Maarif Institute) Sumber: Media Indonesia

Abdul Rohim menyamakan dengan munculnya Bank-Bank Syariah –yang sebenarnya juga berasal dari Bank Konvensional yang merupakan Bank berdasarkan Riba—, “Sama dengan ketika muncul gerakan anti riba, maka Bank Syariah itu menjadi lahan bisnis dan bukan hanya mereka yang muslim, katakanlah semua Bank Konvesional karena ada tuntutan dari pasar maka membuka cabang syariahnya. Mungkin juga cluster-cluster (perumahan) syariah seperti itu.”

Abdul Rohim di akhir menekankan untuk mengedepankan etika, khususnya kepada pengusaha –yang utamanya muslim–, “Mestinya, bisnis itu kan tidak liberal dalam pengertian ‘bebas tanpa nilai’ hanya semata-mata berorientasi kepentingan keuntungan materil. Kalau mereka memegang etik, sebagai seorang muslim, maka etika yang dikembangkan etika yang diajarkan oleh Al-Quran dan Hadist, harus baik kepada tetangga.”

Ia menambahkan, “Dan jangan lupa Nabi dalam sejarahnya sebagai pedagang, yang memperdagangkan kekayaan istrinya Khadijah, ketika dia berdagang tidak pernah segregatif.”

“Jangan lupa Nabi dalam sejarahnya sebagai pedagang, yang memperdagangkan kekayaan istrinya Khadijah, ketika dia berdagang tidak pernah segregatif.”

Abdul Rohim Ghazali

Senada dengan Abdul Rohim, menurut Bro Icuk (35), Wakil Ketua DPC (Dewan Pimpinan Cabang) PSI (Partai Solidaritas Indonesia) Kota Depok saat ditemui Kebijakan.co.id (2/11/2022), menekankan, “Jadinya ya pasar (dan) pengusaha harusnya lebih aware.”

Yang dimaksud ialah, “Dalam artianih jadi pengusaha jangan terlalu pragmatis untuk mendapatkan keuntungan secepat-cepatnya dan sebesar-besarnya dari fenomena yang terjadi.”

Bro Icuk menyarankan pengusaha pengembang perumahan syariah, “Harusnya (pengusaha) juga lebih arif.”

Bro Icuk juga tidak menyalahkan para pengembang perumahan Islami yang pragmatis, “Kalau bilang disalahkan dari jalur hukum juga tidak salah, tetapi secara etika kita bernegara, etika bisnis, ini kayak menunggangi (dan) menggunakan kesempatan polarisasi yang dampaknya akan buruk kepada kehidupan berbangsa, tapi terus dijalankan oleh temen-temen pebisnis.”

Icuk Pramana Putra (Wakil Ketua DPC PSI Kota Depok)
Icuk Pramana Putra (Wakil Ketua DPC PSI Kota Depok) Sumber: JabarEkspres.com

Secara prinsip, etika bisnis dalam Islam menurut Sri Nawatmi dalam jurnalnya Etika Bisnis dalam Perspektif Islam terbagi menjadi 5: (1) Kesatuan, (2) Keseimbangan, (3) Kebebasan Berkehendak, (4) Tanggungjawab, (5) Kebenaran.

Dalam prinsip kesatuan misalnya. Menurut Sri, bisnis dalam Islam melihat keterpaduan atau kesatuan dalam hal ekonomi, sosial, budaya, dan agama. Misalnya tidak diskriminatif kepada seluruh pihak, tidak melanggar hukum agama, dan meninggalkan perbuatan yang tidak beretika.

Menjual Merek Islam

Pragmatisme itu lahir salah satunya dengan menjual merek Islam sebagai cap bahwa perumahan mereka merupakan perumahan syariah. Menurut Loepieanto (82), FKUB Kota Depok, yang sudah tinggal di Depok dari tahun 1992 saat ditemui Kebijakan.co.id (3/11/2022), mengatakan,Kalau di Depok ini ya dibangun perumahan syariah hanya merek saja.”

Selain itu juga menurut Ade Supriatna, melihat, “Kalau saya lihat ini fenomena bisnis Mas, artinya begini (misalkan) saya punya kawasan privat (sendiri) kan swasta ini tanah dia, saya hanya akan menjual kepada yang muslim.”

Sederhana ketika melihat jual-beli barang atau jasa pada umumnya, “Saya belum melihat negara ini bisa intervensi, kalau jual-belikan sesuai yang diinginkan ke duabelah pihak, (prinsip) ridho atau keleraan, kalau yang satu tidak mau menjual nggak bisa maksa, saya lihat juga memang keterbatasan tangan dari pemerintah nih gimana ngaturnya, karena kalau dari perizinan kan gaada sekarang dalam arti dia sama semua, inikan bahasa di pasar.”

Mendukung ungkapan Ade Supriatna bahwasannya negara belum bisa intervensi, dari sisi perizinan, sebenarnya tidak dibedakan antara perumahan syariah ataupun perumahan pada umumnya.

Jadi benar-benar pengembang perumahan syariah memanfaatkan Islam sebagai bahan jualannya. Menurut Meti, Dinas Perumahan Kota Depok saat ditemui Kebijakan.co.id (7/11/2022), “Kalau setahu saya, kayanya hanya label deh Mas. Kaya perumahan Mutiara Darrusalam, mungkin kalau secara nama, ‘oh perumahan Islami nih’ tetapi ngga tau islami atau ngganya ya.”

Loepianto (Sekertaris FKUB Kota Depok)
Loepianto (Sekertaris FKUB Kota Depok) Sumber: WartaAhmadiyah.org

Tidak ada Izin Khusus

Terkait izin tadi, Meti menjelaskan secara detail tahap-tahap perizinan pembangunan perumahan, lalu kebingungan ketika melihat munculnya perumahan syariah. Meti, “Sebenarnya yang saya mau tanyai malah gini, kriteria perumahan yang dianggap syariah itu apa? makanya saya baca ini kan. Kalau di kita setau saya di PTSP tidak ada pembedaan, perumahan umum (dan perumahan lainnya).”

Meti menekankan, “Ya tentunya kalau rumah tinggil izin, lebih dari 5 kapling itu udah dianggap perumahan, tanpa ada pembedaan syariah (dan) non syariah, begitu kalau di Depok ya.”

Lainnya Meti menduga bahwa perumahan syariah hanya berdasarkan nama saja, “Jadi kalau di sini itu, setau saya ya nggak ada (pembedaan). Mungkin dari nama doang kali ya. Untuk masuk ke dalamnya bukan ranahnya.”

Hal tersebut, didukung oleh pernyataan Supandi Syahrul (Ketua Dewan Pengurus Daerah Real Estat Indonesia Jawa Timur Komisariat Madura) dalam kolomnya Mangsa dan Modus Penipuan Properti Syariah di Detik.com, “Hingga saat ini, belum ada satu pun perusahaan real estate yang dinyatakan terdaftar sebagai developer atau pengembang syariah oleh MUI. Jadi, mereka menyebut dirinya developer syariah hanya akal bulus saja untuk mengelabui konsumen.”

Menurut Supandi, karena memang tidak ada perusahaan berbentuk syariah. Kecuali perusahaan mereka menyatakan penuh dalam AD/ART menggunakan metode pembayaran syariah dan diawasi oleh Dewan Pengawas Syariah layaknya Bank Syariah atau Asuransi Syariah.

Selain itu juga tidak adanya peraturan yang membatasi perumahan syariah ini, menurut Ade Supriatna, “Nah, kalau tempat tinggal memang belum –setau saya—belum ada peraturan perundangan yang mengatur, di mana harus tinggal, terus siapa saja yang tinggal di tempat itu, gitu, jadi masih diserahkan ke pasar intinya, gitukan.”

Karena tidak aturan yang mengaturnya, Ade Supriatna hanya memberikan saran kepada pengembang, “Karena belum ada juga cantolan Undang-Undang atau peraturan perundang-undangan yang bisa melarang ini kita hanya bisa (memberikan saran) kepada pengembang.”

Penyebabnya hanya memberikan saran, “Kita sih, kalau mendorong kebijakan publik yang dalam bentuk peraturan daerah tentu harus ada ‘tadi’ (merujuk pembahasan sebelumnya) cantolan peraturan perundang-undang di atasnya, yang mungkin itu baru bisa kita dorong ya.”

Gedung Pemerintah Kota Depok
Gedung Pemerintah Kota Depok

Kasus-Kasus Perumahan Syariah

Selain itu, urgensi perlunya ada intervensi negara terhadap perumahan syariah, adalah karena banyaknya korban yang sudah berjatuhan. Dari 5 kasus –yang kemungkinan jumlahnya melebihi ini— di antaranya PT Indo Tata Graha (2022); PT Wepro Citra Sentosa (2019); PT Fimadani Graha Mandiri (2021); PT ARM Cipta Mulia (2019); PT Cahaya Mentari Pratama (2020).

No.PengembangKorbanKerugianModus Utama
1.PT Indo Tata Graha805 MiliarMengatasnamakan Agama
2.PT Wepro Citra Sentosa  368040 MiliarHarga Murah dan Tanpa BI Checking
3.PT Fimadani Graha Mandiri155 MiliarTidak ada SOP dan perjanjian tidak di depan Notaris
4.PT ARM Cipta Mulia27023 MiliarTanpa BI Checking
5.PT Cahaya Mentari Pratama32 Orang3,4 MiliarTanah Fiktif
Sumber

Dari ke 5 kasus tersebut, total korban mencapai 4137 orang, dengan kerugian kurang lebih 76,4 Miliar Miliar. Kemungkinan besar masih ada banyak kasus yang belum dimasukan.

Dengan modus di antaranya: Pertama, Jelas mengatasnamakan Agama yaitu Islam; Kedua, Menggunakan simbol-simbol Agama yaitu Islam; Ketiga, Tanpa Riba (Tanpa Bunga Kredit); Keempat, Tanpa Bank Indonesia Checking; Kelima, Tanpa Sita; Keenam, Tanpa Denda; Ketujuh, Tanpa Uang Muka atau DP; Kedelapan, Perjanjian tidak di depan notaris; Kesembilan, Harganya murah atau tidak wajar; Kesepuluh, Kemudahan administrasi.

Dari kasus-kasus dan modus-modus tersebut, setidaknya calon konsumen –khususnya yang masih menginginkan cita-cita tinggal di lingkungan syariah— harus mempelajari modus tersebut.

Menurut Legowo Kusumonegoro (Presiden Direktur, PT Manulife Aset Manajemen Indonesia)  dalam acara Standard Chartered Academy for Media dilansir dari Republika.co.id, mengatakan calon pembeli atau investor harus memiliki sikap, “Sikap 80 persen tidak percaya, 10 persen takut, dan 5 persen siap ditipu.”

“Sikap 80 persen tidak percaya, 10 persen takut, dan 5 persen siap ditipu.”

Legowo Kusumonegoro

***

Sikap ketidakpercayaan, takut, dan siap ditipu tersebut harus disertai dengan:

Pertama, memastikan izin dan legalitas berupa Surat Keputusan Kementerian Hukum dan HAM (SK Kemenkumham) serta Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) atau Nomor Induk Berusaha (NIB), lalu melakukan verifikasi dokumen-dokumen tersebut, atau memastikan nama perusahaan pengembang tidak pernah bermasalah atas penipuan atau tindak pidana lainnya.

Kedua, surat kepemilikan tanah dan bangunan fisiknya, berupa akta notaris dan akta jual-beli dengan pemilik tanah sebelumnya, lalu melakukan verifikasi atas akta notaris atau jual-beli tersebut, dengan mendatangi notaris atau melakukan verifikasi kepada pemilik tanah sebelumnya.

Ketiga, melihat Izin Mendirikan Bangunan (IMB) yang dikeluarkan instansi resmi pemerintah daerah, yang dilakukan dengan bertanya legalitas dokumen IMB tersebut kepada Dinas Perumahan terkait.

Keempat, mencatat detail proses pembangunan dan dokumen-dokumen pembangunannya, seperti siapa penyedia jasa dan alat konstruksinya. Hal tersebut agar dapat dipastikan kepada jasa kontraktor nantinya, baik orang-orangnya dan kantornya.   

Kelima, melakukan pengecekan terhadap bank yang bekerjasama dengan pengembang tersebut berupa Perjanjian Kerjasama dengan Perbankan (PKS), baik cara pembayaran konvesional dengan bank-bank konvensional atau cara pembayaran syariah dengan bank-bank syariah seperti murabahah.

Keenam, untuk yang tidak menggunakan lembaga ketiga –dalam hal ini percaya terhadap adanya Riba– pastikan dalam setiap pembayaran sepeserpun, harus disertai bukti dan diperjanjikan di depan Notaris atau diatas materai dengan identitas lengkap. Hal tersebut dimaksudkan untuk keamanan. Jika tidak berani, maka patut dicurigai. Hal tersebut memang bertujuan –untuk pengembang licik—untuk menghindari Perbankan Syariah, lalu pengawasnya yaitu Otoritas Jasa Keuangan, dan izin-izin terkait di Dinas, seperti IMB, dan sebagainya.

