Rusia Siaga Perang Nuklir


Kebijakan.co.idKolom Opini

9 Mei 23 (22.00 WIB)-#5 Menit

Read in English Language Version

Rusia Siaga Perang Nuklir
Oleh: Sintia Astianti (Pengamat Hubungan Internasional)

*Tulisan ini dikirim kepada media lain, tanpa sepengetahuan Kebijakan.co.id. Penulis telah meminta maaf atas kesalahan etika publikasi tersebut.

Rusia kerahkan rudal dan menyiapkan senjata nuklir untuk perang nuklir, apa dampaknya untuk dunia?

***

Rusia hingga saat ini terus meningkatkan kekuatan nuklirnya dan akan memulai pengiriman massal rudal hipersonik yang diluncurkan oleh rudal zircon. Presiden Rusia, Vladimir Putin mengatakan bahwa hipersonik zircon ini merupakan generasi baru dalam sistem persenjataan yang tidak tertandingi.

Kementrian Pertahanan Inggris mengatakan bahwa Rusia kekurangan amunisi, khususnya rudal presisi tinggi, meski Rusia dianggap kekurangan rudal, Presiden Rusia mengatakan masih memiliki senjata lainnya yakni nuklir. Namun, ada laporan yang mengatakan bahwa Rusia tidak akan meluncurkan nuklirnya, kecuali jika lawannya memulai terlebih dahulu.

Menurut Intelejen Inggris dikutip dari CNBC Indonesia, “Stok rudal Rusia kemungkinan besar terbatas dan merupakan sumber daya bernilai tinggi yang dirancang untuk menembak jatuh pesawat modern dan rudal yang masuk, daripada untuk digunakan melawan target darat.”

Putin dilaporkan akan segera mengerakan senjata nuklir taktisnya ke Belarusia, hal ini karna terjadinya eskalasi geopolitik antara Moskow dan Barat terus memuncak, apalagi terkait dengan perang Ukraina-Rusia.

Putin dikutip dari CNBC Indonesia, mengatakan pergerakan senjata nuklir ke negara sekutu Rusia itu tidak akan melanggar perjanjian non-proliferasi, dia juga mengatakan langkahnya ini sebagai respons atas keputusan Inggris yang akan memasok Ukraina dengan senjata depleted uranium, sebuah bijih uranium yang digunakan sebagai bahan bakar nuklir atau senjata atau peralatan perang.

Semua negara bersenjata nuklir berusaha meningkatkan persenjataan mereka dan sebagian besar mempertajam retorika nuklir dan peran senjata nuklir dalam strategi militer mereka.

5 Peringatan Putin

Dalam hal ini Putin tak tinggal diam, termasuk juga pemerintahan Rusia. Ada beberapa peringatan yang perlu diwaspadai dan menunjukan Putin tidak sedang bermain dalam hal senjata Nuklir.

Pertama, Putin mengumumkan pembekuan Perjanjian Pembatasan Senjata Nuklir atau biasa disebut New Start (Strategic Arms Reduction Treaty). Putin mengumumkan mundur dari perjanjian nuklir dunia tersebut. New Start sendiri sebuah perjanjian pengendalian senjata nuklir antara Amerika-Rusia yang dibuat pada tahun 2010.

Kedua, Disetujui oleh Parlemen Rusia. Ketua Duma Rusia atau majelis rendah parlemen, Vyacheslav Volodin menuding Amerika Serikat sebagai penyebab atas keputusan Putin untuk menangguhkan partisipasi Moskow dalam perjanjian nuklir New Start.

Ketiga, Kekuatan nuklir semakin meningkat. Pada sebuah pidato Putin mengatakan bahwa Rusia akan terus melengkapi angkatan bersenjatanya dengan peralatan yang semakin canggih.

“Seperti sebelumnya, kami akan meningkatkan perhatian untuk memperkuat triad nuklir”, kata Putin yang merujuk pada rudal yang berbasis di darat, laut dan udara dalam pidatonya menyambut hari libur Pembela Tanah Air dikutip dari CNBC Indonesia.

Putin juga mengatakan bahwa untuk pertama kalinya, rudal balistik antar benua Sarmat akan dikerahkan tahun ini –Sarmat adalah senjata yang dijuluki “setan” yang mampu membawa banyak hulu ledak nuklir.

Keempat, Resiko perlombaan senjata menyeret negara-negara lain, seperti China, India, dan Pakistan. Dapat dikatakan bahwa penangguhan yang dilakukan Putin dinilai bahaya, karna akan menyebabkan meningkatnya resiko perlombaan senjata baru, bersamaan dengan perang Ukraina-Rusia.

Masa depan juga dikatakan tidak akan stabil, karna memacu kekuatan-kekuatan negara lain seperti India dan Pakistan untuk membangun persenjataan nuklir mereka.

Menurut Direktur Strategi, Teknologi dan Pengendalian Senjata pada International Institute for Strategic Studies (IISS), William Alberque dikutip dari CNBC Indonesia, “perjanjian itu secara efektif membatasi jumlah hulu ledak per rudalnya, yang dapat disebarkan oleh kedua belah pihak, sehingga dapat menghindari kehancuran akibat melipatgandakan jumlah hulu ledak.”

Bukan tidak mungkin, perang dingin muncul kembali. Hal tersebut juga didukung oleh James Cameron, yang juga Peneliti Post-Doctoral Fellow di proyek nuklir Oslo, menurutnya dikutip dari CNBC Indonesia mengatakan bahwa jika perjanjian New Start ditinggalkan itu akan menandai kembalinya aura perang dingin.

Kelima, Pesan yang disampaikan Putin. Pesan tersebut membuat khawatir negara-negara yang dapat terancam dari perang nuklir ini, sebab dalam kajian strategis secara normal realitas nuklir hanya dilakukan jika terjadi serangan nuklir.

Dalam wawancara dengan Gubernur Lemhannas (Lembaga Ketahanan Nasional) Republik Indonesia, Andi Widjajanto bersama pers, terungkap bagaimana Putin memberi pesan untuk dibawa ke Presiden Joko Wdodo, terkait kapan perang nuklir dimulai.

Menurut Putin, “Saya akan mempertinbangkan penggunaan senjata nuklir kalau ada serangan udara wilayah Rusia”, tapi itu bukan serangan nuklir melainkan serangan udara.

Serangan yang disampaikan Putin, ialah serangan yang mengarah ke Rusia, apakah benar ke negara Rusia atau ke empat wilayah di Ukraina yang sekarang sudah dikuasai Rusia.

Termasuk wilayah Krimea yang sejak tahun 2004 secara de facto ke Rusia, kalau lima negara ini tiba-tiba diserang udara, maka Putin akan mempertimbangkan untuk melakukan serangan nuklir.

Sedangkan, Ukraina meminta dibantu dengan pesawat F-16, bahkan sampai ke F-35. Pada saat F-16 dan F-35 dikirm dan digelar, yang ditunjukan untuk kemudian melakukan serangan ke wilayah Rusia. Putin dalam hal ini mengatakan bahwasannya Rusia akan mempertimbangkan perang nuklir.

Jika melihat lebih dalam, peristiwa krisis antar negara terakhir terjadi dalam krisis misil Kuba pada tahun 1962. Kalau membaca sejarahnya pada saat itu, dunia benar-benar sudah siap dengan perang nuklir antara blok Amerika Serikat-Uni Soviet, jika akan terjadi.

Dampak yang Mengerikan

Ffek perang nuklir tidak terjadi pada negara yang berperang saja, akan menelan banyak korban akibat perang nuklir ini. Dapat dikatakan bahwa dampaknya bukan hanya pada Asia, tetapi juga akan berdampak pada negara Eropa yang akan merasakan dampaknya.

Dalam hal ini dampak perang nuklir akan melewati tiga tahap kehancuran, yaitu:

Pertama, Kehancuran objek yang diserang. Dampak ini terjadi pada saat perang nuklir terjadi, dalam dampak ini hanya terjadi pada prajurit dan objek serangan langsung, serangan nuklir yang berukuran sedang akan menewaskan ribuan, ratusan, bahkan puluhan orang dalam waktu yang singkat.

Kedua, Tebaran debu dan radiasi. Dampak ini akan mengakibatkan tebaran debu dan radiasi ke seluruh dunia yang dapat bertahan berminggu-minggu bahkan bertahun-tahun lamanya, yang akan menyebabkan penyakit kulit dan kelainan genetik, jutaan orang bahkan puluhan orang akan terdampak.

Ketiga, Penurunan suhu bumi atau nuclear winter. Sebuah studi pada tahun 2014 dikutip dari CNN Indonesia, menyatakan perang nuklir dalam lingkup kecilpun dapat menimbulkan kepulan asap yang menghalangi matahari ke bumi.

Menurut artikel Nuclear War Survival, dampak perang nuklir menyebabkan dampak iklim jangka pendek dan jangka panjang, dampak ini dapat bertahan hingga 5-10 tahun artinya akan ada satu dekade tanpa musim panas. Dampak ini diprediksi akan mengakibatkan lebih banyak kematian dibandingkan perang nuklir itu sendiri.

Menyebabkan suhu bumi menurun pada titik yang ekstrim, mencapai titik terdingin sejak zaman es, tanaman tidak dapat tumbuh, manusia akan merasakan kedinginan yang luar biasa, dan mengalami kelaparan dan krisis.

Sintia Astianti
Diterbitkan: Selasa, 9 Mei 2023
Pukul: 22.00 WIB
Kolomnis: Sintia Astianti
Editor: Adi Fauzanto
Daftar Bacaan:
• CNBC Indonesia. 2022. Gawat! Perang Nuklir Makin Dekat, Putin Beri Kode Serangan. 10 DesemberCNBC Indonesia. 2023. Putin Siaga Perang Nuklir, Siap Kerahkan Rudal 'Setan'. 22 Februari
 Thea Fathanah Arbar. 2023. Rusia "Out" dari Perjanjian Nuklir, Putin Siap Perang Nuklir?. CNBC Indonesia, 22 FebruariCNN Indonesia. 2022. Dampak Nuclear Winter Dipicu Rusia vs Ukraina untuk Kehidupan Bumi. 5 MaretMuhammad Iqbal. 2023. 'Putin Pertimbangkan Senjata Nuklir kalau Ada Serangan Udara'. CNBC Indonesia, 23 FebruariSurvival and Self Sufficiency. 2022. Nuclear War Survival — How To Survive a Nuclear War
Liputan Mendalam

Ancaman Senjata Nuklir di Sekitar Perang Rusia-Ukraina


Kebijakan.co.idKolom Opini

3 Mei 2023 (16.00 WIB)-#5 Menit

Read in English Language Version

Ancaman Senjata Nuklir di Sekitar Perang Rusia-Ukraina
Oleh: Salsabila Sifa (Pengamat Hubungan Internasional)

Putin menangguhkan Perjanjian New START, sebuah perjanjian pengendalian senjata nuklir antara Amerika-Rusia, apa dampaknya?

***

Pidato Presiden Rusia, Vladimir Putin pada tanggal 21 Februari 2023, menyatakan penangguhan partisipasi dalam perjanjian pelucutan nuklir dengan Amerika Serikat. Perjanjian tersebut bernama New START (Strategic Arms Reduction Treaty).

Penangguhan perjanjian ini dilakukan Putin karena menganggap Amerika Serikat dan Barat tidak mematuhi ketentuan dan mencoba merusak keamanan nasional Rusia. Sekarang untuk pertama kalinya dalam setengah abad, hulu ledak nuklir Amerika Serikat dan Rusia tidak terkendali yang memicu ketakutan akan perlombaan senjata nuklir.

Perlu diketahui bahwa perjanjian New START adalah perjanjian senjata nuklir terakhir antara Amerika Serikat dan Rusia. Dilansir dari State.gov, perjanjian ini terbentuk dan dilatarbelakangi oleh kesadaran akan bahaya nuklir sehingga dibutuhkannya arms control (pengendalian senjata) antara Amerika Serikat dan Rusia.

Ditandatangani pada 2010 oleh mantan Presiden Amerika Serikat, Barack Obama serta mantan Presiden Rusia, Dmitry Medvedev, dan mulai berlaku pada Februari 2011. Perjanjian ini mengatur jumlah hulu ledak dan rudal yang boleh dimiliki kedua negara, dengan rincian sebagai berikut,

Pertama, tidak lebih dari 1.550 hulu ledak nuklir strategis. Kedua, maksimum 700 rudal jarak jauh dan pesawat pengebom. Ketiga, 800 rudal balistik internasional.

Menurut perjanjian tersebut, masing-masing pihak dapat melakukan 18 inspeksi ke lokasi senjata nuklir strategis setiap tahunnya untuk memastikan pihak lain tidak melanggar batas perjanjian dan memastikan bahwa rudal nuklir mereka tidak dapat digunakan secara tidak sengaja.

Selain itu, mewajibkan komunikasi rutin tentang berbagai peralatan dan operasi militer, untuk menghindari kesalahpahaman.

Rusia Meradang

Sekarang, apa yang akan terjadi setelah penangguhan yang dilakukan oleh Rusia? Bagaimana potensi terjadinya nuclear arms races (pengendalian senjata nuklir) antara kedua negara tersebut mengingat perjanjian tersebut merupakan perjanjian terakhir yang mengatur?

Pertama, penangguhan ini tidak secara dramatis dan langsung mengubah risiko perang nuklir tetapi menunjukkan kepada kita masalah simbolis. Rusia menyatakan tidak lagi ingin berpartisipasi dalam perjanjian pengendalian senjata nuklir ini yang mengirimkan pesan simbolis bahwa mereka bersedia melakukan hal-hal yang sebelumnya mereka rasa terikat.

Jika diperhatikan, penangguhan perjanjian ini merupakan salah satu strategi Rusia. Rusia ingin meningkatkan persepsi bahaya nuklir, seakan menyatakan bahwa jika keadaan menjadi buruk dalam perang, hal itu bisa berdampak buruk bagi seluruh dunia. Ini juga dilakukan Rusia untuk meningkatkan tekanan pada Ukraina dan pendukungnya agar mengupayakan penyelesaian perang dengan bernegosiasi yang akan membuat keuntungan Rusia tetap utuh.

Kedua, perjanjian pengendalian senjata ini benar-benar kunci hubungan antara Amerika Serikat dan Rusia dan jika perjanjian ini mulai terurai, itu adalah yang terakhir dari jaringan perjanjian yang sangat kompleks yang telah memburuk sejak tahun 2001 ketika Amerika Serikat menarik diri dari perjanjian rudal anti-balistik.