Calon-Calon Korban Penipuan Rumah Syariah

Menurut Supandi Syahrul (Ketua DPD REI Jawa Timur Komisariat Madura) mengatakan dalam kolomnya Mangsa dan Modus Penipuan Properti Syariah di Detik.com, menurutnya korban penipuan tidak hanya calon pembeli (masyarakat umum) tetapi juga kepada:

Pertama, pemilik tanah. Pemilik tanah atau lahan biasanya petani atau pekebun yang biasanya tidak paham betul bisnis perumahan –apalagi bisnis perumahan syariah yang menabrak banyak aturan. Pemilik lahan tersebut diimingi-imingi lahan tersebut akan dibeli dan digunakan untuk perumahan. Hal tersebut ditunjukan untuk memastikan kepada calon pembeli kepastian lahan untuk dibangun perumahan. 

Kedua, pemilik modal. Umumnya pengembang perumahan syariah tidak memiliki modal awal yang cukup, untuk memenuhinya maka mereka mengajak kerjasama kepada pemilik modal. Dana tersebut tidaklah sedikit, biasanya digunakan untuk dana awal pembebasan lahan, pembangunan kantor, biaya karyawan, dan pemasaran.

Target pemilik modal tersebut –untuk pengembang yang nakal—mengincar para pemilik modal yang tidak mengerti betul bisnis perumahan syariah beserta hukum-hukum bisnis syariah. Tentu dengan iming-iming bagi hasil keuntungan yang besar dan janji surga.

***

Untuk mencegah terjadinya korban yang berjatuhan –terlebih segregasi–, baiknya semua pihak pengusaha, pembeli, pembuat aturan, dan masyarakat pada umumnya mempelajari dulu  konsep berusaha dan konsep hidup islami dengan seksama dan mendalam, agar kasus dan terlebih ‘ujung hidung’ perumahan khusus muslim tidak terlihat lagi.

*(26/11/2022): Ada perbaikan nama dari Meta menjadi Meti dari Dinas Perumahan Kota Depok dan tambahan keterangan waktu saat ditemui Kebijakan.co.id

Baca Serial Liputan Konstruktif "Perumahan Syariah di Kota Depok, Surga di Rumah atau Neraka Keberagaman" Lainnya:
•	Perumahan Syariah di Kota Depok, Surga di Rumah atau Neraka KeberagamanAkal Bulus Pengembang Perumahan Syariah di Kota DepokWawancara Mendalam tentang Perumahan Syariah di Kota Depok

Serial Liputan Konstruktif ini merupakan Program Fellowship Jurnalistik untuk Keberagaman dan Toleransi oleh Yayasan Satu Keadilan dan Search for Common Ground
Jurnalis Adi Fauzanto
Diterbitkan: Jumat, 18 November 2022
Pukul: 18.00 WIB
Jurnalis: Adi Fauzanto
Daftar Bacaan:  
• Supandi Syahrul. 2020. Mangsa dan Modus Penipuan Properti Syariah. Detik.com, 14 FebruariNashih. 2020. Masyarakat Diminta Tak Asal Tergiur Rumah Berkedok Syariah. Republika, 18 FebruariSri Nawatmi. 2010. Etika Bisnis dalam Perspektif Islam. Jurnal Fokus Ekonomi, Vol. 9 No. 1
Liputan Mendalam

Perumahan Syariah di Kota Depok, Surga di Rumah atau Neraka Keberagaman


Kebijakan.co.idLiputan Konstruktif

Adi Fauzanto-18 Nov 2022 (18.00 WIB)-#85 Paragraf
Perumahan Syariah di Kota Depok

Fenomena perumahan syariah meruak ke pasar baru-baru ini. Terhitung semenjak kebangkitan ‘Islam Politik’ dan menjalar ke berbagai aspek, mini market syariah, hingga perumahan syariah.

Fenomena ini, ditangkap baik oleh pengusaha yang berhasil melihat pasar masyarakat islam yang gandrung akan merek syariah.

Beberapa menunjukan dampak pendek yang buruk, ketidaktepatan atau terjerat penipuan hanya karena ingin mendapatkan rumah bermerek syariah.

Dampak panjang, pengelompokan ini berpotensi menciptakan segregasi, terlebih jika ada situasi yang dapat memicunya, misal politik identititas. 

Dalam perspektif Islam, Al-Quran tidak pernah mengajarkan harus bertetangga muslim atau membuat kawasan khusus Muslim.

Dalam perspektif kebangsaan, sejarah mencatat hampir semua agama terlibat dalam kemerdekaan bangsa Indonesia, dan oleh karenanya bangsa ini didasarkan atas keberagaman.

Menarik dibahas, khususnya di Kota Depok, kota yang menurut Setara Institute tingkat tolerannya rendah, juga terjadi. Terlebih di bawah rezim penguasa yang merupakan ‘Partai Islam’ yaitu PKS.

***

Depok – Kebijakan.co.id“Berlayar ke Depok di waktu pagi hari” adalah petikan lagu Jason Ranti, kota satelit Jakarta sekaligus juga bersemayamnya universitas terbaik di Indonesia, tidak menjadikan kota ini ‘terbuka’ secara pemikiran. Sebab, di depan kantor kelurahan Tugu terpampang spanduk ‘perumahan khusus muslim’.

Secara terbuka Kebijakan.co.id (2/11/2022) menghubungi salah satu pengembang perumahan tersebut, dan memulai pertanyaan sederhana, “Apakah perumahan grand mutiara sawarga, adalah perumahan syariah hanya untuk muslim?” Setelah itu, “Mohon maaf, jika ada yang beli merupakan non-muslim apakah bisa?”

“Iya, betul perumahan khusus muslim,” jawab marketing pengembang perumahan tersebut, “Maaf kalau proyek yang ini tidak bisa (untuk non-muslim),” tambahnya. Dan berlanjut ditawari perumahan lainnya yang tidak khusus muslim atau perumahan pada umumnya. Memang otak bulus mengincar yang gandrung akan islami.

Bukan tidak mungkin ke depan, ada ‘perumahan khusus katolik’ ‘perumahan khusus hindu’ ‘perumahan khusus buddha’ bahkan ada ‘perumahan khusus muhammadiyah’ dan ‘perumahan khusus NU’.

Adalah perumahan syariah, yang secara ajaran agama dan kebangsaan benar-benar melenceng. Hal ini tercipta karena cita-cita hidup dalam lingkungan islam atau islami yang berangkat dari ide besar sebuah negara Islam. Uniknya, karena pengusaha pengembang perumahan ‘memanfaatkan’ pasar tersebut.

Kota Depok dan Indeks Kota Toleran

Kota Depok memang tidak jauh-jauh dari kata intoleransi. Menurut Setara Institute melalui risetnya berjudul Indeks Kota Toleran menempatkan Kota Depok sebagai kota dengan tingkat skor toleransi 10 terendah dari 94 kota atau kabupaten sejak tahun 2015.

Jika melihat indikator penilaiannya tersebut, berdasarkan: (1) Rencana Pembangunan (10%); Kebijakan Diskriminatif (20%); (2) Peristiwa Intoleransi (20%); (3) Dinamika Masyarakat Sipil (10%); (4) Pernyataan Publik Pemerintahan Kota (10%); (5) Tindakan Nyata Pemerintah Kota (15%); (6) Heterogenitas Agama (5%); (7) Inklusi Sosial Keagamaan (10%).

Indikator penilaian tersebut diambil berdasarkan (1) Regulasi Pemerintah Kota; (2) Tindakan Pemerintah; (3) Regulasi Sosial; (4) Demografi Agama. Data-data tersebut dikumpulkan menggunakan 3 metode: (1) Triangulasi Sumber; (2) Kuesioner Pemerintah Kota; (3) Pertemuan Ahli untuk mengkonfirmasi Data yang telah dikumpulkan sebelumnya.

***

Dari riset tersebut setidaknya tidak benar. Maka Kebijakan.co.id menemukan fakta dan cerita-cerita yang mendukung hal tersebut di lapangan, di antaranya: (1) Sedikitnya sekolah negeri dibandingkan sekolah berbasis Islam Terpadu; (2) Ditambah tidak adanya guru agama untuk agama selain Islam; (3) Peristiwa diskriminasi terhadap kelompok minoritas agama, Ahmadiyah; (4) dan tak lupa, Perumahan Syariah yang menjamur.

Selain itu, Konde.co juga merangkumnya pada tahun 2022 dengan judul 5 Fakta Tentang Depok Kota Paling Tidak Toleran Versi Setara Institute. Pertama, Rancangan Peraturan Daerah Kota Religius. Kedua, Diskriminasi dua siswi berjilbab ditolak magang di hotel. Ketiga, Pemerintah kota larang perayaan valentine. Keempat, Penyegelan Masjid Ahmadiyah. Terakhir yang kelima, Perumahan khusus muslim.

Data Perumahan Syariah di Kota Depok

Membahas perumahan syariah atau perumahan khusus muslim, baiknya dimulai dari data. Berapa jumlahnya di Kota Depok? Menurut data yang dihimpun dari open source (sumber terbuka) berasal dari Google dan aplikasi Google Maps, hal tersebut didapatkan dari klaim perumahan syariah dalam informasinya, perumahan khusus muslim dalam keterangan tertulisnya atau promosinya.

Kebijakan.co.id melakukan pemeriksaan ulang terhadap kecamatan Cimanggis secara langsung, ditemukan beberapa perumahan yang sedang dibangun, adapula yang sudah dibangun dan ditempati, dan beberapa perumahan yang tidak terdeteksi namun sedang dalam pembangunan dan melakukan promosi.  

Selain itu, Jurnalis Kebijakan.co.id mendapatkan data dari SiRumkim sebuah data terbuka yang disediakan oleh Dinas Perumahan Pemerintahan Kota Depok, yang menurut Meti salah satu petinggi dalam Dinas tersebut saat ditemui Kebijakan.co.id (7/11/2022), “Tidak pernah di perbaharui.” Dan data tersebut berasal dari dinas lain, “Jadi kita minta data juga ke (Dinas) PTSP (Pelayanan Terpadu Satu Pintu)…., karena mereka kan yang mengeluarkan izin, pasti mereka adalah ini datanya.”    

Pengolahan data SiRumkim pertama-pertama Jurnalis Kebijakan.co.id mencari irisan dari data terbuka yang didapat sebelumnya dari open source (data terbuka) berasal dari Google dan Google Maps. Setelah itu mencari nama yang bernuansa syariah atau islami di SiRumkim tersebut, lalu dilakukan crosscheck (pengecekan kembali) melalui Google, dengan tujuan memastikan benar-benar perumahan tersebut perumahan syariah dan khusus muslim secara klaim ataupun keterangan tertulis.

Selain itu kami juga mendapatkan informasi dari penelitian-penelitian sebelumnya, jika tanda-tanda tidak dapat dipastikan atau tidak ada maka Jurnalis Kebijakan.co.id akan mencoretnya.

***

Kemunculan perumahan syariah di Kota Depok ini, tercatat dalam penelitian Siti Chaerani berjudul Fenomena Perkembangan Perumahan Muslim (Studi Kasus: Cinere Insani Residence dan Griya Insani Kukusan, Depok) pada tahun 2009.

Yang berkesimpulan, (1) Tidak ada masjid di dalam perumahan syariah tersebut, dan (2) Memberikan pernyataan perumahan khusus orang Islam bukan perumahan syariah atau islami. Sebabnya, islami atau syariah hanya menjadi daya tarik atau promosi kepada pembeli.

Secara arsitektur juga di dikritik oleh Siti bahwa penempatan ku’bah dan nuansa-nuansa simbol Islam tidak ada hubungannya dengan tingkat keislaman seseorang atau kualitas islam itu sendiri.

Lalu disambut dengan tulisan Aidan Raditya Prawira berujudul Menggugat Perumahan Beridentitas Islami (2021) di Alif.id, yang juga berkuliah di perencanaan wilayah dan kota Universitas Gadjah Mada di Yogya.

Tulisan yang apik ini membahas bagaimana perumahan syariah saat ini dibangun dengan hal-hal yang justru tidak menekankan nilai-nilai Islam, seperti membangun pagar yang tinggi, memisahkan jurang antara ‘si kaya’ yang tinggal perumahan Islami dengan rumah mewah dan tetangga yang kontras dengan keadaan rumah-rumah syariah tersebut. Jelas menjauh dari nilai Islam yang menekankan ikatan sosial dan persaudaraan dengan tetangga di sekitarnya.   

Terlebih perumahan syariah tersebut, seakan-akan dipaksakan dengan ornamen timur tengah dan pengabaian hal-hal yang seharusnya diperhatikan, seperti membuat sumur resapan, menghiasi tanaman-tanaman yang produktif, desain rumah yang rendah karbon dan ventilasi udara yang baik untuk mengurangi pengurangan Air Conditioner yang mencegah pemanasan global. Hal-hal tersebut tentu lebih Islami ketimbang ‘gimmick’ timur tengah, pagar yang tinggi, dan nama-nama syariah.

Hal tersebut sejalan dengan prinsip ‘La dharar wa la dhirar’ (diriwayatkan oleh Ahmad dan Ibnu Majah yang menjadi prinsip pembangunan ketika peradaban Islam di awal). Prinsip tersebut berarti jangan memberikan kemudharatan bagi diri sendiri dan jangan membawa kemudharatan bagi orang lain.

Aidan menjelaskan kemudharatan diartikan juga sebagai jangan menyakiti, membahayakan, mencelakai, mempersulit, atau membuat kerusakan baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain.

Hal tersebut penting, karena dalam konsep pembangunan perumahan harus memperhatikan kenyamanan dan keamanan tetangga –dalam konsep kebangsaan—, memperhatikan lingkungan sekitar, dan tidak hanya memikirkan diri sendiri. Lebih luas lagi memperhatikan lingkungan hidup yang harus bisa dinikmati bersama –seperti air yang bersih, udara yang bersih, ruang terbuka hijau, sumur resapan, saluran air yang baik, dan sebagainya.

Dari apa yang dijelaskan oleh Aidan ditemukan juga oleh Kebijakan.co.id di lapangan,perumahan syariah memiliki karakteristik perumahan yang tertutup, dijaga ketat oleh satpam yang hanya memiliki satu pintu, tidak ada masjid, dan selebihnya persis seperti perumahan pada umumnya.   

***

Selain itu, kemunculan perumahan syariah di Yogyakarta yang diliput secara berseri oleh BBC Indonesia, salah satu judul yaitu Perumahan dan Permukian Syariah: Ancaman bagi Toleransi dan Budaya Lokal? (2019) mentitik fokuskan kemunculan perumahan islami di Yogyakarta yang berpotensi bahkan sudah menggerus kebudayaan masyarakat setempat yang sekiranya positif dan tidak menimbulkan kerugian –khususnya untuk pendatang yang bermukim di perumahan syariah.

Hal tersebutpun diungkapkan juga oleh Loepianto (82), Sekertaris FKUB (Forum Kerukunan Umat Beragama) Kota Depok saat ditemui oleh Kebijakan.co.id (3/11/2022), terdapat satu perumahan –bukan perumahan syariah— akan tetapi  ditinggali secara bertahap oleh yang diduga beraliran wahabi –sebuah aliran Islam yang memiliki pemahaman kaku secara syariat. Menurutnya hal tersebut mengganggu budaya masyarakat yang sudah terbentuk, seperti Yasinan dan sebagainya, dan ‘menguasai’ masjid di sekitar daerah tersebut.  

Loepianto (Sekertaris FKUB Kota Depok)
Loepianto (Sekertaris FKUB Kota Depok) Sumber: WartaAhmadiyah.org

Cita-Cita Hidup Islami dan Bayang-Bayang Surga

Menurut Ade Supriatna, DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) Kota Depok Fraksi PKS (Partai Keadilan Sejahtera) saat ditemui Kebijakan.co.id (7/11/2022), masyarakat yang tinggal di sana mengharapkan sesuatu lingkungan syariah, kondusif untuk tumbuh kembang keluarga kecilnya, “Di situ diharapkan nanti keluarga yang memang pingin anaknya atau anggota keluarganya tumbuh dalam suasana yang religi, dari mulai pendidikan, kegiatan bermain, proses bersosialisasi itu pingin yang eksklusif (Islami).”

Dalam hal pendidikan di lingkungan misalnya, Ade Supriatna menambahkan, “Menanamkan keyakinan kuat terhadap satu agama, saya rasa memang harus dari kecil agar anak-anak punya pondasi dan terbiasa untuk beribadah tidak atas dasar disuruh sama orangtua, tetapi memang kesadaran sendiri karena keyakinan dia kepada Allah kepada Tuhan, itu yang harus dibangun kan, mungkin pinginnya seperti itu.”

Ade Supriatna (DPRD Kota Depok Fraksi PKS)
Ade Supriatna (DPRD Kota Depok Fraksi PKS) Sumber: RadarDepok.com

Oleh karenanya, “Keluarga-keluarga (tadi) yang membeli perumahan di kawasan syariah, pinginnya anaknya tumbuh dalam lingkungan yang baik.” 

Namun menurut Loepianto, ironinya perumahan syariah hanya membangun ‘rumah saja’ bukan lingkungan yang syariah.

“Kalau mau bangun lingkungan syari, wilayahnya harus benar-benar syari juga. Contoh, mau bangun perumahan di Jombang, ah itu mendukung, ada sekolahnya (pesantren). Kalau yang ini ngga mendukung, hanya rumahnya saja. Kalau kita bicara satu komplek syariah, itu harus bener-bener semuanya, bukan merek aja, tetapi di situ ada madrasah (sekolah), tempat ibadah.”

Hal tersebut disetujui oleh Meti, dari Dinas Perumahan Kota Depok, “Pasti dari nama doang.”, Dia juga menambahkan, “Kalau setahu saya, kayanya hanya label (merek) deh Mas. Kaya perumahan Mutiara Darrusalam, mungkin kalau secara nama, ‘oh perumahan Islami nih’ tetapi nggak tau islami atau ngganya ya.”

***

Selain itu, cita-cita tentang kehidupan islami menurut Abdul Rohim, Direktur Maarif Institute saat ditemui Kebijakan.co.id (31/10/2022), berangkat dari kegagalan cita-cita politik Islam, “Nah kepentingan politik berkaitan dengan aspirasi ‘Islam’ dalam tanda petik, yang dimaknai secara sempit. Karena Islam yang sebenarnya tidak mengenal adanya segregasi-segregasi (pemisahan) seperti itu.”

Abdul Rohim Ghozali (Direktur Eksekutif Maarif Institute)
Abdul Rohim Ghazali (Direktur Eksekutif Maarif Institute) Sumber: Media Indonesia

Nah kepentingan politik berkaitan dengan aspirasi ‘Islam’ dalam tanda petik, yang dimaknai secara sempit. Karena Islam yang sebenarnya tidak mengenal adanya segregasi-segregasi (pemisahan) seperti itu.”

Abdul Rohim Ghazali

Kegagala aspirasi politik Islam, menurut Buya Syafii, yang diceritakan oleh Abdul Rohim, ialah tentang, “Trauma kegagalan Islam Politik, kan dulu ada aspirasi untuk mendirikan negara Islam.”

Hal tersebut menghasilkan banyak dampak dikotomi (atau pembedaan) antara yang Islami dan tidak, “Nah dikotomi yang terjadi di Indonesia antara Islam dan Umum kemudian berimplikasi kebanyak hal, awalnyakan bermula dari pendidikan, dalam kehidupan sehari-hari kita akhirnya dihadapkan pada 2 dikotomi itu. Nah itu sebenarnya yang mencoba dilawan oleh Buya (Ahmad Syafii).”

Dikotomi (pembedaan) ini sebenarnya juga tidak baik berlaku di seluruh agama, jika saja seorang muslim yang ingin tinggal di daerah non-muslim, hal itu digambarkan oleh Bro Icuk (35), Wakil Ketua DPC (Dewan Pimpinan Cabang) PSI (Partai Solidaritas Indonesia) Kota Depok saat ditemui Kebijakan.co.id (2/11/2022).

“Mungkin kalau orang bilang, ‘saya warga depok, karena rumah saya disini, saya tidak merasa itu ada,’ ya, karena itu rumah elu, tetapi pada saat elu jadi pendatang ada orang baru, elu mau ngontrak, nah itu (agama) jadi salah satu pertimbangan yang punya rumah (pemilik kontrakan), nggak mau nerima”

Hal kecil dicontohkan oleh Bro Icuk dalam tingkat yang paling ekstrim, adalah ketika, “Kemarin ada salah satu orang flores meninggal (yang merupakan mahasiswa), (kemudian) RT (rukun tetangga) tidak mau menerima dia sebagai warga, jadi langsung pencatatan sipil nya langsung ke pemerintah Kota, dukcapil nya Pemkot, diterima, tetapi RT/RW tidak menjembatani sebagai pelayan masyarakat paling depan dan itu disampaikan oleh bapak dan ibu RT yang notabene adalah seorang muslim.”

Icuk Pramana Putra (Wakil Ketua DPC PSI Kota Depok)
Icuk Pramana Putra (Wakil Ketua DPC PSI Kota Depok) Sumber: JabarEkspres.com

***

Ketika cita-cita dan impian memiliki rumah dengan lingkungan yang islami untuk keluarga terpikirkan, dari situ juga pengusaha-pengusaha mencoba memanfaatkan pasar dengan membangun perumahan syariah.

Islam dan Ajaran Perumahan Khusus Muslim

Islam sebagai agama yang mengatur melalui hukumnya, atau bisa dikatakan syariat, ‘yang diambil’ katanya secara semena-mena oleh pengembang perumahan syariah. Menurut Abdul Rohim, hal tersebut, “Mengatasnamakan Islam, itu bertolak belakang dengan prinsip-prinsip Islam sendiri.”

Karena pada dasarnya perintah Al-Quran tambah Abdul Rohim, “Perintah di Al-Quran untuk mengenal satu sama lain itu umum, tidak hanya kepada muslim atau sesama islam saja.”

Terkhusus kepada tetangga misalnya, Islam mengajarkan, “Perintah kita untuk berbuat baik kepada tetangga itu berlaku umum, tidak hanya kepada yang spesifik saja seperti kepada muslim saja, tidak ada itu.” Tambah Abdul Rohim.

“Bahkan, ketika memasak masakan itu diperintahkan oleh Nabi (Muhammad) memperbanyak kuahnya, supaya kamu (yang memasak) bisa berbagi kepada tetangga.”

“Nabi mengatakan juga, tidak beriman seseorang yang kekenyangan, tetapi tetangganya kelaparan. Dan itu tidak ada spesifik tetangganya muslim, non-muslim, bahkan orang yang tidak percaya Tuhan.” Tutup Abdul Rohim.

Dalam sejarahnya pun, ketika itu Nabi hidup berdampingan dengan agama lain, oleh karena itu kawasan khusus syariah tidak relevan menurut Ade Supriatna, “Kawasan syariah memang dalam Islam pun tidak diatur harus membuat satu kawasan khusus muslim, nggak ada, karena dari sejarahnya juga kan, Nabi tinggal di Madinah itu plural.”    

“Kawasan syariah memang dalam Islam pun tidak diatur harus membuat satu kawasan khusus muslim, nggak ada, karena dari sejarahnya juga kan, Nabi tinggal di Madinah itu plural.”

Ade Supriatna

Selain itu, “Karena dalam Islam juga kan, ada hak tetangga baik dia muslim ataupun non-muslim, karena di Madinah sendiri plural sebenarnya, waktu Nabi datang ke sana kan banyak agama, ada Yahudi, ada Nasrani juga.” Tambahnya.

Hal tersebut menjadi kebingungan, ketika ada perumahan syariah lalu bertentangan dengan syariah itu sendiri, menurut Loepienato, “Gimana kita mau bangun wilayah yang namanya syariah? Sedangkan apa yang dipraktikin melenceng dari syariah. Islam (harus) menghargai agama lain juga. Iya ga? Iya kan?”

“Gimana kita mau bangun wilayah yang namanya syariah? Sedangkan apa yang dipraktikin melenceng dari syariah. Islam (harus) menghargai agama lain juga.

Loepianto

Dalam hal menjalin hubungan yang baik dengan siapapun –terkhusus tetangga–, bahkan dengan musuhnya, dicontohkan Buya Ahmad Syafii Maarif, dalam cerita Abdul Rohim.

“Buya memesankan untuk membuka diri, untuk berhubungan dengan siapapun, bahkan dia (Buya) dalam hidupnya tidak pernah merasa canggung, tidak punya hambatan psikologis bergaul dengan siapapun, bahkan kepada orang yang secara pemikiran Buya tolak, seperti Abu Bakar Ba’asir, dia temani dan dia kunjungi.”

Potensi dan Mencegah Segregasi

Salah satu ancaman dari perumahan syariah ialah segregasi (pemisahan) di Masyarakat. Pemisahan ini tercipta karena lingkungan interaksi yang berbeda, mulai dari tetangga rumah. Ancaman tersebut bersifat potensi (akan terjadi) jika terjadi pemicunya, salah satunya peristiwa politik dan peristiwa lainnya yang menyangkut identitas keagamaan.