Catatan sejarah menunjukkan bahwa Amerika Serikat dan bukan Rusia yang sebagian besar telah menarik diri dari perjanjian pengendalian senjata, dan ini menunjukkan bahwa Amerika Serikat mungkin merasa cukup unggul dalam kemampuannya dan itu adalah masalah nyata.

Meski tidak memiliki efek langsung, penangguhan Perjanjian New START ini menimbulkan kekhawatiran mengingat Amerika Serikat dan Rusia bersama-sama memiliki lebih dari 90 persen senjata nuklir dunia.

Sejak berlakunya perjanjian New START, kedua negara bersama-sama telah melakukan 328 inspeksi. Hal tersebut merupakan sebuah pencapaian yang sangat besar, sehingga bisa dikatakan bahwa perjanjian ini cukup sukses.

Namun dengan ditangguhkannya perjanjian tersebut, kita akan kehilangan transparansi ke dalam gudang senjata kedua negara dan kehilangan prediktabilitas, akan jauh lebih sulit untuk kita memahami jika dan bagaimana mereka memperluas dan mengembangkan senjata nuklir.

Putin dan Biden
Demo Aktivis Anti-Nuklir di Berlin, German (AFP Press)

Efek Domino

Selain kekhawatiran perlombaan senjata nuklir antara Amerika Serikat dan Rusia. Keputusan penangguhan perjanjian ini juga mungkin dapat mengakibatkan munculnya persenjataan nuklir yang tidak terkendali di negara lain.

Sangat mungkin pemimpin China melihat penangguhan perjanjian yang dilakukan Putin sebagai jendela peluang untuk mempercepat kemampuan nuklirnya. Mereka mungkin mengatakan bahwa mereka khawatir tentang pertahanan mereka dan perlu membangun persenjataan baik itu nuklir atau tidak untuk melindungi kepentingan nasionalnya.

Federasi Rusia saat ini menggunakan ancaman senjata nuklir sebagai instrumen kenegaraan untuk mendapatkan apa yang dianggap sebagai hasil yang menguntungkan dalam perang Ukraina. Ini sangat berbahaya, jika itu terjadi dan ancaman nuklir dianggap efektif maka negara-negara lain seperti China, Korea Utara atau negara lain yang mempunyai senjata nuklir akan berpikir untuk melakukannya lain kali saat mereka terlibat konflik.

Tentu saja hal tersebut mengancam masa depan kontrol senjata nuklir (Nuclear Arms Control), yang mengakibatkan potensi besar adanya perlombaan senjata nuklir. NPT (Non-Proliferation Treaty), yang mulai berlaku pada tahun 1970 dan memiliki 191 negara penandatangan, juga mencakup inspeksi. Akan tetapi, NPT tidak menyediakan hubungan timbal balik seperti yang disediakan perjanjian New START antara dua kekuatan nuklir terbesar di dunia.

Putin
Demo Aktivis Anti-Nuklir di Berlin, German (AFP Press)

Ancaman di Depan Mata

Meskipun demikian, Rusia menyatakan bahwa mereka hanya menangguhkan dan tidak meninggalkan perjanjian tersebut, serta mengklarifikasi bahwa mereka tidak akan berupaya menambah persenjataan nuklirnya. Menandakan kita masih jauh dari masalah yang sangat serius tadi.

Namun, kekhawatirannya adalah bahwa kita secara bertahap meluncur ke dalam situasi yang sangat berbahaya karena perjanjian New START ini adalah perjanjian nuklir terakhir yang mengatur senjata nuklir Amerika Serikat dan Rusia yang berlaku.

Jelas perjanjian ini berada di bawah tekanan yang luar biasa sekarang, serta berpotensi terurai. Perjanjian New START akan berakhir dalam tiga tahun, dan tidak ada dialog yang terjadi antara Amerika Serikat dan Rusia tentang apa yang akan terjadi setelah itu.

Salsabila Sifa
Diterbitkan: Rabu, 3 Mei 2023
Pukul: 16.00 WIB
Kolomnis: Salsabila Sifa
Editor: Adi Fauzanto
Daftar Bacaan:
• Pemerintah Amerika Serikat. Isi Perjanjian New START
Liputan Mendalam

Pertentangan Simbol dan Nilai Agama


Kebijakan.co.idKolom Opini

Adi Fauzanto-18 Oktober 2022 (06.00 WIB)-#36 Paragraf
Pertentangan Simbol dan Nilai Agama

***

Plus ça change, plus c’est la même chose.

Malang, Kebijakan.co.id — Kata-kata ini merupakan pepatah Prancis yang diambil dari buku Korupsi karya Peter Carey (2017). Artinya adalah “makin berubah makin sama”. Sama seperti permasalahan korupsi, permasalahan agama tetap sama dan tidak mengalami perubahan dari ratusan tahun lalu.

Manusia dan agama menjadi dua hal yang tidak terpisahkan dari masalah-masalah sosial. Banyak faktor yang memengaruhi keduanya. Salah satu faktor yang memengaruhi adalah faktor sejarah yang tidak bisa dielakkan.

Permasalahan kedua antara manusia dan agama muncul dari zaman ke zaman. Pada saat ini, salah satunya yaitu simbol agama dan nilai agama. Hal tersebut sudah banyak dibahas oleh banyak ilmuwan. Salah satunya yang mendekati tulisan ini adalah Antara Islam Simbolik dan Islam Substantif oleh Dendy (Indoprgress, 2016).

Dari tulisan tersebut, entah saya menambahkan atau mengkritik, tetapi saya menuliskan atas dasar keresahan saya atas peristiwa yang saya lihat dan rasakan, yang bisa disebut dengan fenomena.

Hal-hal empiris yang terfokus di Kota Malang dengan hal reflektif (pertanyaan-pertanyaan), serta dibumbui dengan pembahasan ilmiah dari ilmuwan, dan sedikit kajian teologis, akan mewarnai tulisan ini.

Kantin Akademik Halalan Thoyyiban

Mari kita cermati dan membedah bersama fenomena pertentangan simbol dan nilai agama. Dimulai dari sekitar saya.

Pertama kali yang membuat saya terheran-heran adalah kantin perpustakaan di kampus saya, Universitas Brawijaya (UB). Namanya adalah “Kantin Akademik Halalan Thoyyiban”, berlokasi di Perpustakaan UB (lihat di foto). Sama seperti pada kantin umumnya, menjual makanan ringan, berat, dan minuman.

Lalu pertanyaannya, kenapa harus Halalan Thoyyiban? Kenapa tidak “Kantin Sehat dan Bergizi”? Apa karena kepentingan ekonomi saja?

Toh di Universitas Brawijaya terdapat jurusan ilmu gizi; lalu buat apa jurusan itu? Lagi pula jurusan syariah atau ilmu agama yang mengkaji tentang halal atau haram tidak terdapat di Universitas Brawijaya. Lalu pertanyaan lagi, apakah sehat dan bergizi tidak termasuk dalam kategori halal?

Dari sini berpikir, apakah kampus dengan label islam terdapat kantin seperti ini? Di Malang sendiri, terdapat kampus berlabel islam seperti UIN (Universitas Islam Negeri) Malang dan UMM (Universitas Muhammadiyah Malang), dan yang saya ketahui tidak terdapat kantin di perpustakaan seperti itu.