Menurut Abdul Rohim, mengatakan, “Ketika terjadi gesekan politik, apalagi politik itu dengan menggunakan isu agama, maka potensi gesekan akan mudah mencuat di permukaan. Seperti yang terjadi saat Pilkada DKI 2017.”

Akan tetapi potensi-potensi tersebut bisa menyebabkan dua kemungkinan menurut Ade Supriatna, “Kalau memang di dalamnya (di perumahan syariah) kondisinya tidak mengajarkan tata cara perilaku dengan yang berbeda keyakinan,” atau, “Salah asuh, dalam komunitas tersebut, bisa saja begitu (menciptakan eksklusifitas)”.  

Kedua, “bisa juga ketika di dalamnya ada pengajaran yang moderat, yang istilahnya bagaimana berlaku dengan sesama mahluk tuhan, berkasih sayang, saling tolong menolong, saling bantu, antar kawasan misalnya.”

Segregasi (pemisahan) juga bisa dicegah jika tidak ada pemicu tadi, menurut Abdul Rohim, “mungkin kalau tidak ada pemicunya, potensi itu akan menjadi ‘angin lalu’ atau ‘api dalam sekam’,” akan tetapi, “‘api dalam sekam’ kalau tidak ditiup angin maka tidak akan berbahaya, kalau tertiup angin dia akan menyala, dan kalau kena hujan bisa mati.” Ungkapnya melalui kiasan.

“Artinya potensi itu bisa hilang pada saat muncul kebijakan politik yang bisa menumbuhkan kebersamaan, bisa mengikis segregasi antar berbagai kelompok beragama.”

Kebijakan politik bisa dibangun dari RT, RW, Kelurahan, melalui kegiatan warga misalnya, menurut Ade Supriatna, “Untuk yang cluster (syariah) memang harus ada jembantan dari RT RW Kelurahan agar ada semacam dialog, kalau dialog kan resmi banget, mungkin ada kegiatan yang bisa –istilahnya juga bukan mencairkan, mungkin juga gabeku-beku juga ya—ada bahan pengajaran gitu ya kepada masyarakat, edukasi bahwa ada saudara-saudara kita yang berbeda keyakinan yang juga punya hak tetangga.”

Selain kegiatan bisa juga sosialisasi melalui kelurahan dan kecamatan, seperti yang dilakukan FKUB Kota Depok, “Kami sosialisasi mengenai kerukunan warga Kota Depok, dari sekolah, seluruh 63 kelurahan, dan 11 kecamatan kita adakan (sosialisasi). Di kelurahan kita suruh panggil RT/RW, di kecamatan kita suruh (panggil) lurah-lurah, LPM-LPM (Lembaga Pemberdayaan Masyarakat) itu.” Ungkap Loepianto.

Akan tetapi masalahnya, “Kalau lurahnya, nggak sampai 1 tahun (atau) 6 bulan diganti, ini bingung lagi. Kami itu ada biaya tersendiri buat adakan itu.” 

Secara garis besar, hal tersebut digambarkan oleh Bro Icuk, “Semakin kita mengkotak-kotakan (dan) mengclusterkan perumahan syariah dan akhirnya nggak ketemu tuh irisan-irisan, ‘oh ternyata temen gua ada yang nasrani’ ‘temen gua ada yang beda dari gua’ dan itu akan membentuk terus karakter manusianya secara tidak langsung, yang dikhawatirkan adalah itukan.”

“Semakin kita mengkotak-kotakan (dan) mengclusterkan perumahan syariah dan akhirnya nggak ketemu tuh irisan-irisan, ‘oh ternyata temen gua ada yang nasrani’ ‘temen gua ada yang beda dari gua’ dan itu akan membentuk terus karakter manusianya secara tidak langsung

Icuk Pramana Putra

Pencegahan Segregasi dari Pendidikan

Kebijakan politik lainnya selain kegiatan dan sosialisasi kepada warga, bisa dimulai dari pendidikan yang inklusif dari dini misalnya, menurut Ade Supriatna, “Lembaga pendidikan, apakah itu tingkat TK, SD, SMP, SMA, itu juga harus diberikan pemahaman terkait dengan ada ‘umat yang berbeda keyakinan dengan kamu’.”

“Jadi tidak ada yang ekstrim kanan di satu agama apapun, tidak ada pengajaran itu (ekstrim), jadi secara berkala lembaga-lembaga pendidikan juga diundang sama Dinas Pendidikan (Kota Depok),”

Sebabnya, “Ketika dapat insentif (dari) Pemkot (Pemerintah Kota), (Dinas Pendidikan) juga bisa memanggil lembaga-lembaga yang bersangkutan untuk diadakan pencerahan tadi terkait pluralitas, kebhinekaan, itu yang kita harapkan tidak terjadi ekstrim kanan di lembaga-lembaga pendidikan tersebut.”

Selain itu setidaknya di setiap sekolah ada guru agama –baik itu kristen, hingga agama lainnya–, menurut Bro Icuk, ”Semua agama, minimal ada satu guru agama di satu sekolah, kita nggak usah ngomongin yang sangat minoritas, guru agama kristen saja sudah dibilang sangat minim di Kota Depok.”

Hal itu didukung oleh Loepianto, “(ketiadaan) Guru. Kalau guru pendidikan Islam ada gurunya. Jadi dia (guru agama Kristen) harus yang belajar Kristologi (bukan guru yang belajar jurusan di luar jurusan agama).”

Dalam hal ketiadaan guru kristen ini misalnya, tambah Loepianto, “Di sini ini (Kota Depok) ada relawan dari penyuluh-penyuluh agama Protestan itu dari gereja-gereja (perkumpulan gereja), itu disuruh, mereka dapet (gaji) dari gereja.” Seharusnya, “(mereka) diambil (dan) digaji oleh sekolah.” Bukan dari lembaga luar sekolah.

Tujuan besar setidaknya menimbulkan rasa saling menghargai, “Tetapi memang kalau yang kita rasain ya –mungkin kalau mahasiswa (atau pelajar) yang sekolah di negeri— punya temen kristen, punya temen papua, punya temen kulitnya item, (temen) ada yang cina, ada segala macam, pasti terbiasa, akhirnya perbedaan, pluralisme.”

Lebih jauh Bro Icuk, membayangkan jika mereka (pelajar atau mahasiswa) yang menjadi pemimpin atau pengambil kebijakan nanti saling menghargai, “Nah nanti mereka-mereka ini yang melanjutkan perjuangan dong, merumuskan Indonesia seperti apa, menentukan Indonesia ke depan. Kalau mereka yang sudah terbiasa bertemu temennya ada yang batak, temennya ada yang ambon, temennya dari timur.”  

Akan tetapi jika anak tersebut tidak biasa bertemu dengan keyakinan atau teman dari etnis yang berbeda, dari SD hingga SMA bahkan Kuliah, menurut Bro Icuk, “Tetapi kalau dari SD-SMP-SMA sudah di tempat yang kurang keberagamannya, akhirnya juga pasti lebih ekstrim saat menerima doktrin yang ekstrim dan berpotensi ekstrim.”

“Kalau dari SD-SMP-SMA sudah di tempat yang kurang keberagamannya, akhirnya juga pasti lebih ekstrim saat menerima doktrin yang ekstrim dan berpotensi ekstrim.”

Icuk Pramana Putra

***

Itu pun kalau ada sekolah negerinya yang bisa memfasilitasi pendidikan agama, masalah lainnya menurut Bro Icuk, PSI Kota Depok, “SD dan SMP Negeri di Kota Depok jumlahnya kurang, belum (lagi) SMA.”

“SMA itu tingkatnya (dan) jumlahnya ditentukan dari pemerintah provinsi dan kewenangannya pemerintah provinsi. Sementara kalau pemerintah provinsi, kalau tidak disediakan lahan dari pemerintah kota (Depok) mau di taro di mana (sekolahnya), akhirnya masalah yang timbul adalah –tadi yang tadi, kalau tadi perumahan, adanya perumahan (syariah)— kalau ini sebenarnya di sektor pendidikan, (misalnya) SDIT-SDIT (SMPIT dan SMAIT atau Islam Terpadu).” Tambah Bro Icuk.  

Masalahnya lagi, menurut Bro Icuk, “Kenapa SMA negeri susah dibangun di Kota Depok, itu jalan keujung sana (mengarah ke Depok Baru) masih banyak tanah kosong bro, segitu banyaknya tanah tapi ga ada yang dibuat sekolah negeri, kok bisa?”  

“Sementara kayanya sulit banget (izinnya), apalagi kalau negeri, (misalnya Kecamatan) Beji belakang UI (Universitas Indonesia) gaada sama sekali sekolah negeri, jadi kalau untuk zonasi selesai mereka. Gaada pilihan lain, (harus) swasta. Pilihan swasta adalah swasta konvensional atau sekolah-sekolah Islam, ya gitulah jadinya makin terus berjauhan yang non-muslim tadi.”

Di satu sisi, menurut Bro Icuk, “Jumlah SDIT-SDIT yang swasta bertambah, yang kita ngga tahu itu Yayasan siapa? Itu punyanya siapa? Tetapi kalau di Depok sangat signifikan perkembangannya, dan izinannya langsung keluar dengan cepat, tidak seperti kalau kita mendirikan gereja puluhan tahun aja lama banget izinnya bro, tetapi kalau mendirikan SDIT dengan waktu (dan) tempo yang singkat bahkan kurang dari setahun udah berdiri bangunannya, langsung ada izin, gurunya sudah ada, pasarnya menerima dengan baik –kita gaada masalah sama pasarnya.”

Infografis Perumahan Syariah di Kota Depok, Surga di Rumah atau Neraka Keberagaman

Keberlanjutan Bangsa dan Masyarakat Majemuk

Dampak besarnya ialah menciptakan masyarakat yang eksklusif, yang bertentangan secara fitrah sebagai manusia yang beragam, dan cita-cita bangsa yang majemuk ‘berbeda-berbeda namun tetap satu jua’.

Dalam sejarah Islam sendiri, menurut Nurcholish Madjid dalam bukunya Islam: Doktrin dan Peradaban (1992), bahwa kemajemukan sudah dikenal Islam semenjak kedatangan nabi Muhammad, yang dikenal dengan Piagam Madinah –yang sangat dikagumi sarjana modern.

Piagam Mandinah menurut Nurcholish Madjid –dan beberapa sarjana– merupakan dokumen politik resmi pertama yang meletakkan prinsip kebebasan beragama dan berusaha (ekonomi). Yang secara garis besar memberikan jaminan kebebasan dan keamanan kaum Kristen (dan penganut agama dan kepercayaan lainnya) ketika itu, dan menjadi pelajaran penting untuk masyarakat modern berikutnya.

Selain itu, secara sederhana menurut Bro Icuk, “Tidak memiliki interaksi antara satu agama dengan agama lain –dengan etnis lain juga—akhirnya membahayakan untuk kesatuan bangsa sendiri sebenarnya, kalau mau balik jauh (sebagai bangsa).”

Secara umum, cita-cita kebangsaan yang majemuk disampaikan oleh Ade Supriatna, “Menjaga persatuan dan kesatuan sebagai basis (dan) modal sosial yang penting buat bangsa agar tidak bercerai berai karena masalah tadi berbeda keyakinan tadi.” 

Secara pribadi hal tersebut disampaikan oleh Loepianto, ketika dia sering mengunjungi gereja dikala waktu senja dan di akhir masa kepengurusan FKUB Kota Depok, “Saya aja kemarin masuk gereja, ‘wah udah jadi Katolik’ (gambaran orang yang menuduh kepadanya) inikan kurang ajar. Saya itu sering ke gereja-gereja di Kota Depok.”

Dia menambahkan dengan ekspresi yang begitu semangat layaknya pejuang, “Harusnya mereka itu menyadari (bicara kepada yang menuduh). Kenapa saya begitu? Saya itu menjaga kerukunan umat, walaupun purnabakti kita habis (secara periode seharusnya sudah selesai). Tapikan jiwa kita perasaan kita, mereka itu (agama lain) punya hak konstitusi yang sama sebagai anak bangsa, walaupun keyakinan aqidahnya beda, saya tidak mengurus itu, marilah kita berjalan bersama-sama.”

“Mereka itu (agama lain) punya hak konstitusi yang sama sebagai anak bangsa, walaupun keyakinan aqidahnya beda, saya tidak mengurus itu, marilah kita berjalan bersama-sama.”