Lalu berpindah ke UM (Universitas Negeri Malang). Kantin perpustakaan di UM atau yang disebut Cafe Pustaka terdapat banyak diskusi (lihat instagram @perpustakaan.um). Dan menurut saya, cafe tersebut lebih islami. Kenapa? Karena perintah membaca dan belajar dalam islam merupakan kewajiban.

Dari pembahasan kantin yang kita lihat dan kaji, sudahkah kita memaknai dan bertanya antara nilai dan simbol Islam?

Setelah saya berpikir tentang hal tersebut, terbit berita dari salah satu LPM (Lembaga Pers Mahasiswa) Kampus, yaitu Kavling10 yang menerbitkan berita Fenomena Kos Muslim: Ekspresi Beragama di Kota Pendidikan tahun 2019. Pembahasannya cukup komperhensif, di mana mendapati wawancara dengan pemiliki kosan muslim (Tutik) yang menyatakan:

Kalo di saya nggak pernah nolak non islam. Kalo di sana pernah. Kan Ibu dari area sini ke sana yang pegang, ibu bagian yang nyari anak kos-kosannya. Nah ibu yang di sebelah sana itu, pernah ada satu kamar kosong, terus saya masukin anak. Pas ketahuan nonis eh dikeluarin. Diusir.

Dari hal tersebut, saya teringat dengan kampung saya di Jatiasih, Bekasi. Yang seingat saya terdapat perumahan (cluster) syariah, dan mungkin di banyak tempat juga terdapat perumahan (cluster) syariah. Tentunya hal tersebut membuat muslim menjadi eksklusif dengan sendirinya dengan komunitas agama lain.

Dari fenomena kedua tadi, kosan muslim dan perumahan muslim, menambahkan kajian teologis yang diambil dari hadis; Imam Ahmad meriwayatkan dari Abdullah Ibnu Amr Ibnul As bahwa Nabi Muhammad SAW (Republika, 2018) bersabda:

Sebaik-baik teman di sisi Allah ialah orang yang paling baik kepada temannya, dan sebaik-baik tetangga di sisi Allah ialah orang yang paling baik kepada tetangganya.

Lalu dari hal tempat tinggal (kosan dan perumahan), sudahkah memaknai dan bertanya tentang nilai dan simbol Islam?  

Jauh sebelum saya terheran-heran dengan hal-hal tersebut, ternyata sudah terdapat seorang Ilmuwan Muslim dari Indonesia yang membahas dengan kajian yang luas, yaitu Cak Nur atau Nurcholis Majdid, yang terkenal dengan jargon Islam Yes, Partai Politik Islam No (Tirto, 2018).

Dan dewasa ini juga terdapat ilmuwan muslim dari Indonesia yang viral di Twitter, yaitu Gus Nadir atau Nadirsyah Hosen, yang terkenal dengan buku Islam Yes, Khilafah No.

Berbicara Partai Politik (parpol) Islam. Dewasa ini, salah satu parpol berlogo kakbah, sebut saja PPP, ketua umum PPP didapati melakukan jual-beli jabatan di Kementerian Agama. Jauh sebelum itu, parpol Islam, yaitu PKS, ketua umumnya didapati melakukan korupsi, yaitu kasus suap impor daging sapi (Tirto, 2019).

Walaupun tidak ada parpol yang terlepas dari kasus korupsi, kecuali partai baru, tetapi di balik itu, nama dan ideologi agama Islam yang terdapat dalam parpol tersebut menjadi tercoreng.

Lalu dari pembahasan partai politik, sudahkah kita memaknai dan bertanya lagi antara simbol dan nilai islam?

Berbicara partai politik islam, kita juga perlu mengkaji organisasi mahasiswa ekstra islam yang di beberapa kampus yang menjadi “partai politik” dalam pemilihan umum mahasiswa serta pembuat kebijakan atau penguasa seperti BEM.

Sebenarnya saya sudah menulis tentang hal ini di Mohon Maaf: PKS, KAMMI dan Kebenaran (2019). Sederhananya dalam organisasi mahasiswa ekstra islam yang menjadi penguasa (pemenang) melakukan nepotisme dalam memilih jabatan di kementerian dengan tidak transparan, padahal di awal menyebutkan open recruitment yang seharusnya prosesnya transparan. Selanjutnya dibaca saja.

Selain itu, organisasi islam ekstra yang genit memanfaatkan jabatannya untuk melakukan pengkaderan, dalam kasus ini HMI. Selanjutnya baca di Genitnya Organisasi Ekstra Kampus (2019). Pada akhirnya, nama dan ideologi agama Islam yang tercoreng akibat organisasi tersebut.

Berbicara soal organisasi mahasiswa ekstra islam, saya mempunyai rencana penelitian tentang indeks islami dalam kontrakan organisasi ekstra sebagai tempat perkaderan antara HMI, IMM, KAMMI, PMII di kota Malang. Penelitian tersebut saya gagas di kegiatan SCORE (Score of Researcher) IMM Malang Raya, walaupun gagal dikarenakan keterbatasan tenaga dan ilmu saya.

Penelitian tersebut ingin melihat tingkat literasi (baca, tulis, diskusi) di Kontrakan sebagai tempat perkaderan. Dari penelitian tersebut, ingin melihat kualitas buku, diskusi, dan kuantitas buku, diskusi, atau bahkan tidak ada sama sekali. Penelitian ini diangkat karena keresahan atas maraknya games yang meracuni mahasiswa.

Karena memang dalam Alquran terdapat perintah iqra! bacalah! Yang memang pada faktanya tingkat literasi di Indonesia sangat rendah (Detik, 2019), didukung juga dengan fakta bahwa muslim di Indonesia merupakan muslim terbanyak di dunia (Republika, 2015). Kontradiktif.

Setelah pembahasan Organisasi Ekstra Mahasiswa Islam, sudahkah kita memaknai dan bertanya kembali dengan simbol dan nilai Islam?

Berbicara Penelitian tentang Indeks. Saya terinspirasi dengan penelitian Indeks Kota Islami di Indonesia yang dilakukan oleh Maarif Institute Tahun 2016. Yang menunjukkan kota Yogyakarta (urutan pertama), kota Denpasar (urutan ketiga). 

Menariknya, kota Banda Aceh (urutan ke-17) yang terkenal dengan serambi Makkah. Indeks tersebut berdasarkan pada tingkat Keamanan, Kesejahteraan, dan Bahagia di suatu kota.

Jauh sebelum itu, di tahun 2010, terdapat penelitian yang lebih luas objeknya, yaitu negara islami, berujudul How Islamic are Islamic Countries? (Republika, 2015) Penelitian ini dilakukan oleh Hoosein Askari, seorang Ilmuwan dari Universitas George Washington, AS. 

Negara Islami menurut penelitian ini adalah Selandia Baru, Irlandia, dan lain lain. Menariknya, dari 25 besar negara, tidak satu pun negara islam yang mendudukinya. Indeksnya adalah pencapaian ekonomi, pemerintahan, dan hak politik.

Dari pembahasan kantin islami hingga negara islami, sudahkah memaknai dan bertanya tentang simbol dan nilai islam?

Terakhir, saya memang bukan dari disiplin ilmu agama. Yang mungkin menurut Tom Nichols dalam bukunya Matinya Kepakaran, saya termasuk di dalamnya. Tapi salahkah saya bertanya tentang apa yang melekat dari kecil hingga saat ini, yaitu agama? 

*Kolom ini terbit pertama kali pada Qureta (20 Agustus 2019) dan ditulis ulang dalam Buku Catatan Kritis Sosial, Politik, Hukum: Paradigma-Praksis (2020)

Diterbitkan: Senin, 19 Oktober 2022
Pukul: 06.00 WIB
Kolomnis: Adi Fauzanto
Daftar Bacaan:  
• Peter Carey. 2017. Korupsi: Dalam Silang Sejarah Indonesia. Depok: Komunitas Bambu
• Maarif Institute. Indeks Kota Islami Tahun 2016. Jakarta
• Dendy Raditya. 2016. Antara Islami Simblok dan Islami. IndoprogressKavling10. Buletin Jurnal Ospek 2019 Republika. 2018. Bertentanga dengan Non-Muslim, ini Fatwa Al-Azhar Mesir.Zacky Khairul Umam. 2018. Nurchlish Madjid, Anak Gontor yang Besar sebagai Pembaru Islam. Tirto.idMohammad Bernie. 2019. Jaksa KPK Ungkap Peran Menteri Lukman dalam Suap Jual Beli Jabatan. Tirto.idFathiyah Wardah. 2013. Mantan Presiden PKS Divonis 16 Tahun Penjara. VOA Indonesia Adi Fauzanto. 2019. Mohon Maaf: PKS, Kammi, dan Kebenaran. Kavling19Adi Fauzanto. 2020. Genitnya Organisasi Ekstra Kampus. QuretaDanu Darmajati. 2019. Benarkah Minat Baca Orang Indonesia Serendah Ini?. DetikRepublika. 2015. Inilah 10 Negara dengan Populasi Muslim Terbesar di DuniaRepublika. 2015. Selandia Baru Negara Paling Islami di Dunia
Liputan Mendalam

Jurnalisme, Sekali Lagi dan Nanti

Pelik rasanya melihat jurnalisme ‘pasar’ yang menuhankan traffic dengan clickbait nya. Pelik juga melihat media partisan –yang secara jelas-jelas atau yang memanfaatkanya. Yang jelas-jelas, menampilkan dalam sebuah berita atau segmen khusus ‘kelompok partai’ nya, sebut saja kelompok Media Group News dengan Surya Paloh serta Nasdem-nya dan MNC Group dengan Hary Tanoesudibjo serta Perindo-nya.

Begitu juga yang memanfaatkan partisan, dengan menempatkan framing partisan secara berlebih, alih-alih menimbulkan daya kritis, malah membuat kegelapan partisan tersebut, sebut saja TV One (Viva Group) dengan pseudo-oposisi Karni Ilyas dan Aburidzal Bakrie dengan bisnis serta Golkar-nya.

Misalnya, putra Aburidzal Bakrie memakai narkoba. Hampir tidak ada satu pun berita yang dikeluarkan group TV One. Praktik-praktik ini paradoks luar biasa, aneh. Media dan pemilik yang bukan berlatar belakang ‘jurnalis’ hanya akan melahirkan media tanpa arah perbaikan –terlebih jika pemilik nya berlatar businessman cum politisi.  

Kenajisan dan banalitas itu tidak terbendung ketika bertemu teknologi. Sebuah alat yang ‘membantu’ manusia menemukan circle-nya, justru menjebak dalam filter bubble, itulah Artificial Intellegence. Teknologi super apps yang menggunakan itu, tidak jarang menimbulkan konflik yang tidak konstruktif. Misal, perbedaan warna kulit, perbedaan suku, hingga perbedaan agama. Melahirkan kebencian, permusuhan, menjauhkan –tidak memberikan setitik pun untuk bertemu dalam dunia digital.

Ketika prinsip yang dipegang media-media tadi, juga dengan bantuan penemuan teknologi. Maka lahirlah, berita-berita palsu, berita-berita pendek, berita-berita yang hanya menceritakan setitik dari ribuan makna didalamnya, lagu-lagu partai, berita yang melindungi pemiliknya.

Terlebih kualitas masyarakat belum siap dengan keadaan seperti ini. Salah duanya, yaitu Detik.com dan Tribunnews, kedua media tersebut melengkapi tragisnya fenomena kualitas baca di Indonesia. Sudah dikenal dengan minat rendah membaca, didukung ‘penyebar informasinya’ seperti salah keduanya –Detik dan Tribun. Pelik. Alih-alih memperbaiki, malah menjatuhkan palu sidang atas pasar rendah baca masyarakat Indonesia.

Hal ini tak jarang, digunakan juga oleh masyarakat Indonesia, sebagai penyambung lidah –baik itu langsung atau visual. Mengirimkan pesan whatsapp, line, atau instagram. Membuat video pendek, atau hal-hal lainya. Ditambah stupid influencer yang berlaga konyol memperparah keadaan. Ditambah dengan adanya produk iklan yang masuk mengendorse mereka. Menambah vonis berkali-kali lipat atas pasar rendah baca masyarakat Indonesia.    

Tersisa hanya Kompas dan Tempo. Kompas dengan ‘nilai luhur’ nya berusaha melawan dirinya sendiri, kompas.com –juga tribun- dan kompas.id –harian kompas- adalah gambaran paradoks dari fenomena ini. Begitu juga dengan Tempo, antara tempo.co dengan koran tempo dan majalah tempo, juga bagian dari fenomena paradoks.

Yang satu membahas artis yang gemar belanja, yang satu membahas bagaimana menggambarkan prioritas belanja kebutuhan pemerintah pusat, daerah, hingga korporasi agar optimal. Yang satu misalnya, memberitakan artis-artis yang jatuh tersandung batu, yang satu nya membahas agenda kebijakan yang jatuh tersandung batu ‘hutang’. Paradoks dan absurd. Saya masih membayangkan seorang Jakob Oetama dan Goenawan Mohamad melihat kualitas berita kompas.com juga tempo.co yang receh mengincar traffic.

Jurnalisme Sekali Lagi

Mengapa sekali lagi? Bisnis (dibaca: urusan) informasi, bisa jadi bisnis tertua yang manusia lakukan selagi mencari bahan makanan, dengan berburu atau meramu. Tak jarang perpindahan era, pionirnya –penggeraknya- merupakan informasi atau komunikasi.

Ambil contoh, Renaissance tanpa penyebaran gagasan pencerahan, muskil terjadinya eropa maju saat ini. Era kejayaan Islam, tanpa pertukaran informasi Yunani Kuno atau India Kuno dengan terjemahan informasi yang ditulis ulang, muskil menemukan Ibnu Sina, dan ibnu-ibnu lainya.

Tidak perlu jauh-jauh, negara dengan banyak kepualan ini, muskil merdeka tanpa informasi yang memberitakan bobroknya Belanda. Atau Cina –saat ini- muskil maju tanpa penerimaan informasi terkait informasi perdagangan bebas sesuai kebutuhan dan informasi manfaat internet, dilanjutkan dengan pengembangan pendidikan dasar hingga tinggi, lalu pembangunan kota-kota dagang, begitu juga dengan Jepang di era restorasi meiji.