Loepianto

*(26/11/2022): Ada perbaikan nama dari Meta menjadi Meti dari Dinas Perumahan Kota Depok dan tambahan keterangan waktu saat ditemui Kebijakan.co.id

Baca Serial Liputan Konstruktif "Perumahan Syariah di Kota Depok, Surga di Rumah atau Neraka Keberagaman" Lainnya:
•	Perumahan Syariah di Kota Depok, Surga di Rumah atau Neraka KeberagamanAkal Bulus Pengembang Perumahan Syariah di Kota DepokWawancara Mendalam tentang Perumahan Syariah di Kota Depok

Serial Liputan Konstruktif ini merupakan Program Fellowship Jurnalistik untuk Keberagaman dan Toleransi oleh Yayasan Satu Keadilan dan Search for Common Ground
Jurnalis Adi Fauzanto
Diterbitkan: Jumat, 18 November 2022
Pukul: 18.00 WIB
Jurnalis: Adi Fauzanto
Daftar Bacaan:  
• Ayomi Amindoni. 2019. Perumahan dan Permukian Syariah: Ancaman bagi Toleransi dan Budaya Lokal?. BBC Indonesia, 16 Agustus
Siti Chaerani. 2009. Fenomena Perkembangan Perumahan Muslim (Studi Kasus: Cinere Insani Residence dan Griya Insani Kukusan, Depok). Skripsi Universitas Indonesia Aidan Raditya Prawira. 2021. Menggugat Perumahan Beridentitas Islami. Alif.id, 16 FebruariNurul Nur Azizah. 2022. 5 Fakta Tentang Depok Kota Paling Tidak Toleran Versi Setara Institute. Konde.co, 10 AprilSiRumkim Kota DepokSetara Institute. Ringkasan Eksekutif Indeks Kota Toleran 2015-2021Nurcholish Madjid. 1992. Islam: Doktrin dan Peradaban. Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina 
Liputan Mendalam

Perumahan Syariah di Kota Depok, Surga di Rumah atau Neraka Keberagaman


Kebijakan.co.idLiputan Konstruktif

Adi Fauzanto-18 Nov 2022 (18.00 WIB)-#2 Artikel

Fenomena perumahan syariah meruak ke pasar baru-baru ini. Terhitung semenjak kebangkitan ‘Islam Politik’ dan menjalar ke berbagai aspek, mini market syariah, hingga perumahan syariah.

Fenomena ini, ditangkap baik oleh pengusaha yang berhasil melihat pasar masyarakat islam yang gandrung akan merek syariah.

Beberapa menunjukan dampak pendek yang buruk, ketidaktepatan atau terjerat penipuan hanya karena ingin mendapatkan rumah bermerek syariah.

Dampak panjang, pengelompokan ini berpotensi menciptakan segregasi, terlebih jika ada situasi yang dapat memicunya, misal politik identititas. 

Dalam perspektif Islam, Al-Quran tidak pernah mengajarkan harus bertetangga muslim atau membuat kawasan khusus Muslim.

Dalam perspektif kebangsaan, sejarah mencatat hampir semua agama terlibat dalam kemerdekaan bangsa Indonesia, dan oleh karenanya bangsa ini didasarkan atas keberagaman.

Menarik dibahas, khususnya di Kota Depok, kota yang menurut Setara Institute tingkat tolerannya rendah, juga terjadi. Terlebih di bawah rezim penguasa yang merupakan ‘Partai Islam’ yaitu PKS.

Serial Liputan Konstruktif ini merupakan Program Fellowship Jurnalistik untuk Keberagaman dan Toleransi oleh Yayasan Satu Keadilan dan Search for Common Ground

Baca Serial Liputannya Di Sini

Wawancara Mendalam tentang Perumahan Syariah di Kota Depok


Kebijakan.co.idWawancara Mendalam

Adi Fauzanto-16 Nov 2022 (18.00 WIB)-#5 Wawancara
Perumahan Syariah di Kota Depok

Fenomena perumahan syariah meruak ke pasar baru-baru ini. Terhitung semenjak kebangkitan ‘Islam Politik’ dan menjalar ke berbagai aspek, mini market syariah, hingga perumahan syariah.

Fenomena ini, ditangkap baik oleh pengusaha yang berhasil melihat pasar masyarakat islam yang gandrung akan merek syariah.

Beberapa menunjukan dampak pendek yang buruk, ketidaktepatan atau terjerat penipuan hanya karena ingin mendapatkan rumah bermerek syariah.

Dampak panjang, pengelompokan ini berpotensi menciptakan segregasi, terlebih jika ada situasi yang dapat memicunya, misal politik identititas. 

Dalam perspektif Islam, Al-Quran tidak pernah mengajarkan harus bertetangga muslim atau membuat kawasan khusus Muslim.

Dalam perspektif kebangsaan, sejarah mencatat hampir semua agama terlibat dalam kemerdekaan bangsa Indonesia, dan oleh karenanya bangsa ini didasarkan atas keberagaman.

Menarik dibahas, khususnya di Kota Depok, kota yang menurut Setara Institute tingkat tolerannya rendah, juga terjadi. Terlebih di bawah rezim penguasa yang merupakan ‘Partai Islam’ yaitu PKS.

Aerial Liputan Konstruktif ini merupakan Program Fellowship Jurnalistik untuk Keberagaman dan Toleransi oleh Yayasan Satu Keadilan dan Search for Common Ground

***

Ade Supriatna (DPRD Kota Depok Fraksi PKS): Dalam Islam pun Tidak Diatur Harus Membuat Satu Kawasan Khusus Muslim, Nggak Ada, Karena dari Sejarahnya Juga Nabi Tinggal di Madinah Itu Plural


Kebijakan.co.idWawancara Mendalam

Adi Fauzanto-16 Nov 2022 (18.00 WIB)-#41 Paragraf
Perumahan Syariah di Kota Depok

Fenomena perumahan syariah meruak ke pasar baru-baru ini. Terhitung semenjak kebangkitan ‘Islam Politik’ dan menjalar ke berbagai aspek, mini market syariah, hingga perumahan syariah.

Fenomena ini, ditangkap baik oleh pengusaha yang berhasil melihat pasar masyarakat islam yang gandrung akan merek syariah.

Beberapa menunjukan dampak pendek yang buruk, ketidaktepatan atau terjerat penipuan hanya karena ingin mendapatkan rumah bermerek syariah.

Dampak panjang, pengelompokan ini berpotensi menciptakan segregasi, terlebih jika ada situasi yang dapat memicunya, misal politik identititas. 

Dalam perspektif Islam, Al-Quran tidak pernah mengajarkan harus bertetangga muslim atau membuat kawasan khusus Muslim.

Dalam perspektif kebangsaan, sejarah mencatat hampir semua agama terlibat dalam kemerdekaan bangsa Indonesia, dan oleh karenanya bangsa ini didasarkan atas keberagaman.

Menarik dibahas, khususnya di Kota Depok, kota yang menurut Setara Institute tingkat tolerannya rendah, juga terjadi. Terlebih di bawah rezim penguasa yang merupakan ‘Partai Islam’ yaitu PKS.

***

“Membahas fenomena perumahan syariah di Kota Depok, kalau di penelitian itu yang saya baca itu bahkan sudah ada dari 2009 di Kota Depok. Nah, menurut Bang Ade sendiri terkait perumahan syariah itu bagaimana Bang?“

Ya, ada 2 interpretasi ya. Pertama, terkait dengan proses jual belinya, ada yang mengklaim developer syariah, kemudian juga karena transaksinya menyesuaikan dengan hukum-hukum syariah, ada yang cash bertahap misalnya, dia juali-beli dengan developernya langsung, artinya harganya disepakati di awal misalnya 1 Miliar 10x cicil atau 20x cicil misalnya. Atau juga yang menggunakan metode bank (syariah) bisa jual beli menggunakan murabahah jadi ketika ada term waktu 20 tahun, dari 1 miliar bisa menjadi 2 miliar, itu juga ada penyesuaian dengan ketentuan-ketentuan syariah, makanya dia mengklaim developer itu developer syariah.

Nah (jenis) developer yang ke dua memang dia bikin kawasan. Kawasan yang memang diperuntukan untuk muslim dengan nuansa-nuansa religi, yang memang ternyata pasarnya ada gitu dan cukup banyak, makanya para pengusaha developer inikan ya namanya dagang gitukan, demand (permintaan)nya tinggi, makanya dia create gitu, semacam kampung muslim, di situ diharapkan nanti keluarga yang memang pingin anaknya atau anggota keluarganya tumbuh dalam suasana yang religi, dari mulai pendidikan, kegiatan bermain, proses bersosialisasi itu pingin yang eksklusif makanya di create lah perumahan tersebut, jadi kalau saya lihat ya karena ada permintaan di pasar aja, kalau nggak ada nggak laku juga itu. Seperti itu sih Mas.   

“Tadi sih saya sempat menduga (berhipotesa) by (oleh) pasar, karena ada permintaan, selanjutnya ada bisnis juga mengambil keuntungan dari situ, nah saya coba tanya ke dinas (perumahan kota Depok) apakah ada ketentuan khusus mengenai perumahan syariah, tadi tanya nggak ada, izinnya pada umumnya aja.

Sebenarnya saya rencana bertemu dengan MUI Kota Depok, tapi dia berhalangan ada kegiatan lain, saya juga mau bertanya apakah ada ketentuan khusus mengenai perumahan syariah ini, kayaknya nggak ada, karena sertifikasi halalpun sekarang sudah diambil pemerintahkan.

Nah kalau menurut Bang Ade itu, ceruk pasarnya ini sekiranya berpotensi akan banyak terus, dan ini berpotensi menimbulkan pengelempokan, kalau kata peneliti Maarif (Institute) itu kita kan harus saling bertentangga dengan non-muslim dan sebagainya itu, apakah menimbulkan potensi (meniadakan) bertentangga dengan non-muslim, berbagi, dan sebagainya?”     

Kalau itu waktu yang akan menjawab, mungkin prediksi-prediksi para peneliti terkait dengan fenomena sosial yang ada saat ini diprediksi ke depannya akan seperti itu, kaya gitukan. Kalau misalnya ada perubahan eksklusif, masyarakat eksklusif, yang ketika nanti bergabung di kelompok yang lebih besar dengan ada yang berbeda, itu dikhawatirkan akan ada interaksi yang tidak harmonis, karena terlalu eksklusif.

Sebatas prediksi, mungkin-mungkin saja kalau ada kekhawatiran seperti itu, kalau memang di dalamnya kondisinya tidak mengajarkan tata cara perilaku dengan yang berbeda keyakinan, gitukan, atau salah asuh, dalam komunitas tersebut, bisa saja begitu.

Atau bisa saja juga ketika di dalamnya ada pengajaran yang moderat, yang istilahnya bagaimana berlaku dengan sesama mahluk tuhan, berkasih sayang, saling tolong menolong, saling bantu, antar kawasan misalnya itu juga bisa terjadi, jadi kemungkinannya bisa apa saja.

Cuman memang kan ini, apakah ini potret idaman di suatu kawasan kota, gitu kan, atau potret di suatu kawasan bangsa dengan kita tidak ada intervensi negara terkait dengan fenomena bisnis seperti ini.

“Inikan bisnis.”

Kalau saya lihat ini fenomena bisnis Mas, artinya begini (misalkan) saya punya kawasan privat (sendiri) kan swasta ini tanah dia, saya hanya akan menjual kepada yang muslim. Saya belum melihat negara ini bisa intervensi, kalau jual-belikan sesuai yang diinginkan ke duabelah pihak, (prinsip) ridho atau keleraan, kalau yang satu tidak mau menjual nggak bisa maksa, saya lihat juga memang keterbatasan tangan dari pemerintah nih gimana ngaturnya, karena kalau dari perizinan kan gaada sekarang dalam arti dia sama semua, inikan bahasa di pasar.

Kalau misalnya pemerintah juga, mensyaratkan tidak boleh mengkhususkan pada satu agama tertentu di satu pemukiman, cantolan hukumnya apa? gitukan, dia (aturan hukum) kan kalau di perda aturan perundang-undangan di atasnya mana, aturan pemerintah kah, nah ini juga kalau misalnya ada boleh kasih tau saya juga cantolan hukumnya dari para peneliti itu ya.

Peneliti itu kan lebih dalam hal terkait konstitusi, peraturan perundang-undangan di bawah dan undang-undang dasar, TAP MPR, atau peraturan pemerintah atau undang-undang, itu silakan saja, kalau misalkan ada yang bisa diadopsi diperaturan daerah atau peraturan wali kota, pasti akan adopsi gitu sama pemerintah daerah.

“Sebenarnya, memang peneliti Maarif belum sampe mengarah ke sana, dia cuma bilang gapapa tapi ini berpotensi, jika ada fenomena tertentu ini akan berpotensi untuk (terjadi konflik), jadi awalnya tidak apa-apa. Maksudnya kalau dalam sejarah seperti Geger Pecinan, dulu kan komunitas etnis Tionghoa sama Belanda, awalnya tidak apa-apa, ketika ada konflik tertentu itu menimbulkan kerusuhan di sana dan itu sangat berbahaya untuk keberagaman dan untuk etnisnya sendiri, nanti jadi mudah dikontrol.”