Kembali lagi, lalu membayangkan bagaimana jika informasi yang pendek-pendek tadi mempengaruhi kita? Apa yang akan terjadi? Apalagi Indonesia, yang memiliki pasar pembaca yang rendah. Alih-alih meraih kejayaan nya, yang ada justru menjadi tempat jual-beli informasi (murah) layaknya pasar kumuh.

Misalnya, informasi paham kekerasan –umumnya dari timur tengah- tertentu, masuk, setelah itu laku di masyarakat. Begitu juga dengan informasi budaya Korea –yang tidak berguna-, laku di masyarakat. Informasi dari negara barat –yang merusak-, seperti narkoba tanpa pengendalian diri, atau seks bebas tanpa pertanggungjawaban, hanya akan memupus anak muda berbakat.

Jurnalisme Sekali Lagi. Bukan tentang pikiran pesimis atau nihilis. Sekali lagi, meniru –mengambil pelajaran- tetapi bukan mengulang. Ntah, dibilang optimis atau bualan belaka. Layaknya Amerika mengambil pelajaran dari krisis kapital era 1930-an. Dia mengambil langkah ‘sekali lagi’ atau memulai kembali. Terutama mengembalikan peran pers sebagai pengawas, sangat dibutuhkan.

Tentu, bukan membuangnya dan menolaknya secara total, walaupun masih ada beberapa hal yang harus diperbaiki. Menolak dan membuangnya total, namanya revolusi. Tidak mengapa, jika ‘siap’. Jika tidak, Uni Soviet dengan kehancurannya atas bobroknya sistem dari atas hingga bawah. Tentu ada sebab lain mengapa ‘hancur’, tetapi mereka tidak mengambil pelajaran dan memperbaiki.

Jurnalisme Invetigasi/Jurnalisme Foto Kebijakan.co.id

Jurnalisme Nanti

Sekali lagi, layaknya sebuah piring kotor, yang harus dicuci untuk digunakan ulang untuk makan. Maka harus seperti itulah jurnalisme. Tentu kita tidak makan dengan piring yang kotor dan berminyak, bisa jadi makanan nanti terserang bakteri yang membahayakan kita. Atau langsung membuang piring tersebut, tidak. Jurnalisme harus memulai kembali, sembari menatap teknologi.

Didukung dengan teknologi terbaharukan. Bukan tidak mungkin, kedepannya ada teknologi yang memudahkan untuk mencuci piring tersebut. Misalnya, dengan anti-tesis memperbaiki struktur code algoritma yang tidak menempatkan filter bubble. Atau memberikan tempat indikator informasi terbaik, bukan berdasarkan pasar total tetapi melihat indikator informasi yang layak.

Munculnya jurnalisme pionir, sebagai penunjuk arah, bukan penuntun. Penunjuk arah, bukan hanya yang ‘baik’ tapi juga ‘buruk’. Bukan hanya ‘kekonyolan’, tetapi juga yang ‘seharusnya’. Bukan hanya ‘cepat’, tetapi juga ‘panjang dan mendalam’. Jurnalisme yang berjalan dengan ‘bangga atas dirinya’, ‘bukan bangga di miliki siapa’. Rasa-rasanya ‘membangkitkan’ Mochtar Lubis akan sulit dalam jurnalisme kedepan, tetapi bukan tidak mungkin.

Tidak perlu mencari siapa yang harus bertanggung jawab atas semua ini. Mekanisme kerja manusia, beralih itu hal biasa, layaknya proses dialektika -baik dalam alam pikir menurut Socrates atau realitas menurut Hegel. Proses beralih itulah yang harusnya dilihat. Jangan sampai menuju jurang yang sama. Terutama memperhatikan masyarakat –sebagai pembaca- yang memiliki andil penting, bukan hanya sebagai target pasar, tetapi juga melibatkan unsur kognitif –individu manusia juga jamak masyarakat- yang bisa mengendalikan hal-hal tertentu, jangankan pasar, penemuan-penemuan besar dapat dilakukan dari sana.

Diterbitkan: 29 November 2021 
Kolomnis Opini: Adi Fauzanto
Daftar Bacaan: 
• Ross Tapsell. 2019. Kuasa Media di Indonesia: Kaum Oligarki, Warga, dan Revolusi Digital. Penerbit Marjin Kiri: Yogyakarta.
• David Hill. 2010. Jurnalisme dan Politik di Indonesia: Biografi Kritis Mochtar Lubis Sebagai Pemimpin Redaksi dan Pengarang. Penerbit Obor: Jakarta 
• Wartawan Kompas. 2020. Jejak Langkah Jakob Oetama: Warisan Sang Pemula. Penerbit Gramedia: Jakarta 
• Suryopratomo. 2021. Belajar dari Pengalaman “The Straits Times”. Kolom Opini Kompas.id 
• Ignas Kleden. 2020. Fragmen Sejarah Intelektual: Beberapa Profil Indonesia Merdeka. Penerbit Obor: Jakarta 
• Benson Bobrick. 2019. Kejayaan Harun Ar-Rasyid: Legenda Sang Khalifah dan Kemajuan Peradaban Dunia pada Zaman Keemasan Islam. Penerbit Alvabet: Tangerang 
• Yuval Noah Harari. 2018. Sapiens: Riwayat Singkat Manusia. Penerbit Gramedia: Jakarta  
• Sindhunata. 2019. Teori Kritis Sekolah Frankfurt: Dilema Usaha Manusia Rasional. Penerbit Gramedia: Jakarta
• Budi Hadirman. 2011. Pemikiran-Pemikiran yang Membentuk Dunia Modern. Penerbit Erlangga: Jakarta
• Majalah Tempo. 2012. Kapitalisme Buatan China. Laporan Khusus Majalah Tempo
• Hasyim Asy’ari. 2018. Renaisans Eropa dan Transmisi Keilmuan Islam ke Eropa. Jurnal Sejarah Peradaban Islam Vol. 2 No. 1  

Korupsi dan Budaya Feodalisme

Tulisan ini ditunjukan sebagai bentuk amicus curriae atau sahabat peradilan untuk Saiful Mahdi, lebih tepatnya menurut saya menjadi sahabat pengetahuan atau amicus scientia atas artikel kolom Feodalisme dan Kebebasan Akademik (2021) di Tempo, dimana tulisannya membedah watak feodal manusia indonesia -khususnya dunia kampus- yang tidak berubah dari analisis seorang Tan Malaka dengan kultur mistik pra-Indonesia, Pramodya Ananta Toer dengan inlander atau manusia kolonial, hingga kepada Manusia Indonesia-nya Mochtar Lubis. Akan tetapi saya lebih menyoroti dan membedah dari fenomena korupsi kekuasaan, tentu ada unsur ‘feodal’ dalam produksi pengetahuan kekuasaan itu sendiri.

Dimulai dari melihat kegagalan pemberantasan korupsi akhir-akhir ini, terutama melalui pendekatan hukum yang normatif-positivistik dengan segala peraturan yang digagas oleh Hans Kelsen dengan teori hukum murninya. Kemudian pendekatan tersebut dibajak oleh kepentingan politik, memang sifat pendekatan normatif-positivistik ala Hans Kelsen menampikan politik sejak kelahirannya, absurd. Terlebih ketika pendekatan hukum normatif-positivistik dijadikan satu-satunya pendekatan untuk memberantas korupsi.

Menjengkelkan memang, terlebih tiga institusi dalam Trias Politica ala Montesquieu, sudah tidak bisa diandalkan, mulai dari DPR yang membentuk Undang-Undang dengan serampangan, pemerintah yang hanya menghimbau seperti halnya ceramah-ceramah di Rumah Ibadah yang tidak menolong apapun, atau lembaga peradilan yang busuk akibat adanya mafia, baik jaksa hingga hakim. Atau yang lebih modern menambahkan lembaga independen negara dalam Trias Politica, bentuknya seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU), juga sudah dibajak semenjak wajah pimpinan nya terbukti bersengkokol dengan politik praktis.

Namun ada pendekatan selain normatif-positivistik Hans Kelsen, dengan menempatkan sosio-legal sebagai cara pandang hukum, salah satunya menempatkan pendekatan sejarah (historical) untuk memandang hukum. Dalam hal ini sosio-legal menempatkan ilmu pengetahuan diluar hukum untuk menganalisis fenomena hukum, dapat berupa ilmu pengetahuan sosial, ekonomi, sejarah ataupun budaya. Dalam kaitannya dengan pendekatan sejarah sendiri menempatkan sebab-akibat terjadinya hukum dilihat dari fakta material (terlihat) perkembangan masyarakat membentuk suatu hukum, baik yang berupa catatan seorang filsuf yang dijadikan pedoman dalam pembentukan hukum atau fenomena sosial yang membentuk hukum di masyarakat.

Dari hal tersebut kita dapat melihat produk atau kebijakan hukum yang membentuk watak manusia feodal dari kekuasaan yang koruptif. Untuk melacak kata feodal sendiri mencatat sejarah masyarakat berkembang dari bentuk masyarakat komunal agraris, hingga kepada kerajaan-kerajaan yang bersifat feodal, hingga kepada masyarakat demokratis dan ekonomi industri berbasis kapital –yang didalamnya masih membawa dan membentuk kekuasaan berwatak feodal (Dede, 2019). Perkembangan masyarakat –juga kekuasaannya- menghasilkan produk hukum dalam masyarakat –untuk mengatur, membatasi, melindungi. Dalam hal ini tentu jika watak feodal yang bersumber dari asal usul masyarakat dan kekuasaan, akan menghasilkan juga produk kebijakan hukum yang berwatak feodalistik –baik pengaturan hingga kedalam penegakan.

Aspek Sejarah dan Budaya Hukum

Dalam artikel Carl Joachim (1969) yang membahas hukum dan sejarah, menempatkan kajian sejarah hukum dilihat dari kajian teori politik dan moral yang berkembang pada saat itu yang tentu dituliskan oleh filsuf atau ahli hukum, baik itu kebenaran –dalam arti sejarah yang sebenarnya- ataupun sekedar analisis atas fenomena yang dituliskan, yang nantinya dijadikan sumber produk hukum.  

Hal tersebut diartikan hukum tidak hanya sekedar dari produk logika silogisme oleh pembentuk hukum, tetapi dia membawa suatu nilai dari perkembangan sejarah manusia sebelumnya, bisa juga yurispudensi mengutamakan kajian sejarah hukum. Misalnya dalam hal ini, bahwa pembentukan Undang-Undang Dasar awal kemerdekaan bukan hanya sebuah produk logika pendiri republik, Soekarno, Hatta, dkk, tetapi membawa suatu nilai dari adanya semangat anti-kolonialisme dan segala bentuk pengalaman atas penindasan untuk memulai suatu bangsa.

Juga untuk mengetahui dan mengambil sebuah kajian sejarah hukum, tidak lantas mengambil produk hukum –seperti putusan hingga kepada undang-undang atau dogma- yang lalu, tetapi mengambil kondisi sosial, ekonomi, dan ciri sejarah lainya dibalik produk hukum tersebut. Misal dalam proses Amandemen UUD pasca reformasi, tidak lantas kita mengambil pasal per pasal untuk diperlajari, tetapi lebih dalam lagi kepada kondisi sosial, ekonomi, politik dibaliknya yang merupakan bentuk anti-tesa kondisi pemerintahan otoritarian yang memanfaatkan hukum dengan segala permasalahannya.

Dalam hal membahas sejarah munculnya feodal, sejarah perkembangan masyarakat dan kekuasaan sepanjang perkembangan manusia, mengalami kondisi dimana kerajaan menjadi sumber kekuasaan atas masyarakat. Dikarenakan penguasaan modal berupa wilayah, yang diakibatkan dari adanya bentuk penururan hak milik yang ditimbulkan dari bentuk untuk mengamankan dari benturan komunitas masyarakat agraria, yang terjadi sebelumnya. Era dimana disebut dengan munculnya bentuk feodalisme.

Di Indonesia, jika tidak memahami anti-tesa dari pemikiran hukum era feodal –era abad pertengahan dan watak ekonomi yang sentralistik kerajaan- yaitu dengan lahirnya revolusi prancis –beserta produk hukumnya. Terlebih jika unsur budaya masyarakat berwatak feodal yang disebabkan hukum  bersumber dari sistem politik kerajaan dari era pra-Indonesia seperti kerajaan hindu-budha, hingga kepada kerajaan islam. Maka sudah tentu watak budaya dan produk yang bercorak feodal susah dihilangkan.

Watak feodal ini secara mendalam dibahas oleh Peter Carey dalam bukunya Korupsi dalam Silang Sejarah Indonesia dari Daendels hingga Reformasi (2017). Carey mencatat akar dari korupsi di Indonesia –baik sebelum dan setelah merdeka- merupakan kesinambungan sejarah dalam periodesasi kerajaan-kerajaan yang bersifat feodal, lalu intervensi kolonialisme VOC dengan raja-raja lokal dan investor atau tuan tanah asing, yang kesemuanya bersifat patrimonialisme atau ke-bapak-an menghasilkan era-kegelapan. 

Selain itu di Indonesia jika dicermati, walaupun legitimasi adanya produk atau substansi hukum yang umumnya ada di Indonesia bersumber dan mengambil ide besar dari lahirnya revolusi Perancis yang mempengaruhi Belanda pada saat itu –yang juga keduanya sebagai penjajah pra-Indonesia. Akan tetapi jika budaya hukum nya masih berlandaskan budaya masyarakat dan kekuasaan feodal –belanda setelah penjajahan prancis- akan terjadi kontradiktif.

Budaya hukum sendiri telah dibahas dengan apik oleh Shidarta dalam artikel nya Budaya Hukum (2019), tetapi tidak menyentuh akar permasalahan, dimana masyarakat Indonesia yang memiliki watak feodal. Tetapi secara umum menurut Savigny, faktor budaya masyarakat sangat menentukan corak hukum suatu masyarakat, lebih dari itu suatu bangsa. Lebih luas lagi menempatkan budaya hukum kedalam sistem hukum yang dikenalkan oleh Lawrence (1998) yang didalamnya terdapat substansi hukum, struktur hukum, dan terkahir budaya hukum. Dimana budaya hukum menempatkan suasana pikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari, atau disalahgunakan.

Tetapi semua kajian budaya hukum tersebut, menurut saya belum menjawab akan terjadinya budaya feodal dalam masyarakat, sebab masyarakat dalam melakukan aktivitas kebudayaan sehari-harinya disebabkan karena adanya faktor diluar hukum positif. Pertama-tama, tentu budaya masyarakat tidak terjadi begitu saja, tetapi ada faktor sebab mengapa masyarakat membudayakan hal tersebut. Misal, budaya memberikan hadiah kepada atasan atau rekan, ada dua kemungkinan, karena kebaikan ingin memberikan suatu untuk sebuah eksistensi jika dia ‘ada’, tetapi juga ada kemungkinan untuk maksud mempengaruhi sesuatu. Artinya ada faktor eksternal dan internal dalam hal ini.