“Nah selanjutnya, mungkin dari PKS sendiri atau dari Bang Ade sendiri akankah ada kebijakan publik yang sekiranya mengatur atau membatasi atau mendukung atau meregulasi terkait hal perumahan syariah?”       

Kita sih, kalau mendorong kebijakan publik yang dalam bentuk peraturan daerah tentu harus ada ‘tadi’ (merujuk pembahasan sebelumnya) cantolan peraturan perundang-undang di atasnya, yang mungkin itu baru bisa kita dorong ya.

Nah kalau saat ini saya lihat karena ini memang sudah banyak yang jalan juga (perumahan syariah), semacam edaran dari wali kota berarti ya, artinya tetap harus ada jembatan lah ya, yang menjembantani atau saluran komunikasi antara komunitas yang berbeda di kota Depok, jadi kalau misalnya di komplek yang (berkonsep) konvensional kan sudah terjadikan, mereka kan sudah bertentangga, tapi untuk yang cluster (syariah) memang harus ada jembantan dari RT RW Kelurahan agar ada semacam dialog, kalau dialog kan resmi banget, mungkin ada kegiatan yang bisa –istilahnya juga bukan mencairkan, mungkin juga gabeku-beku juga ya—ada bahan pengajaran gitu ya kepada masyarakat, edukasi bahwa ada saudara-saudara kita yang berbeda keyakinan yang juga punya hak tetangga. Karena dalam muslim juga kan, ada hak tetangga baik dia muslim ataupun non-muslim, karena di Madinah sendiri plural sebenarnya, waktu Nabi datang ke sana kan banyak agama, ada Yahudi, ada Nasrani juga.

“Selama dia (non-muslim) tidak menggangu”

Kan bikin perjanjian tuh, antar kabilah, antar suku, antar agama, gitukan, untuk saling menolong ketika ada (serangan) dari luar, saling menghormati, atau apa gitukan. Cuman kalau waktu itu ada sejarahnya pengusiran kaum Yahudi dari Madinah, itu ada alasan juga, karena ada perjanjian yang dilanggar dari pihak Yahudi terhadap pihak Muslim, makanya dengan kekuatan yang ada, ada pengusiran.

Nah ya di waktu itukan juga kan ternyata komponen (dan) keadaan yang plural itu dijembatani dengan tadi (yaitu) perjanjian, itukan bentuk formal dari satu diskusi atau satu kesepakatankan yang dituangkan dalam bentuk perjanjian, walaupun kalau sekarang di kita ada RT ada RW yang mengelola kondisi itu.

Jadi kalau di PKS sih, balik lagi kita menghimbau, misalnya dalam cluster atau antar cluster di satu komplek juga banyak yang (keyakinannya berbeda), kita harapkan tetap ada komunikasi, tetap ada kegiatan bersama, apakah itu gotong royong, atau peringatan hari kemerdekaan, dan lain-lain itu bisa menjebantani komunikasi yang mungkin belum terjadi.

“Balik lagi mungkin ke pasar, nah ini apakah –tadikan kebijakan umumnya untuk masyarakat—nah ini untuk perusahaan (atau) pengembangan yang memanfaatkan ceruk itu, apakah ada nanti ada sertifikasi, maksudnya ada pembatasan di sana, tidak menggunakan perumahan syariah semata-mata untuk bisnis, kaya misalkan yang makanan, (seperti) gitu ada sertifikasi halal, apakah ada, seperti itu.”

Kalo sertifikasi halal, memangkan ada Undang-Undangnya, jadi karena umat Islam mendorong adanya penjaminan produk halal, maka pemerintah diwajibkan menjamin makanan halal untuk umat Islam. Makanya ada sertifikasi halal itu. Nah, kalau tempat tinggal memang belum –setau saya—belum ada peraturan perundangan yang mengatur, di mana harus tinggal, terus siapa saja yang tinggal di tempat itu, gitu, jadi masih diserahkan ke pasar intinya, gitukan.

Sebagaimana banyak juga produk-produk yang dikonsumsi (atau) dipakai, apakah itu baju, apakah itu hiburan, itukan juga masih juga diserahkan ke pasar, mana yang suka, gitukan, orang memproduksi rok mini, itukan silakan, atau baju transparant silakan, tanktop silakan, gitukan, tinggal usernya aja, belinya, makenya sesuai tempat, gitu.

“Jadi memang belum ada sertifikasi atau belum ada pengaturan terkait perumahan syariah itu ya.”          

Nggak ada, memang nggak diatur. Tidak ada aturan yang menganjurkan, tidak ada aturan yang juga melarang. Karena itu secara normatif, izin mendirikan bangunan, izin perumahan, pemanfaatan ruang, itu umum aja. Ketika kita menambahkan tadi, tidak boleh ada aturan agama, salah lagi, karena pemerintah daerah, nggak boleh ngatur agama, agama diatur sama pemerintah pusat, gitukan.

“Iya sih Bang, sebenarnya pembahasannya sesederhana bisnis aja, bisnis pengembang dan ada ceruk pasarnya. Dan sementara ini pemerintah, belum punya regulasi, ataupun MUI sebagai pemegang otoritas agama (Islam) yang melakukan sertifikasi belum ada, DPRD pun menyuarakkan adanya komunikasi antara warga dan sebagainya.” 

Ya, jadi, pemerintah kota dalam hal ini lebih kepada bagaimana membuka ruang-ruang tadi, membuka ruang komunikasi antara warga.

Selain itu juga ke lembaga pendidikan, apakah itu tingkat TK, SD, SMP, SMA, itu juga harus diberikan pemahaman terkait dengan ada ‘umat yang berbeda keyakinan dengan kamu’. Terus terkait sikap terhadap yang berbeda keyakinan, kaya gimana. Kemudian kita tinggal di negara yang plural, apa yang disepakati terkait pluralitas itu di Indonesia, kemudian bagaimana negara juga menjamin kemerdekaan pemeluk agama untuk beribadah, nah gitukan perlu di evaluasi. Jadi tidak ada yang ekstrim kanan di satu agama apapun, tidak ada pengajaran itu, jadi secara berkala lembaga-lembaga pendidikan juga diundang sama Dinas Pendidikan, kan Dinas Pendidikan Kota juga menangani PAUD, SD, SMP ya tanggungjawabnya, nah itu baik yang umum maupun dari agama, apakah (itu dari) madrasah, nah itu juga kan dapat insentif juga dari Pemkot (Pemerintah Kota), nah, ketika dapat insentif (dari) Pemkot (Pemerintah Kota) juga bisa memanggil lembaga-lembaga yang bersangkutan untuk diadakan pencerahan tadi terkait pluralitas, kebhinekaan, itu yang kita harapkan tidak terjadi ekstrim kanan di lembaga-lembaga pendidikan tersebut.

Cuman, kalau menanamkan keyakinan kuat terhadap satu agama, saya rasa memang harus dari kecil agar anak-anak punya pondasi dan terbiasa untuk beribadah tidak atas dasar disuruh sama orangtua, tetapi memang kesadaran sendiri karena keyakinan dia kepada Allah kepada Tuhan, itu yang harus dibangun kan, mungkin pinginnya seperti itu, keluarga-keluarga yang membeli perumahan di kawasan syariah, pinginnya anaknya tumbuh dalam lingkungan yang baik.

“Kemarin coba hubungin satu pengembang (perumahan syariah), memang pada intinya sama saja seperti perumahan umum, ada masjid juga, ada lapangan juga, ya apa bedanya? Ya apa ya paling cuma tetangga (yang berbeda), itukan bisa dibangun dengan kesepakatan tidak boleh memelihara anjing karena berisik atau tidak mengenakan pengeras suara yang terlalu keras itu kan bisa diatur, maksudnya tidak perlu diatur oleh pengembangnya (terkait perumahan syariah), istilahnya pengembangnya nih punya kerajaan sendiri di satu komplek itu.”

Ya, pada akhirnya nantikan akan diserahkan ke masyarakat ketika sudah selesai sudah beli, udah nyicil ke bank masing-masing gitu, dia akan mencari titik baru, dia tidak akan mengelola kawasan itu terus menerus, pasti akan diserahkan ke masyarakat apakah itu jadi RT baru, atau RW baru akan diserahkan ke masyarakat.

“Terkahir ini mungkin Bang, pesan terakhir terhadap fenomena perumahan syariah ini, di Kota Depok khususnya”

Artinya kalau terkait bagaimana pengembang itu mensosialisasikan transaksi syariah yang menjamin si Pembeli itu terbebas dari riba, gitukan, karena ada muamallah yang harus dia kerjakan, dia tidak punya cash misalnya, dikasih jalan yaitu misalnya transaksi cara syariah dengan murabahah misalnya. Itu, kita mendukung 100 persen, nah karena ini edukasi ke publik dan masyarakat bisa terbebas dari riba sesuai yang sudah diatur oleh Dewan Syariah Nasional-kan. Tiap bank syariah kan punya ketentuan.

Nah, samakan seperti tumbuhnya Bank Syariah juga, karena kekhawatiran ataupun ada aturan di agama Islamnya yang melarang riba, makanya tumbuh Bank Syariah, sampe sekarang kan jalan, ada bank syariah, ada asuransi syariah, gitukan. Terhadap kawasan syariah memang dalam Islam pun tidak diatur harus membuat satu kawasan khusus muslim, ngga ada, karena dari sejarahnya juga kan, Nabi tinggal di Madinah itu plural, makannya karena belum ada juga cantolan Undang-Undang atau peraturan perundang-undangan yang bisa melarang ini kita hanya bisa (memberikan saran) kepada pengembang, masyarakat yang tinggal di sana kita sarankan tetap menjalin hubungan yang harmonis dengan yang berbeda keyakinan, tetap merasa kita dalam satu negara yang dihuni oleh banyak warga yang berbeda keyakinan dan tetap saling menghargai, menghormati, dan menjaga persatuan dan kesatuan sebagai basis (dan) modal sosial yang penting buat bangsa agar tidak bercerai berai karena masalah tadi berbeda keyakinan tadi.

Baca Serial Liputan Konstruktif "Perumahan Syariah di Kota Depok, Surga di Rumah atau Neraka Keberagaman" Lainnya:
•	Perumahan Syariah di Kota Depok, Surga di Rumah atau Neraka KeberagamanAkal Bulus Pengembang Perumahan Syariah di Kota DepokWawancara Mendalam tentang Perumahan Syariah di Kota Depok

Serial Liputan Konstruktif ini merupakan Program Fellowship Jurnalistik untuk Keberagaman dan Toleransi oleh Yayasan Satu Keadilan dan Search for Common Ground
Jurnalis Adi Fauzanto
Diterbitkan: Rabu, 16 November 2022
Pukul: 18.00 WIB
Jurnalis: Adi Fauzanto
Liputan Mendalam

Meti (Dinas Perumahan Kota Depok): Setau Saya di Pemerintahan Kota Depok Tidak Ada Pembedaan (Antara Perumahan Umum dan Perumahan Syariah)


Kebijakan.co.idWawancara Mendalam

Adi Fauzanto-16 Nov 2022 (18.00 WIB)-#36 Paragraf
Perumahan Syariah di Kota Depok

Fenomena perumahan syariah meruak ke pasar baru-baru ini. Terhitung semenjak kebangkitan ‘Islam Politik’ dan menjalar ke berbagai aspek, mini market syariah, hingga perumahan syariah.

Fenomena ini, ditangkap baik oleh pengusaha yang berhasil melihat pasar masyarakat islam yang gandrung akan merek syariah.

Beberapa menunjukan dampak pendek yang buruk, ketidaktepatan atau terjerat penipuan hanya karena ingin mendapatkan rumah bermerek syariah.

Dampak panjang, pengelompokan ini berpotensi menciptakan segregasi, terlebih jika ada situasi yang dapat memicunya, misal politik identititas. 

Dalam perspektif Islam, Al-Quran tidak pernah mengajarkan harus bertetangga muslim atau membuat kawasan khusus Muslim.

Dalam perspektif kebangsaan, sejarah mencatat hampir semua agama terlibat dalam kemerdekaan bangsa Indonesia, dan oleh karenanya bangsa ini didasarkan atas keberagaman.

Menarik dibahas, khususnya di Kota Depok, kota yang menurut Setara Institute tingkat tolerannya rendah, juga terjadi. Terlebih di bawah rezim penguasa yang merupakan ‘Partai Islam’ yaitu PKS.

***

“Saya ingin mencari data perumahan syariah di Kota Depok, melalui Dinas Perumahan. Saya sudah melihat dari data web dinas Perumahan, Si Rumkim dan pengecekan melalui Google (open source) lalu dicocokan, nah saya mau tahu data langsungnya dari Dinas Perumahan (Kota Depok).”

Jadi Dinas Perumahan Kota Depok lebih mengarah ke buat peraturan dan kebijakan perumahan, tupoksi (tugas) nya lebih kesitu, jadi kita minta data juga ke (Dinas) PTSP (Pelayanan Terpadu Satu Pintu) lantai 1, nanti selanjutnya Masnya ke sana aja, karena mereka kan yang mengeluarkan izin, pasti mereka adalah ini datanya.

Sebenarnya yang saya mau tanyai malah gini, kriteria perumahan yang dianggap syariah itu apa? makanya saya baca ini kan. Kalau di kita setau saya di PTSP tidak ada pembedaan, perumahan umum (dan perumahan lainnya). Ya tentunya kalau rumah tinggil izin, lebih dari 5 kapling itu udah dianggap perumahan, tanpa ada pembedaan syariah (dan) non syariah, begitu kalau di Depok ya.

“Untuk mulanya ibu tau ga kira-kira ini munculnya tahun berapa?”

Saya tidak tahu, karena memang tidak ada pembedaan, ini Masnya mengangkat perumahan syariah ya, kriteria perumahan yang masuk syariah apa? begitu aja, dari Mas nya apa? yang menandakan kalau itu Rumah Syariah. Apakah dari nama doang, pasti dari nama doang.

“Hipotesa saya hanya mengincar pasar saja. Makanya saya mencari konfirmasi (ke Dinas) apakah ada kriteria khusus.” 

Kalau di Depok tidak ada.

“Jadi hanya label saja ya?”

Kalau setahu saya, kayanya hanya label deh Mas. Kaya perumahan Mutiara Darrusalam, mungkin kalau secara nama, ‘oh perumahan Islami nih’ tetapi ngga tau islami atau ngganya ya. Kan masyarakat juga lebih tau ya untuk pemasaran rumah seperti itu.

“Kalau Dinas Perumahan sendiri membuat kebijakan terkait perumahan-perumahan syariah?”

 Kalau kita, di kita kan aturan Perda (Peraturan Daerah Provinsi) RP3KP (Rencana Pembangunan Pengembangan Perumahan dan Kawasan Pemukiman), kita membuat aturan dari aturan RP3KP itu, kaya kajian, insentif-insentif perumahan, nanti tahun depan pemanfaatan rumah secara terbatas. Jadi untuk data perumahan kita juga dapat dari PTSP.

“Untuk tata kelola, dan tata perumahan lainnya termasuk PTSP itu?”

 Iya, yang membikin izin PTSP, ya semualah, izin dari awal ya, dari izin pemanfaatan ruang sampai terbitnya IMB.

“Termasuk juga izin lingkungannya? Kan ada Amdal.”

Kalo Amdal beda, dia di Dinas Terkait. Kalo ke banjir dia ke Dinas PUPR (Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat). Terkait rekayasa lalu lintas ke Dishub (Dinas Perhubungan Kota Depok).

“Jadi tidak satu pintu ya?”

Jadi begini, mereka ngurus dulu ke Dinas (masalah) teknis, pas saat pengesehaan site plan (atau pengajuan), udah dilampirkan dokumen itu atas nama site plannya.

Makanya kalau Masnya ini (perumahan syariah) ciri-ciri ini, nggak ada aturan menyebutkan kalau perumahan syariah apa, saya baru denger.

“Sebenarnya tujuan besarnya, menurut Maarif Insitute berpotensi menciptakan pengelompokan etnis atau agama tertentu. Nah itu yang menciptakan potensi konflik. Tidak ada komunikasi, misalkan kita punya tetangga non-Islam, setidaknya kita mengerti cara kehidupan dia dan dia juga mengerti kita. Jadi kalau (perumahan) satu etnis, satu kelompok, satu agama itu, berpotensi (menciptakan konflik), tetapi tidak mesti selalu, tapi berpotensi itu.”

Jadi kalau gitu, harus ngontrol di penjualan (dan) marketingnya dong Mas.

“Iya itu makanya.”

 Jadi kalau di sini itu, setau saya ya nggak ada (pembedaan). Mungkin dari nama doang kali ya. Untuk masuk ke dalamnya bukan ranahnya.

“Ngga ada pengecekan khusus?”  

Iya, nggak ada.

“Benar-benar dikasih pengembang aja gitu ya?”

Iya, kan kita nggak (melakukan pengecekan) ini. Setelah izin mereka jadi, udah mereka jualan.

“Hipotesa saya sih seperti itu. Jadi pengembang ya memanfaatkan masyarakat di Kota Depok atau masyarakat Indonesia pada umumnya, karena nggak hanya terjadi di Kota Depok, tapi di beberapa kota lainnya. Di Bekasi paling banyak.”

Banyak perumahan seperti itu? Berarti mereka mengelompokkan diri.

“Ya, jadi istilahnya kalau dulu itu ada Geger Pecinan. Itu Belanda menciptakan satu kelompok (satu daerah) untuk etnis Cina (atau Tionghoa), nah itu kan sebenarnya gapapa buat pengelompokan. Tapi nanti berpotensi (konflik seperti Geger Pecinan).”

Negatif imbasnya ya.

“Mungkin sekarang gapapa (perumahan Syariah).”

Ya, beberapa tahun ke depan.

“Ya, hipotesa saya awalnya ini dimanfaatin sama pengembang, ya istilahnya buat laku, namanya juga pebisnis. Kemarin juga saya izin melakukan wawancara dengan pengembang, tetapi ditolak juga sama pengembang. Karena pengembang juga punya 2 pilihan, punya (perumahan) konvensional dan (perumahan) syariah. Tetapi ya kaya gitu, tetap saja tujuannya hanya laku, tetapi tidak melihat ke depannya atau potensi-potensi yang kemungkinan bisa terjadi.     

Iya kalau di Depok, misal nih, Mas nya punya tanah 1000 meter mau bikin perumahan, kalau 1000 (meter) kan lebih dari 5 kapling ya, langsung ngajuin aja perumahan, boleh. Jadi kita ngga ada kriteria khusus, gitu.

Makanya saran saya Masnya perlu ke PTSP. Tapi saya rasa sama, tapi coba Masnya nyoba dulu aja. Terus Masnya dari aplikasi si Rumkim, berapa perumahan (yang syariah).

“Ada sekitar 10% sih (perkiraan dari keseluruhan). Jadi setiap kecamatan ada satu-satu dikumpulin. Pertama, yang crosscheck tadi (melalui open source Google) ada 10 atau berapa (dari keseluruhan Kota Depok) lalu dicocokan dengan si Rumkim, sisanya yang menggunakan nama-nama syariah itu (dari Si Rumkim).”  

Jarang sih, paling. Apa Mas nama perumahannya (perumahan syariah) yang (ditemui) Mas?

“Yang tadi, yang Darrusalam itu, sisanya ada di laptop sih.”

Setau saya, yang islami itu aja.

“Dan beberapa pernah saya ke lapangan yang terbaru itu di depannya kelurahan Cimanggis.”

Apa namanya coba?

“Namanya Grand Mutiara Sawarga”

Emang itu islami?

“Iya ya, di banner (spanduk) nya, tulisannya begitu khusus (untuk) muslim, terus saya crosscheck di WA (Whatsapp).”

Tapi itu udah dibangun?

“Lagi on proses (tahap pembangunan), jadi emang marketingnya lagi jalan.”

Kalau itu berarti Masnya, coba ke marketing nanya-nanya, ceritanya mau beli rumah.

“Iya, betul”

Terus konsep mereka?

“Ya, tetap hipotesa saya, tidak ada perbedaan khusus, ya mungkin hanya mengincar segmen pasar masyarakat muslim, tapikan saya ingin menggali apakah ini ada kriteria khusus dari dinas, dari MUI, kalau misalnya makanan (halal) itu dia ada sertifikasinya, yang sekarang sudah dipindah ke Kementerian Agama. Tapi apakah, perumahan syariah ini ada? Harus ada masjidnya, harus ada apanya.”

Kalau kita secara umum sih, kalo perumahan itu harus maksimal 60 persen efektif kaplingnya dari luas tanah, dia harus menyediakan 5 persen untuk taman, 5 persen fasos (fasilitas sosial), sisanya untuk sarana jalan misalnya, RTH (Ruang Terbuka Hijau) menyesuaikan RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah). Jadi ngga secara persis mengatur perumahan syariah.

Masnya ke sana (ke PTSP) cari pembanding. Kan kita aturannya sama, kalau di bawah Perwal (Peraturan Walikota) Site Plan, kita juga sama. Kalau udah izin ya udah, mereka (pengembang) bangun, nanti paling dari bidang pengawasan di bawah crosscheck lagi turun ke bawah bener ngga dia udah dibangun sesuai site plan.   

“Tapi untuk perumahan syariah ini kira-kira akan tumbuh terus?”

Kurang tahu ya, karena kalau di Depok nggak melihat perumahan syariah, mereka (pengembang) asalkan udah sesuai ketentuan aturan tata ruang, (dan) izin (dari) dinas-dinas terkait.

*(26/11/2022) Ada perbaikan nama dari Meta menjadi Meti dari Dinas Perumahan Kota Depok

Baca Serial Liputan Konstruktif "Perumahan Syariah di Kota Depok, Surga di Rumah atau Neraka Keberagaman" Lainnya:
•	Perumahan Syariah di Kota Depok, Surga di Rumah atau Neraka KeberagamanAkal Bulus Pengembang Perumahan Syariah di Kota DepokWawancara Mendalam tentang Perumahan Syariah di Kota Depok

Serial Liputan Konstruktif ini merupakan Program Fellowship Jurnalistik untuk Keberagaman dan Toleransi oleh Yayasan Satu Keadilan dan Search for Common Ground
Jurnalis Adi Fauzanto
Diterbitkan: Rabu, 16 November 2022
Pukul: 18.00 WIB
Jurnalis: Adi Fauzanto
Liputan Mendalam

Loepianto (FKUB Kota Depok): Gimana Kita Mau Bangun Wilayah yang Namanya Syariah? Sedangkan Apa yang Dipraktikin Melenceng dari Syariah. Islam (harus) Menghargai Agama Lain Juga


Kebijakan.co.idWawancara Mendalam

Adi Fauzanto-16 Nov 2022 (18.00 WIB)-#43 Paragraf
Perumahan Syariah di Kota Depok

Fenomena perumahan syariah meruak ke pasar baru-baru ini. Terhitung semenjak kebangkitan ‘Islam Politik’ dan menjalar ke berbagai aspek, mini market syariah, hingga perumahan syariah.

Fenomena ini, ditangkap baik oleh pengusaha yang berhasil melihat pasar masyarakat islam yang gandrung akan merek syariah.

Beberapa menunjukan dampak pendek yang buruk, ketidaktepatan atau terjerat penipuan hanya karena ingin mendapatkan rumah bermerek syariah.

Dampak panjang, pengelompokan ini berpotensi menciptakan segregasi, terlebih jika ada situasi yang dapat memicunya, misal politik identititas. 

Dalam perspektif Islam, Al-Quran tidak pernah mengajarkan harus bertetangga muslim atau membuat kawasan khusus Muslim.

Dalam perspektif kebangsaan, sejarah mencatat hampir semua agama terlibat dalam kemerdekaan bangsa Indonesia, dan oleh karenanya bangsa ini didasarkan atas keberagaman.

Menarik dibahas, khususnya di Kota Depok, kota yang menurut Setara Institute tingkat tolerannya rendah, juga terjadi. Terlebih di bawah rezim penguasa yang merupakan ‘Partai Islam’ yaitu PKS.

***

“Saya sedang membahas tentang Perumahan Syariah di Kota Depok, berangkat dari Riset Setara Insitute. Saya ingin tahu pendapat dari FKUB Kota Depok, sebagai salah satu pihak yang menjaga kerukunan di Kota Depok?”

Pengurus FKUB setidaknya mempunyai wawasan kebangsaan yang tinggi. Kedua, mengenai toleransi dan kerukunan. Sekarangkan ketuanya Habib Muchsin Ahmad Alatas, sudah dua periode itu 2012 sampe 2017 (lalu) 2017 sampe 2022, sebelumnya alm. Pak Rustadi. Kita mulai dari pertama (FKUB) dari Forum Kota itu, kita ambil (sepakati) secara proporsional, kita ambil dari jumlah penduduk penganut agama, ternyata Islam terbanyak, kemudian kedua Kristen, ketiga Hindu, kemudian Katolik. Jadi Islam itu dulu dapet 11 (orang pengurus) perwakilan, kemudian Kristen Protestan dapat 2 (orang pengurus), KWI, dan lain-lain dapat 1-1, totalnya 17 orang, itu ketentuan dalam PBR No. 9 dan No. 8 bahwa tingkat daerah totalnya 17. Provinsi 21 (orang).