Bisa jadi kebudayaan feodal masyarakat Indonesia tumbuh karena faktor eksternal, misal dalam hal penguasaan sumber daya, sebab kenapa masyarakat terdapat watak feodal dikarenakan ada yang memerintah dan juga diperintah –tentu dengan kekuasaan yang terdapat hak kepemilikan. Adanya struktur dalam masyarakat yang menyebabkan ketidaksamaan kedudukan. Hal tersebut menyebabkan dua kemungkinan, akan adanya pembangkanan terhadap kebudayaan feodal itu sendiri, atau juga menjadi suatu nilai dimasyarakat. Misal, pemimpin harus dihormati, setelah sekian lama menjadi nilai, muncul budaya yang dipimpin harus selalu patuh atau ‘selalu menjilat’ pemimpin, kedepannya akan menjadi masalah jika tanpa bentuk merevisi kebiasaan yang telah menjadi budaya tersebut atau tetap dengan budaya ‘menjilat’ pemimpin walau terdapat permasalahan.

Selain itu juga ada faktor dorongan internal, misal faktor mengusai material atau menguasi kekuasaan politik, sehingga terjadi budaya serakah atau gila jabatan ingin dihormati. Keduanya tumbuh menjadi budaya feodal. Hal tersebut lebih jelas lagi dijelaskan oleh Nietzsche (Reza, 2019), dimana manusia memiliki kecendurangan untuk menguasi –atau hasrat untuk menguasi. Tentu dalam hal ini, mengakibatkan adanya yang dikuasi. Jika hasrat tersebut berlebihan maka akan menjadi ketimpangan baik secara material ataupun kekuasaan, inilah yang menjadi adanya bentuk watak feodal. 

Watak Feodal Individu dan Produk Hukum

Dari faktor yang mempengaruhi budaya feodal dari aspek kajian sejarah dan budaya hukum. Hal tersebut memberikan gambaran watak feodal dari invidu juga produk hukum yang dihasilkan kekuasaan. Pertama, jika mengamati karakter era feodal, dimana kekuasaan mengusasi sumber daya material dan menempatkan struktur yang menguasi dan dikuasai secara terorganisir. Menempatkan watak individu berpandangan terhadap struktural, dimana terdapat struktur lebih tinggi dan rendah.

Selain itu terdapatnya cara pandang dikuasai dan yang menguasai. Terdapat kepatuhan antara atasan dan bawahan. Hal tersebut jika berlebihan akan menjadi watak individu feodal yang menguasai akan mengeksploitasi. Dan watak individu yang dikuasasi akan menjadi tidak berdaya dengan segala ketidaktahuan maksud yang mengeksploitasinya. Terlebih kedua watak itu terpelihara dan keduanya sadar akan fenomena tersebut, dan memanfaatkan fenomena tersebut.

Jika terjadi, maka watak individu yang menguasasi akan menjadi semena-mena atau semaunya atau otoriter, dan watak yang dikuasi akan menjadi setia dengan implikasi apapun yang terjadi tetap dan terus menjilati yang menguasasinya.

Dampaknya watak berpikir yang dikuasai dalam hal ini tidak merdeka. Sebab dibatasi untuk setia dan terutama tidak diberikan kesempatan untuk berpikir secara merdeka oleh yang menguasai. Karenanya tidak akan ada inovasi atau pembaharuan dari orang yang tidak mampu berpikir merdeka atau pikirannya terbatas. Terlebih informasi yang diberikan hanya itu-itu saja dan dibatasi taraf kualitas juga kuantitas informasi yang menyebabkan ketimpangan pengetahuan dengan yang menguasainya, jika yang menguasai menyimpan informasi dengan maksud untuk membatasi.

Untuk terus melanggengkan atau memelihara kultur feodal ini. Salah satu faktor yang melanggengkan adanya kultur tersebut, baik yang dikuasi dan menguasai, adanya produk hukum yang juga bersifat feodal untuk mengatur keduanya. Terlebih jika berkaca pada saat ini, produk hukum tersebut dilegitimasi oleh adanya teori hukum murni ala Hans Kelsen –yang sudah dibahas sebelumnya- dan beberapa penegak yang berwatak feodal.

Sehingga watak kesetaraan, semakin sulit ditemukan dalam produk hukum publik (pidana) atau produk hukum privat (perdata). Implikasi dari cara pandang tersebut ialah mengasilkan produk hukum yang tidak menjamin adanya pemenuhan hak dari pihak-pihak yang terlibat, utamanya jika pihak-pihak tersebut berwatak feodal baik yang dikuasai dan menguasai.

Dari watak individu yang feodal bertemu dengan produk hukum yang dihasilkan juga berwatak feodal maka terjadi bentuk-bentuk dimana sejarah dunia mencatatnya, diantaranya penindasan masif, perbudakan, pengkolonian suatu wilayah, kualitas manusia yang rendah, dan korupsi atau kualitas sejumlah aspek publik menurun.

Terakhir

Dalam kaitannya dengan dunia pendidikan yang diutarakan oleh Saiful Mahdi berkaitan dengan feodalisme, dampak kecilnya ialah tenaga pendidik dan yang menerima pengetahuan tidak mampu berpikir merdeka. Alih-alih dia mampu, tetapi dikarenakan kultur dan produk hukum yang mengatur nya berwatak feodal terhadap penguasa, maka tidak mampu. Yang menghasilkan dua kemungkinan, antara pembangakangan atau pembusukan yang oleh Aristoteles disebut juga korupsi.

Diterbitkan: 28 Oktober 2021
Jurnalis: Adi Fauzanto  
Daftar Bacaan:      
• Dede Mulyanto (kata pengantar). 2019. Transisi Dari Feodalisme ke Kapitalisme. Penerbit Indoprogress. 
• Hans Kelsen. Teori Hukum Murni, Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif. Penerbit Nusa Media: tahun
• Carl Joachim Friedrich. 2018. Filsafat Hukum Perspektif Historis. Penerbit Nusa Media: Bandung 
• Lawrence Friedman. 2001. Hukum Amerika, Sebuah Pengantar. Penerbit Tata Nusa: Jakarta
• Saiful Mahdi. 2021. Feodalisme dan Kebebasan Akademik. Kolom Tempo
• Anantawikrama dan Nengah. 2019. Sosiologi Korupsi, Kajian Multiperspektif, Integralistik, dan Pencegahannya. Penerbit Prenamedia: Jakarta 
• Reza Wattimena. 2012. Filsafat Anti Korupsi: Membedah Hasrat Kuasa, Pemburu Kenikmatan dan Sisi Hewani Manusia di Balik Korupsi. Penerbit Kanisius: Yogyakarta
• Peter Carey. 2017. Korupsi dalam Silang Sejarah Indonesia dari Daendels sampai Reformasi. Penerbit Komunitas Bambu: Jakarta  
• Herry Priyono. 2018. Korupsi Melacak Arti, Menyimak Implikasi. Penerbit Gramedia Pustaka Utama: Jakarta