Tergantung wilayahnya mana, kalau di Sulawesi, Kota mana? Kota Tomohon, mayoritas Kristen, kemudian Katolik, kemudian Hindu, Islam sedikit di sana itu. Saya kan pernah ke Minahasa Utara, saya waktu itu berada di salah satu pantai, Islam hanya satu kampung (di sana), jadi mereka tidak bisa terwakili (dalam FKUB Kota tersebut).

“Tetapi mereka dapat struktural FKUB di sana?”   

Tidak dapat

“Persyaratan minimalnya apa kalau boleh tau Pak?”

Ada jumlah tertentu, dia cuman satu kampung (merujuk kampung Muslim di Minahasa Utara)  satu masjid aja. Nah kalau Hindu banyak di sana. Budha juga sedikit, Budha gadapet juga (perwakilan di FKUB) di Tomohon itu, Minahasa Utara.

“Kasusnya (contoh) mungkin sama di Bali, ketika Hindu yang banyak”

Hindu mayoritas, kemudian ada Islam, Kristen, Katolik, semua sedikit-sedikit. Nah itu kalau kita bicara komposisi.

Di Depok ini, sebelum kita ke arah Syariah ya (perumahan syariah). Di Depok, jumlah Islamnya banyak dengan jumlah penduduk 2,3 juta. Cuma untuk kalau civil society artinya kerukunan umat, terpelihara. Jadi dikatakan Depok kota Intoleran sama Setara Institute, itu memang bukan menyangkut civil society (kerukunan umat).

Nah ini saya mau mengadakan seminar itu, karena Wali Kota bilang kerukunan (umat) sama toleransi itu beda. Justru kerukunan itu sejajar dengan toleransi, toleransi sejajar dengan kerukunan, itu setara (kerukunan dan toleransi) itu.

Nah yang dimaksud dengan surveinya Setara Institute itu, kalau menurut saya government regulation dan government wisdom yaitu kebijakan pemerintah dan aturan pemerintah.

“Yang dianalisis memang data pemerintah, bukan keadaan situasi (masyarakat)” 

Bukan, kebijakan dan regulasi di Kota Depok ini intoleran. Kasih contoh, rumah ibadah di segel, Ahmadiyah itu. Padahal Ahmadiyah itu berpegang pada SKB 3 Menteri yang diterbitkan pada tahun 2008, itu sudah selesai. Mereka tidak boleh menyebarkan agamanya, kita tidak boleh mempersekusi mereka. Kalau mereka menyebarkan, urusannya hukum, kalau kita (mempersekusinya) hukum, itu selesai. Nah ini masjidnya di Segel, jadikan itu termasuk kebijaksanaan (kebijakan publik) yang intoleran.

“Dari atas ya Pak?”

Dari Pemerintah Kota. Kedua, terjadi diskriminasi masalah pendidikan agama, itu di SMA Negeri 2 (Kota Depok). Itu agama islam dapat ruangan di Kelas, agama nasrani di lorong. Belakang ini (peristiwa baru-baru ini). Itukan intoleran jadi, ya gak? Ah itu apapun alasannya tidak bisa dibiarkan. Karena semua ini bapaknya wali kota sama wakil wali kota, bagaimana eksekutif dan legislatif.

*Menunjukan video rapat pembahasan terkait guru agama non-muslim di DPRD Kota Depok*

“Berarti ini kebijakan dari daerahnya (pemerintah daerah) ya?”

Ini kebijakan dari pemangku jabatan, itu siapa? kepala sekolahnya. Kepala sekolahnya siapa yang bertanggung jawab? Disdik (Dinas Pendidikan Kota Depok). Dinas pendidikan siapa yang bertanggung jawab? Wali Kota. Kenapa terjadi kaya begini? Kalau terjadi masalah, jangan jadi pembiaran, ya gak? Jadi ini dengan kata lain pasrah, nggak ada inisiatif namanya. Nggak boleh, dia (Pemerintah Kota) harus berinsiatif, kenapa kok kelompok ini sampai ga bisa dapat ruangan (dan guru), kalau SMA itu aturan Jawa Barat (Pemerintah Provinsi), tapi dia (Pemerintah Kota) harus berusaha, nggak boleh (kaya gitu).

“Tetapi sebenarnya ini semacam (fenomena) gunung es sih Pak, kebetulan saya SMA di Jakarta, dan memang (ada) kesulitan untuk menggunakan ruangan-ruangan bagi agama Kristen (dan lainnya).”

Jadi selain ruangan itu, (ketiadaan) guru. Kalau guru pendidikan Islam ada gurunya. Jadi dia (guru agama Kristen) harus yang belajar Kristologi (bukan guru yang belajar jurusan di luar jurusan agama).

“Jadi ya bukan guru lain (spesialisasi ilmu pengetahuan diluar agama), kebetulan (agamanya) Kristen dijadiin guru agama Kristen”

Itu masih lumayan masih ada. Kalau tidak ada. Di sini ini (Kota Depok) ada relawan dari penyuluh-penyuluh agama Protestan itu dari gereja-gereja (perkumpulan gereja), itu disuruh, mereka dapet (gaji) dari gereja. Itu harusnya diambil digaji oleh sekolah, lalu digajilah sesuai UMR.

“Ya setara guru honorer Ya”

Iya, harusnya gitu. Gimana kita mau bangun wilayah yang namanya syariah? Sedangkan apa yang dipraktikin melenceng dari syariah. Islam menghargai agama lain juga. Iya ga? Iya kan? Memfasilitasi (beribadan agama lain).

Saya aja kemarin masuk gereja, “wah udah jadi Katolik” (gambaran orang yang menuduh kepadanya) inikan kurang ajar. Saya itu sering ke gereja-gereja di Kota Depok.

Harusnya mereka itu menyadari (bicara kepada yang menuduh). Kenapa saya begitu? Saya itu menjaga kerukunan umat, walaupun purnabakti kita habis (secara periode seharusnya sudah selesai). Tapikan jiwa kita perasaan kita, mereka itu (agama lain) punya hak konstitusi yang sama sebagai anak bangsa, walaupun keyakinan aqidahnya beda, saya tidak mengurus itu, marilah kita berjalan bersama-sama.

Saya tahun 2018, di Depok itu ngadakan pawai budaya lintas agama, wah gede Mas, kebetulan pas ulang tahun kementerian agama.

*terputus*

“Tadi, sampai memfasilitasi setiap warga Kota Depok untuk beribadah, untuk berkeyakinan”

Ya, kan kita ini jati diri bangsa Indonesia itu bangsa yang beragama, yang dituangkan sila pertama Pancasila. Menjunjung tinggi nilai-nilai agama. Ini kadang-kadang orang keliru lagi, kalau saya ngafal Pancasila berarti mundur lagi ke jaman 70an, jaman Pak Harto itu, kalau sekarang gak paham, bodoh.

Padahal kami sosialisasi mengenai kerukunan warga Kota Depok, dari sekolah, seluruh 63 kelurahan, dan 11 kecamatan kita adakan (sosialisasi). Dikelurahan kita suruh panggil RT/RW, dikecamatan kita suruh (panggil) lurah-lurah, LPM-LPM (Lembaga Pemberdayaan Masyarakat) itu. Lah, kalau lurahnya, nggak sampai 1 tahun (atau) 6 bulan diganti, ini bingung lagi. Kami itu ada biaya tersendiri buat adakan itu. Karena terus terang, pejabat dari tingkat kelurahan hingga (pemerintahan daerah) depok ini dikondisikan berbuat jahat, bener. Jadi bagaimana saya bisa mengkritik Kota Depok, diserang saya, yang nyerang bukannya..

*menunjukan foto chat kepada Wakil Wali Kota Depok tentang kondisi anak-anak kecil yang tidak sekolah di Kota Depok kemudian mengemis di jalan dan warung-warung, serta mempertanyakan Kartu Depok Sejahtera *            

“Ada masalah baru juga Pak, saya baru baca itu di Kota Depok, sekolah negerinya nya termasuk sedikit”

Kalau saya bukan masalah sedikit, sekolahan itu seharusnya di ngga bayar, dan mereka itu tanggung jawab negara lah, kan ada kartunya KDS, Kartu Depok Sejahtera itu, ke mana? Itu 150 Miliar. Balik-balik ke kelompoknya pejabat-pejabat itu.

‘Jangan nyirnyirin pemerintah’ (mencontohkan gaya bicara orang), gimana? Walikotanya banyak pencitraan. Apalagi kalau walikota lewat (naik mobil) ngeng ngong ngeng ngong. Saya pernah di sini (menunjuk di jalan depan Cafe Zayn) tak parkir motor tengah jalan (untuk menghalangi), saya bilang ‘Minggir, ini macet jalan’. Inikan gendeng. Mau ke mana (menunjuk ke Wali)? Paling cuma mau dolan (main) ke pendukung-pendukungnya.      

Majelis Ulama (MUI Kota Depok) udah dikuasain, sekarang AD/ART nya MUI itu hanya sampai tingkat kecamatan. AD/ART MUI Pusat nggak ada sampai tingkat kelurahan (MUI Kota Depok sampai tingkat kelurahan). Yang ngatur ini bukan ketua MUI-nya, walikota nya yang ngatur. Ini udah ngga bener semua ini. Nah di MUI ini, ada orang dari MUI yang juga dari struktural partai masuk, cari kendaraan partailah, jadi duduk (anggota) dewan (DPRD Kota Depok). Rusak negara ini Mas. MUI dapat dari APBD (Kota Depok) tahun ini 1,5 Miliar, PGI nggak dikasih, semua organisasi (keagamaan) lainnya nggak dikasih, itu setiap tahun 1,5 Miliar. Inikan sebagai mata pencaharian. 

“Kalau yang saya tahu dulu MUI itu dapat dananya dari sertifikat halal itu”

Lepas dari itu Mas, MUI ini lembaga agama, bukan untuk nyari duit.

“Sebenarnya fungsinya untuk Dakwah”

Iya.

“Jadi sebenarnya perumahan syariah ini, saya kurang tahu kemunculan awalnya (di Kota Depok), kalau di Bekasi itu 2017-2018 sebelum-sebelumnya saya belum pernah melihat, fenomena ini kan termasuk baru, nah menurut Bapak bagaimana perumahan syariah ini?”   

Perumahan syariah ya, Di depok ini ada satu perumahan yang selain orang Islam ga boleh, depannya telaga Golf yang ada masjidnya itu. Itu kalau bukan agama Islam gaboleh tinggal. Itu benar yang punya arab. Pertama kali dia bangun masjid (lalu perumahan). Cuma yang saya sayangkan lingkungannya kurang mendukung. Kalau mau bangun lingkungan syari, wilayahnya harus benar-benar syari juga. Contoh, mau bangun perumahan di Jombang, ah itu mendukung, ada sekolahnya (pesantren). Kalau yang ini ngga mendukung, hanya rumahnya saja.

Kalau kita bicara satu komplek syariah, itu harus bener-bener semuanya, bukan merek aja, tetapi di situ ada madrasah (sekolah), tempat ibadah, nah itu harus syari, ganti itu Indomaret jangan di situ, yang bener syari itu Padang Sumatera Barat, nggak ada Indomaret sama Alfamaret, adanya kaya gitu tapi punyanya orang Padang, orang Islam. Pernah Matahari (Departemen Store) hanya buka 2 bulan di sana, jadi orangnya bagus, apa yang ada di Matahari di depan jual juga, barang sama harganya beda, jadi pada beli di situ, di dalam orang hanya lihat saja.

Kalau di Depok ini ya dibangun perumahan syariah hanya merek saja. Kecuali kalau dia bangun perumahan syariah dilengkapi masjid, kemudian ada pendidikan mulai dari PAUD ada Madrasah.

“Jadi ditargetin hanya sebagai banyak yang beli ya?”

Iya. Arahnya ke ekonomi. Jadi (seharusnya) itu nanti ada ekonomi syariah, ada di sini, jangan koperasi 212 ya, itu udah nggak jalan tuh. Di sini ada koperasi bakti karya.

Baca Serial Liputan Konstruktif "Perumahan Syariah di Kota Depok, Surga di Rumah atau Neraka Keberagaman" Lainnya:
•	Perumahan Syariah di Kota Depok, Surga di Rumah atau Neraka KeberagamanAkal Bulus Pengembang Perumahan Syariah di Kota DepokWawancara Mendalam tentang Perumahan Syariah di Kota Depok

Serial Liputan Konstruktif ini merupakan Program Fellowship Jurnalistik untuk Keberagaman dan Toleransi oleh Yayasan Satu Keadilan dan Search for Common Ground
Jurnalis Adi Fauzanto
Diterbitkan: Rabu, 16 November 2022
Pukul: 18.00 WIB
Jurnalis: Adi Fauzanto
Liputan Mendalam